About
Cari
NASEHAT IDEOLOGIS
Defining, Transferring and Follow -up The Critical Knowledge
Feeds:
Pos
Komentar
« Potensi Demografi Muslim Bagi Kebangkitan Kembali Negara Khilafah
Solusi Islam dalam Mengatasi Krisis Pangan »
Rate This
Pengantar
84 tahun yang lalu, sebuah bencana besar menimpa kaum muslim, dan sebuah kejahatan yang
mengerikan telah menimpa generasi-generasi setelahnya, sebuah kejahatan yang layak disebut
sebagai induk segala bentuk kejahatan. Kejahatan itu adalah tindakan penghancuran Khilafah
Islam serta penyingkiran kitab Allah SWT dan sunnah Rasul-Nya saw. dalam aspek pemerintahan
sekaligus sebagai pokok rujukan bagi umat Islam. Akibatnya kaum muslim memperoleh
kemurkaan Allah dari langit dan bumi, karena mereka telah mengganti syariat Allah SWT di
dunia.
Akibat kemurkaannya di dunia, bukti-buktinya dapat dirasakan dan hasil-hasilnya tidak bisa
dihindarkan oleh kita: dominasi orang-orang dan negara kafir atas kaum muslim, terpecah
penting seperti pangan pun dikuasainya. Bahkan lebih dari itu merekapun banyak yang dibunuh,
Hancurnya negara khilafah telah berakibat pada terhentinya pengaturan pengaturan urusan
umat berdasarkan sistem dan hukum Islam serta terkuburnya segala tindakan yang sesuai
dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Dan diantara kejahatan besar tersebut salah satunya adalah
dengan menyerahkan pengaturan sistem politik pertanian yang merupakan salah satu sumber
primer ekonomi kepada otoritas kafir untuk dikuasai. Sebagai akibatnya, kelaparan saat ini
mengancam dihampir seluruh negara negara berkembang yang notabene merupakan negeri-
negeri islam.
Dari berbagai kajian beberapa bulan dan minggu-minggu terakhir ini, gejala yang mengarah
krisis pangan 2008 semakin menguat. Krisis global yang akan terjadi bukan karena harga
minyak bumi yang meroket di atas 100 dollar AS per barrel, melainkan karena ketidaktersediaan
pangan. Ditengarai krisis ini akan menimpa 36 negara di dunia, termasuk Indonesia. Dan para
analis menyimpulkan bahwa krisis pangan ini akan menjadi krisis global terbesar abad ke-21
Salah satu indikator terjadinya krisis pangan adalah tingginya tingkat harga komoditi hingga
pada taraf yang mencengangkan. Dalam hal ini, data-data inflasi berbagai komoditas pangan
diperoleh dari beberapa negara miskin dan berkembang, seperti Afrika, Timur Tengah, Asia
Selatan, Asia Tenggara dan Amerika Selatan. Tercatat, harga seluruh pangan meningkat pada
angka fantastis 75 persen dibandingkan dengan tahun 2000. Beberapa komoditas bahkan lebih
dari 200 %. Harga beras di Thailand, negara eksportir terbesar, saat ini saja naik hingga
USD1.000/ton metrik, hampir tiga kali lipat dibandingkan harga pada awal
tahun. http://economy.okezone.com.
Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Dr Jacques Diouf dalam
konferensi persnya di Kantor Pusat FAO di Roma menyatakan, bahwa tingginya harga pangan
akan memberikan dampak yang sangat serius berupa ancaman kelaparan akibat meningkatnya
defisit pangan (dunia ketiga). Hal ini diperkuat dengan data WFP (World Food Program) PBB
yang memperkirakan 800 juta jiwa dari 5,67 milyar penduduk dunia menderita kurang pangan,
sementara 100 juta orang diantaranya sudah memasuki kategori kelaparan. Pada tahun ini
angka kelaparan di dunia itu justru meningkat menjadi 853 juta jiwa (2007), sementara 200 juta
Kondisi ini kemudian memicu aksi protes di berbagai belahan dunia, yang nyaris mengarah pada
krisis social dan politik, terutama di negara-negara yang berada di kawasan tersebut. Pada bulan
Oktober 2007, terjadi demonstrasi besar di Bengali Barat, India, disusul di Senegal, Mauritania,
Meksiko, dan Yaman. Di Kamerun pada bulan Januari 2008 terjadi kerusuhan besar yang
memakan korban meninggal 20 orang, kemudian pada bulan yang sama di Burkina Faso, Afrika
Barat. Di Indonesia, Malaysia, Filipina, Inggris, dan Skotlandia berbagai demonstrasi akibat krisis
pangan pun terjadi meski tak semasif sebagaimana yang berlangsung di Afrika. Sementara di
Haiti protes berlangsung dengan kekerasan yang berakhir pada impeachment Perdana
Adapun IMF menyatakan bukan tidak mungkin, fenomena ini akan berakibat sangat buruk,
termasuk perang. “Kalau harga makanan terus naik seperti ini, konsekuensinya sangat buruk.
Ratusan ribu orang akan kelaparan dan bisa mengganggu iklim ekonomi dunia. Pembangunan
yang sudah diupayakan dalam lima sampai 10 tahun terakhir bisa hancur total. Dan belajar dari
masa lalu, masalah-masalah seperti ini kadang berakhir dengan perang”, tegas Managing
Director IMF Dominique Strauss-Kahn, seperti dikutip AFP, Minggu (13/4/2008). Bank Dunia pun
awal april lalu mengumumkan 33 negara terancam keresahan sosial akibat tingginya harga
bahan pangan. Seluruhnya ada 37 negara, dengan jumlah terbesar di Afrika (20 negara), disusul
Di Indonesia sendiri, masalah ketahanan pangan telah menjadi isu penting sejak beberapa tahun
terakhir. Terlebih, sekalipun tidak termasuk kelompok Low Income Food Deficit
Countries (LIFDCs), FAO telah mengkatagorikan negeri ini ke dalam daftar negara-negara krisis
Naiknya harga minyak dunia yang kini menyentuh level USD120/barel seharusnya tentu
membawa dampak positif bagi produsen minyak. Namun bagi Indonesia yang merupakan negara
produsen sekaligus pengimpor minyak, hal ini tidak terjadi. Indonesia malah harus rela mereguk
dampak buruk kenaikan harga minyak dunia yang memicu angka inflasi berbagai kebutuhan
pokok dunia dan pada akhirnya memicu inflasi harga pangan di Indonesia hingga 13%. Sebagai
contoh, saat ini harga beras sudah mencapai kisaran Rp 5000/kg, sementara harga gabah kering
panen (GKP) di tingkat petani Rp 1.400 per kilogram dan harga gabah kering giling (GKG) tak
lebih dari Rp 2.200. Padahal, berdasarkan Inpres No 3/2007 tentang Kebijakan Perberasan
Nasional, harga GKP seharusnya Rp 2.000/kg, GKG Rp 2.575, sementara harga beras
Masalahnya daya beli masyarakat juga betul-betul sangat rendah akibat penerapan berbagai
kebijakan ekonomi pro kapitalis/pro liberal yang berhasil memiskinkan rakyat secara structural.
Kenaikan harga BBM, privatisasi sector-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak semisal
pendidikan kesehatan, listrik, air dll adalah contoh kebijakan-kebijakan pro lib, di bawah diktean
WTO, IMF dan Bank Dunia, yang jelas-jelas telah membawa dampak yang begitu berat atas
kondisi ekonomi masyarakat. Adanya kenaikan harga pangan dunia tentunya kian memperburuk
keadaan. Masyarakat kian kesulitan mendapatkan kebutuhan pokoknya yang berarti tambahan
daftar panjang orang miskin di Indonesia. Terkait hal ini Presiden Bank Dunia, Robert Zoellick
menuturkan, ”Sebuah penilaian terkini di Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 3/4 orang
miskin merupakan pembeli beras sepenuhnya. Peningkatan harga beras relatif sebesar 10 %
akan menghasilkan tambahan dua juta orang miskin, yakni sekitar 1% dari jumlah penduduk”.
Tak hanya itu, kondisi krisis diatas diperparah dengan fakta kelangkaan barang akibat problem
distribusi dan produksi komoditas pangan. Tak jarang untuk mendapatkan kebutuhan pokoknya
Terkait masalah distribusi, pola/rantai distribusi pertanian senyatanya memang masih sangat
panjang yang tak jarang berpengaruh terhadap tingkat harga. Panjangnya rantai distribusi ini
bisa diakibatkan oleh bervariasinya kemampuan produksi pangan antar wilayah antar musim
serta jarak dan aksesibilitas antar wilayah yang belum terpecahkan, maraknya praktek
penimbunan yang dilakukan para spekulan, maupun akibat pola distribusi pangan yang
diterapkan pemerintah saat ini. Sebagaimana diketahui, untuk mempermudah distribusi bahan
Sayangnya pola distribusi yang dijalankan lembaga ini selain belum efektif pelaksaannya, juga
sangat kental dengan unsur kapitalistik. Bulog yang seharusnya berfungsi sebagai stabilisator
ketersediaan bahan pangan pokok untuk kepentingan rakyat (Public Service Obligation/PSO)
malah bertindak sebagai pedagang yang cari untung. Hal ini memang sejalan dengan saran
biang kapitalis IMF dalam Letter of Intent yang ditandatanganinya bersama pemerintah pada
tahun 1998 yang menekankan keharusan Bulog menjalankan kedua fungsi itu.
Adapun terkait masalah produksi, pada faktanya tingkat produktivitas pangan di Indonesia
memang terus merosot. Tercatat, rata–rata produktivitas padi hanya 4,4 ton/ha, sementara
jagung hanya 3,2 ton /ha. Jika dibandingkan dengan negara produsen pangan lain di dunia
khususnya beras, produktivitas padi di Indonesia ada pada peringkat ke 29. Dalam hal ini,
Pemerintah sebenarnya bukan tidak berusaha sama sekali. Hanya saja berbagai program yang
dicanangkan alih-alih mampu meningkatkan produksi pangan, malah arahnyapun kian tidak
jelas. Program ekstensifikasi pertanian yang dulu –antara lain—digalakan melalui program
transmigrasi dan pembukaan lahan sawah sejuta hektar misalnya, nasibnya juga tidak jelas,
terutama pasca penerapan otonomi daerah, dimana tak sedikit daerah yang justru menolak
program-program tersebut. Disisi lain, konversi lahan di daerah-daerah subur terus terjadi. Di
Pantai Utara, Barat sampai Timur Pulau Jawa misalnya, tiap tahun terjadi konversi lahan
pertanian beririgasi tidak kurang dari 500 ha. Padahal, lahan beririgasi Indonesia yang sebesar
10.794.22 ha setengahnya berada di pulau Jawa, dan telah menyumbangkan padi sebanyak
48.201.136 ton, lebih dari setengah kebutuhan padi Indonesia. Dapat kita bayangkan, konversi
Begitupun dengan program intensifikasi pertanian yang tetap tak mampu mendongkrak tingkat
produksi pangan. Ditengarai, tetap rendahnya produktivitas ini terjadi karena pilihan terhadap
metode peningkatan produksi seringkali tidak didasari oleh pertimbangan ketepatan dengan
negara maju atasnama program bantuan pertanian FAO, Bank Dunia dan Bank – Bank
pembangunan nasional lainnya. Diketahui, mulai dari penggunaan bibit unggul, system
pengairan, pupuk, dan anti hama (pestisida) memang di dominasi oleh perusahan-perusahaan
besar yang menguasai 60 % pasaran dunia seperti Ciba-Gergy, Monsanto, Pfizer, Sandoz,
Cargill, Shell, ITT, General Foods. Kondisi ini dikuatkan oleh keberpihakan pemerintah terhadap
sector pertanian sebagai penyedia kebutuhan pangan yang juga sering kalah oleh industri atau
pertanian berorientasi ekspor yang menghasilkan devisa untuk membiayai impornya dan akibat
desakan Bank Dunia, IMF dan Lembaga Bantuan Internasional lainnya demi kelancaran
pembayaran bunga dan cician utangnya. Tidak mengherankan jika dana dan perhatian terhadap
pertanian tanaman pangan untuk kebutuhan sendiri (food crops) sering tersisihkan oleh tanaman
untuk dijual (cash crops). Sebagai contoh, dana penelitian untuk menghasilkan bibit unggul local
sangat minim sehingga bibit lokal selalu kalah bersaing dengan bibit unggul dari luar dan
berakibat menurunnya produksi pangan. Kondisi ini kemudian diperparah dengan penerapan
kebijakan swastanisasi penguasaan air sebagai milik umum, atau pada kondisi tertentu
pemerintah menyerahkan pengurusan air dan sarana irigasi kepada petani, padahal umumnya
Faktor Penyebab
Menurut Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Dr. Jacques Diouf, ada lima
faktor utama yang menyebabkan harga pangan melambung dan mengarah pada krisis saat ini.
Kelima faktor tersebut adalah, pertama, meningkatnya kebutuhan bahan pangan di negara-
negara yang sedang tumbuh ekonominya seperti Cina dan India, baik dari segi kualitas maupun
stok pangan dunia yang diperkirakan akan turun menjadi 405 juta ton pada akhir
2008; keempat, adanya bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan badai yang terkait dengan
adanya perubahan iklim global yang berakibat gagalnya panen secara besar-besaran di Negara
yang terkena bencana; dan kelima, adanya kebutuhan sereal untuk bioenergi, dimana saat ini
saja sekitar 14 juta hektare lahan telah digunakan untuk produksi biofuel cair, atau setara
dengan 1% dari lahan dunia yang dapat dibudidayakan, dan ini dapat meningkat menjadi 2,5-
3,8% tahun 2030. Ini berarti pasokan pangan yang cukup dapat terancam oleh produksi
bioenergi jika lahan dan sumber daya produktif lainnya beralih dari budi daya tanaman untuk
Selain kelima factor tersebut, adanya bursa komoditi juga ditengarai memicu krisis pangan. Saat
ini, bursa komoditi pangan memang menjadi hal yang menggiurkan mengingat saat ini,
komoditas pangan semakin menjadi komoditas strategis dunia sejalan dengan peningkatan
populasi penduduk yang sangat cepat dan usaha meningkatkan gizi yang maksimal di setiap
negara. Kondisi ini cukup menarik perhatian para spekulan untuk bermain tarik untung pada
komoditas yang sangat strategis ini. Akibatnya, konsumen berada pada posisi tak diuntungkan,
karena komoditas pangan yang sangat mereka butuhkan dikendalikan oleh tangan para
spekulan, termasuk dalam masalah harga. Beginilah bahayanya jika masalah yang menyangkut
hidup dan matinya suatu bangsa kemudian dijadikan komoditas yang dikomersilkan.
Dari semua faktor yang diklaim sebagai penyebab krisis tadi, setidaknya bisa ditarik kesimpulan
tentang kemungkinan mengapa krisis pangan bisa terjadi. Kemungkinan pertama, jumlah
pangan tidak mencukupi kebutuhan seluruh populasi manusia, sehingga ada sebagian orang
yang terpaksa tidak mendapatkan bagian makanan. Kemungkinan kedua, jumlah bahan pangan
sebenarnya cukup, akan tetapi harganya terlalu tinggi. Akibatnya, ada sebagian orang yang
Kemungkinan pertama bahwa krisis disebabkan oleh ketidakcukupan bahan pangan sangat
diragukan. Sebab dunia sebenarnya memiliki potensi pangan yang sangat besar dan beragam,
serta pertambahan pasar pangan yang juga sangat besar dan terus berkembang. Dan faktanya,
jumlah pangan dunia memang cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh populasi penduduk
dunia. Sebagai bukti, pada bulan Mei 1990, FAO telah mengumumkan hasil studinya bahwa
produksi pangan dunia ternyata mengalami surplus 10% untuk dapat mencukupi seluruh
populasi penduduk dunia. Bahkan dikatakan bahwa jika dimisalkan sejak akhir perang dunia ke-
2, jumlah penduduk dunia meningkat dua kali lipat, maka pada saat yang sama jumlah produksi
pangan dunia justru meningkat tiga kali lipat. Hanya saja, memang menjadi pertanyaan jika
dalam kondisi seperti itu ternyata tetap saja ada sejumlah populasi manusia di dunia yang tidak
terpenuhi kebutuhan pangannya hingga terjadi kelaparan, seperti terjadi di Ethiopia, misalnya.
Bukti lain juga dapat dilihat dalam konteks Indonesia. Saat ini jumlah produksi beras nasional
sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan; Namun dalam kondisi seperti ini, ternyata tidak
berarti di Indonesia juga tidak ada lagi krisis pangan, sebab faktanya masih banyak dijumpai
kasus kelaparan dan gizi buruk di beberapa daerah. Pertanyaannya, kenapa bisa demikian?
tampak nyata, dengan dihasilkannya lebih dari separuh poduksi pangan dunia oleh negara-ngara
maju, padahal kawasan-kawasan negara maju itu hanya berpenghuni sepertiga dari penduduk
dunia. Negara-negara maju menghasilkan produksi pangan dua setengah kali lipat lebih dari
penerapan liberalisasi perdagangan telah membuat mereka tetap dapat menikmati stok pangan
dunia –yang sebagian besarnya mereka produksi– tanpa risau. Negara yang banyak menikmati
bahan pangan dunia ini yaitu Jepang, Amerika Serikat, Negara-Negara Eropa Barat yang masuk
dalam daftar Uni Eropa. Sementara bagi negara-negara seperti Indonesia tekanan liberalisasi
perdagangan, justru hanya bisa memaksa mereka untuk membuka pasar domestiknya ditengah
kondisi pertanian dan perekonomian secara umum yang daya saingnya amat rendah. Dengan
demikian, negara-negara seperti ini tidak begitu ‘diuntungkan’ oleh adanya surplus produksi
pangan dunia.
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa krisis pangan dunia bukan disebabkan oleh kurangnya
ketersediaan pangan. Lantas apakah berarti disebabkan kemungkinan kedua, yaitu tingginya
harga pangan yang mengakibatkan sebagian orang tidak mampu untuk memilikinya?
Sebenarnya, berapa pun tingginya harga bahan pangan, tidak akan menjadi masalah –atau
dengan kata lain tidak akan menyebabkan krisis– selama semua lapisan masyarakat mampu
membelinya. Namun dalam faktanya senantiasa ada di tengah masyarakat orang-orang yang
mampu dan tidak mampu. Masalahnya kemudian muncul ketika masyarakat yang tidak mampu
tadi tetap “dipaksa” untuk mendapatkan bahan makanan dengan cara membeli barang yang
tidak terjangkau harganya. Sehingga dengan mekanisme ini, seseorang seolah tidak berhak
makan jika dia tidak mampu menjangkau harga bahan pangan tesebut.
Inilah yang terjadi dalam sistem kapitalis, dimana harga dijadikan sebagai pengendali tunggal
distribusi barang di tengah masyarakat. Hargalah yang akan menentukan siapa-siapa yang
berhak mendapatkan barang dengan kualitas dan kuantitas tertentu, dan siapa yang tidak
berhak mendapatkannya sama sekali. Orang yang mampu membeli barang dengan harga tinggi,
dia akan mendapatkan barang dengan kualitas dan kuantitas yang diinginkannya. Sementara itu
orang yang sama sekali tidak mampu menjangkau harga barang tersebut, dia tidak berhak
mendapatkannya, meskipun barang itu merupakan kebutuhan pokok baginya. Dalam kondisi
Dengan analisa demikian, jelaslah bahwa menjadikan harga sebagai unsur pengendali tunggal
distribusi telah mengakibatkan buruknya distribusi barang di tengah masyarakat yang berpotensi
menimbulkan terjadinya krisis sosial. Sehingga jelas pula, bahwa secara fundamental krisis
pangan saat ini bukan disebabkan oleh kenaikan harga pangan yang dipengaruhi klaim-klaim
faktor diatas, melainkan lebih disebabkan oleh distribusi yang buruk yang menjadi ciri
utama dari kebijakan sistem kapitalis yang diterapkan sebagai grandrules hubungan
ekonomi internasional. Distribusi yang buruk itulah yang menjadikan sebagian masyarakat tidak
mampu, tidak mendapatkan hak untuk makan. Karena itu wajar jika fenomena krisis pangan ini
tidak hanya terjadi di negara yang mengalami kelangkaan bahan pangan saja, akan tetapi juga
Selain factor paradigmatic diatas, krisis pangan juga terjadi akibat negara kurang (bahkan tidak)
kapitalis oleh Negara secara otomatis memposisikan hubungan penguasa dan rakyat sebatas
hubungan pembeli dan penjual, bukan sebagai pengurus dan yang diurus. Dalam kasus pangan
di Indonesia misalnya, pemerintah sudah berencana mengekspor beras jika stok beras mencapai
3 juta ton. Apakah ini berarti sudah tidak ada lagi rakyat Indonesia yang kelaparan? Fakta
menunjukkan bahwa di berbagai daerah di Indonesia masih banyak dijumpai masyarakat yang
tidak makan, meskipun hanya satu kali sehari, bahkan ada yang sampai mati kelaparan. Tampak
di sini bahwa pemerintah lebih memilih mengekspor beras ke luar negeri karena harganya yang
tinggi daripada menjual beras murah atau membagikan secara gratis kepada rakyatnya sendiri.
Ini lagi-lagi membuktikan betapa buruknya sistem kapitalis, dimana harga dijadikan sebagai
unsur tunggal pengendali distribusi barang di tengah masyarakat. Semestinya harga tidak
dijadikan sebagai pengendali distribusi barang, apalagi barang kebutuhan pokok seperti bahan
pangan. Sebab jika harga dijadikan sebagai pengendali distribusi barang maka pemenuhan
kebutuhan pokok bagi seseorang tidak bisa diwakili oleh orang lain sehingga akan senantiasa
ada orang-orang yang tidak mendapatkan akses untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Hal ini
tentu sangat berbahaya dan merupakan kedzaliman, karena kebutuhan pokok merupakan
barang keperluan mendasar yang diperlukan oleh masyarakat individu per individu yang
seharusnya menjadi kewajiban Negara untuk memenuhinya. Terlebih, jika krisis pangan ini
dibiarkan terus terjadi, dampaknya akan fatal, baik berupa krisis social maupun ancaman lost
generation terutama di Negara-negara dunia ketiga yang notabene mayoritasnya adalah negeri-
Hal lain dari aspek ini adalah ketidakberdayaan Negara untuk menentukan sikap dihadapan
tekanan asing. Penerapan kapitalisme secara sadar bahkan telah menggiring negeri ini untuk
masuk perangkap negara-negara adidaya melalui lembaga-lembaga dunia ciptaannya dalam apa
yang disebut agenda liberalisasi pasar dan agenda-agenda liberalisasi kapitalistik lainnya;
kepada negara maju dan sebaliknya memberi legalisasi eksploitasi negara maju atas negara-
negara terbelakang. Sebagai contoh adalah bagaimana pemerintah dipaksa menerima agenda
Washington.
Privatisasi; Akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti yang
sering didengungkan oleh pemerintah, para analis dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata negara
dan rakyat suatu bangsa yang tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur
produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangannya. Saat ini di sektor pangan, dunia sangat
tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa. Fakta di
Inddonesia, Bulog diprivatisasi, dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor)
dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika
tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi
ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh
Liberalisasi; krisis pangan juga disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan
urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan
pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO).
Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Di Indonesia upaya liberalisasi
terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat sudah dijalankan.
Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0 persen seperti kedelai (1998,
2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah,
irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara-negara
meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik
kita hancur (1995 hingga kini). Hal ini jelas membunuh petani kita.
Deregulasi; beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan
pertanian rakyat. Seperti contoh pemerintah Indonesia membuat UU No. 1/1967 tentang PMA,
UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang
Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan
kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin
terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan
koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Program
RUU Pengelolaan Lahan Pertanian abadi yang secara sadar pemerintah tengah mendesain
komoditisasi tanah pertanian dan menciptakan regulasi yang mendorong kemudahan investor
korporasi pertanian pangan dengan diberi jaminan dan kepastian hukum tentang areal abadi
pertanian pangan, dan berbagai insentif fiskal yang menguntungkan investor. Jika demikian,
draft UU ini sesungguhnya menggunakan dalih melindungi lahan pertanian pangan abadi untuk
semakin mudah dilirik investor dan membuka jalan bagi kehadiran korporasi pertanian kedalam
sistem pertanian pangan kita. Sementara, pemilik lahan gurem didorong menjadi buruh tani.
Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar internasional
(harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola produksi-distribusi-konsumsi
secara internasional, kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya
bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998, susu
pada tahun 2007, dan minyak goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada
beberapa komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar
Jadi, demikian jelas bahwa krisis pangan saat ini secara fundamental tidak disebabkan oleh
kenaikan harga bahan pangan bahwa yang dipengaruhi oleh lima faktor di atas, akan tetapi lebih
disebabkan oleh penerapan sistem kapitalisme termasuk dalam kebijakan sektor pertanian
sebagai sumber ketersediaan pangan. Inilah pandangan nyata yang saat ini sering kita temui
diseluruh dunia, terutama di negeri-negeri Islam. Sejatinya melalui penguasaan aspek strategis
pangan ini, korporasi kapitalis akan semakin diuntungkan, dan kebangkitan umat Islam dapat
dihancurkan sedini mungkin. Lantas harus bagaimana? Solusinya sudah jelas, kembali kepada
Dengan demikian tugas Negara adalah menjamin semua kebutuhan pokok bagi rakyatnya,
termasuk pangan. Karena demikian pentingnya maka Daulah Khilafah Islam akan menjamin
persediaan pangan ini, dalam kondisi apapun. Dan tugas mengupayakan kebutuhan primer
Dalam hal ini negara akan memberikan subsidi yang besar bagi para petani agar mereka dapat
memproduksi pangan, agar biaya produksi ringan, sehingga keuntungan yang mereka peroleh
juga besar. Sebab, pangan adalah masalah strategis, dimana negara tidak boleh tergantung
kepada negara lain. Ketergantungan pangan terhadap Negara lain bisa mengakibatkan Negara
masyarakatnya? Jawabannya ada dalam politik pertanian Khilafah, yang diarahkan untuk
peningkatan produksi pertanian dan kebijakan pendistribusian yang adil, sehingga kebutuhan
Dalam pandangan Islam, sektor pertanian merupakan salah satu sumber primer ekonomi di
samping perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia (jasa). Dengan demikian pertanian
merupakan salah satu pilar ekonomi yang apabila permasalahan pertanian tidak dapat
suatu negara menjadi lemah dan berada dalam ketergantungan pada negara lain. Oleh karena
itu tentunya, kebijakan pangan Khilafah harus dijaga dari unsur dominasi dan dikte negara
Oleh karenanya perhatian khilafah pun akan dicurahkan untuk mengoptimalisasikan pengelolaan
pertanian ini,agar kebutuhan pangan untuk rakyat terpenuhi. Langkah optimalisasi pengelolaan
ini dilaksanakan dengan beberapa kebijakan yang harus sesuai dengan ketetapan hukum syara,
agar kesejahteraan dan keadilan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat khilafah Islam tanpa
terkecuali.
Intensifikasi pertanian dicapai dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia.
budidaya terbaru di kalangan para petani; membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih
unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya. Sekali lagi, pilihan atas teknologi serta
sarana produksi pertanian yang digunakan harus berdasarkan IPTEK yang dikuasai, bukan atas
oleh—pihak asing dalam pengelolaan pertanian Negara dapat dihindarkan. Dalam permodalan,
Negara harus memberikan modal bagi siapa saja yang tidak mampu, sebagai hibah (hadiah),
bukan sebagai hutang. Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Maal (kas
Negara) kepada para petani di Irak, yang dapat membantu mereka untuk menggarap tanah
pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka, tanpa meminta imbalan dari mereka. Di samping
itu, Negara harus melindungi air sebagai milik umum, dan sebagai input produksi pertanian.
Siapa saja yang memiliki sebidang tanah, hendaklah dia menanaminya, atau hendaklah ia
memberikan kepada saudarnya. Apabila ia mengabaikannya, hendaklah tanahya diambil. [HR al-
2. Setiap orang yang memiliki tanah akan diperintahkan untuk mengelola tanahnya secara
optimal. Bagi siapa saja yang membutuhkan biaya untuk perawatan tanah tersebut, akan diberi
modal dari Baitul Maal (kas Negara), sehingga yang bersangkutan bisa mengelola tanahnya
secara optimal. Namun, apabila orang yang bersangkutan mengabaikannya selama 3 tahun,
maka tanah tersebut akan diambil alih dan diberikan kepada yang lain. Umar bin al-Khaththab
pernah mengatakan: “Orang yang memagari tanah tidak berhak atas tanah yang dipagarinya
Islam memandang individu sebagai manusia yang harus dipenuhi kebuthan-kebuthan primernya
secara menyeluruh. Penataan distribusi kekayaan oleh negara Khilafah dilaksanakan dalam
keseluruhan sistemnya, mulai dari penentuan kepemilikan harta kekayaan, pengelolaannya, dan
mengalami kesenjangan antar individu, negara dalam hal ini khalifah diwajibkan
dengan cara memberikan harta negara yang menjadi hak miliknya kepada orang-orang yang
memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya. Dan kesemua itu dilaksanakan melalui
mekanisme yang cepat, pendek, dan merata sehingga seluruh individu rakyat dapat dengan
mudah memperoleh hak-haknya, terutama terkait dengan aspek vital kebutuhan mereka, seperti
Ketersediaan kebutuhan pangan merupakan hal penting yang dijamin oleh Khilafah. Oleh
lahan-lahan baru, dan penghidupan tanah mati, serta pelarangan terbengkalainya tanah. Hal ini
dilakukan untuk mengoptimalkan produksi lahan-lahan pertanian, agar stok kebutuhan pangan
selalu tersedia untuk rakyatnya. Dan sebagai proteksi terhadap ketersediaan pangan ini khilafah
melarang adanya praktek penimbunan barang (termasuk menimbun bahan kebutuhan pokok),
karena hal ini akan menyebabkan kelangkaan bahan bahan kebutuhan pokok tersebut.
Ketikapun hal itu terjadi, Khalifah harus mencegah masuknya tangan-tangan asing dalam
pengelolaan bidang pertanian ini, baik lewat industri-industri pertanian asing maupun melalui
perjanjian multilateral, seperti WTO, FAO, dan lain-lain, karena ini akan sangat membahayakan
Kesejahteraan merupakan sesuatu yang didambakan kita semua, jaminan inipun selayaknya
akan diberikan oleh negara khilafah kepada seluruh warga negaranya tanpa kecuali. Apalagi
yang menyangkut kebutuhan vital, maka dalam pelaksanaannya negara tidak dibenarkan
pembiayaan atas berbagai keperluan dibebankan kepada negara dari baitul mal, hal ini pun
dilakukan ketika mekanisme penjaminan kebutuhan itu belum dipenuhi secara layak melalui
hukum nafkah. Banyak sekali ayat-ayat di dalam Al Qur’an dan Al Hadits ynag memerintahkan
manusia untuk menginfakkan harta dan memberi makan orang-orang fakir, miskin, dan yang
kekurangan, seperti dalam QS Al Hajj:28; Al Baqarah: 177,184, 215; Al Insan: 8, Al Fajr: 13-14;
dan Al Maidah: 89. Bahkan ketika harta dalam baitul mal tidak ada atau kurang, sementara
sumbangan sukarela kaum muslim atas inisiatif mereka juga belum mencukupi, maka syariat
Islam telah memberikan contoh, bagaimana kesigapan negara dalam membantu rakyat yang
kelaparan. Khalifah Umar bin Khaththab, di suatu malam, pernah melakukan inspeksi ke
perkampungan penduduk. Tanpa sengaja beliau mendengar rintihan anak menangis dari arah
sebuah rumah. Beliau pun menghampiri rumah tersebut dan memperhatikannya dari luar.
Ternyata anak itu menangis karena lapar, sebab orang tuanya tidak lagi memiliki bahan
makanan. Sang Ibu sudah mencoba menghibur anaknya, dengan seolah-olah sedang menanak
makanan, padahal yang dimasak adalah batu. Si Ibu berharap anaknya tertidur sambil
menunggu makanan yang sedang dimasak. Setelah mengetahui kondisi yang terjadi, sang
Khalifah pun bergegas megambil sekarung bahan makanan dari Baitul Mal, lalu dipikulnya sendiri
untuk diberikan pada keluarga yang sedang menghadapi kelaparan tersebut. Inilah wujud
Dalam konteks hubungan internasional, Islam juga menetapkan adanya kewajiban syar’i bagi
Negara Khilafah untuk membatu negara lain yang membutuhkan bantuan pangan. Hal ini seperti
apa yang pernah dilakukan oleh Khalifah Abdul Majid saat memimpin Kekhilafahan Turki
Ustmani. Pada tahun 1845, terjadi kelaparan besar yang melanda Irlandia yang mengakibatkan
lebih dari 1,000,000 orang meninggal. Untuk membantu mereka, Sultan Abdul Majid berencana
mengirimkan uang sebesar 10,000 sterling kepada para petani Irlandia. Akan tetapi, Ratu
Victoria meminta Sultan untuk mengirim 1,000 sterling saja, sebab dia sendiri hanya mengirim
2,000 sterling. Maka, Sultan pun mengirim 1,000 sterling. Namun, secara diam-diam beliau juga
mengirim 3 kapal penuh makanan. Pengadilan Inggris berusaha untuk memblokir kapal itu, tapi
meski demikian makanan tersebut sampai juga ke pelabuhan Drogheda dan ditinggalkan di sana
oleh para pelaut Ustmani. Dengan peristiwa ini rakyat Irlandia, khususnya mereka yang tinggal
di Drogheda, menjadi bersahabat dengan orang Turki. Peristiwa ini juga menyebabkan
munculnya simbol-simbol Usmani di kota tersebut. Jadi ketahanan pangan di era ketika Islam
Oleh kerena itu, penyatuan negeri-negeri Islam dalam Khilafah Islam, juga akan menjadi sebuah
solusi, karena dengan itu akan ada sharing antar wilayah wilayah yang ada untuk sama sama
mengupayakan tercukupinya semua kebutuhan pokok rakyat di seluruh wilayah Khilafah Islam.
Sehingga kesejahteraan dan keadilan pun akan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat yang
bernaung didalamnya.
Khatimah
Jadi jelas, krisis pangan yang terjadi saat ini bukan karena jumlah pangan tidak mencukupi
kebutuhan manusia, melainkan karena sistem distribusi yang buruk, akibat penerapan sistem
ekonomi kapitalisme dan kurangnya (bahkan tidak adanya) tanggungjawab negara dalam sistem
rusak seperti ini. Nah, belum saatnyakah bagi kita untuk kembali pada solusi yang paripurna,
yaitu sistem khilafah Islam yang akan mensejahterakan rakyat, yang telah memberikan solusi
dengan sistem syariahnya, untuk mengatasi masalah krisis pangan sekaligus dapat memacu
peningkatan produksi pertanian untuk mencapai kemandirian dan ketahanan pangan?? Sistem
ini bukan saja telah teruji, tapi juga terberkahi dunia-akhirat. Maka belumkah saatnya kita
meyakini, hanya dengan Daulah Khilafah Islamiyyah sajalah kesejahteraan rakyat akan
Source: http://scema.wordpress.com/2008/06/13/politik-pangan-negara-khilafah/
Report this ad
Report this ad
Share this:
Twitter
Facebook8
Terkait
Ketertinggalan Sains dan Teknologi Bukan Kendala Mendirikan Negara Khilafahdalam
"9. Mari Membangun (Informasi-informasi)"
Kritik atas Dakwah dengan Kekerasandalam "1. Nasehat untuk Ulama"
Analisis Ilmuwan Barat: Khilafah akan Kembali Tegakdalam "2. Nasehat untuk Pejabat"
Ditulis dalam 9. Mari Membangun (Informasi-informasi) | Dengan kaitkata Politik Pangan | Tinggalkan
sebuah Komentar
Comments RSS
Tinggalkan Balasan
Cari
Cari untuk:
KATEGORI
o 1. Nasehat untuk Ulama (35)
o 2. Nasehat untuk Pejabat (41)
o 3. Nasehat untuk Pengusaha(10)
o 4. Nasehat untuk Intelektual(21)
o 5. Nasehat untuk Bapak-bapak (23)
o 6. Nasehat untuk Ibu-ibu (13)
o 7. Nasehat untuk Remaja & Mahasiswa (26)
o 8. Khutbah (3)
o 9. Mari Membangun (Informasi-informasi) (18)
o Uncategorized (1)
TULISAN TERAKHIR
o Hukum Seputar Qurban
o Tafsir Al An’am 114: Tak Layak Mencari Hakim Selain Allah SWT
o Menolak Musibah dengan Dakwah
o Termasuk Dosa Besar: Pemimpin Menipu Rakyatnya
o Ancaman Kanjeng Nabi SAW terhadap Penguasa Penipu Rakyatnya
ARSIP
o Desember 2011 (2)
o November 2011 (3)
o Oktober 2011 (39)
o September 2011 (42)
Oktober 2011
S S R K J S M
« Sep Nov »
1 2
3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16
17 18 19 20 21 22 23
24 25 26 27 28 29 30
31
BLOG STATS
o 34,343 Kunjungan
Report this ad
WPThemes.
Ikuti