Anda di halaman 1dari 43

I.

PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu kelaian otak yang serius dan umum

terjadi, sekitar lima puluh juta orang diseluruh dunia mengalami kelainan

ini. Angka epilepsi lebih tinggi di Negara berkembang. Insiden epilepsi di

Negara maju ditemukan sekitar 50/100.000 penduduk sementara di Negara

berkembang mencapai 100/100.000 penduduk, jumlah ini setara dengan

penyakit kanker payudara pada wanita dan kanker paru-paru pada pria

diseluruh dunia.1

Epilepsi di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak

mendapatkan pengobatn apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih

banyak dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi pada anak

berusia dibawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan usia lanjut diatas 65 tahun

(81/100.000 kasus).2

Epilepsi lobus Temporal juga dapat meningkatkan risiko kematian dini.

3 Efek fungsi kognitif ditandai dengan sklerosis hipokampus, kejang fokal

dengan tanda kepribadian lobus temporal sebelah medial. Hipokampus dan

sekitarnya adalah komponen terbesar dalam sistem frontotemporal.1

1
II. TINJAUAN PUSTAKA

a. Anatomi dan Fisiologi

1. Anatomi

Gambar 1. Anatomi Lobus Temporal

Lobus temporalis merupakan satu dari empat lobus utama dari

otak. Lobus temporalis berada di bawah sylvian fissure dan di

anterior korteks oksipital dan parietal. Brodmann mengidentifikasi

10 area temporal, tetapi penelitian anatomi terbaru menunjukkan

banyak area pada monyet, apalagi pada wanita. Region pada

permukaan lateral temporal dapat dilihat pada bentuk auditory dan

visual. Sylvian fissure berisi jaringan yang membentuk insula yang

2
meliputi gustatory cortex. Superior temporal sulcus (STS)

memisahkan girus superior dan middle serta berisi jumlah yang

signifikan dari neocortex, yang bisa dibagi dalam beberapa region.

Korteks dari STS bersifat multimodal, menerima input dari

auditory, visual, dan region somatik. Lobus temporal memiliki dua

sulci penting yang terletak secara horizontal dan parallel dengan

Sylvian fissure. Mereka membagi lobus temporal menjadi 3 gyri:

Superior Temporal Gyrus, Middle Temporal Gyrus, dan Inferior

Temporal Gyrus. Inferior Temporal Gyrus ukurannya lebih besar

daripada yang kita lihat biasa dari samping korteks karena itu

letaknya di permukaan bawah dalam tengkorak.3

2. Fisiologi

Lobus temporalis tidak memiliki fungsi yang satu, karena dalam

lobus temporalis terdapat primary auditory cortex, the secondary

auditory, dan visual cortex, limbic cortex, dan amygdala. Tiga

fungsi basis dari korteks temporal adalah memproses input auditori,

mengenali objek visual, dan penyimpanan jangka lama dari input

sensori, ditambah dengan fungsi amigdala, yaitu nada afeksi (emosi)

pada input sensori dan memori. Beberapa fungsi lainnya adalah

sebagai berikut :

3
Tabel 1. Fungsi lobus temporalis.3

Fungsi Keterangan
Kemampuan diatur pada bagian sebelah kiri temporal,
bicara terdapat zona bahasa atau berbicara bernama
Wernicke. Area ini mengontrol proses termasuk
komprehensif dan memori verbal.

Memori mengatur retensi memori jangka panjang berupa


fakta, kejadian, orang, dan tempat

Membaca memproses suara dan kata-kata tertulis menjadi


suatu informasi sehingga menjadi ingat.

Respon berasal dari amygdala didalam lobus temporalis


emosi
Respon primary auditory cortex(terletak pada Heschl’s
auditori gyri) bertanggung jawab untuk merespon
frekuensi suara yang berbeda untuk lokalisasi
suara. Bagian ini bertugas untuk peka terhadap
suara.

Pemrosesan memunculkan perasaan yakin dan insight.


visual
Fungsi tugas dari lobus olfaktori untuk identifikasi
penciuman informasi.

b. Definisi

Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan

epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa

provokasi. Sedangkan yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi adalah

manifestasi klinik yang disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang

abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron. Manifestasi klinis ini

4
terjadi secara tiba-tiba dan sementara berupa perubahan perilaku yang

stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesdaran, gangguan motorik,

sensorik, otonom, ataupun psikis.4

Epilepsi merupakan suatu kondisi neurologik yang

mempengaruhi sistem saraf. Epilepsi juga dikenal sebagai penyakit

kejang. Epilepsi dapat didiagnosis paling tidak setelah mengalami dua

kali kejang yang tidak disebabkan oleh kondisi medis seperti kecanduan

alkohol atau kadar gula yang sangat rendah (hipoglikemi). Menurut

International League Against Epilepsy (ILAE), epilepsi dapat

didiagnosis setelah mengalami satu kali kejang, jika seseorang berada

dalam kondisi dimana mereka memiliki risiko tinggi untuk menderita

kejang lagi. Kejang pada epilepsi mungkin berhubungan dengan trauma

otak atau kecenderungan keluarga tetapi kebanyakan penyebab epilepsi

tidak diketahui.4

Epilepsi lobus temporalis yaitu kejang berulang tanpa provokasi

yang berasal dari medial atau lateral lobus temporalis, biasanya berupa

kejang parsial kompleks dengan atau tanpa penurunan kesadaran dan

dapat berupa kejang parsial sederhana tanpa gangguan kesadaran,

dengan atau tanpa aura.5

Epilepsi lobus temporal merupakan jenis epilepsi yang banyak

ditemukan pada orang dewasa, pada kebanyakan kasus region

5
epileptogenik melibatkan struktur mesial lobus temporal, terutama

hippocampus, amygdala, girus parahipocampus. Kejang biasanya

dimulai pada masa anak-anak atau remaja, dan ummnya terdapat

riwayat demam. Hampir semua pasien epilepsi lobus temporal,

memiliki tipe kejang parsial kompleks dan beberapa diantaranya kejang

umum sekunder.6

c. Klasifikasi

Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu

pada tahun 1981 dan tahun 1989.1,7

International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981

menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe

serangan epilepsi):

1. Bangkitan parsial

a. Bangkitan parsial sederhana (kesadaran baik)

1) Dengan gejala motorik

2) Dengan gejala sensorik

3) Dengan gejala otonom

4) Dengan gejala psikis

b. Bangkitan parsial kompleks (kesadaran terganggu)

1) Bangkitan parsial sederhana diikuti dengan gangguan

kesadaran

6
2) Bangkitan kesadaran saat awal serangan

c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder

1) Parsial sederhana menjadi tonik-klonik

2) Parsial kompleks menjadi tonik-klonik

3) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-

klonik

2. Bangkitan umum

a. Lena (absence)

1) Tipikal lena

2) Atipikal lena

b. Mioklonik

c. Tonik

d. Klonik

e. Tonik-klonik

f. Atonik (Astatik)

3. Bangkitan yang tidak terklasifikasi.

Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk

para klinisi karena hanya ada dua kategori utama, yaitu

a. Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus

yang terlokalisir di otak.

7
b. Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang

lebih luas pada kedua belahan otak.

Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun

1989 adalah :

1. Fokal/partial (localized related)

a. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)

1) Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah

sentrotemporal (childhood epilepsy with centrotemporal

spikes)

2) Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada

daerah oksipital

3) Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)

b. Simptomatik

1) Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pad anak-

anak (Kojenikow’s Syndrome)

2) Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu

rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat obatan,

hiperventilasi, reflex epilepsi, stimulasi fungsi kortikal

tinggi, membaca)

3) Epilepsi lobus temporal

4) Epilepsi lobus frontal

8
5) Epilepsi lobus parietal

6) Epilepsi lobus oksipital

2. Epilepsi umum

a. Idiopatik

1) Kejang neonatus familial benigna

2) Kejang neonatus benigna

3) Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

4) Epilepsi lena pada anak

5) Epilepsi lena pada remaja

6) Epilepsi mioklonik pada remaja

7) Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat

terjaga

8) Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah

satu diatas

9) Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi

yang spesifik

b. Kriptogenik

1) Sindrom west (spasme infantile dan spasme salam)

2) Sindrom lennox-gastaut

3) Epilepsi mioklonik astatik

4) Epilepsi mioklonik lena

9
c. Simtomatik

1) Etiologi non spesifik

a) Ensefalopati mioklonik dini

b) Ensefalopati pada infantil dini dengan burst supresi

c) Epilepsi simptomatik umum lainnya yang tidak

termasuk diatas

2) Sindrom spesifik

3) Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain

3. Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan fokal atau umum

a. Bangkitan umum dan fokal

1) Bangkitan neonatal

2) Epilepsi mioklonik berat pada bayi

3) Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur

dalam

4) Epilepsi afasia yang didapat (sindrom landau-kleffer)

5) Epilepsi yang tidak termasuk dalamklasifikasi diatas

b. Tanpa gambaran tegtas fokal atau umum

4. Sindrom khusus

Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu

a. Kejang demam

b. Bangkitan kejang yang timbul sekali (isolated)

10
c. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic

akut, atau toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi

non ketotik

d. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi

reflektorik)

Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara

langsung terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa

disaksikan langsung oleh dokter, sehingga diagnosis epilepsi hampir

selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang

baik dan akurat sulit didapatkan, karena gejala yang diceritakan oleh

orang sekitar penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas,

sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali bahwa ia baru

saja mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang

dapat membantu menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah

rekaman elektroensefalografi (EEG).

Terdapat beberapa tanda kardinal kejang epilepsi lobus temporal yaitu:

1. Gejala prodromal

Bebrapa pasien mengalami gejala prodromal, yang mungkin

dapat membantu memprediksi datangnya kejang. Prodromal dapat

berlangsung beberapa menit, jam, atau kadang berhari-hari. Contoh

11
yang termasuk gejala prodromal adalah sakit kepala, perubahan

kepribadian, cepat marah, kecemasan atau gugup.5

2. Aura

Aura dalam kenyataannya terjadi pada kejang parsial sederhana

tetapi sebagian besar terjadi pada pasien kejang parsial kompleks.

Aura tersebut dapat berlangsung dari beberapa detik sampai 1-2

menit sebelum kesadaran hilang. Beberapa penulis menyebutkan

bahwa teradapat hubungan antara aura sensorik dengan epilepsi

lobus temporalis. Contohnya gejala seperti viserosensory yaitu

sensasi epigastrium seperti naik dan beberapa fenomena meliputi

rasa takut, dejavu, jamais vu, ilusi visual dan auditori, dan halusinasi

visual atau auditorik kompleks. Halusinasi olfaktori dan gustatori

relatif khusus terjadi pada epilepsi lobus temporal.8

3. Penurunan kesadaran

Kejang parsial kompleks berhubungan dengan penurunan

kesadaran, dan amnesia. Biasanya hal tersebut menetap dengan

durasi 30 detik sampai 1 atau 2 menit. Kesadaran memiliki beberapa

aspek termasuk kognisi, persepsi, memori dan gerakan voluntary.9

4. Amnesia

Pasien kejang parsial kompleks mungkin tidak menyadari

bahwa mereka telah kejang beberapa menit sebelumnya dan mereka

12
mungkin tidak mengingat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum

onset kejang. Kemungkinan amnesia pasca kejang diakibatkan oleh

penurunan fungsi hipokampus bilateral.9

5. Automatisme

Aktivitas motorik involunter bersifat stereotipi dan hampir

selalu disertai dengan penurunan kesadaran dan diikuti amnesia.

Salah satu sistem membagi automatisasi de novo dan automatisasi

preservative. Automatisme de novo dikatakan terjadi secara spontan

pada saat kejang atau setelah kejang. Misalnya, pasien mungkin

minum dari cangkir dan ditempatkan di tangannya atau mengunyah

permen karet ditempatkan dalam mulutnya. Automatisasi

preservative mungkin mewakili kelanjutan dari tindakan kompleks

motorik sebelum onset kejang misalnya, membuka dan menutup

pintu berulang kali. Automatisasi preservative terjadi pada hampir

dua pertiga dari kejang parsial dari mesial lobus temporal onset.

Mereka sering melibatkan tangan (meraba-raba, memetik, gelisah)

atau mulut (mengunyah, bibir memukul, menelan).5,10

d. Etiologi

Etiologi epilepsi dapat dibagi kedalam tiga kategori, yaitu:

1. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit

neurologik.

13
2. Kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum

diketahui. Termasuk disini adalah sindrom west, sindrom lennox-

gastaut dan epilepsi mioklonik.

3. Simtomatik: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi

struktural pada otak, misalnya cedera, infeksi SSP, kelainan

kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik

(alkohol, obat), metabolik, kelainan neurodegeneratif.

4. Epilepsi yang juga disebut bangkitan kejang merupakan satu

manifestasi lepas muatan listrik yang berlebihan di sel neuron saraf

pusat. Keadaan ini merupakan terganggunya fungsi otak. Gangguan

ini dapat disebabkan oleh faktor fisiologis, biokimia, anatomis atau

gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang

dapat mengganggu fungsi otak, dapat menyebabkan bangkitan

kejang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa epilepsi dapat

disebabkan oleh bermacam-macam penyakit atau kelainan di

antaranya trauma lahir, traumakapitis, radang otak, tumor otak,

perdarahan otak, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomali

kongenital otak, kelainan degeneratif susunan saraf pusat, gangguan

metabolisme, gangguan elektrolit, demam, rekasi toksis-alergi,

keracunan obat atau zat kimia dan jaringan parut.10

14
e. Patofisiologi

Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan

lainnya saling berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin

melalui impuls listrik dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal

sebagai neurotransmitter. Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls

antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme

yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan

breaking sistem pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi

secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme

pengaturan ini adalah:

a. Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter

b. GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s

inhibitory neurotransmitter. Golongan neurotransmiter lain yang

bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil kolin, sedangkan yang

bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin

(5-HT) dan peptide. Neurotransmiter ini hubungannya dengan

epilepsi belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut.4

Bangkitan epilepsi apapun jenisnya selalu disebabkan oleh

transmisi impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal,

sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls.

Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau

15
kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron

di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron

yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik

menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan

epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:

1. Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya

kurang optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara

berlebihan, disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada

penderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi

GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis).4

2. Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga

terjadi pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi

neuron penghambat normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik)

yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya

konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan

peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.4

Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi

untuk mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga

kejadian yang saling terkait :

16
1) Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsic dari sel

untuk menimbulkan bangkitan.

2) Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.

3) Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.4

Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang

abnormal, bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal

sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang).

Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi

neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat

menimbulkan serangan kejang.4

f. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan apabila keadaaan

memungkinkan. Pemeriksaan ini mencakup:

1. Pemeriksaan electro-encephalography (EEG)

Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna

pada dugaan sutau bangkitan. Pemeriksaan EEG akan membantu

menunjang diagnosis dan membantu penentuan jenis bangkitan

maupun sindrom epilepsi. Pada keadaan tertentu dapat membantu

menentukan prognosis dan penentuan perlu/tidaknya pengobatan

dengan AED.11

17
2. Pemeriksaan pencitraan otak (brain imaging)

Pemeriksaan CT scan dan MRI meningkatkan kemampuan

dalam mendeteksi lesi epileptogenik di otak. Dengan MRI

beresolusi tinggi berbagai macam lesi patologik dapat terdiagnosis

secara non-invasif, misalnya mesial temporal sclerosis, glioma,

ganglioma, malformasi kavernosus, DNET (dysembryoplastic

neuroepithellialtumor). Ditemukannya lesi-lesi ini menambah

pilihan terapi pada epilepsi yang refrakter terhadap OAE.

Functional brain imaging seperti Positron Emission Tomography

(PET), Single Photon Emisssion Computed Tomography (SPECT)

dan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam

menyediakan informasi tambahan mengenai dampak perubahan

metabolik dan perubahan aliran darah regional di otak berkaitan

dengan bangkitan.12

g. Penatalaksanaan

Tujuan terapi epilepsi adalah mengupayakan tercapainya kualitas hidup

optimal untuk penyandang epilepsi sesuai dengan perjalanan penyakit

dan disbilitas fisik maupun mental yang dimilikinya

Pirnsip terapi faramakologi

1. OAE diberikan bila:

a. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan

18
b. Pastikan faktor pencetus bangkitan dapat dihindari (misalnya:

alkohol, kurang tidur, stress, dll)

c. Terdapat minimum 2 bangkitan dalam setahun

d. Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan

tentang tujuan pengobatan

e. Penyandang dan/atau keluarganya telah diberitahu tentang

kemungkinan efek samping yang timbul dari obat anti epilepsi.

2. Terapi dimulai dngan monoterapi, menggunakan obat antiepilepsi

pilihan sesuai dengan jenis bangkitan dan jenis sindrim epilepsi.

3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap

sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat

dalam plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.

4. Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat

mengontrol bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua

telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap

perlahan-lahan.

5. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan

tidak dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.13

Tabel 2. Pemilihan OAE Didasarkan Atas Jenis Bangkitan


Tipe Bangkitan OAE lini pertama OAE lini OAE lini
kedua/tambahan ketiga/tambahan
Lena Sodium valproate, Ethosuximide Levetiracetam,
lamotrigine zonisamide

19
Mioklonik Sodium valproate Topiramate, Lamotrigine,
levetiracetam, clobazam,
zonisamide clonazepam,
Phenobarbital
Tonik klonik Sodium valproate, Lamotrigine, Topiranate,
carbamazepine, oxcarbazepine levetiracetam,
phenitoin, zonisamide,
phenobarbital pirimidon
Atonik Sodium valproate Lamotrigine, Felbamate
topiramate
Parsial Carbamazepine, Sodium Tiagabine,
phenitoin, valproate, vigabatrin,
phenobarbital, levetiracetam, felbamate,
oxcarbazepine, zonisamide, pirimidon
lamotrigine, pregabalin
topiramate,
gabapentin
Tidak Sodium valproate Lamotrigine Topiramate,
terklasifikasikan levetiracetam,
zonisamide

Tabel 3. Dosis OAE untuk orang dewasa


OAE Dosis awal Dosis rumatan Jumlah dosis
(mg/hari) (mg/hari) per hari
Carbamazepine 400-600 400-1600 2-3x
Phenitoin 200-300 200-400 1-2x
Sodium valproate 500-1000 500-2500 2-3x
Phenobarbital 50-100 50-200 1
Clonazepam 1 4 1 atau 2
Clobazam 10 10-30 1-2x
Oxcarbazepine 600-900 600-3000 2-3x
Levetiracetam 1000-2000 1000-3000 2x
Topiramate 100 100-400 2x
Gabapentine 900-1800 900-3600 2-3x
Lamotrigine 50-100 50-200 1-2x
Zonisamid 100-200 100-400 1-2x
Pregabalin 50-75 50-600 2-3x

20
Epilepsi lobus temporal adalah jenis epilepsi fokal yang

potensial untuk resisten terhadap pengobatan. Epilepsi lobus temporal

yang tidak merespons obat dapat meningkatkan harapan hidup dan

kualitas hidup dengan menjalani operasi dari bagian lobus temporal dari

otak, Meskipun obat anti-epilepsi tersedia saat ini, 20 persen sampai 40

persen dari semua pasien dengan epilepsi tidak memberikan respon

terhadap manajemen medis.1

Alternatif bentuk pengobatan nya adalah lobus temporal

resection (prosedur dimana jaringan otak pada lobus temporal adalah

dipotong). Pasien menjadi bebas kejang setelah dilakukan reseksi lobus

temporal anterior (reseksi ke arah depan) untuk mengurangi tingkat

kematian terhadap pasien terus mengalami kejang.1

Keuntungan reseksi anterior lobus temporal adalah untuk

meningkatkan harapan hidup dan kualitas hidup. Untuk pasien dengan

epilepsi lobus temporal pharmacoresistant, hasil ini memberikan

perspektif tambahan untuk membandingkan manfaat relatif dari operasi

epilepsi dengan manajemen medis lanjutan, waktu yang tepat untuk

dilakukannya operasisangat penting, karena pada usia yang lebih tua

kemungkinan untuk bebas kejang lebih rendah. Setelah reseksi lobus

anterior temporal, Referral untuk program bedah epilepsi harus

dipertimbangkan apabila telah terjadi toleransi pada minimal 2 obat

21
antiepilepsi yang telahdi coba pada dosis maksimum. Kerugian

pembedahan lobus tempoaral pada epilepsi yaitu akan terjadi penurunan

yangsignifikan dalam memori verbal. Jenis kehilangan memori

dikaitkan dengan belajar dan mengingat.1

22
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Nn. G
Umur : 21 thn
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Islam

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama: Kejang terakhir sejak 3 hari yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke RS dengan keluhan kejang terakhir sejak 3 hari yang lalu.

Kejang berlangsung kira-kira 2-3 menit. Pasien mendadak memegangi kepala

dan tak lama kemudian seluruh tubuh pasien kejang lalu kaku selama 2 menit.

Saat kejang, pasien tidak sadarkan diri. Pasien merasakan lemas, pegal, merasa

mengantuk, dan mengalami amnesia sesaat setelah kejang. Kejang terjadi setiap

kali pasien merasa capek, stress, atau setelah mengkomsumsi banyak minuman

bersoda.

Menurut ibu pasien, kejang pertama terjadi saat pasien berusia 1 tahun. Kejang

disertai demam yang sangat tinggi. Kejang sering muncul hingga usia pasien 6

tahun. Saat itu diberikan obat Luminal. Pasien menjadi tidak kejang lagi, akan

23
tetapi pasien menjadi agak hiperaktif. Sewaktu SD, pasien menjadi lambat dalam

mengikuti pelajaran, meski tidak pernah tinggal kelas. Saat pasien berusia 13

tahun pasien tiba-tiba memegangi kepalanya di sekolah. Kemudian pasien

mengalami kejang tonik-klonik. Pada pemeriksaan CT-Scan tidak ditemukan

kelainan. Pasien diberikan obat dilatin. Semenjak saat itu, pasien menjadi sering

marah-marah, galak, dan mudah tersinggung.

Kemudian pasien melakukan EEG, namun hasilnya tidak jelas. Pasien diberi obat

Depakote , namun pasien masih kejang akan tetapi sudah tidak terlalu galak.

Sampai bulan September 2016 ,pasien masih kejang dua minggu sekali terutama

setelah makan daging sapi dan minum minuman bersoda. Bulan Desember 2016,

pasien di MRI dan ditemukan adanya atrofi lobus temporal.

Awal Januari 2017, pasien berobat dan diberikan fenitoin 30 mg, vit B6 dan asam

folat. Pasien masih kejang 2 minggu sekali. Kemudian, obat diganti menjadi

fenitoin 100 mg, luminal 100 mg, B6, dan asam folat. Pasien sudah tidak kejang,

akan tetapi masih saja galak. Pasien suka marah-marah dan bertengkar dengan

tantenya. Bahkan pasien pernah menjedutkan kepala ibunya. Pasien juga

memiliki kebiasaan menyetel suara TV dan radio degan sangat kencang. Pasien

sering menuduh orang lain berusaha untuk menyakitinya, pasien menjadi lebih

cepat curiga terhadap orang-orang di sekitarnya.

Riwayat trauma kepala, hipertensi, DM, maupun sakit jantung disangkal. Ibu

pasien pernah menderita epilepsi, akan tetapi sudah sembuh saat berusia 5 tahun.

24
Pasien susah untuk bergaul dengan orang lain. Daya ingat pasien menurun dan

pasien menjadi suka tidak nyambung ketika di ajak ngobrol. Saat ini, kondisi

pasien sudah lebih tenang dan kalem. Sepanjang tahun 2017 pasien kambuh

kejang 1x hingga saat ini, rutin kontrol minimal sebulan sekali ke RS.

Riwayat Penyakit Dahulu:


 Hipertensi : Tidak ada
 Diabetes mellitus : Tidak ada
 Trauma kepala : Tidak ada
 Sakit kepala sebelumnnya : Tidak ada
 Kegemukan : Tidak ada

III. PEMERIKSAAN FISIK :


Keadaan Umum :
 Kondisi : sakit ringan
 Gizi : baik
 Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 kali/menit
Suhu : 36,2oC
Pernapasan : 24 kali/menit

Pemeriksaan Leher :
Kelenjar getah bening : Pembesaran (-), nyeri tekan (-)
Kelenjar tiroid : Simetris, pembesaran (-), nyeri tekan (-)

25
Pemeriksaan Thorax :
Paru-paru :
- Inspeksi : Ekspansi dada simetris bilateral, bentuk dada normal,
retraksi dinding dada (-)
- Palpasi : Ekspansi dada simetris, taktil fremitus kiri = kanan,
- Perkusi : Batas normal
- Auskultasi : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Jantung :
- Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus Cordis tidak teraba
- Perkusi : batas jantung normal
- Auskultasi : BJ I-II murni, regular
Pemeriksaan Abdomen :
- Inspeksi : tampak datar
- Auskultasi : bunyi peristaltik usus normal
- Perkusi : tympani
- Palpasi : Nyeri tekan (-), masaa (-)

IV. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS


 GCS : E4 M6 V5
1. Kepala:
o Penonjolan: (-)
2. N. Cranialis:
o N. Olfactorius (I): Normosmia/Normosmia
o N.Optikus (II):
 Ketajaman penglihatan: Baik/Baik
 Lapangan penglihatan: Baik/Baik
o N. Occulomotoris (N.III), N. Trochlearis (N.IV), N. Abducens (N.VI)
 Celah kelopak mata:

26
 Ptosis: (-)/(-)
 Exopthalmus: (-)/(-)
 Pupil: ukuran: 3cm
Isokor/anisokor: isokor
Reflex cahaya langsung: (+)/(+)
Ref. cahaya tdk langsung: (+)/(+)
Reflex akomodasi: (+)/(+)
 Gerakan bola mata:
Parese kearah (-) -
Nistagmus (-)
o N. V (trigeminus):
 Sensibilitas: N.V1: (+)
N.V2: (+)
N.V3: (+)
 Motorik: Inspeksi:
Mengigit : (+)/(+)
Membuka mulut : (+)/(+)
o N. VII:
 Motorik: M. Frontalis M. orbik.okuli M. orbik. Oris
Istirahat: simetris simetris simetris
Gerakan mimic: simetris simetris simetris
 Pengecap 2/3 lidah bagian depan: tdp
o N. VIII:
 Pendengaran: baik
 Tes rinne/weber: tdp
 Fungsi vestibularis: tdp
o N. IX/X: (Glossopharingeus/vagus):
 Posisi arkus pharinks: simetris

27
 Reflex telan/muntah: tdp
 Pengecap 1/3 lidah bagian belakang: tdp
 Fonasi: tdp
 Takikardi/bradikardi: tdp
o N. XI:
 Memalingkan kepala dengan/tanpa tahanan: (+)/(+)
 Angkat bahu: (+)/(+)
o N.XII:
 Deviasi lidah: simetris
 Fasciculasi: (-)
 Atrofi: tidak ada
 Tremor: tidak ada
 Ataxia: (-)
3. Leher:
 Tanda-tanda perangsangan selaput otak
 Kaku kuduk: (-)
 Kernig’s sign: (-)
 Arteri karotis:
 Palpasi: berdenyut
 Auskultasi: bisisng (-)
 Kelenjar gondok: tidak terdapat pembesaran
4. Abdomen:
 Reflex kulit dinding perut: dbn
5. Kolumna vertebralis: dbn
6. Ekstremitas:

28
Superior Inferior
D S D S
 Motorik:
Pergerakan Baik Baik Baik Baik
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus otot Normal Normal Normal Normal
Bentuk otot
 Otot yang terganggu:
 Reflex fisiologi
o Biceps ++ ++
o Triceps ++ ++
o APR ++ ++
o KPR ++ ++
 Klonus: Lutut: -/-
Kaki: -/-
 Reflex patologis:
Hoffman: -/-
Tromner: -/-
Babinski: -/-
Chaddock: -/-
Gordon: -/-
Schaefer: -/-
Oppenheim: -/-
 Sensibilitas: dbn
 Ekstroseptif
Nyeri: normal/normal/normal/normal
Suhu: normal/normal/normal/normal
Rasa raba halus: normal/normal/normal/normal

29
 Propioseptif
Rasa sikap: normal/normal/normal/normal
Rasa nyeri dalam: normal/normal/normal/normal
 Fungsi Kortikal Luhur: Normal
7. Pergerakan abnormal yang spontan: (-)
8. Gangguan koordinasi: tdp
9. Gangguan keseimbangan: tdp
10. Pemeriksaan fungsi luhur:
 Fungsi bahasa : Baik
 Fungsi orientasi : Kurang
 Fungsi memori : Kurang
 Fungsi emosi : Kurang
 Fungsi kognisi : Kurang

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan MRI Kepala
Kesan:
 Atrofi terutama lobus temporalis dengan suspek mesial temporal sclerosis
 Kaliber A.vertebralis kanan lebih kecil dibanding kiri, tak tampak stenosis

Pemeriksaan EEG
 Amplitudo rendah
 Tampak aktifitas gelombang lambat 0,5-2 di seluruh lead
 Pada IIV dan PS disaksikan built up
Kesan: EEG abnormal dengan perlambatan di seluruh lead.

30
VI. DIAGNOSIS
 Diagnosis klinis : observasi kejang
 Diagnosis Topis : lobus temporalis cerebri
 Diagnosis Etiologi : epilepsi psikomotor

VII. TERAPI
Non medikamentosa
- Edukasi pada keluarga mengenai penyakit epilepsi
- Edukasi pada keluarga mengenai pentingnya minum obat teratur dan kontrol
rutin bulanan.
Medikamentosa
- Asam valproat 2 x 500 mg p.o
- Fenobarbital 3 x 100 mg p.o
- Fenitoin 3 x 100 mg p.o
- Piracetam 1 x 80 mg p.o
- Asam folat 1 x 400 mcg p.o

VIII. PROGNOSIS
 Qua ad vitam : dubia ad bonam
 Qua ad sonationem : dubia ad bonam

31
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien perempuan 21 tahun datang ke RS dengan keluhan kejang terakhir sejak

3 hari yang lalu. Kejang berlangsung kira-kira selama 2-3 menit. Pasien mendadak

memegangi kepala dan tak lama kemudian seluruh tubuh pasien kelojotan lalu kaku

selama ± 2 menit. Kejang berlangsung kira-kira selama 3 menit. Saat kejang, pasien

tidak sadarkan diri. Pasien merasakan lemas, pegal, mengantuk, dan amnesia sesaat

setelah kejang. Kejang terjadi setiap kali pasien merasa capek, stress, atau setelah

mengkonsumsi banyak minuman bersoda. Pasien kejang disertai perubahan mood

sejak usia 13 tahun. Pasien menjadi lebih mudah marah dan tersinggung. Daya ingat

pasien menurun dan pasien menjadi suka tidak nyambung ketika di ajak ngobrol.

Pasien juga memiliki kebiasaan menyetel suara TV dan radio dengan sangat kencang,

dan lebih suka curiga terhadap orang disekitarnya.

Pasien pernah mengalami kejang demam saat usia 1 tahun dan sembuh pada

usia 6 tahun. Akan tetapi, muncul kejang lagi saat usia 13 tahun. Pasien tidak memiliki

riwayat trauma kepala. Ibu pasien menderita epilepsi, akan tetapi sudah sembuh saat

berusia 5 tahun. Saat ini, kondisi pasien sudah lebih tenang dan kalem. Sepanjang tahun

2017, pasien kambuh kejang 1x. Hingga saat ini, ibu pasien rutin kontrol minimal

sebulan sekali ke RS.

Dari hasil anamnesa yang dilakukan didapatkan bahwa pasien mengalami

serangan kejang berulang. Setelah dilakukan anamnesis yang lebih mendalam, ternyata

32
dapat disimpulkan bahwa penyebab kejang berulang ini adalah epilepsi

psikomotor/epilepsi lobus temporal. Dimana penyebab lain mungkin sudah dapat

disingkirkan seperti :

 Gangguan metabolik : sudah disingkirkan karena pasien tidak mengkonsumsi

alkohol, narkotika, ataupun tidak menujukkan gejala hipoglikemia

 Infeksi : sudah disingkirkan karena pasien tidak ada demam sekarang ataupun

sebelumnya.

 Trauma : sudah disingkirkan dimana pasien mengatakan tidak ada riwayat

trauma kepala sebelumnya

 Keganasan: sudah disingkirkan dengan hasil MRI ataupun EEG.

Pasien ini mengarah pada kejang yang disebabkan oleh keadaan yang disebut

sebagai epilepsi psikomotor. Karena selain kejang, pasien juga mengalami perubahan

mood dan menjadi lebih cepat marah, dan memiliki waham paranoid. Setelah pasien

ini dicurigai menderita epilepsi psikomotor. Maka harus dipastikan lebih lanjut.

33
Tabel 4. Karakteristik Epilepsi Lobus Temporal
Karakteristik Epilepsi Lobus Temporal
History
History of febrile seizures Rare secondarily generalized seizures
Family history of epilepsy Seizures may remit and reappear
Early onset Seizures often intractable

Clinical observations
Aura common Postictal disorientation, memory loss,
Behavioral arrest/stare dysphasia (with focus in dominant
Complex automatisms hemisphere)
Unilateral posturing

Laboratory studies
Unilateral or bilateral anterior temporal spikes on EEG
Hypometabolism on interictal PET
Hypoperfusion on interictal SPECT
Material-specific memory deficits on intracranial amobarbital (Wada) test

MRI findings
Small hippocampus with increased signal on T2-weighted sequences
Small temporal lobe
Enlarged temporal horn

Setelah melihat tabel diatas, maka dapat disimpulkan pasien ini menderita

epilepsi lobus temporal. Dimana pasien memiliki riwayat kejang demam saat berusia

1 tahun, ibu pasien juga memiliki riwayat epilepsi, pasien kerap kali tidak berespon

dengan pemberian OAE. Pasien juga memiliki gangguan dalam mengontrol emosi.

34
Pasien menjadi lebih sensitif, mudah tersinggung, dan cepat marah. Serta memiliki

kebiasaan menyetel musik dengan suara yang sangat keras.

Pasien juga mengalami gangguan dalam berinteraksi dengan lingkungannnya.

Penderita dapat tampak sadar, namun apabila diperiksa lebih dekat maka penderita

tidak sadar akan lingkungannya, tidak dapat menjawab pertanyaan atau dapat

menjawab pertanyaan secara tidak tepat, dan kemudian tidak dapat mengingat kembali

tentang apa yang baru saja dialaminya. Hal ini karena, serangan epilepsi psikomotor

melibatkan bagian-bagian otak yang bertanggung jawab atas berlangsungnya

kesadaran dan memori, dan pada umumnya melibatkan kedua belah lobus temporalis

atau frontalis dan sistem limbik.

Gejala viskositas kepribadian biasanya paling nyata dalam percakapan dengan

pasien, yang cenderung menjadi lambat, serius, membosankan, bertele-tele, terlalu

penuh dengan rincian yang tidak penting, dan sering mendalam. Pasien tidak dapat

menahan hasratnya untuk tidak menulis. Pasien gemar sekali menulis dengan simbol-

simbol. Dan apabila sudah menulis, pasien sangat susah untuk dihentikan. Gejala ini

disebut sebagai hypergraphia yang oleh beberapa dokter disebutkan hampir

patognomonik untuk epilepsi parsial kompleks.

Pemeriksaan Fisik

Dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.

Pemeriksaan dari ujung kepala hingga kaki, tidak ditemukan adanya kelainan.

35
Dari hasil pemeriksaan psikatri, didapatkan tingkah laku pasien tenang.

Perasaan hati pasien cenderung hipothym dimana pasien cenderung murung dan tidak

banyak bicara. Pasien cenderung tidak menjawab pertanyaan pemeriksa. Orientasi

pasien akan ruang, orang dan waktu kurang baik. Jalan pikiran pasien inkoheren,

seringkali pasien menjawab tidak koheren dengan pertanyaan yang diajukan. Daya

ingat pasien juga cenderung kurang. Pasien susah mengingat kejadian yang baru saja

terjadi. Tidak ada waham maupun halusinasi. Hal-hal ini sesuai dengan gambaran

epilepsi psikomotor. Dimana fungsi dari lobus temporalis antara lain mengatur memori

berupa fakta, orang, dan tempat.

Dari hasil pemeriksaan neuorologis didapatkan kesadaran compos mentis, E4

M6 V5 GCS 15, gejala rangsal meningeal berupa kaku kuduk, kernig dan laseque

negatif, fungsi motorik dalam batas normal, reflek fisiologis (+) normal, reflek

patologis negatif (-), fungsi otonom dalam batas normal. Fungsi luhur dalam hal

orientasi waktu, ruang, dan tempat kurang baik. Memori jangka pendek kurang baik,

memori jangka panjang cukup baik. Fungsi emosi kurang baik. Daya

kognisi/intelegensi kurang. Hal ini diakibatkan karena fungsi dari amigdala yang

berada dalam lobus temporal adalah mengatur fungsi emosi.

Pemeriksaan Penunjang

Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan EEG serta MRI kepala. Pemeriksaan

EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu bangkitan.

36
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di

otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya

kelainan genetik atau metabolik. Pada rekaman EEG pasien didapatkan kesan EEG

abnormal dengan perlambatan di seluruh lead.

Pada MRI kepala pasien didapatkan kesan atropi lobus temporal kiri dengan

suspek mesial temproal sclerosis serta kaliber arteri vertebralis kanan lebih kecil

dibanding kiri. Gambaran Mesial temporal sclerosis biasa dimulai pada masa kanak-

kanak, kemudian remisi, tetapi muncul kembali pada usia remaja atau awal dewasa

muda dengan bentuk yang refrakter. Hal ini sesuai dengan keadaan pasien, dimana

pasien pertama kejang saat berusia 1 tahun, lalu sembuh pada usia 6 tahun. Dan

kembali kambuh pada saat usia pasien 13 tahun. Dan cenderung refrakter terhadap

obat-obatan.

Diagnosis

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan psikiatri, pemeriksaan

neurologis, serta pemeriksaan penunjang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa diagnose klinis pasien berupa observasi kejang. Karena pasien

datang dalam keadaan tidak kejang, dan hanya untuk kontrol rutin bulanan. Sedangkan

diagnosis topis pada pasien ini berada di lobus temporalis, yang diambil dari hasil

pemeriksaan MRI kepala serta gejala klinis yang terlihat. Diagnosis etiologis pada

pasien ini berupa epilepsi psikomotor (epilepsi lobus temporal), dimana dari hasil

37
anamnesis, pemeriksaan penunjang, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan

penunjang telah sangat menunjukkan hal itu.

Penatalaksanaan

Non medikamentosa

Pentingnya edukasi pada keluarga pasien mengenai penyakit epilepsi dan

betapa pentingnya mengkonsumsi obat-obatan secara teratur dan kontrol rutin tiap

bulan.

Medikamentosa

- Asam valproat 2 x 500 mg p.o  bekerja meningkatkan konsentrasi

GABA secara tidak langsung merupakan agonis GABA, karena pada

pasien epilepsi terdapat penuruan kadar GABA. Selain itu, asam valproat

dapat digunakan untuk menekan gejala manik. Efek samping

gastrointestinal lebih sedikit pada penggunaan semisodium divalproat

(depakote)

- Fenobarbital 3 x 100 mg p.o  menurunkan ambang stimulasi sel saraf

di korteks motorik, bekerja pada reseptor GABA sehingga menyebabkan

peningkatkan inhibisi sinaptik. Pada konsentrasi tinggi, fenobarbital juga

dapat menghambat Ca channel.

38
- Fenitoin 3 x 100 mg p.o  blokade pergerakan ion melalui kanal Na+

menghambat Ca channel, menunda ion K+ keluar selama potensial aksi,

sehingga menurunkan cetusan ulang.

- Piracetam 1 x 800 mg p.o  meningkatkan efektifitas dari fungsi

telensefalon otak. Telensefalon inilah yang mengatur fungsi kognitif pada

manusia (memori, kesadaran, belajar). Fungsi lain dari piracetam adalah

meningkatkan konsumsi oksigen pada otak, serta mempengaruhi

pengaturan cerebrovaskular dan juga mempunyai efek antitrombotik.

- Asam folat 1 x 1 tablet p.o  vitamin b9, yang penting untuk pemeliharan,

sintesis DNA, metabolisme asam amino, pembentukkan leukosit dan

eritrosit. Asam folat pun berperan penting dalam pertumbuhan jaringan

tubuh. Ada keterkaitan antara asam folat dengan pembentukan jaringan

tubuh yang telah rusak.

Prognosis

 ad vitam : dubia ad bonam  tanda vital, keadaan umum dan kesadaran pasien

dalam keadaan stabil.

 ad fungsionam : dubia ad bonam karena pada pasien ini ditemukan adanya

perbaikan gejala, pasien menjadi jarang kejang, dan lebih kalem dibanding

sebelumnya. Pasien sudah mulai bisa menuruti perkataan ibunya.

39
 ad sanam : dubia ad bonam karena pasien semakin sadar akan minum obat.

Pasien patuh dan selalu kontrol rutin minimal satu bulan sekali, tidak ada

penyakit pemberat lainnya.

 ad cosmeticum : dubia ad bonam  epilepsi ini tidak menyebabkan kerusakan

ataupun cacat pada bagian tubuh pasien.

40
BAB V

KESIMPULAN

Epilepsi merupakan salah satu kelaian otak yang serius dan umum terjadi,

sekitar lima puluh juta orang diseluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi

lebih tinggi di Negara berkembang. Epilepsi lobus Temporal juga dapat meningkatkan

risiko kematian dini. 3 Efek fungsi kognitif ditandai dengan sklerosis hipokampus,

kejang fokal dengan tanda kepribadian lobus temporal sebelah medial. Hipokampus

dan sekitarnya adalah komponen terbesar dalam sistem frontotemporal. Terdapat

beberapa tanda kardinal pada kejang epilepsi lobus temporalis yaitu, terdapat gejala

prodromal, dapat dijumpai aura, penurunan kesadaran, amnesia dan automatisme.

Epilepsi lobus temporal adalah jenis epilepsi fokal yang potensial untuk resisten

terhadap pengobatan. Alternatif bentuk pengobatannya adalah lobus temporal resection

(prosedur dimana jaringan otak pada lobus temporal adalah dipotong).

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiebe, Samuel, et al. 2001. A Randomized, Controlled Trial Of Surgery


For Temporal-LobeEpilepsy, Massachusetts Medical Society. Pp. 675-678;
2001.

2. WHO 2005 Atlas Epilepsy Care In The World Epilepsy foundation.


AboutEpilepsy
http://www.epilepsyfoundation.org/aboutepilepsy/index.cfm/statistics.cfm

3. Martini, F.H, Nath, J.L. Fundamentals Of Anatomy And Phisiology Edisi 8.


San Fransisco Boston New York Cape Town Hongkong London Madrid
Mexico City Montreal Munich Paris Singapore Sydney Tokyo Toronto;
Pearson International. Pp 569-577; 2009.

4. Panayiotopoulus CP. The Epilepsies Seizure, Syndromes and Management.


Blandom Medical Publishing. UK. Pp. 1-26; 2005.

5. R. M. Sadler, “The syndrome of mesial temporal lobe epilepsy with


hippocampal sclerosis: clinical features and differential diagnosis,” Advances
in Neurology, vol. 97, pp. 27–37, 2006.

6. A. T. Berg, S. F. Berkovic, M. J. Brodie et al., “Revised terminology and


concepts for organization of seizures and epilepsies: report of the ILAE
Commission on Classification and Terminology, 2005-2009,” Epilepsia, vol.
51, no. 4, pp. 676–685, 2010.

7. Purba JS: Epilepsi: Permasalahan di Reseptor atau Neurotransmiter. Medicinus


Scientific of Journal of Pharmacutical DevelopmentAnd Medical Aplication.
Jakarta. 2008; 21 : 9

8. R. A. Horvath, A. Fogarasi, R. Schulz et al., “Ictal vocalizations occur more


often in temporal lobe epilepsy with dominant (left-sided) epileptogenic zone,”
Epilepsia, vol. 50, no. 6. Pp. 1542–1546, 2009.

42
9. N. B. Danielson, J. N. Guo, and H. Blumenfeld, “The default mode network
and altered consciousness in epilepsy,” Behavioural Neurology, vol. 24, no. 1,
pp. 55–65, 2011.

10. A. Fogarasi, I. Tuxhorn, J. Janszky et al., “Age-dependent seizure semiology in


temporal lobe epilepsy,” Epilepsia, vol. 48, no. 9, pp. 1697–1702, 2007.

11. Harsono. Klasifikasi Bangkitan Epilepsi dan Penjelasannya dalam Epilepsi.


Edisi kedua. Gajah Mada University Press. 2007. Hal : 26-35

12. Moshe SL, Pedley TA: Overview: Diagnostik Evaluation in Epilepsi, A


Comprehensive Txtboo/editors Jerome Engel JR., Tomothy A. Pedley, 2nd ed,
vol 1, Lippincot Williams & Wilkins, 2008, pp : 783-784

13. National Institute of Clinical Excellence. The epilepsies: the diagnosis and
management of the epilepsies in adults and children in primary and secondary
care. Clinical guideline 20. London. October 2004

43

Anda mungkin juga menyukai