Anda di halaman 1dari 8

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis Paru (TB Paru) adalah merupakan penyakit kronis (menahun)


yang telah lama dikenal oleh masyarakat luas dan ditakuti karena menular. TB
Paru disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosa. Sebagian besar kuman TB
Paruterdiri atas asam lemak/lipid yang membuat kuman lebih tahan terhadap
asam. Penyakit TB Paru dapat mengakibatkan kematian sehingga pengobatan
penderita TB Paru sangat penting, pengobatan dilakukan untuk mencegah
kematian, mencegah kekambuhan serta memutuskan mata rantai
penularan(Depkes RI, 2011).

Word Health Organization(WHO) pada tahun 2013 mendeklarasikan


kedaruratan global TB Paru karena sebagian besar negara didunia tidak
berhasil mengendalikan TBParu sehingga angka kesembuhan penderita TB
Paru yang berdampak pada tingginya tingkat penularan. Data WHO pada
tahun 2013 diperkirakan 9 juta orang dan 1,5 meninggal akibat penyakit ini di
22 negara. Estimasi 550.000 anak menderita penyakit TB Paru meninggal
akibat penyakit ini pada tahun yang sama.

Berdasarkan data Riskesdas (2013), di Indonesia prevalensi TB Paru yang


didiagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 0,4%. Presentasi TB Paru yang
paling tinggi di Provinsi Jawa Barat (0,7%). Papua dan DKI Jakarta
menempati urutan kedua dengan presentasi yang sama (0,6%). Gorontalo
menempati urutan ketiga (0,5%),sedangkan Banten dan Papua Barat
menempati urutan keempat (0,4%). Berdasarkan angka notifikasi kasus atau
Case Notification Rate (CNR), angka notifikasi kasus BTA + pada tahun
2013 di Indonesia sebesar 81,0 per 100.000 penduduk. Propinsi dengan CNR
BTA+ terendah yaitu Yogyakarta (35,2), Bali (40,1) dan Jawa Tengah (60,6)
sedangkan Provinsi yang tertinggi yaitu Sulawesi Utara (224,2), Sulawesi
Tenggara (183,9) dan Gorontalo (177,3).

1 STIKes Faletehan
2

Di Provinsi Banten, TB Paru menempati urutan keempat setelah penyakit


influenza, diare, dan hipertensi. Jumlah penemuan penderita TB paru BTA +
pada tahun 2011 mencapai 8.208 sedangkan pada tahun 2010 mencapai 8,466
kasus, dan diobati sebanyak 9,779 kasus, serta penderita TB yang sembuh
sebanyak 70,59%, dengan demikian yang belum sembuh atau dalam tahap
pengobatan sebanyak 29,1%. Menurut Dinkes Provinsi Banten, kesembuhan
pada pasien TB Paru yang belum mencapai 100% ini salah satunya disebabkan
karena faktor ketidakpatuhan pasien TB paru dalam minum Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) (Dinkes Provinsi Banten, 2011).

Penanggulangan TB paru secara nasional adalah dengan pemberian OAT


kepada penderita secara cuma-cuma dan dijamin ketersediannya.
Penanggulangan TB paru dilaksanakan oleh seluruh Unit Pelayanan
Kesehatan (UPK), meliputi puskesmas, rumah sakit pemerintah dan swasta,
serta praktek dokter swasta dengan melibatkan peran serta masyarakat secara
paripurna dan terpadu. Adapun waktu yang digunakan untuk terapi adalah 6-8
bulan(Lestari dan Chairil, 2008)

Waktu terapi yang mencapai 6-8 bulan dan dilakukan secara teratur menjadi
masalah tersendiri dalam penanggulangan TB paru. Padahal kesembuhan
pasien-pasien TB Paru sangat ditentukan oleh kepatuhannya dalam minum
OAT. Kepatuhan merupakan faktor yang menentukan efektifitas suatu
pengobatan. Persentase kesembuhan bagi penderita TB Paru sangat tinggi bila
diagnosis dan pengobatannya benar. Dampak pasien tidak patuh
mengakibatkan proses penyembuhan penyakit menjadi terhambat. Pengobatan
yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak lengkap dimasa lalu,
menimbulkan kekebalan ganda kuman TB Paru terhadap OAT atau yang
disebut Multi Drug Resistance (MDR), yang pengobatannya lebih mahal
dengan lama pengobatan 17-24 bulan, dan efek samping yang lebih berat
(Depkes RI, 2011).

STIKes Faletehan
3

Strategi untuk meningkatkan keberhasilan pengobatan salah satunya dengan


meningkatkan kepatuhan berobat penderita. Untuk meningkatkan kepatuhan
tersebut, salah satunya adalah dengan meningkatkan pengetahuan penderita
TB paru sehingga terjadi perubahan perilaku yang lebih baik. Penelitian yang
dilakukan oleh Erawatyningsih (2009) mendapatkan hasil bahwa salah satu
faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat adalah pengetahuan penderita
TB paru (p = 0,0002). Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa
pengetahuan penderita yang rendah akan beresiko lebih dari dua kali terjadi
kegagalan berobat dibandingkan dengan penderita dengan pengetahuan
baik.Hasil penelitian tersebut juga didukung hasil penelitian Siswanto (2013)
yang mendapatkan hasil salah satunya adalah adanya hubungan yang
bermakna antara pengetahuan dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis
(p=0,000).

Pengetahuan didapatkan melalui pendidikan kesehatan. Lembaga Koalisi


untuk Indonesia Sehat (2006) menambahkan bahwa penanggulangan TB Paru
memerlukan upaya terpadu dan sistematis dalam berbagai aspek. Salah
satunya melalui strategi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) untuk
perubahan perilaku serta mobilisasi kekuatan elemen-elemen sosial
kemasyarakatan.

Penelitian Panjaitan (2014) di RSUP H. Adam Malik Medan membuktikan


bahwa dengan pendidikan kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan
penderita TB Paru. Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan responden
sebelum dan setelah pemberianpendidikan kesehatan secara signifikan
mengalami peningkatan dari 9,32 menjadi 19,10 dengan nilai p = 0,001.
Kemudian penelitian Loriana (2015) di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota
Samarinda juga mendapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang bermakna
pada pengetahuan, sikap dan tingkatkepatuhan tentang kepatuhan berobat
penderita TB paru sebelum dan sesudahmendapatkan konseling dengan nilai p
= 0,000 (p < 0,05).

STIKes Faletehan
4

Pendidikan kesehatan sebagai bagian darikesehatan masyarakat, berfungsi


sebagai media atau saranauntuk menyediakan kondisi sosio-psikologis
sedemikianrupa sehingga individu atau masyarakat berperilaku sesuaidengan
norma-norma hidup sehat. Dengan perkataan lainpendidikan kesehatan
bertujuan untuk mengubahpengetahuan, sikap dan tindakan individu atau
masyarakatsehingga sesuai dengan norma norma hidup sehat.Pendidikan
kesehatan akan berpengaruh pada perilakukesehatan, selanjutnya perilaku
kesehatan akanberpengaruh kepada meningkatnya indikator
kesehatanmasyarakat sebagai keluaran (outcome) pendidikankesehatan
(Notoatmodjo, 2010).

Jika penderita tidak memilikipengetahuan yang baik tentang pengobatan


danpencegahan penularan Tuberkulosis paru, maka akan sulituntuk
menentukan sikap serta mewujudkannya dalamsuatu perbuatan/tindakan.
Pengetahuan dan sikapmenentukan perilaku atau tindakan
seseorang.Pengetahuan seseorang tentang TB Paru yang mencakuppengertian,
penyebab, cara penularan, manfaat makan obat secara teratur serta cara
pencegahan suatu penyakit.Pengetahuan merupakan domain terbentuknya
suatuperilaku (Notoatmodjo, 2010).

Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa upaya peningkatan pengetahuan


dalam hal ini penderitaTB Paru dapat dilakukanmelalui pendidikan
kesehatan.Peningkatan pengetahuan tersebut bermanfaat dalamperubahan
perilaku kesehatan yang lebih baik. Hal tersebut sesuaidengan teori perilaku
kesehatan, bahwa pengetahuandapat mendasari seseorang untuk bertindak
termasukuntuk patuh dalam menjalani program pengobatan TB Paru.

Pendidikan kesehatan dapat membantu dalam meningkatkan angka penemuan


kasus TB paru, mengurangi keterlambatan pengobatan dan mempromosikan
pendekatan pengobatan. Penyuluhan dengan menggunakan berbagai media
dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk
mengubah persepsi masyarakat tentang TB Paru dari "suatu penyakit yang

STIKes Faletehan
5

tidak dapat disembuhkan dan memalukan" menjadi penyakit yang berbahaya,


tapi dapat disembuhkan" (Depkes, 2007).

Di Klinik Paru RSUD Dr. Adjidarmo pemberian pendidikan kesehatan


dilakukan pada setiap pasien yang datang melakukan kunjungan, namun hasil
yang didapatkan masih jauh dari yang diharapkan, hal tersebut terlihat dari
masih banyaknya penderita TB Paru yang putus obat. Kurang efektifnya
pendidikan kesehatan yang diberikan di Klinik Paru RSUD Dr. Adjidarmo
salah satunya disebabkan oleh terbatasnya waktu dan kurang fokusnya
penderita dalam menerima materi yang disampaikan, hal tersebut disebabkan
karena niat pasien datang ke Klinik Paru hanya untuk berobat. Sehingga
untuk mengatasi hal tersebut maka pemberian pendidikan kesehatan perlu
dilakukan pada waktu yang khusus dan dengan persiapan materi yang
tersusun.

Berdasarkan obeservasi data di Poli Paru RSUD dr. Adjidarmo diketahui


bahwa angka kesembuhan TB Paru pada tahun 2016 sebesar 70,7%, angka ini
masih dibawah target nasional yaitu sebsar 85%. Pada periode Juli-September
2017tercatat sebanyak 447 penderita TB paru, dari jumlah tersebut sebanyak
87 penderita putus obat (16,4%). Dari hasil wawancara terhadap 10 penderita
TB Paru yang melakukan kunjungan, didapatkan data bahwa 60% penderita
TB Paru tidak mengetahui cara penularan dan pencegahan TB Paru, 70%
tidak mengetahui akibat atau dampak dari droup out (DO) dari pengobatan.
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa masih banyak penderita TB Paru
belum memiliki pengetahuan yang memadai tentang penyakit TB Paru.

Berdasarkan latar belakang dan data-data yang telah diuraikan, penelititertarik


mengetahui lebih lanjut tentang pengaruh pendidikan kesehatan terhadap
kepatuhan minum OAT pada penderita TB di Klinik Paru RSUD Dr.
Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2017”.

STIKes Faletehan
6

B. Rumusan Masalah

Hasil observasi di Klinik Paru RSUD Dr. Adjidarmodidapatkan data bahwa


angka kesembuhan TB paru pada tahun 2016 sebesar 70,7%, angka ini masih
dibawah target nasional yaitu sebesar 85%. Masalah yang mempersulit
pengobatan pasien TB paru adalah pengobatannya yang memakan waktu lama
dan teratur.Kepatuhan merupakan faktor yang menentukan efektifitas suatu
pengobatan. Dari hasil studi pendahuluan juga diketahui masih banyak
penderita TB Paru yang kurang memiliki pengetahuan tentang TB Paru.Akibat
dari kurangnya pengetahuan tentang TB Paru membuat penderita tidak patuh
menjalani pengobatan sesuai program yang pada akhirnya penyakit tidak
kunjung sembuh.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan dalam


penelitian ini adalah “Apakah adapengaruh pendidikan kesehatan terhadap
kepatuhan minum OAT pada penderita TB Paru di Klinik Paru RSUD Dr.
Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2017?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Diketahuinyapengaruh pendidikan kesehatan terhadap kepatuhan minum
OAT pada penderita TB di Klinik Paru RSUD Dr. Adjidarmo
Rangkasbitung Tahun 2017.

2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran kepatuhan minum OATsebelum diberikan
pendidikan kesehatan pada penderita tuberkulosisdi Klinik Paru
RSUD Dr. Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2017.
b. Diketahuinya gambaran kepatuhan minum OATsetelah diberikan
pendidikan kesehatan pada penderita tuberkulosisdi Klinik Paru
RSUD Dr. Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2017.

STIKes Faletehan
7

c. Diketahuinya pengaruh pendidikan kesehatan terhadap kepatuhan


minum OATpada penderita tuberkulosisdi Klinik Paru RSUD Dr.
Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2017.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi RSUD Dr. Adjidarmo Rangkasbitung


Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan keberhasilan pengobatan
dan mencegah kejadian drop out pengobatan dengan metode pemberian
pendidikan kesehatan dan sebagai evaluasi tingkat pemahaman penderita
terhadap penyakit TB Paru dan pengobatan. Sehingga diharapkan
nantinya tersusunlah program perencanaan yang matang dan solusi
terkait upaya-upaya peningkatan keberhasilan pengobatan.

2. Bagi Institusi Pendidikan


Diharapkanpenelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dan rujukan
mahasiswa dalam melakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor
yang berhubungan dengan kepatuhan pasien TB paru dalam meminum
obat anti tuberkulosis.

3. Bagi Peneliti
Menambah wawasan dan mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh,
serta ikut berkontribusi dalam upaya pemecahan masalah kesehatan
masyarakat khususnya yang berkaitan dengan penyakit tuberkulosis paru.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui pengaruh pendidikan


kesehatan terhadap kepatuhan minum obat pada penderita tuberkulosis.
Responden dalam penelitian ini adalah penderita tuberkulosis paru di Klinik
Paru RSUD Dr. Adjidarmo Rangkasbitung.Penelitian dilakukan pada bulan
Desember 2017 sampai dengan Januari 2018 di Klinik Paru RSUD Dr.

STIKes Faletehan
8

Adjidarmo Rangkasbitung Penelitian ini dilakukan karena melihat masih


rendahnya tingkat kepatuhan penderita TB paru dalam meminum obat anti
tuberculosis sesuai program. Desain yang digunakan dalam penelitian ini
adalah desain penelitian kuantitatif, dengan rancangan penelitian Quasy
Eksperimental dengan nonequivalent pretest-posttest control group design,
yaitu dengan membandingkan kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.

STIKes Faletehan

Anda mungkin juga menyukai