Anda di halaman 1dari 12

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA

A.Pengertian
Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,
disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat
meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan
penyumbatan uretra pars prostatika

B. Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya Benigne Prostat Hyperplasia sampai
sekarang belum diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi
terjadinya Benigne Prostat Hyperplasia yaitu testis dan usia lanjut.
Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga
timbulnya Benigne Prostat Hyperplasia antara lain :
1. Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel
dan stroma dari kelenjar prostatmengalami hiperplasia.
2. Ketidak seimbangan estrogen – testoteron
Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen
dan penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat
menyebabkan terjadinya hyperplasia stroma.
3. Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan
penurunan transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma
dan epitel.
4. Penurunan sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan
epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem cell
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.
(Roger Kirby, 1994 : 38).

C. Insiden

1
Sulit untuk menentukan terjadinya BPH karena dari berbagai penelitian di
gunakan criteria yang berbeda untuk menjelaskan kondisi penyakit. Berdasarkan
data national institute of health (NIH), BPH terjadi lebih dari 60 tahun dan
sebanyak 90% pada pria berumur 70 tahun.
.
D. Manifestasi klinis klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut
sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli
memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal
guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan
karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan
intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum
puas.
2. Gejala Iritasi yaitu :
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi
pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

Derajat Benigne Prostat Hyperplasia

2
Benigne Prostat Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan
klinisnya :
1. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 – 2 cm, sisa
urine kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.
2. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah
berat, panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih
menonjol, batas atas masih teraba, sisa urine 50 – 100 cc dan beratnya + 20 –
40 gram.
3. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba,
sisa urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3 – 4 cm, dan beratnya 40 gram.
4. Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit
keginjal seperti gagal ginjal, hydroneprosis.

F. Fatofisiologi
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami
hiperplasia, jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam
mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini
dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan
uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk
dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan
perubahan anatomi dari buli-buli berupa : Hipertropi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-
buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau
Lower Urinary Tract Symptom/LUTS (Basuki, 2000 : 76).
Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor
berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak
berubah. Pada fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama
kelamaan kemampuan kompensasi menjadi berkurang dan pola serta kualitas
miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi
tidak adekuat sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses miksi
berakhir seringkali Prostat Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan jalan
meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai

3
timbulnya hernia dan haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak
berhasilnya melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini
disebut sebagai Prostat Hyperplasia Dekompensata. Fase Dekompensasi yang
masih akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan
terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat
dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli
tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi
adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi
urine.Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal
(Sunaryo, H. 1999 : 11)

G. Pemerisaan diangnostik
 Pemeriksaan Radiologi
Pada Pemeriksaan Radiologi ditujukan untuk
 Menentukan volume Benigne Prostat Hyperplasia
 Menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residual urine
 Mencari ada tidaknya kelainan baik yang berhubungan dengan
Benigne Prostat Hyperplasia atau tidak
 Beberapa Pemeriksaan Radiologi
 Intra Vena Pyelografi ( IVP ) : Gambaran trabekulasi buli, residual
urine post miksi, dipertikel buli.
Indikasi : disertai hematuria, gejala iritatif menonjol disertai
urolithiasis
Tanda BPH : Impresi prostat, hockey stick ureter
 BOF : Untuk mengetahui adanya kelainan pada renal
 Retrografi dan Voiding Cystouretrografi : untuk melihat ada tidaknya
refluk vesiko ureter/striktur uretra.
 USG : Untuk menentukan volume urine, volume residual urine dan
menilai pembesaran prostat jinak/ganas
3. Pemeriksaan Endoskopi.
4. Pemeriksaan Uroflowmetri

4
Berperan penting dalam diagnosa dan evaluasi klien dengan obstruksi
leher buli-buli
Q max : > 15 ml/detik  non obstruksi
10 - 15 ml/detik  border line
< 10 ml/detik  obstruktif

5. Pemeriksaan Laborat
Urinalisis (test glukosa, bekuan darah, UL, DL, RFT, LFT,
Elektrolit, Na,/K, Protein/Albumin, pH dan Urine Kultur)
Jika infeksi:pH urine alkalin, spesimen terhadap Sel Darah Putih, Sel
Darah Merah atau PUS.
RFT  evaluasi fungsi renal
Serum Acid Phosphatase  Prostat Malignancy

H. Komplikasi
 Stasis urune
 Infeksi saluran kencing (isk)
 Batu ginjal
 Dinding kandung kemih trabeculation
 Otot detrusor hipertropi
 Kandung kemih dipertikula dan saccules
 Stenosis uretra
 Hidronefrosis
 Paradox (overflow) inkontinensia
 Gagal ginjal akut atau gagal ginjal kronis
 Akut postructive diuresis

5
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari BPH tergantung dari stadium stadium gambar
klinis
1. Stadium 1
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah,
diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat
adrenoreseptor alfa, seperti alfasozin.
2. Stadium II
Padastadium 11 merupakan indikasi untuk melakukan
pembedahan biasanya dianjurkan reseksiendoskopi melalui
uretra (trans uretra)
3. Stadium III
Pembedahan terbuka dilakukan melalui trans vesika,
retropublik dan perineal
4. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan
penderita dari retensi urine total dengan memasang kateter atau
sistotomi, setelah itu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut,
Kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan
terbuka.

Penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan dengan


1. Observasi
2. Medikamentosa
3. Terapi bedah

6
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)

1. Pengkajian
a. Identitas pasien
b. Riwayat kesehatan
c. Data fisik yang meliputi
1. Aktifitas atau istirahat
 Adanya kelemahan, kaku, hilang keseimbangan
 Kesadaran menurun, kelemahan otot atau spasme
2. Peredaran darah atau sirkulasi
 TD normal/berubah (hipertensi) N (bradikardi, takikardi,
disritmia)
3. Eliminasi
 Blader dan bowel incontinensia
 BAK terasa sakit
 Bila BAK urin keluar sedikit demi sedikit
4. Makanan/cairan
 Mual/muntah
 Muntah yang memancar, masalah kesukaran dalam menelan
5. Persarafan/neurosensori
 Pusing, kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar
kejadian
6. Kenyamanan/nyeri
 Nyeri kepala yang bervariasi tekanan dan lokasi nyerinya, agak
lama
7. Pernafasan
 Perubahan pola nafas

7
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan frekuensi kontraksi
ureteral, trauma jaringan, edema dan iskemia seluler
b. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan stimulasi kandung
kemih oleh batu, iritasi ginjal dan ureter, obstruksi mekanik dan
peradangan.
c. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
terapi berhubungan dengan kurang terpajan atau salah interpretasi
terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat atau
lengkapnya informasi yang ada.

3. Itervensi dan rasionalisasi

Diagnosa 1
Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan frekuensi kontraksi ureteral, trauma
jaringan, edema dan iskemia seluler

Intervensi Rasional

 Kaji keluhan nyeri dengan  Mengkaji skala nyeri untuk


dengan menggunakan skala mengetahui seberapa nyeri yang
nyeri. dialami pasien

 Jelaskan hal hal yang dapat  Meningkatkan kewaspadaan


memperparah nyeri pasien
 Ajarkan technik relaksasi
 Cara untuk mengontrol nyeri

8
 Pemberian obat analgetik  Obat analgetikdigunakan untuk
sesuai dengan program mengurangi rasa nyeri

 Ciptakan lingkungan yang  Lingkungan yang nyaman akan


nyaman termasuk tempat tidur membuat pasien terasa lebih
nyaman

 Berikan sentuhan terapeutik,  Sentuhan terapeutik dapat


lakukan distraksi dan relaksasi mengurangi rasa nyeri

Diagnosa II
Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan stimulasi kandung kemih
iritasi ginjal dan ureter, obstruksi mekanik dan peradangan.
Intervensi Rasional
 Awasi pengeluaran urine dan  Memberikan informasi tentang
pemasukan cairan fungsi ginjal dan adanya komplikasi
 Tentukan pola berkemih pasien  Kalkulus dapat menyebabkan
dan perhatikan pariasi ekstabilitas saraf, yang
menyebabkan sensasi kebutuhan
berkemih segera
 Dorong pemasukan cairan segera  Peningkatan hidarasi membilas
bakteri, darah, dan dapat membantu
lewatnya batu.
 Periksa urine pasien  Penemuan batu memungkinkan
identifikasi tipe batu dan
mempengaruhi pilihan terapi

Diagnosa I11
Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi
berhubungan dengan kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap

9
informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat atau lengkapnya informasi
yang ada
Intervensi keperawatan Rasional
 Tekankan pentingnya  Pembilasan sistem ginjal
memperta-hankan asupan menurunkan kesemapatan stasis
hidrasi 3-4 liter/hari. ginjal dan pembentukan batu

 Kaji ulang program diet sesuai  Jenis diet yang diberikan


indikasi. disesuaikan dengan tipe batu
- Diet rendah purin yang ditemukan.
- Diet rendah kalsium
- Diet rendah oksalat
- Diet rendah
kalsium/fosfat

 Diskusikan program obat-  Obat-obatan yang diberikan


obatan, hindari obat yang dijual bertujuan untuk mengoreksi
bebas. asiditas atau alkalinitas urine
tergantung penyebab dasar
pembentukan batu.

 Jelaskan tentang tanda/gejala  Pengenalan dini tanda/gejala


yang memerlukan evaluasi berulangnya pembentukan batu
medik (nyeri berulang, diperlukan untuk memperoleh
hematuria, oliguria) intervensi yang cepat sebelum
timbul komplikasi serius.

 Tunjukkan perawatan yang tepat  Meningkatakan kemampuan


terhadap luka insisi dan kateter rawat diri dan kemandirian
bila ada.

10
DAFTAR PUSTAKA.

Doengoes, M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan:Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, EGC, Jakarta.

Brunner dan suddart, (2006), Keperawatan medical bedah, Jakarta, EGC

11
Sjamsuhidajat, R. & Jong, W.D. (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed. Revisi, EGC,
Jakarta.

Taqiyyah Bararah, (2013), Asuhan keperawatan panduan lengkap menjadi


perawat professional, jilid 2, PRESTASI PUSTAKA, jakarta

12

Anda mungkin juga menyukai