Anda di halaman 1dari 10

SATUAN ACARA PENYULUHAN

Pokok Bahasan : Mencegah kekambuhan pada pasien gangguan jiwa


Sub Pokok Bahasan : Mencegah kekambuhan pada pasien gangguan jiwa di rumah.
Sasaran : Keluarga pasien RSJ Provinsi Jawa Barat
Hari / tanggal : Jumat ,27 Januari 2017
Jam : 07.30 – 08.00 WIB
Tempat : Ruang Rawat Jalan RSJ Provinsi Jawa Barat

A. Latar Belakang

Di Indonesia, Departemen Kesehatan RI (2003) mencatat bahwa 70% gangguan jiwa


terbesar adalah Skizofrenia. Menurut Arif (2006) mengungkapkan bahwa 99% pasien
yang dirawat di rumah sakit jiwa adalah pasien dengan diagnosis medis skizofrenia.
Masalah kesehatan jiwa atau gangguan jiwa juga masih menjadi masalah kesehatan di
Indonesia. Data Profil Kesehatan Indonesia (2008) menunjukkan bahwa dari 1000
penduduk terdapat 185 penduduk mengalami gangguan jiwa. Hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) Tahun 2007, diketahui bahwa prevalensi gangguan jiwa per 1000
anggota rumah tangga terdapat 140/1000 penduduk usia 15 tahun ke atas, dan diperkirakan
sejak awal tahun 2009 jumlah penduduk yang mengalami gangguan jiwa sebesar 25% dari
populasi penduduk di Indonesia.Secara global angka kekambuhan pada pasien gangguan
jiwa ini mencapai 50% hingga 92% yang disebabkan karena ketidakpatuhan dalam berobat
maupun karena kurangnya dukungan dan kondisi kehidupan yang rentan dengan
meningkatan stress.(Sheewangisaw, 2012)

B. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Setelah mengikuti penyuluhan kesehatan, keluarga yang berkunjung ke RSJ


Provinsi Jawa Barat mampu memahami pencegahan kekambuhan penderita
gangguan jiwa.
2. Tujuan Khusus
Setelah mengikuti penyuluhan kesehatan selama 1x30 menit diharapkan
keluarga yang berkunjung di RSJ Provinsi Jawa Barat mampu :
- Menyebutkan pengertian kekambuhan
- Menyebutkan pencetus terjadinya kekambuhan
- Menyebutkan dampak kekambuhan
- Menyebutkan tanda dan gejala kekambuhan
- Menyebutkan cara mencegah kekambuhan

C. GARIS BESAR MATERI


a. Pengertian kekambuhan
b. Menyebutkan pencetus terjadinya kekambuhan
c. Menyebutkan Dampak kekambuhan
c. Tanda dan gejala kekambuhan
d. menyebutkan cara mencegah kekambuhan

D. PELAKSANAAN KEGIATAN
NO. KEGIATAN PENYULUH PESERTA WAKTU
1. Pembukaan dan -Menyampaikan -Menjawab salam 07.30-07.35 WIB
salam salam -Mendengar
-menjelaskan -Memberi respon
tujuan penyuluhan
2. Penyampaian -menyampaikan - mendengarkan 07.35-07.50 WIB
materi materi : dan
1. pengertian - memperhatikan
kekambuhan
2. menyebutkan
pencetus
kekambuhan
3. Menyebutkan
dampak
kekambuan
4. menyebutkan
tanda dan gejala
kekambuhan
5. menyebutkan
cara mencegah
kekambuhan
-Tanya jawab
- Menyimpulkan
hasil materi yang
di diskusikan
Penutup dan -Menyampaikan -Menjawab 07.50-08.00 WIB
salam salam - Mendengarkan
- Menjawab
salam

E. METODE
1. Prolog
2. Ceramah
3. Tanya jawab
F. MEDIA
1. Power Point
2. Leafleat
G. SETTING TEMPAT
- Peserta duduk di kursi tunggu
- Penyaji di depannya
H. PENGORGANISASIAN
1. Moderator :
2. Penyaji :
3. Fasilitator :
4. Observer :
5. Pembimbing :
I. EVALUASI
1. Pre
- Keluarga pasien antusias dengan diadakannya penyuluhan kesehatan tentang
mencegah kekambuhan penderita gangguan jiwa..
- Keluarga pasien kooperatif dalam acara penyuluhan
2. Post
- Keluarga pasien mampu memahami tentang :
. Menyebutkan apa kekambuhan
. Menyebutkan faktor pencetus kekambuhan
. Menyebutkan tanda dan gejala kekambuhan
. Bagaimana cara mencegah kekambuhan
PENCEGAHAN KEKAMBUHAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN JIWA

1. PENGETIAN KEKAMBUHAN

Kekambuhan adalah suatu keadaan dimana timbulnya kembali suatu penyakit yang
sudah sembuh dan disebabkan oleh berbagai macam faktor penyebab. Pencegahan
kekambuhan adalah mencegah terjadinya peristiwa timbulnya kembali gejala-gejala yang
sebelumnya sudah memperoleh kemajuan. Pada gangguan jiwa kronis diperkirakan
mengalami kekambuhan 50% pada tahun pertama, dan 79% pada tahun ke dua.
Kekambuhan biasa terjadi karena adanya kejadian-kejadian buruk sebelum mereka
kambuh.
Masalah kesehatan jiwa atau gangguan jiwa juga masih menjadi masalah kesehatan
di Indonesia. Data Profil Kesehatan Indonesia (2008) menunjukkan bahwa dari 1000
penduduk terdapat 185 penduduk mengalami gangguan jiwa. Hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) Tahun 2007, diketahui bahwa prevalensi gangguan jiwa per
1000 anggota rumah tangga terdapat 140/1000 penduduk usia 15 tahun ke atas, dan
diperkirakan sejak awal tahun 2009 jumlah penduduk yang mengalami gangguan jiwa
sebesar 25% dari populasi penduduk di Indonesia.
Secara global angkan kekambuhan pada pasien gangguan jiwa ini mencapai 50%
hingga 92% yang disebabkan karena ketidakpatuhan dalam berobat maupun karena
kurangnya dukungan dan kondisi kehidupan yang rentan dengan meningkatan
stress.(Sheewangisaw, 2012)

2. PENYEBAB KEKAMBUHAN
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kekambuhan pada penderita
gangguan jiwa menurut Keliat, 1996 adalah :
1. Faktor penderita.
Penderita yang tidak teratur dalam meminum obat dapat menyebabkan kekambuhan
gangguan jiwa. Menurut penelitian, 25%-50% penderita yang pulang dari rumah sakit
jiwa tidak meminum obat secara teratur.
2. Faktor dokter.
Pemakaian obat secara teratur dapat mengurungi kekambuhan, tetapi pemakain obat
neuroleptik dalam jangka lama dapat menyebabkan efek samping berupa Tardive
Diskinesia (gerakan tidak terkontrol)yang dapat mengganggu hubungan social.
3. Factor penanggung jawab klien ( case manajer)
Setelah klien pulang kerumah setelah dirawat di Rumah sakit, maka perawat
Puskesmas bertanggung jawab terhadap adaptasi klien dirumah
4. Faktor keluarga.
Menurut penelitian (di Inggris dan Amerika), keluarga dengan ekspresi emosi yang
tinggi seperti bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan dan menyalahkan,
menyebabkan 57% penderita kembali kambuh dalam waktu 9 bulan. Sebaliknya
keluarga dengan ekspresi emosi yang rendah, hanya 17% penderita yang kambuh. Selain
itu faktor yang berpengaruh juga adalah perubahan stres, baik yang menyenangkan
maupun yang menyedihkan.
5. Faktor masyarakat.
Faktor masyarakat lebih banyak berkaitan dengan stigma negatif yang tertuju
kepada penderita gangguan kejiwaan. Penderita dijuluki orang gila atau stres, dianggap
membahayakan, menakutkan, dan menjadi bahan olok-olokan. Semua stigma itu, justru
mempersempit kehidupan sosial mereka yang semestinya dibantu dan diperbaiki.
Mereka menjadi sulit mendapat pekerjaan, merasa malu bergaul, takut salah, dan merasa
tidak berguna.

3. TANDA-TANDA KEKAMBUHAN
Tahap I :
Menderita memperlihatkan ketegangan yang berlebihan (overextension), sering
mengeluh cemas terus – menerus, tak dapat konsentrasi, lupa kat – kata dalam
pertengahan kalimat, adanya hambatan mental dalam aktivitas dan penampilan diri
yang menurun.
Tahap II :
Memperlihatkan keterbatasan tingkat kesadaran (retriction conciusness), depresi,
mudah bosan, apatis, obsesional dan fobia, mengeluh sakit di seluruh tubuh
(somatisasi), menarik diri dari aktivitas sehari – hari dan membatasi stimulus
eksternal.
Tahap III :
Kadang – kadang menunjukan penampilan psikotik, hipomania, gangguan persepsi,
gangguan isi pikir dan gagal memakai mekanisme pembelaan yang matang
Tahap IV :
Memperlihatkan gejala psikotik yang jelas, adanya halusinasi dan waham secara
terus menerus
Tahap V :
Penderita tidak lagi mengenal keluarga dan menganggap keluarga sebagai penipu.
Dapat pula penderita mengamuk.
Tahap VI :
Penderita nampak seperti robot dn bingung serta gelisah.
Jika muncul tanda – tanda di atas segera :
bantu klien untuk mengungkapkan apa yang dirasakan
segera kontrol ke RS, sehingga segera mendapat pertolongan.

4. DAMPAK KEKAMBUHAN

Dampak gangguan jiwa bagi keluarga sangat besar, apalagi ada beberapa anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Dampak dari anggota yang menderita
gangguan jiwa bagi keluarga diantaranya keluarga belum terbiasa dengan adanya
gangguan jiwa. Dampak-dampak gangguan jiwa bagi keluarga, seperti:
1. Penolakan
Sering terjadi dan timbul ketika ada keluarga yang menderita gangguan jiwa,
pihak anggota keluarga lain menolak penderita tersebut dan menyakini memiliki
penyakit berkelanjutan. Selama episode akut anggota keluarga akan khawatir dengan
apa yang terjadi pada mereka cintai. Pada proses awal, keluarga akan melindungi
orang yang sakit dari orang lain dan menyalahkan dan merendahkan orang yang sakit
untuk perilaku tidak dapat diterima dan kurangnya prestasi. Sikap ini mengarah pada
ketegangan dalam keluarga, dan isolasi dan kehilangan hubungan yang bermakna
dengan keluarga yang tidak mendukung orang yang sakit.
Tanpa informasi untuk membantu keluarga belajar untuk mengatasi penyakit
mental, keluarga dapat menjadi sangat pesimis tentang masa depan. Sangat penting
bahwa keluarga menemukan sumber informasi yang membantu mereka untuk
memahami bagaimana penyakit itu mempengaruhi orang tersebut. Mereka perlu tahu
bahwa dengan pengobatan, psikoterapi atau kombinasi keduanya, mayoritas orang
kembali ke gaya kehidupan normal.
2. Stigma
Informasi dan pengetahuan tentang gangguan jiwa tidak semua dalam anggota
keluarga mengetahuinya. Keluarga menganggap penderita tidak dapat berkomunikasi
layaknya orang normal lainnya. Menyebabkan beberapa keluarga merasa tidak
nyaman untuk mengundang penderita dalam kegiatan tertentu. Hasil stigma dalam
begitu banyak di kehidupan sehari-hari, Tidak mengherankan, semua ini dapat
mengakibatkan penarikan dari aktif berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari.
3. Frustrasi, Tidak berdaya dan Kecemasan
Sulit bagi siapa saja untuk menangani dengan pemikiran aneh dan tingkah laku
aneh dan tak terduga. Hal ini membingungkan, menakutkan dan melelahkan. Bahkan
ketika orang itu stabil pada obat, apatis dan kurangnya motivasi bisa membuat
frustasi. Anggota keluarga memahami kesulitan yang penderita miliki. Keluarga
dapat menjadi marah marah, cemas, dan frustasi karena berjuang untuk mendapatkan
kembali ke rutinitas yang sebelumnya penderita lakukan.
4. Kelelahan dan Burnout
Seringkali keluarga menjadi putus asa berhadapan dengan orang yang dicintai
yang memiliki penyakit mental. Mereka mungkin mulai merasa tidak mampu
mengatasi dengan hidup dengan orang yang sakit yang harus terus-menerus dirawat.
Namun seringkali, mereka merasa terjebak dan lelah oleh tekanan dari perjuangan
sehari-hari, terutama jika hanya ada satu anggota keluarga mungkin merasa benar-
benar di luar kendali. Hal ini bisa terjadi karena orang yang sakit ini tidak memiliki
batas yang ditetapkan di tingkah lakunya. Keluarga dalam hal ini perlu dijelaskan
kembali bahwa dalam merawat penderita tidak boleh merasa letih, karena dukungan
keluarga tidak boleh berhenti untuk selalu men-support penderita.
5. Duka
Kesedihan bagi keluarga di mana orang yang dicintai memiliki penyakit mental.
Penyakit ini mengganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi dan berpartisipasi
dalam kegiatan normal dari kehidupan sehari-hari, dan penurunan yang dapat terus-
menerus. Keluarga dapat menerima kenyataan penyakit yang dapat diobati, tetapi
tidak dapat disembuhkan. Keluarga berduka ketika orang yang dicintai sulit untuk
disembuhkan dan melihat penderita memiliki potensi berkurang secara substansial
bukan sebagai yang memiliki potensi berubah.

6. Kebutuhan Pribadi dan Mengembangkan Sumber Daya Pribadi

Jika anggota keluarga memburuk akibat stres dan terlalu banyak pekerjaan,
dapat menghasilkan anggota keluarga yang sakit tidak memiliki sistem pendukung
yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, keluarga harus diingatkan bahwa mereka
harus menjaga diri secara fisik, mental dan spiritual yang sehat. Memang ini bisa
sangat sulit ketika menghadapi anggota keluarga yang sakit mereka. Namun, dapat
menjadi bantuan yang luar biasa bagi keluarga untuk menyadari bahwa kebutuhan
mereka tidak boleh diabaikan.

5. PENCEGAHAN KEKAMBUHAN

1. Aktivitas teratur/terjadual
- Perhatikan kegiatan sehari-hari pasien
- Jadualkan kegiatan sehari-hari pasien (menyapu, mengepel, mencuci pakaian
sendiri, dll).
-.Beri pujian jika pasien berhasil
2. Minum obat teratur dan sesuai aturan
- Perhatikan dosis, cara, dan waktu minum obat
- Dorong pasien untuk meminum obat secara mandiri
- Beri pujian jika pasien bisa minum obat secara mandiri
3. Kontrol teratur
- Lakukan kontrol secara teratur ke RS sebelum obat habis
- Dukungan keluarga
- Dukung pasien dalam segala aktivitas yang positif
- Tetap memberi semangat kepada pasien
- Dukung pasien untuk kontrol teratur
DAFTAR PUSTAKA

Nadeed, M., Akter, K. A., Tabassum, F., Malwa, R., & Rahman, M. (2012). Factors
contributing the outcome of Schizophrenia in developing and developed countries: A
brief review. International Current Pharmateutical Journal, 1(2), 81-85.

Sheewangisaw, Z. (2012). Prevalence and Associated Factors of Relapse in Patent with


Schizophernia At Amanuel Mental Specialized Hospital. Congress on Public Health,
1(1), 1-10.

Cynthia M. Taylor, Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan, EGC, Jakarta,


2010

Intansari Nurjanah, Pedoman Gangguan Jiwa, Mocomedia, Yogyakarta, 2004

Nanda International, Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011, EGC,


Jakarta, 2010

Anda mungkin juga menyukai