Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERAN

BLOK COMMUNITY HEALTH AND ENVIRONMENTAL MEDICINE II


“Pemerikasaan MetHb, HbCO, dan AchE”

Oleh :
Kelompok A2
Nama Anggota :

Adhen Bella Andriani G1A013009


Patminingsih G1A013010
M.Ricky Fachrurrazy G1A013011
Mala Sabinta Riani G1A013012
Anisa Nur Fitria G1A013013
Arifah Mabruroh Prilia G1A013015
Nur Amalia Fauziah G1A013016
Sri Nurhayati G1A013017

Asisten :
Muhammad Danantyo Himawan
G1A011102

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO

2014
LEMBAR PENGESAHAN
“Pemerikasaan MetHb, HbCO, dan AchE”

Oleh :
Kelompok A2
Adhen Bella Andriani G1A013009
Patminingsih G1A013010
M.Ricky Fachrurrazy G1A013011
Mala Sabinta Riani G1A013012
Anisa Nur Fitria G1A013013
Arifah Mabruroh Prilia G1A013015
Nur Amalia Fauziah G1A013016
Sri Nurhayati G1A013017

disusun untuk memenuhi persyaratan


mengikuti ujian praktikum Biokimia Blok CHEM II
Jurusan Kedokteran
Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto.

diterima dan disahkan,


Purwokerto, Juni 2014
Asisten,

Muhammad Danantyo Himawan


G1A011102
BAB I
PENDAHULUAN

A. Judul Praktikum
Pemeriksaan methemoglobin, karboksihemoglobin, dan kadar enzim
asetilkolinesterase

B. Hari dan Tanggal Praktikum


Jumat, 06Juni 2014

C. Tujuan Praktikum
1. Pemerikasaan Methemoglobin (MetHb) :
a. Mahasiswa akan dapat mengukur kadar methemoglobin dalam darah
dengan menggunakan spektrofotometer.
b. Mahasiswa akan dapat menyimpulkan hasil pemeriksaan
methemoglobin pada saat praktikum setelah membandingkannya dengan
nilai normal.
2. Pemerikasaan Karboksihemoglobin (HbCO) :
a. Mahasiswa akan dapat mengukur kadar hemoglobin dengan metode
Hindsberg-Lang.
b. Mahasiswa akan dapat menyimpulkan hasil pemerikasaan
karboksihemoglobin dalam darah saat praktikum setelah
membandingkannya dengan nilai normal
c. Mahasiswa akan dapat melakukan pemeriksaan penunjang untuk
membantu menegakkan diagnose dengan bantuan hasil praktikum yang
dilakukan.
3. Pemerikasaan enzim asetilkolinesterase
a. Mahasiswa akan dapat mengukur kadar enzim asetilkolinesterase
dengan metode DGKC new.
b. Mahasiswa akan dapat menyimpulkan hasil pemerikasaan enzim
asetilkolinesterase pada saat praktikum setelah membandingkannya
dengan nilai normal.
c. Mahasiswa akan dapat melakukan diagnose dini penyakit apa saja yang
ditandai oleh hasil aktivasi enzim asetilkolinesterase abnormal /
patologis melalui bantuan hasil praktikum yang dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar teori MetHb dan HbCO


1. Latar Belakang Hb
Sel darah merah berkembang dari sel precursor besar sel darah merah
pada sumsum tulang yang disebut dengan erythroblasts (erythro =
merah + blast = sebuah sel yang primitif). Hemoglobin merupakan
protein pembawa oksigen yang terbentuk dari perkembangan sel darah
merah, yang terdiri dari empat pasang terpisah yang disebut dengan
subunit, yang mana mereka berikatan bersama membuat ikatan yang
lebih besar yang disebut dengan tetramer (tetra = empat). Masing-masing
unit terdiri dari dua bagian: heme dan globin.
Heme terdiri dari struktur cincin nitrogen kompleks (yang disebut
dengan cincin porphyrin) yang berisi sebuah atom Fe. Globin, yang
membentuk bagian terbesar dari masing-masing subunit hemoglobin,
memiliki bentuk yang pendek dan membentuk rantai polipeptida.
Beberapa tipe rantai hemoglobin berbeda dari komposisi asam aminonya
yang terbentuk pada beberapa waktu dan berbeda proporsi pada fetus dan
dewasa. Rantai-rantai ditandakan dengan Greek Letters: alpha (), betha
(), gamma (), delta (), dan epsilon (€).
Terdapat dua tipe pada hemoglobin yang dilihat dari keadaan sel darah
merah pada orang dewasa. Terdapat sekitar 98 persen merupakan jenis
hemoglobin A atau hemoglobin dewasa, dimana pada jenis tersebut
terdapat dua rantai berisi rantai A, dan dua komponen berisi rantai B.
Sisa 2 persen dari tipe hemoglobin tertentu disebut dengan hemoglobin
A2, sebuah tetramer terdiri dari dua rantai alpha dan dua rantai delta
(22) (Crowley, 2009).
Terdapat sekitar 300 molekul hemoglobin dalam satu sel darah merah.
Setiap molekul hemoglobin memiliki empat tempat pengikatan untuk
oksigen. Oksigen yang terikat dengan hemoglobin disebut
oksihemoglobin. Hemoglobin dalam sel darah merah dapat mengikat
oksigen sebagian atau seluruhnya di keempat tempatnya. Hemoglobin
yang jenuh mengikat oksigen secara penuh/total, sedangkan hemoglobin
yang jenuh parsial atau mengalami deoksigenasi mengalami saturasi
kurang dari 100% (Corwin, 2009).
2. Kepentingan medis dan biologis Hb
Secara biologis hemoglobin berperan sangat penting dalam
pengangkutan oksigen sekaligus ikut serta dalam pengangkutan
karbondioksida dan menentukan kapasitas penyangga dari darah
(Sherwood, 2012). Setiap sel darah merah mengandung sekitar 280 juta
hemohglobin. Karena hemoglobin mengandung 4 unit heme, setiap sel
darah merah bisa mengangkut lebih dari satu milyar molekul oksigen.
Secara kasar 98,5% oksigen diangkut oleh aliran darah ke ikatan
hemoglobin di dalam sel darah merah.
Anemia merupakan kondisi dimana hematokrit rendah atau sel darah
merah mengalami penurunan kandungan atau jumlah hemoglobin.
Kondisi ini dipengaruhi oleh pengangkutan oksigen ke jaringan di tepi.
Hemoglobin dapat digunakan untuk menentukan ada atau tidak adanya
koenzim. Methemoglobin di dalam eritrosit akan direduksi menjadi
hemoglobin dengan bantuajn enzim methemoglobin reduktase yang
mengandung glutation sebagai kofaktor reduksi. Pembentukan glutation
tergantung pada perubahan glukosa 6-fosfat dengan bantuan glukosa 6-
fosfat dehidroginase.
Penurunan kapasitas darah mengangkut O2 yang dapat diakibatkan oleh
penurunan jumlah sel darah merah dalam peredaran dara, kadar Hb yang
tidak mencukupi di dalam eritrosit, serta terjadinya keracunan CO dapat
menyebabkan hipoksia. Pada keseluruhan kasus hipoksia anemik, PO2
arteri normal tetapi kandungan O2 dalam arteri kurang dari normal
karena berkurangnya kadar Hb yang tersedia. Selain itu Hb dapat
dijadikan indikasi adanya radikal-radikal bebas di udara. Dengan adanya
radikal-radikal bebas ini menandakan bahwa adanya oksidasi dari
hemoglobin (Martini, 2012).
3. Sifat Hb
Dalam satu sel darah merah terdapat kira-kira 200 hemoglobin yang ada
didalamnya. Hemoglobin dalam sel darah merah tersebut dapat
mengikat oksigen sebagian atau seluruhnya dikeempat tempatnya yang
digunakan untuk membawa oksigen gtersebut dari paru-paru ke jaringan
lainnya. Hemoglobin yang jenuh dapat mengikat oksigen secara penuh
atau total, sedangkan hemoglobin yang jenuh parsial atau mengalami
deoksigenasi mengalami saturasi kurang dari 100%. Sebagian
hemoglobin bermutasi dalam tubuh manusia karena hemoglobin itu
sendiri membawa oksigen lebih sedikit dari hemoglobin normal.
Selain sebagai pengangkut oksigen utama yang terdapat dalam eritrosit,
hemoglobin juga merupakan pigmen merah dan menyerap cahaya
maksimum pada panjang gelombang 540 nm. Jika sel darah merah dalam
konsentrasi tertentu mengalami lisis, terjadi pembebasan hemoglobin
yang dapat diukur secara spektrofotomentris pada panjang gelombang
ini, yang konsentrasinya setara dengan densitas optis. Semua bentuk
hemoglobin, termasuk oksihemoglobin, deoksihemoglobin,
methemoglobin, dan karboksihemoglobin, diubah menjadi suatu bentuk
labil (Corwin, 2009).
4. Klasifikasi Hb
a. Kadar hemoglobin normal
Kadar hemoglobin ini dihitung berdasarkan usia dari seseorang,
terdapat beberapa klasifikasi, seperti (Charles, 2014) :
1) Bayi baru lahir: 17 – 22 gm/dL
2) Usia 1 minggu : 15 – 20 gm/dL
3) Usia 1 bulan : 11 – 15 gm/dL
4) Anak-anak : 11 – 13 gm/dL
5) Dewasa pria : 14 – 18 gm/dL
6) Dewasa wanita: 12,4 – 14,9 gm/dL
7) Lansia pria : 12,4 – 14,9 gm/dL
8) Lansia wanita : 11,7 – 13,8 gm/dL
b. Kadar hemoglobin rendah
Kadar hemoglobin yang rendah ini, biasanya disebut sebagai anemia.
Hal ini bias disebabkan karena (Charles, 2014) :
Kehilangan darah karena trauma, operasi, dll

1) Defisiensi nutrisi seperti besi, vitamin B12, dan folat


2) Kerusakan ginjal
3) Struktur hemoglobin yang abnormal
c. Kadar hemoglobin tinggi
Kadar hemoglobin yang tinggi ini biasanya disebabkan oleh (Charles,
2014) :
1) Penyakit paru-paru
2) Tumor
3) Kebiasaan hidup yang tidak baik seperti merokok
5. Struktur Hb
Hemoglobin adalah metaloprotein pengangkut oksigen yang
mengandung besi dalam sel merah dalam darah mamalia dan hewan
lainnya. Hemoglobin adalah suatu protein dalam sel darah merah yang
mengantarkan oksigen dari paru-paru ke jaringan di seluruh tubuh dan
mengambil karbondioksida dari jaringan tersebut dibawa ke paru untuk
dibuang ke udarabebas (Evelyn, 2009).
Hemoglobin dari berbagai macam spesies mempunyai sifat yang
berbeda. Hal tersebut dipengaruhi oleh variasi dari asam amino dan
konformasi dari globin. Haeme terdiri dari porphyins yang merupakan
turunan dari porphin. Molekul porphin mengandung empat cincin
pyrrole yang berikatan dengan methane (=CH-). Turunan porphyrin
adalah protoporphyrin IX.
Porphyrins dapat berikatan dengan berbagai macam ion logam,
umumnya berikatan dengan ion Fe2+dan Mg2+. Pada pusat molekul
terdiri dari cincin heterosiklik yang disebut juga dengan porfirin yang
menahan satu atom besi, atom besi ini merupakan situs/lokal ikatan
oksigen. Porfirin yang mengandung besi disebut heme.
Struktur
Hemoglobin

Hemoglobin yang berikatan denganoksigen, disebut oxyhemoglobin.


Sedangkan hemoglobin yang berikatan dengan karbonmonoksida,
disebut dengan carboxyhaemoglobin (Voet, 2008).
6. Fungsi Hb
Hemoglobin selain berfungsi untuk mengangkut oksigen, hemoglobin
juga berfungsi untuk sebagai antioksidan dan regulator metabolism besi
(Biagioli, 2009). Berikut ini adalah beberapa fungsi dari hemoglobin
(Depkes RI, 2008):
a. Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam
jaringan tubuh.
b. Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh
jaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar.
c. Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai hasil
metabolisme ke paru-paru untuk di buang. Penurunan kadar
hemoglobin dari normal berarti kekurangan darah yang disebut
anemia (Widayanti, 2008)
d. Memberikan warna merah pada darah
e. Mempertahankan bentuk sel darah merah yang berbentuk konkaf
f. Mempertahankan keseimbangan asam basa dari tubuh
7. Pemecahan dan pembentukan Hb
a. Pemecahan Hb
Hemoglobin difagositosis terutama di limpa, hati dan sumsum tulang.
Kemudian direduksi menjadi globin dan hem, globin masuk kembali
ke dalam sumber asam amino. Besi dibebaskan dari sebagian besar
diangkut oleh protein plasma transferin ke sumsum tulang untuk
pembentukan sel darah merah baru. Sisa besi disimpan dalam hati
dan jaringan tubuh lainnya dalam bentuk feritin dan hemosiderin
yang akan digunakan kembali. Sisa hem direduksi menjadi karbon
monoksida (CO) dan biliverdin. CO diangkut dalam bentuk
karboksihemoglobin dan dikeluarkan melalui paru-paru. Biliverdin
direduksi menjadi bilirubin bebas, yang secara perlahan-lahan
dikeluarkan ke dalam plasma, dimana bilirubin bergabung dengan
albumin plasma kemudian diangkut ke dalam sel-sel hati untuk
diekskresi ke dalam kanalikuli empedu.
b. Pembentukan Hb
Proses pembentukan (sintesis) hemoglobin telah dimulai dalam tahap
eritroblas dan terus berlangsung sampai tingkat
normoblas/retikulosit. Meskipun eritrosit yang muda telah
meninggalkan sumsum tulang dan masuk kedalam peredaran darah,
namun pembentukan hemoglobin tetap berlangsung dalam beberapa
hari berikutnya. Pembentukan hemoglobin berlangsung beberapa
tahap dan dapat diiikhtisarkan sebagai berikut :
1) 2 Suksinil-KoA + 2 Glisin membentuk senyawa Pirol
2) 4 Pirol akan membentuk senyawa Protoporfirin IX
3) Protoporfirin IX + Fe2+ membentuk senyawa Hem
4) 4 Hem + Polipeptida membentuk Rantai Hemoglobin (α atau β)
5) Rantai 2α + Rantai 2β membentuk hemoglobin A
Tiap rantai hemoglobin mempunyai berat molekul kira-kira 16000.
Rantai hemoglobin ini ada variasi yang sebenarnya ditentukan oleh
susunan asam amino dalam peptidanya. Berbagai jenis rantai tersebut
dapat digambarkan sebagai rantai alfa (α), rantai beta (β), rantai
gamma dan sebagainya. Pada umumnya rantai hemoglobin pada
orang dewasa adalah hemoglobin A, dimana merupakan gabungan
antara dua rantai alfa dengan dua rantai beta. Sifat yang penting dari
molekul hemoglobin adalah kemampian mengikat oksigen dengan
lemah dan secara reversibel. Setiap molekul hemoglobin
mengandung empat Hem, oleh karena itu satu molekul hemoglobin
mengandung empat atom besi dan dapat mengangkut empat molekul
oksigen.
B. Dasar teori AchE
1. Definisi AchE
Asetilkolin adalah transmitter molekul kecil yang khas yang mematuhi
prinsip-prinsip sintesis dan pelepasan. Kolinesterase adalah enzim
golongan hidrolase yang mengkatalisis pembelahan gugus asli dari
berbagai ester kolin, termasuk asetilkolin, dan beberapa senyawa terkait.
Enzim ini terutama dijumpa iterutama dalam serum, hepar, pankreas.
Penentuan aktivitas enzim ini digunakan untuk menguji fungsi hepar,
sensivitas suksinilkolin, dan menguji apakah terjadi keracunan insektisida
organofosfat. (Dorlan,1998). Mekanisme kerja otot pada dasarnya
melibatkan suatu perubahan dalam keadaan yang relative dari filamen-
filamen aktin dan myosin. Selama kontraksi otot, filamen-filamen tipis
aktin terikat pada dua garis yang bergerak ke Pita A, meskipun filament
tersebut tidak bertambah banyak. Namun, gerakan pergeseran itu
mengakibatkan perubahan dalam penampilan sarkomer, yaitu
penghapusan sebagian atau seluruhnya garis H. Selain itu filamen myosin
letaknya menjadi sangat dekat dengan garis-garis Z dan pita-pita A serta
lebar sarkomer menjadi berkurang sehingga kontraksi terjadi. Kontraksi
berlangsung pada interaksi antara aktin myosin untuk membentuk
komplek aktin-miosin.
2. Transmisi kolinergik
Enzim-enzim yang berperan dalam sintesis dan degradasi ACh.
a. Choline Acetyltransferase (kolinasetiltransferase)
Enzim ini menkatalis asetilasikolin dengan asetilkoenzim A.
Merupakan protein konstituen dari saraf, disintesis diantara perikarion
kemudian ditransport sepanjang akson sampai ujungnya. Transport
kolin dari plasma ke saraf-saraf dipengaruhi oleh perbedaan tinggi
dan rendahnya afinitas sistem transport Sistem afinitas tinggi bersifat
unik terhadap saraf kolinergik dan tergantung pada Na+ ekstraseluler,
dan bisa dihambat oleh hemikolinium.
b. Acetylcholinesterase (Asetilkolin esterase)
Enzim ini terdapat pada saraf kolinergik (dendrites, prikarya dan
akson)
Ach sebagai neurotransmitter dalam sistem motorik dan sistem saraf
tertentu harus dihilangkan dan diaktivasi dalam waktu tertentu. Hidrolisis
Ach menjadi kolin dan asetat memerlukan waktu kurang dari satu
milisecon daripada neuro muscular junction.
Obat-obat golongan inhibitor kolinesterase seperti neostigmin,
fisostigmin, takrin donepezil, rivastigmin dan galantamin banyak
digunakan untuk meningkatkan kadar Ach di tempat aksinya pada
penyakit-penyakit yang disebabkan oleh kurangnya Ach seperti glukoma,
myasthenia gravis dan gangguan pada otot polos.

3. Jalur biosintesis asetilcolin


Struktur asetilkolin yang relatif sederhana, terdapat di sebahagian besar
vesikel-vesikel kecil dan bening dalam konsentrasi tinggi di tonjolan-
tonjolan akhir neuron yang melepaskan asetilkolin (neuron kolinergik).
Asetilkolin disintesis oleh adanya kondensasi kolin dan asetil CoA yang
dikatalisir oleh enzim kolin asetil transferase.
Kolin juga dibentuk dalam neuron, asetat diaktifkan melalui
penggabungan gugus asetat dengan koenzim A reduksi. Reaksi antara
asetat aktif (asetil koenzim A) dengan kolin, dikatalisis oleh enzim kolin
asetiltransferase. Kolin secara aktif diambil ke dalam neuron kolinergik
dengan menggunakan suatu transporter.
Enzim kolin asetiltransferase dengan kosentrasi tinggi terdapat di
sitoplasama ujung-ujung saraf kolinergik, lokasinya demikian spesifik
sehingga adanya enzim ini dengan konsentrasi tinggi di suatu daerah
persarafan, menunjukkan bahwa sinaps-sinaps di daerah itu adalah
kolinergik (Ganong, 1995). Selain di syaraf asetilkolinesterase (AChE)
juga dapat dijumpai di darah.
Kolin diperoleh dari diet, beberapa diperoleh dari reabsorbsi synaptic
junction atau dari sumber metabolik lainnya. Sumber terbesar asetil CoA
adalah dekarboksilasi piruvat oleh kelompok piruvat dehidrogenase
(Devlin, 2000). Asetil CoA disintesis di mitokondria dan kolin
asetiltransferase terdapat di sitosol. Sintesa asetilkolin berlangsung pada
neuron presinaptik. Asetilkolin dilepaskan dan berinteraksi dengan
reseptor nikotinik yang terletak pada membran post sinaptik.
4. Proses pengantaran impuls
Impuls dapat dihantarkan melalui beberapa cara, di antaranya melalui sel
saraf dan sinapsis. Berikut ini akan dibahas secara rinci kedua cara
tersebut.
a. Penghantaran Impuls Melalui Sel Saraf
Penghantaran impuls baik yang berupa rangsangan ataupun tanggapan
melalui serabut saraf (akson) dapat terjadi karena adanya perbedaan
potensial listrik antara bagian luar dan bagian dalam sel. Pada waktu
sel saraf beristirahat, kutub positif terdapat di bagian luar dan kutub
negatif terdapat di bagian dalam sel saraf. Diperkirakan bahwa
rangsangan (stimulus) pada indra menyebabkan terjadinya
pembalikan perbedaan potensial listrik sesaat. Perubahan potensial
ini (depolarisasi)terjadi berurutan sepanjang serabut saraf. Kecepatan
perjalanan gelombang perbedaan potensial bervariasi antara 1 sampai
dengart 120 m per detik, tergantung pada diameter akson dan ada atau
tidaknyaselubung mielin.
Bila impuls telah lewat maka untuk sementara serabut saraf tidak
dapat dilalui oleh impuls, karena terjadi perubahan potensial kembali
seperti semula (potensial istirahat). Untuk dapat berfungsi kembali
diperlukan waktu 1/500 sampai 1/1000 detik.
Energi yang digunakan berasal dari hasil pemapasan sel yang
dilakukan oleh mitokondria dalam sel saraf.
Stimulasi yang kurang kuat atau di bawah ambang (threshold) tidak
akan menghasilkan impuls yang dapat merubah potensial listrik.
Tetapi bila kekuatannya di atas ambang maka impuls akan
dihantarkan sampai ke ujung akson. Stimulasi yang kuat dapat
menimbulkan jumlah impuls yang lebih besar pada periode waktu
tertentu daripada impuls yang lemah.
b. Penghantaran Impuls Melalui Sinapsis
Titik temu antara terminal akson salah satu neuron dengan neuron lain
dinamakan sinapsis. Setiap terminal akson membengkak membentuk
tonjolan sinapsis. Di dalam sitoplasma tonjolan sinapsis terdapat
struktur kumpulan membran kecil berisi neurotransmitter; yang
disebutvesikula sinapsis. Neuron yang berakhir pada tonjolan sinapsis
disebut neuron pra-sinapsis. Membran ujung dendrit dari sel
berikutnya yang membentuk sinapsis disebut post-sinapsis. Bila
impuls sampai pada ujung neuron, maka vesikula bergerak dan
melebur dengan membran pra-sinapsis. Kemudian vesikula akan
melepaskan neurotransmitterberupa asetilkolin. Neurontransmitter
adalah suatu zat kimia yang dapat menyeberangkan impuls dari
neuron pra-sinapsis ke post-sinapsis. Neurontransmitter ada
bermacam-macam misalnya asetilkolin yang terdapat di seluruh
tubuh, noradrenalin terdapat di sistem saraf simpatik, dan dopamin
serta serotonin yang terdapat di otak. Asetilkolin kemudian berdifusi
melewati celah sinapsis dan menempel pada reseptor yang terdapat
pada membran post-sinapsis. Penempelan asetilkolin pada reseptor
menimbulkan impuls pada sel saraf berikutnya. Bila asetilkolin sudah
melaksanakan tugasnya maka akan diuraikan oleh enzim
asetilkolinesterase yang dihasilkan oleh membran post-sinapsis.
Penghantaran impuls dari saraf motor ke otot terjadi melalui sinapsis
berbentuk cawan dengan membran pra-sinapsis dan membran post-
sinapsis yang terbentuk dari sarkolema yang mengelilingi sel otot.
Prinsip kerjanya sama dengan sinapsis saraf-saraf lainnya.

Gambar. Lokasi, anatomi, dan cara kerja sinapsis


BAB III
METODE PENELITIAN

A. MetHb
1. Alat
a. Spuit 3 cc
b. Tourniquet
c. Plakon
d. Tabung reaksi
e. Rak tabung reaksi
f. Mikropipet (10 µl – 100 µl)
g. Yellow tip
h. Kuvet
i. Spektrofotometer
j. Vacuum met
k. Pipet tetes
2. Bahan
a. Sampel darah
b. EDTA
c. Aquadest
d. Natrium Nitrit
3. Cara Kerja
a. Pengambilan Darah
1) Sebelum dilakukan pengambilan sampel darah, persiapkan spuit dan
kapas yang telah dibasahi dengan alkohol terlebih dahulu.
2) Tourniquet dipasang pada lengan probandus dengan kencang, dengan
jarak 3-5 cm dari fosa cubiti.
3) Vena mediana cubiti dicari pada lengan probandus kemudian
dilakukan pengambilan darah dengan menggunakan spuit.
b. Pembuatan Whole Blood
Sample darah yang telah diambil kemudian dimasukan kedalam
vacumed, dimana di dalam vacum med tersebut sudah dimasukan
terlebih dahulu EDTA sebanyak 1 spatula.
c. Penetapan oksihemoglobin
1) Disiapkan beaker glass 50 ml dan diisi aquadest sebanyak 20 cc.
2) Darah EDTA ditambahkan sebanyak 10 µl.
3) Darah EDTA dengan aquadest yang terdapat pada beaker glass
dituangkan ke dalam kuvet sebanyak 5 cc dan dibaca absorbansinya
pada fotometer dengan panjang gelombang 546 nm.
d. Penetapan deoksihemoglobin
1) Darah EDTA yang telah dicampur dengan 20 ml aquadest yang
terdapat pada beaker glass dituangkan sebanyak 5 cc ke dalam tabung
reaksi.
2) Natrium Nitrit diteteskan (5 tetes) ke dalam tabung tersebut sampai
larutan berwarna kecoklatan.
e. Baca nilai absorbansinya pada spektrofotometer dengan panjang
gelombang 546 nm.
B. HbCO
1. Alat
a. Spuit 3 cc
b. Torniquet
c. Plakon
d. Vacuum met ungu (berisi EDTA)
e. Tabung reaksi
f. Rak tabung reaksi
g. Spatula
h. Mikropipet (10 µl – 100µl)
i. Yellow tip
j. Pipet ukur 5 ml
k. Kuvet
l. Spektrofotometer

2. Bahan

a. Sampel darah
b. EDTA
c. Ammonia 0,1%
d. Sodium dithionite

3. Cara Kerja

a. Persiapan satu buah beaker glass dan dua buah tabung reaksi masing-
masing diberi label tabung I dan tabung II.
b. Persiapan sampel whole blood:
1) Diambil darah probandus sebanyak 1 cc dengan menggunakan spuit.
2) Darah kemudian dimasukkan ke dalam vacumed ungu yang sudah
berisi EDTA.
c. Diambil ammonia 0,1 % sebanyak 20 ml dan dimasukkan ke dalam
beaker glass.
d. Diambil sampel whole blood sebanyak 10μl dengan menggunakan
mikropipet dan yellow tip.
e. Sampel whole blood dimasukkan ke dalam beaker glass yang berisi
ammonia tadi, dicampur sampai homogen.
f. Campuran kemudian dipisah ke dalam 2 tabung, masing-masing
sebanyak 5 ml.
1) Tabung I : ditambah sodium dithionit sebanyak 1 spatula.
2) Tabung II : tidak ditambah sodium dithionit.
g. Diinkubasi selama 5 menit.
h. Diukur absorbansinya pada spektrofotometer dengan panjang gelombang
546 nm dan nilai factor 6,08.

Nilai Normal Pada Spektrofotometer

CO Endogen : 0,7%
HbCO : < 1%
Batas toleransi HbCO : 2% - < 5%
5% : mulai timbul gejala/tidak normal/keracunan
C. AchE
1. Alat
a. Spuit 3 cc
b. Torniquet
c. Plakon
d. Vacuum met ungu (berisi EDTA)
e. Tabung reaksi
f. Eppendorf
g. Sentrifugator
h. Mikropipet (10 µl – 100µl)
i. Yellow tip
j. Pipet ukur 5 ml
k. Kuvet
l. Spektrofotometer

2. Bahan
a. Sampel darah
b. EDTA
c. Reagen 1
d. Reagen 2 (standard AchE)

3. Cara Kerja

a. Persiapan Plasma Darah

1) Diambil darah probandus sebanyak 3 cc dengan menggunakan spuit

2) Darah dimasukkan ke dalam vacumed, inkubasi atau didiamkan


selama 10 menit

3) Dilakukan sentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 4000 rpm

4) Diambil plasmanya sebanyak 10 µl

b. Persiapan Working Reagen

1) Mencampur reagen 1 dan reagen 2 dengan perbandingna 4 : 1 atau


1000 µl : 250 µl
2) Diambil 1 ml (1000 µl) untuk bahan test

c. Mencampur plasma darah sebanyak 10 µl dan working reagen sebanyak


1000 µl pada tabung reaksi

d. Menginkubasi selama 5 menit

e. Baca hasilnya pada spektrofotometer

Secara skematis, cara kerja pengamatan AchE adalah sebagai berikut :

Persiapan Sampel Plasma

Sampel Darah 3cc

Inkubasi 10 menit

Sentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm

Selama 10 menit

Ambil Plasma Darah 10 µl

Persiapan Working Reagen

Reagen 1 + Reagen 2

Ambil 1 ml (1000 µl)

+ 10 µl plasma darah

Inkubasi 5 menit

Baca hasil pada spektrofotometer


Nilai Normal Pada Spektrofotometer
Laki-laki : 5.100 – 11.700 U/l
Perempuan : 4.000 – 12.600 U/l
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. MetHb
1. Hasil
a. Identitas Probandus
Nama : Anisa Nur Fitria
NIM : G1A013013
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
b. Hasil Pengamatan
Pada percobaan yang kami lakukan, darah probandus mengandung
metHb dengan kadar 2,857%. Kadar tersebut bisa diperoleh dengan
rumus:
Kadar metHb = (absorbansi oksi ÷ absorbansi deoksi) x 2
= (0,040 ÷ 0,028) x 2
= 2,9  dibuat dalam % dengan dikalikan 100% jadi
2,9%

2. Pembahasan
Praktikum pemeriksaan MetHb (Methemoglobin) dalam darah (whole
blood), diawali dengan pengambilan darah probandus dengan menggunakan
spuit sebanyak 3 cc. Setelah diambil, darah dimasukan ke dalam tabung
EDTA untuk dilakukan sentrifugasi yang akan digunakan untuk praktikum
selanjutnya.EDTA berfungsi sebagai antikoagulan darah.
Ambil gelas ukurberisi dengan aquadest (dengan fungsinya sebagai
pelarut) 20 ml kemudian masukan whole blood sebanyak 10 µl dengan
menggunakan mikro pipet, lalu homogenkan. Setelah itu masukan sebanyak
5 cc ke dalam tabung reaksi tanpa dimasukkan apapun lagi untuk dilakukan
pengukuran absorbansi oksihemoglobin di spektrofometer dengan panjang
gelombang 546 nm dengan nilai faktor 100.
Pengukuran deoksihemoglobin sedikit berbeda yaitu, setelah
dilakukan pencampuran aquadest dengan whole blood dan dituangkan ke
dalam tabung dua sebanyak 5cc, ditambahkan Na nitrit sampai berwarna
jernih. Dalam hal ini, Na nitrit berperan sebagai katalisator untuk
mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+sehingga terbentuk methemoglobin.
Kemudian, dilakukan pengukuran absorbansi deoksihemoglobin dengan
menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 546 nm dengan
nilai faktor 100.
Hasil yang didapat dari pengukuran absorbansi adalah untuk
oksihemoglobin dan deoksihemoglobin dalam hal ini sama yaitu sebanyak
0,040 dan 0,028, sehingga kadar metHb yang didapat pun hasilnya adalah 29
%. Kadar metHb yang 2,9 % seperti ini adalah normal karena posisinya
masih berada di bawah nilai normalnya yaitu 4 %. Jika jumlahnya lebih dari
4 % maka akan dinyatakan bahwa kadar methemoglobin di dalam darah
probandus tidak normal dan berbahaya bagi tubuh.
Kadar MetHb dalam darah bisa meningkat dan menurun.
Pembentukan spontan methemoglobin normalnya ditahan oleh sistem enzim
proteksi : NADH cytochrome-b5 reductase (jalur besar) dan NADPH
methemoglobinreductase (jalur kecil). Sistem enzim proteksi normalnya ada
dalam sel darah merah untuk menjaga kadar methemoglobin setidaknya
kurang dari satu persen jumlah total hemoglobin di dalam tubuh yang sehat.
Interaksi dengan zat eksogen yang dapat mengoksidasi dan metabolitnya bisa
mempercepat tingkat pembentukan methemoglobin sampai seribu kali lipat,
melampaui kecepatan sistem enzim proteksi dan dengan cepat meningkatkan
kadar methemoglobin. (Azhar, 2009)
Hemoglobin merupakan molekul yang bentuknya bulat yang terdiri
dari 4 subunit. Setiap unit mengandung satu bagian heme yang berkonjugasi
dengan suatu polipeptida (Ganong, 2009).
Globin dapat terpisah dari molekul hemoglobin dan hemenya
dikonversi menjadi biliverdin jika sel darah merah tua mengalami pemecahan
oleh sistem makrofag jaringan. Pada manusia kebanyakan biliverdin
dikonversi menjadi bilirubin dan diekskresikan dalam empedu.
Methemoglobin dalam darah normal jumlahnya sangat sedikit,
mengingat sel darah merah memiliki sebuah sistem yang efektif (NADH-
sitokrom b5 methemoglobin reduktase) untuk mereduksi Fe3+ (ferri) kembali
kepada keadaan Fe2+ (ferro). Sistem ini terdiri atas NADH (yang dihasilkan
oleh glikolisis), sitokrom b5 reduktase (yang juga dikenal sebagai
methemoglobin reduktase), dan sitokrom b5. Fe3+ pada methemoglobin akan
direduksi kembali menjadi Fe2+ oleh kerja sitokrom b5 yang tereduksi:
Hb-Fe3+ + Cyt b5 red Hb - Fe 2+ + Cyt b5oks
Setelah itu, sitokrom b5 tereduksi dihasilkan kembali melalui kerja
enzim sitokrom b5 reduktase:

Cyt b5oks + NADH Cytb5red + NAD.

Jika darah terpajan oleh obat dan agen – agen pongoksidasi lain, maka
ferro (Fe2+) dalam molekul tersebut dikonversi menjadi besi ferri (Fe3+),
membentuk methemoglobin. Methemoglobin berwarna tua dan jika
jumlahnya besar dalam sirkulasi menyebabkan warna kehitaman pada kulit
yang menyerupai sianosis. Oksidasi hemoglobin terjadi secara normal, tetapi
suatu enzim didalam sel darah merah memiliki sistem methemoglobin
reduktase, mengkonversi methemoglobin kembali menjadi hemoglobin.
Pada percobaan yang kami lakukan, darah probandus mengandung metHb
dengan kadar 2,9%. Kadar tersebut bisa diperoleh dengan rumus:
Kadar metHb = (absorbansi oksi ÷ absorbansi deoksi) x 2
= (0,040 ÷ 0,028) x 2
= 2,9  dibuat dalam % dengan dikalikan 100% jadi 2,9%
Hasil tersebut menunjukkan bahwa kadar metHb dalam darah
probandus normal yaitu kurang dari 4%.
Beberapa kemungkinan yang dapat menyebabkan hasil kurang 4% yaitu:
a. Kesalahan praktikan dalam melakukan praktikum.
b. Probandus mempunyai enzim sitokrom b5 methemoglobin reduktase yang
baik
c. Probandus tidak terpajan oleh obat maupun agen-agen pengoksidasi.

3. Aplikasi Klinis
a. Methemoglobinemia
Methemoglobinemia merupakan suatu keadaan dimana kadar
methemoglobin melebihi batas normal atau suatu keadaan klinis dengan
terdapatnya hemoglobin dalam sirkulasi yang mengandung besi dalam
keadaan teroksidasi (Fe3+) dan bukan Fe2+ seperti biasa. Keadaan ini
timbul akibat defisien sinikotinamida adenine dinukleotida tereduksi
(NADH) yang bersifat herediter, diaforse atau diwariskannya
hemoglobin yang secara terstruktur abnorman (HbM). Hemoglobin ini
mengandung substitusi asam amino yang mempengaruhi kantung heme
rantai globin. Methemoglobin toksik terjadi apabila suatu obat atau zat
toksik lain mengoksidasi hemoglobin. Pada semua keadaan ini pasien
mungkin saja memperlihatkan sianosis (Hoffbrand, 2005).
b. Sianosis
Istilah sianosis berarti kebiruan pada kulit yang disebabkan oleh
jumlah hemoglobin deoksigenasi berlebihan dalam pembuluh darah kulit
terutama kapiler dan sianosis juga merupakan salah satu tanda klinis
insufisiensi pernafasan. Bukan persentase hemoglobin yang tidak
mengandung oksigen yang menyebabkan warna kebiruan pada kulit
tetapi pada dasarnya adalah konsentrasi hemoglobin yang tidak
mengandung oksigen tanpa memandang jumlah hemoglobin yang
mengandung oksigen. Alasan untuk hal ini adalah bahwa warna merah
dari darah yang mengandung oksigen bersifat lemah bila dibandingkan
dengan warna biru gelap dari darah yang tidak mengandung oksigen.
Oleh karena itu, bila keduanya dicampur bersama-sama , darah yang
mengandung oksigen pengaruh warnanya relative lebih sedikit
dibandingkan dengan darah yang tidak mengandung oksigen. (Guyton,
2007).
c. Blue baby syndrome
Sindrom bayi biru, atau methemoglobinemia, adalah penyakit
yang muncul ketika darah bayi tidak dapat membawa oksigen yang
cukup untuk sel-sel tubuh dan jaringan. Hal ini disebabkan oleh kenaikan
tingkat methemoglobin dalam darah. Methemoglobin adalah enzim non-
pembawa oksigen yang terus-menerus diproduksi dalam tubuh. Hal ini
diubah menjadi hemoglobin, enzim pembawa oksigen dalam darah, oleh
enzim sel darah merah yang disebut reduktase methemoglobin. Karena
bayi di bawah usia enam yang bulan telah reduktase methemoglobin
kecil di sistem mereka, kelebihan methemoglobin, atau
methemoglobinemia, bisa berakibat fatal jika tidak diobati.
Nitrat dalam air minum yang berlebihan dapat
merugikan kesehatan anak-anak ,kadang-kadang menyebabkan sindrom
bayi biru. Ketika dicerna, ini nitrat diubah menjadi nitrit dalam
sistem pencernaan, ini nitrit bereaksi dengan hemoglobin dalam darah,
membentuk jumlah tinggi methemoglobin. Karena methemoglobin tidak
dapat membawa oksigen, jika cukup terlalu banyak enzim dalam
darah, jaringan dan organ bayi mungkin kekurangan oksigen. Hal ini
akan menyebabkan dia untuk mengembangkan pewarnaan kebiruan
dan mungkin mengakibatkan jangka panjang pencernaan dan masalah
pernapasan.
B. HbCO
1. Hasil
a. Identitas Probandus
Nama : Anisa Nur Fitria
NIM : G1A013013
Umur : 19 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
b. Hasil Pengamatan
Hasil pembacaan dengan spektrofotometer
a. Tabung I : 0,016 %
b. Tabung II : 0,036 %
2. Pembahasan
a. Tabung I (sampel)
Hasil pengamatan pada tabung pertama menunjukkan nilai HbCO
pada praktikum kali ini berada pada batas normal yakni 0,016% , dimana
hasil ini kurang dari 1%. Hal ini menunjukkan bahwa adanya paparan CO
dalam darah probandus sangat kecil sehingga hasilnya masih dalam batas
normal. Hasil 0,016% diperoleh setelah whole blood yang telah dicampur
dengan ammonium 0,1% ditambahkan dengan sodium dithionit. Dimana
fungsi dari sodium dithionit tersebut adalah untuk merusak ikatan HbO
sehingga Hb terikat dengan CO.

Keracunan karbonmonoksida dapat menyebabkan turunnya


kapasitas transportasi oksigen dalam darah oleh hemoglobin dan
penggunaan oksigen ditingkat seluler. Karbonmonoksida mempengaruhi
berbagai organ di dalam tubuh, organ yang paling terganggu adalah yang
mengkonsumsi oksigen dalam jumlah besar, seperti otak dan jantung.
Pengaruh karbon monoksida terhadap kesehatan sangat berbahaya
jika melebihi kadar normalnya karena dapat menembus jaringan dan
diserap ke dalam aliran darah, serta dapat berikatan dengan hemoglobin
yang ada pada sel darah merah dengan afinitas ikatannya adalah 200 kali
lebih kuat dari oksigen sehingga dengan demikian darah yang mengalir
diseluruh tubuh mengandung CO dan dapat mempengaruhi otak dan
oksigen jaringan jantung (Petreous, 2010).
b. Tabung II (blangko)
Hasil pengamatan pada tabung dua yang tidak ditambahkan
sodium dithionit, whole blood yang diambil dari probandus
menunnjukkan hasil 0,036% yang menunjukkkan bahwa kadar CO
endogennya normal yaitu dibawah 0,7%. Hal ini menunjukkan bahwa
probandus tidak mengalami kelainan. Contoh Efek Penggunaan dan
Mekanisme Reagen dalam Praktikum
1) EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid)

Asam etilen diamin tetra asetat memiliki kemampuan sebagai


agen kelator, dimana ia dapat mengikat ion logam (misalnya, ion Fe)
sehingga menurunkan reaktivitasnya. EDTA biasanya digunakan
sebagai antikoagulan, sehingga dengan penambahan EDTA pada
sampel whole blood pada praktikum kali ini dapat mencegah
koagulasi darah yang dimungkinkan dapat mengganggu pengamatan
dalam praktikum (Hart, 2010).
2) Ammonia
Pada praktikum ini , fungsi utama dari ammonia adalah agar
nilai absorbansi dapat terbaca pada spektrofotometer. Ammonia
(NH3) yang terlarut dalam darah pada umumnya dapat meningkatkan
pH darah sehingga mengganggu proses oksigenasi hemoglobin.
Namun dalam berbagai hal lainnya, ammonia dapat berperan sebagai
larutan penyangga yang membantu keseimbangan asam-basa tubuh
ketika pH menurun (Fenn et al., 2010).
3) Sodium Dithionit
Penggunaan sodium dithionit (Na2S2O4) dapat merusak ikatan
oksihemoglobin yang terlarut dalam darah, sehingga Hb akan
mengikat CO hanya didapatkan ikatan HbCO saja. Seperti halnya
agen kelator lainnya, sodium dithionit dapat meningkatkan kelarutan
ion logam bivalen dan trivalen (misalnya, ion Fe2+dan Fe3+) sehingga
dapat mengurangi ikatan hemoglobin dengan oksigen di dalam
praktikum. Adanya sodium dithionit dapat mencerminkan karbon
monoksida di dalam darah, dimana mereka memiliki efek yang sama
yaitu menurunkan jumlah oksihemoglobin (Housecroft, 2010).
3. Aplikasi Klinis

a. Keracunan Karbon Monoksida


Gejala toksisitas atau keracunan ringan meliputi sakit kepala dan
mual-mual pada konsentrasi kurang dari 100 ppm. Konsentrasi serendah
667 ppm dapat menyebabkan 50% hemoglobin tubuh berubah menjadi
karboksihemoglobin (HbCO). Karboksihemoglobin cukup stabil, namun
perubahan ini bias reversibel atau dapat kembali ke keadaan awal.
Karboksihemoglobin tidaklah efektif dalam menghantarkan oksigen di
dalam sistem sirkulasi atau transportasi darah. Karena itu beberapa bagian
tubuh tidak mendapatkan oksigen yang cukup. Sebagai akibatnya,
paparan pada tingkat ini dapat membahayakan jiwa.

Keracunan CO terbagi menjadi 2, yaitu keracunan CO akut dan


keracunan CO kronik. Pada keracunan CO akut, Gejalanya dapat terjadi
perlahan-lahan, dan kerap terjadi secara mendadak cepat. Ini bergantung
dari konsetrasi paparan dan lama paparan. Indikasinya bibir dan
kukukuku jari jemari akan berubah menjadi agak merah. Ini suatu tanda
adanya paparan yang melampaui batas yang bisa diterima. Juga bisa
terlihat seseorang yang terpapar mengalami gejala sakit kepala,
pernapasan jadi pendek dan dangkal, pusing, mendesah, indiges, dan
mual. Pada konsetrasi yang tinggi bisa saja terjadi pingsan atau tidak
sadarkan diri dan mungkin berakibat kematian. Gejalanya juga bisa
berupa penglihatan terganggu dan kehilangan ingatan. Pada keracunan
CO kronik, beberapa organ dalam tubuh seperti ginjal, jantung, dan
pembuluh darah serta darahnya akan mengalami gangguan (Majid, 2011)

b. Hipoksia anemis
Hipoksia terjadi karena penurunan kapasitas darah mengangkut
O2. Hal ini dikarenakan penurunan jumlah sel darah merah dalam
peredaran darah, kadar Hb yang tidak mencukupi di dalam eritrosit, serta
terjadinya keracunan CO. Pada keseluruhan kasus hipoksia anemik, PO2
arteri normal tetapi kandungan O2 dalam arteri kurang dari normal karena
berkurangnya kadar Hb yang tersedia (Behrman,2010).
Suplay darah yang seharusnya disalurkan ke organ-organ tubuh
bagian perifer terakumulasi pada organ vital untuk memenuhi keperluan
dari organ tersebut. Hipoksia dapat terjadi menyeluruh dari tingkat seluler
dan jaringan sehingga berefek pada kulit, otot dan jaringan lunak. Oleh
karena itu, pengobatan intoksikasi CO lebih ditekankan pada upaya untuk
mengembalikan suplai O2 ke seluruh sel jaringan tubuh sehingga dapat
menjadi normal dan mencukupi seperti sediakala.
Tindakan yang dapat dilakukan, antara lain memindahkan
penderita ke dalam ruangan yang cukup oksigen, memberi pernafasan
buatan jika terjadi penghentian nafas, dan sebagainya. Pada intoksikasi
CO yang berat, yaitu intoksikasi yang disertai dengan hilangnya
kesadaran, pengobatan terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan
pemberian oksigen yang bertekanan dua atmosfer. Penggunaan oksigen
bertekanan tinggi tersebut dapat dengan cepat mengganti posisi CO
dalam molekul Hb. Selain itu oksigen akan terlarut dalam plasma dalam
jumlah yang banyak (mencukupi) dan dapat dengan segera memberikan
efeknya pada sel-sel jaringan. Oksigen ini akan menyebabkan
keseimbangan reaksi bergeser ke kiri:
HbO2 + CO ↔ HbCO + O2
Dengan demikian, ikatan HbCO akan terputus sehingga CO akan
terlepas dan larut kedalam plasma dan selanjutnya dikeluarkan melalui
pernafasan. Dengan memperpendek keadaan hipoksia, kita akan dapat
membatasi kemungkinan terjadinya kerusakan jaringan. Akan tetapi,
harus diingat pula bahwa penambahan tekanan oksigen lebih dari dua
atmosfir justru dapat menimbulkan risiko terjadinya intoksikasi oksigen
(Sherwood,2011).
c. Gangguan Kardiovaskuler
Efek toksik gas CO secara langsung ke jantung bila terjadi
paparan gas CO dengan kadar 100-180 ppm selama empat jam. Efek
terhadap kardiovaskular dapat berupa iskemia miokard, edema pulmonal,
aritmia dan sindrom miokardial. Efek kardiovaskuler ini dapat
disebabkan karena menurunnya cardiac output yang disebabkan oleh
hipoksia jaringan, ikatan CO dengan myoglobin dan menyebabkan
kurangnya pelepasan oksigen ke sel.
Edema pulmonum dapat terjadi pada sekitar 10-30% kasus
keracunan akut gas CO. Penyebab yang edema pulmonum yang paling
mungkin adalah hipoksia jaringan, efek toksik gas CO terhadap membran
alveoli, kerusakan miokandium yang dapat menyebabkan kegagalan
ventrikel kiri, aspirasi cairan lambung setelah kehilangan kesadaran dan
edema pulmonum neurogenik.
Penanganan yang bisa dilakukan adalah melakukan pencegahan
keracunan CO, jangan sampai kita menghirup atau terpapar CO dalam
jumlah besar. Konsentrasi CO dalam darah sebesar > 30% akan
menimbulkan gejala-gejala yang cukup berat, seperti nadi dan
pernapasan meningkat, kesadaran menurun bahkan bisa mengalami
kematian akibat gagal napas (Hadiyani, 2010).
C. AchE
1. Hasil
a. Identitas Probandus
Nama : Anisa Nur Fitria
NIM : G1A013013
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
b. Hasil Pengamatan
1) Hasil kadar AChEyang didapatkan adalah 2489,3 U/I
2) Interpretasi hasil yaitu kadar AchE dalam keadaan keracunan ringan
2. Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan interpretasi hasil bahwa
kadar AchE probandus 2498,3 U/I, berada dibawah batas normal yaitu
dimana batas normal 4.000 – 12.600 U/l.
Ach atau asetilkolin salah satu tugasnya adalah pada kontraksi otot.
Sedangkan AchE adalah asetilkolinesterase yaitu enzim yang akan
menghidrolisis Ach (asetilkolin) menjadi kolin dan asam asetat untuk
digunakan dalam kontraksi otot.

Jika AchE dalam tubuh cukup, maka Ach akan dengan normal
terhidrolisis dan akan membuat kontraksi pada otot normal. Namun jika
jumlah AchE dalam tubuh rendah, maka Ach tidak akan terhidrolisis dengan
baik dan akibatnya kontraksi otot menjadi tidak terkendali (kejang-kejang).

Kadar normal AchE dalam tubuh pada perempuan adalah 4.000 -


12.600 U/l sedangkan pada laki-laki adalah 5.100 – 11.700 U/l. Jika kadar
AchE berdasarkan pembacaan pada spektrofotometer kurang dari nilai
normal tersebut maka bukan berarti orang tersebut mengalami sakit atau
keracunan organofosfat.

Seseorang dikatakan keracunan organofosfat saat kadar AchEnya di


bawah 75% dari nilai normal terkecil. Misalnya nilai normal terkecil pada
perempuan adalah 4.000 U/l maka 75%nya adalah 3.000 U/l, jadi seorang
wanita mengalami keracunan organofosfat saat kadar AchEnya di bawah
3.000 U/l. Sedangkan pada laki-laki dengan nilai normal terkecil 5.100
U/lmaka keracunan organofosfat saat kadarnya di bawah 3.825 U/l.

Dari uraian ini, maka pada darah probandus yang mengandung U/l
dikatakan dibawah batas normal karena rentang nilai normal perempuan
4.000 – 12.600 U/l yaitu 2498,3 U/l. Dan untuk mengetahui secara pasti kiata
dapat melihat dengan interpretasi sebagai berikut :

Data Probandus :

Pada probandus perempuan hasil AchE : 2498,3 U/l.

Minimal (batas bawah pada perempuan) : 4000 U/l.

 Dapat dihitung :

Penurunan Aktivitas AchE = (2498,3 ÷ 4000) x 100%


= 62 %
Interpretasikan hasil dengan melihat tabel 1
Aktivitas AchE Penafsiran
75 – 100 % Normal, tidak mengalami keracunan
50 – 70 % Keracunan ringan, memerlukan istrahat
selama 2 minggu
25 – 50% Keracunan Sedang, memerlukan
istirahat selama 2 minggu dan
diperlukan pengobatan
0 – 25% Keracunan berat, memerlukan istirahat
2 minggu dan pengobatannya harus
secepatnya (segera).

Sehingga dapat di interpretasikan hasil penafsiran menunjukkan


bahwa darah probandus dalam rentan 50 – 70 % yang berarti mengalami
keracunan ringan, memerlukan istrahat selama 2 minggu.
3. Aplikasi klinis
a. Botulisme
Botulisme adalah penyakit yang disebabkan oleh neurotoksik
yang dibawa oleh makanan busuk yang terkontaminasi oleh
Clostridium botulinum yang mengeluarkan toksin botulinum. Toksin
botulinum dikenal sebagai salah satu racun yang mematikan karena
mengganggu transmisi neuromuskular yaitu dengan menghambat
pengeluaran ACh dari terminal button sebagai respon dari terminal
aksi di neuron motorik(Sherwood, 2013). Toksin ini menghambat
otot-otot untuk berespon terhadap impuls saraf. Kematian biasanya
disebabkan karena gangguan pernapasan yang yang ditimbulkan oleh
ketidakmampuan diafragma untuk berkontraksi (Sherwood, 2013)
b. Keracunan Organofosfat dan Karbamat
Organofosfat merupakan suatu zat kimia yang memodifikasi
aktivitas taut neuromuskulus dengan cara menghambat AChE secara
irreversibel. Inhibisi AChE akan membuat otot yang tereksitasi tetap
dalam keadaan berkontraksi dikarenakan tidak adanya inaktivasi ACh
sehingga tidak mampu melakukan repolarisasi ke keadaan istirahat.
Kematian akibat zat ini ditimbulkan oleh ketidakmampuan diafragma
untuk berelaksasi dan kemudian bekontraksi untuk menghirup udara
segera.(Sherwood, 2013)
Organofosfat dan karbamat merupakan inhibitor atau
penghambat kerja enzim AChE atau dengan kata lain antiAChE.
Keracunan senyawa seperti malation, parathion, paraoxon, dan
diazinon bersifat irreversibel. Waktu paruh penghambat
asetilkolinesterase oleh organofosfat berkisar 2-3 hari. Gejala yang
ditimbulkan pada keracunan organofosfat mulai timbul setelah 30
menit disertai oleh penurunan enzim AChE. Sedangkan keracunan
oleh karbamat bersifat reversibel selama 30 menit. Gejala yang timbul
akibat keracunan pestisida golongan karbamat dan organofospat
adalah miosis, penglihatan kabur, kelemahan otot, diare, mual,
banyak mengeluarkan air liur, berkeringat, edem paru, dan reaksi
konvulsif (Sherwood, 2013)
Zat-zat toksik ini sering ditemukan pada pestisida dan gas-gas
saraf yang digunakan dalam dunia militer pada saat
perang(Sherwood, 2013). Pestisida adalah suatu zat kimia yang
digunakan untuk membasmi hama jenis apapun. Beberapa jenis
pestisida adalah fungisida, herbisida, insektisida, rodentisida, dan
anthelminyic (Dorland, 2012)
c. Alzheimer
Penyakit Alzheimer merupakan gangguan neuropsikiatri yang
irreversibel. Gambaran patologik dasar penyakit Alzheimer adalah
gambaran proses degeneratif yang dicirikan hilangnya sel di daerah
tertentu otak, misalnya korteks serebri dan hipokampus. Diduga
akibat munculnya peptida amiloid ß (A ß), unsur utama pembentuk
plak pada penderita Alzheimer, yang menandakan terjadi peningkatan
kadar aluminium. Peptida amioid ini berasal protein prekursor
berukuran besar yang dinamakan Protein Prekursor Amiloid (APP),
yang gennya terletak pada kromosom 21, didekat daerah yang terkena
Sindrom Down. Itulah sebabnya, penderita Sindrom Down yang
bertahan hingga berusia 50 tahun sering terkena Alzheimer.
Alzheimer sering kali memperlihatkan penurunan nyata kadar
asetilkolintransferase dan asetilkolin. Perubahan ini tampaknya terjadi
sekunder karena kerusakan sel, bukan causa primer penyakit
Alzheimer(Sherwood, 2013)
d. Miastenia Gravis
Penyakit ini mengenai taut neuromuskulus yang ditandai
dengan kelelahan otot yang ekstrim. Penyakit ini merupakan penyakit
autoimun yaitu tubuh menghasilkan antibodi terhadap reseptor ACh
pada motor and plate sehingga ACh tidak dapat berikatan
menemukan dan berikatan dengan reseptornya. AChE merusak ACh
sebelum berikatan dengan reseptornya pada post sinaps sehingga
tidak terbentuk potensial end-plate (Sherwood, 2013)
e. Keracunan Kurare
Kurare merupakan zat kimia yang menghambat aktivitas
neuromuskulus dengan menghambat pengeluaran ACh. Zat ini
berikatan dengan reseptor pada motor end plate. Ikatan tersebut
bersifat reversibel, tidak mengubah permeabilitas membran, dan tidak
diinaktivasi oleh AChE.
Ikatan kurare-reseptor menyebabkan ACh tidak dapat
berikatan dengan reseptor tersebut. Sehingga saluran yang
memungkinkan pergerakan ion-ion untuk menimbulkan EPP tidak
terbuka. Hal ini menimbulkan paralisis karena potensial otot tisak
terjadi. Paralisis merupakan respons impuls saraf terhadap otot
tersebut.
Apabila zat kurare terlalu banyak dan berikatan dengan
reseptor ACh, maka akan terjadi gangguan pernapasan yang
ditimbulkan dengan ketidakmampuan diafragma untuk berkontraksi
akibat paralisis.
Kurare, pada jaman dahulu, digunakan sebagai racun mata
panah yang mematikan. Namun, kurare dan beberapa jenis obat lain
digunakan secara medis pada proses pembedahan untuk membantu
mencapai relaksasi otot rangka yang lebih baik dengan dosis anastetik
sedikit. Penggunaan sebagai obat anastetik harus disertai dengan
perangkat yang bisa mempertahankan pernapasan secara artifisial
sampai obat tersebut lenyap (Sherwood, 2013)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Pemerikasaan MetHb
a. Methemoglobin (MetHb) adalah suatu hasil oksidasi hemoglobin yang
tidak mempunyai kemampuan lagi untuk mengangkut oksigen.
b. TerbentuknyaMetHbkarena proses oksidasi yang mengubahFe2+
(ferro)menjadiFe3+ (ferri).
c. Sitokrom b5 methemoglobin reduktaseadalahenzim yang
digunakanuntukmereduksiFe3+ (ferri)menjadikeadaan Fe2+ (ferro).
d. Nilai normal MetHb dalam darah adalah kurang dari 4%.
e. Kadar methemoglobin probandus adalah 2,9 %, maka tergolong normal
karena kurang dari 4 %.
2. Pemerikasaan HbCO
a. Berdasarkan praktikum ini kadar HbCO didapatkan hasil 0,016% dan
interpretasi dari hasil yaitu kadar HbCO berada di batas toleransi HbCO
yaitu 2% sampai kurang dari 5%.
b. Kadar CO endogen dalam keadaan normal dengan hasil 0,036% , hasil
ini dibawah 0,7% dan ini menunjukkan bahwa probandus tidak
mengalami kelainan.
c. Aplikasi klinis aktivitas karboksihemoglobin (HbCO) abnormal/
patologis yaitu hipoksia anemis, keracunan karbon monoksida,dan
gangguan kardiovaskuler.
3. Pemeriksaan AchE
a. Berdasarkan praktikum ini kadar AchE didapatkan hasil 2498,3 U/l.Dan
interpretasi hasil yaitu kadar AchE dalam keadaan dibawah batas normal
dengan penafsiran aktifitas AchE mengalami keracunan ringan,
memerlukan istrahat selama 2 minggu.
b. Keracunan organofosfat akan dialami oleh seseorang bila kadar AchE:
1) Laki – laki : < 3.825 U/I
2) Perempuan : < 3.000 U/I
c. Aplikasi klinis aktivitas enzim asetilkolinesterase abnormal/patologis
yaitu keracunan organofosfat, myasthenia gravis, dan alzheimer.
B. Saran
1. Seharusnya pada pengujian menggunakan Na nitrit 1%, tetapi karena pada
saat praktikum kemarin kami memakai Na nitrit 0,5% sehingga hasilnya
agak sedikit menyimpang.
2. Harus lebih teliti dalam melakukan pengamatan, karena keterbatasan
pengamat dalam melakukan langkah-langkah percobaan memungkinkan
hasil yang didapat kurang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Aydin, Gozde B. 2010. “Methemoglobinemia Presenting In A Circumcised Baby


Following Application Of Prilocaine: A Case Report” dalam Journal of
Medical Case Report, 4:49.
Biagioli M, et al. 2009. Unexpected expression of alpha- and beta-globin in
mesencephalic dopaminergic neurons and glial cells. U.S.A : Proc. Natl. Acad.
Sci
Bhagavan, N. dan Ha, C.-E., 2011. Essentials of Biochemistry: with Clinical
Cases.London: Elsevier, Inc..

Cahyono I. D., Sasongko H., Primatika A. D. 2009. Neurotransmitter Dalam

Fisiologi Saraf Otonom. Journal Anestasiologi Indonesia Vol. 1 No. 1

Corwin, Elizabeth C. 2009. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: EGC


Crowley, Leonard V. 2009. An Introduction to Human Disease: Pathology and
Pathophysiology Correlation. United States of America: Jones and Bartlett
Publishers.
Depkes R.I. 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia
Dorland, W. A. N., 2012. Kamus Saku Kedokteran Dorland. 28 ed. Jakarta: EGC.
Guyton, Arthur C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC

Martini, F.H., Nath, J.L., Bartholomew, E. F. 2012. Fundamentals of Anatomy &


Physiology. 9th ed. US: Benjamins Cummings
Murray, R.K., D.K. Granner, P.A. Mayes, V.W. Rodwell. 2009. Biokomia Harper.
Edisi 27. Jakarta : EGC
P.D.Charles.2014.Hemoglobin.(http://www.medicinenet.com/hemoglobin/article.htm
diakses 07 Juni 2014)
Pearce, Evelyn. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta
Rubenstein, David, David Wayne, dan John Bradley. 2007. Lecture Notes:
Kedokteran Klinis, Edisi 6. Jakarta :Erlangga.

Voet, D. 2008. Fundamentals of Biochemistry, 3rd. ed. New York : John Wiley &
Sons
Vorvick, Linda J. 2009. Methemolobinemia In A Young Man: A Case Report.
Journal of Medical Case Reports, 5:6.

Widayanti, Sri. 2008. Analisis Kadar Hemoglobin Pada Anak Buah Kapal PT.
Salam Pacific Indonesia Lines Di Belawan Tahun 2007. Skripsi Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai