Anda di halaman 1dari 52

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang- undang RI No. 44 Tahun 2009 tentang pedoman rumah

sakit menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan merupakan hak setiap

orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan

derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Rumah Sakit

merupakan institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan

karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu

pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial

ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan

yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat

kesehatan yang setinggi-tingginya.

Rumah sakit sebagai institusi pemberi pelayanan harus mampu

merespon tuntutan yang berkembang agar mampu bersaing dengan

institusi pemberi pelayanan yang lain. Untuk memenangkan persaingan,

rumah sakit harus mampu memberikan kepuasan kepada pasien misalnya

dengan memberikan pelayanan yang bermutu dan harganya lebih murah

dari pada para pesaingnya (Supranto,2001).

Mutu pelayanan kesehatan ditentukan oleh berbagai aspek, salah

satu diantaranya tingkat kepuasan pasien. Kepuasan pasien ini dipengaruhi

oleh persepsi kualitas jasa dan produk yang diterima pasien. Pasien adalah

1
2

manusia biasa, unik yang mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dalam

menimbulkan kepuasan pasien tidaklah mudah karena pasien mempunyai

penilaian yang subjektif terhadap apa yang diterima dan dialaminya

(Tjiptono, 2002). Ada tiga tingkat kepuasan, bila penampilan kurang dari

harapan, pasien tidak dipuaskan. Bila penampilan sebanding dengan

harapan, pasien puas, dan apabila penampilan melebihi harapan, pasien

amat puas atau senang (Wijono, 2002).

Kepuasan pasien saat berobat tidak hanya dipengaruhi oleh faktor

komunikasi saja, tapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti

kualitas pelayanan, fasilitas, kecepatan dan ketanggapan perawat dalam

melakukan tindakan untuk menolong pasien. Sehingganya dengan

komunikasi dan penyampaian informasi yang baik dapat menutupi

kekurangan tersebut (Haryanti, 2000).

Perawat sebagai ujung tombak pemberi asuhan keperawatan atau

pelayanan kesehatan harus dituntut untuk dapat melakukan asuhan

keperawatan secara baik dan professional. Perawat dan pasien harus

membina hubungan saling percaya yang disebut dengan hubungan

terapeutik. Komunikasi terapeutik merupakan komponen penting dalam

asuhan keperawatan, dengan mendengarkan keluhan atau pertanyaan

pasien dan menjelaskan prosedur tindakan keperawatan adalah contoh-

contoh komunikasi yang harus dilakukan perawat selama melakukan

praktek keperawatan, selain itu komunikasi juga merupakan proses yang

dilakukan perawat dalam menjalin kerjasama yang baik dengan pasien


3

atau tenaga kesehatan lain dalam rangka membantu mengatasi masalah

pasien (Mundakir, 2006).

Komunikasi yang buruk adalah salah satu faktor yang mendorong

banyaknya keluhan tentang asuhan professional. Perawat harus belajar

untuk berkomunikasi secara lebih efektif. Komunikasi merupakan proses

pertukaran informasi atau proses yang menimbulkan dan meneruskan

makna atau arti (Taylor, dkk 1993). Namun sebaliknya pasien jarang untuk

mencoba mempertimbangkan apakah pelayanan yang diberikan itu

merupakan upaya yang efektif dan efisien dilihat dari segi waktu, tenaga

dan sumber daya yang digunakan (Wensley, 1992).

Hasil penelitian Suryono (2001), di Rumah Sakit Umum Daerah

(RSUD) Dati II Bantul, menemukan bahwa perawat ruang rawat inap

RSUD Bantul dalam melakukan komunikasi terapeutik masih berdasarkan

rutinitas sehari-hari dan belum sepenuhnya dilandasi dengan penggunaan

tahap-tahap komunikasi terapeutik yang benar. Sementara hasil penelitian

seperti yang dikutip oleh Aris (2008), menunjukkan bahwa komunikasi

yang jelek merupakan penyebab terbesar ketidakpuasan pasien.

Pengalaman didapatnya kepuasan selama perawatan di rumah sakit

sebelumnya mempunyai pengaruh terhadap kepuasan pelayanan di rumah

sakit selanjutnya, terutama pada rumah sakit yang sama. Pelanggan yang

puas akan membawa orang lain untuk datang, jadi dengan memuaskan

kebutuhan pelanggan rumah sakit sama dengan sudah memasarkan melalui

para pelanggan mereka yang dipuaskan (Asrul, 1999).


4

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya kita dapat melihat bahwa

ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan salah satunya

dipengaruhi oleh faktor komunikasi terapeutik perawat dalam memberikan

asuhan keperawatan. Banyak yang mengira atau berpendapat bahwa

komunikasi terapeutik identik dengan senyum dan bicara lemah lembut.

Pendapat ini tidak salah tetapi terlalu menyederhanakan arti dari

komunikasi terapeutik itu sendiri, karena inti dari komunikasi terapeutik

adalah komunikasi yang dilakukan untuk terapi (Suryani, 2005).

Manfaat dari komunikasi terapeutik itu sendiri adalah membantu

pasien dan untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran

serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila

pasien percaya dengan hal – hal yang diperlukan. Mengurangi keraguan,

membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan

mempertahankan egonya. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan

dirinya sendiri dalam hal peningkatan derajat kesehatan. Mempererat

hubungan atau interaksi antara pasien dengan terapis (tenaga kesehatan)

secara profesional dan proporsional dalam rangka membantu penyelesaian

masalah pasien (Mundakir, 2006).

Perawat di Rumah Sakit melakukan asuhan keperawatan di rawat

inap, rawat jalan dan di instalasi gawat darurat. Instalasi Gawat Darurat

(IGD) merupakan salah satu instalasi di RSUD Pariaman, yang secara

umum khusus menangani kasus-kasus darurat sehingga memerlukan

penanganan yang cepat dan tepat. Pelayanan IGD merupakan tolak ukur

kualitas pelayanan rumah sakit, oleh karena itu perawat memberikan


5

pelayanan khusus kepada pasien gawat darurat secara terus menerus

selama 24 jam setiap hari. Sehingga diperlukan komunikasi terapeutik

serta kualitas Sumber Daya Manusia yang professional.

Berdasarkan data dari rekam medis RSUD Pariaman diketahui

kunjungan pasien pada pelayanan ruangan Instalasi Gawat Darurat tahun

2010 sebanyak 8609 orang, pada tahun 2011 sebanyak 9864 orang, pada

tahun 2012 sebanyak 11281 orang. Jumlah pasien dari 3 bulan terakhir

yaitu bulan Desember 2012 sebanyak 1063 orang, pada bulan Januari 2013

sebanyak 1020 orang dan pada bulan Februari 2013 sebanyak 820 orang.

Jadi rata-rata pasien yang datang berobat di ruangan Triase IGD RSUD

Pariaman adalah 940 orang per bulannya (Rekam Medis RSUD Pariaman,

2012).

Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti kepada 10 pasien

yang berobat di Instalasi Gawat Darurat pada tanggal 20 Januari 2013

didapatkan keluhan 7 orang pasien menyatakan kurang puas dikarenakan

perawat belum bisa memberikan informasi secara jelas dan mudah

dimengerti tentang penyakit yang diderita pasien, 8 orang pasien

menyatakan perawat tidak menjelaskan prosedur tindakan keperawatan

yang akan dilakukan kepada pasien, 6 orang pasien menyatakan perawat

kurang perhatian saat mendengarkan keluhan pasien, 4 orang pasien

menyatakan perawat kurang memberikan kesempatan kepada pasien

ataupun keluarga untuk menguraikan pendapatnya. Selain itu, dari 12

kritik yang disampaikan melalui kotak saran di dapatkan 5 keluhan tentang

pelayanan perawat.
6

Komunikasi yang dilakukan perawat terhadap pasien dari

wawancara, didapatkan pasien menyatakan perawat tidak siap untuk

bertemu dengan pasien, dimana perawat tidak bertindak cepat saat pasien

masuk IGD, belum adanya perawat mengucapkan salam dan mengenalkan

diri pada awal interaksi dengan pasien, perawat belum menjelaskan

prosedur tindakan keperawatan yang akan dilakukan kepada pasien,

perawat tidak menjelaskan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk

tindakan/prosedur yang akan dilakukan. Sehingganya pasien menunggu

lama dalam setiap tindakan keperawatan yang akan dilakukan, dan

perawat jarang berkomunikasi selama melakukan tindakan keperawatan

kepada pasien, serta perawat tidak menanyakan perasaan pasien terhadap

tindakan/prosedur keperawatan yang sudah dilakukan kepada pasien.

Peneliti selama bertugas di ruangan Instalasi Gawat Darurat RSUD

Pariaman menyimpulkan bahwa perawat sudah melaksanakan komunikasi

terapeutik, meskipun dilakukan berdasarkan kebiasaan sehari-hari dan

belum sepenuhnya memperhatikan teknik dan tahapan-tahapan dari

komunikasi terapeutik itu sendiri karena perawat melihat dari situasi yang

ada di IGD. Sehingganya pasien kurang mendapatkan informasi yang

cukup, ataupun kurang mendapatkan pelayanan yang semestinya. Tidak

jarang juga pasien dan keluarganya pergi saja atau lari dari pelayanan yang

diberikan di IGD. Bahkan ada juga pasien dan keluarganya memasukkan

IGD RSUD Pariaman kedalam surat kabar tentang buruknya kualitas

pelayanan dan tidak jelasnya penyampaian informasi dan komunikasi yang

dialaminya saat berobat di IGD (Profil IGD RSUD Pariaman, 2012).


7

Berdasarkan latar berlakang tersebut maka penulis tertarik untuk

meneliti " Hubungan Penerapan Komunikasi Terapeutik Dengan Tingkat

Kepuasan Pasien di ruangan instalasi gawat darurat RSUD Pariaman

Sumatera Barat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tentang pentingnya komunikasi terapeutik dalam

praktik keperawatan, baik dari hasil penelitian terdahulu maupun survei

tentang kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan di rumah sakit,

maka peneliti merumuskan masalah penelitian adakah Hubungan Penerapan

Komunikasi Terapeutik Terhadap Tingkat Kepuasan Pasien di Ruangan

Instalasi Gawat Darurat RSUD Pariaman Tahun 2013.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menganalisis hubungan penerapan komunikasi terapeutik terhadap tingkat

kepuasan pasien di ruangan Instalasi Gawat Darurat RSUD Pariaman

tahun 2013.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi tingkat kepuasan pasien di ruangan instalasi gawat

darurat RSUD Pariaman.

b. Mengidentifikasi penerapan komunikasi terapeutik di ruangan instalasi

gawat darurat RSUD Pariaman.

c. Menganalisis hubungan penerapan komunikasi terapeutik dengan

tingkat kepuasan pasien di ruangan instalasi gawat darurat RSUD

Pariaman.
8

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Perawat

Sebagai bahan masukan bagi perawat untuk meningkatkan kemampuan

dalam menerapkan komunikasi terapeutik dalam tindakan keperawatan

sehingga terjalin komunikasi yang baik antara perawat dengan pasien.

2. Bagi Bagian Pelayanan Keperawatan RSUD Pariaman

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam

menyusun kebijakan dalam peningkatan kualitas pelayanan keperawatan

khususnya tentang komunikasi terapeutik tenaga keperawatan di RSUD

Pariaman.

3. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan bagi peneliti untuk dijadikan sebagai bahan

wacana kedepan sehingga mendapatkan evaluasi tentang penerapan

komunikasi terapeutik.

4. Bagi Bidang Ilmu Keperawatan

Penelitian ini merupakan sebagai bahan masukan untuk keperawatan

dalam upaya peningkatan kualitas perawat.


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kepuasan Pasien

1. Pengertian Kepuasan

Menurut Soejadi (1996), pasien atau klien merupakan individu

terpenting dirumah sakit sebagai konsumen sekaligus sasaran produk rumah

sakit. Didalam suatu proses keputusan, konsumen yaitu pasien, tidak akan

berhenti hanya sampai proses penerimaan pelayanan. Pasien akan

mengevaluasi pelayanan yang diterimanya tersebut. Hasil dari proses evaluasi

itu akan menghasilkan perasaan puas atau tidak puas (Sumarwan, 2003).

Kotler (1997) menyatakan bahwa kepuasan adalah tingkat keadaan yang

dirasakan seseorang yang merupakan hasil dari membandingkan penampilan

atau outcome produk yang dirasakan dalam hubungannya dengan harapan

seseorang (Sumarwan, 2003).

Kepuasan berarti keinginan dan kebutuhan seseorang telah

terpenuhi sama sekali. Kepuasan seorang penerima jasa layanan dapat tercapai

apabila kebutuhan, keinginan, dan harapannya dapat dipenuhi melalui jasa

atau produk yang dikonsumsinya. Kepuasan pasien bersifat subjektif

berorientasi pada individu dan sesuai dengan tingkat rata-rata kepuasan

penduduk. Kepuasan pasien dapat berhubungan dengan berbagai aspek

diantaranya mutu pelayanan yang diberikan, kecepatan pemberian layanan,

prosedur serta sikap yang diberikan oleh pemberi pelayanan kesehatan itu

sendiri (Anwar, 1998 dalam Awinda, 2004).

9
10

Kepuasan adalah suatu fungsi dari perbedaan antara penampilan

yang dirasakan dan diharapkan. Kepuasan pasien adalah tingkat kepusan dari

persepsi pasien dan keluarga terhadap pelayanan kesehatan dan merupakan

salah satu indikator kinerja rumah sakit. Bila pasien menunjukkan hal-hal

yang bagus mengenai pelayanan kesehatan terutama pelayanan keperawatan

dan pasien mengindikasikan dengan perilaku positifnya, maka dapat kita tarik

kesimpulan bahwa pasien memang puas terhadap pelayanan tersebut

(Purnomo, 2002).

Ada beberapa teori mengenai kepusaan. Teori yang menjelaskan

apakah pasien sangat puas, puas, tidak puas adalah teori performasi yang

diharapkan (expectation-performance theory) yang menyatakan bahwa

kepusan adalah fungsi dari harapan pasien tentang jasa dan performasi yang

diterimanya. Jika jasa sesuai dengan harapannya ia akan puas; jika jasa kurang

sesuai dengan yang diharap,ia akan merasa tidak puas. Kepuasan atau ketidak

puasan pasien akan meningkat jika ada jarak yang lebar antara harapan dan

kenyataan performasi pelayanan. Beberapa pasien cenderung memperkecil

kesenjangan dan mereka akan terkurangi rasa ketidakpuasannya (Purnomo,

2002).

Long & Green (1994) berpendapat bahwa perawat memiliki

konstribusi yang unik terhadap kepuasan pasien dan keluarganya. Valentine

(1997) menyatakan bahwa pelayanan keperawatan dan perilaku perawat

merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kepuasan pasien (dikutip

dari Wolf, Miller, & Devine, 2003).


11

Menurut Oliver (1998., dalam Supranto, 2001) mendefinisikan

kepuasan sebagai tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja

atau hasil yang dirasakannya dengan harapannya. Tingkat kepuasan

merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan

harapan. Apabila kinerja dibawah harapan, maka pelanggan akan sangat

kecewa. Bila kinerja sesuai harapan, maka pelanggan akan sangat puas.

Sedangkan bila kinerja melebihi harapan pelanggan akan sangat puas.

Harapan pelanggan dapat dibentuk oleh pengalaman masa lampau, komentar

dari kerabatnya serta janji dan informasi dari berbagai media. Pelanggan yang

puas akan setia lebih lama, kurang sensitive terhadap harga dan memberi

komentar yang baik tentang perusahaan tersebut.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kepuasan.

Menurut Moison, Walter dan White (dalam Haryanti, 2000)

menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan konsumen ,

yaitu :

a. Karakteristik Produk

Produk ini merupakan kepemilikan rumah sakit yang

bersifat fisik antara lain gedung dan dekorasi. Karakteristik produk

rumah sakit meliputi penampilan bangunan rumah sakit,

kebersihan, dan tipe kamar yang disediakan beserta

kelengkapannya.
12

b. Harga

Dalam harga yang masuk didalamnya adalah harga produk

atau jasa. Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting

dalam penentuan kualitas guna mencapai kepuasan pasien.

Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi pasien dari segi

biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga perawatan

maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar. Herianto dan

kawan-kawan (2005) menemukan, ekspektasi masyarakat terhadap

harga yang murah ditemukan cukup tinggi. Ini dikarenakan

masyarakat miskin di Indonesia memang cukup tinggi.

c. Pelayanan

Pelayanan disini termasuk pelayanan keramahan petugas

rumah sakit, kecepatan dalam pelayanan. Rumah sakit dianggap

baik apabila dalam memberikan pelayanan lebih memperhatikan

kebutuhan pasien maupun orang lain yang berkunjung di rumah

sakit. Kepuasan muncul dari kesan pertama masuk pasien terhadap

pelayanan keperawatan yang diberikan. Dapat dijabarkan dengan

pertanyaan yang menyangkut keramahan, informasi yang

diberikan, sejauh mana tingkat komunikasi, responsi, support,

seberapa tanggap dokter/perawat di ruangan IGD, rawat jalan,

rawat inap, farmasi,

kemudahan dokter/perawat dihubungi, keteraturan pemberian meal,

obat, pengukuran suhu dan sebagainya (Lusa, 2007). Misalnya :


13

pelayanan yang cepat, tanggap dan keramahan dalam memberikan

pelayanan keperawatan.

d. Lokasi

Meliputi letak rumah sakit, letak kamar dan lingkungannya.

Merupakan salah satu aspek yang menentukan pertimbangan dalam

memilih rumah sakit. Akses menuju lokasi yang mudah dijangkau

mempengaruhi kepuasan klien dalam memanfaatkan fasilitas

kesehatan di rumah sakit maupun pusat jasa kesehatan lainnya

(Heriandi, 2007). Umumnya semakin dekat rumah sakit dengan

pusat perkotaan atau mudah dijangkau, mudahnya transportasi dan

lingkungan yang baik akan semakin menjadi pilihan bagi pasien

yang membutuhkn rumah sakit tersebut.

e. Fasilitas

Kelengkapan fasilitas rumah sakit turut menentukan

penilaian kepuasan pasien. Misalnya fasilitas kesehatan baik sarana

dan prasarana, tempat parkir, ruang tunggu yang nyaman dan ruang

kamar rawat inap. Walaupun hal ini tidak vital menentukan

penilaian kepuasan pasien, namun rumah sakit perlu memberikan

perhatian pada fasilitas rumah sakit dalam penyusunan strategi

untuk menarik konsumen.

Berbagai kegiatan dan prasarana kegiatan pelayanan

kesehatan yang mencerminkan kualitas rumah sakit merupakan

determinan utama dari kepuasan pasien. Pasien akan memberikan

penilaian (reaksi afeksi) terhadap berbagai kegiatan pelayanan


14

kesehatan yang diterimanya maupunterhadap sarana dan prasarana

kesehatan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan

kesehatan. Penilaian mereka terhadap kondisi rumah sakit (mutu

baik atau buruk) merupakan gambaran kualitas rumah sakit

seutuhnya berdasarkan pengalaman subjektif individu pasien

(Utama, 2003).

f. Image

Dalam image yang dilihat yaitu citra, reputasi dan

kepedulian rumah sakit terhadap lingkungan. Image juga

memegang peranan penting terhadap kepuasan pasien dimana

pasien memandang rumah sakit mana yang akan dibutuhkan untuk

proses penyembuhan. Pasien dalam menginterpretasikan rumah

sakit berawal dari cara pandang melalui panca indera dari

informasi-informasi yang didapatkan dan pengalaman baik dari

orang lain maupun diri sendiri sehingga menghasilkan anggapan

yang positif terhadap rumah sakit tersebut, meskipun dengan harga

yang tinggi. Pasien akan tetap setia menggunakan jasa rumah sakit

tersebut dengan harapan-harapan yang diinginkan pasien.

g. Desain Vital

Meliputi dekorasi ruangan, bangunan dan desain jalan yang

tidak rumit. Tata ruang dan dekorasi rumah sakit ikut menetukan

kenyamanan suatu rumah sakit. Oleh karena itu desain dan visual

harus diikutsertakan dalam penyusunan strategi terhadap kepuasan

pasien atau konsumen. Aspek ini dijabarkan dalam pertanyaan


15

tentang lokasi rumah sakit, kebersihan, kenyamanan ruangan,

makanan dan minuman, peralatan ruangan, tata letak, penerangan,

kebersihan WC, pembuangan sampah, kesegaran ruangan dan lain-

lain (Lusa, 2005).

h. Suasana

Meliputi keamanan, keakraban dan tata lampu. Suasana

rumah sakit yang tenang, nyaman, sejuk dan indah akan sangat

mempengaruhi kepuasan pasien dalam proses penyembuhannya.

Selain itu tidak hanya bagi pasien saja yang menikmati itu akan

tetapi orang lain yang berkunjung ke rumah sakit akan sangat

senang dan memberikan pendapat yang positif sehingga akan

terkesan bagi pengunjung rumah sakit tersebut.

Menurut Lusa (2007), aspek ini tidak hanya penting untuk

memberikan kepuasan semata, tetapi juga memberi perlindungan

kepada pasien. Keselamatan pasien, yaitu upaya perlindungan

pasien dari hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan pasien

seperti jatuh, kebakaran, dan lain-lain adalah aspek penting yang

menentukan kepuasan. aspek ini dijabarkan dalam pertanyaan

tentang lokasi rumah sakit, kebersihan, kenyamanan ruangan,

makanan dan minuman, peralatan ruangan, tata letak, penerangan,

kebersihan WC, pembuangan sampah, kesegaran ruangan dan lain-

lain. Perawat harus memperhatikan aspek ini.


16

i. Komunikasi

Dalam komunikasi ini yang dilihat yaitu tata cara informasi

yang diberikan pihak penyedia jasa dan keluhan-keluhan dari

pasien. Bagaimana keluhan-keluhan dari pasien dengan cepat

diterima oleh penyedia jasa terutama perawat dalam memberikan

bantuan terhadap keluhan pasien. Misalnya adanya tombol

panggilan didalam ruang rawat inap, adanya ruang informasi yang

memadai terhadap informasi yang akan dibutuhkan pemakai jasa

rumah sakit seperti keluarga pasien maupun orang yang

berkunjung di rumah sakit. akan dapat ditarik kesimpulan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien adalah : kualitas

jasa, harga, emosianal, kinerja, estetika, karakteristik produk,

pelayanan, lokasi, fasilitas, komunikasi, suasana, dan desain visual.

Komunikasi dalam hal ini juga termasuk perilaku, tutur

kata, keacuhan, keramahan petugas, serta kemudahan mendapatkan

informasi dan komunikasi menduduki peringkat yang tinggi dalam

persepsi kepuasan pasien RS. Tidak jarang walaupun

pasien/keluarganya merasa outcome tak sesuai dengan harapannya

merasa cukup puas karena dilayani dengan sikap yang menghargai

perasaan dan martabatnya (Suryawati dkk, 2006).

3. Pengukuran Tingkat Kepuasan.

Pengukuran kepuasan pelanggan merupakan elemen penting dalam

penyediaan pelayanan yang lebih baik, lebih efisien dan lebih efektif.
17

Apabila pelanggan merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang

disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan

efisien. Tingkat kepuasan pelanggan terhadap pelayanan merupakan faktor

yang penting dalam pengembangan suatu system penyediaan pelayanan

yang tanggap terhadap kebutuhan pelanggan, meminimalkan biaya dan

waktu serta memaksimalkan dampak pelayanan terhadap populasi dan

sasaran (Hadisugito, 2005). Bila pelanggan tidak puas atau kecewa, harus

segera diketahui faktor penyebabnya dan segera dilakukan koreksi atau

perbaikan. Tanpa adanya tindakan untuk melakukan koreksi atau

perbaikan hasil pengukuran tingkat kepuasan pelanggan menjadi tidak

bermamfaat. Padahal tujuan pengukuran tingkat kepuasan pelanggan

adalah untuk dapat segera mengetahui faktor-faktor yang membuat para

pelanggan tidak puas, dapat segera diperbaiki, sehingga pelanggan tidak

kecewa.

Tingkat kepuasan adalah merupakan fungsi dari perbedaan antara

kinerja yang dirasakan dengan harapan apabila kinerja dibawah harapan,

maka pelanggan akan kecewa. Bila kinerja sesuai dengan harapan,

pelanggan akan sangat puas. Harapan pelanggan dapat dibentuk oleh

pengalaman masa lampau, komentar dari kerabatnya serta janji dan

informasi pemasaran dan saiingannya. Pelanggan yang puas akan setia

lebih lama, kurang sensitive terhadap harga dan memberi komentar yang

baik tentang perusahaan. Untuk menciptakan kepuasan pelanggan,

perusahaan harus menciptakan dan mengelola suatu system untuk


18

memperoleh pelanggan yang lebih banyak dan kemampuan untuk

mempertahankan pelanggannya.

Menurut Kotler (2003), ada beberapa macam metode dalam

pengukuran kepuasan pelanggan :

a. Sistem keluhan dan saran

Organisasi yang berorientasi pada pelanggan (customer oriented)

memberikan kesempatan yang luas kepada para pelanggannya untuk

menyampaikan saran dan keluhan. Misalnya dengan menyediakan

kotak saran, kartu komentar, dan hubungan telepon langsung dengan

pelanggan.

b. Ghost shopping

Mempekerjakan beberapa orang untuk berperan atau bersikap

sebagai pengguna potensial, kemudian melaporkan temuannya

mengenai kekuatan dan kelemahan produk rumah sakit dan pesaing

berdasarkan pengalaman mereka.

c. Lost customer analysis

Rumah sakit seyogianya menghubungi para pelanggan yang telah

berhenti menggunakan jasa pelayanan agar dapat memahami mengapa

hal itu terjadi.

d. Survei kepuasan pelanggan

Penelitian survei dapat melalui pos, telepon dan wawancara

langsung. Responden juga dapat diminta untuk mengurutkan berbagai

elemen penawaran berdasarkan derajad pentingnya setiap elemen dan

seberapa baik perusahaan dalam masing-masing elemen (importanse


19

/performance ratings). Melalui survei perusahaan akan memperoleh

tanggapan dan umpan balik secara langsung dari pelanggan dan juga

memberikan tanda positif bahwa rumah sakit menaruh perhatian

terhadap para pengguna jasa pelayanannya.

Pengumpulan data survei kepuasan pasien dapat dilakukan dengan

berbagai cara tetapi pada umumnya dilakukan melalui kuesioner dan

wawancara. Adapun penggunaan kuesioner adalah cara yang paling sering

digunakan karena mempunyai beberapa keuntungan, seperti proses yang

mudah dan murah, menghasilkan data yang telah terstandarisasikan, dan

terhindar dari bias pewawancara (Pohan, 2006).

4. Manfaat Pengukuran Kepuasan

Menurut Gerson (2004), manfaat utama dari program pengukuran

adalah tersedianya umpan balik yang segera, berarti dan objektif. Dengan hasil

pengukuran orang bisa melihat bagaimana mereka melakukan pekerjaannya,

membandingkan dengan standar kerja, dan memutuskan apa yang harus

dilakukan untuk melakukan perbaikan berdasarkan pengukuran tersebut. Ada

beberapa manfaat pengukuran kepuasan antara lain sebagai berikut :

a. Pengukuran menyebabkan orang memiliki rasa berhasil dan berprestasi,

yang kemudian diterjemahkan menjadi pelayanan yang prima kepada

pelanggan.

b. Pengukuran bisa dijadikan dasar menentukan standar kinerja dan standar

prestasi yang harus dicapai, yang akan mengarahkan mereka menuju mutu

yang semakin baik dan kepuasan pelanggan yang meningkat.


20

c. Pengukuran memberikan umpan balik segera kepada pelaksana, terutama

bila pelanggan sendiri yang mengukur kinerja pelaksana atau yang memberi

pelayanan.

d. Pengukuran memberi tahu apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki

mutu dan kepuasan pelanggan bagaimana harus melakukannya. Informasi

ini juga bisa datang dari pelanggan.

e. Pengukuran memotivasi orang untuk melakukan dan mencapai tingkat

produktivitasnya yang lebih tinggi.

Menurut Azwar (2003), didalam situasi rumah sakit yang

mengutamakan pihak yang dilayani (client oriented), karena pasien adalah

pasien yang terbanyak, maka banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh bila

mengutamakan kepuasan pasien antara lain sebagai berikut :

a. Rekomendasi medis untuk kesembuhan pasien akan dengan senang hati

diikuti oleh pasien yang merasa puas terhadap pelayanan rumah sakit.

b. Terciptanya citra positif dan nama baik rumah sakit karena pasien yang puas

tersebut akan memberitahukan kepuasannya kepada orang lain. Hal ini

secara akumulatif akan menguntungkan rumah sakit karena merupakan

pemasaran rumah sakit secara tidak langsung.

c. Citra rumah sakit akan menguntungkan secara sosial dan ekonomi.

Bertambahnya jumlah orang yang berobat, karena ingin mendapatkan

pelayanan yang memuaskan seperti yang selama ini mereka dengar akan

menguntungkan rumah sakit secara sosial dan ekonomi (meningkatnya

pendapatan rumah sakit).


21

d. Berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholder) rumah sakit, seperti

perusahaan asuransi akan lebih menaruh kepercayaan pada rumah sakit yang

mempunyai citra positif.

e. Didalam rumah sakit yang berusaha mewujudkan kepuasan pasien akan

lebih diwarnai dengan situasi pelayanan yang menjunjung hak- hak pasien.

Rumah sakitpun akan berusaha sedemikian rupa sehingga malpraktek tidak

terjadi.

5. Klasifikasi Kepuasan

Menurut Gerson (2004), untuk mengetahui tingkat kepuasan pelanggan

dapat diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan sebagai berikut ;

a. Sangat Puas

Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian perasaan pasien

yang menggambarkan pelayanan kesehatan sepenuhnya atau sebagian

besar sesuai kebutuhan atau keinginan pasien, seperti sangat bersih

(untuk prasarana), sangat ramah (untuk hubungan dengan dokter atau

perawat), atau sangat cepat (untuk proses administrasi), yang

seluruhnya menggambarkan tingkat kualitas pelayanan yang paling

tinggi.

b. Puas

Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian perasaan pasien,

yang menggambarkan pelayanan kesehatan tidak sepenuhnya atau

sebagian sesuai kebutuhan atau keinginan seperti tidak terlalu bersih

(untuk sarana), agak kurang cepat (proses administrasi), atau kurang


22

ramah, yang seluruhnya ini menggambarkan tingkat kualitas yang

kategori sedang.

c. Tidak Puas.

Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian perasaan pasien

rendah, yang menggambarkan pelayanan kesehatan tidak sesuai

kebutuhan atau keinginan seperti tidak terlalu bersih (untuk sarana),

agak lambat (untuk proses administrasi), atau tidak ramah.

d. Sangat Tidak Puas.

Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian perasaan pasien

yang rendah, menggambarkan pelayanan kesehatan tidak sesuai

kebutuhan atau keinginan seperti tidak bersih (untuk sarana), lambat

(untuk proses administrasi), dan tidak ramah. Seluruh hal ini

menggambarkan tingkat kualitas yang kategori paling rendah.

Skala yang dipakai untuk mengukur kepuasan menggunakan skala

likert, persepsi/kinerja diberikan empat skala penilaian Sangat Puas, Puas,

Tidak Puas, dan Sangat Tidak Puas, yang diberi nilai sebagai berikut

(Supranto, 2006) :

1) Jawaban sangat puas ( SP) diberi nilai 4

2) Jawaban puas ( P) diberi nilai 3

3) Jawaban tidak puas ( TP) diberi nilai 2

4) Jawaban sangat tidak puas (STP) diberi nilai 1

Untuk harapan atau kepentingan ada empat penilaian, Sangat

Penting, Penting, Tidak Penting, dan Sangat Tidak Penting, yang diberi

nilai sebagai berikut :


23

1) Jawaban sangat penting (SPg) diberi nilai 4

2) Jawaban penting (Pg) diberi nilai 3

3) Jawaban tidak penting (TPg) diberi nilai 2

4) Jawaban sangat tidak penting (STPg) diberi nilai 1

Berdasarkan hasil penilaian persepsi/kinerja dan harapan/

kepentingan maka akan dihasilkan suatu perhitungan mengenai tingkat

kepuasan antara persepsi/kinerja dan harapan / keinginan.

Cara mengukur kepuasan pelanggan, menurut Supranto (2006),

bahwa tingkat kepuasan adalah perbandingan skor persepsi terhadap

layanan yang diterima pasien dengan skor harapan terhadap layanan

kesehatan, dalam hal ini menggunakan rumus:

Xi
Tki x 100%
Yi

Dimana :

Tki = Tingkat kepuasan pasien

Xi = Skor persepsi terhadap layanan kesehatan yang diterima

Yi = Skor harapan pasien terhadap layanan kesehatan

Untuk membuat kesimpulan hasil dari perhitungan diatas

digunakan persepsi/kinerja. Skala pengukuran tersebut dibuat berdasarkan

pertimbangan masing-masing instansi, antara lain dengan skala

pengukuran ordinal. Kinerja dikatakan baik apabila didapatkan skor ≥ 90

% dan dikatakan tidak baik apabila skornya < 90 % (LAN dan BPKP).
24

B. Konsep Komunikasi Terapeutik

1. Pengertian Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan

secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan

pasien (Musliha, 2009). Sedangkan menurut Stuart & Sundeen ( 2001).

Komunikasi terapeutik merupakan cara untuk membina hubungan yang

terapeutik dimana terjadi penyampaian informasi dan pertukaran perasaan

dan pikiran dengan maksud untuk mempengaruhi orang lain.

Komunikasi terapeutik juga dapat dipersepsikan sabagai proses

interaksi antara pasien dan perawat yang membantu pasien mengatasi

stress sementara untuk hidup harmonis dengan orang lain, menyesuaikan

dengan sesuatu yang tidak dapat diubah dan mengatasi hambatan

psikologis yang menghalangi realisasi diri ( Mundakir, 2006 ).

Komunikasi terapeutik berbeda dengan komunikasi sosial yaitu

pada komunikasi terapeutik selalu terdapat tujuan atau arah yang spesifik

untuk komunikasi. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan

bahwa komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang direncanakan

secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan

pasien dan membina hubungan yang terapeutik antara perawat dengan

pasien.

2. Fungsi Komunikasi Terapeutik

Menurut Putra (2003) dalam Nasir, A (2009) fungsi komunikasi

terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan kerjasama antara

perawat-pasien melalui hubungan perawat-pasien. Perawat berusaha


25

mengungkapkan perasaan, mengidentifikasi dan mengkaji masalah serta

mengevaluasi tindakaan yang dilakukan dalam perawatan.

Dwidiyanti mengungkapkan bahwa seorang perawat profesional

selalu mengupayakan untuk berperilaku terapeutik, yang berarti bahwa

tiap interaksi yang dilakukan menimbulkan dampak terapeutik yang

memungkinkan pasien untuk tumbuh dan berkembang. Tujuan hubungan

terapeutik diarahkan pada pertumbuhan pasien yang menurut Stuart dan

Sundeen (2001) dan Limberg, Hunter & Kruszweski

(2003) meliputi :

a. Meningkatkan tingkat kemandirian pasien melalui proses realisasi diri,

penerimaan diri dan rasa hormat terhadap diri sendiri.

b. Identitas diri yang jelas dan rasa integritas yang tinggi.

c. Kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang intim dan

saling tergantung dan mencintai.

d. Meningkatkan kesejahteraan pasien dengan peningkatan fungsi dan

kemampuan memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan personal

yang realistik.

3. Unsur Komunikasi Terapeutik

Unsur komunikasi terapeutik menurut Anas Tamsuri (2006) :

komunikator dinilai dari penampilan yang baik, sopan, menarik, sangat

berpengaruh dalam proses komunikasi. Komunikator sebelum melakukan

komunikasi perlu menguasai masalah dan penguasaan bahasa dengan

tujuan komunikator dapat meningkatkan kepercayaan diri komunikan.

Pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi dapat secara langsung,


26

tatap muka, dan media, sedangkan pesan yang disampaikan oleh

komunikator dapat berupa pengetahuan tentang kesehatan dan perasaan.

Dari unsur komunikasi ini maka komunikasi dapat tercapai dengan baik

dan pesan yang disampaikan dapat diterima. Unsur-unsur dalam

komunikasi terapeutik adalah terdiri dari komunikator, komunikan, pesan

yang disampaikan dan lingkungan waktu komunikasi berlangsung. Sumber

proses komunikasi yaitu pengirim dan penerima pesan. Prakarsa

berkomunikasi dilakukan oleh sumber ini dan sumber juga menerima

pesan sebagai tolak ukur keberhasilan dalam mengirim. Pesan-pesan yang

disampaikan dengan menggunakan penyandian baik yang berupa bahasa

verbal maupun non verbal. Panerima yaitu orang yang menerima

pengiriman pesan dan membalas pesan yang disampaikan oleh sumber,

sehingga dapat diketahui mengerti atau tidaknya suatu pesan. Lingkungan

waktu komunikasi berlangsung, dalam hal ini meliputi saluran

penyampaian dan penerimaan pesan serta lingkungan alamiah saat pesan

disampaikan. Saluran penyampaian pesan melalui indera manusia yaitu

pendengaran, penglihatan, pengecap dan perabaan.

4. Prinsip Komunikasi Terapeutik (Ellis, Gates, dan Kenworthy dalam

Suryani, 2006)

Tujuan komunikasi terapeutik akan tercapai apabila perawat dalam

“helping relationship” memiliki prinsip-prinsip/karakteristik dalam

menerapkan komunikasi terapeutik yang meliputi:

a. Perawat harus mengenali dirinya sendiri yang berarti menghayati,

memahami dirinya sendiri serta nilai yang dianut.


27

b. Komunikasi harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik

maupun mental.

c. Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan pasien

memiliki motivasi untuk mengubah dirinya baik sikap maupun tingkah

lakunya sehingga tumbuh makin matang dan dapat memecahkan

masalah-masalah yang dihadapi.

d. Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik

maupun mental.

e. Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan pasien yang

memiliki motivasi untuk mengubah dirinya baik sikap maupun tingkah

lakunya sehingga tumbuh makin matang dan dapat memecahkan

masalah-masalah yang dihadapi.

f. Perawat harus mampu menguasai perasaan sendiri secara bertahap

untuk mengetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah,

keberhasilan maupun frustasi.

g. Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat

mempertahankan konsistensinya.

h. Memahami betul arti empaty sebagai tindakan yang terapeutik dan

sebaliknya simpaty bukan tindakan yang terapeutik.

i. Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar hubungan

terapeutik.

j. Mampu berperan sebagai role model agar tetap menyakinkan orang

lain tentang kesehatan, oleh karena itu perawat perlu mempertahankan

suatu keadaan sehat fisik, mental, spiritual dan gaya hidup


28

k. Disarakan untuk mengekspresikan perasaan yang dianggap

mengganggu.

l. Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan pasien bebas

berkembang tanpa rasa takut.

m. Aktruisme mendapatkan kepuasan menolong orang lain secara

manusiawi.

n. Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat mungkin

keputusan berdasarkan prinsip kesejahteraan manusia.

o. Bertanggung jawab dalam dua dimensi yaitu tanggung jawab terhadap

dirinya atas tindakan yang dilakukan dan tanggung jawab terhadap

orang lain.

Dengan prinsip-prinsip tersebut diatas diharapkan perawat akan

mampu menggunakan dirinya sendiri secara terapeutik ( therapeutic

use of self). Selanjutnya upaya perawat untuk meningkatkan

kemampuan yang berhubungan dengan pengetahuan tentang dinamika

komunikasi, penghayatan terhadap kelebihan dan kekurangan diri dan

kepekaan terhadap kebutuhan orang lain sangat diperlukan dalam

therapeutic use of self. Menggunakan diri secara terapeutik

memerlukan integrasi dari ketiga kemampuan tersebut (Dwidiyanti,

2008).
29

5. Teknik Komunikasi Terapeutik.

Menurut Stuart & Sundeen (2001), teknik komunikasi terdiri dari:

a. Mendengarkan (Listening)

Mendengarkan merupakan dasar dalam komunikasi yang akan

mengetahui perasaan pasien. Teknik mendengarkan dengan cara

memberi kesempatan pasien untuk bicara banyak dan perawat sebagai

pendengar aktif. Menurut Ellis (2006), menjelaskan bahwa

mendengarkan orang lain dengan penuh perhatian akan menunjukan

pada orang lain bahwa apa yang dikatakannya adalah penting dan dia

adalah orang yang penting. Mendengarkan juga menunjukan pesan “

Anda bernilai untuk saya” dan “ Saya tertarik padamu”.

b. Pertanyaan Terbuka (Broad Opening).

Memberikan inisiatif kepada pasien, mendorong pasien untuk

menyeleksi topic yang akan dibicarakan. Kegiatan ini bernilai

terapeutik apabila pasien menunjukan penerimaan dan nilai dari

inisiatif pasien dan menjadi non terapeutik apabila perawat

mendominasi interaksi dan menolak respon dari pasien (Stuart &

Sundeen, 2001).

c. Mengulang (Restating)

Merupakan teknik yang yang dilaksanakan dengan cara

mengulang pokok pikiran yang diungkapkan pasien, yang berguna

untuk menguatkan ungkapan pasien dan member indikasi perawat

untuk mengikuti pembicaraan. Teknik ini bernilai terapeutik ditandai

dengan perawat mendengar dan melakukan validasi, mendukung


30

pasien dan memberikan respon terhadap apa yang baru saja dikatakan

oleh pasien.

d. Penerimaan (Acceptance).

Penerimaan adalah mendukung dan menerima informasi dengan

tingkah laku yang menunjukkan ketertarikan dan tidak menilai.

Penerimaan bukan berarti persetujuan. Menunjukkan penerimaan

berarti kesediaan mendengar tanpa menunjukkan keraguan atau

ketidaksetujuan. Dikarenakan hal tersebut, perawat harus sadar

terhadap ekspresi non verbal. Bagi perawat perlu menghindari

memutar mata keatas, menggelengkan kepala, mengerutkan atau

memandang dengan muka masam pada saat berinteraksi dengan pasien

e. Klarifikasi

Klarifikasi merupakan teknik yang digunakan bila perawat ragu,

tidak jelas, tidak mendengar atau pasien malu mengemukakan

informasi dan perawat mencoba memahami situasi yang digambarkan

pasien.

f. Refleksi

Refleksi ini dapat berupa refleksi isi dengan cara

menvalidasikan apa yang didengar, refleksi perasaan dengan cara

memberi respon pada perasaan pasien terhadap isi pembicaraan agar

pasien mengetahui dan menerima perasaannya. Teknik ini akan

membantu perawat untuk memelihara pendekatan yang tidak menilai

(Boyd dan Nihart dikutip oleh Nurjanah, 2001).


31

g. Asertif

Menurut Smith dalam Nurjanah (2001), asertif adalah

kemampuan dengan cara meyakinkan dan nyaman mengekspresikan

pikiran dan perasaan diri dengan tetap menghargai perasaan orang lain.

Tahap-tahap menjadi lebih asertif menurut Lindberg dalam Nurjanah

antara lain menggunakan kata ”tidak” sesuai dengan kebutuhan,

mengkomunikasikan maksud dengan jelas, mengembangkan

kemampuan mendengar, mengungkapkan komunikasi disertai dengan

bahasa tubuh yang tepat, meningkatkan kepercayaan diri dan gambaran

diri dan menerima kritik dengan ramah.

h. Memfokuskan

Cara ini dengan memilih topic yang penting atau yang telah

dipilih dengan menjaga pembicaraan tetap menuju tujuan yang lebih

spesifik, lebih jelas dan berfokus pada realitas.

i. Membagi persepsi

Merupakan teknik komunikasi dengan cara meminta pendapat

pasien tentang hal-hal yang dirasakan dan dipikirkan.

j. Identifikasi”tema”

Merupakan teknik dengan mencari latar belakang masalah

pasien yang muncul dan berguna untuk meningkatkan pengertian dan

eksplorasi masalah yang penting.

k. Diam

Diam dilakukan dengan tujuan untuk mengorganisir

pemikiran, memproses informasi, menunjukkan bahwa perawat


32

bersedia untuk menunggu respon. Diam tidak dilakukan dalam waktu

yang lama karena akan mengakibatkan pasien menjadi khawatir. Diam

juga dapat diartikan sebagai mengerti atau marah. Diam disini juga

menunjukkan kesediaan seseorang untuk menenti orang lain untuk

berfikir, meskipun begitu diam yang tidak tepat dapat menyebabkan

orang lain merasa cemas (Myers,1999), dikutip oleh Nurjanah (2001).

l. Informing

Menyediakan tambahan informasi dengan tujuan untuk

mendapatkan respon lebih lanjut. Beberapa dari keuntungan dari

menawarkan informasi adalah akan memfasilitasi komunikasi,

mendorong pendidikan kesehatan dan memfasilitasi pasien untuk

mengambil keputusan (Stuart & Sundeen, 2001). Kurangnya

pemberian informasi yang dilakukan saat pasien membutuhkan akan

mengakibatkan pasien tidak percaya. Hal yang tidak boleh dilakukan

adalah menasehati pasien pada saat memberikan informasi.

m. Humor

Dugan (2009), mengatakan bahwa tertawa membantu

mengurangi ketegangan dan rasa sakit yang disebabkan oleh stres, dan

meningkatkan keberhasilan perawat dalam memberikan dukungan

emosional terhadap pasien. Sullivan dan Deane (2002), melaporkan

bahwa humor merangsang produksi catecholamines dan hormone yang

menimbulkan perawasaan sehat, meningkatkan toleransi terhadap rasa

sakit, mengurangi ansaetas, menfasilitasi relaksasi, pernafasan dan

menggunakan humor untuk menutupi rasa takut dan tidak enak atau
33

menutupi ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dengan pasien.

Sedangkan menurut Nurjanah (2001), humor sebagai hal yang penting

dalam komunikasi verbal dikarenakan tertawa mengurangi stress,

ketegangan dan rasa sakit akibat stress, serta meningkatkan

keberhasilan asuhan keperawatan.

n. Saran

Teknik yang bertujuan member alternative ide untuk

pemecahan masalah. Teknik ini tidak tepat dipakai pada fase kerja dan

tidak tepat pada fase awal hubungan (Dugan 2009).

6. Tahapan Dalam Komunikasi Terapeutik

Dalam komunikasi terapeutik ada empat tahap, dimana pada setiap

tahap mempunyai tugas yang harus diselesaikan oleh perawat (Stuart &

Sundeen, 2001).

a. Fase Pra Interaksi

Dalam tahapan ini perawat menggali perasaan dan menilik

dirinya dengan cara mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya.

Pada tahap ini juga perawat mencari informasi tentang pasien sebagai

lawan bicaranya. Setelah hal ini dilakukan perawat merancang strategi

untuk pertemuan pertama dengan pasien. Tahapan ini dilakukan oleh

perawat dengan tujuan mengurangi rasa cemas atau kecemasan yang

mungkin dirasakan oleh perawat sebelum melakukan komunikasi

terapeutik dengan pasien.


34

Kecemasan yang dialami seseorang dapat sangat mempengaruhi

interaksinya dengan orang lain (Ellis, Gates dan Kenworthy, 2000

dalam Suryani, 2005). Hal ini disebabkan oleh adanya kesalahan dalam

menginterpretasikan apa yang diucapkan oleh lawan bicara. Pada saat

perawat merasa cemas, dia tidak akan mampu mendengarkan apa yang

dikatakan oleh pasien dengan baik (Brammer, 1993 dalam Suryani,

2005) sehingga tidak mampu melakukan active listening

(mendengarkan dengan aktif dan penuh perhatian).

Tugas perawat dalam tahapan ini adalah:

1) Mengeksplorasi perasaan, mendefinisikan harapan dan

mengidentifikasi kecemasan.

2) Menganalisis kekuatan dan kelemahan diri.

3) Mengumpulkan data tentang pasien.

4) Merencanakan pertemuan pertama dengan pasien.

b. Fase Interaksi

Tahap perkenalan dilaksanakan setiap kali pertemuan dengan

pasien dilakukan. Tujuan dalam tahap ini adalah memvalidasi

keakuratan data dan rencana yang telah dibuat sesuai dengan keadaan

pasien saat ini, serta mengevaluasi hasil tindakan yang telah lalu

(Stuart.G.W, 1998).

Tugas perawat dalam tahapan ini adalah:

1) Membina rasa saling percaya, menunjukkan penerimaan dan

komunikasi terbuka.
35

2) Merumuskan kontrak (waktu, tempat pertemuan, dan topik

pembicaraan) bersama-sama dengan pasien dan menjelaskan atau

mengklarifikasi kembali kontrak yang telah disepakati bersama.

3) Menggali pikiran dan perasaan serta mengidentifikasi masalah

pasien yang umumnya dilakukan dengan menggunakan teknik

komunikasi pertanyaan terbuka.

4) Merumuskan tujuan interaksi dengan pasien.

Sangat penting bagi perawat untuk melaksanakan tahapan ini

dengan baik karena tahapan ini merupakan dasar bagi hubungan

terapeutik antara perawat dan pasien.

c. Fase Kerja

Tahap kerja merupakan inti dari keseluruhan proses

komunikasi terapeutik (Stuart,G.W,1998). Tahap kerja merupakan

tahap yang terpanjang dalam komunikasi terapeutik karena didalamnya

perawat dituntut untuk membantu dan mendukung pasien untuk

menyampaikan perasaan dan pikirannya dan kemudian menganalisa

respons ataupun pesan komunikasi verbal dan non verbal yang

disampaikan oleh pasien. Dalam tahap ini pula perawat mendengarkan

secara aktif dan dengan penuh perhatian sehingga mampu membantu

pasien untuk mendefinisikan masalah yang sedang dihadapi oleh

pasien, mencari penyelesaian masalah dan mengevaluasinya.

Dibagian akhir tahap ini, perawat diharapkan mampu

menyimpulkan percakapannya dengan pasien. Teknik menyimpulkan

ini merupakan usaha untuk memadukan dan menegaskan hal-hal


36

penting dalam percakapan, dan membantu perawat dan pasien

memiliki pikiran dan ide yang sama (Murray,B. & Judith,P,1997

dalam Suryani,2005). Dengan dilakukannya penarikan kesimpulan

oleh perawat maka pasien dapat merasakan bahwa keseluruhan pesan

atau perasaan yang telah disampaikannya diterima dengan baik dan

benar-benar dipahami oleh perawat.

d. Fase Terminasi

Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dan pasien.

Tahap terminasi dibagi dua yaitu terminasi sementara dan terminasi

akhir (Stuart,G.W,1998). Terminasi sementara adalah akhir dari tiap

pertemuan perawat dan pasien, setelah hal ini dilakukan perawat dan

pasien masih akan bertemu kembali pada waktu yang berbeda sesuai

dengan kontrak waktu yang telah disepakati bersama. Sedangkan

terminasi akhir dilakukan oleh perawat setelah menyelesaikan seluruh

proses keperawatan.

Tugas perawat dalam tahap ini adalah:

1). Mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah

dilaksanakan (evaluasi objektif). Brammer dan McDonald (1996)

menyatakan bahwa meminta pasien untuk menyimpulkan tentang

apa yang telah didiskusikan merupakan sesuatu yang sangat

berguna pada tahap ini.

2). Melakukan evaluasi subjektif dengan cara menanyakan perasaan

pasien setelah berinteraksi dengan perawat.


37

3). Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan.

Tindak lanjut yang disepakati harus relevan dengan interaksi yang

baru saja dilakukan atau dengan interaksi yang akan dilakukan

selanjutnya. Tindak lanjut dievaluasi dalam tahap orientasi pada

pertemuan berikutnya.

7. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi Terapeutik (Potter

& Perry dalam Nurjanah, 2001, Tamsuri, 2005)

Dalam melakukan sebuah komunikasi salah satunya komunikasi

yang terapeutik dapat dipengaruhi beberapa hal antara lain:

a. Perkembangan.

Perkembangan manusia mempengaruhi bentuk komunikasi

dalam dua aspek yaitu tingkat perkembangan tubuh mempengaruhi

kemampuan untuk menggunakan teknik komunikasi tertentu dan untuk

mempersepsikan pesan yang disampaikan. Agar dapat berkomunikasi

efektif seorang perawat harus mengerti pengaruh perkembangan usia

baik dari sisi bahasa maupun proses berfikir orang tersebut. Adalah

sangat berbeda cara berkomunikasi anak usia remaja dengan anak usia

balita.

b. Persepsi

Persepsi adalah pandangan pribadi seseorang terhadap suatu

kejadian atau peristiwa. Persepsi dibentuk oleh harapan atau

pengalaman. Perbedaan persepsi dapat mengakibatkan terhambatnya

komunikasi.
38

c. Gender

Laki –laki dan perempuan menunjukan gaya komunikasi yang

berbeda dan memiliki interprestasi yang berbeda terhadap suatu

percakapan. Tannen (2001) menyatakan bahwa kaum perempuan

menggunakan teknik komunikasi untuk mencari konfirmasi,

meminimalkan perbedaan dan meningkatkan keintiman, sementara

kaum laki-laki lebih menunjukan independensi dan status dalam

kelompoknya.

d. Nilai

Nilai adalah standar yang mempengaruhi perilaku sehingga

penting bagi perawat untuk menyadari nilai seseorang. Perawat perlu

berusaha mengklarifikasi nilai sehingga dapat membuat keputusan dan

interaksi yang tepat dengan pasien. Dalam hubungan profesionalnya

diharapkan perawat tidak terpengaruh oleh nilai pribadinya.

e. Latar belakang sosial budaya.

Bahasa dan gaya komunikasi akan sangan dipengaruhi oleh

faktor budaya. Budaya juga akan membatasi cara bertindak dan

berkomunikasi.

f. Emosi

Emosi merupakan perasaaan subjektif terhadap suatu

kejadian. Emosi seperti marah, sedih, senang, akan mempengaruhi

perawat dalam berkomunikasi dengan orang lain. Perawat perlu

mengkaji emosi pasien agar dan keluarganya sehingga mampu

memberikan asuhan keperawatan dengan tepat. Selain itu perawat


39

perlu mengevaluasi emosi yang ada pada dirinya agar dapat melakukan

asuhan keperawatan tidak terpengaruh oleh emosi bawah sadarnya.

g. Pengetahuan

Tingkat pengetahuan akan mempengaruhi komunikasi yang

dilakukan. Seseorang dengan tingkat pengetahuan rendah akan sulit

merespon pertanyaan yang mengandung bahasa verbal dengan tingkat

pengetahuan yang lebih tinggi. Hal tersebut berlaku juga dalam

penerapan komunikasi terapeutik di rumah sakit. Hubungan terapeutik

akan terjalin dengan baik jika didukung oleh pengetahuan perawat

tentang komunikasi terapeutik baik tujuan, manfaat, dan proses yang

akan dilakukan. Perawat juga perlu mengetahui tingkat pengetahuan

pasien sehingga perawat dapat berinteraksi dengan baik dan akhirnya

dapat memberikan asuhan keperawatan dengan tepat pada pasien

secara profesional.

h. Peran dan Hubungan

Gaya komunikasi sesuai dengan peran dan hubungan antar

orang yang berkomunikasi. Berbeda dengan komunikasi yang terjadi

dalam pergaulan bebas, komunikasi antar perawat- pasien terjadi

secara formal karena tuntutan profesionalisme.

i. Lingkungan

Lingkungan interksi akan mempengaruhi komunikasi efektif.

Suasana yang bising, tidak ada privasi yang tepat akan menimbulkan

kerancuan, ketegangan dan ketidak nyamanan. Untuk itu perawat perlu

menyiapkan lingkungan yang tepat dan yaman sebelum memulai


40

interaksi dengan pasien. Menurut Cangara H (2004), lingkungan

adalah seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan mempengaruhi

perkembangan dan perilaku orang atau kelompok.

j. Jarak

Jarak dapat mempengaruhi komunikasi. Jarak tertentu

menyediakan rasa aman dan control. Untuk itu perawat perlu

memperhitungkan jarak yang tetap pada saat melakukan hubungan

dengan pasien.

k. Masa Bekerja

Masa bekerja merupakan waktu dimana seseorang mulai

bekerja di tempat kerja. Makin lama seseorang bekerja semakin

banyak pengalaman yang dimilikinya sehingga akan semakin baik

komunikasinya ( Kariyoso, 2004 ).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hubungan

perawat dan pasien yang terapeutik adalah pengalaman belajar dan

perbaikan emosi pasien. Bagi pasien, dalam hal ini perawat memakai

dirinya secara terapeutik dan memakai teknik komunikasi agar

perilaku pasien dapat berubah kearah yang positif seoptimal mungkin.

Perawat harus menganalisa dirinya tentang kesadaran dirinya,

klarifikasi nilai, perasaan, kemampuan sebagai role model agar dapat

berperan secara efektif. Seluruh perilaku dan pesan yang disampaikan

baik secara verbal maupun non verbal bertujuan secara terapeutik

untuk pasien.
41

Kemampuan menerapkan teknik komunikasi memerlukan

latihan dan kepekaan serta ketajaman, karena komunikasi terjadi dalam

dimensi nilai, waktu dan ruang yang turut mempengaruhi kepuasan

pasien. Keberhasilan komunikasi yang terlihat melalui dampak

tercapainya kepuasan pasien dalam menerima asuhan keperawatan

yang berkaitan dengan komunikasi yang juga merupakan kepuasan

perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara profesional.


42

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Kepuasan pasien adalah suatu dasar ukuran kualitas atau mutu

pelayanan keperawatan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi

kepuasan pasien adalah karakteristik produk, kualitas pelayanan,

komunikasi, fasilitas, suasana, harga, desain visual, lokasi dan image.

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara

sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien dan

merupakan cara untuk membina hubungan yang terapeutik dimana terjadi

penyampaian informasi dan pertukaran perasaan dan pikiran dengan maksud

untuk mempengaruhi orang lain.

Kerangka konsep ini menghubungkan komunikasi terapeutik

terhadap tingkat kepuasan pasien. Dimana tingkat kepuasan sebagai variabel

terikat karena sifatnya dipengaruhi sedangkan komunikasi terapeutik

sebagai variabel bebas sifatnya mempengaruhi. Adapun kerangka konsep

dari penelitian ini adalah :

Variabel Independen Variabel dependen

Tingkat Kepuasan :
Komuniasi Terapeutik :
1. Puas
1. Fase Pra Interaksi 2. Tidak Puas
2. Fase Interaksi
3. Fase Kerja
4. Fase Terminasi

Klien
42
43

B. Hipotesa Penelitian

Hipotesa adalah jawaban sementara terhadap masalah yang sedang

diteliti. Hipotesa mempunyai karakteristik sebagai berikut : harus

mengepresikan hubungan antara dua variable atau lebih, harus dinyatakan

secara jelas dan tidak bermakna ganda, harus dapat diuji, maksudnya ialah

memungkinkan untuk diungkapkan dalam bentuk operasional yang dapat di

evaluasi berdasarkan data.

Berdasarkan pertimbangan bahwa penerapan komunikasi terapeutik

dapat memberikan kepuasan kepada pasien, maka disusunlah hipotesis

sebagai berikut:

Ho : Tidak ada hubungan komunikasi terapeutik dengan tingkat kepuasan

pasien.

Ha : Ada hubungan komunikasi terapeutik dengan tingkat kepuasan pasien.


44

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain/rancangan penelitian yang digunakan adalah desain penelitian

deskriptif analitik dengan rancangan cross sectional, dimana hasil penelitian

ini bertujuan untuk melihat hubungan komunikasi terapeutik terhadap

kepuasan pasien di ruangan instalasi gawat darurat RSUD Pariaman Sumatera

Barat. (Notoatmodjo, 2002)

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek

yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2008)

Berdasarkan definisi tersebut maka yang menjadi populasi dalam

penelitian ini adalah pasien yang datang berobat di Instalasi Gawat Darurat

RSUD Pariaman dengan kategori usia dewasa antara 20-65 tahun sebanyak

115 orang.

2. Sampel

Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik

yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2008). Dalam hal ini yang

44
45

menjadi sampel adalah pasien yang datang berobat ke instalasi gawat

darurat RSUD Pariaman. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 90

orang responden, pengambilan sampel dengan menggunakan rumus :

n= N
1 + N (d²)

Keterangan :

n = Jumlah sampel

N =Jumlah populasi

d² = Ketepatan yang diinginkan (0,05)

n= 115 = 115 = 115 = 89,35 = 90 Responden


1 + 115 (0,05²) 1 + 0,287 1,287

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan teknik Purposive Sampling yaitu suatu teknik penetapan

sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai yang

dikehendaki peneliti, sehingga sampel tersebut dapat mewakili

karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2001).

Kriteria inklusi sebagai berikut :

a. Pasien atau keluarga yang bersedia jadi responden yang berusia 20 –

65 Th.

b. Pasien atau keluarga yang dapat membaca dan menulis.

c. Pasien yang sadar penuh (kompos mentis).


46

d. Pasien yang tidak mengalami gangguan psikologis, diketahui dengan

cara melihat perilaku yang ditunjukkan pasien, kontak komunikasi dan

isi komunikasi.

Kriteria eksklusi :

a. Pasien atau keluarga yang tidak bersedia jadi responden

b. Tidak bisa membaca dan menulis

c. Pasien yang mengalami gangguan psikologis

d. Pasien yang berobat ke polyklinik

C. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di ruangan instalasi gawat darurat RSUD

Pariaman dilakukan pada bulan Januari 2013 sampai Januari 2014.


47

D. Variabel Penelitian

Definisi Cara Skala Hasil


No Variabel Alat Ukur
Operasional Ukur Ukur Ukur
1. Tingkat Ungkapan perasaan Kuesioner Angket Ordinal Puas ≥
Kepuasan senang responden 90%
terhadap pelayanan Tidak puas
yang diberikan < 90%
dengan
membandingkan
persepsi dan
harapan

2. Komunikasi Proses Kuesioner Angket Ordinal Baik ≥


Terapeutik penyampaian 70%
informasi yang Kurang
diberikan oleh Baik <
perawat kepada 70%
responden yang
bertujuan untuk
kesembuhan pasien
melalui tahap-tahap
komunikasi
terapeutik

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian

ini berupa kuesioner yang memuat 45 pernyataan. Instrumen ini terdiri dari 21

pernyataan tentang tingkat kepuasan yang diambil dari Supranto, MA (2006)

dan 24 pernyataan tentang komunikasi terapeutik yang diambil dari Suryani

(2006) yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan keadaan yang ada

diruangan instalasi gawat darurat RSUD Pariaman.


48

F. Etika Penelitian

Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti mengajukan izin ke

RSUD Pariaman Sumatera Barat. Setelah mendapat izin penelitian, peneliti

mulai menyebarkan angket kepada responden yang telah ditunjuk. Dalam hal

ini setiap responden diberi hak apakah dia bersedia atau menolak menjadi

subjek penelitian dengan cara menandatangani lembar pernyataan persetujuan

yang telah disiapkan oleh peneliti. Responden berhak bila sewaktu-waktu

mengundurkan diri tanpa adanya sanksi atau kehilangan haknya. Penggunaan

instrument dengan kuesioner diharapkan responden lebih bebas

menyampaikan pendapatnya tanpa diketahui/paksaan orang lain. Kemudian

peneliti juga melakukan pendekatan terhadap calon responden yang sesuai

dengan kriteria, setelah itu peneliti menjelaskan tentang tujuan penelitian dan

manfaat penelitian, dan mengharap kesediaan responden untuk berpartisipasi

selama penelitian. Responden akan dijamin hak dan kerahasiannya selama

keikutsertaannya dalam penelitian yaitu :

a. Apabila responden menolak, peneliti tidak akan memaksakan responden

dan peneliti harus menghormati hak responden. Responden dapat

mengakhiri keikutsertaannya selama penelitian berjalan.

b. Lembar kuesioner tidak memuat nama responden, tetapi hanya kode dan

nomor responden dan hanya peneliti dan pembimbing penelitian yang

mengetahui. Setelah peneliti memberikan informasi dan calon responden

setuju dalam penelitian maka responden diminta untuk menandatangani

lembar persetujuan.
49

c. Lembar persetujuan, dan berkas kuesioner hanya dapat dilihat oleh peneliti

dan pembimbing dan akan disimpan ditempat yang aman selama

diperlukan, dan setelah itu akan dimusnahkan.

G. Teknik Pengumpulan Data.

1. Data Primer

Data primer yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data yang didapatkan

oleh peneliti sendiri langsung dari keluhan pasien, keluarga pasien dengan

menggunakan teknik wawancara dan pengamatan langsung dirumah sakit

untuk mengetahui kepuasan pasien terhadap komunikasi perawat

2. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui pencatatan bagian

rekam medik RSUD Pariaman tahun 2012 dan dari hasil penelitian

terdahulu.

H. Pengolahan Data

1. Editing / Mengedit Data

Data yang masuk diperiksa apakah terdapat kekeliruan didalam

pengisiannya atau kemungkinan tidak lengkap dalam pengisian. Tujuan

kegiatan ini adalah untuk mencek setiap pertanyaan yang telah diisi

tentang kelengkapan isi, apakah tulisannya cukup jelas dibaca, relevan

dengan pertanyaan dan konsisten antara daftar pertanyaan dan pengisian

jawaban
50

2. Koding /Mengkode Data

Pada tahap ini dilakukan pemberian kode informasi yang telah

dikumpulkan pada setiap pertanyaan kuesioner, pemberian simbol, tanda

atau kode terhadap informasi yang dikumpulkan untuk memudahkan

pengolahan data.

3. Processing / Memproses

Pada tahap ini dilakukan kegiatan memproses data terhadap kuesioner yng

benar dan lengkap untuk dianalisa, memproses data agar dapat dianalisa

dilakukan dengan cara meng-entry data dari kuesioner kepaket program

komputer

4. Cleaning / Pembersihan

Langkah ini merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di

Entry apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan tersebut mungkin

terjadi pada saat kita meng-entry data.

I. Analisis Data

Data yang sudah tersedia dianalisa untuk menghubungkan komunikasi

terapeutik terhadap tingkat kepuasan pasien melalui jumlah yang telah dihitung

sesuai dengan perhitungan strata sampel, yaitu : pasien yang datang berobat

dan dirawat di ruangan instalasi gawat darurat RSUD Pariaman. Data akan

bermakna jika telah dianalisis, untuk itu perlu perhitungan dengan

menggunakan statistik. Berdasarkan tujuan penelitian ini, digunakan dua cara

perhitungan yaitu; univariat dan bivariat.


51

1. Analisa Univariat.

Jawaban dari variabel independen dan variabel dependen akan ditampilkan

dalam bentuk persentase, karena data yang digunakan dalam penelitian ini

termasuk kedalam kategori data kategorik. Pada data kategorik,

peringkasan data menggunakan distribusi frekuensi dengan ukuran

persentase (Hastono, 2001).

a. Tingkat Kepuasan :

Xi
Tki x 100%
Yi

Ket :

Tki = Tingkat kepuasan pasien

Xi = Skor persepsi terhadap layanan kesehatan yang diterima

Yi = Skor harapan pasien terhadap layanan kesehatan

Puas : jika nilai ≥ 90%

Tidak puas : jika nilai < 90% (LAN dan BPKP)

b. Komunikasi Terapeutik :

f
P= x 100 %
n

Ket : P = Nilai persentase responden

f = Frekwensi

n = Jumlah Responden (LAN dan BPKP)

Baik : jika nilai ≥ 70%

Kurang baik : jika nilai < 70%


52

2. Analisa Bivariat

Analisa ini digunakan untuk melihat hubungan dari variabel independen

dengan variabel dependen, menggunakan uji statistik chi square, dengan

derajat kepercayaan 95% (p<0,05), digunakan batas bermakna 5% (α =

0,05). Pembuktian dengan uji chi square kuadrat dengan menggunakan :

X 
2 O  E 2
E
Keterangan:
 O = frekuensi yang diamati.

 E = Nilai ekspektasi/harapan

 X² = Nilai chi square

 ∑ = Jumlah/total

Hasil analisa dilakukan secara bermakna

Bila X² hitung > X² tabel = HO ditolak (p<0,05)

Bila X² hitung < X² tabel = HO gagal tolak (p>0,05) (Dahlan, 2004)

Anda mungkin juga menyukai