Praktikkum petrografi program studi Teknik Geologi Univeristas Diponegoro
dilaksanakan pada hari Senin, 24 November 2014 dan 1 Desemberr 2014. Praktikkum ini mempelajari tentang Petrografi Batuan Metamorf. Dalam acara ini praktikkan melakukan pengamatan terhadap 3 sayatan batuan peraga menggunakan mikroskop polarisator. Adapun pengamatan tentang sayatan batuan peraga mengenai struktur dan tekstur batuan meliputi ukuran, fabrik, ketahanan mineral, dan bentuk. Kemudian mengamati komposisi mineral disertai dengan kelimpahan mineral pada sayatan batuan. Hasil dari deskripsi ini kemudian dianalisis mengenai petrogenesa dan terakhir menentukan nama batuan berdasarkan klasifikasi W.T Huang 1962. Adapun hasil dari sayatan yang telah diamatai adalah sebagai berikut.
2.1 Sayatan Batuan Peraga STA 3 Kelompok 9
Pengamatan sayatan batuan peraga diamati di Laboratorium Petrografi Gedung Pertamina Sukowati Universitas Diponegoro. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop polarisasi dimana ketika melakukan pengamatan, praktikkan menggunakan perbesaran 4x. Pengamatan menggunakan mikroskop ini digunakan untuk melihat kenampakan struktur dan tekstur batuan secara mikroskopis. Struktur tersebut menggambarkan kenampakan batuan berdasarkan ukuran, bentuk, atau orientasi unit poligranular batuan tersebut. Tekstur dapat menggambarkan bentuk, ukuran, dan susunan mineral di dalam batuan. Pengamatan tekstur ini meliputi ukuran, fabrik, ketahanan mineral, dan bentuk mineral. Setelah dilakukan pengamatan terhadap sayatan batuan peraga ini, dapat diketahui bahwa sayatan batuan peraga ini memiliki struktur foliasi berupa phyllitic. Foliasi merupakan struktur paralel yang ditimbulkan oleh mineral- mineral pipih sebagai akibat dari proses metamorfosa. Sedangkan phyllitic merupakan salah satu jenis struktur foliasi yang dicirikan oleh adanya bidang- bidang belah planar yang telah mengalami rekristalisasi lebih besar dan mulai terlihat pemisahan mineral pipih dengan mineral granular. Berdasarkan ukurannya, sayatan peraga ini memiliki ukuran faneritik. Faneritik menunjukkan bahwa ukuran mineral masih terlihat jelas dan dapat diidentifikasi ciri-cirinya. Dilihat dari fabriknya, sayatan peraga batuan ini termasuk dalam hypidioblastik. Hypidioblastik menunjukkan bahwa bentuk individu mineral dibatasi oleh kristal berbentuk anhedral. Pengamatan berikutnya ialah mengenai ketahanan mineral dimana ketahanan mineral ini menunjukkan hasil dari tekstur batuan asal ketika mengalami metamorfosa. Adapun ketahanan mineral pada sayatan ini yaitu kristaloblastik dimana pada sayatan ini telah mengalami rekristalisasi sempurna sehingga tekstur asalnya tidak tampak. Kemudian pengamatan tentang tekstur terakhir adalah mengenai bentuk mineral. Adapun pada sayatan ini bentuk mineralnya berupa nematoblastik, yaitu mineral penyusun batuan ini berbentuk prismatik. Adapun mineral penyusun batuan ini terdiri dari muscovit, kuarsa, dan klorit. Adapun sifat optik dari mineral-mineral tersebut ialah : a. Mineral muscovit, ketika diamati menggunakan nikol sejajar dapat diketahui sifat optik muscovit dengan warna colorless dan relief rendah. Sementara itu ketika diamati menggunakn nikol bersilang dapat diketahui sifat optik berupa warna pelangi. b. Mineral kuarsa, ketika diamati menggunakan nikol sejajar dapat diketahui sifat optik kuarsa dengan warna colorless dan relief sangat rendah. Sementara itu ketika diamati menggunakn nikol bersilang dapat diketahui sifat optik berupa gelapan bergelombang. c. Mineral klorit, ketika diamati menggunakan nikol sejajar dapat diketahui sifat optik klorit dengan warna kehijauan dan relief rendah-sedang. Sementara itu ketika diamati menggunakan nikol bersilang tidak menunjukkan adanya perubahan meskipun meja preparat diputar. Pengamatan dilakukan terhadap 3 medan pandang. Pada medan pandang 1 kelimpahan mineral muscovit sebesar 50%, mineral kuarsa sebesar 20%, dan mineral klorit sebesar 30%. Pada medan pandang 2 kelimpahan mineral muscovit sebesar 55%, mineral kuarsa sebesar 15%, dan mineral klorit sebesar 30%. Pada medan pandang 3 kelimpahan mineral muscovit sebesar 55%, mineral kuarsa sebesar 15%, dan mineral klorit sebesar 30%. Sehingga dari ketiga medan pandang tersebut dapat diambil rata-rata kelimpahan mineral sayatan peraga ini yaitu mineral muscovit sebesar 53,3%, mineral kuarsa sebesar 16,7%, dan mineral klorit sebesar 30%. Berdasarkan pengamatan secara mikroskopis dapat diketahui bahwa ukuran mineral dalam sayatan termasuk faneritik. Faneritik menunjukkan bahwa mineral tersebut dapat terlihat dan diidentifikasi sifat optiknya. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa pada batuan asalnya mineral yang terbentuk juga dapat dilihat dan diidentifikasi. Ukuran mineral yang dapat terlihat dapat diinterpretasikan bahwa dalam pembentukan mineral tersebut magma mengalami pembekuan yang cukup lama sehingga sempat membentuk kristal yang cukup besar. Kemudian dari fabrik berupa hypidiomorf dapat diinterpretasikan bahwa sewaktu magma mulai membeku membentuk mineral tiba-tiba terjadi penurunan suhu secara drastis sehingga mineral yang tumbuh tidak terlalu sempurna. Berdasarkan ketahanan mineral terhadap metamorfisme pada sayatan ini termasuk ke dalam kristaloblastik dimana tekstur batuan asal sudah tidak nampak lagi. Hal ini dapat dimungkinkan karena proses metamorfisme yang terjadi sangat kuat sehingga tekstur batuan asalnya berubah seluruhnya. Berdasarkan struktur dan teksturnya batuan pada sayatan peraga ini termasuk ke dalam batuan metamorf. Batuan ini merupakan batuan ubahan dari batuan yang sudah ada karena pengaruh suhu dan tekanan yang tinggi. Adapun proses terbentuknya batuan pada sayatan peraga ini lebih didominasi oleh tekanan yang tinggi. Hal ini dikarenakan mineral-mineral pada sayatan ini membentuk pola orientasi, dimana pola orientasi mineral tersebut terbentuk akibat adanya tekanan yang tinggi. Batuan asal yang belum mengalami metamorfisme, memiliki susunan mineral yang menyebar di dalam batuan. Ketika batuan tersebut mulai mengalami metamorfisme, adanya tekanan yang tinggi mengakibatkan terjadinya pengorientasian mineral-mineral sehingga akan terbentuk suatu penjajaran mineral. Berdasarkan adanya penjajaran mineral yang menunjukkan bahwa proses tekanan yang lebih dominan daripada suhu, dapat diinterpretasikan bahwa batuan pada sayatan peraga ini terbentuk di daerah subduksi. Pada daerah ini terdapat dua pergerakan lempeng yang saling mendekat dan bertumbukan sehingga akan menimbulkan tekanan. Tekanan pada daerah ini lebih tinggi daripada suhu yang dihasilkan sehingga batuan yang berada di daerah ini akan mengalami proses metamorfisme secara regional dan akan mengalami penjajaran mineral yang disebabkan oleh tekanan yang tinggi. Sayatan batuan peraga ini berasal dari mudstone.
Gambar Zona Subduksi
Jika dilihat dari suhu, tekanan, dan mineral yang terdapat pada sayatan ini, maka dapat diketahui fasies metamorfisme peraga ini. Adapun pada peraga ini termasuk ke dalam fasies prehnite-pumpellyte. Berdasarkan pengamatan terhadap struktur berupa foliasi dan tekstur sayatan batuan berupa ukuran faneritik, fabrik hypidiomorf, ketahanan mineral kristaloblasti, dan bentuk mineralnya nematoblastik serta komposisi mineral dengan rata-rata dari 3 medan pandang yaitu muscovit sebesar 53,3%, kuarsa sebesar 16,7%, dan klorit sebesar 30% maka didapatkan nama batuan yaitu Phyllite (W.T Huang, 1962).
2.2 Sayatan Batuan Peraga 11 BM 5
Pengamatan sayatan batuan peraga diamati di Laboratorium Petrografi Gedung Pertamina Sukowati Universitas Diponegoro. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop polarisasi dimana ketika melakukan pengamatan, praktikkan menggunakan perbesaran 4x. Pengamatan menggunakan mikroskop ini digunakan untuk melihat kenampakan struktur dan tekstur batuan secara mikroskopis. Struktur tersebut menggambarkan kenampakan batuan berdasarkan ukuran, bentuk, atau orientasi unit poligranular batuan tersebut. Tekstur dapat menggambarkan bentuk, ukuran, dan susunan mineral di dalam batuan. Pengamatan tekstur ini meliputi ukuran, fabrik, ketahanan mineral, dan bentuk mineral. Setelah dilakukan pengamatan terhadap sayatan batuan peraga ini, dapat diketahui bahwa sayatan batuan peraga ini memiliki struktur non foliasi berupa hornfelsic. Non foliasi merupakan struktur pada batuan metamorf yang tidak menunjukkan adanya penjajaran mineral, dan pada umumnya terbentuk oleh mineral-mineral equidimensional dan umumnya terdiri dari butiran- butiran. Sedangkan hornfelsic merupakan salah satu jenis struktur non foliasi yang dicirikan oleh adanya mineral-mineral equiranular dan umumnya berbentuk polygonal. Berdasarkan ukurannya, sayatan peraga ini memiliki ukuran faneritik. Faneritik menunjukkan bahwa ukuran mineral masih terlihat jelas dan dapat diidentifikasi ciri-cirinya. Dilihat dari fabriknya, sayatan peraga batuan ini termasuk dalam hypidioblastik. Hypidioblastik menunjukkan bahwa bentuk individu mineral dibatasi oleh kristal berbentuk anhedral. Pengamatan berikutnya ialah mengenai ketahanan mineral dimana ketahanan mineral ini menunjukkan hasil dari tekstur batuan asal ketika mengalami metamorfosa. Adapun ketahanan mineral pada sayatan ini yaitu relict dimana pada sayatan ini masih menunjukkan tekstur batuan asalnya. Kemudian pengamatan tentang tekstur terakhir adalah mengenai bentuk mineral. Adapun pada sayatan ini bentuk mineralnya berupa granuloblastik, yaitu mineral penyusun batuan ini berbentuk granular, equidimensional, dan umumnya kristalnya berbentuk anhhedral. Adapun mineral penyusun batuan ini seluruhnya terdiri dari kuarsa. Mineral kuarsa, ketika diamati menggunakan nikol sejajar dapat diketahui sifat optik kuarsa dengan warna colorless dan relief sangat rendah. Sementara itu ketika diamati menggunakn nikol bersilang dapat diketahui sifat optik berupa gelapan bergelombang. Pengamatan dilakukan terhadap 3 medan pandang dimanan pada ketiga medan pandang tersebut seluruhnya tersusun atas mineral kuarsa. Sehingga dapat dikatakan persentase mineral pada medan pandang 1 yaitu mineral kuarsa sebesar 100%, pada medan pandang 2 terdiri dari mineral kuarsa sebesar 100%, dan pada medan pandang 3 terdiri dari mineral kuarsa sebesar 100%. Sehingga dari ketiga medan pandang tersebut dapat diambil rata-rata mineral penyusun pada sayatan peraga ini yaitu mineral kuarsa sebesar 100%. Berdasarkan pengamatan secara mikroskopis dapat diketahui bahwa ukuran mineral dalam sayatan termasuk faneritik. Faneritik menunjukkan bahwa mineral tersebut dapat terlihat dan diidentifikasi sifat optiknya. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa pada batuan asalnya mineral yang terbentuk juga dapat dilihat dan diidentifikasi. Ukuran mineral yang dapat terlihat dapat diinterpretasikan bahwa dalam pembentukan mineral tersebut magma mengalami pembekuan yang cukup lama sehingga sempat membentuk kristal yang cukup besar. Kemudian dari fabrik berupa hypidiomorf dapat diinterpretasikan bahwa sewaktu magma mulai membeku membentuk mineral tiba-tiba terjadi penurunan suhu secara drastis sehingga mineral yang tumbuh tidak terlalu sempurna. Berdasarkan ketahanan mineral terhadap metamorfisme pada sayatan ini termasuk ke dalam relict dimana tekstur batuan asal masih terlihat. Hal ini dapat dimungkinkan karena proses metamorfisme yang terjadi tidak seluruhnya terjadi pada batuan asal sehingga masih terlihat mineral kuarsa yang berasal dari batuan asal. Berdasarkan struktur dan teksturnya batuan pada sayatan peraga ini termasuk ke dalam batuan metamorf. Batuan ini merupakan batuan ubahan dari batuan yang sudah ada karena pengaruh suhu dan tekanan yang tinggi. Adapun proses terbentuknya batuan pada sayatan peraga ini lebih didominasi oleh suhu yang tinggi. Hal ini dikarenakan mineral-mineral pada sayatan ini terlihat telah mengalami perkembangan ukuran sehingga ukuran mineralya lebih besar daripada mineral pada batuan asal. Batuan asal yang belum mengalami metamorfisme, memiliki mineral kuarsa yang tidak terlalu besar. Ketika batuan tersebut mulai mengalami metamorfisme, adanya suhu yang tinggi mengakibatkan terjadinya perkembangan mineral-mineral sehingga akan menghasilkan mineral-mineral yang memiliki ukuran lebih besar daripada mineral pada batuan asal.. Berdasarkan terbentuknya mineral-mineral dengan ukuran besar yang menunjukkan bahwa proses suhu yang lebih dominan daripada tekanan, dapat diinterpretasikan bahwa batuan pada sayatan peraga ini terbentuk di daerah kontak. Pada daerah ini terjadi pemnasan disekitar kontak massa batuan beku intrusif. Perubahan terjadi karena pengaruh panas dan material yang dilepaskan oleh magma serta oleh deformasi akibat gerakan massa. Proses yang umum terjadi pada daerah ini berupa rekristalisasi, reaksi antarmineral, reaksi antara mineral dan fluida serta penggantian dan penambahan material Suhu pada daerah ini lebih tinggi daripada tekanan yang dihasilkan sehingga batuan yang berada di daerah ini akan mengalami proses metamorfisme secara lokal dan akan mengalami perkembangan mineral akibat terkena suhu yang tinggi. Saytan peraga batuan ini diinterpretasikan berasal dari batupasir yang kaya kuarsa. Gambar Intrusi Batuan Beku Jika dilihat dari suhu, tekanan, dan mineral yang terdapat pada sayatan ini, maka dapat diketahui fasies metamorfisme peraga ini. Adapun pada peraga ini termasuk ke dalam fasies hornfels.
Berdasarkan pengamatan terhadap struktur berupa foliasi dan tekstur
sayatan batuan berupa ukuran faneritik, fabrik hypidiomorf, ketahanan mineral relict, dan bentuk mineralnya granuloblastik serta komposisi mineral dengan rata-rata dari 3 medan pandang yaitu kuarsa 100% maka didapatkan nama batuan yaitu Kuarsit (W.T Huang, 1962). 2.3 Sayatan Batuan Peraga R.13.47 Pengamatan sayatan batuan peraga diamati di Laboratorium Petrografi Gedung Pertamina Sukowati Universitas Diponegoro. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop polarisasi dimana ketika melakukan pengamatan, praktikkan menggunakan perbesaran 4x. Pengamatan menggunakan mikroskop ini digunakan untuk melihat kenampakan struktur dan tekstur batuan secara mikroskopis. Struktur tersebut menggambarkan kenampakan batuan berdasarkan ukuran, bentuk, atau orientasi unit poligranular batuan tersebut. Tekstur dapat menggambarkan bentuk, ukuran, dan susunan mineral di dalam batuan. Pengamatan tekstur ini meliputi ukuran, fabrik, ketahanan mineral, dan bentuk mineral. Setelah dilakukan pengamatan terhadap sayatan batuan peraga ini, dapat diketahui bahwa sayatan batuan peraga ini memiliki struktur non foliasi berupa hornfelsic. Non foliasi merupakan struktur pada batuan metamorf yang tidak menunjukkan adanya penjajaran mineral, dan pada umumnya terbentuk oleh mineral-mineral equidimensional dan umumnya terdiri dari butiran- butiran. Sedangkan hornfelsic merupakan salah satu jenis struktur non foliasi yang dicirikan oleh adanya mineral-mineral equiranular dan umumnya berbentuk polygonal. Berdasarkan ukurannya, sayatan peraga ini memiliki ukuran faneritik. Faneritik menunjukkan bahwa ukuran mineral masih terlihat jelas dan dapat diidentifikasi ciri-cirinya. Dilihat dari fabriknya, sayatan peraga batuan ini termasuk dalam hypidioblastik. Hypidioblastik menunjukkan bahwa bentuk individu mineral dibatasi oleh kristal berbentuk anhedral. Pengamatan berikutnya ialah mengenai ketahanan mineral dimana ketahanan mineral ini menunjukkan hasil dari tekstur batuan asal ketika mengalami metamorfosa. Adapun ketahanan mineral pada sayatan ini yaitu kristaloblastik dimana pada sayatan ini telah mengalami rekristalisasi sempurna sehingga tekstur asalnya tidak tampak. Kemudian pengamatan tentang tekstur terakhir adalah mengenai bentuk mineral. Adapun pada sayatan ini bentuk mineralnya berupa nematoblastik, yaitu mineral penyusun batuan ini berbentuk prismatik. Adapun mineral penyusun batuan ini terdiri dari serpentine dan kuarsa. Sifat optik dari mineral-mineral tersebut ialah : Mineral kuarsa, ketika diamati menggunakan nikol sejajar dapat diketahui sifat optik kuarsa dengan warna colorless dan relief sangat rendah. Sementara itu ketika diamati menggunakn nikol bersilang dapat diketahui sifat optik berupa gelapan bergelombang. Mineral kedua yaitu serpentine. Ciri khas dari mineral ini adalah berserabut, berwarna coklat kehijauan dan ketika dilakukan pemutaran terhadap meja preparat tidak menunjukkan perubahan warna baik menggunakan nikol sejaar, nikol bersilang, dan pemasukan baji kuarsa. Pengamatan dilakukan terhadap 3 medan pandang. Pada medan pandang 1 kelimpahan mineral serpentine sebesar 100%, mineral kuarsa sebesar 0%. Pada medan pandang 2 kelimpahan mineral serpentine sebesar 95%, mineral kuarsa sebesar 5%. Pada medan pandang 3 kelimpahan mineral serpentine sebesar 95%, mineral kuarsa sebesar 5%. Sehingga dari ketiga medan pandang tersebut dapat diambil rata-rata kelimpahan mineral sayatan peraga ini yaitu mineral serpentine sebesar 96,7% dan mineral kuarsa sebesar 3,3%. Berdasarkan pengamatan secara mikroskopis dapat diketahui bahwa ukuran mineral dalam sayatan termasuk faneritik. Faneritik menunjukkan bahwa mineral tersebut dapat terlihat dan diidentifikasi sifat optiknya. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa pada batuan asalnya mineral yang terbentuk juga dapat dilihat dan diidentifikasi. Ukuran mineral yang dapat terlihat dapat diinterpretasikan bahwa dalam pembentukan mineral tersebut magma mengalami pembekuan yang cukup lama sehingga sempat membentuk kristal yang cukup besar. Kemudian dari fabrik berupa hypidiomorf dapat diinterpretasikan bahwa sewaktu magma mulai membeku membentuk mineral tiba-tiba terjadi penurunan suhu secara drastis sehingga mineral yang tumbuh tidak terlalu sempurna. Berdasarkan ketahanan mineral terhadap metamorfisme pada sayatan ini termasuk ke dalam kristaloblastik dimana tekstur batuan asal sudah tidak nampak lagi. Hal ini dapat dimungkinkan karena proses metamorfisme yang terjadi sangat kuat sehingga tekstur batuan asalnya berubah seluruhnya. Berdasarkan struktur dan teksturnya batuan pada sayatan peraga ini termasuk ke dalam batuan metamorf. Batuan ini merupakan batuan ubahan dari batuan yang sudah ada karena pengaruh suhu dan tekanan yang tinggi. Adapun proses terbentuknya batuan pada sayatan peraga ini lebih didominasi oleh suhu yang tinggi. Hal ini dapat diinterpretasikan dari terdapatnya mineral serpentine. Adapun mineral serpentine merupakan mineral ubahan yang berasal dari mineral pada batuan beku yang bersifat basa. Mineral tersebut bisa berasal dari mineral olivin. Terubahkannya mineral olivin menjadi mineral serpentine pada sayatan ini dapat diinterpretasikan bahwa ketika terjadi pemekaran tengah samudra (MOR), magma yang berasal dari dalam bumi akan naik ke atas akibat pemekaran yang terjadi. Adanya magma tersebut mengakibatkan melelehnya batuan yang terlewati. Terjadi kenaikan suhu yang tinggi pada daerah ini sehingga panas tersebut akan mempengaruhi mineral-mineral disekitar. Akibat pada daerah ini juga terdapat fluida, fluida yang bercampur dengan panas tersebut masuk ke permukaan batuan pada sayatan peraga ini dan mengubahkan mineral yang ada. Karena mineral serpentine termasuk dalam mineral metasomatisme maka dapat dikatahui bahwa fasies metamorfisme pada sayatan ini termasuk dalam fasies derajat rendah dan belum mencapai suhu dari fasies derajat terendah pada metamorfise yang membentuk batuan metamorf. Dilihat dari jenis mineralnya dapat diketahui batuan asal dari sayatan peraga ini yaitu peridotite yang kaya akan mineral olivin.
Gambar zona MOR
Berdasarkan pengamatan terhadap struktur berupa foliasi dan tekstur sayatan batuan berupa ukuran faneritik, fabrik hypidiomorf, ketahanan mineral kristaloblasti, dan bentuk mineralnya nematoblastik serta komposisi mineral dengan rata-rata dari 3 medan pandang yaitu serpentine sebesar 96,7% dan mineral kuarsa sebesar 3,3%. Maka didapatkan nama batuan yaitu Serpentinite. LAMPIRAN