NAMA:
JURUSAN S1 KEPERAWATAN
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis,
hidrologis serta demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang
disebabkan faktor alam, non alam ulah tangan manusia yang menyebabkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda serta dampak
psycologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional.
Letak geografis Indonesia yang berada antara lempeng Euronesia dan lempeng
Euroasia menjadikan sebagian besar wilayah Indonesia rawan terhadap bencana alam,
kondisi ini merupakan ancaman yang sulit diprediksi dengan perhitungan kapan,
dimana, bencana apa yang terjadi, berapa kekuatan bahkan kita tidak dapat
memperkirakan estimasi korban jiwa maupun harta benda.
Indonesia merupakan negara dengan potensi bahaya (hazard potency) yang
sangat tinggi, beberapa potensi tersebut antara lain adalah gempa bumi, tsunami, banjir,
letusan gunung berapi, tanah longsor, angin ribut, kebakaran hutan dan lahan. Terdapat
2 (dua) kelompok utama potensi bencana di wilayah Indonesia yaitu potensi bahaya
utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard). Potensi bahaya
utama (main hazard) dapat dilihat antara lain pada peta potensi bencana gempa di
Indonesia yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah dengan zona gempa
yang rawan, peta potensi bencana tanah longsor, peta potensi bencana letusan gunung
api, peta potensi bencana banjir. Sedangkan peta potensi bencana ikutan (collateral
hazard potency) dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain bangunan yang terbuat
dari kayu, kepadatan bangunan dan kepadatan industri berbahaya.
Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang besar. Banyak
korban yang selamat menderita sakit dan cacat. Rumah, tempat kerja, ternak, dan
peralatan menjadi rusak atau hancur. Korban juga mengalami dampak psikologis
akibat bencana, misalnya - ketakutan, kecemasan akut, perasaan mati rasa secara
emosional, dan kesedihan yang mendalam. Bagi sebagian orang, dampak ini memudar
dengan berjalannya waktu. Tapi untuk banyak orang lain, bencana memberikan dampak
psikologis jangka panjang, baik yang terlihat jelas misalnya depresi , psikosomatis
(keluhan fisik yang diakibatkan oleh masalah psikis) ataupun yang tidak langsung :
konflik, hingga perceraian.
Beberapa gejala gangguan psikologis merupakan respons langsung terhadap
kejadian traumatik dari bencana. Namun gejala-gejala yang lain juga akan menyusul,
ini adalah dampak tidak langsung dan bersifat jangka panjang yang dapat mengancam
berbagai golongan terutama kelompok yang rentan yaitu anak-anak, remaja, wanita dan
lansia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lansia
Merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik, mental, dan ekonomik saat
dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan kemampuan mobilitas fisik dan/atau
karena mengalami masalah kesehatan kronis (Klynman et al., 2007). Di Amerika Serikat,
lebih dari 50% korban kematian akibat dari badai Katrina adalah lansia dan diperkirakan
sekitar 1300 lansia yang hidup mandiri sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat di
pantai jompo setelah bencana alam itu terjadi (Powers & Daily, 2010).
Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami diskriminasi,
contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca bencana. Hak-hak dan
kebutuhan spesifik lansia kadang-kadang terlupakan yang dapat memperparah masalah
kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut (Klynman et al., 2007).
Gejala yang paling populer adalah stres dan stres pasca trauma yang saling
menghinggapi korban-korban bencana. Stres terjadi karena adanya situasi eksternal atau
internal yang memunculkan tekanan atau gangguan pada keseimbangan hidup individu.
Para lansia telah mengalami penurunan kemampuan fisik dan mental. Kemampuan
adaptasi yang dimiliki juga sangat jauh berkurang, sehingga sangat rentan terhadap
perubahan. Selain itu kaum lanjut usia ini juga sudah kehilangan peran, sehingga dirinya
tidak berarti dan tidak dibutuhkan lagi oleh keluarganya. Mereka jugan rentan terhadap
kemungkinan diabaikan oleh keluarga.
Kaum lansia didaerah bencana hidup dengan kondisi yang lebih buruk dari sebelumnya
maka memunculkan perasaan gelisah, sedih, tak berdaya dan bingung. Harapan hidupnya
seolah-olah hilang. Depresi akan muncul akibat ketidak mampuan melakukan perubahan.
Beberapa gejala yang pada umumnya muncul akibat bencana adalah sebagai berikut:
a. Ingatan yang senantiasa mencengkram berbagai bayangan tentang trauma
perasaan seolah-olah trauma muncul kembali,
b. Mimpi buruk,
c. Gangguan tidur,
d. Gangguan makan,
e. Ketakutan,
f. Kewaspadaan yang berlebihan,
g. Kesulitan mengendalikan emosi, dan
h. Juga kesulitan berkonsentrasi.
Untuk mengurangi dampak psikologi pasca bencana pada lansia dapat dilakukan
denngan cara:
a. Berikan keyakinan yang positif,
b. Dampingi pemulihan fisik dengan melakukan kunjungan berkala,
c. Berikan perhatian yang khusus untuk mendapatkan kenyamanan pada lokasi
penampungan,
d. Bantu untuk membangun kembali kontak dengan keluarga maupun lingkungan
sosial lainnya,
e. Dampingin untuk mendapatkan pengobatan dan bantuan keuangan.
Saat bencana
a. Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka meningkatkan risiko
kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma pada saat
melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindari trauma sekunder
b. Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya kursi roda,
tongkat, dll.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah
1) Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan orang lansia
ke tempat yang aman. Orang lansia sulit memperoleh informasi karena
penuruman daya pendengaran dan penurunan komunikasi dengan luar
2) Rasa setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada tanah dan ruma
sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun berkecenderungan terlambat
dibandingkan dengan generasi yang lain.
3) Penyelamatan darurat
(Triage, treatment, and transportation) dengan cepat. Fungsi indera orang
lansia yang mengalami perubahan fisik berdasarkan proses menua, maka skala
rangsangan luar untuk memunculkan respon pun mengalami peningkatan
sensitivitas sehingga mudah terkena mati rasa
Pasca Bencana
a. Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas dengan lansia
dan mencegah isolasi sosial lansia, diantaranya:
1) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan-kegiatan sosial
bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang muda dan
lansia (community awareness)
2) Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator dalam kegiatan
bersama anak-anak yang diorganisir oleh agency perlindungan anak di posko
perlindunga korban bencana
b. Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan sosial yang sehat
di lokasi penampungan korban bencana
c. Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan skill lansia.
d. Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri
e. Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan kemandirian lansia.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia setelah bencana adalah
1) Lingkungan dan adaptasi
Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai ketidakcocokan
dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh fungsi fisik yang dibawa
oleh setiap individu sebelum bencana dan perubahan lingkungan hidup di
tempat pengungsian. Kedua hal ini saling mempengaruhi, sehingga
mengakibtkan penurunan fungsi fisik orang lansia yang lebih parah lagi.
2) Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder
Lingkungan di tempat pengungsian mengundang tidak hanya ketidakcocokan
dalam kehidupan sehari-hari bagi orang lansia, tetapi juga keadaan yang serius
pada tubuh. Seperti penumpukan kelelahan karena kurnag tidur dan
kegelisahan.
3) Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah sendiri
Lansia yang sudah kembali ke rumahnya, pertama membereskan perabotannya
di luar dan dalam rumah. Dibandingkan dengan generasi muda, sering kali
lansia tidak bisa memperoleh informasi mengenai relawan, sehingga tidak bisa
memanfaatkan tenaga tersebut dengan optimal.
4) Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara
Lansia yang masuk ke pemukiman sementara terpaksa
mengadaptasikan/menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan baru
(lingkungan hubungan manusia dan lingkungan fisik) dalam waktu yang
singkat
5) Mental Care
Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya adaptasi,
sehingga mudah terkena dampak secara fisik oleh stressor. Namun demikian,
orang lansia itu berkecenderungan sabar dengan diam walaupun sudah terkena
dampak dan tidak mengekspresikan perasaan dan keluhan.
Menurut Ida Farida (2013) dampak bencana pada penyakit kronis akan
memberi pegaruh besar pada kehidupan dan lingkungan bagi orang-orang dengan
penyakit kronik. Terutama dalam situasi yang terpaksa hidup di tempat pengungsian
dalam waktu yang lama atau terpaksa memulai kehidupan yang jauh berbeda dengan
pra-bencana, sangat sulit mengatur dan memanajemen penyakit seperti sebelum
bencana. Walaupun sudah berhasil selamat dari bencana dan tidak terluka sekalipun
manajemen penyakit kronis mengalami kesulitan, sehingga kemungkinan besar
penyakit tersebut kambuh dan menjadi lebih parah lagi ketika hidup di pengungsian
atau ketika memulai kehidupan sehari-hari lagi.
Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri, timbulnya penyakit
kronis disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehari-hari. Bagi orang-orang yang
memiliki resiko penyakit kronis, perubahan kehidupan yang disebabkan oleh bencana
akan menjadi pemicu meningkatnya penyakit kronis seperti diabetes mellitus dan
gangguan pernapasan.
Pra bencana
a. Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan berpenyakit
kronis
b. Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan
keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan bencana
bagi petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban dengan kebutuhan
khusus (cacat dan penyakit kronis)
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase persiapan sebelum bencana bagi
korban dengan penyakit kronik
a. Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama pasien,
alamat ketika darurat, rumah sakit, dan dokter yang merawat.
b. Membantu pasien membiasakan dii untuk mencatat mengenai isi dari obat
yang diminum, pengobatan diet, dan data olahraga
c. Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai penanganan
bencana sejak masa normal
Saat bencana
a. Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang cacat dan
berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainnya), alat bantu berjalan
untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai, dll
b. Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal precaution)
untuk petugas dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat yakni:
1) Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama untuk
mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam mengambil
keputusan untuk melakukan evakuasi, maka informasi persiapan evakuasi dan
lain-lain perlu diberitahukan kepada penyandang cacat dan penolong evakuasi
2) Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat disesuaikan
dengan ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet (email, sms, dll) dan
siaran televisi untuk tuna rungu; handphone yang dapat membaca pesan masuk
untuk tuna netra; HP yag dilengkapi dengan alat handsfree untuk tuna daksa
dan sebagainya.
Pertolongan pada penyandang cacat
1) Tunadaksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan mudah
jatuh, serta orang yang memiliki keterbatasan dalam perpindahan atau pemakai
kursi roda yang tidak dapat melangkah sendirian ketika berada di tempat yang
jalannya tidak rata dan menaiki tangga. Ada yang menganggap kursi roda
seperti satu bagian dari tubuh sehingga cara mendorongnya harus mengecek
keinginan si pemakai kursi roda dan keluarga
2) Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena menyadari
suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan tentang kondisi sekitar
rumah dan tempat aman untuk lari dan bantuan untuk pindah di tempat yang
tidak familiar. Pada waktu menolong mereka untukpindah, peganglah siku dan
pundak, atau genggamlah secara lembut pergelangannya karena berkaitan
dengan tinggi badan mereka serta berjalanlah setengah langkah di depannya.
3) Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya karena tidak dapat
menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada bahasa tulis,
bahasa isyarat, bahasa membaca gerakan mulut lawan bicara, dll tetapi belum
tentu semuanya dapat menggunakan bahasa isyarat
4) Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya karena kurang
mampu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri dan
seringkali mudah menjadi panik. Pada saat mereka mengulangi ucapan dan
pertanyaan yang sama dengan lawan bicara, hal itu menandakan bahwa
mereka belum mengerti sehingga gunakan kata-kata sederhana yang mudah
dimengerti (Farida, Ida. 2013).
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada penyakit kronis saat bencana
adalah
1) Pada fase akut bencana ini, bisa dikatakan bahwa suatu hal yang paling
penting adalah berkeliling antara orang-orang untuk menemukan masalah
kesehatan mereka dengan cepat dan mencegah penyakit mereka memburuk.
Perawat harus mengetahui latar belakang dan riwayat pengobatan dari orang-
orang yang berada di tempat dengan mendengarkan secara seksama dan
memahami penyakit mereka yang sedang dalam proses pengobatan, sebagai
contoh diabetes dan gangguan pernapasan.
Pada fase akut yang dimulai sejak sesaat terjadinya bencana, diperkirakan
munculnya gejala khas, seperti gejala gangguan jantung, ginjal, dan
psikologis yang memburuk karena kurang kontrol kandungan gula di darah
bagi pasien diabetes, pasien penyakit gangguan pernapasan yang tidak bisa
membawa keluar peralatan tabung oksigen dari rumah
2) Penting juga perawat memberikan dukungan kepada pasien untuk memastikan
apakah mereka diperiksa dokter dan minum obat dengan teratur. Karena
banyak obat-obatan komersial akan didistribusikan ke tempat pengungsian,
maka muncullah resiko bagi pasien penyakit kronis yang mengkonsumsi
beberapa obat tersebut tanpa memperhatikan kecocokan kombinasi antara
obat tersebut dan obat yang diberikan di rumah sakit.
Pasca bencana
a. Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan kemandirian
individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara. Contohnya: kursi
roda, tongkat, dll
b. Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-individu
dengan keterbatasan fisik dan penyakit kronis
c. Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat:
1) Kebutuhan rumah tangga.
Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK (mandi, cuci,
kakus), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan tempat tidur,
pemukiman sementara dan kebutuhan budaya dan adat.
2) Kebutuhan kesehatan
Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan medis (obat-obatan,
perban, dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan kejiwaan
3) Tempat ibadah sementara
4) Keamanan wilayah
5) Kebutuhan air
6) Kebutuhan sarana dan prasarana
Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak – seperti air bersih, MCK
untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat komunikasi dalam masyarakat dan
pihak luar, penerangan/listrik, sekolah sementara, alat angkut/transport,
gudang penyimpanan persediaan, tempat pemukiman sementara, pos
kesehatan alat dan bahan-bahan.
Bencana maupun kecelakaan dapat mengenai siapa saja, dimana saja, dan kapan saja.
Terkadang musibah ini dapat menimpa seseorang di tempat yang tidak diperkirakan dimana
keadaannya sama sekali tidak memungkinkan untuk pemberian pertolongan sehingga
pemindahan korban ke tempat yang lebih kondusif sangat diperlukan. Sebagai contoh korban
tabrakan yang masih berada di dalam mobilnya, korban yang terjatuh ke jurang, atau korban
dalam keadaan perang.
Pengertian
Pemindahan korban dari tempat kejadian ke tempat yang lebih aman untuk mendapat
penanganan lebih lanjut dimana sebelumnya pertolongan pertama telah dilakukan
Dalam melakukan proses evakuasi terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan
agar proses ini dapat berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan masalah yang lebih jauh
lagi. Prinsip – prinsip itu antara lain :
Lokasi kejadian :
Kondisi Korban
Dalam melakukan evakuasi, evaluasi terhadap kondisi korban yang ditemukan harus
diperhatikan agar proses evakuasi dapat berjalan dengan lancar. Kondisi yang perlu
untuk diperhatikan antara lain :
o Jika terdapat patah tulang pada daerah yang lain maka hendaknya dilakukan
immobilisasi pada daerah tadi
Peralatan
Pengetahuan yang dimiliki dan kemampuan dari orang yang akan melakukan proses
evakuasi juga menjadi faktor penting karena dengan pengetahuan dan keterampilan
ini semua masalah yang dapat timbul selama proses evakuasi dapat ditekan. Sebagai
contoh, dengan keterampilan yang ada seseorang dapat melakukan evakuasi dengan
alat seadanya. Dalam melakukan evakuasi, keselamatan penolong haruslah
diutamakan.
Aktualisasi
o Telah Melalui tahapan initial assesment
Mobilisasi
Teknik Evakuasi
Terdapat berbagai macam teknik dalam melakukan evakuasi dimana tekniknya disesuaikan
dan dikembangan menurut kondisi yang ada. Secara umum, teknik dalam melakukan
evakuasi dibagi sebagai berikut :
Dengan alat
o Anggota C : Mengatur tandu dan menyiapkan obat dan alat yang digunakan,
waktu mengangkat : mengumpulkan alat-alat P3K dan barang milik pasien,
memantau kondisi pasien selama proses evakuasi.
Tanpa alat
o 1 orang penolong
Korban anak-anak
Cradle (membopong)
Korban Dewasa
Fireman Lift
Merupakan tindakan yang aman bagi korban baik dalam keadaan sadar
ataupun tidak sadar tetapi tidak terjadi fraktur pada ekstremitas atas atau
vertebra. Biasanya digunakan pada korban dengan berat badan ringan.
Membopong
Memapah
Cara paling aman untuk melakukan evakuasi pada korban yang tidak sadar
dan mengalami cidera multipel. Penolong lebih dari 2 orang dimana tiga/dua
penolong mengangkat badan dan salah seorang dari anggota tim memfiksasi
kepala korban. Pengangkatan ini dilakukan secara sistematis dan terkoordinir
untuk menghindari cidera yang lainnya.
Hijau : pasien yang mengalami luka ringan dan mampu untuk berjalan
o Dalam keadaan darurat korban dengan kemungkinan hidup lebih tinggi harus
didahulukan
o Korban dengan luka lebih parah dan paling memungkinkan untuk ditolong
terlebih dahulu harus didahulukan
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Perlindungan kelompok rentan saat bencana dan implementasi penyandang cacat
dan para lanjut usia adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan
dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi
suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai
kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial
yang sedang mereka hadapi. Kelompok masyarakat yang rentan adalah orang lanjut usia,
anak-anak, perempuan, dan penyandang cacat. Untuk mengurangi dampak bencana pada
individu dari kelompok-kelompok rentan diatas, petugas-petugas yang terlibat dalam
perencanaan dan penanganan bencana perlu Mempersiapkan peralatan-peralatan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan kelompok-keompok rentan tersebut, contohnya
ventilisator untuk anak, alat bantu untuk individu yang cacat, alat-alat bantuan persalinan,
dll, melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan, merencanakan intervensi-intervensi
untuk mengatasi hambatan informasi dan komunikasi, menyediakan transportasi dan
rumah penampungan yang dapat diakses, menyediakan pusat bencana yang dapat diakses.
3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyarankan kepada para pembaca agar
memahami secara mendalam materi yang telah dipaparkan dalam makalah ini, karena
dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut sangat bermanfaat untuk Perlindungan
kelompok rentan saat bencana dan implementasi penyandang cacat dan para lanjut usia.
Daftar Pustaka