Anda di halaman 1dari 60

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum Zona Merah Kota Bandung.

Menurut Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang

Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima, zona PKL itu dibagi 3, yaitu:

1. Zona merah: lokasi yang tidak boleh terdapat PKL,

2. Zona kuning: lokasi yang bisa tutup buka berdasarkan waktu dan tempat,

3. Zona hijau: lokasi yang diperbolehkan berdagang bagi PKL.

Mulai tanggal 1 Februari 2014 Pemkot Bandung, khususnya Walikota

Bandung, Bapak Ridwan Kamil melarang adanya transaksi jual-beli dari PKL

di zona merah tersebut. Pemkot Bandung juga memberlakukan denda sebesar 1

juta rupiah bagi masyarakat yang nekat berbelanja di zona merah. Hal ini sesuai

dengan Pasal 24 ayat (2) Perda Nomor 4 Tahun 2011. Dengan adanya Perda ini

masyarakat lebih berhati-hati dalam melakukan

transaksi jual-beli, karena mereka tak ingin jika sampai harus terkena denda

sebesar 1 juta rupiah karena melakukan transaksi jual-beli pada titik-titik yang

tergolong dalam zona merah. Ada 7 titik di kota Bandung ini yang tergolong

dalam zona merah, yaitu kawasan:

1. Alun-Alun,

2. Jalan Otto Iskandardinata (Otista),

3. Jalan Dalem Kaum,

4. Jalan Kepatihan (Kings),

5. Jalan Dewi Sartika,


6. Jalan Asia Afrika,

7. Jalan Merdeka (BIP).

Tujuan diberlakukannya Perda tentang kawasan zona merah ini untuk

memfungsikan jalan sebagai sarana prasarana kelancaran kendaraan, sehingga

mengurangi adanya kemacetan yang sering dikeluhkan oleh para pengguna

jalan. Serta diharapkan agar keindahan kota bisa lebih tertata dengan baik,

sehingga akan bisa lebih terwujud kota Bandung sebagai kota wisata yang aman,

nyaman, bersih dan tertib. Dengan dikeluarkannya Perda kota Bandung

No.4/2011 merupakan suatu langkah yang baik dalam menghadapi permasalahan

kota Bandung, yaitu para PKL nakal. Dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah

ini, pada pelaksanaannya harus berjalan disertai dengan asas pemanfaatan yang

seoptimal mungkin, serta pengawasan yang ketat baik dari pemerintah dan

petugas pelaksana melalui pemberian sanksi biaya paksa. Dengan demikian,

sangat diharapkan bahwa masyarakat dapat turut serta bekerja sama dalam

menata kota Bandung yang lebih baik, sesuai dengan tujuan utama dari

peraturan terkait yaitu demi tercapainya kota Bandung yang aman, bersih, dan

tertib serta memantapkan Kota Bandung sebagai kota destinasi wisata di

Indonesia, demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia.

1.1.2 Pedagang Kaki Lima

Ada pendapat yang menggunakan istilah PKL untuk pedagang yang

menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah

kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang

ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda

dan satu kaki). Menghubungkan jumlah kaki dan roda dengan istilah kaki lima
adalah pendapat yang mengada-ada dan tidak sesuai dengan sejarah. Pedagang

bergerobak yang 'mangkal' secara statis di trotoar atau bahu jalan adalah

fenomena yang cukup baru (sekitar 1980-an), sebelumnya PKL didominasi oleh

pedagang pikulan (penjual cendol, pedagang kerak telor) dan gelaran (seperti

tukang obat jalanan). Dan hingga saat ini istilah PKL juga digunakan untuk

semua pedagang yang bekerja di trotoar atau bahu jalan, termasuk para pemilik

rumah makan yang menggunakan tenda dengan menggunakan jalur pejalan kaki

maupun jalur kendaraan bermotor. Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari

masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu

menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan

sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau

sekitar satu setengah meter. Sekian puluh tahun setelah itu, saat Indonesia sudah

merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki banyak dimanfaatkan oleh para pedagang

untuk berjualan. Dahulu namanya adalah pedagang emperan jalan, sekarang

menjadi pedagang kaki lima. Padahal jika merunut sejarahnya, seharusnya

namanya adalah pedagang lima kaki. Di beberapa tempat, pedagang kaki lima

dipermasalahkan karena mengganggu para pengendara kendaraan bermotor,

mengunakan badan jalan dan trotoar. Selain itu ada PKL yang menggunakan

sungai dan saluran air terdekat untuk membuang sampah dan air cuci. Sampah

dan air sabun dapat lebih merusak sungai yang ada dengan mematikan ikan dan

menyebabkan eutrofikasi (masalah lingkungan yang diakibatkan oleh limbah

fosfat khususnya dalam ekosistem air tawar). Tetapi PKL kerap menyediakan

makanan atau barang lain dengan harga yang lebih, bahkan sangat, murah

daripada membeli di toko. Modal dan biaya yang dibutuhkan kecil, sehingga
kerap mengundang pedagang yang hendak memulai bisnis dengan modal yang

kecil atau orang kalangan ekonomi lemah yang biasanya mendirikan bisnisnya

di sekitar rumah mereka.

1.1.3 Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung Keberadaan PKL mengundang

dilematis, disatu sisi PKL dibutuhkan karena memiliki potensi ekonomi

(Kuswardani dan Haryanto dalam Jurnal Ekonomi, 2010) berupa menciptakan

kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan

jiwa kewirausahaan dan sektor pariwisata. Bahkan jika PKL dikelola dengan

baik dan bijak dapat menjadi sumber bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pada

sisi yang lain, (Pikiran Rakyat, 2011) PKL merusak estetika kota dengan

ketidaktertiban dan kekumuhannya. PKL menghambat lalu lintas dan merampas

hak pejalan kaki. Keberadaannya dinilai sudah mengganggu kenyamanan dan

keindahan kota, meski disatu sisi eksistensinya tetap dibutuhkan sebagai roda

penggerak perekonomian masyarakat kecil. Selama ini PKL identik dengan

penyakit kota menempati wilayah yang secara hukum dilarang, mengganggu

kenyamanan pengguna jalan, dan terkesan tidak peduli dengan ketertiban

lingkungan sekitar. Saat ini, banyak kota di Indonesia yang belum mampu

menangani masalah-masalah umum yang sering ditimbulkan oleh PKL.

Keberadaan PKL di lapangan selalu berhadapan dengan kenyamanan

masyarakat selaku pengguana jalan umum khususnya pengendara beroda dua

maupun beroda empat yang mengakibatkan kemacetan di sekitar lokasi tempat

mereka berjualan. Dengan melihat kondisi yang demikian, seringkali muncul

persepsi kepentingan yang berbeda, dimana pada satu sisi pemerintah dan

sebagian besar masyarakat menghendaki adanya penertiban dalam penggunaan


ruang bagi pedagang kaki lima. Sementara pada sisi yang lain, para pedagang

kaki lima menghendaki adanya kesempatan secara relatif bebas dalam

menggunakan tempat di pusat kota untuk melakukan kegiatan usahanya. Dalam

hal ini, seringkali pemerintah kota atau daerah mengeluarkan kebijakan yang

tidak sesuai dengan keinginan pedagang kaki lima seperti menertibkan dengan

tindakan represif atau memindahkan lokasi pedagang kaki lima ke tempat-

tempat tertentu yang dianggap tidak mengganggu ketertiban dan keindahan kota

sehingga kesan kotor dan semrawut dapat dikurangi. Tetapi hal ini sering

ditentang oleh para pedagang kaki lima karena tempat-tempat yang disediakan

oleh pemerintah daerah tersebut dianggap tidak strategis dan jauh dari pusat

keramaian. Hal inilah yang menyebabkan para pedagang kaki lima

meninggalkan tempat tersebut dan kembali berjualan secara liar di pusat

keramaian kota. Kepentingan yang berbeda dimana pada satu sisi pemerintah

dan sebagian besar masyarakat menghendaki adanya penertiban dalam

penggunaan ruang bagi pedagang kaki lima. Sementara pada sisi yang lain, para

pedagang kaki lima menghendaki adanya kesempatan secara relatif bebas dalam

menggunakan tempat di pusat kota untuk melakukan kegiatan usahanya. Dalam

hal ini, seringkali pemerintah kota atau daerah mengeluarkan kebijakan yang

tidak sesuai dengan keinginan pedagang kaki lima seperti menertibkan dengan

tindakan represif atau memindahkan lokasi pedagang kaki lima ke tempat-

tempat tertentu yang dianggap tidak mengganggu ketertiban dan keindahan kota

sehingga kesan kotor dan semrawut dapat dikurangi. Tetapi hal ini sering

ditentang oleh para pedagang kaki lima karena tempat-tempat yang disediakan

oleh pemerintah daerah tersebut dianggap tidak strategis dan jauh dari pusat
keramaian. Hal inilah yang menyebabkan para pedagang kaki lima

meninggalkan tempat tersebut dan kembali berjualan secara liar di pusat

keramaian kota.

4.2. Pembahasan

Pembahasan pada bab ini peneliti akan menganalisis serta memaparkan data yang

diperoleh saat penelitian di kawasan Zona Merah Kota Bandung. Data diperoleh dengan

menggunakan instrumen penelitian melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang

mencakup observasi dan wawancara kepada informan yang terlibat langsung dalam

kegiatan Penertiban Pedagang Kaki Lima di kawasan Zona Merah kota Bandung.

4.2.1 Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Kota Bandung Berupa

Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Ketertiban, Kebersihan

Dan Keindahan (Studi Kasus Penertiban Pedagang Kaki Lima Di Kawasan

Zona Merah).

Pelaksanaan Kebijakan Pemerintah Daerah berupa Peraturan Daerah Nomor 11

tahun 2005 tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan dalam penertiban pedagang

kaki lima di kawasan zona merah diberlakukan sebagaimana tercantum dalam Peraturan

Daerah Nomor 06 tahun 2013 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Satuan Polisi

Pamong Praja menyebutkan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja adalah bagian perangkat

daerah dalam penegakan Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Walikota, penyelenggara

ketertiban umum, ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. Dimana

ketertiban umum dan ketentraman masyarakat adalah suatu keadaan dinamis yang

memungkinkan Pemerinth, Pemerintah Daerah dan masyarakat dapat melakukan


kegiatannya dengan tenteram, tertib dan teratur. Serta perlindungan masyarakat adalah

suatu keadaan dinamis dimana warga masyarakat disiapkan dan dibekali pengetahuan

serta keterampilan untuk melaksanakan kegiatan penanganan bencana guna mengurangi

dan memperkecil akibat bencana, ikut memelihara keamanan, ketentraman dan

ketertiban masyarakat serta kegiatan sosial kemasyarakatan.

Polisi Pamong Praja memiliki wewenang sebagai:

a. melakukan tindakan penertiban non yustisial terhadap warga masyarakat,


aparatur atau badan hukum yang melakukan pelanggaran aras Peraturan Daerah
dan/atau Peraturan Walikota;

b. menindak warga masyarakat, aparatur atau badan hukum yang mengganggu


ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

c. memfasilitasi, memberdayakan dan meningkatkan kapasitas penyelenggaraan


perlindungan masyarakat;

d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur atau


badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah
dan/atau Peraturan Walikota.

e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur atau


badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan/atau
Peraturan Walikota.

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 2004 tentang

Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja disebutkan bahwa Satuan Polisi Pamong

Praja adalah perangkat pemerintah daerah dalam memelihara dan

menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan

Peraturan Daerah. Kemudian, Polisi Pamong Praja adalah aparatur pemerintah

daerah yang melaksanakan tugas Kepala Daerah dalam memelihara dan

menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan

Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.


Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandung dipimpin oleh seorang

Kepala Satuan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota

melalui Sekretaris Daerah (Perda Kota Bandung nomor 04 tahun 2005 tentang

pembentukan dan susunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kota

Bandung).

Berikut susunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandung :

1.Kepala Satuan, Membawahi :

2.Sekretaris, membawahi:

1). Sub Bagian Umum dan Kepegawaian;

2). Sub Bagian Keuangan;

3). Sub Bagian Program

3. Bidang Sumber Daya Aparatur, membawahi :

1). Seksi Pelatihan Dasar;

2).Seksi Teknis Fungsional;

4. Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, membawahi :

1). Seksi Ketertiban Umum;

2).Seksi Ketentraman;

5. Bidang Penegakan Produk Hukum Daerah, membawahi :

1). Seksi Pembinaan Pengawasan dan Penyuluhan;

2). Seksi Penyelidikan dan Penyidikan;

6. Bidang Perlindungan Masyarakat

1) Seksi Satuan Linmas

2) Seksi Bina Potensi Masyarakat


Gambar 4.1
Struktur Organisasi Satpol PP Kota Bandung

Tentang Pembentukan Tim Pelaksana Kegiatan Ketertiban, Kebersihan dan

Keindahan di kawasan Zona Merah tahun 2017 di Kota Bandung sesuai dengan Peraturan

Daerah Kota Bandung Nomor 06 tahun 2013 adalah sebagai berikut :

A.Kepala Seksi Ketertiban Umum mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:

1. menyusun rencana teknis operasional dan program kerja di bidang ketertiban


umum sebagai pedoman pelaksanaan tugas;

2. menjelaskan dan membagi tugas kepada bawahan sesuai dengan rencana


program yang telah ditetapkan agar program dapat dilaksanakan secara efektif
dan efisien;

3. memeriksa data sebagai penyusunan bahan kebijakan ketertiban umum;

4. menyusun dan menyiapkan bahan laporan hasil pemantauan dan evaluasi


pelaksanaan ketertiban umum.

5. menyusun dan menyiapkan bahan koordinasi dan konsultasi pelaksanaan


ketertiban umum;

6. menganalisa data untuk bahan kajian pengembangan ketertiban umum;


7. melaksanakan penindakan terhadap warga negara atau badan hukum yang
melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Walikota;

8. melaksanakan tindakan represif non yustisial terhadap warga negara atau badan
hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan/atau Peraturan
Walikota sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah;

9. melaksanakan pengawasan dan pemeriksaan terhadap warga negara atau badan


hukum yang melakukan pelanggaran;

B. Kepala Seksi Ketentraman Masyarakat mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:

1. menyusun rencana teknis operasional dan program kerja di bidang ketentraman


masyarakat sebagai pedoman pelaksanaan tugas;

2. menjelaskan dan membagi tugas kepada bawahan sesuai dengan rencana


program yang telah ditetapkan agar program dapat dilaksanakan secara efektif
dan efisien;

3. memeriksa data sebagai penyusunan bahan kebijakan ketentraman masyarakat;

4. menyusun dan menyiapkan bahan laporan hasil pemantauan dan evaluasi


pelaksanaan ketentraman masyarakat;

5. menyusun dan menyiapkan bahan koordinasi dan konsultasi pelaksanaan


penentraman;

6. menganalisa data untuk bahan kajian pengembangan ketentraman masyarakat;

7. melaksanakan pencegahan dan penanggulangan gangguan ketentraman


masyarakat;

8. melaksanakan penindakan terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang


mengganggu ketentraman masyarakat;

9. melaksanakan represif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan


hukum yang mengganggu ketentraman masyarakat;

10. melaksanakan pengawasan dan pemeriksaan terhadap warga masyarakat atau


badan hukum yang mengganggu ketentraman masyarakat;

11. melaksanakan pengelolaan, pembinaan dan pengendalian para petugas


penjagaan ketentraman masyarakat di tempat-tempat penting seperti
perkantoran di lingkungan Pemerintah Daerah, rumah dinas pejabat dan tempat
lainnya.

12. membuat telaahan staf sebagai bahan kajian kebijakan umum di bidang Seksi
Ketertiban Umum oleh atasan;

13. melakukan hubungan kerja fungsional dengan SKPD, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Pusat;

14. melaksanakan monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan program Seksi


Ketertiban Umum sebagai bahan pertanggungjawaban kepada atasan ;dan
15. melaksanakan tugas lainnya dari atasan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Daerah nomor 05 tahun 2003

Pemerintah Daerah berkewajiban menyelenggarakan tertib jalan, fasilitas umum dan jalur

hijau. Tertib lingkungan, sungai, saluran air dan sumber air. Tertib penghuni bangunan,

tuna sosial dan anak jalanan.

Upaya Satuan Polisi Pamong Praja kota Bandung dalam menertibkan pedagang kaki lima
di kawasan zona merah ini sebenarnya telah sering dilakukan. Mulai dari penjagaan
sampai pada operasi penertiban sepanjang kawasan zona merah tidak berjalan dengan
maksimal dikarenakan jumlah pedagang kaki lima dibandingkan dengan jumlah
penertiban jauh sekali perbandingannya. Selain itu sarana dan prasarana seperti sarana
mobilitas masih terbatas jumlahnya. Oleh karena itu peneliti mengambil fokus penelitian
pada implementasi kebijakan peraturan daerah mengenai penertiban pedagang kaki lima
di kawasan zona merah menggunakan model implementasi penelitian yang
dikembangkan oleh George Edward III sebagai berikut:

a. Komunikasi

Komunikasi sebagaimana dikemukakan Edward III dalam Tangkilisan

(2003: 19-30) merupakan persyaratan pertama bagi terlaksananya implementasi

kebijakan yang efektif. Para pelaksana kebijakan selayaknya mengetahui secara tepat apa

yang akan mereka kerjakan.Untuk itu, ada tiga hal penting yang berkaitan dengan

komunikasi efektif yakni; transmisi, konsistensi dan kejelasan (clarity). Tidak sempurnanya

aspek komunikasi akan menyebabkan para pelaksana kebijakan tidak mengetahui apa

yang harus disampaikan secara jelas, akurat dan konsisten. Selain itu, tidak sempurnanya

komunikasi akan mengakibatkan para pelaksana kebijakan menafsirkan kebijakan sesuai

dengan persepsinya sendiri. Hal lainnya menyangkut dengan konsistensi. Keputusan yang

bertentangan akan membingungkan dan menghalangi para pelaksana serta menghambat

kemampuan mereka untuk melaksanakan kebijakan secara efektif.


Faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan menurut

1
Edward III dalam Winarno (2002) adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat

mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah

dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannnya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu

merupakan proses yang langsung sebagaimana nampaknya. Dalam kenyataannya selalu

terdapat hambatan untuk mentransmisikan perintah implementasi, diantaranya

pertentangan pendapat antara pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh

pengambil kebijakan;Informasi melalui berlapis lapis hierarki birokrasi; persepsi yang

selektif dan ketidakmauan para pelaksana untuk mengetahui persyaratan persyaratan

suatu kebijakan.

elaksana untuk mengetahui persyaratan persyaratan suatu kebijakan.

Dalam mengkaji proses komunikasi dalam implementasi kebijakan Pemerintah Daerah


Kota Bandung tentang ketertiban, kebersihan dan keindahan khususnya penertiban
pedagang kaki lima di kawasan zona merah adalah sebagai berikut:

”Memang tidak mudah, mengimplementasikan kebijakan Pemerintah Daerah


dalam menertibkan pedagang kaki lima dimulai sejak perencanaan dan
ditetapkannya kebijakan oleh Pemerintah Kota Bandung yang
ditindaklanjuti dengan sosialisasi kebijakan kepada para pelaksana
kebijakan, stakeholder hingga ke para pedagang dan masyarakat.
Pelaksanaan kebijakan melalui tahapan/sekuensi kegiatan dimulai dari
penyusunan perencanaan yang dituangkan dalam LPJ pada setiap tahunnya
dengan mengacu pada kebijakan Pemerintah Daerah serta pengesahan dari
walikota sehingga kebijakan yang dihasilkan benar benar berdasarkan
kondisi dan kebutuhan riil masyarakat akan pembangunan fisik maupun
sosial di Kota Bandung sesuai dengan misi yang dicanangkan. Pemerintah
Kota Bandung yakni :“mewujudkan Bandung nyaman melalui perencanaan
tataruang, pembangunan infrastruktur serta pengendalian pemanfaatan
ruang yang berkualitas dan berwawasan lingkungan” .Dengan demikian,
Program penertiban pedagang kaki lima ini merupakan pengembangan dan
kajian dari fenomena yang ada di masyarakat, potensi yang dimiliki dan

1
Winarno , Budi. 2008. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Jakarta: PT. Buku Kita. Hal 176
kemampuan yang ada. Dengan kata lain, program ini akan dapat efektif
berjalan apabila seluruh pihak yang ada dapat berperan aktif secara sinergi
dan saling mendukung, termasuk dengan masyarakat, para pedagang dan
para stakeholders.

Komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi suatu organisasi dalam menjalankan
kegiatannya. Karena dengan komunikasi yang efektif, pelaksanaan pekerjaan akan lebih
terencana dengan baik sehingga pencapaian tujuannya pun akan lebih terarah. Jika
dikaitkan dengan topik permasalahan yang diteliti, dapat dijelaskan bahwa pola
komunikasi yang diterapkan di Satuan Polisi Pamong Praja kota Bandung menurut
pengamatan peneliti selama dilapangan dapat diperoleh informassi bahwa pola
komunikasi antara atasan dengan bawahan masih belum berjalan dengan maksimal. Hal
ini terlihat ketika diadakan brifieng staf persiapan operassi pedagang kaki lima, para
anggota satpol pp masih ragu untuk mengungkapkan pendapatnya.

Namun pola komunikasi pelaksanaan operasi untuk penertiban PKL sesuai dengan hasil
pengamatan di lapangan dapat peneliti katakan sudah berjalan sesuai dengan pola
kebijakan yang diberikan pimpinan, walaupun masih terdapat kekurangan-kekurangan
yang perlu dibenahi. Hal ini sesuai dengan wawancara peneliti dengan Kepala Satuan
Polisi Pamong Praja kota Bandung sebagai berikut:

“komunikasi yang dilaksanakan sebelum melaksanakan operasi penertiban sudah sesuai


dengan prosedur, namun dalam penyampaiannya kadang-kadang terdapat hambatan-
hambatan yang sekiranya perlu dibenahi. Informasi yang diberikan dari pimpinan, kami
langsung laksanakan dengan mengumpulkan para kepala unit sampai pada komandan
regu. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi lagi miskomunikasi antara atassan dengan
bawahan”.

Dari wawancara diatas dapat diinformasikan bahwa pola komunikasi yang dilakukan oleh
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja kota Bandung dalam meneruskan melakukan
komunikasi sebenarnya sudah dilaksanakan sesuai prosedur. Akan tetapi masih terdapat
hambatan-hambatan yang sekiranya menjadi kendala yang harus dipikirkan oleh Satuan
Polisi Pamong Praja kota Bandung khususnya maupun pemerintah kota Bandung
umumnya. Sebagai contoh ketika peneliti sedang melakukan pengamatan, terdapat
keluhan dari warga pedagang dikarenakan dalam pelaksanaan operasi penertiban masih
saja ada tebang pilih walaupun jika dicermati, wilayah kawasan zona merah sangat banyak
titik.

Dalam upayanya untuk menegakkan Peraturan Daerah, Satpol PP kota Bandung telah
melakssanakan penertiban pedagang kaki lima khususnya di kawasan zona merah secara
intensif dengan mengacu kepada Peraturan Daerah kota Bandung nomor 11 tahun 2005
tentang perubahan atas Peraturan Daerah nomor 3 tahun 2005 tentang penyeleggaraan
ketertiban, kebersihan dan keindahan pada pasal 49 ayat 1 dijelaskan bahwa “dilarang
membuka usaha atau berjualan di trotoar, jalur/badan jalan, taman, jalur hijau dan
tempat-tempat lain tanpa persetujuan walikota”.

Dari petikan Peraturan Daerah tersebut dapat diperoleh informasi bahwa setiap
pedagang kaki lima yang berjualan di tempat-tempat yang bukan peruntukannya adalah
sama dengan melanggar Peraturan Daerah nomor 11 tahun 2005. Jika dilihat dari aspek
komunikasi, kemungkinan adanya gangguan dalam penyampaian informasi tersebut.
Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam suatu organisasi, karena proses
komunikasi menentukan sekali berhasil atau tidaknya organisasi tersebut dalam mencapai
tujuan yang telah ditentukan. Hal ini sesuai dengan wawancara peneliti dengan Kepala
Seksi Operasional Satpol PP kota Bandung sebagai berikut:

“dalam berkomunikasi, kita harus secara jelas menyampaikan isi dari komunikasi tersebut,
karena kesalahan dalam memberikan informasi akan berakibat fatal apalagi Satpol PP
sebagai pelaksana kebijakan. Kami terus melakukan komunikasi secara berkesinambungan
terkait dengan penertiban para pedagang kaki lima, ini dilakukan agar dadlam proses
penertiban kita bias meminimalisir kesalahan-kesalahan yang nantinya akan berakibat
padda bentrokan-bentrokan dengan para pelanggar Perda khususnya pedagang kaki
lima”.

Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa betapa pentingnya komunikasi dalam
setiap pelaksana kegiatan. Sebagai contoh ketika Satpol PP kota Bandung menertibkan
para pedagang kaki lima di kawasan zona merah terjadi sedikit kerusuhan dikarenakan
adanya miskomunikasi diantara para personil Satpol PP namun keadaan tersebut dapat
diantisipasi sehingga tidak terjadi kerusuhan. Walaupun sudah ada larangan berjualan di
sekitar kawasan zona merah namun masih saja ada terdapat banyak sekali pedagang yang
sengaja menjajakan dagangannya pada area tersebut.

Gambar foto di kawasan zona merah

Dari gambar diatas dapat diinformasikan bahwa keberadaan pedagang kaki lima di
kawasan zona merah sudah semakin memprihatinkan. Hal ini tentu saja dapat menjadi
pemicu untuk pedagang lainnya berjualan jika para petugass tidak segera mengambil
tindakan, padahal sudah jelas dari perda k3 mengenai larangan berjualan tersebut.
b. Sumber daya

Bahwa sumberdaya dalam implementasi kebijakan menduduki posisi yang tidak

kalah pentingnya. Ketiadaan sumberdaya atau kurang optimalnya potensi sumberdaya

akan berakibat ketidak efektifan penerapan kebijakan. Sumber-sumber yang penting

meliputi sumberdaya manusia yang memadai serta keahlian keahlian yang baik untuk

melaksanakan tugas tugas mereka dan Wewenang serta fasilitas - fasilitas yang

diperlukan. menurut George Edward III (1980: 11) berpendapat bahwa Sumber daya

dalam implementasi kebijakan adalah mencakup kecukupan staf. baik jumlah maupu

mutu, informasi yang dibutuhkan, kewenangan yang cukup, fasilitas atau sarana dan

prasarana serta dukungan dana yang memadai.

Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf atau pegawai

(street-level bureaucrats). Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan,

salah-satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi,

ataupun tidak kompeten dalam bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor

saja tidak cukup menyelesaikan persoalan implementasi kebijakan, tetapi diperlukan

sebuah kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan

kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan.


4.1 Tabel Sumber Daya Manusia pada Satpol PP
Kota Bandung

No BERDASARKAN PANGKAT/GOLONGAN
No. BERDASARKAN JENIS KELAMIN
.

1 Pembina Utama IV/e - Orang


1 LAKI-LAKI : 328 Orang

2 Pembina Utama IV/d - Orang


2 PEREMPUAN : 13 Orang
Madya

3 Pembina Utama IV/c - Orang


JU M L A H 341 Orang
Muda

4 Pembina Tk.I IV/b 2 Orang

5 Pembina IV/a 4 Orang

6 Penata Tk.I III/d 5 Orang

7 Penata III/c 7 Orang

8 Penata Muda III/b 29 Orang No BERDASARKAN PENDIDIKAN

Tk.I

9 Penata Muda III/a 32 Orang 1 S-2 : 4 Orang

10 Pengatur Tk.I II/d 7 Orang 2 S-1 : 32 Orang

11 Pengatur II/c 7 Orang 3 D-3 : 14 Orang


12 Pengatur Muda II/b 153 Orang 4 SLTA : 198 Orang

Tk.I

13 Pengatur Muda II/a 42 Orang 5 SLTP : 32 Orang

14 Juru Tk.I I/d 23 Orang 6 PAKET C : 32 Orang

15 Juru I/c 12 Orang 7 PAKET B : 10 Orang

16 Juru Muda Tk.i I/b 18 Orang 8 SD : 19 Orang

17 Juru Muda I/a - Orang

JUMLAH 341 Orang JUMLAH : 341 Orang

Sumber : Subag Umum dan


kepegawaian

Sumberdaya manusia pelaksana kegiatan penertiban pedagang kaki lima di

kawasan zona merah oleh berbagai unsur yang mencerminkan struktur kewenangan

dimulai dari struktur tertinggi pada Kepala Satpol PP hingga sampai staf anggota yang

memiliki kewenangan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi sesuai kewenangan

yang dimilikinya. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Kepala Bidang

Operasional terkait dengan sumber daya manusia menyatakan :

“jumlah personil yang dimiliki oleh Satpol PP kota Bandung saat ini adalah 382
personil, dari jumlah ini dibagi lagi kedalam beberapa bagian diantaranya dari staf kantor,
dari Patwal, penjagaan rumah-rumah dinas dan dilapangan. Dari jumlah 382 orang ini,
yang ditugaskan dilapangan hanya berkisar 200 anggota. Sedangkan jumlah PKL di
bandung khususnya di kawasan zona merah melebihi kapasitas anggota. Ini yang menjadi
kendala kami dalam menjalankan program penertiban PKL ini”

Dari petikan wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa kekurangan personil


anggota Satpol PP di lapangan sangat mempengaruhi kinerja Satpol PP dalam pelaksanaan
tugasnya. Dari jumlah PKL yang diperkirakan berjumlah seribu pedagang, ditertibkan oleh
Satpol PP yang berjumlah hanya 300 personil sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.

Kondisi yang kurang memadai ini tentunya akan berimplikasi pada keberhasilan
pencapaian sasaran program penertiban pedagang kaki lima di kawasan zona merah ,
dimana keindahan dan ketertiban sarana umum merupakan salah satu hal terpenting
pada pembangunan kota. Kurangnya sumberdaya akan berakibat pada ketidakefektifan
penerapan kebijakan sebagaimana dikemukakan Edwards (1980).

Sedangkan dari segi sumber daya sarana dan prasarana, Satpol PP kota Bandung

mempunyai sarana dan prasarana sebagai berikut:

NO JENIS/NAMA BARANG JUMLAH SATUAN KET

1 Papan visual elektronik 1 unit


2 white board 7 unit
3 pelbed 50 unit
4 peralatan bengkel 6 unit
5 tenda pleton 4 unit
6 kamera SLR 6 unit
7 note book 15 unit
8 handy talky 60 unit
9 proyektor 2 unit
10 handycam 3 unit
11 telepon tab 20 unit
12 TV LED 7 unit
13 CCTV 2 unit
14 web cam 1 unit
15 printer 14 unit
16 komputer/PC 14 unit
17 PABX 1 set
18 sound system 1 set
19 speaker 2 set
pemadam tabung
20 71 set
kebaran
21 alarm fire detector 1 set
22 kendaraan roda 4 49 unit Kurang baik 10
23 AC/pendingin ruangan 10 unit
24 mesin tik 4 unit
25 penghancur kertas 8 unit
26 sepeda 17 unit
27 kendaraan roda 2 TRAIL 22 unit
kendaraan roda 2 VARIO
28 20 unit

29 kendaraan roda 2 35 unit Kurang baik 2


30 luas 117 888 meter2
31 luas bangunan 117 meter2

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, sarana mobilitas yang dimiliki oleh

Satpol PP kota Bandung yang hanya mempunyai 4 truk Dal operasi dan 4 truk angkut.

Pernyataan lain dijelaskan oleh Kepala Seksi berkaitan dengan keterbatasan sarana

prasarana, menyebutkan bahwa :2

“sebenarnya peningkatan kualitas maupun perlengkapan sarana yang sangat


dibutuhkan untuk melaksanakan tugas aparat pemerintah kota Bandung ,
yaitu Sarana mobilitas yang sangat terbatas sedangkan titik zona merah yang
harus ditertibkan banyak dan harus tertib setiap harinya. Mudah-mudahan
dengan adanya kebijakan ini, sarana mobilitas untuk Satpol PP kota Bandung
diperhatikan lagi jumlahnya. Tidak perlu kendaraan baru, hanya saja
membutuhkan banyak mobil pengangkut agar program penertiban PKL di
kawasan zona merah tercapai sesuai dengan harapan’’.

2
Wawancara dengan Kepala Urusan Umum, Irfan, 2017
MASIH ADA LANJUTAN
Sebagaimana yang telah diungkapkan dalam Bab I bahwa pemberian

bantuan keuangan infrastruktur perdesaan dialokasikan oleh Pemerintah Provinsi

berdasarkan dana yang bersumber dari dana bagi hasil pajak daerah kepada

desa,dana bagi hasil retribusi daerah kepada desa dan bagian dari dana perimbangan

keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten setelah dikurangi belanja

pegawai dan Dana Alokasi Khusus..

Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengeluarkan aturan yang berkaitan

dengan Program peningkatan Infrastruktur Perdesaan yaitu Peraturan Gubernur Nomor

45 Tahun 2015 Tentang Peningkatan Infrastruktur Perdesaan dan Tunjangan Penghasilan

Aparatur Pemerintah Desa dijelaskan bahwa peningkatan Infrastruktur Perdesaan m

erupakan wujud dari pemenuhan hak desa untuk menyelenggarakan otonominya

agar tumbuh dan berkembang mengikuti pertumbuhan dari desa itu sendiri, berdasarkan

keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.

Maksud pemberian Bantuan Keuangan Infrastruktur Perdesaan adalah sebagai bantuan

stimulan atau dana perangsang untuk mendorong dalam membiayai program Pemerintah

Desa yang ditunjang dengan partisipasi swadaya gotong royong masyarakat dalam

melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat.

Berdasarkan observasi di lapangan, kondisi masyarakat Citapen sebagian besar

bermata pencaharian sebagai buruh tani dengan kondisi rumah sebagian besar berada

pada kondisi tidak layak huni, bukan itu saja kondisi jalan desa pun dalam keadaan rusak

berat. Dengan melihat gambaran kehidupan masyarakat Citapen yang dilatarbelakangi

berpenghasilan rendah maka Desa Citapen berhak menerima bantuan keuangan .Pada

Tahun 2017 Desa Citapen menerima bantuan program dari Pemerintah Provinsi sebesar

Rp. 165.000.000 (seratus enam puluh lima juta rupiah) yang dialokasikan peruntukannya
Rp 15.000.000 untuk biaya operasional pemerintah desa dan Rp.150.000.000 untuk

belanja barang dan jasa serta belanja modal. Namun fakta dilapangan menunjukan bahwa

dalam pelaksanaannya bantuan Program Infrastruktur Perdesaan tersebut

pemanfaatannya masih jauh dari harapan masyarakat. Untuk lebih jelasnya peneliti

ilustrasikan pada tabel 4.10. di bawah ini :

4.1 Efektifitas pada Kebijakan Perda No. 11 Tahun 2005 dalam Penertiban

PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung

Penulis akan menjelaskan hasil penelitian yang dilakukan terhadap Peraturan

daerah (Perda) No. 11 Tahun 2005 tentang penyelenggaraan Ketertiban,

Kebersihan , dan keindahan (K3) di Kota Bandung pada bab ini . Hasil penelitian

yang akan diuraikan merupakan hasil wawancara dan observasi penulis, serta data-

data yang diperoleh dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung,

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandung, dan beberapa sumber

lainnya yang berhubungan dengan penertiban PKL di Jalan Kepatihan Kota

Bandung.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis Perda No. 11

tahun 2005 tentang penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan , dan keindahan (K3)

di Kota Bandung dalam penertiban PKL di Jalan Kepatihan di Kota Bandung.

Sebagai bentuk upaya penyelenggaraan Kota Bandung yang tertib, bersih dan

Indah. Perda tersebut dapat menjadi saluran dan acuan bagi masyarakat Kota

Bandung dan Para PKL yang sebagian besar berasal dari luar Pulau Jawa, jika
perda ini diimplementasikan dengan benar oleh pemerintah Kota Bandung. Hal

inilah yang ingin diketahui oleh penulis, bagaimana pelaksanaan Perda No. 11

tahun 2005 tentang penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan , dan keindahan (K3)

di Kota Bandung melalui fungsi evaluasi.Peraturan daerah tumbuh dari suatu

peristiwa yang benar-benar terjadi dalam masyarakat. Kebijakan ini dihasilkan

untuk mengatasi pihak-pihak yang mempunyai konflik di kehidupan

bermasyarakat.. akan tetapi dalam perjalanannya terdapat pihak-pihak yang

mendapatkan perlakuan yang tidak sama dan tidak maksimal, maka diciptakan

suatu tindakan yang dapat mendorong terciptanya suatu situasi yang rasional.

Peraturan daerah tentang ketertiban, kebersihan, dan keindahan Kota Bandung atau

yang biasa disingkat Perda No.11 tahun 2005. Pada mulanya merupakan inisiatif

usulan yang diprakarsai oleh Lia Nur Hambali, yang pada waktu itu menjabat

sebagai Ketua Komisi B DPRD Kota Bandung periode 1999-2004. Kemudian

usulan tersebut diajukan untuk dimasukan ke dalam draft Rancangan Peraturan

Daerah (Raperda) tentang ketertiban, kebersihan, dan keindahan di Kota Bandung

yang bertujuan agar menciptakan Kota Bandung yang tertib, bersih dan indah

sesuai dengan visi dan misi Kota Bandung yaitu bermartabat.Perda No.11

tahun 2005 ini dibuat karena Kota Bandung dalam beberapa tahun terakhir ini telah

mengalami perkembangan yang luar biasa, dimana perkembangan yang dimaksud

bukan saja terjadi dalam aspek ekonomi maupun sosial. Perkembangan sosial,

ekonomi dan pemanfaatan ruang yang sangat pesat tersebut telah menyebabkan

pengedalian perkembangan kota menjadi semakin sulit, sehingga banyak terjadi

ketidaksesuaian pemanfaatan aspek ketertiban, kebersihan, dan keindahan yang

telah ada.
Adanya Perda No.11 Tahun 2005 ini mengundang banyak tanggapan dari berbagai

pihak terutama masyarakat sebagai pembeli dan pengguna Jalan Kepatihan Kota

Bandung. Kondisi Jalan Kepatihan tentunya masih semerawut akibat ulah PKL

yang tidak tertata dalam berjualan. Kondisi ini menimbulkan kekecewaan bagi

masyarakat Kota Bandung. Sesuai dengan hasil wawacara dengan Ibu Siti, salah

satu masyarakat yang sedang berada di Jalan Kepatiahan Kota Bandung bahwa,

penertiban PKL di Jalan kepatihan ini dilihat kurang efektif, PKL sangat tidak

tertata dengan baik yang mengakibatkan ketidak tertiban jalan.

Penjelasan diatas dapat dipahami bahwa penertiban yang dilakukan Satpol PP yang

dibantu oleh aparat kepolisian belum memberikan hasil yang efektif. Seperti

kenyataan yang tejadi di Jalan Kepatihan Kota Bandung, PKL masih banyak

berjualan di trotoar dan luar trotoar jalan, mereka jelas mengganggu ketertiban,

kebersihan, dan keindahan Jalan Kepatihan, selain itu mereka pun tidak memiliki

kesadaran dengan larangan dalam Perda No.11 Tahun 2005 tersebut.

Untuk menghadapi berbagai perubahan dan paradigm yang berkembang, penataan

ketertiban, kebersihan, dan keindahan harus mendapatkan perhatian yang serius

dari semua pihak, tidak hanya dari kalangan eksekutif maupun legislative semata,

melainkan juga dari peran aktif serta pasrtisipasi masyarakat kota Bandung. Karena

seperti yang tampak di lapangan, bahwa penataan ketertiban Pedagang Kaki Lima

(PKL) yang paling tampak merusak keindahan dan kebersihan Kota Bandung.

Kegiatan berusaha atau berdagang di trotoar dan jalur hijau yang dilakukan oleh

para PKL tersebut, pada umumnya disebabkan oleh ketidaktersediaannya sarana

dan prasarana yang menunjang kegiatan berusaha atau berdagang tersebut. Selain

itu, budaya masyarakat yang masih rendah, sepert kurang disiplin, tidak taatnya
pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta ketatnya

persaingan hidup di perkotaan, telah menjadi salah satu factor pendorong para PKL

untuk melakaukan kegiatan berusaha atau berdagang di trotoar dan jalur hijau.

Semakin tidak terkendalinya kegiatan berusaha atau berdagang yang dilakukan oleh

para PKL di Kota Bandung yaitu di kawasan terlarang PKL, khususnya Jalan

Kepatihan yang hanya memiliki jarak kurang lebih hanya 230 meter dan dipadati

oleh angkutan umum dan PKL yang memenuhi bahu Jalan Kepatihan, telah

membuat Pemerintah Kota Bandung untuk segera merumuskan suatu regulasi atau

kebijakan yang berkaitan dengan penanganan sera penataan terhadap kegiatan

tersebut.

Efektifitas kebijakan Perda No. 11 tahun 2005 tentang penyelenggaraan

Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan dapat dilihat dari bagaimana harapan

aparat, masyarakat dan PKL yang menjadi objek penelitian ini, serta juga dilihat

dari ralisasi kebijakan itu sendiri. Maka dari itu peneliti akan membahas lebih lanjut

mengenai Harapan pihak-pihak yang terkait pada penertiban PKL di Jalan

kepatihan dan Realisasi Kebijakan Perda No. 11 Tahun 2005.

Perda No.11 Tahun 2005 berhubungan dengan ketertiban, kebersihan, dan

keindahan Kota Bandung sesuai dengan visi dan misi Kota Bandung yaitu kota

yang bermartabat. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Bapak. Drs. Yogiarto Kepala

seksi Rencana Program Satpol PP Kota Bandung, bahwatujuan dari perda No. 11

Tahun 2005 ini bukan hanya diterapkan di beberapa simpul atau titik.

Melainkan berlaku secara menyeluruh,namun kenyataannya memang di fokuskan

untuk tahap awal yaitu di kawasan tujuh titik, karena perkembangan dari kawasan

tersebut yang tidak terkendali. Tujuan dari perda No. 11 tahun 2005 ini yaitu
diharapkan menciptakan kondisi Kota Bandungyang bersih bersih, makmur, taat,

dan bersahabat sesuai dengan visi dan misi Kota Bandung yaitu bermartabat.

Dalam Perda No.11 tahun 2005 ini khususnya dalam pasal 37 point D menjelaskan

bahwa setiap orang maupun badan usaha dilarang menggunakan badan trotoar jalan

atau tempat-tempat umum tanpa seizin Walikota.

Isi dari pasal 37 point D yaitu, Dalam rangka mewujudkan ketertiban di daerah

milik jalan, fasilitas umum dan jalur hijau di daerah, setiap orang, badan hukum

dan/ atau perkumpulan, dilarang berusaha atau berdagang di trotoar, jalan/badan

jalan, taman jalur hijau dan tempat-tempat lain yang bukan peruntukannya tanpa

mendapat izin dari Walikota. Berkaitan dengan hal ini, apabila terdapat para

pedagang yang berjualan di tempat-tempat yang dilarang seperti trotoar apalagi

badan jalan, maka pedagang tersebut akan terkena bentuk penertiban berupa razia

dan pemberian sanksi. Seperti yang tercantum dalam Perda No. 11 Tahun 2005 bab

6 Pasal 45 ayat 3 yaitu, Bentuk penertiban terhadap pelanggaran ketertiban,

kebersihan, dan keindahan dilakukan berdasarkan temuan langsung di lapangan

atau berupa laporan baik dari unsur masyarakat maupun aparat dapat berupa

pemberian sanksi.

Sesuai dengan aturan yang tercantum dalam Perda No.11 Tahun 2005, para

pedagang tersebut dikenai sanksi sebesar Rp. 1.000.000 atau penahanan selama 6

bulan, penahanan kartu identitas penduduk, atau pengumuman di media massa.

Dengan adanya sanksi yang seperti itu diharapkan para pelaku sektor informal yaitu

PKL dapat jera dan tdak mengulangi perbuatannya.

Penertiban ini diharapkan dapat menjadi upaya Pemerintah Kota Bandung dalam

membina PKL Jalan Kepatihan Kota Bandung untuk lebih tertib dan lebih nyaman
dalam berdagang. PKL juga diharapkan menempati tempat-tempat yang relokasi

yang telah disediakan oleh Pemerintah Kota Bandung. Apabila hal ini terwujud,

maka tempat-tempat relokasi itu dapat mendatangkan pendapatan bagi Pemerintah

Kota Bandung baik dari parkir maupun pajak penyewaan lahan berdagang.

Tentunya citra PKL yang berkaitan dengan ketidakbersihan, ketidaktertiban, dan

ketidakindahan dapat diperbaiki karena mereka telah tertata dengan baik oleh

Pemerintah Kota Bandung dalam berdagang sehari-hari.

Dilihat dari segi tujuan dan harapan Perda No.11 Tahun 2005 yang menciptakan

kondisi Jalan Kepatihan yang bebas dari PKL itu efektif untuk menciptakan kondisi

Kota Bandung yang tertib, bersih dan indah, tentu saja dengan melakukan

penertiban PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung. Namun berbagai tujuan dan

harapan yang telah dipaparkan diatas itu belum dipahami dikarenakan banyak PKL

yang berdatangan ke Jalan Kepatihan berasal dari luar Pulau Jawa khususnya Kota

Bandung. Seperti yang dijelaskan Bapak Rudi selaku pedagang sepatu di Jalan

Kepatihan. Bahwa ketidakpahaman Perda No.11 Tahun 2005 ini dikarenakan

sebagian besar PKL berasal dari luar Pulau Jawa. Para PKL hanya mencari tempat

yang ramai untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka, kebanyakan dari PKL

yang berasal dari luar Pulau Jawa tersebut mengetahui tempat ini dari teman dan

kerabat mereka yang terlebih dahulu berjualan di Jalan

Kepatihan. Melihat hal tersebut sangat disayangkan bahwa harapan dari Perda

No.11 tahun 2005 khususunya mengenai penertiban PKL di Jalan Kepatihan Kota

Bandung yang dapat dikatakan efektif utuk menciptakan Kota Bandung yang

tertib, bersih dan indah belum mengakar kuat di benak masyarakat Kota Bandung,

dan terlebih lagi sebagian besar PKL di Jalan Kepatihan berasal dari luar Pulau
Jawa yang tidak memahami mengenai Perda No.11 Tahun 2005 ini. Dalam

melaksanakan Kebijakan Perda No.11 tahun 2005 untuk mencapai apa yang di

harapkan masyarakat Kota Bandung, realisasi merupakan suatu yang perlu

diperhatikan.

Salah satu dari realisasi aparat pemerintah yaitu menertibkan PKL yang menjadikan

Kota Bandung semerawut dan tidak tertib khususnya di Jalan Kepatihan yang

merupakan zona bebas PKL. Di Jalan Kepatihan ini sebenarnya telah disediakan

lahan untuk para PKL menjajajkan dagangannya, dan lahan ini dibuat agar

lalulintas yang berjalan di Jalan Kepatihan tersebut tetap berjalan tanpa

mengakibatkan macet. Pada kenyataannya lahan yang disediakan tidak cukup

menampung para PKL yang begitu banyak, sehingga para PKL yang tidak

mendapatkan lahan di dalam, menjajajkan dagangannya di pinggir Jalan Kepatihan

yang sampai sekarang membuat jalanan macet dan tidak tertib.

Pengguna Jalan Kepatihan pun tidak nyaman dengan keadaan tersebut, selain

angkot yang menuruni tumpangannya di sembarangan tempat, dan yang terutama

adalah keberadaan PKL di Jalan Kepatihan yang semakin membuat tidak tertib

jalan tersebut. Saat ditanyai PKL yang membuat macet jalanan, bapak Rudi pun

menanggapi nya bahwa, lahan di dalam yang disediakan pemerintah tidak bisa

dibilang besar, keadaan di dalam sangat penuh dan sesak, terutama di bagian

belakang.

Jadi sangat tidak mungkin bagi PKL yang terdapat di bagian luar ikut menyesaki

bagian dalam yang sudah terlebih dahulu di tempati oleh PKL yang sudah terlebih

dahulu disini, para PKL berharap pemerintah juga menyediakan lahan yang lebih

luas dan strategis seperti di Kepatihan Pemerintah memang telah menyediakan


lahan untuk PKL di sekitaran Jalan Kepatihan, bahkan telah menyediakan lahan

sementara di kawasan Jalan Banceuy, namun tetap saja tidak ada PKL yang mau

pindah tempat dijalan Banceuy dikarenakan jalan tersebut tidak strategis dan tidak

cukup besar, selain itu menurut salah satu aparat petugas Satpol PP Kota Bandung

pun menanggapinya. Lahan di Jalan Kepatihan ini sebenarnya diperuntukan bagi

PKL yang mempunyai identitas jelas, dan lebih diut

amakan kepada PKL yang berasal dari Pulau Jawa khususnya Kota Bandung. Kami

juga telah menyediakan lahan sementara untuk PKL agar direlokasikan ke Jalan

Banceuy, tp mereka tetap tidak mau dipindahkan dengan alasan tidak strategis dan

para pelanggan mereka mengetahui keberadaan mereka ya di Jalan kepatihan ini.

Selain perelokasian sementara, para petugas Satpol PP pun telah melakukan

penertiban setiap harinya mulai dari pukul 08.00 pagi sampai dengan pukul 14.00

di sekitaran Jalan Kepatihan Kota Bandung. Namun tetap saja PKL masih dengan

bebasnya berjualan di tempat tersebut. Setelah peneliti amati, pada kenyataanya

jumlah petugas Satpol PP sangat minim. Sesuai dengan penjelasan Bapak Ahmad

fauzan bahwa minimnya petugas sangat berpengaruh dalam penertiban PKL ini.

Jumlah seharusnya yaitu sekitar 100 petugas untuk disebar ke wilayah Jalan

Kepatihan, Dewi Sartika, dan alun-alun Kota Bandung. Namun petugas yang

tersedia disini hanya sekitar 40-50 orang . hal ini dikarenakan kurang nya

koordinasi dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Bandung yang kurang

dalam menurunkan pegawai ke Satpol PP Kota Bandung.

Kebijakan Perda No.11 tahun 2005 ini dibuat untuk menyelesaikan persoalan-

persoalan mengenai ketertiban, kebersihan dan keindahan di Kota Bandung,

terutama penertiban PKL di jalan Kepatihan Kota Bandung. Tentunya suatu


kebijakan dikatakan efektif bila hasi pelaksanaan kebijakan itu dapat dikatakan

memberikan dampak yang positif bagi masyarakat.

Proses penertiban PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung yang sesuai dengan

amanat Perda No.11 Tahun 2005 ini ditelaah keefektifan hasilnya dari manfaat

positif yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Adapun manfaat yang dapat

dirasakan dari adanya proses penertiban PKL yaitu adanya ketertiban di sepanjang

Kepatihan Kota Bandung akibat kesadarannya PKL yang tidak berjualan di jalan

tersebut.

Sampai saat ini, manfaat itu masih belum dirasakan oleh masyarakat Kota Bandung

karena para PKL masi banyak yang tetap berjualan di Jalan Kepatihan.

Hal ini mengakibatkan ketidak tertiban yang berimbas pada terjadinya kemacetan

di sepanjang jalan dan jalan yang menyambungnya. Kesadaran belum terlihat dari

para PKL yang berdagang, karena mereka masih bingung dengan kepastian tempat

berdagang yang baru seketika mereka tidak berjualan di Jalan Kepatihan Kota

Bandung.

Sesuai dengan penelitian diatas, maka kebijakan Perda No.11 Tahun 2005

dikatakan belum efektif,. Dilihat dari harapan masyarakat Kota Bandung yaitu

terciptanya suasana Kota Bandung yang bersih, tertib, dan indah, namun masih saja

ada masyarakat yang mengabaikan adanya Perda tersebut dengan tetap menjadi

pelanggan PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung. Selain itu realisasi yang

dilakukan pemerintah dalam melaksanakan Kebijakan Perda No.11 tahun 2005 ini

juga ternyata kurang diperhatikan oleh pihak- pihak yang berhubungan langsung

dengan perangkat kebijakan yaitu petugas Satpol PP selaku penertib PKL di Jalan

Kepatihan Kota Bandung, selain itu perelokasian yang telah disiapkan oleh
pemerintah dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan PKL di Jalan Kepatihan Kota

Bandung.

4.2 Efisiensi pada Kebijakan Perda No. 11 Tahun 2005 dalam Penertiban

PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung

Efisiensi dalam masalah kebijakan Perda No.11 Tahun 2005 ini dilihat dari

sumberdaya aparatur yaitu Satpol PP Kota Bandung selaku petugas yang

menertibkan PKL di Jalan kepatihan Kota Bandung. Sarana prasarana berupa alat-

alat yang digunakan Satpol PP dalam bertugas, seperti Mobil pengangkut barang-

barang dagangan PKL dan alat- alat lain yang dipergunakan untuk menertibkan

objek yang termasuk dalam Perda No.11 tahun 2005. Untuk mengefisiensi

penertiban PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung, dilihat dari sumberdaya yang

digunakan dan bagaimana mengoptimalisasikannya.

Saat ini kebanyakan masyarakat memandang sebelah mata kinerja pemerintah,

kenyataannya tidak semua pemerintah berprilaku buruk. Dalam hal penertiban PKL

di Jalan Kepatihan, pemerintah telah menyediakan lahan bagi PKL, namun PKL

bersikeras tidak ingin pindah dengan alasan yang berbeda-beda. Yang terjadi

dilapangan pada tanggal 17 Juni 2013, aparat telah menyelesaikan tugas nya

dengan baik, yaitu merazia gerobak dagangan yang ditinggalkan oleh

pedagangnya. Selain itu para aparat Satpol PP pun tidak segan

-segan membawa sebagian besar dagangan para PKL kedalam truk Satpol PP,

terutama PKL yang tidak mempunyai kartu identitas, berikut tanggapan bapak

Supriadi yang saat itu tengah bertugas mengamankan barang dagangan PKL di

Jalan Kepatihan Kota Bandung bahwa, tugas yang mereka lakukan demi ketertiban
di Kota Bandung, mereka hanya ingin masyarakat nyaman di Bandung, selain itu

agar PKL jera terutama bagi PKL yang tidak memiliki kartu identitas.

Dari pernyataan dan kegiatan yang mereka lakukan tersebut, terlihat aparat Satpol

PP sangat bersungguh - sungguh dan bertanggungjawab atas pekerjaannya, aparat

Satpol PP menginginkan Kota Bandung yang tertib, bersih, dan indah. Mereka

menangani PKL yang jelas memiliki kesalahan, yaitu tidakadanya kartu identitas

yang dimiliki para PKL, perlakuan aparat Satpol PP semata- mata demi

kenyamanan Kota bandung dan agar PKL jera serta taat akan adanya peraturan

yang harus mereka taati.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai efisiensi kebijakan Perda No. 11 Tahun

2005 dapat dilihat dari Sumberdaya dan Optimalisasi kebijakan Perda No.11 Tahun

2005 Sumberdaya untuk melaksanakan kebijakan Perda No.11 Tahun 2005

sangat penting karena jika sumberdaya tidak memadai, Perda tersebut tidak akan

berjalan sesuai apa yang diinginkan. Dalam penertiban PKL di Jalan Kepatihan

Kota Bandung sumberdaya yang dibutuhkan yang pertama yaitu sumberdaya

manusia, Satpol PP merupakan sumberdaya yang digunakan dalam penertiban PKL

di Jalan Kepatihan Kota Bandung, Dalam melakukan tahap operasi razia

penertiban PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung, Satpol PP Kota Bandung

didukung oleh sumberdaya yang minim atau kurang. Dari segi aparat Satpol PP

Kota Bandung yang terjun dalam operasi penertiban harian di Jalan Kepatihan itu

sedikit dan juga aparat ini tidak memiliki banyak pengetahuan mengenai Perda No.

11 Tahun 2005, sehingga ketika ada PKL ada yang mencoba meminta kejelasan

informasi tetang penertiban PKL yang terdapat dalam Perda No.11 Tahun 2005,

mereka tidak mampu menjelaskannya.


Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan PKL terhadap Satpol PP Kota Bandung,

seperti yang dijelaskan oleh Bapak Yogi selaku Kepala Seksi Program Satpol PP

Kota Bandung, bahwa kurangnya penegertahuan aparat mengenai Perda No.11

tahun 2005 ini dikarenakan sedikitnya jumlah petugas yang yang mempunyai tugas

merazia yang secara langsung turun kelapangan untuk menghadapi PKL, dan

kebanyakan yang bertugas adalah pegawai baru yang bermasalah dari dinas

sebelumnya dan dipindahkan ke Satpol PP Kota Bandung.

Petugas satpol PP yang merazia PKL ternyata jumlah nya kurang lebih 50 petugas

perharinya, dan petugas-petugas tersebut disebar ke Jalan Dewi Sartika, Kepatihan,

dan Jalan Dalem Kaum. Sebagian dari mereka pun pegawai baru yang belum

mendalamai mengenai perda No.11 Tahun 2005. Hal ini dikarenakan Badan

Kepagawaian Daerah (BKD) yang kurang berkoordinasi dengan Satpol PP Kota

Bandung. Satpol PP Kota Bandung sangat membutuhkan pegawai yang fresh dan

mempunyai tanggung jawab akan tugas-tugasnya. Namun pada kenyataannya BKD

mensuplay tenaga kerja yang tidak pada ahlinya, selain itu dari tahun ke tahun

banyak sekali pegawai yang bermasalah di tempat kerja sebelumnya lalu

dipindahkan ke Satpol PP Kota Bandung. Selain itu proses pelatihan dan pelajaran

mengenai perda ini kepada petugas Satpol PP Kota Bandung terutama yang turun

langsung untuk menertibkan PKL di Jalan kepatihan.

Selanjutnya, upaya koordinasi yang dilakukan Satpol PP Kota Bandung dengan

berbagai instansi pemerintahan maupun organisasi kemasyarakatan dalam

melakukan upaya sosialisasi Perda No.11 tahun 2005 itu perlu juga dilakukan dan

diperhatikan, sehingga pemahaman PKL di Jalan kepatihan Kota Bandung dengan

masyarakat Kota Bandng sebagai pembeli produk dagangan PKL. Seperti yang
diungkapkan oleh Bapak Drs. Yogiarto selaku Kepala Program Satpol PP Kota

Bandung, bahwa beban penegakan Perda No.11 tahun 2005 ini bukan hanya harus

dipundak Satpol PP sendiri dan saya rasa itu kurang tepat, karena harus ada

sinegritas seluruh darih organisasi atau seluruh penunjang kelompok-kelompok

masyarakat, seperti Satpol PP, Kepolisian, dan Kejaksaan.

Penertiban PKL tentu saja harus melibatkan kepolisian, yang ditugaskan untuk

melindungi petugas Satpol PP Kota Bandung dari amukan para PKL yang sedang

ditertibkan. Karena ada saja PKL yang tidak terima saat ditertibkan,

terlebih lagi sampai barang dagangan nya dirazia oleh Satpol PP Kota Bandung.

Selain itu pihak kejaksaansebagai pemberi sanksi atau hukuman bagi para PKL

yang melanggar juga sanagat dipentingkan dalam kebijakan Perda No.11 Tahun

2005 ini.

Jumlah seluruh personel Satpol PP Kota bidang oprasional Bandung adalah

sebanayak 443 orang, yang didalamnya terdapat pembagian aparat yang

diterjunkan untuk penertiban di Jalan Kepatihan Kota Bandung, untuk melihat

jumlah Satpol PP Kota Bandung dari Bidang Oprasionalnya dapat dilihat pada

tabel berikut :

Tabel 4.1

Jumlah Personil Satpol PP Bidang Oprasional

Bidang Oprasional Banyaknya


PNS

TKK

TKS

Jumlah

Sumber : Satpol PP Kota Bandung tahun 2017

Keterangan :

PNS: Pegawai negeri Sipil

TKK: Tenaga Kerja Kontrak

TKS: Tenaga Kerja sukarela

Bapak Ahmed Fauzan selaku Komandan Lapangan menjelaskan tentang idealnya

aparat pelaksana penertiban PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung berbicara

masalah keidealan jumlah aparat pelaksana, maka harus ada sekitar 100 sampai 150

aparat pelaksana untuk mengimbangi jumlah PKL yang jumlahnya ratusan.

Tentunya aparat ini juga sudah dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan yang

memadai seputar Perda No.11 Tahun 2005. Jumlah tersebut hanya untuk kawasan

salah satu titik dari 7 kawasan bebas PKL.

Proses operasi razia PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung menggunakan

sumberdaya yang minim, padahalsumberdaya ini memegang peranan kunci, karena

apabila tidak adanya dana untuk kegiatan operasional kebijakan, maka suatu

kebijakan tidak akan berjalan lancar.

Selain sumberdaya manusianya, Sarana prasarana yang digunakan oleh Satpol PP

Kota Bandung untuk efisisensi kebijkan Perda No.11 tahun 2005 dalam penertiban
PKL di Jalan Kota Bandung juga perlu di perhatikan. Sarana prasarana yang

digunakan Satpol PP Kota Bandung dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.2

Jumlah Sarana Prasarana Pendukung Satpol PP Kota Bandung

SARANA MOBILITAS BANYAKNYA

Kijang Patroli Satpol PP 3 unit

Truck Angkut Barang 4 unit

Truck Dalmas Satpol PP 4 unit

Motor Patroli R2 3 unit

Jumlah 14 unit

(sumber: Satpol PP kota Bandung tahun 2017)

Melihat jumlah kendaraan operasional yang dimiliki Satpol PP Kota Bandung

tentunya sangat jauh dari tataran efektif dan efisien sumberdaya sarana prasarana

dalam pelaksanaan Perda No.11 tahun 2005. Hal ini tentunya mengganggu

pelaksanaan operasi razia harian PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung sebagai

penegak pelanggar perda, bukan hanya PKL saja melainkan PSK, parkir

sembarangan, sampai bangunan-bangunan liar. Sarana prasarana yang seharusnya

digunakan untuk kegiatan operasi penertiban PKL lima itu, digunakan untuk

menertibkan hal-hal lainnya.

Hasil operasi razia PKL berupa gerobak-gerobak itu dinaikan ke dalam truk-truk

pengankut barag untuk dibawa ke kantor Satpol PP Kota Bandung. Satu truk

pengankut barang dapat mengangkut setidaknya 5 gerobak dengan asumsi panjang


gerobak sekitar 2 meter. Kadang-kadang, apabila sedang terjadi razia besar-besaran,

sering terjadi hambatan dalam pengangkutannya karena dengan jumlah truk

sebanyak 3 unit, terjadi bolak-balik pengangkutan gerobak dari kantor

Satpol PP ke Jalan Kepatihan Kota Bandung.

Sumberdaya yang digunakan dalam kebijakan Perda No.11 Tahun 2005 untuk

penertiban PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung sangat minim jumlahnya, baik

dari sumber daya manusia maupun sarana prasarananya. Sehingga susah sekali

untuk mewujudkan Kota Bandung yang tertib, bersih dan indah.

Selain Sumberdaya, optimalisasi juga perlu diperhatijkan dalam mengevaluasi

kebijakan Perda No. 11 Tahun 2005 untuk efisiensi kebijakan tersebut.

Optimalisasi Kebijakan Perda No. 11 dalam penertiban PKL di Jalan Kepatihan

Kota Bandung dilakukan dengan 3 tahap, yang pertama, tahap sosialisasi. Pada

tahap ini Satpol PP beserta instansi Pemerintahan Daerah Kota Bandung

melakukan penyuluhan kepada masyarakat Kota Bandung tentang nilai-nilai dasar

serta tujuan Perda No.11 Tahun 2005 ini. Sosialisasi inin seharusnya dilakukan

secara intensif agar masyarakat benar-benar mengetahui saja, namun juga

memahami nilai yang terkandung dalam Perda tersebut. Dalam tahap ini juga

terdapat prosese memberikan himbauan dan peringatan. Satpol PP Kota Bandung

memberikan himbauan dan peringatan pada PKL agar tidak berjualan di tempat-

tempat yang dilarang. Yang kedua, tahap operasi razia. Apabila para pedagang

tidak menuruti himbauan dan peringatan Satpol PP Kota bandung, maka pada tahap

ini Satpol PP dibantu kepolisian melakukan operasi razia gerobak-gerobak dagang

atau barang dagangan para PKL. Kepolisian Kota Bandung disini bertugas sebagai
pengaman aparat Satpol PP Kota bandung agar tidak diserang oleh para PKL yang

marah akibat gerobak atau barang dagangannya dirazia oleh pihak Satpol PP Kota

Bandung.

Yang ketiga, tahap hukum. Para PKL ya

ng terjaring razia diharuskan

mengikuti proses hukum berupa berita acara pengadilan untuk menebus sanksi

melanggar Perda No. 11 Tahun 2005 Pasal 37 ayat D. PKL ini dikenai sanksi

sebesar 1 juta Rupiah atau kurungan selama 6 bulan. Proses hukum ini dijalank

an

oleh pihak Yudikatif, dalam hal ini Kejaksaan Daerah Kota Bandung. Pihak

Satpol PP Kota bandung tidak terlibat dalam proses ini, karena Satpol PP hanya

sebagai penegak Perda No. 11 Tahun 2005.

Jalan Kepatihan Kota Bandung sebagai salah satu kawasan strategis dimana di jalan

ini terdapat berbagai tempat perbelanjaan dan pertokoan yang menjadikan jalan ini

sebagai pusat keramaian Kota Bandung. Akhirnya Jalan Kepatihan ini menjadi

tempat para PKL untuk berjualan di trotoar-trotoar jalan sehingga mengakibatkan

sesaknya jalan tersebut. Hal ini menimbulkan kemacetan bagi kendaraan yang

melaju dari arah jalan Dewi Sartika. Melihat hal ini, maka Jalan Kepatihan

dijadikan salah satu dari 7 titik kawasan bebas PKL.

Pada tahap pertama optimalisasi, yaitu Sosialisasi pada Perda No. 11 ini

terbilang belum maksimal, terlihat sekali dalam jumlah intensitasnya, seperti yang

dinyatakan oleh Ibu Pipit selaku PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung yang

sering mendengar tentang Perda No.11 Tahun 2005 dengan menyebutkan Perda
K3 , namun mengenai maksna atau isi tentang perda tersebut sama sekali tidak ada

kepahaman.

Seperti tentang apa dan apa maksudnya pembuatan Perda ini, selain itu sosialisasi

pun belum tersebar secara merata di lingkungan PKL. Menurut faktanya, sosialisasi

Perda No.11 Tahun 2005 ini jarang dilakukan kepada PKL di jalan Kepatihan.

Kurangnya pemahaman tentang Perda tersebut menyebabkan bertumpuknya PKL

dikarenakan PKL hanya mencari tempat-tempat strategis dan keramaian.

Sosialisasi yang dilakukan Satpol PP Kota Bandung tidak berjalan dengan baik.

Dalam melakukan sosialisasi ini juga Satpol PP kekurangan aparat yang benar-

benar memahami Perda No. 11 Tahun 2005. Sungguh sangat disayangkan,

bagaimana masyarakat dan PKL memahami mengenai Perda K3 ini jika aparat nya

sendiripun tidak benar-benar memahami tentang apa yang mereka buat. Seusai

denga yag dikatakan Bapak Ahmed Fauzan selaku Komandan Pleton Bidang

Operasional Satpol PP Kota Bandung, bahwa Kurangnya pahaman personel kita itu

bisa disebabkan oleh kurangnya diklat-diklat yang seharusnya dilaksanakan oleh

pihak kita sendiri, mengingat kita sebagai penegak hukum harus mengerti kebijakan

di banding masyarakat.

Kembali lagi kepada kurangnya koordinasi antara sesame intansi pemerintahan.

Kekurangpahaman aparat satpol PP tentang perda No. 11 Tahun 2005 itu

merupakan proses retcruitment pegawai tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini

dikarenakan banyak masyarakat yang tidak berminat menjadi pegawai Satpol PP

Kota Bandung. Ada kecendrungan tentang citra buruk Satpol PP Kota Bandung

yang membuat masyarakat enggan untuk mengikuti proses retcruitment pegawai.


Sebenarnya sosialisasi merupakan tahapan yang penting bagi optimalisasi

keberhasulan Perda No. 11tahun 2005. Tetapi pada kenyataannya bahwa sosialisasi

tidak dilakukan secara intensif oleh Satpol PP Kota Bandung.

Pada tahap razia, Operasi razia dilakuakan ketika PKL membandel berjualan

ditempat yangdilarang. Penegakan Perda No.11 tahun 2005 di Jalan Kepatihan Kota

Bandung yang merupakan kawasan prioritas bebas PKL ini menggunakan

pendekatan represif. Dimana, tidak ada lagi toleransi kepada PKL disepanjang jalan

ini. Satpol PP Kota Bandung berhak melakukan penertiban terhadap PKL dengan

merazia gerobak dagangan yang ada di sepanjang jalan. Operasi razia PKL di Jalan

Kepatihan Kota Bandung oleh Satpol PP dilakukan setiap hari, hal ini dimaksud

untuk menekan jumlah PKL yang berjualan. Dalam melakukan razia gerobak

dagangan, Satpol PP tidak tentu berhasil merazia gerobak dagang PKL. Kadang-

kadang Satpol PP berhasil merazia 3-5 gerobak dagang. Gerobak-gerobak tersebut

kemudian disimpan di gudang Satpol PP sebagai barang bukti bagi proses

persidanagan nanti.

Dari hasil pengamatan peneliti, meskipun sehari-harinya berhasil merazia gerobak

dagang, namun tetap saja masih banyak PKL yang berjualan di Jalan Kepatihan,

terutama para penjaja barang dagangan accessories, tas dan sepatu.

Seperti yang dijelaskan dan diakui secara terang-terangan oleh salah satu PKL yang

bernama Kang Asep yang berjualan accessories, bahwa para pedagang biasanya

selalu bersembunyi jika ada Satpol PP

yang merazia, setelah adanya operasi penertiban, pedagang berjualan lagi di sekitar

sini, tapi biasanya kalo ada razia besar-besaran seperti kemarin pemilihan Gubernur

Jawa Barat, pedagang baru akan patuh apabila adanya pemberitahuan sehari
sebelumnya. PKl di Jalan Kepatihan ini berjualan kembali setelah adanya razia

dikarenakan mereka tidak jera akan berbagai upaya yang dilakuakan oleh

pemerintah. Untuk mejelaskan masalah tersebut, efisensi pelaksanaaan penertiban

PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung, terkadang para PKL melakukan tindakan

anarkis saat menolak untuk ditertibkan atau dirazia. Para PKL yang tidak mau

kehilangan barang dagangannya, sesuai dengan yang dikatakan Bapak Rudi, PKL

Jalan Kepatihan. Jika barang dagangan PKL diobrak-abrik oleh petugas sampai

melebihi batas atau merusak barang dagangan PKL, maka para PKL akan

menyerang balik para petugas Satpol PP. karena jika barang dagangan disita oleh

Satpol PP, barang tersebut tidak akan pernah kembali lagi ke tanagan para PKL.

Pernyataaan dari PKl dibenarkan oleh pihak satpol PP Kota Bandung. Satpol PP

Kota Bandung harus bertindak hati-hati dalam melakukan razia PKL karena dengan

agresifnya karakter PKL terutama yang berasal dari Pulau Jawa.

Hal ini tentunya dapat membuat aparat Satpol PP tidak dapat bekerja secara lepas

karena adanya beban yang besar. Bukan hanya membersihkan suatu jalan dari

PKL, tetapi juga menjaga dirinya dari serangan PKL yang dapat melukainya.

Selain itu,

masalah barang daganga merka yang hilang saat disita petugas juga

dibenarkan. Karena lahan kantor Satpol PP yang sangat minim sekali dalam

menjaga dan memeelihara barang sitaan milik PKL. Kadang ada saja barang yang

hilang dikarenakan barang tersebut diletakan di luar. Di kantor Satpol PP sendiri

memang tidak ada ruangan khusus untuk menyimpan barang dagangan. Para

perugas meletakan barang dagangan dan gerobak di sekitaran halaman kantor.


Pada tahap selanjutnya yaitu tahap hukum. Proses hukum dilakukan setelah

dilakukan operasi razia dengan memberikan sanksi yang tegas kepada para PKL

yang terkena operasi razia sehari- harinya. Proses hukum ini dilakukan oleh pihak

kejaksaan Kota Bandung. Proses ini tentunya dapat mencegah PKL di Jalan

Kepatihan Kota Bandung karena merasa jera harus mengeluarkan uang banyak

untuk membayar sanksi melanggar Perda No. 11 tahun 2005.

Berdasarkan pengamatan peneliti, meskipun proses hukum ini berjalan,

namun para PKL belum merasa jera untuk berdagang di Jalan Kepatihan Kota

Bandung. Prosese hukum yang dilakukan oleh piak kejaksaan ini menurut peneliti

masih belum efektif. Secara jelas d

alam Perda, ditentukan besaran sanksi bagi

pelanggar dalam hal ini yaitu PKL sebesar Rp. 1.000.0

00 atau kurungan selama 6

bulan, ternyata sanksi dalam perda ini sangat besar dan memberatkan bagi PKL.

Kenyataannya, pihak kejaksaan Kota Bandung dlam proses hukum ini

masih berpatokan pada Perda No. 6 Tahun 1995 tentang Ketertiban, Kebersihan

dan Keindahan Kota Bandung dalam menentukan besaran sanksi. Sanksi yang

tercantum dalam perda No.6 Tahun 1995 yaitu sebesar Rp. 50.000. sanksi ini jika

dibandingkan dalam Perda No. 11 Tahun 2005 ini sangat jauh berbeda.

Akibatnya, para PKL yang mengikuti persidangan tidak terbebani dengan

membayar uang 50.000 rupiah. Jelas saja hal tersebut tidak memberikan efek jera

pada PKL yang jelas-jelas melanggar Perda No.11 tahun 2005.

Para Aparat yang terkait dalam penertiban PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung

sebenarnya telah melakukan tindakan- tindakan yang baik dalam mengoptimalkan


penertiban PKL. Apa yang di rencanakan pun sudah efisien namun belum

maksimal dalam pengerjaannya , sehingga banyak masyarakat, PKL dan aparat itu

sendiri tidak memahami nilai-nilai penting yang terkandung dalam Perda No.11

tahun 2005.

Efisienisi kebijakan Perda No.11 Tahun 2005 dalam penertiban PKl dilihat dari

sumber daya aparat dan sarana prasarana sangat jelas sekali minim jumlahnya. Hal

ini dikarenakan kurangnya koordinasi antara Satpol PP Kota Bandung dengan

dinas-dinas terkait dalam menyalurkan pegawai yang tidak bertanggung jawab atau

pegawai yang dipiindahkan dari dinas sebelumnya dikarenakan telah melakukan

kesalahan. Selain itu optimalisasi telah dilakukan semaksimal mungkin oleh

petugas Satpol PP Kota Bandung dalam menertibkan PKL di Jalan Kepatihan,

namun terdapat kekurangan lagi dari segi petugas yang menertibkan setiap harinya.

4.3 Kecukupan pada Kebijakan Perda No. 11 Tahun 2005 dalam Penertiban

PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung

Kecukupan dalam penelitian ini dapat dilihat dari kinerja Satpol PP Kota Bandung

dalam menertibkan PKL di Kota Bandung. Apakah kinerja tersebut telah maksimal

dan intensif dilakukan. sehingga Kebijakan perda No. 11 tahun 2005 berjalan

dengan efektif. Selanjutnya mengenai kinerja Satpol PP dalam menertibkan PKL di

Jalan Kepatihan Kota Bandung akan di jelaskan agar dapat mengevaluasi

kebijakan No.11 Tahun 2005.

Kehadiran pedagang kaki lima telah menjadi dilema bagi pemerintah kota dalam

menata kota. Di satu sisi pedagang kaki lima dapat menjadi pengurang beban
pemerintah dalam mengurangi pengangguran, namun di sisi lain adanya pedagang

kaki lima dapat menimbulkan berkurangnya ketertiban dan keindahan kota.

Permasalahan tersebut hampir dialami oleh tiap pemerintah kota, tanpa terkecuali

Pemerintah Kota Bandung.

Pemerintah Kota Bandung yaitu Satpol PP Kota Bandung sendiri telah

mengadakan penataan terhadap para pedagang kaki lima, namun hasilnya masih

belum seperti yang diharapkan. Apabila para pedagang kaki lima tersebut

direlokasi, maka seringkali hal tersebut menimbulkan kekecewaan bagi pedagang

kaki lima karena pendapatan mereka jauh berkurang.

Dalam melakukan penertiban PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung, Satpol PP

yang di kurang lebih berjumlah 40-50 orang setiap hari nya menyebar ke kawasan

Jalan Kepatihan, Dewi sartika dan Alun-alun Kota Bandung.

Penertiban dengan cara merazia gerobak dagangan PKL ini dibantu oleh petugas

Kepolisian dilakukan mulai pukul 09.00 Pagi. Lain hal saat dilakukan razia besar -

besaran, razia ini dilakukan apabila Kota Bandung sedang melaksanakan atau

penyambutan untuk acara-acara besar seperti pemilihan Gubermur Kota Bandung.

Razia besar-besaran ini pun dari personil Satpol PP yang diturunkan lebih banyak

dari biasanya, sekitar 70-100 orang.

Sesuai dengan pendapat Bapak Sandi selaku petugas penertiban di Jalan Kepatihan

bahwa, minimnya jumlah personel Satpol PP dalam menertibkan yang terkandung

dalam Perda No.11 Tahun 2005 ini sangat menentuka hasil dari kebijakan tersebut.

Selain jumlah tentu saja petugas yang masih muda dan bertanggung jawab sangat

di butuhkan.
Meskipun Satpol PP dibantu oleh petugas kepolisisan, namun masih saja dirasakan

tidak cukup untuk memenuhi keefektifitasan jumlah aparat pelaksana

penertiban PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung. Menurut Bapak Ahmed

Fauzan, personel Satpol PP yang diturunkan sebanyak 5 regu, yang setiap regunya

terdiri dari 5 orang,

jadi total personel yang di turunkan sekitar 25 orang. Untuk

aparat kepolisian sendiri itu ada 3 orang dengan 1 mobil dinas kepolisian. Dengan

jumlah pelaksana seminim itu jelas kinerja Satpol PP dalam menertibkan PKL di

Jalan Kepatihan Kota Bandung sangat

minim. Sering terjadi kendala karena

jumlah PKL di Jalan Kepatihan lebih banyak dibandingkan dari jumlah aparat.

Kadang

kadang PKL sering melawan balik aparat pelaksana penertiban PKL

Minimnya jumlah personel ini diakibatkan oleh jumlah keseluruhan apara

bidang operasional Satpol PP Kota Bandung hanya 443 orang. Sedangkan

kawasan yang harus ditertibkan setiap harinya ada 7 kawasan yang harus terbebas

dari para PKL. Kinerja Satpol PP dibilang kurang maksimal dikarenakan jumlah

yang terbatas tersebut. Satp

ol PP dengan jumlah terbatas tersebut membagi tugas

dengan menggembok gerobak atau langsung membawa gerobak untuk dimasukan

ke dalam truk dan di jadikan barang bukti saat di pers

idangan.
Terkadang petugas hanya memberi pengarahan terkait Perda No.11 tahu

2005 tentang penyelenggaraan Ketertiban, kebersihan, dan keindahan di Kota

Bandung. Namun setelah petugas selesai merazia, keesokan harinya atau sesaat

setelah petugas Satpol PP Kota bandung selesai melaksanakan tugas dan

meninggalkan kawasan tersebut PK

L kembali melakukan aktifitas seperti

biasanya. PKL Jalan Kepatihan tidak pernah jera dengan penertiban yang

dilakukan Satpol PP Kota Bandung dan petugas kepolisian.

Pengarahan ini disosialisasikan oleh pemerintah dengan bermacam-macam cara.

Dari pamflet sampai mengumpulkan langsung para PKL untuk memberitahukan

pentingnya menjaga ketertiban, kebersihan dan keindahan Kota Bandung.

Kecukupan kinerja satpol PP dalam menjalankan tugasnya demi mewujudkan apa

yang diharapkan semua masyarakat Kota Bandung dalam Perda No.11 Tahun

2005 telah dikatakan cukup, walaupun masih saja kendala terdapat di jumlah

petugas penertiban PKL. Jumlah yang dapat dikatakan efektif sekitar 150 petugas

yang masih muda dan bertanggungjawab untuk terwujudnya apa yang diharapkan

dar Perda tersebut. Selain dari jumlah kualitas juga sangat berpengaruh. Karena

percuma saja jika banyak namun kualitas dari pegawai sangat buruk.

4.4 Keadilan pada Kebijakan Perda No. 11 Tahun 2005 dalam Penertiban

PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung


Keadilan dalam penelitian ini yaitu bagaimana untuk mewujudkan keseimbangan

untuk memiliki hak yang seharusnya dimiliki. Masalah kebijakan Perda No.11

Tahun 2005 disini yaitu untuk menertibkan PKL di Jalan Kepatihan

Kota Bandung. Keadilan dilihat dari bagaimana menjaga akuntabilitas publik yang

seharusnya dipertanggungjawabkan, seperti menjaga dan

mempertanggungjawabkan sarana prasarana yang di gunakan Satpol PP Kota

Bandung dalam melakukan tugas penertiban PKL di Jalan Kepatihan Kota

Bandung.

Akuntabilitas dalam penelitian ini yaitu ukuran yang menunjukan apakah aktivitas

dalam penertiban PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung yang dilakukan aparat

Satpol PP Kota Bandung sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang dianut

oleh masyarakat, dan apakah kebijakan Perda No.11 Tahun 2005 telah sesuai

dengan apa yang diinginkan masyarakat Kota Bandung.

Sudah selaknya para aparatur Negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus

memenuhi kriteria akuntabilitas dan responsivitas yang baik. Namun hal tersebut

harus juga didasari dengan birokrasi mengenai nilai dan norma-norma yang

diyakini aparaturnya. Sehingga kebijakan Perda No. 11 tahun 2005 dapat berjalan

dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Serta kepercayaan masyarakat

kepada aparatur semakin meningkat.

Akuntabilitas dalam Kebijakan Perda No.11 Tahun 2005 dalam penertiban PKL di

Jalan Kepatihan Kota Bandung perlu dipertanggungjawabkan dan harus bersifat

transparan. Transparan yang dimaksud disisni yaitu apakah sumber daya yang

diperguakan dalam pelaksanaan penetiban PKL di Jalan Kepatihan dipakai

memang sesuai untuk kepentingan penertiban atau digunakan untuk kepentingan


pribadi. Sumberdaya yang digunakan dalam penertiban PKL berupa 33 unit

kendaraan, diantaranya truk-truk angkut barang, motor patrol dan mobil patrol.

Sarana prasarana tersebut digunakan sesuai dengan kegunaannya hanya untuk

mengangkut barang, tidak untuk disalahgunakan. Sesuai dengan apa yang

dikatakan Bapak Ahmed Fauzan, bahwa sarana prasarana yang digunakan Satpol

PP Kota Bandung memang digunakan sebagai mestinya, aparat satpol PP Kota

Bandung mempunyai truk dan motor-motor dinas yang tidak mungkin digunakan

oleh petugas untuk kepentingan pribadi, selain jumlah nya yang tidak banyak,

setiap akan membawa kendaraan-kendaraan tersebut tentunya terlebih dahulu ada

surat tugasyang jelas dan ditandatangani oleh kepala Satpol PP.

Pertanggungjawaban mengenai akuntabilitas publik di Satpol PP Kota

Bandung sangat terjaga ketat. sarana prasarana yang digunakan untuk

menetertibkan PKL dipakai

sesuai dengan kebutuhan yang digunakan, tidak untuk kepentingan pribadi. Untuk

mengakut barang PKL saja petugas masih kewalahan, karena keterbatasan sarana

prasarana. Selain itu untuk menggunakan kendaraan milik pemerintah ini perlu

adanya surat tugas dan hanya dikeluarkan untuk kegiatan-kegiatan yang

menyangkut penertiban di Kota Bandung.

Adanya ketegasan dalam memakai barang- barang milik Negara memang harus

dipertahankan, karena bisa saja barang-barang tersebut digunakan untuk

disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Satpol PP Kota Bandung

sangat memperhatikan mengenai akuntabilitas publik yang seharusnya digunakan

sebagi mana mestinya. Karena mempertanggungjawabkan sarana prasarana yang

dimiliki pemerintah merupakan suatu kesadaran dari diri masing- masing


perorangan. Bapak Ahmed Fauzi menambahkan mengenai akuntabilitas publik

yaitu, Sarana prasarana yang minim jumlah nya ini memang harus di jaga sebagai

petugas penertiban PKL sangat menyayangkan jika sarana prasarana tersebut

disalah gunakanoleh petugas. Namun semua pihak dalam penertiban ini yakin dan

percaya pada aeluruh aparat Satpol PP Kota Bandung akan mempertanggung

jawabkan sumberdaya yang dimiliki, demi tercapainya harapan dari Perda No.11

tahun 2005 ini.Keadilan dari kebijakan Perda No.11 Tahun 2005 ini sudah

dikatakan adil dilihat dari pertanggungjawaban akuntabilitas publik oleh aparat

Satpol PP Kota Bandung. Dari minimnya sarana prasarana yang dimiliki, semua

aparat yang ada di Dinas satpol PP Kota bandung sadar akan seberapa pentingnya

sarana prasarana tersebut bagi keberlangsungan kebijakan Perda No.11 Tahun

2005. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi aparat satpol PP untuk

menjaga dan tidak menyalahgunakan sarana prasarana yang sudah seharusnya

digunakan untuk kepentingan umum.

4.5 Responsivitas pada Kebijakan Perda No. 11 Tahun 2005 dalam Penertiban

PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung

Responsivitas merupakan tanggapan berupa tanggung jawab yang diberikan

kepada yang menerima layanan, dalam hal ini yaitu PKL Jalan Kepatihan Kota

Bandung, masyarakat Kota bandung, dan aparat Satpol PP Kota Bandung selaku

petugas penertiban PKL di Jalan Kepatihan. Seberpa jauh mereka melihat

kebijakan Perda No.11 tahun 2005 ini berjalan dan diterapkan di Kota Bandung.
Responsivitas juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menyediakan apa

yang menjadi tuntutan seluruh masyarakat Kota Bandung. Responsivitas

diharapkan dapat menjadi cara yang efisien dalam mengatur dan mengevaluasi

kebijakan Perda No.11 tahun 2005 dalam menciptakan Kota Bandung yang tertib,

bersih dan indah dengan menertibkan PKL di Kota Bandung, terutama Jalan

Kepatihan Kota Bandung. Masyarakat, aparat dan PKL dikatakan dapat

bertanggungjawab jika mereka dinilai mempunyai responsivitas atau daya tanggap

yang tinggi mengenai Perda No.11 tahun 2005 ini. Masyarakat, aparat petugas

penertiban, dan PKL Jalan Kepatihan dapat memberikan keluhan dan aspirasi,

sehingga kebijakan Perda tersebut dapat di evaluasi sebagai mana mestinya.

Responsivitas sangat diperlukan dalam menanggapi kebijakan yang telah dibuat

untuk ditaati di kehidupan bermasyarakat. Dari responsivitas tersebut, pemerintah

yaitu DPRD selaku pembuat kebijakan dapat memahami sejauh mana pihak- pihak

yang terkait dalam Perda No.11 Tahun 2005 menanggapi peraturan yang dibuat.

Dalam hal ini yaitu penertiban PKL di jalan kepatihan Kota Bandung

agar terciptanya Kota Bandung yang tertib, bersih dan indah. Untuk mengetahui

lebih lanjut responsivitas pada kebijakan Perda No. 11 Tahun 2005 dalam

penertiban PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung , dapat dilihat dari penjelasan

berbagai responsivitas pihak - pihak terkait berikut ini. Keberadaan PKL

mengundang dilematis. Disatu sisi, PKL dibutuhkan karena memiliki potensi

ekonomi berupa menciptakan kesempatan kerja, kebutuhan dikarenakan harga yang

ditawarkan PKL terbilang jauh lebih murah

dibandungkan harga di toko.


PKL Jalan Kepatihan dipilih masyarakat karena, selain harga barang yang

ditawarkan PKL relatif sangat murah, masyarakat pun banyak yang tidak tau

mengenai Perda No.11 tahun 2005, seperti yang dijelaskan seanjutnya oleh Ibu

Ety. Ketidakpahaman tentang Perda n0.11 tahun 2005 ini mengakibatkan

dukungan dari masyarakat, khususnya masyarakat yang tingkat ekonominya

menengah kebawah seperti Ibu Ety.

Ternyata masih banyak nya ketidak pahaman mengenai Perda No.11 tahun

2005 ini, sehingga masyarakat pun tidak memedulikan kondisi Kota Bandung

yang tidak tertib karena keberadaan PKL. Ketidakahaman masyarakat menegenai

peraturan tersebut dikarenakan kurangnya pendidikan da

n faktor ekonomi yang

memaksa mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari

harinya dengan berbelanja di

PKL Jalan Kepatihan Kota Bandung. Selain itu PKL pun memberikan harga yang

cukup terjangkau dengan kualitas barang yang lumayan untuk masyarakat

Lain hal b

ag

i pengendara kendaraan pribadi dan penumpang kendaraa

umum tentu saja hal ini sangat mengganggu aktifitas mereka, PKL menyebabkan

jalanan macet dan tidak terkendali dan didukung oleh pemberhentian angkutan

umum yang tidak pada tempatnya.

PKL merusak esteti

ka kota dengan
kesemrawutan dankekumuhannya. PKL menghambat lalu lintas dan merampas hak

pejalan kaki. Keberadaannya dinilai sudah mengganggu kenyamanan dan

keindahan kota, meski disatu sisi eksistensinya tetap dibutuhkan sebagai roda

penggerak perekonomian masyarakat kecil. Selama ini PKL identik dengan

penyakit kota (biang kekumuhan dan kesemrawutan kota), menempati wilayah

yang secara hukum dilarang; mengganggu kenyamanan pengguna jalan, dan

terkesan tidak peduli dengan ketertiban lingkungan sekitar. PKL pun sangat

merugikan masyarakat, selain membuat arus lalu lintas menjadi macet, Fasilitas

publik lain yang digunakan yaitu jalur pejalan kaki. Hal tersebut menjadikan jalur

pejalan kaki tidak nyaman dan optimal fungsinya. Belum lagi alat peraga yang

tidak teratur semakin mengurangi estetika kawasan Kepatihan. Faktor kebersihan

juga nampak menjadi masalah PKL di kawasan ini.

Kondisinya saat ini PKL mengotori area-area publik di Kawasan Kepatihan.

Dapat disimpulkan, ketidakseimbangan dan ketidakteraturan penggunaan ruang

antara alat peraga PKL dan ruang publik adalah salah satu masalah yang

ditimbukan dari keberadaan PKL di Jalan kepatihan Kota Bandung.

Sesuai dengan tanggapan Rani, salah satu pejalan kaki di Jalan Kota Bandung,

bahwa selain lalu lintas yang terhambat dan menimbulkan kemacetan di sepanjang

dan sekitaran Jalan Kepatihan, para PKL pun tidak menghargai dan menjaga

lingkungan yang mereka tempati. Tiang-tiang dan trotoar menjadi kotor dan

banyak sekali sampah berserakan akibat adanya PKL. Para PKL membuang

sampah bekas dagangan mereka di pinggir-pinggir lapak yang mereka tempati.

Sehingga selain tidak tertib, Jalan Kepatihan pun terlihat kotor dan gersang.

Keberadaan PKL dinilai dapat memberikan dampak positif dan negative bagi
masyarakat yang melewati kawasan Jalan kepatihan Kota Bandung, bagi

masyarakat kelas ekonomi menengah dan menengah kebawah PKL sanagat

menguntungkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka, namun bagi

pengguna jalanan umum, PKL justru menjadi halangan dan dianggap merusak

fasilitas dan mengotori Jalanan di Kota Bandung. Kebijakan Perda No. 11 tahun

2005 ini menggunang banyak tanggapan negatif dan positif dari pihak masyarakat.

Tapi dilihat dari kenyataannya, yang lebih merspon negatif adalah masyarakat

pengguna jalan umum dan kendaraan. Jalan Kepatihan merupakan kawasan PKL

yang saling menghubungkan dengan Jalan Dewi Sartika dan terdapat PKL di tiap-

tiap jalannya, sehingga kemacetan yang terjadi pun semakin tidak tertib karena

selain PKL didukung denga adanya parkir sembarangan dan pemberhentian

angkutan umum tidak pada tempatnya.

Selain aparat dan masyarakat, responsivitas juga sangat perlu diperjatikan dari PKL

Jalan Kepatihan itu sendiri. Kepentingan yang berbeda dimana pada satu sisi

pemerintah dan sebagian besar masyarakat menghendaki adanya penertiban dalam

penggunaan ruang bagi pedagang kaki lima. Sementara pada sisi yang lain, para

pedagang kaki lima menghendaki adanya kesempatan secara relatif bebas dalam

menggunakan tempat di pusat kota untuk melakukan kegiatan usahanya. Dalam hal

ini, seringkali pemerintah kota atau daerah mengeluarkan kebijakan yang tidak

sesuai dengan keinginan pedagang kaki lima seperti menertibkan dengan tindakan

represif atau memindahkan lokasi pedagang kaki lima ke tempat-tempat tertentu

yang dianggap tidak mengganggu ketertiban dan keindahan kota sehingga kesan

kotor dan semrawut dapatdikurangi. Tetapi hal ini sering ditentang oleh para

pedagang kaki lima karena tempat-tempat yang disediakan oleh pemerintah daerah
tersebut dianggap tidak strategis dan jauh dari pusat keramaian. Hal inilah yang

menyebabkan para pedagang kaki lima meninggalkan tempat tersebut dan kembali

berjualan secara liar di pusat keramaian kota.

Kalangan PKL itu sendiri setelah dilakukan wawancara ternyata banyak juga yang

mengetahui tentang titik-titik tertentu yang menjadi lokasi larangan, meskipun ada

beberapa dari mereka yang belum tahu adanya Perda No.11 tahun 2005 ini. Sebagai

contoh, peneliti berhasil melakuakn wawancara dengan PKL yang bernama Arief

yang mengemukakan bahwa, Mengenai adanya peraturan yang dibuat oleh

pemerintah Kota Bandung memang sebagaian besar PKL mengetahui akan

peraturan tersebut, tetepi tidak ada pilihan lain selain menjadi PKL di Jalan

kepatihan. Para PKL lebih memilih profesinya sekarang dari pada menjadi

pengangguran. Hanya dengan menjadi PKL lah mereka dapat menghidupi keluarga

mereka. Pernyataan Arief juga diperjelas oleh PKL lainnya yang bernama Dani,

Sebagai Pedagang Rokok, yang sudah 3 tahun di jalan kepatihan Kota Bandung,

tentu mengetahui adanya peraturan yang dibuat oleh pemerintah, selain itu arief

yang pernah terkena razia dan gerobak dagangan nya di sita oleh Satpol PP pun

telah diberitahu lebih jelas lagi mengenai peraturan tersebut. Namun tidak ada jalan

lagi, mencari pekerjaan di jaman sekarang sangatlah susah. Disisi lain para PKL

harus menghidupi keluarganya. Memang keadaan yang menjadikan seperti itu.

Beberapa PKL bukan tidak ingin menaati peraturan yang ada, terutama PKL yang

berasal dari Kota Bandung. Mereka sangat menginginkan Kota Bandung yang

bersih, tertib, dan indah. Namun selain susahnya mencari pekerjaan, perelokasian

yang telah dijanjikan untuk para PKL ini sangat lah tidak strategi.
Oleh karena itu para PKL tetap ingin berjualan di Jalan Kepatihan yang merupakan

pusat kota dan ousat keramaian. Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan pada

sejumlah PKL di Jalan kepatihan, memang tidak semua paham mengenai Perda No.

11 tahun 2005 ini.

Mereka menjual dagangan bukan pada tempatnya atau pada titiktitik kawasan bebas

PKL hanya dikarenakan masalah ekonomi. Memang yang terjadi sekarang

sangat susah mencari lowongan pekerjaan jika tidak memiliki dasar pendidikan

yang memiliki standar untuk menjadi pegawai di suatu tempat usaha.

Mengenai Kebijakan itu sendiri, pemerintah perlu meningkatkan lagi masalah

sosialisasi Perda No.11 tahun 2005 ini, dan melakukan pembinaan terhadap PKLdi

Jalan Kepatihan Kota Bandung. Pemerintah juga dapat memberikan kepastian

Relokasi lahan PKL yang bisa PKL tempati tanpa mengganggu kelancaran arus lalu

lintas di Jalan Kepatihan. Masalah relokasi PKL ini pun sempat menjadi kesalah

tanggapan antara aparat pemerintah dan PKL itu sendiri. Seperti yang dikatakan

Bapak Ahmed mengenai perelokasian lahan PKL, bahwa, perelokasian yang jelas

sebenarnya belum ada, saat itu sempat dibicarakan mengenai relokasi PKL ke

Jalan Banceuy dan di Basement alun -alun Kota Bandung , namun sampai saat ini

belum ada kepastian dari pihak yang berwajib.

Jika perelokasian ke Jalan Banceuy kemacetan akan tetap terjadi, sementara di

Basement alun- alun terlalu dalam untuk masuk kedalam, dan saat hujan pun

sering sekali terjadi banjir.

Sampai saat ini, perelokasian lahan PKL belum ditentukan secara pasti oleh

pemerintah, karna menurut para PKL sudah tidak mungkin untuk membubarkan

PKL di Kota Bandung yang begitu melimpah. Terkecuali perelokasian atau


pembangunan kembali lahan untuk para PKL yang tidak merugikan bagi pihak

manapun, Kota Bandung akan tetap terjaga, Perda No.11 Tahun 2005 pun akan

terlaksanan sebagaimana mestinya.

Dari responsifitas pada kebijakan Perda No.11 Tahun 2005 ini, tidak semua yang

terkait merespon dengan baik. Terutama dari pihak aparat, masyarakat dan PKL di

Jalan Kepatihan Kota Bandung. Masih saja terdapat kesalahan dalam denda yang

ditentukan dalam Perda No.11 Tahun 2005, yang menyebabkan PKL tidak akan

pernah jera dengan denda yang berlaku. Selain itu adanya dukungan dari

masyarakat dengan adanya PKL, dikarenakan barang dagangan yang ditawarkan

PKL lebih murah dibandingkan barang yang di jual di toko-toko. Dari pihak PKL

sendiri pada enyataannya mereka paham akan Perda No.11 Tahun 2005 ini, hanya

mereka kurang merespon dikarenakan faktor ekonomi.

4.6 Ketepatan pada Kebijakan Perda No. 11 Tahun 2005 dalam Penertiban

PKL di Jalan Kepatihan Kota Bandung.

Saat ini, banyak kota di Indonesia yang belum mampu “menangani” masalah-

masalah umum yang sering ditimbulkan oleh PKL . Mereka masih sering

dibingungkan oleh semakin banyaknya dan tidak tertibnya pedagang kaki lima.

Keberadaan pedagang kaki lima di lapangan selalu berhadapan dengan penggunaan

fasilitas umum yang “terganggu” secara fungsional dan estetika, disamping masih

banyak hal yang terjadi akibat adanya PKL seperti kemacetan, keindahan dan

kebersihan di sekitar lokasi tempat mereka berjualan.Dengan melihat kondisi yang

demikian, seringkali muncul dualism kepentingan yang berbeda, dimana pada satu
sisi pemerintah dan sebagian besar masyarakat menghendaki adanya penertiban

dalam penggunaan ruang bagi PKL.

Sementara pada sisi yang lain, para pedagang kaki lima menghendaki adanya

kesempatan secara relatif bebas dalam menggunakan tempat di pusat kota untuk

melakukan kegiatan usahanya.

Dalam hal ini, seringkali pemerintah kota/kabupaten mengeluarkan kebijakan yang

tidak sesuai dengan keinginan pedagang kaki lima seperti menertibkan dengan

tindakan represif atau memindahkan lokasi pedagang kaki lima ke tempat-tempat

tertentu yang dianggap tidak mengganggu ketertiban dan keindahan kota sehingga

kesan kotor dan semrawut dapat dikurangi. Tetapi hal ini sering ditentang oleh para

pedagang kaki lima karena tempat- tempat yang disediakan oleh pemerintah daerah

tersebut dianggap tidak strategis dan jauh dari pusat keramaian.

Dalam hal ketepatan pada kebijakan Perda No. 11 tahun 2005 ini terdapat dampak

bagi pihak-pihak terkait penertiban PKL di alan Kepatihan, yang nantinya

akan menjadi bahan pertimbangan untuk mengevaluasi kebijakan tersebut.

Dampak pertama yaitu dirasakan petugas penertiban yang berkaitan langsung

dengan penertiban PKL di Jalan Kepatihan ini, yaitu Satpol PP Kota Bandung.

Dampak dari kebijakan Peda No.11 Tahun 2005 ini bagi aparat satpol PP kota

Bandung yaitu perlu adanya penambahan dan pembelajaran lagi mengenai Perda

tersebut. Dilihat dari jumlah personel dan sarana prasarana yang dimiliki Satpol PP

dalam menangani PKL di Jalan Kepatihan sangat kurang untuk memaksimalkan

penertiban di jalan tersebut selain itu dampak bagi aparat Satpol PP Kota Bandung

selaku petugas penertiban yaitu, kebrutalan sikap PKL yang tidak terima saat

barang dagangannya di razia sehingga keamanan Satpol PP dalam bertugas pun


sangat dipertaruhkan. Banyak sekali PKL yang memberontak dan melawan petugas

saat sedang dirazia. Kurangnya pembinaan dan pelatihan pada petugas Satpol PP

pun yang mengakibatkan ketidakpahaman betul mengenai Perda No.11 tahun 2005

pun yang akhirnya nama Satpol PP tidak dipercaya oleh masyarakat dan PKL di

Jalan Kepatihan Kota Bandung.

Selain aparat yang terkena dampak dari kebijakan ini yaitu masyarakat Kota

Bandung. Masyarakat Kota

Bandung terutama yang melewati Jalan Kepatihan merupakan yang paling terlihat

dampak dari Kebijakan Perda No. 11 Tahun 2005, dimana kebijakan ini sanagat

diharapkan berlangsung secara tapat dan segera ditangani lebih serius oleh aparat

pemerintahan. Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada sub -sub

sebelumnya terlihat bahwa dengan adanya PKL di Jalan Kepatihan arus lalulintas

sangat terganggu, selain itu jalanan dan fasilitas

umum menjadi tidak terawatt dikarenakan adanya PKL. Seperti tanggapan Randi

selaku pengguna Jalan Kepatihan Kota Bandung yang mendukung adanya Perda

No.11 tahun 2005. Karena sebagi warga Kota Bandung dan tinggal di Bandung,

sangat mengharapkan Kota Bandung yang bersih dan tidak kumuh karena adanya

PKL terutama di kota- kota yang seharusnya menjadi tempat pariwisata. Adanya

PKL di Jalan Kepatihan memang sangat mengganggu masyarakat yang

menggunakan jalanan umum.

Masyarakat berharap agar PKL di Jalan Kepatihan ini agar segera dapat lebih

ditindakalanjuti dengan adanya Perda mengenai ketertiban, kebersihan dan

keindahan di Kota Bandung.

Dampak terakhir adalah dampak yang dirasaka olh PKL Jalan kepatihan itu sendiri.
PKL selaku objek dari penelitian ini mengundang dilematis, disatu sisi PKL

dibutuhkan karena memiliki potensi ekonomi berupa menciptakan kesempatan

kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan jiwa

kewirausahaan dan sektor pariwisata.Bahkan jika PKL dikelola dengan baik dan

bijak dapat menjadi sumber bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bandung.

Pada sisi yang lain, PKL merusak estetika kota dengan kesemrawutan dan

kekumuhannya. PKL menghambat lalu lintas dan merampas hak pejalan kaki.

Keberadaannya dinilai sudah mengganggu kenyamanan dan keindahan kota, meski

disatu sisi eksistensinya tetap dibutuhkan sebagai roda penggerak perekonomian

masyarakat kecil. Selama ini PKL identik dengan penyakit kota

menempati wilayah yang secara hukum dilarang, mengganggu kenyamanan

pengguna jalan, dan terkesan tidak peduli dengan ketertiban lingkungan sekitar.

Terutama PKL yang berasal dari luar Pulau Jawa, yang tidak memiliki kartu

identitas dan mengambil jatah wilayah yang disediakan pemerintah untuk PKL

yang memiliki kartu identitas dan berasal dari Pulau Jawa, khususnya Kota

Bandumg. Dengan adanya Perda No.11 tahun 2005 ini, PKL hanya mengharapkan

perelokasian dengan lahan yang luas dan strategis.PKL yang tingkat ekonominya

menengah kebawah dan tingkat pendidikannya pun kurang sangat susah untuk

mendapatkan pekerjaan di jaman sekarang. Berjualan di pinggiran Kota Bandung

merupakan salah satu mata pencaharian mereka untuk memenuhi kebutuhan

hidupya. Sebenarnya para PKL pun tidak ingin selalu berhadapan dengan petugas

Satpol PP untuk merazia dagangan mereka, tapi tidak ada yang bisa mereka

lakukan demi menghidupi keluarga selain menjadi PKL di Jalan Kepatiha Kota

Bandung.
Dampak dari kebijakan ini tanpa adanya perelokasian yang tepat bagi para PKL di

Jalan kepatihan Kota Bandung yaitu hilangnya mata pencaharian mereka satu-

satunya.

Dampak yang diraskan oleh pihak-pihak terkait kebijakan Perda No.11 Tahun 2005

ini perlu diperhatiakan lagi. Karena setiap pihak terkena dampak masing-masing.

Dampak yang dirasakan aparat Satpol PP selaku petuga penertiban PKL di Jalan

Kepatihan Kota Bandung yaitu perlunya menjaga keamanan di sekitar dan diri

sendiri saat razia penertiban dilaksanakan. Karena para PKL sering kali bertindak

anarkis dalam penolakan saat barang-barang dagangan mereka di sita. Dampak

yang sirasakan masyarakat yaitu, kemacetan dan kerusakan fasilitas-fasilitas umum

yang diakibatkan oleh adanya PKL.

Sementara dampak yang dirasakan PKL Jalan Kepatihan Kota Bandung itu sendiri

yaitu satu-satunya pekerjaan mereka sebagai PKL akan terancam, sementara

lapangan pekerjaan susah dicari dan mereka harus menghidupi kebutuhan sehari-

hari

Anda mungkin juga menyukai