Anda di halaman 1dari 10

Nama : Asep Ginanjar Fadillah Al Rasyid

NIM : 14.A1.013

1.A. In life, we often question what things are reciprocal of what we do. In fact, if we can see

things from the positive side, then we can get the benefits for what we have done,

including the benefits of English.

English has an important role in communicating, in addition to the mother tongue (bahasa

or indonesian language) many foreign language interesting to learn, including English.

English is an international language that is very important to learn, relate to history,

because when we become a historian or teacher of history, will be a lot of theories that use

English and not a few historical sites that use English.

As historians who will conduct a research is certainly in need of important sources.

Important sources such as archives are certainly not all contained in the Indonesian

language. there are some sources that use english. then for that reason it can be seen that

English is very useful for use in historical heuristics.

B. Descriptive and narrative texts can be used in historical learning processes. In the narrative

history of historical knowledge is conveyed in the form of a story. It may be very

interesting as it is conveyed in the form of a novel or historical story in a newspaper article.

Much history is written in this way, again story telling. The narrative history can be further

identified in two types: traditional narrative and modern narrative history. Traditional

narrative historical approach focuses on sequences of events chronologically, historical

events that tend to be centered by individual figures, ideals and ideals. For example, history

teachers who teach traditional descriptive narrative type histories tend to be interested in
political "elitist" history. Take an example of a lesson in the history of Indonesia's national

evolution or often called the war of independence from 1945-1950. Usually more attention

is attributed to the revolution as a single thing (just about the occurrence of Jakarta-

centered revolutions) and reviews of the leading figures and their idealism. While the

events behind the "main screen" are under-scrutiny. In contrast, the modern narrative

narrative approach focuses on the structure and content of the general pattern. Historical

teachers working with this approach tend to ignore this rigid chronology. They are more

interested in explaining concepts rather than exposing the facts. Teachers of this type of

history can say that traditional narrative history is too busy with facts but forgets the

overall structure. In the words of Prof.Sartono Kartodirdjo, it is mentioned "too busy with

trees, but forget the forest". Historian JH Hexter and Christopher Hill, call the traditional

narrative type of narrative as a "narrator," a "facts collector" who wants to pick up all the

facts of the past and put them in boxes, then tie them into neatly arranged bundles. This

type of traditional narrative history has somewhat disparaging names like "common sense

history", "public history", "popular history", or in Braudelian terms called "histoire even

ementille", a building of historical knowledge which emphasizes more events on the

surface. In contrast to the modern descriptive-narrative historical approach working on the

foundation of a scientific theoretical framework. One commonly used model is to attempt

to describe historical events descriptively-chronologically, but not merely trace the facts.

C. To determine the criteria of good and true in an event of course based on the basis of

historical methodology. In the historical methodology there is source verification. source

verification aims to sort sources. a variety of historical sources, such as primary sources

and secondary sources which are then critiqued one by one.


2. Pendahuluan

Paham Pan-Islamisme muncul sebagai reaksi langsung terhadap pengaruh Barat


mengenai ide nasionalisme. Ide nasionalisme dianggap mampu memecah umat Islam yang pada
awalnya berada dalam satu kepemimpinan pemerintahan Islam. Pan-Islamisme ditopang oleh
adanya ide tentang umat berdasarkan ukhuwah islamiyyah, lembaga keilmuan dan pendidikan
yang terbuka, Mekah sebagai pusat pertemuan dan ibadah, serta adanya figur khalifah.

Solidaritas umat Islam ini ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan intelektual


dan religio-politis yang menyadarkan umat betapa pentingnya peranan solidaritas umat.
Ketegasan memperkuat identitas keislaman telah dibarengi dengan munculnya gerakan tarekat,
dan gerakan-gerakan pemurnian agama.

Paham Pan-Islamisme mulai diperjuangkan oleh Wahhabiyah di Arab, dan berpengaruh


ke dunia Islam hingga Indonesia. Gerakan ini berusaha untuk mem-bangkitkan Islam dari
kebekuan dan memperbaiki dekadensi moral. Kebangkitan itu kemudian berubah menjadi
gerakan anti-Barat ketika Barat mulai merebut wilayah-wilayah Islam.

Penguasaan Barat atas wilayah-wilayah Islam sebenarnya telah menyadarkan umat Islam
untuk mengusir mereka dari daerah tersebut. Namun kekuatan Islam yang tidak terorganisir
dengan baik membuat mereka gagal dalam melakukan perlawanan. Meski demikian tidak
menutup kemungkinan ada beberapa perlawanan Islam terhadap penjajah Barat yang
membuahkan hasil, misalnya yang terjadi di Afrika Utara melalui gerakan tarekat Sanusiyah
yang dipimpin oleh Sayid Muhammad bin Sanusi.

Pengaruh Barat terhadap Islam semakin besar terutama pada abad ke-19. Misalnya saja
tahun 1858 sultan Mughal disingkirkan, dan sebagian besar negeri-negeri muslim dikuasai oleh
Barat. Hal tersebut mendorong para pemimpin dan pembaharu dalam Islam berpikir bahwa Islam
harus bangkit dengan adanya solidaritas umat. Salah satu perkembangannya adalah yang terjadi
di Turki, dengan tokoh utamanya adalah Sultan Abdul Hamid II.

Munculnya Pan Islamisme

Pan-Islamisme sebenarnya adalah istilah yang dipopulerkan dan diperkenalkan oleh dunia
barat, sedangkan Jamaluddin sendiri lebih sering menginsyaratkannya dengan kata persatuan dan
kebangkitan. Mari kita sepakati saja dalam pembahasan kali ini, bahwa Pan-Islamisme adalah
satu gagasan atau bisa disebut dengan suatu semangat untuk meyatukan para kaum muslimin
atau perjanjian persahabatan di antara pemerintahan-pemerintahan Islam yang dipimpin oleh
pemerintahan yang paling besar dan paling kuat. Pan-Islamisme merupakan ramuan antara
perasaan religius, perasaan nasional, dan radikalisme Eropa dari diri Jamaluddin.

Pan-Islamisme tidak menawarkan atau bukanlah suatu konsep dalam benegara atau
bagaimana seharusnya dan seperti apa posisi agama Islam dalam negara, Pan-Islamisme
bukanlah suatu konsep kekhalifahan, karena pada saat menggagasnya, Jamaluddin pun berfikir
bahwa tidak mungkin seluruh negara Islam yang besar berada dalam satu penguasa saja dan jika
ide ini lebih diperdalam.

Gagasan ini muncul dengan pola pemikiran Jamaluddin yang pada saat itu sedang tinggal
di Mesir dan melihat kondisi Mesir yang amat miskin, gersang padahal tanahnya begitu kaya dan
subur. Kesulitan keuanganlah yang membuat Mesir semeronta-ronta itu dihadapan Jamaluddin.
Dalam kondisi perekonomian yang buruk itulah, mulai banyak masuknya campur tangan asing,

Berdasarkan lingkungan hidup saat itu di Mesir lah, Jamaluddin menjadi giat dan turun
untuk membangunkan kesadaran akan bangsa timur bahwa Barat telah mengeksploitasi
bangsanya sendiri dan bersama muridnya, Muhammad Abduh, giat melakukan syiar-syiar lewat
tulisan dan melakukan pendekatan kepada para petinggi negara.

Ia menginginkan rakyat disana bisa berbicara dan berjuang untuk mendapatkan haknya.
Berani berpendapat adalah hal yang ditekankan oleh Jamaluddin kepada rakyat, terutama para
kaum muda di Mesir. Mereka berdua mengajarkan bagaimana menulis dan meluncurkan
pendapatnya mengenai negara. Karena disana, tulisan menjadi jarang sebagai media untuk saling
memberitakan. Padahal para pujangga Mesir amatlah terkenal, tapi sastranya digunakan untuk
hanya memuji para penguasa yang sebenarnya hanya bisa menyengsarakan rakyatnya saja. Maka
dari itu, mereka berdua menerbitkan surat kabar bertajukkan at-Tijarah yang akhirnya juga
digunakan untuk menyuarakan keadaan timur yang sesungguhnya pada negara di timur lainnya
dan berhasil membakar semangat rakyat Mesir dengan munculnya pemberontakan-
pemberontakan.
Pan-Islamisme sendiri tidak pernah terjadi dan tidak terealisasikan dalam suatu bentuk
organisasi atau wadah apapun yang struktural untuk menjalankan misi-misinya, tetapi hanya
sebatas ide dan semangatnya lah yang berhasil disebarluaskan oleh Jamaluddin dan muridnya,
Muhammad Abduh. Cita-cita sesungguhnya dari Jamaluddin mengenai pan-islamisme adalah
terciptanya satu pemerintahan Islam yang dipimpin oleh pemimpin Islam beserta ajaran-
ajarannya. Ia membayangkan sebuah liga internasional berisikan umat Islam. Tapi Jamaluddin
juga tidak sepenuhnya berambisi membuat pemerintahan/bentuk tersebut, karena ia juga takut
menimbulkan hubungan yang renggang dengan dunia barat sendiri dan dengan pemeluk agama
lain.

Tulisan-tulisannya yang panas dan begitu menentang penjajahan, rasa benci terhadap
asing agaknya memupuk pemikiran dan semangat para kaum muda karena membahasa persatuan
(lagi-lagi persatuan dunia Islam atau dunia timur tengah), lalu masalah di Sudan, Mesir, dan
India dibahas dengan pandangan politik Internasional yang berisi penggerakan jiwa cinta tangan
air yang terhina dengan keadaan mereka dijajah Barat

Saat di Istanbul, Jamaluddin sempat akan mendirikan Jamiyah Islamiyah (Pan-Islamisme)


dengan bantuan Sultan Abdul Hamid yang menghimpun negara-negara Persia, Afghanistan, dan
Turki dengan wilayah-wilayah lainnya yang berada dibawahnya, seperti yang telah dibahas
sebelumnya, dengan cara suatu perjanjian dan persatuan untuk membenahi pemerintahan dan
pendidikan. Ia juga menginginkan Iran masuk arena Iran adalah syiah dan menggunaka
tradisinya untuk memerangi musuh bersama , yang intinya gerakan ini dapat membendung
serangan dan mencegah infiltrasi dari bangsa barat (Eropa) pada masalah umat-umat Islam.

Jika dapat dirangkum, ada dua pemikiran dari Jamaluddin mengenai pembaruan yang
menjadi cikal bakal lahirnya semangat Pan-Islamisme. Pertama, menyebarkan jiwa kebangkitan
di dunia Timur dalam banyak bidang seperti kebudayaan dan pendidikan, menjernihkan agama,
akidah dan ahlak untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan bangsa Timur dan kedua,
melawan pendudukan kekuatan asing dan dunia Timur bisa membangun suatu hubungan dan
bersama-sama saling melindungi diri dari bahaya yang mengancam mereka sesama umat Islam.

Islam baginya adalah satu unit kebudayaan yang kaya, satu umat besar yang telah
membiarkan dirinya merosot dan kini terancam dari segala arah oleh kaum kafir yang maju
dengan pola pemikirannya yang rasional, dan memiliki keyakinan untuk membuka pemikiran
yang tradisional menjadi keterbukaan pikiran, intelektual dan spiritual (black, 2001:545). Seruan
lebih ditujukan kepada kelompok muslim sebagai imperiun, yaitu muslim Arab yang dianggap
sebagai kelompol muslim yang paling mampu, karena penyebaran bahasa mereka di seluruh
ummah, untuk mendapatkan dukungan dari sultan-khalifah di Asia dan Afrika (Hourani, 2004:
173).

Jamaluddin juga memandang semangat Pan-Islamisme ini bukan sebagai agama,


melainkan sebagai sebuah peradaban dan membangun kembali negara-negara Islam yang
mengalami kemerosotan karena kapabilitas para pemimpinnya yang tanpa pertimbangan dari
banyak aspek, seperti ras, agama, maupun keturunan untuk masuk untuk mencampurkan
tangannya pada urusan negara, dan menyadarkan para pemimpin untuk melepaskan diri dari
cengkraman penjajahan tersebut.

Pemikirannya dan semangat Pan-Islamisme inilah yang kelak menjadi jiwa


fundamentalisme. Setelah ia wafat, semangatnya yang dibawa oleh murid-muridnya terus
berkembang. Idenya adalah pemuncak para kaum modernis dan fondasi kaum fundamentalis di
abad-abad berikutnya dengan lingkup pengaruh Islamisme yang menjangkau seluruh spektrum
berbagai kelompok aktivis dan menjadi konsep-konsep tindakan mereka(Oliver, 1996: 2)

Pengaruh Pan Islamisme

Jamaluddin Al Afghani bagi kelompok kami adalah seorang “ibu” bagi lahirnya
pemikiran modernisme islam di mesir pada abad 19. Pemikiran modernnya terlihat pada
upayanya mendobrak segala bentuk dogmatisme dan kejumudan islam. Sikap taklid kepada para
ulama yang ditampilkan sebagian umat islam pada masa itu berusaha ia lawan. Seperti dikatakan
Keddie bahwa Jamaluddin Al Afghani setidaknya bersama murid-muridnya yang paling dekat
cenderung untuk membawa umat melangkah dari keyakinan tradisional menuju keterbukaan
pikiran dan rasionalisme yang mempunyai asal usul yang jelas (Black: 2001:546). Pemikiran
yang terbuka dan rasionalisme diperlukan bagi umat islam untuk mendobrak pintu besar
ketertutupan pemikiran atau dalam bahasa lain pintu ijtihad telah ditutup. Dogmatisme yang
sudah mengakar dalam darah umat islam perlu di sterilisasi. Rituali-ritual mistis keagamaan yang
tidak berkesesuaian dengan islam perlu diberantas. Ketertutupan pemikiran menyebabkan umat
islam oleh bangsa barat dianggap memilki keterbelakangan intelektual. Penggunaan nalar dalam
menginterpretasikan wahyu-wahyu Allah sangatlah diperlukan.

Dilihat dari segi pemikiran sebenarnya Jamaluddin Al Afghani dapat dikategorikan


sebagai seorang modernis tetapi sekaligus fundamentalis. Sisi modernis Al Afghani dapat
diketahui melalui buah-buah pemikiran yang mengedepankan pemikiran yang terbuka dan
menggunakan rasionalisme dalam menghadapi dogmatisme dan kejumudan agama. Namun pada
sisi lain, pemikiran Jamaluddin Al Afghani dikategorikan fundamentalis yang seperti dikatakan
Anthony Black karena sikap konfrontatifnya terhadap bangsa-bangsa barat, Ia adalah pemuncak
kaum modernis sekaligus fondasi bagi fundamentalis (Black, 2001: 550). Oleh Beverley Milton-
Edwards, fundamentalisme Al Afghani terlihat pada thesisnya dengan mengatakan bahwa
cakupan islam tentang modernitas tidak berarti menyiratkan penerimaan besar-besaran terhadap
norma dan prinsip sekularisme dan dalam agenda politiknya akan membangkitkan dan memugar
kembali persatuan umat islam ( Pan-Islamisme) sebagai kendaraan terhadap anti imperialisme
dan liberalisasi (Milton-Edwards, 2005: 22). Sikap konfrontatif dengan Barat inilah yang
mengkategorikan dia sebagai peletak dasar fundamentalisme.

Pengaruh embrio dari pemikiran Jamaluddin Al Afghani mengenai konsep Pan Islamisme
ternyata banyak melahirkan ataupun menginspirasi gerakan-gerakan fundamentalisme islam.
Sebuah gerakan keagamaan dan politik yang mengatasnamakan “islam”. Namun sebenarnya
wajah islam sendiri warna-warni. Sebuah kerahmatan karena perbedaan. Oleh mereka, wajah
islam sekuat mungkin ataupun dengan jalan kekerasan perlu diseragamkan menjadi satu wajah
tunggal. Lalu ada beberapa karakteristik dari kaum fundamentalis yang diantaranya :

1. Penafsiran yang bersifat represif atas gagasan Tuhan. Mereka menolak kemungkinan
“demokratisasi” interpretasi teks-teks Tuhan tetapi menganjurkan penafsirasn absolutis.

2. Penyatuan antara agama dan negara. Perwujudan konsep ini adalah pemerintahan teokrasi.

3. Penolakan atas dominasi simbol-simbol modern dan barat.

4. Penafsiran yang besrifat literal-skriptual serta menolak historisisme-rasionalisme.


5. Pan Islamisme. Manifestasi lain dari gagasan untuk menghidupkan kembali konsep
pemerintahan Pan Islamisme di mana pemeluk islam didefinisikan dalam satu kesatuan ummah.
Angan-angan ke arah satu kekhalifahan islam merupakan perwujudan dari ide-ide ini.

Pergerakan Pan Islamisme di Indonesia

Dalam perkembangannya, paham Pan Islamisme juga muncul dan berkembang di


Indonesia. Hal ini diilhami dari peran para tokoh reaksioner yang turut membawa serta
mengembangkan paham tersebut di Indonesia. Salah satu partai yang berperan penting dalam
pergerakan Pan Islamisme ini adalah Sarekat Islam. Malah boleh dikata bahwa maju mundurnya
posisi umat Islam di Indonesia ditentukan oleh maju mundurnya Sarekat Islam. Hal ini
dimungkinkan karena organisasi ini pada perkembangannya dianggap sebagai satu-satunya
“partai politik” bagi orang Islam dari semua golongan, mengingat dari sekian jumlah organisasi
Islam hanya berbasis pada bidang sosial dan pendidikan.

Dalam kajian pembahasan Pan Islamisme di Indonesia, dirasa kurang apabila kita tidak
menganalisis gagasan dari Tjokroaminoto. Menurut Tjokroaminoto kebebasan Islam ini
mencakup kebebasan umat seluas-luasnya terkait dengan politik, dan ekonomi. Kemerdekaan ini
mencakup tiga hal, yaitu kemerdekaan, persamaan, dan kebebasan. Menurut Tjokroaminoto,
Islam telah menggariskan persaudaraan yang benar-benar harus dilakukan diantara umat Islam di
negara manapun juga tanpa memandang suku bangsa, ras dan kelas ekonomi. Ia menyatakan
bahwa persaudaraan dalam Islam dapat melenyapkan permusuhan dan melahirkan persahabatan.
Sejarah dan ajaran Islam sering melukiskan bahwa orang asing sekalipun bisa menjadi sahabat
karib yang dapat melebihi ikatan perhubungan saudara yang berasal dari satu daerah dan satu
silsilah.

Gerakan Pan Islamisme yang muncul diIndonesia secara massal terjadi pada tahun 1924.
Sebagai respon atas undangan Ulama Mesir yang akan melaksanakan Kongres Islam Sedunia,
kaum pergarakan Islam Indonesia mengadakan sebuah pertemuan khusus di kota Surabaya pada
tanggal 4-5 Oktober 1924. Lalu Pada tanggal 6-7 Februari 1926 di Bandung diadakan Kongres
Luar Bias bahwa a Al-Islam. Hindia Baroe edisi 12 Februari 1926 menyatakan bahwa utusan
perserikatan Islam yang hadir berjumlah 234 dari keseluruhan suara yang berjumlah 255
organisasi; 21 organisasi dengan pengiriman kawat telegram yang berasal dari Jawa, Borneo
(Kalimantan) dan Selebes (Sulawesi). Dari beberapa kali kongres tersebut dapatlah diketahui
bahwa pergerakan Islam di Indonesia tidaklah hanya terbatas pada ruang lingkup Indonesia
sendiri, namun juga sampai merambah ke mancanegara (dalam hal ini kawasan Timur Tengah).

Sehingga pergerakan umat Islam atau munculnya paham Pan Islamisme di Indonesia
dilatarbelakangi oleh adanya hubungan antara Indonesia dengan Timur Tengah. Hubungan yang
pada mulanya adalah hubungan terkait dengan pelaksanaan ibadah Haji tersebut, berkembang
menjadi hubungan untuk saling berbagi pengetahuan. Para jama’ah haji yang berada di kota
Mekkah, kemudian memutuskan untuk menetap di kota suci guna memperdalam ilmu-ilmu
agama Islam. Di kota suci, para penuntut ilmu dan para ulama asal Indonesia berinteraksi dengan
komunitas internasional dunia Islam, yang berpengaruh pada lahirnya rasa kebersamaan,
persaudaraan, dan persatuan antar sesama muslim. Perasaan-perasaan ini semakin menguat
ketika Kesultanan Turki Utsmani mengembangkan pergerakan Pan- Islamismenya di Hindia
Belanda.

Sehingga dalam perkembangnya paham Pan Islamisme yang terdapat di Indonesia,


dikembangkan menjadi organisasi politik yang turut berjuang dalam merebut kemerdekaan,
melalui jalan-jalan Islam. Hal ini merupakan salah satu usaha pergerakan nasional yang
dilakukan oleh umat Islam dalam usahanya mengusir penjajah. Sebagai contoh Sarekat Islam
sebagai partai pertama yang menganut paham Pan Islamisme, yang juga mempengaruhi maju
mundurnya umat Islam pada waktu itu.

Kesimpulan

Pan-Islamisme sebenarnya adalah istilah yang dipopulerkan dan diperkenalkan oleh dunia
barat, sedangkan Jamaluddin sendiri lebih sering menginsyaratkannya dengan kata persatuan dan
kebangkitan. Gagasan ini muncul dengan pola pemikiran Jamaluddin yang pada saat itu sedang
tinggal di Mesir dan melihat kondisi Mesir yang amat miskin. Pan-Islamisme sendiri tidak
pernah terjadi dan tidak terealisasikan dalam suatu bentuk organisasi atau wadah apapun yang
struktural untuk menjalankan misi-misinya, tetapi hanya sebatas ide dan semangatnya lah yang
berhasil disebarluaskan oleh Jamaluddin dan muridnya, Muhammad Abduh.
Jamaluddin Al Afghani bagi kelompok kami adalah seorang “ibu” bagi lahirnya
pemikiran modernisme islam di mesir pada abad 19. Dilihat dari segi pemikiran sebenarnya
Jamaluddin Al Afghani dapat dikategorikan sebagai seorang modernis tetapi sekaligus
fundamentalis. Sisi modernis Al Afghani dapat diketahui melalui buah-buah pemikiran yang
mengedepankan pemikiran yang terbuka dan menggunakan rasionalisme dalam menghadapi
dogmatisme dan kejumudan agama.

Perkembangan Pan Islamisme di Indonesia tidak terlepas dari peran para tokoh reaksioner
yang mengenalkan paham tersebut. Munculnya paham ini juga dipengaruhi oleh para peserta haji
yang kemudian menetap di kota Mekkah guna menuntut ilmu. Dari keinginan menuntut ilmu ini,
para ulama asal Indonesia dapat berhubungan dengan dunia Internasional Islam, serta
berkembanglah rasa persaudaraan dan persatuan antar sesama muslim. Perasaan-perasaan ini
kemudian menguat setelah Kesultanan Turki Utsmani mengembangkan pergerakan Pan-
Islamismenya di Hindia Belanda.

Anda mungkin juga menyukai