Oleh :
Kelompok A2
Nama Anggota :
Asisten :
Muhammad Danantyo Himawan
G1A011102
2014
LEMBAR PENGESAHAN
“Pemerikasaan MetHb, HbCO, dan AchE”
Oleh :
Kelompok A2
Adhen Bella Andriani G1A013009
Patminingsih G1A013010
M.Ricky Fachrurrazy G1A013011
Mala Sabinta Riani G1A013012
Anisa Nur Fitria G1A013013
Arifah Mabruroh Prilia G1A013015
Nur Amalia Fauziah G1A013016
Sri Nurhayati G1A013017
A. Judul Praktikum
Pemeriksaan methemoglobin, karboksihemoglobin, dan kadar enzim
asetilkolinesterase
C. Tujuan Praktikum
1. Pemerikasaan Methemoglobin (MetHb) :
a. Mahasiswa akan dapat mengukur kadar methemoglobin dalam darah
dengan menggunakan spektrofotometer.
b. Mahasiswa akan dapat menyimpulkan hasil pemeriksaan
methemoglobin pada saat praktikum setelah membandingkannya dengan
nilai normal.
2. Pemerikasaan Karboksihemoglobin (HbCO) :
a. Mahasiswa akan dapat mengukur kadar hemoglobin dengan metode
Hindsberg-Lang.
b. Mahasiswa akan dapat menyimpulkan hasil pemerikasaan
karboksihemoglobin dalam darah saat praktikum setelah
membandingkannya dengan nilai normal
c. Mahasiswa akan dapat melakukan pemeriksaan penunjang untuk
membantu menegakkan diagnose dengan bantuan hasil praktikum yang
dilakukan.
3. Pemerikasaan enzim asetilkolinesterase
a. Mahasiswa akan dapat mengukur kadar enzim asetilkolinesterase
dengan metode DGKC new.
b. Mahasiswa akan dapat menyimpulkan hasil pemerikasaan enzim
asetilkolinesterase pada saat praktikum setelah membandingkannya
dengan nilai normal.
c. Mahasiswa akan dapat melakukan diagnose dini penyakit apa saja yang
ditandai oleh hasil aktivasi enzim asetilkolinesterase abnormal /
patologis melalui bantuan hasil praktikum yang dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. MetHb
1. Alat
a. Spuit 3 cc
b. Tourniquet
c. Plakon
d. Tabung reaksi
e. Rak tabung reaksi
f. Mikropipet (10 µl – 100 µl)
g. Yellow tip
h. Kuvet
i. Spektrofotometer
j. Vacuum met
k. Pipet tetes
2. Bahan
a. Sampel darah
b. EDTA
c. Aquadest
d. Natrium Nitrit
3. Cara Kerja
a. Pengambilan Darah
1) Sebelum dilakukan pengambilan sampel darah, persiapkan spuit dan
kapas yang telah dibasahi dengan alkohol terlebih dahulu.
2) Tourniquet dipasang pada lengan probandus dengan kencang, dengan
jarak 3-5 cm dari fosa cubiti.
3) Vena mediana cubiti dicari pada lengan probandus kemudian
dilakukan pengambilan darah dengan menggunakan spuit.
b. Pembuatan Whole Blood
Sample darah yang telah diambil kemudian dimasukan kedalam
vacumed, dimana di dalam vacum med tersebut sudah dimasukan
terlebih dahulu EDTA sebanyak 1 spatula.
c. Penetapan oksihemoglobin
1) Disiapkan beaker glass 50 ml dan diisi aquadest sebanyak 20 cc.
2) Darah EDTA ditambahkan sebanyak 10 µl.
3) Darah EDTA dengan aquadest yang terdapat pada beaker glass
dituangkan ke dalam kuvet sebanyak 5 cc dan dibaca absorbansinya
pada fotometer dengan panjang gelombang 546 nm.
d. Penetapan deoksihemoglobin
1) Darah EDTA yang telah dicampur dengan 20 ml aquadest yang
terdapat pada beaker glass dituangkan sebanyak 5 cc ke dalam tabung
reaksi.
2) Natrium Nitrit diteteskan (5 tetes) ke dalam tabung tersebut sampai
larutan berwarna kecoklatan.
e. Baca nilai absorbansinya pada spektrofotometer dengan panjang
gelombang 546 nm.
B. HbCO
1. Alat
a. Spuit 3 cc
b. Torniquet
c. Plakon
d. Vacuum met ungu (berisi EDTA)
e. Tabung reaksi
f. Rak tabung reaksi
g. Spatula
h. Mikropipet (10 µl – 100µl)
i. Yellow tip
j. Pipet ukur 5 ml
k. Kuvet
l. Spektrofotometer
2. Bahan
a. Sampel darah
b. EDTA
c. Ammonia 0,1%
d. Sodium dithionite
3. Cara Kerja
a. Persiapan satu buah beaker glass dan dua buah tabung reaksi masing-
masing diberi label tabung I dan tabung II.
b. Persiapan sampel whole blood:
1) Diambil darah probandus sebanyak 1 cc dengan menggunakan spuit.
2) Darah kemudian dimasukkan ke dalam vacumed ungu yang sudah
berisi EDTA.
c. Diambil ammonia 0,1 % sebanyak 20 ml dan dimasukkan ke dalam
beaker glass.
d. Diambil sampel whole blood sebanyak 10μl dengan menggunakan
mikropipet dan yellow tip.
e. Sampel whole blood dimasukkan ke dalam beaker glass yang berisi
ammonia tadi, dicampur sampai homogen.
f. Campuran kemudian dipisah ke dalam 2 tabung, masing-masing
sebanyak 5 ml.
1) Tabung I : ditambah sodium dithionit sebanyak 1 spatula.
2) Tabung II : tidak ditambah sodium dithionit.
g. Diinkubasi selama 5 menit.
h. Diukur absorbansinya pada spektrofotometer dengan panjang gelombang
546 nm dan nilai factor 6,08.
CO Endogen : 0,7%
HbCO : < 1%
Batas toleransi HbCO : 2% - < 5%
5% : mulai timbul gejala/tidak normal/keracunan
C. AchE
1. Alat
a. Spuit 3 cc
b. Torniquet
c. Plakon
d. Vacuum met ungu (berisi EDTA)
e. Tabung reaksi
f. Eppendorf
g. Sentrifugator
h. Mikropipet (10 µl – 100µl)
i. Yellow tip
j. Pipet ukur 5 ml
k. Kuvet
l. Spektrofotometer
2. Bahan
a. Sampel darah
b. EDTA
c. Reagen 1
d. Reagen 2 (standard AchE)
3. Cara Kerja
Inkubasi 10 menit
Selama 10 menit
Reagen 1 + Reagen 2
+ 10 µl plasma darah
Inkubasi 5 menit
A. MetHb
1. Hasil
a. Identitas Probandus
Nama : Anisa Nur Fitria
NIM : G1A013013
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
b. Hasil Pengamatan
Pada percobaan yang kami lakukan, darah probandus mengandung
metHb dengan kadar 2,857%. Kadar tersebut bisa diperoleh dengan
rumus:
Kadar metHb = (absorbansi oksi ÷ absorbansi deoksi) x 2
= (0,040 ÷ 0,028) x 2
= 2,9 dibuat dalam % dengan dikalikan 100% jadi
2,9%
2. Pembahasan
Praktikum pemeriksaan MetHb (Methemoglobin) dalam darah (whole
blood), diawali dengan pengambilan darah probandus dengan menggunakan
spuit sebanyak 3 cc. Setelah diambil, darah dimasukan ke dalam tabung
EDTA untuk dilakukan sentrifugasi yang akan digunakan untuk praktikum
selanjutnya.EDTA berfungsi sebagai antikoagulan darah.
Ambil gelas ukurberisi dengan aquadest (dengan fungsinya sebagai
pelarut) 20 ml kemudian masukan whole blood sebanyak 10 µl dengan
menggunakan mikro pipet, lalu homogenkan. Setelah itu masukan sebanyak
5 cc ke dalam tabung reaksi tanpa dimasukkan apapun lagi untuk dilakukan
pengukuran absorbansi oksihemoglobin di spektrofometer dengan panjang
gelombang 546 nm dengan nilai faktor 100.
Pengukuran deoksihemoglobin sedikit berbeda yaitu, setelah
dilakukan pencampuran aquadest dengan whole blood dan dituangkan ke
dalam tabung dua sebanyak 5cc, ditambahkan Na nitrit sampai berwarna
jernih. Dalam hal ini, Na nitrit berperan sebagai katalisator untuk
mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+sehingga terbentuk methemoglobin.
Kemudian, dilakukan pengukuran absorbansi deoksihemoglobin dengan
menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 546 nm dengan
nilai faktor 100.
Hasil yang didapat dari pengukuran absorbansi adalah untuk
oksihemoglobin dan deoksihemoglobin dalam hal ini sama yaitu sebanyak
0,040 dan 0,028, sehingga kadar metHb yang didapat pun hasilnya adalah 29
%. Kadar metHb yang 2,9 % seperti ini adalah normal karena posisinya
masih berada di bawah nilai normalnya yaitu 4 %. Jika jumlahnya lebih dari
4 % maka akan dinyatakan bahwa kadar methemoglobin di dalam darah
probandus tidak normal dan berbahaya bagi tubuh.
Kadar MetHb dalam darah bisa meningkat dan menurun.
Pembentukan spontan methemoglobin normalnya ditahan oleh sistem enzim
proteksi : NADH cytochrome-b5 reductase (jalur besar) dan NADPH
methemoglobinreductase (jalur kecil). Sistem enzim proteksi normalnya ada
dalam sel darah merah untuk menjaga kadar methemoglobin setidaknya
kurang dari satu persen jumlah total hemoglobin di dalam tubuh yang sehat.
Interaksi dengan zat eksogen yang dapat mengoksidasi dan metabolitnya bisa
mempercepat tingkat pembentukan methemoglobin sampai seribu kali lipat,
melampaui kecepatan sistem enzim proteksi dan dengan cepat meningkatkan
kadar methemoglobin. (Azhar, 2009)
Hemoglobin merupakan molekul yang bentuknya bulat yang terdiri
dari 4 subunit. Setiap unit mengandung satu bagian heme yang berkonjugasi
dengan suatu polipeptida (Ganong, 2009).
Globin dapat terpisah dari molekul hemoglobin dan hemenya
dikonversi menjadi biliverdin jika sel darah merah tua mengalami pemecahan
oleh sistem makrofag jaringan. Pada manusia kebanyakan biliverdin
dikonversi menjadi bilirubin dan diekskresikan dalam empedu.
Methemoglobin dalam darah normal jumlahnya sangat sedikit,
mengingat sel darah merah memiliki sebuah sistem yang efektif (NADH-
sitokrom b5 methemoglobin reduktase) untuk mereduksi Fe3+ (ferri) kembali
kepada keadaan Fe2+ (ferro). Sistem ini terdiri atas NADH (yang dihasilkan
oleh glikolisis), sitokrom b5 reduktase (yang juga dikenal sebagai
methemoglobin reduktase), dan sitokrom b5. Fe3+ pada methemoglobin akan
direduksi kembali menjadi Fe2+ oleh kerja sitokrom b5 yang tereduksi:
Hb-Fe3+ + Cyt b5 red Hb - Fe 2+ + Cyt b5oks
Setelah itu, sitokrom b5 tereduksi dihasilkan kembali melalui kerja
enzim sitokrom b5 reduktase:
Jika darah terpajan oleh obat dan agen – agen pongoksidasi lain, maka
ferro (Fe2+) dalam molekul tersebut dikonversi menjadi besi ferri (Fe3+),
membentuk methemoglobin. Methemoglobin berwarna tua dan jika
jumlahnya besar dalam sirkulasi menyebabkan warna kehitaman pada kulit
yang menyerupai sianosis. Oksidasi hemoglobin terjadi secara normal, tetapi
suatu enzim didalam sel darah merah memiliki sistem methemoglobin
reduktase, mengkonversi methemoglobin kembali menjadi hemoglobin.
Pada percobaan yang kami lakukan, darah probandus mengandung metHb
dengan kadar 2,9%. Kadar tersebut bisa diperoleh dengan rumus:
Kadar metHb = (absorbansi oksi ÷ absorbansi deoksi) x 2
= (0,040 ÷ 0,028) x 2
= 2,9 dibuat dalam % dengan dikalikan 100% jadi 2,9%
Hasil tersebut menunjukkan bahwa kadar metHb dalam darah
probandus normal yaitu kurang dari 4%.
Beberapa kemungkinan yang dapat menyebabkan hasil kurang 4% yaitu:
a. Kesalahan praktikan dalam melakukan praktikum.
b. Probandus mempunyai enzim sitokrom b5 methemoglobin reduktase yang
baik
c. Probandus tidak terpajan oleh obat maupun agen-agen pengoksidasi.
3. Aplikasi Klinis
a. Methemoglobinemia
Methemoglobinemia merupakan suatu keadaan dimana kadar
methemoglobin melebihi batas normal atau suatu keadaan klinis dengan
terdapatnya hemoglobin dalam sirkulasi yang mengandung besi dalam
keadaan teroksidasi (Fe3+) dan bukan Fe2+ seperti biasa. Keadaan ini
timbul akibat defisien sinikotinamida adenine dinukleotida tereduksi
(NADH) yang bersifat herediter, diaforse atau diwariskannya
hemoglobin yang secara terstruktur abnorman (HbM). Hemoglobin ini
mengandung substitusi asam amino yang mempengaruhi kantung heme
rantai globin. Methemoglobin toksik terjadi apabila suatu obat atau zat
toksik lain mengoksidasi hemoglobin. Pada semua keadaan ini pasien
mungkin saja memperlihatkan sianosis (Hoffbrand, 2005).
b. Sianosis
Istilah sianosis berarti kebiruan pada kulit yang disebabkan oleh
jumlah hemoglobin deoksigenasi berlebihan dalam pembuluh darah kulit
terutama kapiler dan sianosis juga merupakan salah satu tanda klinis
insufisiensi pernafasan. Bukan persentase hemoglobin yang tidak
mengandung oksigen yang menyebabkan warna kebiruan pada kulit
tetapi pada dasarnya adalah konsentrasi hemoglobin yang tidak
mengandung oksigen tanpa memandang jumlah hemoglobin yang
mengandung oksigen. Alasan untuk hal ini adalah bahwa warna merah
dari darah yang mengandung oksigen bersifat lemah bila dibandingkan
dengan warna biru gelap dari darah yang tidak mengandung oksigen.
Oleh karena itu, bila keduanya dicampur bersama-sama , darah yang
mengandung oksigen pengaruh warnanya relative lebih sedikit
dibandingkan dengan darah yang tidak mengandung oksigen. (Guyton,
2007).
c. Blue baby syndrome
Sindrom bayi biru, atau methemoglobinemia, adalah penyakit
yang muncul ketika darah bayi tidak dapat membawa oksigen yang
cukup untuk sel-sel tubuh dan jaringan. Hal ini disebabkan oleh kenaikan
tingkat methemoglobin dalam darah. Methemoglobin adalah enzim non-
pembawa oksigen yang terus-menerus diproduksi dalam tubuh. Hal ini
diubah menjadi hemoglobin, enzim pembawa oksigen dalam darah, oleh
enzim sel darah merah yang disebut reduktase methemoglobin. Karena
bayi di bawah usia enam yang bulan telah reduktase methemoglobin
kecil di sistem mereka, kelebihan methemoglobin, atau
methemoglobinemia, bisa berakibat fatal jika tidak diobati.
Nitrat dalam air minum yang berlebihan dapat
merugikan kesehatan anak-anak ,kadang-kadang menyebabkan sindrom
bayi biru. Ketika dicerna, ini nitrat diubah menjadi nitrit dalam
sistem pencernaan, ini nitrit bereaksi dengan hemoglobin dalam darah,
membentuk jumlah tinggi methemoglobin. Karena methemoglobin tidak
dapat membawa oksigen, jika cukup terlalu banyak enzim dalam
darah, jaringan dan organ bayi mungkin kekurangan oksigen. Hal ini
akan menyebabkan dia untuk mengembangkan pewarnaan kebiruan
dan mungkin mengakibatkan jangka panjang pencernaan dan masalah
pernapasan.
B. HbCO
1. Hasil
a. Identitas Probandus
Nama : Anisa Nur Fitria
NIM : G1A013013
Umur : 19 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
b. Hasil Pengamatan
Hasil pembacaan dengan spektrofotometer
a. Tabung I : 0,016 %
b. Tabung II : 0,036 %
2. Pembahasan
a. Tabung I (sampel)
Hasil pengamatan pada tabung pertama menunjukkan nilai HbCO
pada praktikum kali ini berada pada batas normal yakni 0,016% , dimana
hasil ini kurang dari 1%. Hal ini menunjukkan bahwa adanya paparan CO
dalam darah probandus sangat kecil sehingga hasilnya masih dalam batas
normal. Hasil 0,016% diperoleh setelah whole blood yang telah dicampur
dengan ammonium 0,1% ditambahkan dengan sodium dithionit. Dimana
fungsi dari sodium dithionit tersebut adalah untuk merusak ikatan HbO
sehingga Hb terikat dengan CO.
b. Hipoksia anemis
Hipoksia terjadi karena penurunan kapasitas darah mengangkut
O2. Hal ini dikarenakan penurunan jumlah sel darah merah dalam
peredaran darah, kadar Hb yang tidak mencukupi di dalam eritrosit, serta
terjadinya keracunan CO. Pada keseluruhan kasus hipoksia anemik, PO2
arteri normal tetapi kandungan O2 dalam arteri kurang dari normal karena
berkurangnya kadar Hb yang tersedia (Behrman,2010).
Suplay darah yang seharusnya disalurkan ke organ-organ tubuh
bagian perifer terakumulasi pada organ vital untuk memenuhi keperluan
dari organ tersebut. Hipoksia dapat terjadi menyeluruh dari tingkat seluler
dan jaringan sehingga berefek pada kulit, otot dan jaringan lunak. Oleh
karena itu, pengobatan intoksikasi CO lebih ditekankan pada upaya untuk
mengembalikan suplai O2 ke seluruh sel jaringan tubuh sehingga dapat
menjadi normal dan mencukupi seperti sediakala.
Tindakan yang dapat dilakukan, antara lain memindahkan
penderita ke dalam ruangan yang cukup oksigen, memberi pernafasan
buatan jika terjadi penghentian nafas, dan sebagainya. Pada intoksikasi
CO yang berat, yaitu intoksikasi yang disertai dengan hilangnya
kesadaran, pengobatan terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan
pemberian oksigen yang bertekanan dua atmosfer. Penggunaan oksigen
bertekanan tinggi tersebut dapat dengan cepat mengganti posisi CO
dalam molekul Hb. Selain itu oksigen akan terlarut dalam plasma dalam
jumlah yang banyak (mencukupi) dan dapat dengan segera memberikan
efeknya pada sel-sel jaringan. Oksigen ini akan menyebabkan
keseimbangan reaksi bergeser ke kiri:
HbO2 + CO ↔ HbCO + O2
Dengan demikian, ikatan HbCO akan terputus sehingga CO akan
terlepas dan larut kedalam plasma dan selanjutnya dikeluarkan melalui
pernafasan. Dengan memperpendek keadaan hipoksia, kita akan dapat
membatasi kemungkinan terjadinya kerusakan jaringan. Akan tetapi,
harus diingat pula bahwa penambahan tekanan oksigen lebih dari dua
atmosfir justru dapat menimbulkan risiko terjadinya intoksikasi oksigen
(Sherwood,2011).
c. Gangguan Kardiovaskuler
Efek toksik gas CO secara langsung ke jantung bila terjadi
paparan gas CO dengan kadar 100-180 ppm selama empat jam. Efek
terhadap kardiovaskular dapat berupa iskemia miokard, edema pulmonal,
aritmia dan sindrom miokardial. Efek kardiovaskuler ini dapat
disebabkan karena menurunnya cardiac output yang disebabkan oleh
hipoksia jaringan, ikatan CO dengan myoglobin dan menyebabkan
kurangnya pelepasan oksigen ke sel.
Edema pulmonum dapat terjadi pada sekitar 10-30% kasus
keracunan akut gas CO. Penyebab yang edema pulmonum yang paling
mungkin adalah hipoksia jaringan, efek toksik gas CO terhadap membran
alveoli, kerusakan miokandium yang dapat menyebabkan kegagalan
ventrikel kiri, aspirasi cairan lambung setelah kehilangan kesadaran dan
edema pulmonum neurogenik.
Penanganan yang bisa dilakukan adalah melakukan pencegahan
keracunan CO, jangan sampai kita menghirup atau terpapar CO dalam
jumlah besar. Konsentrasi CO dalam darah sebesar > 30% akan
menimbulkan gejala-gejala yang cukup berat, seperti nadi dan
pernapasan meningkat, kesadaran menurun bahkan bisa mengalami
kematian akibat gagal napas (Hadiyani, 2010).
C. AchE
1. Hasil
a. Identitas Probandus
Nama : Anisa Nur Fitria
NIM : G1A013013
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
b. Hasil Pengamatan
1) Hasil kadar AChEyang didapatkan adalah 2489,3 U/I
2) Interpretasi hasil yaitu kadar AchE dalam keadaan keracunan ringan
2. Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan interpretasi hasil bahwa
kadar AchE probandus 2498,3 U/I, berada dibawah batas normal yaitu
dimana batas normal 4.000 – 12.600 U/l.
Ach atau asetilkolin salah satu tugasnya adalah pada kontraksi otot.
Sedangkan AchE adalah asetilkolinesterase yaitu enzim yang akan
menghidrolisis Ach (asetilkolin) menjadi kolin dan asam asetat untuk
digunakan dalam kontraksi otot.
Jika AchE dalam tubuh cukup, maka Ach akan dengan normal
terhidrolisis dan akan membuat kontraksi pada otot normal. Namun jika
jumlah AchE dalam tubuh rendah, maka Ach tidak akan terhidrolisis dengan
baik dan akibatnya kontraksi otot menjadi tidak terkendali (kejang-kejang).
Dari uraian ini, maka pada darah probandus yang mengandung U/l
dikatakan dibawah batas normal karena rentang nilai normal perempuan
4.000 – 12.600 U/l yaitu 2498,3 U/l. Dan untuk mengetahui secara pasti kiata
dapat melihat dengan interpretasi sebagai berikut :
Data Probandus :
Dapat dihitung :
A. Kesimpulan
1. Pemerikasaan MetHb
a. Methemoglobin (MetHb) adalah suatu hasil oksidasi hemoglobin yang
tidak mempunyai kemampuan lagi untuk mengangkut oksigen.
b. TerbentuknyaMetHbkarena proses oksidasi yang mengubahFe2+
(ferro)menjadiFe3+ (ferri).
c. Sitokrom b5 methemoglobin reduktaseadalahenzim yang
digunakanuntukmereduksiFe3+ (ferri)menjadikeadaan Fe2+ (ferro).
d. Nilai normal MetHb dalam darah adalah kurang dari 4%.
e. Kadar methemoglobin probandus adalah 2,9 %, maka tergolong normal
karena kurang dari 4 %.
2. Pemerikasaan HbCO
a. Berdasarkan praktikum ini kadar HbCO didapatkan hasil 0,016% dan
interpretasi dari hasil yaitu kadar HbCO berada di batas toleransi HbCO
yaitu 2% sampai kurang dari 5%.
b. Kadar CO endogen dalam keadaan normal dengan hasil 0,036% , hasil
ini dibawah 0,7% dan ini menunjukkan bahwa probandus tidak
mengalami kelainan.
c. Aplikasi klinis aktivitas karboksihemoglobin (HbCO) abnormal/
patologis yaitu hipoksia anemis, keracunan karbon monoksida,dan
gangguan kardiovaskuler.
3. Pemeriksaan AchE
a. Berdasarkan praktikum ini kadar AchE didapatkan hasil 2498,3 U/l.Dan
interpretasi hasil yaitu kadar AchE dalam keadaan dibawah batas normal
dengan penafsiran aktifitas AchE mengalami keracunan ringan,
memerlukan istrahat selama 2 minggu.
b. Keracunan organofosfat akan dialami oleh seseorang bila kadar AchE:
1) Laki – laki : < 3.825 U/I
2) Perempuan : < 3.000 U/I
c. Aplikasi klinis aktivitas enzim asetilkolinesterase abnormal/patologis
yaitu keracunan organofosfat, myasthenia gravis, dan alzheimer.
B. Saran
1. Seharusnya pada pengujian menggunakan Na nitrit 1%, tetapi karena pada
saat praktikum kemarin kami memakai Na nitrit 0,5% sehingga hasilnya
agak sedikit menyimpang.
2. Harus lebih teliti dalam melakukan pengamatan, karena keterbatasan
pengamat dalam melakukan langkah-langkah percobaan memungkinkan
hasil yang didapat kurang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Voet, D. 2008. Fundamentals of Biochemistry, 3rd. ed. New York : John Wiley &
Sons
Vorvick, Linda J. 2009. Methemolobinemia In A Young Man: A Case Report.
Journal of Medical Case Reports, 5:6.
Widayanti, Sri. 2008. Analisis Kadar Hemoglobin Pada Anak Buah Kapal PT.
Salam Pacific Indonesia Lines Di Belawan Tahun 2007. Skripsi Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara