Anda di halaman 1dari 16

Penelitian Tindakan Kelas: Sebuah

Pengantar
Parlindungan Pardede

Universitas Kristen Indonesia

parlpard2010@gmail.com

Abstrak

Although Action research is a relatively new method in the field of education,it soon
becomes very popular among educators due to its realistic nature, practicality,and problem-
solving orientation. More and more teachers around the world are nowusing it to to
investigate and fix the problems taking place in their classrooms. Thispaper discusses basic
concepts concerning action research. After introducing somedefinitions, characteristics and
benefits of action research in the beginning section,discussion proceeds with the principles,
processes, phases, data collecting, andtriangulation in action research. At the end, some
conclusions are drawn.
Kata Kunci: PTK, siklus, tindakan, observasi, refleksi
Pendahuluan

Penelitian tindakan kelas (selanjutnya disingkat PTK) merupakan hasil perkembangan


action research (AR) yang maju pesat dengan dukungan berbagai universitas di Amerika
Serikat sejak tiga dekade lalu. AR pada awalnya merupakan metode penelitian yang banyak
dipakai para praktisi yang bergelut dengan masalah nyata di masyarakat (seperti bidang
kesehatan, manajemen, dan sumber daya manusia). Keberhasilan AR dalam berbagai bidang
tersebut kemudian mendorong peneliti, praktisi, dan pihak-pihak lain di sektor pendidikan
untuk menerapkannya di bidang pendidikan, dengan asumsi bahwa jika metode penelitian itu
berhasil di berbagai sektor dunia nyata, pastilah metode itu cocok juga untuk sektor
pendidikan, sebagai salah satu bagian dunia nyata. AR yang khusus diterapkan untuk
memperbaiki praktik pembelajaran di kelas inilah yang kemudian dikenal sebagai PTK.

Meskipun metode penelitian ini tergolong baru, PTK langsung populer. Sifatnya yang
sangat praktis dan realistis memungkinkan guru menggunakannya untuk meneliti dan
memperbaiki masalah-masalah menarik yang terjadi di kelas atau sekolah masing-masing.
Berbagai hasil penelitian (seperti Mills, 2003; Johnson, 2005; dan Tomal, 2005)
menunjukkan PTK adalah sebuah upaya yang prospektif dan efektif untuk mengembangkan
profesionalisme guru, karena dengan metode ini guru dapat menguji penerapan sebuah
strategi pembelajaran baru, menilai suatu kurikulum baru, atau mengevaluasi metode
pengajaran yang ada. Hasil-hasil penelitian lain (Ferrance, 2000) menunjukkan keterlibatan
pendidik dalam PTK mendorong mereka kearah perubahan positif, yang dibuktikan dengan
perbaikan dalam teknik mengajar, refleksi diri, dan pembelajaran menyeluruh yang
meningkatkan praktik pembelajaran di kelas.

Makalah ini adalah hasil studi kepustakaan yang ditujukan untuk memperkenalkan atau
menyegarkan kembali ingatan pembaca mengenai hakikat PTK. Pembahasan diawali dengan,
uraian tentang pengertian dan karakteristik PTK. Pada bagian selanjutnya dijelaskan sejarah,
manfaat, jenis, prinsip-prinsip, proses, langkah-langkah, penjaringan data, validasi dan
reliabilitas data PTK. Pada bagian akhir disajikan argument tentang status PTK sebagai
metode penelitian, yang kemudian diakhiri dengan beberapa simpulan.

Pengertian PTK

Istilah PTK berasal dari bahasa Inggris Classroom Action Research—sebuah


pengkajian yang dilakukan oleh guru untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah
yang berhubungan dengan pembelajaran di kelas atau sekolah. Dalam pengertian yang luas,
McMillan dan Schumacher (2006: 15) menyatakan PTK adalah metode pegkajian yang
dilakukan praktisi untuk meneliti masalah-masalah atau isu-isu yang sedang berkembang.
Sedangkan Hopkins (dalam Gabel, 1995) membatasi PTK sebagai sebuah proses penelitian
yang didisain untuk memberdayakan seluruh partisipan dalam suatu proses pembelajaran
(siswa, guru, dan pihak-pihak lain), untuk memperbaiki praktik pembelajaran. Seluruh
partisipan sama-sama berperan aktif dalam proses penelitian tersebut.

Senada dengan beberapa definisi di atas, Gwyn (2002) mengatakan PTK merupakan
metode penelitian yang dilakukan pendidik untuk menemukan apa yang terbaik bagi
pembelajaran dalam sebuah kelas agar pembelajaran di kelas itu memberikan hasil terbaik.
Sedangkan Creswell (2008: 597) menegaskan bahwa PTK adalah sebuah prosedur sistematis
yang digunakan guru (atau individu lain dalam konteks pendidikan) untuk menjaring data
kuantitatif dan kualitatif dalam rangka memperbaiki komponen-komponen pendidikan,
seperti teknik pengajaran guru atau proses pembelajaran siswa. Beberapa PTK bahkan
diupayakan khusus untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam sebuah kelas, seperti
persoalan disiplin maupun performa siswa.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa PTK merupakan
sebuah metode penelitian berbentuk tindakan yang dilakukan oleh praktisi pendidikan secara
kolaboratif dan diarahkan untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah yang
berhubungan dengan pembelajaran di sekolah atau kelas spesifik, bukan untuk menghasilkan
teori-teori pendidikan yang baru atau menguji teori yang ada, sebagaimana lazimnya
penelitian konvensional.

Orientasi PTK pada penerapan tindakan yang diarahkan untuk meningkatkan mutu atau
memecahkan masalah di sekolah atau kelas secara langsung membuat metode penelitian yang
relatif masih baru ini segera menjadi trend di kalangan pendidik. Diakui bahwa pengalaman
dan hasil-hasil penelitian di bidang pendidikan selama ini memang telah memberikan
pengetahuan yang cukup banyak tentang metode pengajaran yang efektif (McKeachie, 1999;
Weimer, 1996). Namun, karena setiap pengajaran memiliki keunikan tersendiri dalam hal isi,
kemampuan pelajar, gaya belajar siswa, kompetensi dan gaya mengajar guru maupun faktor
faktor lain, setiap guru harus menemukan apa yang terbaik bagi siswa di kelas yang
diasuhnya. Dengan demikian, dia tidak hanya berperan memfasilitasi, tetapi juga
memaksimalkan, pembelajaran di kelasnya.

Istilah kelas dalam PTK tidak terbatas hanya pada sekelompok peserta didik (siswa)
yang sedang belajar di dalam ruangan tertutup saja, tetapi dapat juga pada siswa yang sedang
melakukan praktik di laboratorium, bengkel, rumah, atau atau sedang berkaryawisata, atau
ketika pelajar sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Sehubungan dengan itu,
komponen dalam suatu kelas yang dapat dikaji melalui PTK adalah pelajar, guru, materi
pelajaran, sarana pembelajaran, dan pengelolaan kelas. Komponen siswa dapat dicermati
ketika yang bersangkutan sedang mengikuti proses pembelajaran di kelas, lapangan,
laboratorium atau bengkel; ketika sedang mengerjakan tugas di rumah; atau ketika sedang
kerja bakti di halaman sekolah. Komponen guru dapat dicermati ketika yang bersangkutan
sedang mengajar di kelas, sedang membimbing siswa pada karya-wisata, atau ketika sedang
mengawasi siswa melakukan praktik di laboratorium. Komponen materi pelajaran, dapat
dicermati ketika guru sedang mengajarkannya atau sebagai bahan yang ditugaskan kepada
pelajar. Sarana pembelajaran dapat dicermati ketika guru sedang menggunakannya dalam
proses mengajar atau ketika siswa sedang menggunakannya dalam proses belajar. Sebagai
produk pembelajaran, hasil dapat diamati dalam bentuk perubahan kompetensi, sikap, atau
kemahiran pelajar. Komponen pengelolaan dapat diamati dalam bentuk teknik
pengelompokan pelajar, pengaturan tempat duduk, teknik berdiskusi, cara guru memberikan
tugas, maupun penataan sarana pembelajaran.

Karakteristik PTK

Menurut Nunan (1992), kombinasi dari berbagai definisi PTK yang ada pada
hakikatnya memunculkan tiga karakteristik utama: (1) dilakukan oleh praktisi (guru kelas);
(2) bersifat kolaboratif; dan (3) ditujukan untuk mengubah sesuatu. Secara lebih terperinci,
Creswell (2008: 605-609) menjelaskan enam karakteristik. (1) PTK terfokus pada tujuan
praktis, dalam pengertian diarahkan untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah aktual
yang spesifik. Dengan demikian, PTK digunakan peneliti untuk memperoleh manfaat
langsung bagi dirinya dan pihak lain yang terlibat dalam penelitian tersebut. (2) PTK
merupakan penelitian yang reflektif-mandiri (self-reflektive) atau kolaboratif. Dalam konteks
ini, peneliti (atau kelompok peneliti) mengkaji praktik yang dia/mereka lakukan—bukan
praktik orang lain—untuk melihat apa yang harus dilakukan dalam rangka memperbaiki
praktik tersebut. (3) PTK bersifat kolaboratif karena dilaksanakan oleh individu dengan
bantuan orang lain (minimal sebagai observer) atau oleh sekelompok kolega, praktisi (guru)
atau peneliti. (4) PTK merupakan sebuah proses yang dinamis dan fleksibel yang melibatkan
pengulangan-pengulangan aktivitas (sehingga membentuk pola spiral) yang maju-mundur
diantara refleksi, penjaringan data, dan tindakan. (5) PTK merupakan suatu rencana tindakan.
Meskipun merupakan proses yg dinamis dan fleksibel, sebagai sebuah metode penelitian,
PTK harus dirancang secara sistematis yang memenuhi pola umum prosedur PTK (lihat
Langkah-Langkah Pelaksanaan PTK pada bagian berikut). (6) PTK merupakan penelitian
kebersamaan (sharing research). Berbeda dengan hasil penelitian tradisional yang biasanya
langsung dipublikasikan dalam jurnal atau buku, peneliti PTK biasanya mendistribusikan
laporan penelitiannya kepada teman sejawat yang mungkin dapat memakai temuan tersebut.
Meskipun saat ini laporan PTK juga sudah dipublikasikan melalui jurnal, biasanya para
peneliti PTK lebih cenderung untuk membagikan informasi tersebut dengan berbagai rekan
sejawat untuk dipraktikkan atau dikaji ulang di sekolah/kelas masing-masing.

Sejarah Ringkas Perkembangan PTK


Untuk memperoleh pemahaman lebih yang komprehensif terhadap PTK, latar belakang
dan perkembangan metode penelitian ini perlu diketahui. Menurut Mills (dalam Creswell,
2008: 597) istilah AR dicetuskan oleh Kurt Lewin (seorang ahli psikologi sosial) Amerika
Serikat (AS) pada tahun 1930-an. Dia merasa bahwa kondisi sosial pada tahun 1940an di
AS—seperti kurangnya daging dan perbaikan hubungan intercultural antar kelompok-
kelompok masyarakat—dapat ditingkatkan melalui proses diskusi kelompok yang dilakukan
dalam empat tahapan: perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Metode diskusi yang
melibatkan proses bertahap, partisipasi semua pihak, dan keterlibatan yang demokratis
tersebut terbukti efektif menghasilkan perubahan sosial. Metode ini kemudian diadopsi untuk
meneliti isu-isu pendidikan. Itulah sebabnya mengapa karya Kurt Lewin tersebut sering
dijadikan sebagai tonggak sejarah perkembangan PTK menjadi sebuah metodologi penelitian
(Koshy, 2005: 2-3).

Penyebaran PTK mengalami penurunan sejak pertengahan hingga akhir 1950-an karena
meningkatnya kecenderungan untuk menekankan penelitian eksperimen dan sistematis
selama periode itu. Namun pada akhir tahun 1960-an para filsuf pendidikan mendorong
pelaksanaan penelitian naturalistic inqiry atau constructivisme karena, menurut mereka,
penelitian kuantitatif terlalu condong pada pandangan peneliti, sehingga sudut pandang
partisipan cenderung diabaikan. (Creswell, 2008: 49-50). Akibatnya, pada tahun 1970-an
PTK (sebagai salah satu bentuk naturalistic inqiry) kembali berkembang di AS, Inggris, dan
Australia. Di AS, perkembangan PTK ditandai oleh perubahan pelaksanaannya dari program
in-service training di kampus-kampus pada tahun 1970-an menjadi metode pengembangan
profesionalisme guru yang dilaksanakan secara langsung di sekolah atau kelas (site-based-
development) pada tahun 1980-an dan menjadi metode refleksi para guru pada saat ini
(Creswell, 2008: 598). Menurut Hopkins (dalam Koshy, 2005: 2), perkembangan PTK di
Inggris dapat ditelusuri pada Schools Council’s Humanities Curriculum Project (1967–72)
yang menekankan implementasi kurikulum eksperimental dan rekonseptualisasi
pengembangan kurikulum. Untuk merealisasikan proyek ini, Elliot and Adelman (1976)
menggunakan PTK dalam proyek penelitian praktik pembelajaran. Sedangkan di Australia,
Stephen Kemmis and Robert McTaggart memelopori gerakan penelitian partisipatori di
Deakin University.

Manfaat PTK
Seperti terungkap melalui paparan sebelumnya, PTK merupakan pendekatan sistematis
bagi pemecahan masalah-masalah faktual yang dihadapi Guru, bukan sekedar upaya trial and
error. Ketika melaksanakan PTK, guru tidak perlu meninggalkan tugas utamanya—
mengajar—karena penelitian itu justru meneliti proses pembelajaran yang sedang
dilakukannya. Berdasarkan kondisi ini, pelaksanaan PTK dapat memberikan keuntungan-
keuntungan berikut: (1) dapat segera dilaksanakan pada saat muncul kebutuhan, (2)
dilaksanakan dengan tujuan perbaikan, (3) berbiaya relatif murah, (4) disain lentur/fleksibel,
(5) analisis data seketika, dan (6) hasilnya langsung dinikmati atau dilaksanakan.

Jenis-Jenis PTK

Berdasarkan tinjauan yang dilakukannya atas karya-karya utama tentang PTK, Mills
(dalam Creswell, 2008: 599) membagi PTK ke dalam dua jenis utama: practical action
research (PAR) dan collaborative action research (CAR). Perbedaan diantara keduanya
cenderung hanya pada tujuan dan ruang lingkup obyek penelitian. Tujuan PAR adalah untuk
mengkaji suatu masalah spesifik yang muncul di sebuah sekolah atau kelas dalam rangka
memperbaiki praktik pendidikan. Untuk mencapai tujuan ini, proyek penelitian harus
berskala kecil, terfokus pada sebuah masalah atau isu yang spesifik, dan dilaksanakan oleh
seorang atau sebuah tim guru di satu sekolah atau beberapa sekolah yang berdekatan. Contoh-
contoh isu yang diteliti dengan PAR, misalnya: (1) sekelompok dosen meneliti
perkembangan kemahiran mereka menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam
pembelajaran; (2) seorang guru mencoba meningkatkan kemampuan murid-murid kelas VI
yang diajarinya untuk memahami penggunaan noun phrase dengan menggunakan komik
berbahasa Inggris sebagai media pembelajaran; (3) sebuah kelompok di sebuah SMA (terdiri
dari beberapa guru, 20 siswa, dan seluruh orangtua ke duapuluh siswa tersebut) meneliti hasil
penerapan sebuah metode pengajaran matematika yang baru; (4) seorang guru SD meneliti
mengapa salah satu murid di kelasnya selalu mengganggu murid-murid lainnya.

Berbeda dengan PAR yang terfokus pada upaya peningkatan praktik pendidikan, CAR,
yang juga sering dinamai community-based inquiry atau collaborative action research,
berorientasi pada pemberdayaan atau perubahan dalam masyarakat atau kehidupan sosial.
Tujuan CAR adalah meningkatkan kualitas kehidupan organisasi, komunitas, dan keluarga
dengan cara memberdayakan setiap individu untuk memeriksa bagaimana pemahaman,
kemahiran, keyakinan, dan pengetahuannya membentuk dan sekaligus membatasi tindakan-
tindakannya.

Paparan di atas memperlihatkan bahwa obyek kajian CAR jauh lebih luas daripada PAR
yang terfokus pada sebuah masalah yang spesifik di sekolah. CAR lazim digunakan dalam
penelitian sosial yang mencakup industri, perusahaan, dan organisasi di luar bidang
pendidikan. Meskipun demikian, CAR juga biasa diterapkan di dunia pendidikan dengan
tujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kualitas setiap individu di sekolah-sekolah,
sistem pendidikan, dan komunitas-komunitas pendidikan. Contoh-contoh isu yang diteliti
dengan CAR, misalnya: (1) dampak sosial, ekonomi, dan politis pelaksanaan Ujian Nasional
di Indonesia; (2) pengaruh penerapan model interaksi yang membungkam suara siswa-siswa
minoritas; (3) penghilangan tokoh-tokoh dan peristiwa penting dalam teks sejarah yang
digunakan di SMA.

Prinsip-prinsip PTK

Agar memperoleh informasi atau kejelasan tetapi tidak menyalahi kaidah yang
ditentukan, peneliti perlu memahami dan memenuhi tujuh prinsip berikut apabila sedang
melakukan penelitian tindakan kelas (Sulipan, n.a.).

Pertama, PTK dilakukan tanpa mengubah situasi yang biasa terjadi. Jika penelitian
dilakukan dalam situasi yang berbeda dari biasanya, maka hasilnya mungkin berbeda jika
dilaksanakan lagi dalam situasi aslinya. Oleh karena itu penelitian tindakan tidak perlu
mengadakan waktu khusus untuk diamati, jadi harus dibiarkan apa adanya namun yang
berbeda adalah adanya tindakan untuk meningkatkan mutu pembelajaran.

Kedua, PTK yang dilakukan berkaitan dengan tugas peneliti sebagai guru atau kepala
sekolah. Jadi tindakan yang dilakukan merupakan tindakan nyata yang dilakukan dalam
tugasnya sehari-hari dan secara empirik memang terjadi di lapangan.
Ketiga, PTK merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan mutu sesuatu yang sudah
ada dan biasa menjadi lebih baik; atau merupakan sebuah upaya untuk memecahkan masalah
yang terjadi di kelas atau di sekolahnya.

Keempat, PTK dilakukan bukan karena ada paksaan atau permintaan dari pihak lain,
tetapi atas dasar sukarela, karena mengharapkan hasil yang lebih baik.

Kelima, PTK dilakukan secara sistemik (terencana, terarah, dan teratur berdasarkan
sebuah mekanisme tertentu). Jadi, jika peneliti mengupayakan cara mengajar yang baru, dia
juga harus memikirkan tentang langkah-langkahnya, bahan ajarnya, sarana pendukung dan
hal-hal yang terkait dengan cara baru tersebut. Jika kepala sekolah akan melakukan upaya
manajemen yang baru maka harus dipersiapkan prosedurnya, kebijakan pendukungnya serta
sosialisasi implementasinya.

Keenam, PTK harus dapat menunjukkan bahwa tindakan yang diberikan kepada siswa
memang berbeda dari yang sudah biasa dilakukan. karena yang biasa sudah jelas
menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Oleh karena itu guru melakukan tindakan yang
diperkirakan dapat memberikan hasil yang lebih baik.

Ketujuh, PTK berpusat pada proses, bukan hanya pada hasil. PTK merupakan kegiatan
yang dilakukan oleh guru atau peneliti untuk memperbaiki atau meningkatkan hasil dengan
mengubah cara, metode, pendekatan atau strategi yang berbeda dari biasanya. Cara, metode,
pendekatan atau strategi tersebut adalah proses yang harus diamati secara cermat, dilihat
kelancarannya, kesesuaian/penyimpangannya dari rencana, kesulitan atau hambatan yang
dijumpai, sejauh mana proses ini sudah memenuhi harapan, dan bagaimana kaitannya dengan
hasil setelah satu atau dua siklus. Jadi, dalam PTK harus ada indikator proses dan indikator
keberhasilan.

Proses PTK

PTK merupakan suatu proses dinamis yang berlangsung dalam satu atau lebih siklus,
dan masing-masing siklus terdiri dari empat momen (fase) dalam spiral perencanaan,
tindakan (action), observasi, dan refleksi yang oleh Kemmis dan McTaggart (1988)
diilustrasikan dalam model PTK spiral (lihat gambar 1). Jumlah siklus dalam satu penelitian
tergantung pada kebutuhan. Siklus pertama bisa diulangi menjadi siklus kedua, yang
kemudian diulangi lagi menjadi siklus ketiga dan selanjutnya hingga peneliti menganggap
hasil yang ada sudah memuaskan dan saatnya untuk menghentikan penelitian. (Disarankan
agar satu PTK dilaksanakan minimal dalam dua siklus, karena hasil refleksi siklus pertama,
sedikit atau banyak, akan memberikan manfaat kepada tindakan di siklus kedua.

Gambar 1: Model Spiral PTK Kemmis dan Taggart

Dalam praktik, Kemmis dan McTaggart menyatakan model ini tidak boleh digunakan secara
kaku, karena dalam kenyataan proses rencana—tindakan—observasi—refleksi tersebut tidak
berlangsung serapi model spiral tersebut. Fase-fase itu biasanya berlangsung tumpang tindih.

1. Perencanaan
Pada fase ini peneliti mengidentifikasi suatu masalah atau isu dan mengembangkan
suatu rencana tindakan untuk memperoleh solusi atau perbaikan bagi masalah tersebut.
Masalah yang akan diteliti hendaklah berhubungan dengan praktik pengajaran yang
berlangsung atau akan dilaksanakan dan ingin diubah oleh peneliti. Isu yang tidak akan
diterapkan untuk perbaikan praktik pembelajaran idak ada manfaatnya untuk diteliti.
Selain itu, masalah tersebut harus berada dibawah kendali peneliti, seperti strategi
pembelajaran, pemberian tugas, dan aktivitas kelas. Beberapa masalah yang sesuai untuk
diteliti adalah: “Apakah kebijakan yang mewajibkan mahasiswa hadir pada setiap
perkuliahan meningkatkan hasil pencapaian belajar? Apakah pemberian tugas dalam
bentuk yang variatif meningkatkan pemahaman siswa?
Pada fase perencanaan ini peneliti perlu memperkaya pengetahuannya tentang
masalah yang akan diteliti dengan cara mempelajari informasi yang relevan melalui studi
kepustakaan. Dia juga harus mempertimbangkan: (i) strategi penelitian apa yang sesuai
digunakan memecahkan masalah tersebut; dan (ii) perbaikan yang bagaimana yang
diperkirakan mungkin dicapai.

2. Tindakan
Fase tindakan merupakan tahapan pelaksanaan tindakan-tindakan (intervensi) yang
telah direncanakan. Pada fase ini peneliti peneliti sudah harus benar-benar menguasai
skenario pengajaran sebelum menerapkannya. Fokus perhatian peneliti pada fase bukan
pada bagaimana mengimplementasikan rencana atau pada proses peningkatan
keterampilan mengajar guru, tetapi pada proses menggunakan strategi yang direncanakan
untuk melihat seberapa jauh strategi itu mengatasi masalah yang ingin diatasi. Peneliti
disarankan untuk berkolaborasi dengan satu atau lebih kolega yang mengampu mata
pelajaran yang sama. Kolaborator tersebut bertugas mengamati implementasi perencanaan
dan melihat seberapa jauh strategi itu memecahkan masalah.

3. Observasi
Observasi merupakan proses pengumpulan data mengenai tingkat keberhasilan
strategi yang digunakan untuk memecahkan masalah. Observasi difokuskan pada data
yang berhubungan dengan kriteria keberhasilan yang telah ditentukan. Pertanyaan-
pertanyaan yang lazim diajukan pada fase observasi adalah: “Seberapa efektif strategi
yang digunakan memecahkan masalah?” bukan “Seberapa baik pengajaran guru?” atau
“Seberapa baik strategi pengajaran itu diimplementasikan oleh guru?” Kedua pertanyaan
terakhir adalah pertanyaan untuk observasi ketika mahasiswa melakukan praktik mengajar,
bukan dalam observasi PTK.
Pada fase observasi ini, peneliti dan kolaborator juga menyepakati sumber dan jenis
data yang akan dikumpulkan serta teknik dan instrument yang akan digunakan untuk
mengumpulkan data tersebut. Proses penjaringan data sesuai dengan kesepakatan yang
diambil juga dilakukan pada fase observasi ini.

4. Refleksi
Refleksi merupakan proses analisis data dan diskusi (keduanya selalu berlangsung
tumpang tindih) untuk menentukan sejauh mana data yang dijaring menunjukkan
keberhasilan strategi mengatasi masalah. Refleksi juga menunjukkan faktor-faktor apa saja
yang mendukung keberhasilan strategi atau persoalan-persoalan tambahan apa yang
muncul selama proses implementasi strategi.
Analisis terhadap hasil observasi dilakukan dengan membandingkan data yang
terjaring dengan criteria keberhasilan yang telah ditargetkan. Sebagai contoh, sebuah
strategi yang diarahkan untuk meningkatkan kemahiran para dosen di sebuah program
studi menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam pembelajaran
melalui metode pelatihan eksplisit-sistematis dianggap berhasil bila (i) para dosen tersebut
menyenangi pembelajaran bermedia TIK; (ii) peneliti/instruktur merasa nyaman
menggunakan strategi pelatihan eksplisit-sistematis; (iii) para dosen semakin aktif
menggunakan TIK dalam aktivitas pembelajaran; (iv) para dosen berinisiatif untuk saling
membantu selama aktivitas pelatihan; dan (v) kemahiran para dosen menggunakan TIK
dalam aktivitas pembelajaran seperti terungkap melalui penilaian mahasiswa yang
memberikan nilai rata-rata 4,6 (dalam skala 5) kepada dosen melalui angket.
Refleksi yang dilakukan melalui proses analisis data dan diskusi ini berfungsi untuk
menilai kriteria keberhasilan yang mana yang sudah tercapai, mana yang belum tercapai
dan apa yang menyebabkan kriteria itu belum tercapai. Hasil penilaian ini akan
memperlihatkan unsur strategi yang perlu diperbaiki. Dengan demikian peneliti dan
kolaborator dapat memperbaiki strategi tersebut secara optimal sehingga
pengimplementasian strategi revisi ini nantinya dapat mencapai semua target keberhasilan.
Strategi yang sudah diperbaiki (revised strategy) inilah yang menjadi fase
perencanaan (plan) pada siklus kedua, yang nantinya diimplemetasikan, diobservasi, dan
direfleksi kembali. Siklus tersebut dapat diulang beberapa kali hingga seluruh kriteria
keberhasilan tercapai. Jumlah siklus tidak dapat diprediksi pada awal penelitian. Jika
setelah siklus pertama semua kriteria keberhasilan dapat dicapai maka penelitian dapat
dihentikan. Namun selama kriteria-kriteria keberhasilan itu belum tercapai, revisi terhadap
strategi perlu dilakukan dan siklus berikutnya dilaksanakan.

Langkah-Langkah Pelaksanaan PTK


Sebagai penelitian berbentuk proses yang dinamis dan fleksibel, langkah-langkah PTK
tidak dapat diformulasikan menjadi sebuah cetak biru yang berlaku bagi setiap PTK.
Sehubungan dengan itu langkah-langkah PTK yang diuraikan dalam teori-teori PTK harus
diterima sebagai panduan umum. Prosedur berikut diusulkan oleh Cohen, Manion, dan
Morrison (dalam McKay, 2008: 31-32) yang menggambarkan langkah-langkah pelaksanaan
PTK dalam delapan tahapan.

Tahap 1: Peneliti mengidentifikasi, mengevaluasi, dan memformulasikan sebuah masalah


yang dianggap perlu diatasi.
Tahap 2: Peneliti berkonsultasi dengan berbagai pihak yang tertarik, seperti guru atau peneliti
lain untuk merumuskan masalah menjadi lebih jelas dan spesifik dan sedapat
mungkin mengidentifikasi penyebabnya. Tahapan ini bersifat sangat krusial karena
mencakup penentuan tujuan dan asumsi penelitian.
Tahap 3: Peneliti memperkaya pengetahuannya tentang masalah yang akan diteliti dengan
cara mempelajari informasi yang relevan melalui studi kepustakaan. Jika tersedia,
peneliti sangat disarankan untuk membaca hasil-hasil penelitian terdahulu tentang
masalah yang sama.
Tahap 4: Berdasarkan studi kepustakaan di tahap 3, jika dibutuhkan, peneliti dapat
mengubah atau memperbaiki fokus penelitian. Selain itu, asumsi penelitian yang
dibuat pada tahap 2 juga bisa dinyatakan secara lebih terperinci.
Tahap 5: Peneliti menetapkan desain penelitian, termasuk partisipan, sumber dan jenis data
yang akan dijaring, perlengkapan, dan prosedur.
Tahap 6: Peneliti menjelaskan bagaimana penelitian akan dievaluasi secara berkelanjutan
sesuai dengan jumlah siklus yang terlaksana.
Tahap 7: Peneliti melaksanakan penelitian untuk menjaring data.
Tahap 8: Peneliti melaksanakan refleksi untuk menganalisis data, menarik kesimpulan, dan
mengevaluasi penelitian. Jika kriteria keberhasilan ternyata belum dicapai, peneliti
perlu mempersiapkan pelaksanaan siklus kedua.

Metode Penjaringan Data PTK


Teknik pengumpulan data yang lazim dilakukan dalam PTK adalah observasi,
wawancara, kuesioner, dokumentasi dan tes. Sebagai teknik penjaringan data, observasi
meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap sesuatu obyek dengan menggunakan seluruh
alat indera. Jadi mengobservasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman,
pendengaran, peraba dan pengecap yang di dalam penelitian dilakukan dengan tes, kuesioner,
rekaman gambar, rekaman suara. Observasi dapat dilakukan dengan dua cara: non-sistematis
(dilakukan oleh pengamat dengan tidak menggunakan instrumen pengamatan) dan sistematis
(dilakukan dengan menggunakan pedoman sebagai pengamatan).
Teknik wawancara (interview) adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh
pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara, khususnya informasi tentang
keadaan seseorang (seperti latar belakang murid, orang tua, pendidikan, perhatian, dan sikap).
Sebagai teknik penjaringan data, teknik dokumentasi dilakukan dengan cara mengumpulkan
dan mencermati benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-
peraturan notulen rapat, catatan harian dan sebagainya. Kuesioner adalah sejumlah
pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memproleh informasi dari responden dalam arti
laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui. Teknik lain yang lazim digunakan
untuk menjaring data adalah tes—serentetan pertanyaan atau latihan atau alat lain yang
digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat
yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Tes dapat berbentuk tes tertulis, tes lisan, dan tes
praktik

Validitas dan Reliabilitas PTK

Sebagai sebuah penelitian, PTK perlu memenuhi persyaratan validitas dan reliabilitas
data. Validitas, yang dibutuhkan untuk meningkatkan objektivitas penelitian, dapat
ditingkatkan melalui trianggulasi, baik trianggulasi peneliti, trianggulasi waktu, trianggulasi
ruang, dan trianggulasi teoretis (Burns, 1999: 164). Trianggulasi peneliti dilakukan dengan
menugaskan beberapa peneliti mengumpulkan data yang sama hingga data yang diperoleh
‘jenuh’ atau konstan. Misalnya, dua atau tiga peserta penelitian dapat mengamati proses
pembelajaran yang sama dalam waktu yang sama pula. Trianggulasi waktu dapat dilakukan
dengan mengumpulkan data dalam waktu yang berbeda, sedapat mungkin meliputi rentangan
waktu tindakan dilaksanakan dengan frekuensi yang memadai untuk menjamin bahwa efek
perilaku tertentu bukan hanya suatu kebetulan. Misalnya, data tentang proses pembelajaran
dengan seperangkat teknik tertentu dapat dikumpulkan pada jam awal, tengah dan siang pada
hari yang berbeda dan jumlah pengamatan yang memadai, katakanlah 4-5 kali. Trianggulasi
ruang dapat dilakukan dengan mengumpulkan data yang sama di tempat yang berbeda.
Sebagai contoh, sebuah PTK dapat dilaksanakan pada dua atau tiga kelas yang setingkat dan
data yang sama dikumpulkan dari kelas-kelas tersebut. Trianggulasi teoretis dapat dilakukan
dengan memaknai gejala perilaku tertentu dengan dituntun oleh beberapa teori yang berbeda
tetapi terkait. Misalnya, perilaku tertentu yang menyiratkan motivasi dapat ditinjau dari teori
motivasi aliran yang berbeda: aliran behavioristik, kognitif, dan konstruktivis.

Mengingat bahwa PTK merupakan penelitian yang situasinya terus berubah dan
prosesnya bersifat transformatif tanpa kendali apapun (alami), sulit untuk mencapai tingkat
reliabilitas yang tinggi dalam penelitian ini. Dalam kenyataan, tingkat reliabilitias tinggi
hanya dapat dicapai dengan mengendalikan hampir seluruh aspek situasi yang dapat berubah
(variabel), dan hal ini tidak mungkin dan tidak baik dilakukan dalam PTK karena akan
melanggar salah satu dengan ciri khas PTK—kontekstual/situasional dan terlokalisasi,
dengan perubahan yang menjadi tujuannya. Karena pengendalian seluruh aspek situasi tidak
menungkin dilakukan, reliabilitas PTK dapat dilakukan dengan cara melampirkan data asli,
seperti transkrip wawancara dan catatan lapangan, menggunakan lebih dari satu sumber data
untuk mendapatkan data yang sama dan kolaborasi dengan sejawat atau orang lain yang
relevan.

Status PTK Sebagai Metode Penelitian

Sebagai catatan akhir, perlu digarisbawahi bahwa hingga saat ini masih terdapat
berbagai penganut fanatik penelitian konvensional yang mempertanyakan status PTK sebagai
sebuah metode penelitian. Pada umumnya keberatan mereka diajukan melalui tiga argumen
(Koshy, 2005: 30-31). Pertama, PTK tidak memiliki prosedur yang tetap (fixed) dan
validitasnya rendah. Keberatan terhadap proses yang tidak fixed ini pada dasarnya kurang
mendasar, karena PTK meneliti proses yang dinamis, tidak mungkin hal itu dilaksanakan
dengan prosedur yang kaku. Keberatan terhadap validitas data PTK juga kurang mendasar,
karena hal itu dapat ditingkatkan oleh peneliti melalui triangulasi untuk mencegah bias.
Keberatan kedua yang diajukan terhadap PTK adalah bahwa temuan PTK tidak dapat
digeneralisasi. Argument ini juga tidak mendasar karena PTK tidak bertujuan untuk
menjaring data yang akan digeneralisasi tetapi memperoleh pengetahuan berdasarkan
tindakan dalam konteks tersendiri. Temuan-temuan PTK hanya dapat digeneralisasikan pada
situasi dan konteks dimana penelitian itu dilakukan.

Keberatan ketiga adalah argumen bahwa cakupan dan manfaat PTK sangat terbats.
Argumen ini juga kurang mendasar karena PTK pada hakikatnya diarahkan untuk
memecahkan masalah dalam konteks khusus, dan pengembangan strategi untuk memecahkan
masalah dengan ruang lingkup terbatas juga merupakan sumbangan kepada ilmu
pengetahuan. Sehubungan dengan itu, Nunan (1992), menegaskan bahwa PTK harus
diterima sebagai sebuah metode penelitian dengan karakteristik tersendiri.

Kesimpulan

PTK merupakan suatu penelitian proses yang dilaksanakan praktisi pendidikan untuk
mengkaji praktik yang mereka laksanakan untuk meningkatkan praktik tersebut atau untuk
memecahkan masalah yang timbul dalam proses tersebut. PTK bisa dilakukan oleh seorang
guru yang dibantu oleh teman sejawat sebagai pengamat, oleh beberapa guru sebagai tim,
atau oleh seorang guru dengan seorang peneliti. Penelitian dilaksanakan sebagai suatu proses
dinamis yang berlangsung dalam satu atau lebih siklus, dan masing-masing siklus terdiri dari
empat fase, yakni: tindakan, observasi, dan refleksi. Jumlah siklus dalam satu PTK
tergantung pada kebutuhan. Siklus pertama bisa diulangi menjadi siklus kedua, yang
kemudian diulangi lagi menjadi siklus ketiga dan selanjutnya hingga peneliti menganggap
hasil yang ada sudah memuaskan dan saatnya untuk menghentikan penelitian.

Walaupun kadang-kadang PTK dikritik sebagai suatu penelitian informal karena


pelaksananya adalah guru (bukan peneliti akademis) hasil-hasil penelitian menunjukkan
bahwa PTK sangat sesuai untuk sektor pandidikan karena tujuannya membantu guru (sebagai
peneliti), memecahkan masalah melalui tindakan. PTK memungkinkan peneliti mamahami
pembelajaran masing-masing dan mengatasi masalah yang timbul. Oleh karena itu, PTK
sangat sesuai dan bermanfaat bagi bidang pendidikan.
Referensi

Burns, Anne. 1999. Collaborative AR for English Teachers. Cambridge, UK: Cambridge
University Press.
_____ 2010. Doing AR in English Language Teaching. New York: Routledge.
Cohen, L., Manion, L., & Morrison, K. 2000. Research Methods in Education. London, UK:
Routledge Falmer.
Cowie, N. 2001. “It’s not ARyet, but I’m getting there” approach to teaching writing. In J.
Edge (Ed.), AR (pp. 21–33). Alexandria, VA: TESOL.

Creswell, John W. 2008. Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating


Quantitative and Qualitative Research. New Jersey: Pearson.

Ferrance, E. 2000, Themes in Education: Action Research, The Education Alliance: Brown
University, Providence, Rhode Island.
Gabel, Dorothy. 1995. “An Introduction to Action Research”. Disampaikan dalam pidato
pembukaan National Association for Research in Science Teaching (NARST) di San
Francisco, April 24, 1995.
Gall, J.P., Gall, M.D., and Borg, W.R. 1999. Applying Educational Research: A Practical
Guide (4th Ed.). New York: Longman.
Johnson, A.P. 2005. A Short Guide to AR (2nd ed.). Boston: Allyn and Bacon.
Kemmis, S., & McTaggart, R. (Eds.). 1988. The AR Planner. Geeloong, Victoria, Australia:
Deakin University Press.
Koshy, Valsa. 2005. AR for Improving Practice. Paul Chapman Publishing London.
McKay, Sandra Lee. 2008. Researching Second Language Classrooms. New jersey:
Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers
McKeachie, W.J. 1999. Teaching Tips: Strategies, Research and Theory for College and
University Teachers. Boston: Houghton Mifflin.
McMillan, J. H., & Schumacher, S. 2006. Research in Education: Evidence-Based Inquiry
(6th ed.). Boston: Pearson.
Gwynn, Mettetal. 2002. “Improving Teaching through Classroom Action Research”.
Diterbitkan dalam jurnal Toward the Best in the Academy Vol. 14, No. 7, 2002-2003
diunduh pada tanggal 27 Oktober 2009 dari: http://academic.
udayton.edu/FacDev/Newsletters/EssaysforTeaching Excellence/
_____ 2001. “The What, Why and How of Classroom Action Research”. Diterbitkan dalam
jurnal The Journal of Scholarship of Teaching and Learning (JoSoTL)Volume 2,
Number 1 (2001).
Mills, G.E. 2003. Action Research: A Guide for the Teacher Researcher (2nd ed.). New
Jersey: Merrill Prentice Hall.
Nunan, D. 1992. Research Methods in Language Learning. Cambridge, UK: Cambridge
University Press.
Sagor, R. 2004. The AR Guidebook: A Four-Step Process for Educators and School Teams.
Thousand Oaks, CA: Sage.
Sulipan. (n.a.) “Penelitian Tindakan Kelas”. Makalah, disusun untuk Program Bimbingan
Karya Tulis Ilmiah secara Online Dan Program Peningkatan Kompetensi Guru Sekolah
Indonesia di Luar Negri. Diunduh pada tanggal 15 Juni 2008 dari:
http://massholeh.webs.com/sulipan.pdf
Tomal, D.R. 2005. AR for Educators. Lanham, Maryland: Rowman and Littlefield.
Weimer, M. 1996. Improving your Classroom Teaching. Newbury Park, CA: Sage

Anda mungkin juga menyukai