Anda di halaman 1dari 16

 Beranda

 About

Cari

NASEHAT IDEOLOGIS
Defining, Transferring and Follow -up The Critical Knowledge

Feeds:

Pos

Komentar
« Potensi Demografi Muslim Bagi Kebangkitan Kembali Negara Khilafah
Solusi Islam dalam Mengatasi Krisis Pangan »

Politik Pangan Negara Khilafah


Oktober 18, 2011 oleh Kang Masduki

Rate This

Pengantar

84 tahun yang lalu, sebuah bencana besar menimpa kaum muslim, dan sebuah kejahatan yang

mengerikan telah menimpa generasi-generasi setelahnya, sebuah kejahatan yang layak disebut

sebagai induk segala bentuk kejahatan. Kejahatan itu adalah tindakan penghancuran Khilafah

Islam serta penyingkiran kitab Allah SWT dan sunnah Rasul-Nya saw. dalam aspek pemerintahan

sekaligus sebagai pokok rujukan bagi umat Islam. Akibatnya kaum muslim memperoleh

kemurkaan Allah dari langit dan bumi, karena mereka telah mengganti syariat Allah SWT di

dunia.

Akibat kemurkaannya di dunia, bukti-buktinya dapat dirasakan dan hasil-hasilnya tidak bisa

dihindarkan oleh kita: dominasi orang-orang dan negara kafir atas kaum muslim, terpecah

belahnya negeri-negeri mereka, dirampasnya harta kekayaan mereka, termasuk aspek-aspek

penting seperti pangan pun dikuasainya. Bahkan lebih dari itu merekapun banyak yang dibunuh,

diusir dari negerinya, atau disiksa.

Hancurnya negara khilafah telah berakibat pada terhentinya pengaturan pengaturan urusan

umat berdasarkan sistem dan hukum Islam serta terkuburnya segala tindakan yang sesuai

dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Dan diantara kejahatan besar tersebut salah satunya adalah
dengan menyerahkan pengaturan sistem politik pertanian yang merupakan salah satu sumber

primer ekonomi kepada otoritas kafir untuk dikuasai. Sebagai akibatnya, kelaparan saat ini

mengancam dihampir seluruh negara negara berkembang yang notabene merupakan negeri-

negeri islam.

Krisis Pangan Dunia

Dari berbagai kajian beberapa bulan dan minggu-minggu terakhir ini, gejala yang mengarah

krisis pangan 2008 semakin menguat. Krisis global yang akan terjadi bukan karena harga

minyak bumi yang meroket di atas 100 dollar AS per barrel, melainkan karena ketidaktersediaan

pangan. Ditengarai krisis ini akan menimpa 36 negara di dunia, termasuk Indonesia. Dan para

analis menyimpulkan bahwa krisis pangan ini akan menjadi krisis global terbesar abad ke-21

Salah satu indikator terjadinya krisis pangan adalah tingginya tingkat harga komoditi hingga

pada taraf yang mencengangkan. Dalam hal ini, data-data inflasi berbagai komoditas pangan

diperoleh dari beberapa negara miskin dan berkembang, seperti Afrika, Timur Tengah, Asia

Selatan, Asia Tenggara dan Amerika Selatan. Tercatat, harga seluruh pangan meningkat pada

angka fantastis 75 persen dibandingkan dengan tahun 2000. Beberapa komoditas bahkan lebih

dari 200 %. Harga beras di Thailand, negara eksportir terbesar, saat ini saja naik hingga

USD1.000/ton metrik, hampir tiga kali lipat dibandingkan harga pada awal

tahun. http://economy.okezone.com.

Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Dr Jacques Diouf dalam

konferensi persnya di Kantor Pusat FAO di Roma menyatakan, bahwa tingginya harga pangan

akan memberikan dampak yang sangat serius berupa ancaman kelaparan akibat meningkatnya

kemiskinan secara signifikan khususnya di negara-negara yang berpenghasilan rendah dan

defisit pangan (dunia ketiga). Hal ini diperkuat dengan data WFP (World Food Program) PBB

yang memperkirakan 800 juta jiwa dari 5,67 milyar penduduk dunia menderita kurang pangan,

sementara 100 juta orang diantaranya sudah memasuki kategori kelaparan. Pada tahun ini

angka kelaparan di dunia itu justru meningkat menjadi 853 juta jiwa (2007), sementara 200 juta

balita menderita kurang gizi terutama energi dan protein. (www.spi.or.id).

Kondisi ini kemudian memicu aksi protes di berbagai belahan dunia, yang nyaris mengarah pada

krisis social dan politik, terutama di negara-negara yang berada di kawasan tersebut. Pada bulan

Oktober 2007, terjadi demonstrasi besar di Bengali Barat, India, disusul di Senegal, Mauritania,

Meksiko, dan Yaman. Di Kamerun pada bulan Januari 2008 terjadi kerusuhan besar yang

memakan korban meninggal 20 orang, kemudian pada bulan yang sama di Burkina Faso, Afrika
Barat. Di Indonesia, Malaysia, Filipina, Inggris, dan Skotlandia berbagai demonstrasi akibat krisis

pangan pun terjadi meski tak semasif sebagaimana yang berlangsung di Afrika. Sementara di

Haiti protes berlangsung dengan kekerasan yang berakhir pada impeachment Perdana

Menterinya karena dianggap gagal mengatasi masalah yang ada.

Adapun IMF menyatakan bukan tidak mungkin, fenomena ini akan berakibat sangat buruk,

termasuk perang. “Kalau harga makanan terus naik seperti ini, konsekuensinya sangat buruk.

Ratusan ribu orang akan kelaparan dan bisa mengganggu iklim ekonomi dunia. Pembangunan

yang sudah diupayakan dalam lima sampai 10 tahun terakhir bisa hancur total. Dan belajar dari

masa lalu, masalah-masalah seperti ini kadang berakhir dengan perang”, tegas Managing

Director IMF Dominique Strauss-Kahn, seperti dikutip AFP, Minggu (13/4/2008). Bank Dunia pun

awal april lalu mengumumkan 33 negara terancam keresahan sosial akibat tingginya harga

bahan pangan. Seluruhnya ada 37 negara, dengan jumlah terbesar di Afrika (20 negara), disusul

Asia (9), Amerika Latin (6) dan Eropa Timur(2).

Krisis Pangan Indonesia

Di Indonesia sendiri, masalah ketahanan pangan telah menjadi isu penting sejak beberapa tahun

terakhir. Terlebih, sekalipun tidak termasuk kelompok Low Income Food Deficit

Countries (LIFDCs), FAO telah mengkatagorikan negeri ini ke dalam daftar negara-negara krisis

pangan yang perlu bantuan luar.

Naiknya harga minyak dunia yang kini menyentuh level USD120/barel seharusnya tentu

membawa dampak positif bagi produsen minyak. Namun bagi Indonesia yang merupakan negara

produsen sekaligus pengimpor minyak, hal ini tidak terjadi. Indonesia malah harus rela mereguk

dampak buruk kenaikan harga minyak dunia yang memicu angka inflasi berbagai kebutuhan

pokok dunia dan pada akhirnya memicu inflasi harga pangan di Indonesia hingga 13%. Sebagai

contoh, saat ini harga beras sudah mencapai kisaran Rp 5000/kg, sementara harga gabah kering

panen (GKP) di tingkat petani Rp 1.400 per kilogram dan harga gabah kering giling (GKG) tak

lebih dari Rp 2.200. Padahal, berdasarkan Inpres No 3/2007 tentang Kebijakan Perberasan

Nasional, harga GKP seharusnya Rp 2.000/kg, GKG Rp 2.575, sementara harga beras

seharusnya Rp 4000. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0803/12/opi01.html

Masalahnya daya beli masyarakat juga betul-betul sangat rendah akibat penerapan berbagai

kebijakan ekonomi pro kapitalis/pro liberal yang berhasil memiskinkan rakyat secara structural.

Kenaikan harga BBM, privatisasi sector-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak semisal

pendidikan kesehatan, listrik, air dll adalah contoh kebijakan-kebijakan pro lib, di bawah diktean
WTO, IMF dan Bank Dunia, yang jelas-jelas telah membawa dampak yang begitu berat atas

kondisi ekonomi masyarakat. Adanya kenaikan harga pangan dunia tentunya kian memperburuk

keadaan. Masyarakat kian kesulitan mendapatkan kebutuhan pokoknya yang berarti tambahan

daftar panjang orang miskin di Indonesia. Terkait hal ini Presiden Bank Dunia, Robert Zoellick

menuturkan, ”Sebuah penilaian terkini di Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 3/4 orang

miskin merupakan pembeli beras sepenuhnya. Peningkatan harga beras relatif sebesar 10 %

akan menghasilkan tambahan dua juta orang miskin, yakni sekitar 1% dari jumlah penduduk”.

Tak hanya itu, kondisi krisis diatas diperparah dengan fakta kelangkaan barang akibat problem

distribusi dan produksi komoditas pangan. Tak jarang untuk mendapatkan kebutuhan pokoknya

masyarakat harus antri berjam-jam.

Terkait masalah distribusi, pola/rantai distribusi pertanian senyatanya memang masih sangat

panjang yang tak jarang berpengaruh terhadap tingkat harga. Panjangnya rantai distribusi ini

bisa diakibatkan oleh bervariasinya kemampuan produksi pangan antar wilayah antar musim

serta jarak dan aksesibilitas antar wilayah yang belum terpecahkan, maraknya praktek

penimbunan yang dilakukan para spekulan, maupun akibat pola distribusi pangan yang

diterapkan pemerintah saat ini. Sebagaimana diketahui, untuk mempermudah distribusi bahan

pangan pokok, pemerintah telah menetapkan Bulog sebagai penanggungjawab resmi.

Sayangnya pola distribusi yang dijalankan lembaga ini selain belum efektif pelaksaannya, juga

sangat kental dengan unsur kapitalistik. Bulog yang seharusnya berfungsi sebagai stabilisator

ketersediaan bahan pangan pokok untuk kepentingan rakyat (Public Service Obligation/PSO)

malah bertindak sebagai pedagang yang cari untung. Hal ini memang sejalan dengan saran

biang kapitalis IMF dalam Letter of Intent yang ditandatanganinya bersama pemerintah pada

tahun 1998 yang menekankan keharusan Bulog menjalankan kedua fungsi itu.

Adapun terkait masalah produksi, pada faktanya tingkat produktivitas pangan di Indonesia

memang terus merosot. Tercatat, rata–rata produktivitas padi hanya 4,4 ton/ha, sementara

jagung hanya 3,2 ton /ha. Jika dibandingkan dengan negara produsen pangan lain di dunia

khususnya beras, produktivitas padi di Indonesia ada pada peringkat ke 29. Dalam hal ini,

Pemerintah sebenarnya bukan tidak berusaha sama sekali. Hanya saja berbagai program yang

dicanangkan alih-alih mampu meningkatkan produksi pangan, malah arahnyapun kian tidak

jelas. Program ekstensifikasi pertanian yang dulu –antara lain—digalakan melalui program

transmigrasi dan pembukaan lahan sawah sejuta hektar misalnya, nasibnya juga tidak jelas,

terutama pasca penerapan otonomi daerah, dimana tak sedikit daerah yang justru menolak
program-program tersebut. Disisi lain, konversi lahan di daerah-daerah subur terus terjadi. Di

Pantai Utara, Barat sampai Timur Pulau Jawa misalnya, tiap tahun terjadi konversi lahan

pertanian beririgasi tidak kurang dari 500 ha. Padahal, lahan beririgasi Indonesia yang sebesar

10.794.22 ha setengahnya berada di pulau Jawa, dan telah menyumbangkan padi sebanyak

48.201.136 ton, lebih dari setengah kebutuhan padi Indonesia. Dapat kita bayangkan, konversi

lahan beririgasi tentu berdampak nyata terhadap penurunan produksi pangan.

Begitupun dengan program intensifikasi pertanian yang tetap tak mampu mendongkrak tingkat

produksi pangan. Ditengarai, tetap rendahnya produktivitas ini terjadi karena pilihan terhadap

metode peningkatan produksi seringkali tidak didasari oleh pertimbangan ketepatan dengan

kondisi setempat, melainkan didikte oleh kepentingan-kepentingan industri pertanian Negara-

negara maju atasnama program bantuan pertanian FAO, Bank Dunia dan Bank – Bank

pembangunan nasional lainnya. Diketahui, mulai dari penggunaan bibit unggul, system

pengairan, pupuk, dan anti hama (pestisida) memang di dominasi oleh perusahan-perusahaan

besar yang menguasai 60 % pasaran dunia seperti Ciba-Gergy, Monsanto, Pfizer, Sandoz,

Cargill, Shell, ITT, General Foods. Kondisi ini dikuatkan oleh keberpihakan pemerintah terhadap

sector pertanian sebagai penyedia kebutuhan pangan yang juga sering kalah oleh industri atau

pertanian berorientasi ekspor yang menghasilkan devisa untuk membiayai impornya dan akibat

desakan Bank Dunia, IMF dan Lembaga Bantuan Internasional lainnya demi kelancaran

pembayaran bunga dan cician utangnya. Tidak mengherankan jika dana dan perhatian terhadap

pertanian tanaman pangan untuk kebutuhan sendiri (food crops) sering tersisihkan oleh tanaman

untuk dijual (cash crops). Sebagai contoh, dana penelitian untuk menghasilkan bibit unggul local

sangat minim sehingga bibit lokal selalu kalah bersaing dengan bibit unggul dari luar dan

berakibat menurunnya produksi pangan. Kondisi ini kemudian diperparah dengan penerapan

kebijakan swastanisasi penguasaan air sebagai milik umum, atau pada kondisi tertentu

pemerintah menyerahkan pengurusan air dan sarana irigasi kepada petani, padahal umumnya

kemampuan mereka terbatas.

Faktor Penyebab

Menurut Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Dr. Jacques Diouf, ada lima

faktor utama yang menyebabkan harga pangan melambung dan mengarah pada krisis saat ini.

Kelima faktor tersebut adalah, pertama, meningkatnya kebutuhan bahan pangan di negara-

negara yang sedang tumbuh ekonominya seperti Cina dan India, baik dari segi kualitas maupun

kuantitas; kedua, semakin meningkatnya kesejahteraan penduduk di negara-negara yang


ekonominya sedang tumbuh yang diikuti tekanan pada permintaan pangan; ketiga, rendahnya

stok pangan dunia yang diperkirakan akan turun menjadi 405 juta ton pada akhir

2008; keempat, adanya bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan badai yang terkait dengan

adanya perubahan iklim global yang berakibat gagalnya panen secara besar-besaran di Negara

yang terkena bencana; dan kelima, adanya kebutuhan sereal untuk bioenergi, dimana saat ini

saja sekitar 14 juta hektare lahan telah digunakan untuk produksi biofuel cair, atau setara

dengan 1% dari lahan dunia yang dapat dibudidayakan, dan ini dapat meningkat menjadi 2,5-

3,8% tahun 2030. Ini berarti pasokan pangan yang cukup dapat terancam oleh produksi

bioenergi jika lahan dan sumber daya produktif lainnya beralih dari budi daya tanaman untuk

konsumsi pangan ke budidaya untuk pasokan bahan mentah bioenergi.

Selain kelima factor tersebut, adanya bursa komoditi juga ditengarai memicu krisis pangan. Saat

ini, bursa komoditi pangan memang menjadi hal yang menggiurkan mengingat saat ini,

komoditas pangan semakin menjadi komoditas strategis dunia sejalan dengan peningkatan

populasi penduduk yang sangat cepat dan usaha meningkatkan gizi yang maksimal di setiap

negara. Kondisi ini cukup menarik perhatian para spekulan untuk bermain tarik untung pada

komoditas yang sangat strategis ini. Akibatnya, konsumen berada pada posisi tak diuntungkan,

karena komoditas pangan yang sangat mereka butuhkan dikendalikan oleh tangan para

spekulan, termasuk dalam masalah harga. Beginilah bahayanya jika masalah yang menyangkut

hidup dan matinya suatu bangsa kemudian dijadikan komoditas yang dikomersilkan.

Dari semua faktor yang diklaim sebagai penyebab krisis tadi, setidaknya bisa ditarik kesimpulan

tentang kemungkinan mengapa krisis pangan bisa terjadi. Kemungkinan pertama, jumlah

pangan tidak mencukupi kebutuhan seluruh populasi manusia, sehingga ada sebagian orang

yang terpaksa tidak mendapatkan bagian makanan. Kemungkinan kedua, jumlah bahan pangan

sebenarnya cukup, akan tetapi harganya terlalu tinggi. Akibatnya, ada sebagian orang yang

tidak mampu membeli, sehingga tidak mendapatkan makanan.

Kemungkinan pertama bahwa krisis disebabkan oleh ketidakcukupan bahan pangan sangat

diragukan. Sebab dunia sebenarnya memiliki potensi pangan yang sangat besar dan beragam,

serta pertambahan pasar pangan yang juga sangat besar dan terus berkembang. Dan faktanya,

jumlah pangan dunia memang cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh populasi penduduk

dunia. Sebagai bukti, pada bulan Mei 1990, FAO telah mengumumkan hasil studinya bahwa

produksi pangan dunia ternyata mengalami surplus 10% untuk dapat mencukupi seluruh

populasi penduduk dunia. Bahkan dikatakan bahwa jika dimisalkan sejak akhir perang dunia ke-
2, jumlah penduduk dunia meningkat dua kali lipat, maka pada saat yang sama jumlah produksi

pangan dunia justru meningkat tiga kali lipat. Hanya saja, memang menjadi pertanyaan jika

dalam kondisi seperti itu ternyata tetap saja ada sejumlah populasi manusia di dunia yang tidak

terpenuhi kebutuhan pangannya hingga terjadi kelaparan, seperti terjadi di Ethiopia, misalnya.

Bukti lain juga dapat dilihat dalam konteks Indonesia. Saat ini jumlah produksi beras nasional

sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan; Namun dalam kondisi seperti ini, ternyata tidak

berarti di Indonesia juga tidak ada lagi krisis pangan, sebab faktanya masih banyak dijumpai

kasus kelaparan dan gizi buruk di beberapa daerah. Pertanyaannya, kenapa bisa demikian?

Sesungguhnya ketimpangan antara negara-negara maju dan negara berkembang memang

tampak nyata, dengan dihasilkannya lebih dari separuh poduksi pangan dunia oleh negara-ngara

maju, padahal kawasan-kawasan negara maju itu hanya berpenghuni sepertiga dari penduduk

dunia. Negara-negara maju menghasilkan produksi pangan dua setengah kali lipat lebih dari

produktivitas pangan negara-negara yang masih sedang membangun. Pada kenyataanya

penerapan liberalisasi perdagangan telah membuat mereka tetap dapat menikmati stok pangan

dunia –yang sebagian besarnya mereka produksi– tanpa risau. Negara yang banyak menikmati

bahan pangan dunia ini yaitu Jepang, Amerika Serikat, Negara-Negara Eropa Barat yang masuk

dalam daftar Uni Eropa. Sementara bagi negara-negara seperti Indonesia tekanan liberalisasi

perdagangan, justru hanya bisa memaksa mereka untuk membuka pasar domestiknya ditengah

kondisi pertanian dan perekonomian secara umum yang daya saingnya amat rendah. Dengan

demikian, negara-negara seperti ini tidak begitu ‘diuntungkan’ oleh adanya surplus produksi

pangan dunia.

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa krisis pangan dunia bukan disebabkan oleh kurangnya

ketersediaan pangan. Lantas apakah berarti disebabkan kemungkinan kedua, yaitu tingginya

harga pangan yang mengakibatkan sebagian orang tidak mampu untuk memilikinya?

Sebenarnya, berapa pun tingginya harga bahan pangan, tidak akan menjadi masalah –atau

dengan kata lain tidak akan menyebabkan krisis– selama semua lapisan masyarakat mampu

membelinya. Namun dalam faktanya senantiasa ada di tengah masyarakat orang-orang yang

mampu dan tidak mampu. Masalahnya kemudian muncul ketika masyarakat yang tidak mampu

tadi tetap “dipaksa” untuk mendapatkan bahan makanan dengan cara membeli barang yang

tidak terjangkau harganya. Sehingga dengan mekanisme ini, seseorang seolah tidak berhak

makan jika dia tidak mampu menjangkau harga bahan pangan tesebut.
Inilah yang terjadi dalam sistem kapitalis, dimana harga dijadikan sebagai pengendali tunggal

distribusi barang di tengah masyarakat. Hargalah yang akan menentukan siapa-siapa yang

berhak mendapatkan barang dengan kualitas dan kuantitas tertentu, dan siapa yang tidak

berhak mendapatkannya sama sekali. Orang yang mampu membeli barang dengan harga tinggi,

dia akan mendapatkan barang dengan kualitas dan kuantitas yang diinginkannya. Sementara itu

orang yang sama sekali tidak mampu menjangkau harga barang tersebut, dia tidak berhak

mendapatkannya, meskipun barang itu merupakan kebutuhan pokok baginya. Dalam kondisi

yang kedua inilah krisis akan muncul.

Dengan analisa demikian, jelaslah bahwa menjadikan harga sebagai unsur pengendali tunggal

distribusi telah mengakibatkan buruknya distribusi barang di tengah masyarakat yang berpotensi

menimbulkan terjadinya krisis sosial. Sehingga jelas pula, bahwa secara fundamental krisis

pangan saat ini bukan disebabkan oleh kenaikan harga pangan yang dipengaruhi klaim-klaim

faktor diatas, melainkan lebih disebabkan oleh distribusi yang buruk yang menjadi ciri

utama dari kebijakan sistem kapitalis yang diterapkan sebagai grandrules hubungan

ekonomi internasional. Distribusi yang buruk itulah yang menjadikan sebagian masyarakat tidak

mampu, tidak mendapatkan hak untuk makan. Karena itu wajar jika fenomena krisis pangan ini

tidak hanya terjadi di negara yang mengalami kelangkaan bahan pangan saja, akan tetapi juga

terjadi di negara yang bahan pangannya cukup.

Selain factor paradigmatic diatas, krisis pangan juga terjadi akibat negara kurang (bahkan tidak)

memperhatikan kesejahteraan rakyatnya dalam hal ketersediaan pangan. Penerapan system

kapitalis oleh Negara secara otomatis memposisikan hubungan penguasa dan rakyat sebatas

hubungan pembeli dan penjual, bukan sebagai pengurus dan yang diurus. Dalam kasus pangan

di Indonesia misalnya, pemerintah sudah berencana mengekspor beras jika stok beras mencapai

3 juta ton. Apakah ini berarti sudah tidak ada lagi rakyat Indonesia yang kelaparan? Fakta

menunjukkan bahwa di berbagai daerah di Indonesia masih banyak dijumpai masyarakat yang

tidak makan, meskipun hanya satu kali sehari, bahkan ada yang sampai mati kelaparan. Tampak

di sini bahwa pemerintah lebih memilih mengekspor beras ke luar negeri karena harganya yang

tinggi daripada menjual beras murah atau membagikan secara gratis kepada rakyatnya sendiri.

Ini lagi-lagi membuktikan betapa buruknya sistem kapitalis, dimana harga dijadikan sebagai

unsur tunggal pengendali distribusi barang di tengah masyarakat. Semestinya harga tidak

dijadikan sebagai pengendali distribusi barang, apalagi barang kebutuhan pokok seperti bahan

pangan. Sebab jika harga dijadikan sebagai pengendali distribusi barang maka pemenuhan
kebutuhan pokok bagi seseorang tidak bisa diwakili oleh orang lain sehingga akan senantiasa

ada orang-orang yang tidak mendapatkan akses untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Hal ini

tentu sangat berbahaya dan merupakan kedzaliman, karena kebutuhan pokok merupakan

barang keperluan mendasar yang diperlukan oleh masyarakat individu per individu yang

seharusnya menjadi kewajiban Negara untuk memenuhinya. Terlebih, jika krisis pangan ini

dibiarkan terus terjadi, dampaknya akan fatal, baik berupa krisis social maupun ancaman lost

generation terutama di Negara-negara dunia ketiga yang notabene mayoritasnya adalah negeri-

negeri kaum muslimin.

Hal lain dari aspek ini adalah ketidakberdayaan Negara untuk menentukan sikap dihadapan

tekanan asing. Penerapan kapitalisme secara sadar bahkan telah menggiring negeri ini untuk

masuk perangkap negara-negara adidaya melalui lembaga-lembaga dunia ciptaannya dalam apa

yang disebut agenda liberalisasi pasar dan agenda-agenda liberalisasi kapitalistik lainnya;

Sebuah agenda yang hanya akan menciptakan ketergantungan negara-negara terbelakang

kepada negara maju dan sebaliknya memberi legalisasi eksploitasi negara maju atas negara-

negara terbelakang. Sebagai contoh adalah bagaimana pemerintah dipaksa menerima agenda

privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi di bidang pertanian—sebagai racun dari Konsensus

Washington.

Privatisasi; Akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti yang

sering didengungkan oleh pemerintah, para analis dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata negara

dan rakyat suatu bangsa yang tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur

produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangannya. Saat ini di sektor pangan, dunia sangat

tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa. Fakta di

Inddonesia, Bulog diprivatisasi, dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor)

dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika

tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi

ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh

monopoli atau oligopoli (kartel)—seperti yang sudah terjadi saat ini.

Liberalisasi; krisis pangan juga disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan

urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan

pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO).

Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Di Indonesia upaya liberalisasi

terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat sudah dijalankan.

Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0 persen seperti kedelai (1998,
2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah,

irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara-negara

overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa—beserta perusahaan-perusahaannya—malah

meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik

kita hancur (1995 hingga kini). Hal ini jelas membunuh petani kita.

Deregulasi; beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan

pertanian rakyat. Seperti contoh pemerintah Indonesia membuat UU No. 1/1967 tentang PMA,

UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang

Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan

kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin

terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan

koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Program

RUU Pengelolaan Lahan Pertanian abadi yang secara sadar pemerintah tengah mendesain

komoditisasi tanah pertanian dan menciptakan regulasi yang mendorong kemudahan investor

korporasi pertanian pangan dengan diberi jaminan dan kepastian hukum tentang areal abadi

pertanian pangan, dan berbagai insentif fiskal yang menguntungkan investor. Jika demikian,

draft UU ini sesungguhnya menggunakan dalih melindungi lahan pertanian pangan abadi untuk

semakin mudah dilirik investor dan membuka jalan bagi kehadiran korporasi pertanian kedalam

sistem pertanian pangan kita. Sementara, pemilik lahan gurem didorong menjadi buruh tani.

Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar internasional

(harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola produksi-distribusi-konsumsi

secara internasional, kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya

bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998, susu

pada tahun 2007, dan minyak goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada

beberapa komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar

internasional: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng.

Jadi, demikian jelas bahwa krisis pangan saat ini secara fundamental tidak disebabkan oleh

kenaikan harga bahan pangan bahwa yang dipengaruhi oleh lima faktor di atas, akan tetapi lebih

disebabkan oleh penerapan sistem kapitalisme termasuk dalam kebijakan sektor pertanian

sebagai sumber ketersediaan pangan. Inilah pandangan nyata yang saat ini sering kita temui

diseluruh dunia, terutama di negeri-negeri Islam. Sejatinya melalui penguasaan aspek strategis

pangan ini, korporasi kapitalis akan semakin diuntungkan, dan kebangkitan umat Islam dapat
dihancurkan sedini mungkin. Lantas harus bagaimana? Solusinya sudah jelas, kembali kepada

Khilafah Islam yang akan menerapkan Syariah Islam secara menyeluruh.

Ketahanan Pangan negara Khilafah.

Dengan demikian tugas Negara adalah menjamin semua kebutuhan pokok bagi rakyatnya,

termasuk pangan. Karena demikian pentingnya maka Daulah Khilafah Islam akan menjamin

persediaan pangan ini, dalam kondisi apapun. Dan tugas mengupayakan kebutuhan primer

tercukupi bagi rakyat ini wajib dimaksimalkan oleh khilafah.

Dalam hal ini negara akan memberikan subsidi yang besar bagi para petani agar mereka dapat

memproduksi pangan, agar biaya produksi ringan, sehingga keuntungan yang mereka peroleh

juga besar. Sebab, pangan adalah masalah strategis, dimana negara tidak boleh tergantung

kepada negara lain. Ketergantungan pangan terhadap Negara lain bisa mengakibatkan Negara

akan dengan mudah dijajah dan dikuasai.

Lantas, bagaimana kebijakan pangan Khilafah untuk memenuhi kebutuhan pangan

masyarakatnya? Jawabannya ada dalam politik pertanian Khilafah, yang diarahkan untuk

peningkatan produksi pertanian dan kebijakan pendistribusian yang adil, sehingga kebutuhan

pokok masyarakat pun terpenuhi.

Dalam pandangan Islam, sektor pertanian merupakan salah satu sumber primer ekonomi di

samping perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia (jasa). Dengan demikian pertanian

merupakan salah satu pilar ekonomi yang apabila permasalahan pertanian tidak dapat

dipecahkan, dapat menyebabkan goncangnya perekonomian negara, bahkan akan membuat

suatu negara menjadi lemah dan berada dalam ketergantungan pada negara lain. Oleh karena

itu tentunya, kebijakan pangan Khilafah harus dijaga dari unsur dominasi dan dikte negara

asing, serta dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan ke depan, bukan semata-mata

target produksi sebagaimana dalam sistem kapitalisme.

Oleh karenanya perhatian khilafah pun akan dicurahkan untuk mengoptimalisasikan pengelolaan

pertanian ini,agar kebutuhan pangan untuk rakyat terpenuhi. Langkah optimalisasi pengelolaan

ini dilaksanakan dengan beberapa kebijakan yang harus sesuai dengan ketetapan hukum syara,

agar kesejahteraan dan keadilan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat khilafah Islam tanpa

terkecuali.

Peningkatan produksi pertanian dalam Khilafah akan ditempuh melalui kebijakan:


1. Kebijakan pertanian: intensifikasi dan ekstensifikasi

Intensifikasi pertanian dicapai dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia.

Negara dapat mengupayakan intensifikasi dengan pencarian dan penyebarluasan teknologi

budidaya terbaru di kalangan para petani; membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih

unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya. Sekali lagi, pilihan atas teknologi serta

sarana produksi pertanian yang digunakan harus berdasarkan IPTEK yang dikuasai, bukan atas

kepentingan industri pertanian asing. Dengan begitu, ketergantungan pada—serta intervensi

oleh—pihak asing dalam pengelolaan pertanian Negara dapat dihindarkan. Dalam permodalan,

Negara harus memberikan modal bagi siapa saja yang tidak mampu, sebagai hibah (hadiah),

bukan sebagai hutang. Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Maal (kas

Negara) kepada para petani di Irak, yang dapat membantu mereka untuk menggarap tanah

pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka, tanpa meminta imbalan dari mereka. Di samping

itu, Negara harus melindungi air sebagai milik umum, dan sebagai input produksi pertanian.

Karenanya, air beserta sarana irigasinya tidak boleh diswastanisasi.

Adapun ekstensifikasi pertanian dapat dicapai dengan:

1. Mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan tanah yang


mati. Lahan baru bisa berasal dari lahan hutan, lahan pasang surut, dan
sebagainya sesuai dengan pengaturan Negara. Tanah mati adalah tanah yang
tidak tampak dimiliki oleh seseorang, dan tidak tampak ada bekas-bekas
apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan, maupun yang lainnya.
Menghidupkan tanah mati artinya mengelola tanah atau menjadikan tanah
tersebut siap untuk langsung ditanami. Setiap tanah yang mati, jika telah
dihidupkan oleh seseorang, adalah menjadi milik yang bersangkutan.
Rasulullah SAW, sebagaimana dituturkan oleh Umar bin al-Khaththab telah
bersabda: “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka
tanah itu adalah miliknya”. [HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Dawud].
«ْ‫»أَرضَهْ فَليمسِكْ أَبَى فَ ِإنْ أ َ َخاهْ ِليَمنَحهَا أَوْ فَليَز َرعهَا أَرضْ لَهْ كَانَتْ َمن‬

Siapa saja yang memiliki sebidang tanah, hendaklah dia menanaminya, atau hendaklah ia

memberikan kepada saudarnya. Apabila ia mengabaikannya, hendaklah tanahya diambil. [HR al-

Bukhari dan Muslim].

2. Setiap orang yang memiliki tanah akan diperintahkan untuk mengelola tanahnya secara

optimal. Bagi siapa saja yang membutuhkan biaya untuk perawatan tanah tersebut, akan diberi

modal dari Baitul Maal (kas Negara), sehingga yang bersangkutan bisa mengelola tanahnya

secara optimal. Namun, apabila orang yang bersangkutan mengabaikannya selama 3 tahun,

maka tanah tersebut akan diambil alih dan diberikan kepada yang lain. Umar bin al-Khaththab

pernah mengatakan: “Orang yang memagari tanah tidak berhak atas tanah yang dipagarinya

setelah membiarkannya selama 3 tahun”.


2. Kebijakan distribusi: cepat, pendek, dan merata

Islam memandang individu sebagai manusia yang harus dipenuhi kebuthan-kebuthan primernya

secara menyeluruh. Penataan distribusi kekayaan oleh negara Khilafah dilaksanakan dalam

keseluruhan sistemnya, mulai dari penentuan kepemilikan harta kekayaan, pengelolaannya, dan

juga pendistribusiannya bagi kemaslahatan warga negaranya. Bahkan apabila masyarakat

mengalami kesenjangan antar individu, negara dalam hal ini khalifah diwajibkan

memecahkannya dengan mewujudkan kemerataan/ keseimbangan harta dalam masyarakat,

dengan cara memberikan harta negara yang menjadi hak miliknya kepada orang-orang yang

memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya. Dan kesemua itu dilaksanakan melalui

mekanisme yang cepat, pendek, dan merata sehingga seluruh individu rakyat dapat dengan

mudah memperoleh hak-haknya, terutama terkait dengan aspek vital kebutuhan mereka, seperti

kebutuhan pokok pangan.

3. Kebijakan ketersediaan pangan

Ketersediaan kebutuhan pangan merupakan hal penting yang dijamin oleh Khilafah. Oleh

karenanya Khilafah harus memperhatikan peningkatan produktivitas pertanian, pembukaan

lahan-lahan baru, dan penghidupan tanah mati, serta pelarangan terbengkalainya tanah. Hal ini

dilakukan untuk mengoptimalkan produksi lahan-lahan pertanian, agar stok kebutuhan pangan

selalu tersedia untuk rakyatnya. Dan sebagai proteksi terhadap ketersediaan pangan ini khilafah

melarang adanya praktek penimbunan barang (termasuk menimbun bahan kebutuhan pokok),

karena hal ini akan menyebabkan kelangkaan bahan bahan kebutuhan pokok tersebut.

Ketikapun hal itu terjadi, Khalifah harus mencegah masuknya tangan-tangan asing dalam

pengelolaan bidang pertanian ini, baik lewat industri-industri pertanian asing maupun melalui

perjanjian multilateral, seperti WTO, FAO, dan lain-lain, karena ini akan sangat membahayakan

kedaulatan pangan negara khilafah sendiri.

4. Jaminan Kesejahteraan negara yang meringankan beban masyarakat

Kesejahteraan merupakan sesuatu yang didambakan kita semua, jaminan inipun selayaknya

akan diberikan oleh negara khilafah kepada seluruh warga negaranya tanpa kecuali. Apalagi

yang menyangkut kebutuhan vital, maka dalam pelaksanaannya negara tidak dibenarkan

membuat kebijakan-kebijakan yang memberatkan rakyatnya. Syariat Islam telah menetapkan

pembiayaan atas berbagai keperluan dibebankan kepada negara dari baitul mal, hal ini pun

dilakukan ketika mekanisme penjaminan kebutuhan itu belum dipenuhi secara layak melalui

hukum nafkah. Banyak sekali ayat-ayat di dalam Al Qur’an dan Al Hadits ynag memerintahkan
manusia untuk menginfakkan harta dan memberi makan orang-orang fakir, miskin, dan yang

kekurangan, seperti dalam QS Al Hajj:28; Al Baqarah: 177,184, 215; Al Insan: 8, Al Fajr: 13-14;

dan Al Maidah: 89. Bahkan ketika harta dalam baitul mal tidak ada atau kurang, sementara

sumbangan sukarela kaum muslim atas inisiatif mereka juga belum mencukupi, maka syariat

menetapkan pembiayaannya menjadi kewajiban seluruh kaum muslimin.

Islam telah memberikan contoh, bagaimana kesigapan negara dalam membantu rakyat yang

kelaparan. Khalifah Umar bin Khaththab, di suatu malam, pernah melakukan inspeksi ke

perkampungan penduduk. Tanpa sengaja beliau mendengar rintihan anak menangis dari arah

sebuah rumah. Beliau pun menghampiri rumah tersebut dan memperhatikannya dari luar.

Ternyata anak itu menangis karena lapar, sebab orang tuanya tidak lagi memiliki bahan

makanan. Sang Ibu sudah mencoba menghibur anaknya, dengan seolah-olah sedang menanak

makanan, padahal yang dimasak adalah batu. Si Ibu berharap anaknya tertidur sambil

menunggu makanan yang sedang dimasak. Setelah mengetahui kondisi yang terjadi, sang

Khalifah pun bergegas megambil sekarung bahan makanan dari Baitul Mal, lalu dipikulnya sendiri

untuk diberikan pada keluarga yang sedang menghadapi kelaparan tersebut. Inilah wujud

tanggung jawab negara dalam menjamin kebutuhan pokok rakyatnya.

Dalam konteks hubungan internasional, Islam juga menetapkan adanya kewajiban syar’i bagi

Negara Khilafah untuk membatu negara lain yang membutuhkan bantuan pangan. Hal ini seperti

apa yang pernah dilakukan oleh Khalifah Abdul Majid saat memimpin Kekhilafahan Turki

Ustmani. Pada tahun 1845, terjadi kelaparan besar yang melanda Irlandia yang mengakibatkan

lebih dari 1,000,000 orang meninggal. Untuk membantu mereka, Sultan Abdul Majid berencana

mengirimkan uang sebesar 10,000 sterling kepada para petani Irlandia. Akan tetapi, Ratu

Victoria meminta Sultan untuk mengirim 1,000 sterling saja, sebab dia sendiri hanya mengirim

2,000 sterling. Maka, Sultan pun mengirim 1,000 sterling. Namun, secara diam-diam beliau juga

mengirim 3 kapal penuh makanan. Pengadilan Inggris berusaha untuk memblokir kapal itu, tapi

meski demikian makanan tersebut sampai juga ke pelabuhan Drogheda dan ditinggalkan di sana

oleh para pelaut Ustmani. Dengan peristiwa ini rakyat Irlandia, khususnya mereka yang tinggal

di Drogheda, menjadi bersahabat dengan orang Turki. Peristiwa ini juga menyebabkan

munculnya simbol-simbol Usmani di kota tersebut. Jadi ketahanan pangan di era ketika Islam

diterapkan sebagai satu institusi bukan suatu ilusi belaka.

Oleh kerena itu, penyatuan negeri-negeri Islam dalam Khilafah Islam, juga akan menjadi sebuah

solusi, karena dengan itu akan ada sharing antar wilayah wilayah yang ada untuk sama sama

mengupayakan tercukupinya semua kebutuhan pokok rakyat di seluruh wilayah Khilafah Islam.
Sehingga kesejahteraan dan keadilan pun akan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat yang

bernaung didalamnya.

Khatimah

Jadi jelas, krisis pangan yang terjadi saat ini bukan karena jumlah pangan tidak mencukupi

kebutuhan manusia, melainkan karena sistem distribusi yang buruk, akibat penerapan sistem

ekonomi kapitalisme dan kurangnya (bahkan tidak adanya) tanggungjawab negara dalam sistem

rusak seperti ini. Nah, belum saatnyakah bagi kita untuk kembali pada solusi yang paripurna,

yaitu sistem khilafah Islam yang akan mensejahterakan rakyat, yang telah memberikan solusi

dengan sistem syariahnya, untuk mengatasi masalah krisis pangan sekaligus dapat memacu

peningkatan produksi pertanian untuk mencapai kemandirian dan ketahanan pangan?? Sistem

ini bukan saja telah teruji, tapi juga terberkahi dunia-akhirat. Maka belumkah saatnya kita

meyakini, hanya dengan Daulah Khilafah Islamiyyah sajalah kesejahteraan rakyat akan

terjamin?? Wallâhu a’lam bi ash shawâb..[dn]

Source: http://scema.wordpress.com/2008/06/13/politik-pangan-negara-khilafah/
Report this ad

Report this ad

Share this:
 Twitter
 Facebook8

Terkait
Ketertinggalan Sains dan Teknologi Bukan Kendala Mendirikan Negara Khilafahdalam
"9. Mari Membangun (Informasi-informasi)"
Kritik atas Dakwah dengan Kekerasandalam "1. Nasehat untuk Ulama"
Analisis Ilmuwan Barat: Khilafah akan Kembali Tegakdalam "2. Nasehat untuk Pejabat"

Ditulis dalam 9. Mari Membangun (Informasi-informasi) | Dengan kaitkata Politik Pangan | Tinggalkan

sebuah Komentar

Comments RSS
Tinggalkan Balasan


Cari
Cari untuk:
 KATEGORI
o 1. Nasehat untuk Ulama (35)
o 2. Nasehat untuk Pejabat (41)
o 3. Nasehat untuk Pengusaha(10)
o 4. Nasehat untuk Intelektual(21)
o 5. Nasehat untuk Bapak-bapak (23)
o 6. Nasehat untuk Ibu-ibu (13)
o 7. Nasehat untuk Remaja & Mahasiswa (26)
o 8. Khutbah (3)
o 9. Mari Membangun (Informasi-informasi) (18)
o Uncategorized (1)
 TULISAN TERAKHIR
o Hukum Seputar Qurban
o Tafsir Al An’am 114: Tak Layak Mencari Hakim Selain Allah SWT
o Menolak Musibah dengan Dakwah
o Termasuk Dosa Besar: Pemimpin Menipu Rakyatnya
o Ancaman Kanjeng Nabi SAW terhadap Penguasa Penipu Rakyatnya
 ARSIP
o Desember 2011 (2)
o November 2011 (3)
o Oktober 2011 (39)
o September 2011 (42)

Oktober 2011
S S R K J S M
« Sep Nov »
1 2
3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16
17 18 19 20 21 22 23
24 25 26 27 28 29 30
31
 BLOG STATS
o 34,343 Kunjungan
Report this ad

WPThemes.

 Ikuti

Anda mungkin juga menyukai