Anda di halaman 1dari 32

8 Langkah Perubahan / Transformasi Organisasi

Berikut adalah 8 Langkah Perubahan / Transformasi Organisasi yang disampaikan oleh


Kotter yang dikenal dengan Kotter’s 8 Steps Changes Model

1. Incease Urgency, Menumbuhkan ‘sense of urgency’ dimana setiap orang akan merasa
terdorong untuk segera melakukan perubahan yang dilakukan. Hal ini dapat dilakukan jika
ditemukannya alasan / faktor yang benar-benar kuat mengapa perubahan perlu dilakukan.
Untuk itu perlu ditunjukkan fakta/ data yang dapat dilihat, dirasakan, disentuh agar orang-
orang mau dan merasa perlu untuk berubah. Jika orang tidak melihat adanya data / fakta
bahwa mereka harus berubah maka yang terjadi adalah orang-orang tidak akan mau berubah.
Mereka akan tetap berada di zona nyaman karena mereka merasa tidak ada alasan yang kuat
untuk berubah. Harus ada rasa ‘keterdesakan’ yang bisa dilihat selain oleh pemimpin juga
oleh orang yang dipimpinnya.

2. Build The Guiding team, membantu pembentukan kelompok yang akan memandu proses
perubahan (change agents) yang mempunyai kapabilitas yang memadai baik dari sisi anggota
kelompok maupun metode pelaksanaannya. Untuk berubah diperlukan orang-orang yang
yakin bahwa perubahan akan mengarah ke arah yang lebih baik. Karena itu perlu dibentuk
kelompok yang tugasnya menunjukkan antusiasme, komitmen, kepercayaan bahwa dengan
perubahan yang akan dilakukan akan menghasilkan hasil yang lebih baik. Mereka inilah
agen-agen perubahan yang akan mendorong orang-orang disekitarnya untuk mendukung
jalannya perubahan. Karena itu perlu dilakukan komunikasi yang rutin dengan para agen ini
agar memantapkan tujuan perubahan, saling mendukung dan meminimalisir rasa frustasi
yang mungkin timbul.

3. Get The Right Vision Visi yang sudah ada harus diterjemahkan dalam bentuk strategi
yang menantang untuk dilaksanakan. Tanpa visi yang jelas, tidak akan ada yang mau
mengikuti arah perubahan yang diusung, kalau pun ada, di tengah jalan mereka akan
kehilangan arah. Visi ini harus dapat dipilah-pilah dalam time frame yang jelas, apakah
tahunan, semesteran, atau triwulan serta dengan melihat pula kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi di masa depan. Dengan demikian setiap orang akan dapat melihat arah yang jelas
mengenai tahapan-tahapan yang akan dilakukan dalam bentuk implementasi sehari-hari.

4. Communicating for Buy In Visi dan strategi yang disampaikan harus komunikasikan
sehingga terjadi kesamaan dan pemahaman yang baik serta dapat diterima di seluruh jajaran.
Visi yang baik harus terkomunikasi dengan jelas dan terarah. Dan yang penting adalah
bentuknya tulus, sederhana, tidak rumit serta memberikan contoh nyata (role model) akan visi
yang sudah diaplikasikan. Perbaikilah saluran-saluran komunikasi yang digunakan sehingga
pesan-pesan yang tidak perlu dapat dieliminir. Dan dapat pula digunakan teknologi untuk
membantu mempercepat proses komunikasi (situs resmi, internal email blast, dll).
Komunikasi yang baik dapat dilakukan dengan cara: content (metaphor, analogy, simplicity,
stories, etc) & context (repetition, multiple forums, role model, events, etc)

5. Empower Action, mengatasi secara efektif rintangan-rintangan yang timbul yang dapat
memantapkan pengalaman dalam mengelola perubahan sehingga dapat meningkatkan
kepercayaan diri. Selain itu perlu juga dukungan dalam bentuk alat-alat (resources) yang
memadai agar semua orang dapat bertindak untuk mencapai visi. Termasuk pula adalah
dorongan agar team mampu keluar dari pola pikir standar dan dapat ‘keluar’ mengambil
langkah-langkah terobosan yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

6. Create Short Term Win Meraih kemenangan-kemenangan kecil /jangka pendek. Karena
perubahan pada umumnya tidak dapat dicapai dalam tempo yang singkat maka dibutuhkanlah
milestone-milestone kecil untuk memberi tanda sudah sampai dimana proses perubahan yang
dijalankan. Karena itu dibutuhkanlah perayaan-perayaan kecil (short term wins) dalam
bentuk pemberian penghargaan agar semangat para pengusung roda perubahan ini dapat
terus dijaga agar tidak redup. Adalah perlu untuk terus mengupayakan agar semangat para
pendukung perubahan ini tetap menyala karena proses perubahan menuntut stamina fisik &
mental dalam waktu yang panjang. Selain itu, short term wins ini juga memberi isyarat
kepada mereka yang belum ‘bergabung’ untuk dapat bergabung karena inilah ‘jalan’ yang
‘benar’. Akan jauh lebih baik jika ‘perayaan’ meraih kemenangan kecil ini dilakukan dalam
exposure yang luas sehingga ada banyak orang yang menyaksikan sehingga pada penerima
penghargaan ini dapat lebih percaya diri, mantap dan semakin yakin akan arah yang di tuju.

7. Don’t Let Up Jangan berhenti, lanjutkan terus proses perubahan sebelum visi terwujud.
Lakukan terus upaya untuk meningkatkan sense of urgency sehingga nyala api perubahan
tidak redup di tengah jalan. Selalu tunjukkanlah bahwa proses perubahan ini masih akan
berlanjut sapai tercapainya visi yang dicanangkan. Tetapi, haruslah dicatat bahwa proses ini
jangan sampai membuat kondisi fisik dan emosi terganggu dan mengorbankan kepentingan
pribadi, karena dalam jangka panjang jika ini terjadi, yang mendapatkan imbasnya adalah
proses perubahan itu sendiri. Gunakanlah momentum-momentum, seperti misalnya pada
perayaan hari jadi perusahaan / peringatan hari besar sebagai alat bantu untuk
mengkomunikasikan bahwa perubahan belum selesai. Lakukanlah -jika perlu- perubahan
sistem, struktur, kebijakan-kebijakan, prosedur hingga kultur organisasi sehingga sesuai
dengan kondisi yang diinginkan.

8. Make change stick Pastikanlah agar perubahan tertanam sebagai budaya perusahaan
sehingga perubahan benar-benar mengakar sampai ke struktur organisasi yang paling bawah.
John P. Kotter mengingatkan, bila satu saja tahapan itu dilewati, maka kita hanya akan
menghasilkan apa yang disebutnya sebagai “illusion of speed” (kecepatan maya) yang dapat
menghasilkan perubahan yang tidak sempurna.

8 langkah proses perubahan diatas, kemudian ditulis kembali dalam cara yang lebih renyah
dalam buku Our Iceberg is Melting yang diterbitkan dalam tahun 2006. Buku ini bercerita
mengenai sekelompok pinguin yang mengalami masalah mengenai temat tinggal mereka
(Iceberg) yang terancam karena ada rongga besar yang sewaktu-waktu dapat membuatnya
runtuh. Aca karakter Fred, yang pertama-tama sadar akan ancaman tersebut, Alice, anak dari
ketua koloni Pinguin juga.. selalu ada orang-orang yang menganggap perubahan itu tidak
perlu yang disimbolkan oleh pinguin tua Dr. Nono. Sangat bagus untuk Anda yang ingin
melihat perubahan dari sisi yang ringan dan lucu

sumber: John P Kotter, Leading Change, Gramedia Pustaka Utama, 1997

http://quickstart-indonesia.com/8-langkah-perubahan-transformasi-organisasi/
Bagaimana Melakukan Transformasi Dalam Organisasi?

Kita sering mendengar bahwa melakukan perubahan itu tidaklah mudah. Kita juga teramat sering
mendengar adanya keengganan bahkan penolakan terhadap perubahan (resistance to change). Jika
sekedar berubahpun enggan, bagaimana mungkin sebuah organisasi akan melakukan transformasi?
Dalam hal ini, saya menafsirkan transformasi sebagai sebuah perubahan besar yang membuat
sistem, struktur, dan budaya organisasi menjadi sangat berbeda dibanding sebelumnya.
Transformasi bukan sekedar mempercepat proses pelayanan menjadi lebih cepat 1 hari atau 1
minggu; bukan pula postur organisasi yang tambun menjadi sedikit lebih ramping. Transformasi lebih
mencerminkan perubahan mental model atau paradigma dari dilayani menjadi dilayani, dari big is
powerful menjadi small is beautiful, dari alon-alon waton kelakon (pelan asal selesai) menjadi quick
response (reaksi cepat), dari inefisien menjadi efisien, dari inward looking yang berorientasi self-
interest menjadi outward looking yang berorientasi public values, dan seterusnya.

Maka, jika perubahan adalah sebuah proses evolusi yang biasanya bersifat inkremental, maka
transformasi adalah evolusi yang dipercepat, atau sebuah langkah revolusioner. Jika perubahan
cenderung memilih satu atau dua aspek untuk disempurnakan berdasarkan urutan prioritasnya,
maka transformasi menghendaki perubahan serentak, simultan, paralel, holistik, dan integral. Tidak
ada aspek yang boleh dibiarkan tertinggal dan tidak tersentuh perbaikan, Jika perubahan lebih
mudah dipahami secara kuantitatif, maka transformasi harus dirasakan secara lebih kualitatif. Jika
perubahan sudah terjadi ketika secara individual saya meneguhkan tekad untuk lebih disiplin, maka
transformasi baru muncul ketika disiplin disiplin individu saya telah melebur kedalam disiplin kolektif
yang menjelma sebagai kebiasaan bersama (collective habit).

Nah, dengan pembedaan diatas, saya mengasumsikan bahwa transformasi jauh lebih sulit dikelola
dibanding mengelola perubahan. Namun, ada satu ajaran dari John P Kotter dalam artikelnya
berjudul Leading Change: Why Transformation Efforts Fail?, yang menurut saya memberi arahan
atau panduan yang sangat logis, sederhana, dan operasional untuk melakukan sebuah transformasi
dalam organisasi. Dia mengemukakan adanya 8 (delapan) langkah dan/atau peran seorang pemimin
dalam melakukan transformasi. Ke-8 hal itu adalah:

1. Establishing sense of urgency;


2. Forming a powerful guiding coalition;
3. Creating a vision;
4. Communicating the vision;
5. Empowering others to act the vision;
6. Planning for and creating short-term wins;
7. Consolidating improvements and producing more changes;
8. Institutionalizing new approaches.

Pada tahap pertama, saya merasa sreg dan klop sekali bahwa transformasi harus diawali dengan
menemukan urgensinya. Mengapa transformasi harus dilakukan; apa tekanan (pressure), kesulitan
(difficulties), dan tantangan (threat) yang dihadapi; serta apa dampaknya bagi organisasi jika
transformasi tadi tidak dilakukan? Urgensi transformasi, oleh karenanya, adalah alasan mendasar
(raison de’tre) mengapa transformasi mutlak harus dijalankan. Tanpa adanya alasan ini, bisa dijamin
transformasi akan kehilangan spirit, kekuatan, dan arah yang jelas. Dan uniknya, faktor yang
membuat transformasi menjadi lebih bertenaga, bersemangat, dan jelas arah orientasinya, adalah
situasi serba sulit, tidak pasti, dan penuh tantangan tadi. Ketika sebuah organisasi merasa tidak
memiliki faktor komplikasi dalam mencapai tujuannya dan merasa segala sesuatu baik-baik saja,
maka sesungguhnya organisasi tersebut sedang berada dalam situasi yang tidak baik-baik saja,

Selanjutnya, manakala urgensi untuk transformasi sudah berhasil diidentifikasikan, langkah yang
harus ditempuh adalah meminta dukungan dan komitmen berbagai pihak untuk menggulirkan
perubahan. Komitmen tadi bisa bersumber dari lingkungan internal maupun dari stakeholder
eksternalnya. Kolaborasi, koalisi, dan kooperasi antar aktor akan menjadi condition sine qua non
keberhasilan sebuah transformasi. Tanpa adanya hal tersebut, maka perubahan hanya akan menjadi
omong kosong dan angin lalu. Sekuat apapun pressure yang dimiliki untuk terjadinya perubahan, dan
sekuat apapun komitmen pimpinan untuk berubah, namun tanpa adanya dukungan multi-aktor,
perubahan ibarat sebatang lidi yang tidak mampu membersihkan sampah yang berserakan. Sampah-
sampah itu hanya bisa dibersihkan oleh kumpulan lidi yang diikat oleh sebuah komitmen dan visi
bersama (shared vision).

Pembentukan visi bersama ini merupakan syarat mutlak ketika koalisi perubahan sudah terbangun.
Visi ini memiliki banyak fungsi. Selain untuk menyelaraskan irama dan gerak langkah, atau untuk
menciptakan frekuensi hati dan pemikiran yang sama, shared vision juga memberi arah yang jelas
kemana organisasi akan dibawa, sekaligus menyediakan gambaran masa depan yang harus
diwujudkan oleh organisasi tersebut. Tanpa adanya visi, sangat mungkin sebuah organisasi akan
tersesat di tengah jalan. Ibarat biduk yang berada di tengah lautan lepas di tengah malam gulita, visi
adalah bintang utara (North Star) yang memberikan peta jalan (roadmap) yang memandu sang
nelayan keluar dari kesesatan.

Namun, visi saja sangat tidak cukup. Visi ini harus dikampanyekan atau dikomunikasikan kepada
seluruh pihak terkait. Komunikasi ini akan menjaga visi tidak mengalami reduksi pada perjalanan
organisasi. Dengan kata lain, kampanye visi bertujuan untuk memelihara shared vision tidak
tercabik-cabik menjadi visi-visi individu yang berbeda haluan. Pada saat yang bersamaan, kampanye
visi harus disertai dengan pemberdayaan, pengembangan kapasitas, atau pengembangan pegawai.
Visi yang kuat harus dikelola oleh SDM yang kompeten. Kekuatan visi harus compatible dengan
kapasitas SDM. Kecepatan (velocity) dan ketangguhan (durability) keduanya harus seimbang dan
saling mengisi atau saling memperkuat. Jika salah satu unsur timpang dan tidak mampu mengikuti
kecepatan dan ketangguhan unsur lainnya, maka sia-sialah semuanya.

Jika alasan untuk transformasi sudah jelas, koalisi sudah ada, visi sudah dibangun dan
dikomunikasikan, dan kapasitas SDM terus dikembangkan, maka pondasi yang kokoh untuk sebuah
transformasi dapat dikatakan telah terpenuhi. Langkah berikutnya tinggal membuat perencanaan
dan program unggulan untuk jangka pendek (quick wins). Perencanaan ibarat busur, sedang program
unggulan ibarat anak panah. Keduanya membentuk sinergi dalam mencapai sasaran seakurat
mungkin. Dengan kata lain, perencanaan dan quick wins merupakan stepping stones atau milestones
menuju tujuan akhir (ultimate goals) organisasi. Visi saja tidak mungkin bisa merealisasikan tujuan.
Visi membutuhkan kristalisasi berupa kerja keras seluruh SDM-nya dan aktualisasi melalui program
dan kegiatan yang nyata dan terukur tingkat kinerjanya.

Pada saatnya, sebuah organisasi tidak boleh puas hanya dengan satu atau beberapa quick wins saja.
Ini harus terus direproduksi dan/atau direplikasi sehingga akan melahirkan banyak quick wins yang
tidak pernah berhenti sebelum visi dan tujuan organisasi menjadi kenyataan. Banyaknya quick wins
ini diharapkan akan membentuk efek bola salju (snowball effect) yakni terkonsolidasinya program
organisasi dan sumber daya yang dialokasikan untuk menjalankan program tersebut. Dan akhirnya,
perbaikan seperti ini harus menjadi kebiasaan yang melekat pada manajemen organisasi sehari-hari
(day-to-day management).

Pada praktek dalam kehidupan sehari-hari, tanpa harus melakukan penelitian secara khusus kita bisa
melihat organisasi atau perusahaan yang telah melakukan transformasi dengan 8 langkah tersebut.
Garuda misalnya, beberapa peristiwa kecelakaan dan pelarangan terbang ke wilayah Eropa adalah
salah satu titik paling urgen yang mengharuskan perusahaan melakukan transformasi. Urgensi yang
serupa juga dihadapi oleh PT. KAI yang sering mengalami kecelakaan yang menelan ratusan korban
jiwa. PT. KAI bahkan juga menghadapi situasi kritis yang lain seperti pelemparan, sabotase,
pencurian bantalan rel, dan sebagainya. Demikian halnya, PT. Angkasa Pura Bandara Soekarno-Hata
mempunyai alasan keurgenan sendiri untuk transformasi dengan membludaknya jumlah
penumpang yang melebihi kapasitas, sering terjadinya keterlambatan take-off, toilet yang kotor dan
bau seperti di terminal bus, dan sebagainya. Syukurlah, ada kesadaran penuh dari jajaran direksi
perusahaan untuk segera berbenah dan mengubah wajah perusahaan yang saat itu begitu kusut,
kumuh, dan berkinerja amat buruk. Saya yakin bahwa semangat berbenah ini kemudian
dikomunikasikan dengan seluruh pihak terkait, meski saya tidak tahu apa yang mereka lakukan
untuk membangun kolaborasi lintas stakeholder ini.

Satu hal yang pasti, dalam persepsi saya mereka mengganti visi baru yang lebih kuat. Hal ini ditandai
dari perubahan logo. Bagi yang kurang memaknai sebuah logo, mungkin hanya dilihat sebagai
perubahan simbol atau gambar semata. Namun saya yakin bahwa perubahan logo yang seringkali
memakan biaya milyaran rupiah ini telah disosialisasikan dan diinstitusionalisasikan di kalangan
internal perusahaan. Dengan proses internalisasi tadi, maka logo bukan sekedar perubahan
lambang, melainkan sebuah spirit baru, orientasi baru, tekad baru, cara kerja baru, dan target-target
baru.

PT. Angkasa Pura Bandara Soetta bahkan memasang secara permanen visualisasi Grand Design
Bandara Soetta 2014 di seluruh terminal. Keterhubungan (interconnectedness) antar terminal,
kualitas pelayanan yang jauh lebih baik, nuansa yang lebih modern, serta standar kenyamanan dan
keamanan yang lebih tinggi, seolah menjadi janji yang tidak dieksplisitkan secara verbal dari gambar-
gambar yang terpasang di seluruh penjuru bandara tersebut. Model komunikasi seperti ini, secara
langsung maupun tidak langsung, memberikan pengaruh positif kepada pengguna jasa layanan PT.
Angkasa Pura Bandara Soetta. Para pelanggan sudah merasa tidak sabar menunggu realisasi visi
perusahaan, dan sudah sangat ingin menikmati rezim pelayanan bandara kelas dunia, bukan kelas
terminal Kampung Rambutan seperti saat ini.

Sayangnya, saya tidak punya informasi rinci tentang strategi komunikasi dan pemberdayaan
staf/pegawai di ketiga perusahaan tersebut. saya juga tidak tahu pasti apa program quick wins yang
mereka unggulkan. Saya hanya yakin bahkan hal-hal strategis ini telah mereka lakukan secara
optimal, yang antara lain dibuktikan dengan kinerja PT. Garuda yang berhasil meraih penghargaan
sebagai maskapai penerbangan regional terbaik, atau kinerja PT. KAI yang mampu membalikkan
kondisi dari perusahaan yang selalu merugi ratusan milyar menjadi profit generating company.

Tantangannya sekarang adalah, mereka tidak boleh berhenti dan tidak boleh puas dengan
performance yang mereka raih. Tugas yang tidak kalah penting adalah mencari dan melakukan
program-program unggulan lain secara berkelanjutan, hingga pada akhirnya inovasi dan
transformasi menjadi kebutuhan harian sebuah organisasi, dan mendarahdaging dalam setiap
aktivitas para pegawainya.

http://triwidodowutomo.blogspot.com/2013/10/bagaimana-melakukan-transformasi-dalam.html

Transformasi Organisasi, Menyulap Perusahaan Agar Bertahan

udah banyak perusahaan-perusahaan yang gagal dalam menyesuaikan dengan perubahan. Ada dua pilihan,
mereka tertinggal oleh pesaing-pesaingnya dan mati. Namun sebaliknya, banyak perusahaan yang akhirnya
besar karena terus berinovasi menyongsong perubahan.

Di Indonesia, perusahaan seperti Gudang Garam atau BNI 46 sampai hari ini masih sehat di usia lebih seratus
tahun. Tentu saja mereka tidak selalu mengalami masa kejayaan. Ada masa-masa sulit dalam melewati zaman
yang terus berubah.

Kuncinya ternyata adalah mereka mampu berubah dan menyesuaikan diri. Organisasi memang harus dipaksa
untuk berubah. Jika tidak segera berubah maka organisasi atau perusahaan bisnis akan tertinggal jauh oleh
pesaing-pesaingnya.

Seluruh tindakan serta proses organisasi memang akan menentukan berhasil ataupun gagalnya proses
tersebut. Namun yang harus disadari sebuah perusahaan atau organisasi bisnis pastilah digerakkan oleh
manusia (people). Walaupun manusia tentu saja harus dibantu berbagai instrumen lain misalnya saja teknologi
yang handal. Yang jelas, organisasi tidak mungkin bergerak tanpa people. Inilah pentingnya mengelola people
secara lebih intensif.

Salah satu langkah pengelolaan SDM dalam sebuah perusahaan adalah melakukan transformasi atau
perubahan. Banyak pengertian tentang transformasi. Dari berbagai pengertian tersebut transformasi dapat
disimpulkan sebagai suatu proses perubahan dari suatu kondisi ke kondisi lain untuk mencapai sesuatu yang
lebih baik.

Transformasi organisasi akan mem–bawa organisasi dari bentuk dan sistem yang lama ke bentuk dan sistem
yang baru. Perubahan ini bisa bermakna luas. Keinginan berubah bisa di-drive dari luar atau merupakan
dorongan dalam diri untuk mencapai suatu situasi yang lebih baik.

Transformasi organisasi senantiasa diawali oleh suatu kebutuhan yang ber–kaitan dengan tuntutan bisnis.
Biasanya perubahan digunakan untuk berbagai alasan misalnya ketika perusahaan mengenalkan aturan baru,
ketika menetapkan sasaran baru, strategi dan pernya-taan visi misi organisasi.

Namun secara umum, menurut Yodhia Antariksa, konsultan SDM, ada tiga prinsip penting dalam mengelola
perubahan. Satu, perubahan hanya dapat terjadi jika setiap orang membuat keputusan untuk menerapkan
perubah-an. Artinya dalam sebuah perusahaan atau organisasi bisnis, harus ada kekompakan atau tim yang
solid untuk bersama-sama melakukan langkah perubahan kearah yang lebih baik.

Dua, semua orang dalam perusahaan harus terlibat untuk menentukan bagian yang paling efisien dalam
mencapai hasil yang maksimal. Tiga, lakukan perubahan pada sistem. Melakukan perubahan ter-hadap
individu bukan hal mudah. Maka hal tercepat adalah mengubah sistemnya.

Secara umum, perubahan dalam organisasi hanya dapat diterapkan jika setiap orang dalam organisasi
bertanggung jawab dan menerima untuk melakukan cara baru dalam melakukan sesuatu.

Selain itu yang tidak kalah penting adalah melakukan motivasi tim. Ini merupakan teknik lain yang dapat
digunakan untuk mengelola perubahan. Dengan cara ini seorang manajer menyadari bahwa pekerja akan
membawa motivasi tingkat individu mereka ke tempat kerja dan mereka cenderung bekerja sama dalam
sebuah tim.

Teknik lain yang efektif dalam mengelola perubahan dalam organisasi adalah melibatkan semua departemen
pada saat mengambil keputusan mengenai perubahan yang akan digunakan.

Dengan melakukannya, maka setiap aspek perubahan yang akan dilakukan akan jauh lebih sukses.

Empat tipe people


John Kotters mengatakan manajemen perubahan yang efektif akan menjadi lebih efektif jika seseorang
melihat pentingnya dampak perubahan tersebut bagi individu maupun organisasi secara keseluruhan.
Seseorang juga menyadari makna perubahan tersebut sehingga mereka menjadi lebih efektif dan dapat
diandalkan dalam organisasi. Tetapi tanpa kesadaran itu, mereka dipastikan malas mengadopsi perubahan
baru.

Sebelum mengelola people dalam organisasi, ada empat tipe individu yang harus dikenali. Pertama, individu
sebagai agen perubahan. Kemudian, kedua mereka yang hanya berperan sebagai penonton.

Dalam perusahaan akan juga ditemui mereka yang cuek bebek atau tidak peduli. Perusahaan mau berubah
atau tidak, tipe ini tidak akan peduli. Tetapi diantara semua itu, ada tipe keempat yang membahayakan. Yakni
tipe detractor atau orang yang menghambat perubahan.

Pada akhirnya, pertanyaan kunci dalam transformasi adalah keberhasilannya. Dalam hal ini keberhasilan
pengukur-annya jelas mengacu pada apakah tujuan dari transformasi tersebut tercapai atau tidak.
Indikatornya antara lain organisasi bertumbuh dan eksis, pendapatan dan laba meningkat dan indikator lain
yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan. Siapkah melakukan transformasi?

http://www.listrikindonesia.com/transformasi_organisasi__menyulap_perusahaan_agar_bertahan_
315.htm
TRANSFORMASI ORGANISASI

Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa transformasi organisasi senantiasa diawali oleh
suatu kebutuhan yang berkaitan dengan tuntutan bisnis. Tujuan bisnis menjadi pedoman
dalam pengelolaan organisasi, termasuk dalam transformasi. Tujuan bisnis yang selalu
berkembang (namun tetap dalam koridor visi dan misi) memberi pengaruh dalam manjemen
perusahaan. Satu diantara yaitu penyesuaian dalam struktur organisasi, yang menyesuaikan
terhadap strategi yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan.

Perubahan struktur organisasi dari bentuk lama ke bentuk baru memberikan dampak yang
tidak hanya menyangkut pola struktur itu sendiri, tetapi juga keberbagai aspek lain seperti
sistem, prosedur, budaya, manusia dan sebagainya. Hal ini terkadang luput dari perhatian
pengelola organisasi yang terkadang hanya terpaku pada struktur dan sistem namun
mengabaikan masalah kultur dan manusia.

Berbicara tentang kultur dan manusia dalam konteks transformasi, maka dua aspek penting
yang harus menjadi pertimbangan, yaitu kepemimpinan dan komunikasi. Lazim diketahui
bahwa suatu perubahan senantiasa disikapi oleh pro dan kontra. Kontra dalam hal ini
termasuk sikap resisten untuk menerima perubahan, sehingga hal ini dapat menjadi faktor
penghambat dalam mencapai tujuan perubahan organisasi. Faktor resisten ini memerlukan
kepemimpinan yang tepat dan komunikasi yang sesuai untuk mengubah perilaku non-
kooperatif menjadi perilaku kooperatif. Aspek lain yang perlu dipertimbangkan adalah
karakteristik organisasi, budaya/kultur, core business dan homogenitas versus heterogenitas.

Banyak pengertian tentang transformasi maupun organisasi. Dari berbagai pengertian tersebut
transformasi dapat disimpulkan sebagai suatu proses perubahan dari suatu kondisi ke kondisi
lain untuk mencapai sesuatu yang lebih baik.

Perubahan ini bisa bermakna luas. Keinginan berubah bisa didrive dari luar atau merupakan
dorongan dalam diri untuk mencapai suatu situasi yang lebih baik.

Organisasi dapat diartikan suatu kumpulan individu yang secara sadar bersama-sama bekerja
untuk mencapai suatu tujuan bersama. Pengorganisasian terkait dengan mengelola sumber
daya dikaitkan dengan aktivitas yang ada. Pengorganisasian adalah suatu kegiatan untuk
mengsinkronkan berbagai kegiatan yang ada kemudian mengalokasian penggunaaan sumber
daya secara tepat.

Beberapa ahli menyebutkan TO adalah perluasan dari Organization Development (OD). OD


sendiri diartikan oleh sebagian ahli sebagai sebuah tindakan untuk melakukan perubahan,
suatu strategi untuk merubah keyakinan, sikap, nilai-nilai dan struktur organisasi agar dapat
menyesuaikan diri secara lebih baik terhadap teknologi baru, perkembangan pasar dan
tantangan baru.

Dengan demikian transformasi organisasi dapat disimpulkan sebagai suatu strategi dan
implementasi untuk membawa organisasi dari bentuk dan sistem yang lama ke bentuk dan
sistem yang baru dengan menyesuaikan seluruh elemen ikutannya (sistem, struktur, people,
culture) dalam rangka meningkatkan efektivitas organisasi untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan selaras dengan visi dan misi organisasi/perusahaan.

Pertanyaan kunci dalam transformasi adalah keberhasilannya. Dalam hal ini keberhasilan
pengukurannya jelas mengacu pada apakah tujuan dari transformasi tersebut tercapai atau
tidak. Beberapa pedoman untuk menjawab apakah transformasi berhasil atau tidak (setelah
melewati suatu kurun tertentu yang ditetapkan untuk periode transformasi) adalah melalui
jawaban terhadap pertanyaan sebagai berikut :

1. Apakah perusahaan/organisasi tumbuh atau eksis?


2. Apakah pendapatan dan laba meningkat?
3. Apakah market share meningkat?
4. Apakah kepuasan konsumen/klien meningkat?
5. Apakah kepuasan mitra kerja meningkat?
6. Apakah kepuasan karyawan meningkat?
7. Apakah kepuasan shareholder meningkat?

Jika sebagian besar jawaban dari pertanyaan diatas adalah ”ya” dapatlah dikatakan
transformasi tersebut berhasil. Jika sebagian besar jawabannya adalah ”tidak” maka perlu
dilakukan evaluasi menyeluruh tentang ketidakberhasilan transformasi tersebut. Setidaknya
dapat ditentukan faktor kegagalan apakah berkaitan dengan tidak pasnya tujuan atau strategi
kurang tepat, faktor ”people”, ”leadership,” ”timing,” sumber daya yang kurang mendukung
atau program yang tidak sesuai. Penentuan faktor kegagalan ini akan menjadi modal untuk
merancang manajemen transformasi lebih lanjut.

http://habahate.blogspot.com/2008/07/transformasi-organisasi.html

Peran HR di Dalam Transformasi Organisasi: Developing Transformational Leaders

Pada saat ini, hampir semua perusahaan, baik di Indonesia maupun di belahan bumi yang
lain, menghadapi 5 (lima) tantangan bisnis yang kritis. Tantangan-tantangan itu terdiri dari:
1. Dampak globalisasi,
2. Peningkatan laba perusahaan,
3. Kemajuan teknologi,
4. Modal khas yang memiliki hak cipta
5. Perubahan dari eksternal perusahaan yang terus-menerus

Untuk mengantisipasi tantangan-tantangan tersebut, perusahaan dituntut untuk mampu


mengembangkan kapabilitas dan kekuatan yang baru dari dalam perusahaan, dengan waktu
yang cukup singkat. Bagi sebagian besar perusahaan, proses pengembangan tersebut
dianggap sebagai suatu proses transformasi yang terus-menerus.

Melakukan proses tranformasi bukanlah suatu tindakan yang luar biasa, namun perusahaan
yang bisa melakukan suatu langkah transformasi dan perusahaan tersebut tetap berhasil
mempertahankan kinerja, maka hal tersebut merupakan kejadian yang langka.

McKinsey melakukan survei terhadap para eksekutif dunia yang melakukan proses
tranformasi. Ternyata, hanya sepertiga dari responden survei tersebut yang mengaku bahwa
perusahaan mereka benar-benar berhasil melakukan transformasi.
Di dalam survei tersebut, para eksekutif diminta informasinya mengenai beberapa hal, yaitu
bagaimana perusahaan mereka mendesain dan mengelola suatu upaya transformasi,
bagaimana mereka melibatkan atau meningkatkan peranan karyawan dalam proses
tranformasi tersebut dan selanjutnya bagaimana mereka melibatkan manajemen perusahaan
dalam proses transformasi tersebut.

Belajar dari pengalaman perusahaan-perusahaan lama yang dianggap cukup sukses


melakukan transformasi seperti GE dan Toyota atau perusahaan baru yang selalu melakukan
transformasi seperti Apple dan Google serta hasil survei Mc Kinsey tersebut, kita dapat
menyimpulkan bahwa bagian yang paling berat didalam melakukan transformasi adalah
proses mengubah suatu budaya di dalam organisasi.

Di dalam proses perubahan budaya pada suatu organisasi, pihak manajemen (yang di
dalamnya termasuk fungsi HR) harus melakukan proses yang terdiri dari 4 (empat) tahap,
yaitu:

(1) Tahap mendefinisikan & mengklarifikasi mengenai perilaku-perilaku baru yang


diharapkan oleh organisasi. Apabila perusahaan ingin sukses dalam transformasi maka hal
utama yang harus dilakukan oleh para pemimpin dalam tahap ini adalah menetapkan tujuan
yang jelas dan yang hakiki terhadap proses transformasi yang harus terjadi.

Pada saat industri telekomunikasi di Indonesia mengalami persaingan harga yang drastis,
maka sebagian besar perusahaan telekomunikasi menyadari bahwa cost optimalization atau
operational excellence adalah perilaku-perilaku baru yang harus dimiliki oleh organisasi.

Akan tetapi, tidak semua perusahaan mampu memiliki perilaku tersebut karena tidak semua
pemimpin perusahaan tersebut berhasil menghubungkan pentingnya cost optimalization atau
operational excellence dengan keunggulan perusahaan di masa depan.

(2) Tahap menjelaskan kepada semua anggota organisasi, mengapa perusahaan


membutuhkan perilaku-perilaku baru tersebut dan mengapa perilaku baru tersebut merupakan
inti dari keberhasilan usaha di masa yang akan datang. Para pemimpin harus mampu
melibatkan seluruh anggota perusahaan di dalam upaya perubahan melalui berbagai macam
cara.

Aktivitas para pemimpin di dalam proses transformasi ini merupakan hal yang sangat
penting. Perusahaan yang berhasil adalah perusahaan yang menggunakan berbagai macam
metode komunikasi lainnya untuk membuat agar karyawan terlibat.

Mereka juga biasanya lebih mampu untuk berkomunikasi mengenai pentingnya upaya
perubahan secara positif, mendorong karyawan untuk membangun keberhasilan daripada
hanya menangani permasalahan belaka.

Menjelaskan kepada karyawan yang sudah bertahun-tahun tidak pernah concern terhadap
anggaran, tentang pentingnya untuk melakukan optimalisasi anggaran yang ada, merupakan
hal yang sangat sulit. Karena bisa saja sebagian besar karyawan tersebut buta keuangan
(financial illiteracy), sehingga tanpa suatu pendekatan yang kreatif maka tahap ini tidak akan
berhasil.
(3) Tahap untuk menilai apakah pengetahuan, keahlian, perilaku dan bahkan kepribadian
(personality) dari anggota organisasi kita tersebut sesuai dengan perilaku yang baru. Ketika
suatu perusahaan mencoba melakukan upaya transformasi pada kegiatan operasionalnya,
maka adanya rencana dan strategi yang fokus tersebut tidaklah cukup.

Unsur penting lain yang lain yang ternyata cukup berhasil dalam tindakan sejenis ini – yang
antara lain meliputi kegiatan bagaimana memudahkan suatu proses kerja – adalah penugasan
pada karyawan tertentu sebagai suatu “change agent” atau agen perubahan yang memimpin
perusahaan dalam kegiatannya. Dalam proses ini, tentunya Unit HR harus melakukan
asesmen, sehingga teridentifikasi seberapa besar kesenjangan yang ada dan berada di mana
saja.

Agen perubahan adalah para pimpinan yang bertindak antar unit usaha di dalam perusahaan
tanpa memperdulikan adanya hirarki. Orang-orang ini diberi kebebasan dari pelaksanaan
tugasnya sehari-hari agar mereka dapat memfokuskan diri untuk memimpin dan
mengarahkan adanya perubahan.

Secara tidak langsung maupun secara langsung, mereka mengimplementasikan proses yang
baru, melatih para karyawan terhadap adanya prosedur kerja yang baru dan mereka bertindak
selaku model peran untuk menunjukkan cara kerja yang baru dan yang lebih baik.

Di beberapa perusahaan para agen perubahan tersebut bisa menghabiskan lebih dari 50%
waktu kerja mereka untuk: mengunjungi unit-unit yang sedang mengalami perubahan, untuk
melaksanakan audit atau untuk memberi arahan bagi para manajer mengenai bagaimana
memperbaiki kinerja masing-masing.

Apabila perusahaan yang tidak memperhatikan pentingnya peran seorang agen perubahan di
dalam proses transformasi, maka hal ini akan menimbulkan risiko yang tinggi pada
kesuksessan proses transformasi.

(4) Tahap menetapkan pendekatan alternatif untuk mendorong tumbuhnya perilaku-


perilaku budaya baru pada setiap anggota organisasi. Berdasarkan hasil tahap 3 tersebut,
manajemen dapat menetapkan apakah pendekatan yang akan dilakukan hanya akan
meningkatkan kesadaran tentang proses transformasi atau sudah harus sampai pendekatan
untuk membuat anggota organisasi komit terhadap proses transformasi.

Salah satu yang bisa meningkatkan kesempatan pimpinan perusahaan dalam transformasi
organisasi adalah apabila mereka berhasil meningkatkan ekspektasi karyawan terhadap
proses transformasi yang dilakukan, dapat mengubah perilaku karyawan dan keterlibatan
karyawan dalam berbagai tingkatan, dari manajemen puncak hingga manajemen lini.

Program pengembangan kepemimpinan (leadership development) untuk kesuksesan


proses transformasi

Jarang ada perusahaan yang mampu menghindari adanya perubahan besar dan periodik di
dalam kegiatan usahanya. Apa pun penyebab dari perubahan tersebut, namun upaya dan
tanggapan di dalam menghadapi perubahan tersebut hampir selalu sama, antara lain misalnya:
mengubah rantai pasokan; mengubah hubungan antara unit penjualan, pemasaran dan fungsi
unit lainnya ; dan meningkatkan tingkat efisiensi dari kegiatan produksi atau layanan jasa
operasional. Perubahan tersebut dimulai dari atas dan hal ini memerlukan perhatian yang
penuh secara rinci yang dialami bersama oleh pimpinan perusahaan maupun unit kerja lini.

Berdasarkan 4 tahap di dalam proses Transformasi diatas kita dapat melihat bahwa peran
pemimpin dan agen perubahan dalam proses transformasi sangat penting. Namun dalam
perjalanan proses transformasi seringkali para eksekutif senior lupa menangani adanya
kompetensi atau keahlian “soft skill’ yang diperlukan bagi para pimpinan dan agen perubahan
untuk menyebarkan upaya perubahan di perusahaan dan menerapkannya.

Kompetensi yang dimaksud adalah:


(1) kemampuan untuk tetap membuat para manajer dan karyawan untuk terus
semangat/terinspirasi saat mereka dibelit oleh kesibukan kerja,
(2) untuk mendorongadanya kolaborasi pada lintas unit kerja di dalam perusahaan, dan
(3) membantu para manajer terlibat dalam program perubahan melalui metode dialog, bukan
pengarahan tertulis.

Salah satu perusahaan industri tingkat dunia berhasil menangani permasalahan mengenai
tranformasinya dengan cara melakukan program pengembangan kepemimpinan sebagai
bagian dari suatu program penyempurnaan kegiatan operasional yang berskala besar, yang
meliputi penerapan suatu sistem produksi yang baru yang diterapkan pada 200 pabriknya di
seluruh dunia.

Proses transformasi di perusahaan tersebut harus terjadi karena kinerja pabrik-pabriknya tidak
konsisten dan ada pabrik yang kinerjanya berada dibawah kinerja pabrik pesaing dari segi:
efisiensi, produktivitas dan biaya produksi. Dalam usaha memperbaiki keadaan ini,
teridentifikasi beberapa permasalahan seperti pandangan mengenai ketidakmampuan untuk
berubah, menganggap kinerja saat ini dinilai sebagai ”cukup bagus.”

Konflik dinilai sebagai keadaan yang pasif-agresif atau bahkan, konflik tersebut tidak lagi
diperhitungkan keberadaannya. Terkadang karyawan merasa bahwa mereka diperlakukan
sebagai alat dan penyelia mereka adalah pihak yang menekan untuk menjalankan.

Dampak dari keadaan ini terhadap karyawan adalah terjadi dis-engagement atau sikap tidak
mau terlibat, juga kurangnya kepercayaan pada tingkat manajemen senior dan adanya
kekhawatiran karyawan terhadap kesalahan yang diperbuat oleh karyawan. Rasa
kekhawatiran ini timbul karena budaya perusahaan yang kuat terhadap aspek keamanan dan
kecenderungan untuk menghindari resiko.

Tantangan-tantangan ini sangat sulit untuk diabaikan dan harus dianggap sebagai suatu
hikmah. Kelompok karyawan senior melihat bahwa dibalik adanya perbaikan teknis
operasional yang harus dilakukan, pimpinan perusahaan juga harus segera menangani
perubahan perilaku individu guna mendukung perubahan operasional tersebut.

Untuk itu, perusahaan menyiapkan program kepemimpinan yang bersifat individu sesuai
dengan kompetensi yang dibutuhkan, sangat terkait dengan proses transforrmasi dan
melibatkan para pihak yang terkait.

Tahun pertama program pengembangan ini dilaksanakan, dampaknya masih belum terlihat.
Namun, setelah tiga tahun, perusahaan mengestimasi bahwa program perbaikan yang terjadi
dari program pengembangan kepemimpinan ini telah meningkatkan pendapatan operasional
(sebelum pajak) sebesar $ 1.5 miliar per tahun.

Selanjutnya, para eksekutif melihat perilaku kepemimpinan yang baru tersebut sangat krusial
terhadap keberhasilan yang berkesinambungan. Pejabat Eksekutif Senior yang memulai
program tersebut yakin bahwa tanpa adanya pengembangan kepemimpinan, maka
dampaknya hanya setengah dari yang seharusnya.

Pejabat tersebut juga menambahkan bahwa perusahaan memperoleh laba yang berlipat
berdasarkan adanya investasi yang ditempatkan pada masing-masing pimpinan yang dilatih
selama ini.

PPM Manajemen sendiri sudah hampir 3 tahun ini mendampingi suatu perusahaan
multinasional melakukan program Management Development yang desainnya bertujuan
untuk mempersiapkan para manajer melakukan inovasi di dalam unit kerjanya sehingga
proses transformasi yang dilakukan organisasi menjadi berhasil.

Secara finansial sudah dapat dibuktikan bahwa project assignment yang dilakukan oleh para
peserta program ini mampu meningkatkan pèndapatan atau mengoptimalisasi biaya secara
signifikan, tapi yang lebih menggembirakan lagi adalah keberhasilan para peserta membawa
project assignment mereka ke lomba inovasi yang dilakukan oleh perusahaan dengan
penilaian secara internasional.

Dari pengalaman-pengalaman perusahaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa salah satu peran
penting fungsi HR di dalam proses transformasi adalah membuat suatu program
pengembangan kepemimpinan yang didisain sesuai dengan kompetensi baru dan sasaran
proses transformasi organisasi.

Setelah dilaksanakan program itu juga harus dapat diukur kontribusinya terhadap peningkatan
kompètensi para pemimpin yang menjadi peserta program tersebut. Program itu juga harus
dibuktikan secara finansial memberikan kontribusi terhadap sasaran transformasi perusahaan

https://manajemenppm.wordpress.com/2013/07/26/peran-hr-di-dalam-transformasi-organisasi-
developing-tranformational-leaders/

Perubahan MENDASAR, STRATEGIK dan MENYELURUH

Proses metamorphosis sebagaimana dialami ulat menjadi kupu-kupu atau kecebong menjadi katak
tidak cukup diwadahi dengan istilah perubahan saja. Perubahan yang meliputi segala aspek tersebut
(juga bagi sebuah organisasi) lebih tepat disebut sebagai transformasi, yang mengandung makna
pergantian antar wujud, dari wujud yang satu menjadi wujud yang sama sekali berbeda. Wujud disini
mengandung pengertian tidak sekadar bentuk fisiknya saja tetapi termasuk juga ‘roh’ dan cara
hidupnya. Sebagai misal, seekor anak kerbau yang berubah menjadi kerbau dewasa tidaklah dapat
dikatakan sebagai transformasi.

Terkait dengan itu, perubahan transformasional pada sebuah organisasi didefinisikan sebagai proses
perubahan yang besifat mendasar, strategik dan menyeluruh.

Perubahan yang mendasar diartikan sebagai perubahan struktur yang tidak dapat kembali ke bentuk
semula lagi. Dalam ilmu sains diibaratkan dengan perubahan kimia, yang dibedakan dari perubahan
fisika yang dapat kembali ke bentuk semula. Perubahan ini berarti menghapus masa lalu, mengubur
jauh jejaknya kemudian membangun yang benar-benar baru, brand new, sama sekali baru. Disini
analoginya tidak memodifikasi rumah melainkan merobohkannya lalu membangun yang baru, yang
tentu diharapkan menjadi jauh lebih bagus. Pada sebuah organisasi, perubahan mendasar ditandai
dengan perubahan tata nilai atau values dari organisasi yang bersangkutan, yang menjadi pondasi
bagi strategi utama dan budaya kerja organisasi.

Adapun perubahan strategik diartikan sebagai perubahan yang menyangkut visi, dan misi baru
organisasi. Dalam metafora proses metamorphosis kupu-kupu, analogikan dengan perubahan sifat
ulat yang semula merusak karena memakan dedaunan, menjadi kupu-kupu yang berguna karena
memberi keindahan dan membantu penyerbukan tanaman. Disamping itu jangkauan gerak yang
semula terbatas disekitar tanaman tempat ia (ulat) dilahirkan menjadi lebih luas karena kupu-kupu
dapat terbang dengan leluasa.

Sementara perubahan menyeluruh dimaksudkan sebagai perubahan dalam semua aspek organisasi
secara terpadu baik aspek manusianya maupun aspek pengelolaannya yang diselaraskan dengan
perubahan visi, misi, nilai dan strategi yang dirumuskan ulang menjadi The Winning Formula.
Demikian pula halnya dengan semua aspek dan sistem manajemen, seperti manajemen
perencanaan, operasi, SDM, pemasaran, keuangan dan lain-lainnya harus ditata ulang.

Oleh karena itu proses transformasi melingkupi dan meliputi berbagai jargon-jargon perubahan
seperti reinventing, re-engineering, redefinition, dan berbagai re yang lain yang menjadi satu secara
terpadu serta komprehensif.

Sebagaimana pada metamorphosis ulat menjadi kupu-kupu, perubahan transformasional juga


menuntut adanya masa transisi yang cukup namun tidak terlalu lama dan dimulai ketika sedang
berada pada kondisi puncak. Persoalannya adalah kapankah kondisi puncak itu?

Godaan yang sering menjerumuskan adalah pikiran bahwa sekarang belum saatnya karena masih
bisa meningkat. “Jangan-jangan ini terlalu awal”, atau “Kita harus menunggu sesaat lagi, satu
periode lagi”, dan berbagai kilah lainnya dan seterusnya.

Sebagai referensi dapat ditelaah para tokoh beserta organisasi yang dipimpinnya antara lain Jack
Welch, mantan CEO General Electric yang sukses dengan perubahan-perubahan mendasar ketika GE
sedang hebat, atau juga Mahathir Muhammad mantan Perdana Menteri Negara tetangga Malaysia,
yang mundur melepaskan jabatannya saat Negara itu sedang jaya.

Sebaliknya perhatikan juga merosotnya IBM di tahun 1980-an yang ketika itu nama besarnya identik
dengan komputer, atau kejatuhan banyak organisasi dan tokoh terkemuka dengan meninggalkan
nama yang terhinakan, karena selalu merasa masih bisa berkuasa satu atau dua periode lagi.

http://transform-org.blogspot.com/2009/10/perubahan-mendasar-strategik-dan.html

Kata transformasi akhir-akhir seakan menjadi trend baru di kalangan pembicara, pimpinan
organisasi, ulama dan lain-lain bersanding dengan kata reformasi yang sudah lama beredar
sebelumnya terutama semenjak runtuhnya orde baru. Orang sering tidak mengerti dengan benar
arti sebenarnya dari kedua istilah itu meski telah sering mendengarnya bahkan mengucapkannya.
Bagi kebanyakan kita kedua istilah itu hanyalah berkaitan dengan perubahan (yang besar). Padahal
implikasi dan konsekwensi dari komitmen terhadap transformasi misalnya, sungguh sangat besar
dan tidak main-main.

Lalu, apa pengertian kedua kata itu?

Banyak orang merujuk pada asal kata dan melacaknya di kamus sebagaimana berikut ini:

Kata reformasi berasal dari dua kata ‘re’ yang berarti kembali dan ‘form’ yang berarti bentuk.
”Reform” berarti membentuk, menyusun, mempersatukan kembali (Kamus Inggris-Indonesia versi
John. M. Echol). Kamus besar Bahasa Indonesia tahun 1988 menjelaskan bahwa reformasi
merupakan perubahan radikal untuk perbaikan (bidang sosial, politik, keagamaan) dalam suatu
masyarakat atau negara. Jadi, reformasi dapat diartikan sebagai membentuk kembali sesuatu pada
tempatnya semula.

Adapun kata transformasi berasal dari dua kata dasar, ‘trans dan form.’ Trans berarti melintasi
(across), atau melampaui (beyond). Kata form berarti bentuk. Karena itu Transformasi mengandung
makna perpindahan, dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain yang melampaui perubahan rupa
fisik luar saja.

Saya yakin anda tidak akan menjadi jelas dengan keterangan diatas, bukan? Sayapun tidak!

Karena itu mari kita membuatnya sederhana sehingga mudah dipahami dan karena itu bisa
menjalankannya dengan tepat. Saya akan menitik beratkan pada pengertian Transformasi, sesuai isi
dan misi situs ini.

Referensi yang akan saya gunakan disini adalah hukum alam, buku yang tidak dapat dibantah
kebenarannya oleh manusia manapun juga.
Transformasi yang dianut disini, adalah perubahan metamorfosis sebagaimana perubahan dari ulat
menjadi kupu-kupu atau dari kecebong menjadi katak. Pada kejadian diatas, tidak hanya perubahan
bentuk saja yang terjadi, tetapi meliputi juga sifat, cara hidup, makanan dan habitatnya pun
berganti. Tidak ada yang tersisa dari kehidupan ulat atau kecebong pada kehidupan kupu-kupu atau
katak. Perubahan ini sungguh sangat berbeda dengan yang terjadi pada 'gudel' (anak kerbau)
menjadi kerbau dewasa. Pada gudel, yang terjadi hanya perubahan fisik saja, tidak lebih dan tetap
kerbau juga.

Perhatikan perbedaan antara ulat dan kupu-kupu sebagaimana gambar berikut:

sumber: Semua Orang Bisa Hebat

Jelas kalau makhluk diatas seakan menjadi 2 makhluk dengan 2 kehidupan yang sama sekali
berbeda.
Jadi, transformasi dapat diartikan sebagai perubahan yang bersifat MENDASAR, STRATEGIK, dan
MENYELURUH. Silahkan baca perubahan Mendasar, Strategik, dan Menyeluruh

http://transform-org.blogspot.com/
Home > Pendidikan > Makalah: Memimpin Perubahan Dalam Organisasi

Makalah: Memimpin Perubahan Dalam Organisasi


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perubahan lingkungan yang sangat cepat dan persaingan bisnis yang semakin ketat menyebabkan
organisasi dalam hal ini perusahaan harus senantiasa berubah selaras dengan perubahan
lingkungan. Tuntutan untuk perubahan tersebut saat ini merupakan sebuah kewajiban bagi
perusahaan (Metcalfe, 2005) agar perusahaan dapat bertahan di dunia bisnis yang semakin
kompetitif. Mengingat pentingnya perubahan, perusahaan harus merubah cara mereka berfikir
tentang suatu bisnis, tidak bisa lagi mengandalkan apa yang telah diraih, tetapi bagaimana mencari
peluang untuk mengembangkan bisnis menjadi lebih baik lagi (Cummings & Worley, 2003).
Perubahan itu sendiri didefinisikan sebagai sebuah transformasi yang terencana atau tidak
terencana pada struktur organisasi, teknologi dan orang-orang yang dalam organisasi tersebut
(Greenberg, 2003). Untuk meningkatkan performance, perusahaan harus melakukan perubahan
yang terencana. Pada dasarnya perubahan terencana dalam sebuah organisasi dipimpin oleh
pimpinan puncak dalam organisasi, tetapi seluruh anggota dalam organisasi dapat mengambil peran
dan inisiatif yang diperlukan untuk memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuannya demi
kesuksesan proses perubahan dalam organisasi (Yukl, 2002). Dengan demikian, pemimpin harus
dapat memotivasi para anggotanya untuk terus berubah. Kepemimpinan yang efektif diperlukan
untuk memfasilitasi proses adaptasi dalam melakukan perubahan dalam organisasi. Peran pemimpin
dalam proses perubahan dapat dikatakan sebagai sumber kesuksesan proses perubahan karena arah
dan tujuan perubahan biasanya ditentukan oleh pemimpin untuk kemudian dilaksanakan oleh
seluruh anggota organisasi. Fungsi strategis kepemimpinan adalah mempengaruhi budaya
organisasi, mengembangkan visi, melaksanakan perubahan, dan memotivasi para karywannya untuk
terus belajar dan berinovasi (Yukl, 2002).

1.2. Rumusan Masalah

 Bagaimana peran pemimpin dalam perubahan?


 Bagaimana mengelola perubahan?
 Bagaimana menyelesaikan penolakan atas perubahan?

BAB II

PEMBAHASAN

Pentingnya Perubahan dalam Organisasi


Menghadapi perubahan lingkungan bisnis yang sangat cepat, perusahaan didorong untuk melakukan
perubahan agar dapat berkembang dan bertahan dalam persaingan bisnis yang kompetitif.
Dorongan untuk melakukan perubahan tersebut dapat berasal dari dalam organisasi maupun dari
luar organisasi. Dorongan perubahan dari dalam organisasi adalah adanya permasalahan sumber
daya manusia dan permasalahan manajerial. Permasalahan sumber daya manusia berasal dari
persepsi karyawan tentang bagaimana mereka diperlakukan di tempat kerja, dan adanya
ketidakpuasan kerja, yang biasanya berakibat pada menurunnya produktivitas, tingginya tingkat
absensi, dan perputaran pekerja. Permasalahan manajerial dalam organisasi meliputi konflik,
kepemimpinan, maupun sistem pembayaran (reward system) dalam organisasi.

Dorongan dari luar organisasi untuk berubah disebabkan adanya :

 Perubahan pasar
 Karakteristik demografis
 Perkembangan teknologi informasi
 Tekanan sosial dan politik.

Perubahan pasar dapat disebabkan karena terjadinya merger dan akuisisi, resesi, maupun
meningkatnya persaingan bisnis domestik dan intemasional. Perubahan karakteristik demografis
umur, pendidikan, tingkat ketrampilan, gender , dan imigrasi yang pada akhirnya menyebabkan
tenaga kerja yang ada semakin beragam, menyebabkan perusahaan harus mengelola keragaman
tersebut secara lebih efektif.

Perkembangan teknologi informasi yang terjadi sekarang memang menjadi dorongan kuat bagi
organisasi untuk berubah. Apabila perusahaan tidak mengikuti perkembangan teknologi informasi,
maka perusahaan akan semakin tertinggal dengan perusahaan lain. Sedangkan tekanan sosial dan
politik yang terjadi membuat perusahaan harus berfikir secara lebih global untuk mencari peiuang
baru guna mencapai kesuksesan. Dorongan-dorongan untuk melakukan perubahan tersebut
menyadarkan perusahaan untuk melakukan perubahan. Banyak perusahaan yang mengalami
kebangkrutan dan pada akhirnya tutup dikarenakan tidak mau berubah.

Peran Pemimpin dalam Perubahan

Peran pemimpin sangat diperlukan dalam suatu organisasi atau perusahaan, khususnya perannya
dalam membantu perusahaan dalam proses perubahan. Banyak definisi mengenai kepemimpin,
(Rauch & Behling, 1984) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi
aktifitas dari suatu kelompok yang sudah terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan. House, dkk
dalam Yukl (2002) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan dari seorang individu untuk
mempengaruhi, memotivasi dan membuat orang untuk memberikan kontribusinya guna mencapai
keefektifan dan kesuksesan organisasi. Sedangkan menurut Schein (1992), kepemimpinan adalah
kemampuan untuk keluar dari budaya lama untuk memulai proses perubahan yang lebih adaptif.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan proses
mempengaruhi orang lain untuk merubah budaya lama ke budaya baru guna mencapai keefektifan
dan kesuksesan organisasi.

Definisi tersebut menyiratkan pentingnya sebuah budaya organisasi baru untuk membuat sebuah
perubahan menjadi sukses (Bass dalam Metclfq 2005). Lebih lanjut, Bass menyatakan bahwa budaya
organisasi dan kepemimpinan saling berhubungan untuk mengatasi situasi sulit yang dihadapi
perusahaan dengan menjadikan pemimpin sebagai panutan (role model), dan mengispirasi
karyawan yang lain untuk berpartisipasi dalam perubahan

Dengan kata lain, organisasi mempengaruhi kepemimpinan seperti halnya kepemimpinan


mempengaruhi budaya (Metcalfe, 2000). Bass & Avolio (1990) mengemukakan bahwa gaya
kepemimpinan yang lebih tepat untuk memimpin perusahaan dalam proses perubahan adalah gaya
kepemimpinan transformasi (trarsformational leadership style), jika dibandingan dengan
kepemimpinan transaksional (transactional leadership). Banyak penulis yang menyamakan
kepemimpinan transformational dengan kepemimpinan karisimatik, akan tetapi ada beberapa hal
yang membedakan keduanya. Greenberg (2003) menyatakan bahwa transformasi berada di atas
kharismatik (beyond charisma), karena pemimpin yang transformasional pasti berkarisma,
sedangkan pemimpin yang berkarisma belum tentu transformasional.

Yukl (2002) menyatakan bahwa pemimpin yang karismatik dan transformasional berbeda karena
pemimpin yang transfortransformasional akan melakukan banyak hal untuk memberdayakan
pengikutnya dan mengurangi ketergantungan karyawan kepada pemimpinnya dengan jalan
mendelegasikan wewenangnya kepada karyawan, mengembangkan keahlian dan meningkatkan
kepercayaan diri karyawan, menciptakan tim-tim, memperbaiki komunikasi, mengurangi
pengawasan-pengawasan yang tidak diperlukan serta membangun budaya yang kuat untuk
mendukung pemberdayaan.

Sedangkan pemimpin yang karismatik melakukan banyak hal untuk meningkatkan citra (image) yang
luar biasa misalnya kesan manajemen, pembatasan informasi, perilaku yang tidak umum, dan
pengambilan resiko personal. Kepemimpinan yang transformasional terdiri dari tiga tipe perilaku
(Bass, 1985), yaitu:

 Idealize influence adalah perilaku yang meningkatkan emosi pengikut dan identifikasi
dengan pemimpin
 Individualized consideration adalah pemberian dukungan, dorongan, dan bimbingan kepada
pengikut
 Intellectual stimulation adalah perilaku yang meningkatkan kesadaran pengikut terhadap
permasalahan-permasalahan, dan mempengaruhi pengikut untuk melihat permasalahan
dengan perspektif yang baru.

Bass kemudian menambah satu lagi tipe perilaku dari kepemimpinan transformasional (Bass &
Avolio, 1990), yaitu inspirational motivational yang merupakan perilaku untuk mengkomunikasikan
visi yang akan datang menggunakan symbol untuk menfokuskan diri pada usaha bawahan, dan
memberikan contoh-contoh perilaku yang tepat kepada pengikut.

Mengelola Perubahan

Mengelola perubahan merupakan hal yang harus dilakukan oleh pemimpin agar perubahan yang
telah direncanakan dapat berhasil sehingga mampu meningkatkan produktivitas perusahaan. Salah
satu permasalahan yang sering muncul pada proses perubahan adalah adanya penolakan terhadap
perubahan (resistant to change). disinilah peran pemimpin diperlukan untuk meyakinkan dan
memotivasi para karyawan untuk melakukan perubahan.
Cummings & Worley (2005), mengemukakan bahwa pengelolaan perubahan terfokus pada
pengidentifikasian sumber-sumber penolakan terhadap perubahan dan mencari cara bagaimana
penolakan-penolakan tadi dapat diselesaikan. Penolakan terhadap perubahan merupakan fenomena
yang timbul dalam proses perubahan. Connor dalam Yukl (2002) menjelaskan beberapa hal yang
menyebabkan penolakan, yaitu:

1. Ketidakpercayaan kepada orang yang mengusulkan perubahan. Hal ini akan menyebabkan
efek yang besar terhadap sumber penolakan yang lain.
2. Kepercayaan bahwa perubahan tidak diperlukan. Apabila orang-orang dalam organisasi
merasakan bahwa cara/metode yang selama ini mereka gunakan sudah baik, maka adanya
rencana perubahan akan membuat mereka menolak.
3. Kepercayaan bahwa perubahan tidak dapat dilakukan. Proses perubahan yang akan
dilakukan membutuhkan usaha yang besar, sehingga perubahan yang radikal dapat
menyebabkan orang meragukan keberhasilan perubahan.
4. Ancaman ekonomi. Perubahan yang akan dilakukan membuat karyawan merasa terancam
dari segi ekonomi, misalnya perubahan dapat menyebabkan kehilangan pendapatan karena
pemutusan hubungan kerja (PHK) atau penggantian manusia dengan teknologi informasi,
sehingga mereka kehilangan pekerjaan.
5. Perubahan biasanya berbiaya tinggi. Walaupun perubahan biasanya membawa keuntungan
besar bagi perusahaan, tetapi besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan
membuat perusahaan berfikir lebih mendalam sebelum menentukan untuk melakukan
perubahan. Dalam hal ini, perusahaan harus membandingkan biaya dan keuntungan yang
mungkin diperoleh (cost and benefit analysis).
6. Ketakutan akan kegagalan individu. Apabila orang-orang dalam organisasi sudah terbiasa
menggunakan cara/metode lama maka rencana perubahan membuat mereka ketakutan,
jika mereka tidak bisa menggunakan cara/metode baru.
7. Kehilangan status dan kekuasaan. Perubahan-perubahan besar dalam organisasi dapat
menyebabkan beberapa orang merasa terancam akan kehilangan kekuasaan dan status
akibat adanya perubahan.
8. Ancaman terhadap nilai-nilai dan cita-cita organisasi. Adanya perubahan menyebabkan
ketakutan-ketakutan akan hilangnya nilai-nilai organisasi yang selama ini telah dianut oleh
organisasi.
9. Penolakan akan pengaruh (Resentment of interference). Ada beberapa orang yang menolak
untuk berubah karena mereka tidak mau dikontrol oleh orang lain.

Untuk mengelola perubahan dalam organisasi, Cummings & Worley (2005) mengemukakan lima
elemen kunci untuk memimpin perubahan. Kelima aktivitas yang merupakan aktivitas yang
memberikan kontribusi untuk mengelola perubahan secara efektif, dapat dilihat pada Gambar 1
berikut :
1. Memotivasi Perubahan

Perubahan merupakan proses untuk menuju sesuatu yang baru, oleh karena itu diperlukan
komitmen yang tinggi dari anggota organisasi. Dorongan komitmen ini memberikan dua tugas, yaitu:

a. Menciptakan kesiapan untuk melakukan

perubahan Salah satu tantangan penting dalam menyiapkan perubahan adalah kesediaan anggota
organisasi untuk melakukan perubahan. Hal ini tidak akan terwujud apabila anggota organisasi masih
belum menyadari kebutuhan untuk berubah. Oleh karena itu untuk membuat anggota organisasi
berubah, tentu saja peran pemimpin untuk meyakinkan dan menjelaskan pentingnya perubahan.
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan benchmark.

b. Menyelesaikan penolakan terhadap perubahan

Apabila perubahan telah dilaksanakan, masalah yang kemungkinan muncul adalah penolakan
terhadap perubahan. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan perubahan, yaitu
(Robbins, 2003):

1. Komunikasi

Penolakan dapat dikurangi dengan melakukan komunikasi yang lebih baik kepada karyawan. Dengan
komunikasi yang lebih baik, karyawan akan meilihat rencana perubahan sebagai suatu realita yang
harus dilakukan. Disamping itu, satu penyebab penolakan dimungkinkan karena salah komunikasi
dan informasi atau komunikasi yang buruk dalam organisasi. Komunikasi yang leblh baik dapat
dilakukan pembicaraan langsung (face to face)

2. Partisipasi

Proses perubahan yang baik hendaknya melibatkan karyawan, mulai dari proses persiapan hingga
pengimplementasian perubahan, sehingga nantinya karyawan akan merasa berkepentingan untuk
melakukan perubahan. Hal ini dapat mengurangi penolakan terhadap perubahan, karena dengan
keterlibatan tersebut, karyawan merasa menjadi bagian perubahan, dan bukan obyek perubahan.

3. Kemudahan dan Dukungan

Penolakan terhadap perubahan salah satunya disebabkan dari ketakutan karyawan akan munculnya
cara/metode baru yang belum mereka ketahui. Hal ini menuntut pihak managemen untuk
memberikan kemudahan dan dukungan kepada karyawannya, diantaranya dengan memberikan
penyuluhan, terapi, maupun pelatihan-pelatihan. Program-program pelatihan sangat diperlukan
untuk mempersiapkan anggota organisasi memasuki proses perubahan dan mengembangkan
kualitas sumber daya manusia perusahaan.

4. Perundingan

Apabila perubahan yang dilakukan mendapatkan penolakan dari suatu kelompok, maka perusahaan
dapat melakukan perundingan atau negosiasi untuk mendapatkan solusi yang saling menguntungkan
bagi seluruh pihak dalam organisasi.

5. Manipulasi dan Kooptasi

Salah satu bentuk menyelesaikan penolakan terhadap perubahan adalah dengan manipulasi dan
kooptasi. Manipulasi mengacu pada upaya pengaruh yang tersembunyi, yang berupa penghasutan
dan pemutarbalikkan fakta untuk membuat fakta lebih menarik, sedangkan kooptasi merupakan
bentuk seperti penyuapan, misalnya pemberian posisi penting dalam perubahan kepada pimpinan
kelompok yang menolak perubahan.

6. Pemaksaan

Cara yang paling ekstrim untuk melakukan menyelesaikan perubahan terhadap perubahan adalah
dengan pemaksaan, berupa pemberian ancaman kepada para penolak. Ancaman tersebut dapat
berupa ancaman pemindahaan, hilangnya promosi, evaluasi kinerja yang negatif, dan surat
rekomendasi yang buruk.

Pemaksaan ini merupakan cara terakhir yang dapat dipilih oleh manajemen, karena cara ini
dimungkinkan dapat menyulut permasalahan lain yang lebih besar. Walaupun demikian, cara ini
tetap dapat menjadi alternatif apabila memang budaya organisasi yang berkembang dalam
perusahaan tersebut memang memungkinkan untuk dilakukan.

2. Menciptakan Visi

Perusahaan yang sedang melakukan perubahan harus melakukan analisis tentang kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman yang akan dihadapi oleh perusahaan (Ancok, 2003). Hasi; analisis
tersebut akan menentukan visi baru perusahan yang ingin dicapai dengan perubahan.

Nanus (1992) mengemukakan bahwa visi yang jelas dan tepat dengan kebutuhan perusahaan
bermanfaat untuk:

a. Menumbuhkan komitmen karyawan terhadap pekerjaan dan memupuk semangat kerja karyawan
b. Menumbuhkan kebermaknaan dalam kehidupan kerja karyawan
c. Menumbuhkan standar kerja yang prima (standart of excellence)
d. Menjebatani keadaan perusahaan masa sekarang dan masa depan

3. Mengembangkan Dukungan Politis

Mengelola dinamika politis menyangkut penilaian terhadap kekuatan agen perubahan,


mengidentifikasi pihak-pihak yang paling berkepentingan (key stakeholders) dalam perusahaan, dan
mempengaruhi stake holder. Agen perubahan dapat berupa pimpinan perusahaan maupun
konsultan yang dikontrak untuk melakukan perubahan.

Dengan memperkuat posisi agen perubahan dan mendapatkan dukungan dari stakeholder
perusahaan, maka perusahaan akan semakin mudah untuk melakukan perubahan, karena dukungan
seluruh stakeholder perusahaan sangat mempengaruhi kelangsungan dan kesuksesan perubahan
dalam perusahaan.

4. Mengelola Transisi

Proses perubahan melewati masa transisi dari situasi saat ini menuju situasi diharapkan dapat
dicapai di masa yang akan datang. Masa transisi tersebut membutuhkan struktur manajemen dan
aktivitas khusus (Cummjing & Worley, 2003). Masa transisi memerlukan aktifitas:

a. Perencanaan aktifitas
b. Perencanaan komitmen, dan
c. Perubahan struktur manajemen

Ketiga aktifitas tersebut dimulai dari perenacanaan aktifitas yang akan dilakukan oleh perusahaan.
Perencanaan tersebut dijelaskan sampai hal yang paling spesifik, sehingga anggota organisasi
mempunyai arah yang jelas mengenai tujuan dan prioritas pekerjaan yang harus dilakukan. Setelah
perencanaan dilakukan, dibutuhkan pembangunan komitmen yang kuat dari seluruh anggota
organisasi untuk melakukan perubahan, sehingga perubahan dapat dilakukan dengan sukses.

Kegiatan selanjutnya adalah perubahan struktur manajemen. Masa transisi membutuhkan arahan
yang jelas, sehingga perubahan yang dihasilkan bisa sesuai dengan yang diharapkan perusahaan.
Untuk itu, struktur manajemen perusahaan perlu mengakomodir orang-orang yang dapat
memobilisasi sumber daya oraganisasi untuk berubah. Selain itu, diperlukan juga optimalisasiperan
pemimpin dan konsultan perubahan untuk mengarahkan perubahan.

5. Melanjutkan Momentum Perubahan

Setelah perubahan dilakukan oleh organisasi, perusahaan harus senantiasa meningkatkan semangat
untuk berubah, sehingga tidak kehilangan momentum untuk terus melakukan perubahan, hal-hal
yang dapat dilakukan untuk dapat terus berubah adalah dengan menyediakan sumber daya yang
diperlukan untuk melakukan perubahan dan membangun sistem pendukung untuk agen perubahan.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Perubahan yang dilakukan oleh perusahaan membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan
tersebut hendaknya dilakukan di segala bidang organisasi agar perubahan yang dilakukan dapat
meningkatkan performence perusahaan.

3.2. Daftar Pustaka

 blog.ub.ac.id/abidatul/files/2013/04/pendahuluan-1.pdf
 blog.ub.ac.id/tioandiko/files/2013/01/MEMIMPIN-PERUBAHAN.pptx
 staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/...%20SE..../Jurnal.PDF

PERAN KEPEMIMPINAN DALAM


PERUBAHAN ORGANISASIONAL Audith M
Turmudhi (Dosen STMIK-AMIKOM Yogyakarta) Dimuat di Jurnal “Manajerial” STMIK-AMIKOM
Yogyakarta vol. 2, no. 2, September 2006 Abstract The fast changing of organizational
environment -- which is driven by competition, economical, political, globalization, social-
demographical, and ethical forces -- must be responded through appropriate
organizational change. There are four targets of organizational change should be
considered i.e. organizational structure, physical setting, technology, and people. And the
constraints which are able to threat the success of change effort are organizational
systems/power, the differences of functional orientation and mechanical organizational
structure, cultural inertia, group norms/cohesiveness, also group think and individual
obstacle. In order that organizational change runs successfully, the effort should be led by
a strong, visionary, intelligent, and development-oriented leadership. Perubahan
lingkungan organisasi – eksternal maupun internal – adalah suatu keniscayaan, dahulu
maupun sekarang. Namun di masa sekarang, kecepatan dan intensitas perubahan
lingkungan tersebut pada umumnya berlangsung begitu tinggi, penuh dinamika dan
turbulensi. Bahkan, seringkali bersifat diskontinyu sehingga bukan saja menyulitkan, tetapi
dapat mengancam keberlangsungan hidup suatu organisasi. Jelaslah, perubahan lingkungan
(environmental change) akan mengakibatkan tekanan pada organisasi untuk melakukan
perubahan organisasional (organizational change). Di tengah kuatnya arus perubahan
lingkungan, tanpa perubahan diri secara tepat dan signifikan organisasi tersebut niscaya
akan terseok, bahkan akan mati terlindas hukum besi perubahan. George dan Jones (2002)
menyebutkan sejumlah faktor lingkungan eksternal yang mendorong perubahan, yakni
kekuatan kompetisi, kekuatan ekonomi, kekuatan politik, kekuatan globalisasi, kekuatan
sosial-demografik, dan kekuatan etikal. Dewasa ini persaingan dalam dunia bisnis
berlangsung semakin sengit. Dinamika ekonomi dan politik nasional, regional maupun
global bergerak sangat fluktuatif dan penuh kejutan. Globalisasi ekonomi dan budaya yang
dipicu oleh perkembangan pesat teknologi informasi dan transportasi telah menyebabkan
dunia ini bagaikan desa global (global village). Perubahan struktur demografik dan sosial
berlangsung secara sangat signifikan. Dan di tengah semua itu mencuat pula di sana-sini
kesadaran etik masyarakat yang menuntut ditegakkannya perilaku etis dalam dunia kerja,
bisnis, dan politik. Sementara, pada lingkungan internal organisasi, perubahan-perubahan
yang terjadi pada nilai-nilai, etos kerja, kompetensi maupun aspirasi karyawan juga
mengharuskan respons organisasional yang tepat. Makin tingginya tingkat pendidikan rata-
rata karyawan, misalnya, akan menyebabkan meningkatnya aspirasi dan tuntutan mereka
dalam bekerja. Mereka pada umumnya mengharapkan perlakuan kerja yang lebih
manusiawi, peluang aktualisasi diri yang lebih besar, suasana kerja yang lebih
menyenangkan, cara kerja yang lebih fleksibel, pemberian reward yang lebih adil dan
lebih motivatif, kesempatan karir yang lebih terbuka, dan sebagainya. Hambatan-
hambatan Perubahan Namun, perubahan organisasional bukanlah hal yang mudah
dilakukan. Ada banyak kendala yang bisa menghadang dan memacetkan program-program
perubahan. Sejumlah kendala yang ditengarai oleh George dan Jones (2002:645-646)
adalah: (1) kendala-kendala sistem keorganisasian dan kekuasaan, (2) perbedaan-
perbedaan dalam orientasi fungsional dan struktur organisasi yang mekanistik, (3)
kelembaman (inertia) kultur organisasi, (4) norma dan kohesivitas kelompok, (5) pemikiran
kelompok (group think) dan kendala-kendala individual, seperti ketidaksiapan yang
mengakibatkan rasa ketidakpastian, kekhawatiran, ketidakamanan, persepsi selektif, dan
retensi kebiasaan. Mekanisme yang telah tertanam untuk menghasilkan kemantapan dalam
beroperasinya suatu organisasi -- yang diberlakukan dalam sistem seleksi karyawan, sistem
pelatihan, sistem penilaian kinerja, sistem reward dan punishment, sistem informasi,
sistem keuangan, sistem pengambilan keputusan, dan lain-lain -- akan menghasilkan suatu
inertia ketika menghadapi perubahan. Pola hubungan-hubungan kekuasaan yang telah
mapan dan mendatangkan sejumlah privileges bagi para pelakunya juga dapat
menghambat upaya perubahan yang mengarah pada redistribusi wewenang pengambilan
keputusan. Para manajer dan supervisor yang menikmati kewenangan yang luas mungkin
merasa terancam dengan akan diberlakukannya sistem pengambilan keputusan partisipatif
atau diterapkannya tim kerja swakelola. Orientasi fungsional yang berbeda pada tiap-tiap
departemen atau bagian organisasi juga dapat mempersulit terbangunnya kesamaan visi
perubahan. Sebagai contoh, departemen keuangan yang lebih berorientasi pada efisiensi
biaya mungkin akan menolak ide perubahan teknologi yang diusulkan departemen produksi
yang ingin mengejar kuantitas dan kualitas poduksi yang lebih tinggi yang akan berakibat
pada meroketnya anggaran. Contoh lain, usulan perubahan desain produk oleh departemen
pemasaran berdasarkan hasil riset pasar, bisa jadi kurang direspons positif oleh
departemen produksi jika dirasa hanya akan menimbulkan kerepotan dalam proses
produksi. Begitulah, masing-masing departemen atau divisi cenderung mengedepankan
kepentingan atau mission diri sendiri. Validitas gagasan perubahan akan dinilai pertama-
tama dari sudut pandang kepentingan masing-masing. Biasanya, egoisme departemental
atau divisional tersebut tumbuh subur dalam struktur organisasi yang mekanistik. Budaya
organisasi, sebagaimana disebutkan hampir 60 tahun yang lalu oleh Selznick (1948),
merupakan variabel independen yang sangat memengaruhi perilaku karyawan. Nilai-nilai
yang sudah terlembagakan melalui praktik perilaku organisasional dalam kurun waktu yang
cukup lama akan menjadi panduan otomatis perilaku para karyawan. Organisasi yang
memiliki budaya yang kuat, yakni yang ditandai dengan dipegang dan dianutnya nilai-nilai
inti organisasi secara intensif dan secara luas oleh anggota organisasi tersebut (Wiener,
1988), akan menyulitkan suatu perubahan organisasional yang menuntut berubahnya nilai-
nilai inti tersebut. Dengan demikian, suatu organisasi yang sudah berpuluhtahun
mempraktikkan nilai-nilai budaya korup, etos kerja medioker atau bahkan minimalis, dan
business ethics yang rendah sudah barangtentu tidak mudah untuk berubah menjadi
organisasi yang berbudaya etis, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, beretoskerja tinggi,
dan berorientasi pada keunggulan. Kelompok-kelompok kerja, formal maupun non-formal
juga dapat menjadi penghalang upaya perubahan. Individu-individu yang ingin mengubah
perilaku kerjanya besar kemungkinan akan dihambat oleh norma kelompok yang tidak
sejalan. Tekanan kelompok dapat mengerem usaha-usaha individual maupun program
perubahan organisasional. Kelompok-kelompok dengan kohesivitas tinggi yang merasa
terancam akan kehilangan kenyamanannya atas penguasaan suatu sumber daya organisasi
mungkin akan melakukan perlawanan. Kebiasaan berpikir para pimpinan dan segenap
karyawan dalam menganalisis situasi dan merespons masalah dapat memerangkap mereka
dalam pola-pola pikir konvensional-organisasional (group think). Hal itu akan cenderung
menghalangi munculnya pemikiran segar yang diperlukan untuk perubahan. Dalam keadaan
demikian, penglihatan masalah dari sudut pandang yang berbeda dan pengajuan alternatif
solusi yang sama sekali lain, sulit muncul. Gagasan-gagasan baru, darimanapun datangnya,
cenderung dicurigai. Akhirnya, hambatan perubahan juga sering muncul dari keengganan
individual yang berasal dari faktor kebiasaan, ketidaksiapan, terusiknya rasa aman,
kekhawatiran akan berkurangnya penghasilan dan bertambahnya kerepotan, ketakutan
terhadap hal-hal yang belum dikenali, dan persepsi negatif yang berasal dari informasi
mengenai kegagalan-kegagalan upaya perubahan. Bidang Sasaran Perubahan Pada
dasarnya ada empat bidang organisasional yang bisa menjadi sasaran perubahan, yaitu
struktur organisasi, teknologi, setting fisik, dan sumber daya manusia (Robertson et. al.,
1993). Hal-hal yang bersifat struktural seperti pembagian kerja, sistem-sistem operasi,
rentang kendali, dan desain organisasi jika dirasa sudah tidak lagi sesuai dengan situasi
dan kondisi yang ada dapat diubah. Dapat dipertimbangkan perlunya dilakukan perubahan
uraian pekerjaan (job description), pengayaan pekerjaan (job enrichment), pelenturan
jam kerja, dan penerapan sistem imbalan yang lebih berbasis kinerja atau profit sharing.
Tanggungjawab departemental dapat digabung demi keefektifan dan efisiensi. Beberapa
lapisan vertikal dapat dihilangkan dan rentang kendali diperlebar demi mengurangi
birokratisasi dan menambah daya responsi organisasi terhadap dinamika lingkungan.
Aturan-aturan/prosedur yang dirasa menghambat kinerja bisa dipangkas, diganti dengan
aturan-aturan/prosedur yang diperlukan untuk meningkatkan standardisasi. Proses
pengambilan keputusan juga dapat dipercepat dengan meningkatkan desentralisasi.
Bahkan, jika desain organisasi dengan struktur sederhana (simple structure) dinilai tidak
lagi memadai, perlu dipertimbangkan memodifikasinya menjadi stuktur matriks, struktur
tim, atau bentuk lainnya. Mengubah teknologi seringkali diperlukan demi efektivitas kerja
karyawan dan peningkatan kinerja organisasi. Perubahan teknologis biasanya meliputi
mesin-mesin, peralatan kerja, metode kerja, dan yang paling mencolok dewasa ini adalah
otomatisasi atau komputerisasi. Otomatisasi menggantikan orang dengan mesin yang dapat
bekerja lebih cepat, lebih akurat dan lebih murah. Sistem informasi yang canggih
memudahkan pengelolaan dan pemanfaatan informasi secara menakjubkan. Mengenai
perubahan setting fisik, bukti empirik menunjukkan bahwa memang tidak sertamerta hal
itu berdampak besar pada kinerja individu maupun organisasi (Steele, 1986). Meskipun
demikian, setting fisik tertentu terbukti dapat membantu atau merintangi karyawan-
karyawan tertentu dalam berkinerja, sehingga dengan mengubahnya secara tepat kinerja
karyawan dan organisasi dapat ditingkatkan (Porras dan Robertson, 1992). Tata letak
ruang kerja dan peralatan serta desain interior yang dirancang dengan baik akan
membantu membangun suasana dan keefektifan kerja. Karyawan akan mudah saling
berkomunikasi dalam ruang kantor dengan desain terbuka, tanpa sekat-sekat dan dinding.
Kenyamanan untuk produktivitas kerja juga dipengaruhi oleh intensitas pencahayaan, suhu
ruangan, kebisingan, kebersihan, dekorasi maupun warna dinding. Akhirnya, bidang
sasaran perubahan yang paling crucial adalah sumber daya manusia (SDM), baik secara
individual, kelompok maupun keseluruhan anggota organisasi. Sebagai asset terpenting
dan faktor kunci keberhasilan suatu organisasi, SDM perlu mendapat perhatian dan
pengelolaan lebih khusus. Perubahan SDM bisa terjadi meliputi penggantian orang
(turnover), mutasi, promosi, demosi; perubahan sikap, motivasi, dan perilaku kerja;
peningkatan pengetahuan dan ketrampilan kerja; dan perubahan nilai-nilai budaya
organisasional yang menjadi dasar acuan perilaku segenap anggota organisasi.
Kepemimpinan yang Diperlukan untuk Perubahan Mengingat pentingnya upaya perubahan
organisasional di tengah lingkungan yang berubah cepat dan bahkan acapkali bersifat
diskontinyu, dan mengingat strategis dan krusialnya bidang-bidang sasaran perubahan
serta kompleksnya faktor-faktor yang dapat merintangi upaya perubahan, maka perubahan
organisasional seringkali tidak dapat dibiarkan terjadi secara “alamiah” saja. Perubahan
seringkali perlu dirancang, direkayasa dan dikelola oleh suatu kepemimpinan yang kuat,
visioner, cerdas, dan berorientasi pengembangan -- sebagai agen perubahan. Perubahan
memerlukan kepemimpinan yang kuat dari segi otoritas yang dimilki maupun dari segi
kepribadian dan komitmen karena memimpin perubahan dengan segala kompleksitas
permasalahan dan hambatannya memerlukan power, keyakinan, kepercayaan diri, dan
keterlibatan diri yang ekstra. Seperti yang disebutkan oleh Zaleznik (1986), seorang
pemimpin tidak boleh bersikap impersonal, apalagi pasif terhadap tujuan-tujuan
organisasi, melainkan harus mengambil sikap pribadi dan aktif. Dengan begitu ia tidak
akan mudah patah oleh hambatan dan perlawanan. Ia justru akan bergairah menghadapi
tantangan perubahan yang dipandangnya sebagai batu ujian kepemimpinannya (Maxwell,
1995). Pemimpin perubahan juga harus visioner karena ia harus sanggup melihat cukup
jauh ke depan ke arah mana kapal organisasi harus bergerak. Kotter (1990) menyebutkan
bahwa memimpin perubahan harus dimulai dengan menetapkan arah setelah
mengembangkan suatu visi tentang masa depan, dan kemudian menyatukan langkah orang-
orang dengan mengomunikasikan penglihatannya dan mengilhami mereka untuk mengatasi
rintangan-rintangan. Semua itu dilakukan tanpa harus bersikap otoriter. Namun, meskipun
ia mengundang partisipasi pemikiran dari anggota, tongkat kepemimpinan tetaplah berada
di tangannya. Kecerdasan juga sangat diperlukan untuk kepemimpinan perubahan. Tanpa
kecerdasan yang baik, ia akan mudah terombang-ambing dalam kebingungan. Kecerdasan
sangat diperlukan karena pemimpin harus pandai memilih strategi dan menetapkan
program-program perubahan dan mengilhami teknik-teknik pengatasan masalah yang
sesuai dengan situasi dan kondisi organisasional yang ada berserta dinamikanya.
Kecerdasan yang diperlukan dalam hal ini adalah kecerdasan yang multi-dimensional, yang
pada intinya meliputi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan
spiritual. Dengan kecerdasan intelektual berarti ia memiliki pengetahuan, wawasan, dan
kreativitas berpikir yang diperlukan. Dengan kecerdasan emosional berarti ia pandai
mengelola emosi diri maupun emosi orang lain, sehingga proses perubahan dapat berjalan
efektif (Cooper dan Sawaf, 1997). Dan dengan kecerdasan spiritual berarti ia memiliki
kesadaran etis yang tinggi sehingga tujuan perubahan tidak semata demi peningkatan
efektivitas organisasi namun juga demi tertunaikannya tanggungjawab moral dan etik
(moral & ethical responsibility) kepada semua stakes-holders (Hendricks dan Ludeman,
2003). Sebagai syarat keempat, yang lebih spesifik untuk kepemimpinan di tengah dunia
yang berubah, adalah perilaku kepemimpinan yang berorientasi pengembangan, yaitu
kepemimpinan yang menghargai eksperimentasi, mengusahakan munculnya gagasan-
gagasan baru, dan menimbulkan serta melaksanakan perubahan (Ekvall dan Avronen,
1991). Pemimpin demikian akan mendorong ditemukannya cara-cara baru untuk
menyelesaikan urusan, melahirkan pendekatan baru terhadap masalah, dan mendorong
anggota untuk memulai kegiatan baru. Begitulah, di tengah gencarnya perubahan
lingkungan, tanpa upaya perubahan organisasional yang tepat di bawah kepemimpinan
yang kuat, visioner, cerdas, dan berorientasi pengembangan, suatu organisasi akan
berjalan terseok, bahkan mungkin akan mati didera kuatnya arus perubahan. ***** DAFTAR
PUSTAKA Cooper, Robert K. dan Sawaf, Ayman, Excecutive EQ: Emotional Intelligence in
Leadership & Organization, New York: Grosset/Puttnam, 1997. Ekvall, G. dan Arvonen, J.
“Change-Centered Leadership: An Extension of the Two-Dimensional Model,” Scandinavian
Journal of Management, Vol. 7, No. 1 (1991). George, Jenifer M., Gareth R Jones,
Organizational Behavior, 3rd edition, Prentice Hall International Incorporation, New
Jersey, 2002. Hendricks, Gay dan Ludeman, Kate, The Corporate Mystic (terjemahan),
Bandung: Kaifa, 2003 Kotter, J. P., A Force for Change: How Leadership Differs from
Management, New York: Free Press, 1990. Maxwell, John C., Mengembangkan
Kepemimpinan di Dalam Diri Anda (terjemahan), Jakarta: Binarupa Aksara, 1995. Porras,
J. I. dan Robertson, P. J., “Organizational Development: Theory, Practice, and Research,”
dalam M.D. Dunnette dan L.M. Hough (ed.), Handbook of Industrial & Organizational
Psychology, ed. ke-2, Vol. 3 (Palo Alto: Consulting Psychologist Press, 1992). Robertson, P.
J., Roberts, D. R., dan Porras, J. I., “Dynamics of Planned Organizational Change:
Assessing Empirical Support for a Theoretical Model,” Academy of Management Journal
(Juni 1993). Selznick, P., “Foundation of the Theory of Organizations”, American
Sociological Review (Februari 1948). Steele, F., Making and Managing High-Quality
Workplaces: An Organizational Ecology, New York: Teachers College Press, 1986. Wiener,
Y., “Forms of Values Systems: A Focus on Organizational Effectiveness and Cultural Change
and Maintenance”, Academy of Management Review (Oktober 1988). Zaleznik, A.,
“Excerpts from Managers and Leaders: Are They Different?”, Harvard Business Review
(Mei-Juni 1986).

Dalam merencanakan masa depan sebuah organisasi, seluruh bagian yang terlibat harus
diikutsertakan, sehingga akan tercipta strategic awareness, termasuk di dalamnya
mengikutsertakan seluruh jajaran ujung tombak (front liners), sehingga kemudian kita kenai
istilah CEO at all level.

Hal ini semata-semata dikarenakan terlalu banyak variasi permasalahan, dan terlalu banyak
keputusan yang belum ada dalam SOP (Standard Operation Procedures) namun harus tetap
diputuskan, hingga kadang front liners juga harus dapat mengambil keputusan, dalam
menyikapi perubahan yang dapat terjadi sewaktu-waktu.

Salah satu budaya yang tampaknya bisa mengikuti perubahan adalah seperti yang
dikembangkan di PT Telkom, yaitu Customers First!, karena walaupun telah bergonta-ganti
pimpinan, budaya ini tetap dianut. Namun perlu diberlakukan pembatasan, artinya hingga
sejauh mana para front liners dapat membuat keputusan, dan jika terdapat kesalahan
pengambilan keputusan, anggaplah itu sebagai ‘uang sekolah’ yang harus dibayar, agar
sebuah organisasi menjadi lebih baik.
Di masa mendatang diharapkan seluruh bagian dalam sebuah organisasi, mengetahui dengan
baik kemana organisasi mereka akan bergerak, pemimpin yang efektif bertugas memimpin
namun lebih penting lagi, mendampingi proses perubahan tersebut. Sehingga di waktu
mendatang, jika terjadi pergantian pemimpin, itu tidak berarti harus terjadi perubahan secara
frontal.

Setiap perubahan seharusnya didasarkan atas keinginan organisasi untuk melayani kebutuhan
lingkungan dimana organisasi itu berada, bukan didasarkan atas keinginan pemimpin, selama
organisasi mampu mengikuti dan memenuhi perubahan itu, maka organisasi bisa berjalan
dengan baik.

Seorang pemimpin yang baru memulai kepemimpinannya, kadang dihadapkan pada budaya
yang harus diperbaharui dan budaya yang memang dapat dipertahankan. Namun perlu juga
diperhatikan, bahwa kadang ada budaya yang karena merasa telah mumpuni, sehingga
terkesan mentabukan perubahan, padahal budaya yang dianggap bagus itu, belum tentu dapat
menjawab tuntutan pasar atau tuntutan lingkungan yang telah berubah.

Solusinya budaya lama yang ‘merasa’ bagus, itu harus diunlearn. Masalah yang kemudian
muncul ke permukaan adalah bagaimana menyadarkan, agar mereka mau menerima
perubahan. Banyak contoh yang memperlihatkan kepada kita, bagaimana sebuah
‘kepongahan’ ini menyebabkan terjadinya kegagalan.

Tengoklah pengalaman Ford dengan produksi mobil Model T, dimana semua mobil diberi
warna hitam, akibatnya masyarakat jenuh, demikian juga dengan IBM yang begitu percaya
dengan mainframe-nya, hingga kehadiran Apple dengan Personal Computer meyadarkan
IBM, jika mereka telah kalah langkah oleh Apple yang tidak sebanding dengan besarnya
nama IBM.

Kadang pemimpin dan para manajer terjebak pada proses diskusi yang panjang,
membicarakan alternatif solusi detail sebagai antisipasi terhadap perubahan lingkungan, dan
ketika tercapai kesepakatan, solusi yang dicoba untuk diimplementasikan, terjadi perubahan
baru telah terjadi lagi.

Demi melihat kenyataan ini tampaknya yang perlu untuk diperhatikan oleh segenap jajaran
pengambil keputusan, mereka hanya perlu memperhatikan dan memfokuskan diri pada visi
atau arah besar dari organisasi, sedangkan cara untuk mencapainya dapat dibuat fleksibel.

Tipologi pemimpin di era yang rentan terhadap perubahan ini dicirikan oleh beberapa hal:
pertama, pemimpin itu harus memiliki wawasan yang baik sehingga ia dapat mengetahui
kebutuhan di masa mendatang, siapa yang lebih cepat mengetahui arah perubahan ini, ia akan
menjadi pemenang.

Termasuk dalam hal ini pemimpin tersebut juga harus mampu meyakinkan para jajaran
dibawahnya bahwa satu-satunya cara untuk bertahan di era yang sangat sarat dengan
perubahan itu, adalah dengan melakukan perubahan itu sendiri.

Kedua, pemimpin harus bersikap partisipatif, karena rancangan visi harus diyakini oleh
seluruh organisasi bukan hanya diyakini oleh pemimpin saja, sehingga visi tersebut menjadi
milik semua pihak yang ada pada organisasi, dengan kata lain harus terbina apa yang dikenal
sebagai sense of ownership terhadap visi tersebut,
Ketiga, pemimpin tersebut harus dapat mensinergikan semua aktifitas yang terjadi dalam
organisasi, sehingga organisasi dapat bergerak dengan arah yang pasti dan memfokuskan
pada satu tujuan.

Keempat, pemimpin tersebut juga dituntut hal ini diupayakan pemimpin tersebut juga dituntut
untuk dapat melakukan management of diversity, pemimpin yang baik harus dapat me-
manage kebhinnekaan.

Hal ini menjadi menarik untuk dipahami, mengingat ke depannya ada semangat untuk
melakukan desentralisasi, yang berujung pada empowerment. Kaitannya dengan hal ini gaya
kepemimpinan gaya militer dengan sistem satu komando tidak dapat diberlakukan lagi.

Setelah ia dapat menyesuaikan dengan perubahan, maka pemimpin tersebut harus dapat
menyusun strategi baru untuk menghadapi perubahan selanjutnya, demikian seterusnya,
karena perubahan tidak akan pernah berhenti, melelahkan namun harus tetap dilakukan, jika
tak ingin organisasinya hanya menjadi sebuah catatan sejarah sebagai sebuah organisasi yang
gaga!

*Tulisan dimuat di majalah Manajemen no. 157, September 2001. H. 56.

Sukono Soebekti, Direktur Utama Lembaga Manajemen PPM (1998-2003)

Pemimpin harus memiliki kredibilitas dan reputasi yang


hebat, agar ia mampu memberikan inspirasi dan motivasi
kepada setiap orang. Momotivasi dan menginspirasi setiap
orang dalam setiap detik di kehidupan mereka, untuk
bersemangat dan bangkit bersama dengan perubahan baru.
Dan membuat setiap orang menyadari bahwa perubahan itu
penting, untuk mengubah hal-hal yang tertinggal zaman
dengan hal-hal baru yang sesuai peradaban

Pemimpin harus memiliki keterampilan untuk dapat mengenali perubahan-perubahan


penting, serta mampu mengambil tempat di dalam hati setiap orang, agar semua orang dalam
organisasi bisa saling menyatu dan saling berempati, untuk membawa perubahan itu ke arah
yang lebih memberi manfaat positif buat organisasi dan buat setiap manusianya.
Pemimpin harus bisa membangkitkan semangat dan gairah perubahan dari setiap orang di
dalam organisasi untuk menyesuaikan diri dengan lebih cepat, serta berjuang keras dan
bekerja keras untuk mendapatkan hasil perubahan yang lebih baik dari rencana yang ada.
Pemimpin harus menyadarkan setiap orang, agar selalu menggunakan cara-cara
profesionalisme dalam merespon setiap perubahan.
Untuk itu, pemimpin harus duduk bersama semua kekuatan sumber daya manusianya, untuk
berbicara tentang perubahan-perubahan itu dengan cara-cara penuh inspirasi dan profesional.

Pemimpin harus cerdas menggunakan tema perubahan dalam organisasinya, sebagai sarana
untuk meningkatkan keuntungan kompetitif bisnis usahanya.
Pemimpin harus bisa menggambarkan perubahan itu secara nyata dipikiran setiap orang, dan
memberikan cermin perubahan untuk dapat dilihat setiap orang tentang wujud asli dari
perubahan tersebut.

Pemimpin harus memberi inspirasi kepada setiap orang, untuk menghadapi perubahan dalam
pekerjaan, untuk menghadapi perubahan dalam keluarga, untuk menghadapi perubahan
dalam hidup. Dan dalam semua aspek yang bertujuan untuk meningkatkan gairah dan
kepercayaan diri organisasi, untuk memenangkan persaingan dalam kompetisi bisnis yang
ketat.

Pemimpin harus mengajak dan menggandeng setiap hati dan setiap pikiran, untuk berpikir
dan bertindak dalam semangat meningkatkan semua potensi organisasi, agar mampu
menangani semua potensi hebat secara lebih baik, dengan cara mengubah hal-hal yang
menghambat gerak sukses organisasi

Pemimpin harus cerdas membimbing setiap orang untuk berhenti berwacana secara
berkepanjangan. Dan, mengajak setiap orang untuk melakukan tindakan-tindakan yang
membantu organisasi. Tindakan yang terfokus pada upaya meningkatkan kinerja, dalam
kemampuan manajemen menghadapi perubahan yang tak pasti.

Pemimpin harus selalu menggunakan pola atau model berpikir yang sederhana dan jelas, agar
setiap orang di dalam organisasi tidak terjebak dalam cara berpikir yang merumitkan,
sehingga makna perubahan itu tidak menjadi kabur.

Pola berpikir yang lebih sederhana akan mendekatkan semua solusi terbaik melalui logika
dan akal sehat, yang dapat diukur kebenarannya. Oleh karena itu, berpikir sederhana akan
menuntun pemimpin dan pengikutnya dalam jalur yang tidak rumit untuk menemukan segala
macam solusi terbaik, dimana semua solusi itu masih bisa diukur kebenarannya dengan
pikiran jernih yang berlogika cerdas; semua solusi terbaik pada dasarnya telah ada, hanya saja
diperlukan keandalan kepemimpinan yang solid dan kuat, untuk menjadi lebih sederhana,
jernih, dan sabar dalam menyusuri jalur sederhana menuju puncak penghasil solusi andal buat
sebuah perubahan yang hebat dan bermanfaat.
Pemimpin yang solid dan kuat pasti mampu menjadi bintang yang hebat, dalam setiap gerak
dan langkah ke perubahan yang lebih baik. Jadilah sang pemimpin pembawa perubahan, yang
membahagiakan hati setiap orang dalam dekapan rasa damai dan rasa nyaman. (ndy)

Anda mungkin juga menyukai