Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU

PENANGANAN PERMASALAHAN URBANISASI


DI KOTA MEDAN DAN KOTA SURABAYA

Yulia Indahri
(Kepakaran Studi Masyarakat dan Sosiologi Perkotaan)

PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DPR RI


JAKARTA
2016
RINGKASAN EKSEKUTIF

A. Pendahuluan
Salah satu masalah penting yang dihadapi negara-negara di dunia dewasa
ini adalah pesatnya pertumbuhan dan konsentrasi penduduk di perkotaan.
Secara global, masyarakat dunia lebih memilih hidup di wilayah perkotaan,
dengan 54 persen populasi dunia tinggal di perkotaan di tahun 2014.1 Jika
dibandingkan, di tahun 1950, hanya 30 persen penduduk dunia hidup di
perkotaan, dengan perkiraan di tahun 2050, akan ada sekitar 66 persen populasi
dunia di wilayah perkotaan.2 Asia untuk saat ini sudah mendekati separuh
penduduknya hidup di daerah perkotaan dengan selisih hanya empat persen.
Diperkirakan dunia akan mengalami urbanisasi lebih besar dalam kurun waktu
satu dekade mendatang, dengan proyeksi untuk benua Asia sebesar 64 persen di
tahun 2050.3 Hal ini selain disebabkan oleh pertumbuhan penduduk alami
(natural growth) yang pesat juga karena terjadi urbanisasi (migration growth).
Pada saat yang sama keadaan ini tidak diikuti dengan kecepatan pertumbuhan
industrialisasi.4
Dari hasil proyeksi urbanisasi, laju urbanisasi menunjukkan tren yang
menaik. Tingkat urbanisasi Indonesia pada tahun 2010 adalah 49,8 persen naik
menjadi 53,3 persen di tahun 2015. Tingkat urbanisasi ini diperkirakan akan
naik menjadi 56,7 persen di tahun 2020 serta menjadi 60 persen di tahun 2025.
Hasil penelitian Graeme (1990) seperti dikutip Masjkuri menyatakan
bahwa masyarakat Indonesia cenderung melakukan migrasi, hal ini disebabkan
selain oleh faktor-faktor daya tarik dari daerah tujuan, juga kecenderungan
daerah asal yang pertumbuhan penduduknya lebih cepat daripada daerah
tujuan.5 Hal yang demikian ini menjadi daya pendorong penduduk pedesaan

1 UN DESA, World Urbanization Prospects, The 2014 Revision (New York: UN, 2014), hlm. 1.
2 Ibid.
3 Ibid.
4 Siti Umajah Masjkuri, “Perbaikan Kampung Komprehensif dan Dampaknya terhadap

Kesejahteraan Sosial serta Kemandirian Masyarakat Miskin Kampung Kumuh di Kota Surabaya”,
Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya 2007, hlm. 1.
5 Masjkuri, op. cit. hlm. 8.
untuk bermigrasi ke perkotaan. Dampak yang ditimbulkan untuk daerah yang
ditinggalkan (pedesaan) meliputi kenaikan pendapatan (bertambah karena ada
kiriman dari kota), peningkatan peran secara tradisional (khususnya wanita),
peningkatan tingkat kesehatan dan kesejahteraan serta perubahan sosial
cenderung mengalami peningkatan. Sedangkan untuk produktivitas pertanian
dan tenaga kerja cenderung menurun.6 Dampak negatifnya untuk daerah
perkotaan di bidang sosial dan ekonomi ditandai dengan penurunan tingkat
kesejahteraan dan peluang ekonomi yang tidak dapat diakses masyarakat secara
merata.
Perencanaan yang baik, baik dari sisi perencanaan ruang dan
perencanaan sosial ekonomi harus menjadi perhatian pemerintah baik di pusat
maupun di daerah untuk membangun kota dan daerah yang lebih baik agar
urbanisasi dengan daerah tujuan yang terpolarisasi di kota-kota yang sudah
mempunyai beban sosial dan ekonomi yang melebihi kapasitasnya, dapat
diminalisir. Oleh karena itu, pembangunan perkotaan walaupun dirasakan tidak
terencana dengan baik, tetapi tetap harus didukung oleh semua pihak.
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana Pemerintah Kota Medan dan Kota Surabaya
menangani urbanisasi yang terlihat sering kali memunculkan masalah agar tidak
merugikan masyarakat di kota yang menjadi tujuan urbanisasi.
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
penelitian:
1. Bagaimana perkembangan urbanisasi di Indonesia?
2. Bagaimana perkembangan urbanisasi di Kota Medan dan Kota Surabaya?
3. Bagaimana permasalahan sosial yang muncul akibat urbanisasi di Kota
Medan dan Kota Surabaya?
4. Bagaimana Kebijakan urbanisasi yang lebih baik untuk Kota Medan dan Kota
Medan pada masa mendatang?
Selain itu, penelitian ini juga sesuai dengan bidang kepakaran peneliti
yang bersangkutan dan merupakan kelanjutan dari studi mengenai urbanisasi
yang sebelumnya telah dilakukan oleh peneliti bidang Ekonomi Kebijakan Publik
di Pusat Penelitian BKD (dahulu P3DI) dan studi lain yang dilakukan di beberapa

6 Ibid.
lembaga demografi. Penelitian terdahulu oleh P3DI hanya dilakukan di kota
Jakarta dengan karakteristik urbanisasi yang cukup spesifik karena sudah
mencapai angka 100 persen.7 Jika penelitian terdahulu lebih menekankan aspek
ekonomi, terutama aspek ketenagakerjaan, maka penelitian ini diharapkan akan
bermanfaat dalam memperkaya kajian sosial perkotaan. Selain itu, penelitian ini
dapat dijadikan masukan bagi pengambil keputusan dalam mengevaluasi serta
menentukan kebijakan pembangunan daerah urban.
Penelitian akan bersifat deskriptif yang secara sistematis dan faktual
menyampaikan permasalahan sosial yang muncul terkait dengan urbanisasi di
Kota Medan dan Kota Surabaya berdasarkan diskusi dengan pemangku
kepentingan, mulai dari SKDP sampai pejabat dan tokoh masyarakat di tingkat
kelurahan dan kecamatan. Metode dan pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Selain itu, dari penelitian ini diharapkan, pertama, menganalisis
perkembangan urbanisasi di Indonesia pada umumnya dengan melihat bahwa
Kota Medan merupakan kota terbesar di luar Pulau Jawa dan kota metropolitan
terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Selain itu Kota Medan
juga merupakan pintu gerbang wilayah Indonesia di bagian barat. Sementara
Kota Surabaya adalah kota terbesar kedua di Indonesia.
Tujuan kedua adalah untuk mengidentifikasi permasalahan sosial yang
muncul dengan mengacu pada kajian atau penelitian terdahulu. Identifikasi
dapat dilihat dari angka tingkat kesejahteraan, akses pendidikan, ada tidaknya
slum area, angka kriminalitas, angka tuna wisma dan tuna karya, serta kondisi
lingkungan dan sosial lainnya dengan juga melihat bahwa di tahun 2015,
berdasarkan laporan tahun 2014, Indeks Pembangunan Manusia di kota Medan
(78,26) dan Surabaya (68,14) berada di atas (Medan) dan di bawah (Surabaya)
rata-rata nasional (68,90).
Tujuan ketiga adalah untuk mengidentifikasi kebijakan pemerintah kota
dalam menghadapi urbanisasi berdasarkan kebijakan nasional yang telah
disusun oleh pemerintah pusat. Saat ini Rencana Pembangunan Jangka

7Asep Ahmad Saefuloh, “Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu”, dalam
buku Perkembangan dan Permasalahan Tenaga Kerja (Jakarta: P3DI, 2011).
Menengah Nasional 2015–20198 sudah sangat memerhatikan kondisi nyata
bahwa terjadi ketimpangan dan kesenjangan pembangunan antara desa dengan
kota maupun antarkota yang perlu ditangani secara serius untuk mencegah
terjadinya urbanisasi.
Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer meliputi data-data yang diperoleh dari studi lapangan terkait dengan
penanganan permasalahan urbanisasi yang didapat dari berbagai Dinas/SKPD
yang akan ditemui. Sedangkan data sekunder meliputi data-data terkait
kebijakan penangan permasalahan urbanisasi yang berasal dari penelitian
terdahulu, buku-buku mengenai urbanisasi, serta artikel-artikel di media massa
yang turut memperkaya informasi yang dapat mendukung analisis penelitian.
Lokasi penelitian adalah Kota Surabaya dan Kota Medan. Sedangkan waktu
pelaksanaan penelitian adalah pada bulan Mei 2016 di Kota Medan dan Agustus
2016 di Kota Surabaya.

B. Perkembangan Urbanisasi di Indonesia


Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 berdasarkan Sensus
Penduduk 2010 (SP2010) adalah sebanyak 237.641.326 jiwa, yang mencakup
mereka yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 118.320.256 jiwa
(49,79 persen) dan di daerah perdesaan sebanyak 119.321.070 jiwa (50,21
persen).9
Penyebaran penduduk menurut pulau-pulau besar adalah: pulau
Sumatera yang luasnya 25,2 persen dari luas seluruh wilayah Indonesia dihuni
oleh 21,3 persen penduduk, Jawa yang luasnya 6,8 persen dihuni oleh 57,5
persen penduduk, Kalimantan yang luasnya 28,5 persen dihuni oleh 5,8 persen
penduduk, Sulawesi yang luasnya 9,9 persen dihuni oleh 7,3 persen penduduk,
Maluku yang luasnya 4,1 persen dihuni oleh 1,1 persen penduduk, dan Papua
yang luasnya 21,8 persen dihuni oleh 1,5 persen penduduk.10
Jumlah penduduk yang merupakan migran risen terus meningkat dari
waktu ke waktu. Hasil SP2010 mencatat 5.396.419 penduduk atau 2,5 persen

8 Bappenas, Rancangan Awal RPJMN 2015 – 2019, hlm. 20.


9 BPS, “Jumlah dan Distribusi Penduduk”, http://sp2010.bps.go.id/, diakses pada 1 November
2016.
10 Ibid.
penduduk merupakan migran masuk risen antarprovinsi. Persentase migran
risen di daerah perkotaan tiga kali lipat lebih besar migran risen di daerah
perdesaan, masing-masing sebesar 3,8 dan 1,2 persen. Menurut gender, jumlah
migran laki-laki lebih banyak daripada migran perempuan, 2.830.114
berbanding 2.566.305 orang. Seks rasio migran risen adalah 110,3. Beberapa
provinsi merupakan daerah tujuan migran, seperti: Kepulauan Riau, Papua
Barat, dan DI Yogyakarta.11
Jumlah penduduk yang merupakan migran seumur hidup terus
meningkat dari waktu ke waktu. Hasil SP2010 mencatat 27.975.612 penduduk
atau 11,8 persen penduduk merupakan migran masuk seumur hidup
antarprovinsi. Persentase migran seumur hidup di daerah perkotaan hampir tiga
kali lipat migran seumur hidup di daerah perdesaan, masing-masing sebesar
17,2 dan 6,3 persen. Menurut gender, jumlah migran laki-laki lebih banyak
daripada migran perempuan, 14.736.632 berbanding 13.238.980 orang. Seks
rasio migran seumur hidup adalah 111,3. Beberapa provinsi merupakan daerah
tujuan migran, seperti: Kepulauan Riau, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur.12
Data migran risen dan migran seumur hidup tersebut menunjang teori,
bahwa migran lebih banyak menuju ke daerah perkotaan dan laki-laki lebih
banyak yang melakukan perpindahan. Daerah-daerah tujuan migrasi
mempunyai daya tarik tersendiri bagi migran. Pada umumnya alasan utama
pindah para migran ini adalah karena pekerjaan, mencari pekerjaan, atau
sekolah.
Bank Dunia secara khusus menjadikan permasalahan perkotaan sebagai
topik kajiannya mengingat saat ini secara global, lebih dari 50 persen penduduk
dunia tinggal di daerah perkotaan, dan tren ini diperkirakan akan terus
berlanjut. Pada 2045, jumlah penduduk perkotaan akan meningkat 1,5 kali lipat
menjadi 6 miliar, artinya penambahan 2 miliar lebih penduduk perkotaan.13
Indonesia dikelompokkan oleh Bank Dunia sebagai negara yang
didominasi oleh ekonomi perkotaan. Kota-kota di Indonesia tumbuh rata-rata

11 Ibid.
12 Ibid.
13 “Overview, Urban Development”,
http://www.worldbank.org/en/topic/urbandevelopment/overview#1, diakses pada 1
November 2016.
4,1 persen per tahun - laju yang lebih cepat dari kota-kota negara Asia lainnya.
Pada tahun 2025, atau kurang dari 10 tahun lagi, diperkirakan 68 persen
penduduk Indonesia adalah warga kota.14 Lahan perkotaan di Indonesia,
terbesar ketiga di Asia Timur, setelah Tiongkok dan Jepang. Antara tahun 2000
hingga 2010, jumlah lahan perkotaan di Indonesia meningkat, dari sekitar 8.900
km2 menjadi 10.000 km2, bertambah 1,1 persen per tahun - laju pertumbuhan
lahan perkotaan tertinggi setelah Tiongkok.15

C. Urbanisasi di Kota Medan


Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di propinsi Sumatera
Utara, kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis
secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan
sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan
pemerintah daerah. Perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya mendorong
Kota Medan menjadi pusat pertumbuhan dan pergerakan pembangunan di
Provinsi Sumatera Utara. Saat ini Kota Medan telah mengukuhkan diri sebagai
salah satu kota metropolitan baru di Indonesia.16
Jika dibandingkan dengan kota besar lainnya di Indonesia, Kota Medan
memiliki keterbatasan ruang karena bentuk wilayah administratif yang ramping
di tengah. Dengan keterbatasan ruang tersebut, daya dukung lingkungan
perkotaan menjadi kurang optimal. Hambatan terbesar bersifat alamiah yaitu
terbatasnya pengembangan wilayah utara Kota Medan, khususnya dalam
penyediaan prasarana dan sarana perkotaan. Kondisi tersebut menyebabkan
kurang seimbangnya dan kurang terpadunya penataan ruang kota di bagian
utara dan bagian selatan.
Keberagaman penduduk menurut umur dan jenis kelamin memengaruhi
jenis penyediaan pelayanan umum seperti pelayanan kesehatan, pendidikan,
fasilitas umum, dan penyediaan lapangan kerja bagi angkatan kerja. Angka
ketergantungan, yaitu perbandingan penduduk usia produktif (kelompok umur
15–64 tahun) dan penduduk usia tidak produktif (kelompok umur 0–14 dan 65

14 World Bank, Indonesia’s Urban Story(Jakarta: World Bank, 2016), hlm. 20,
15 Ibid., hlm. 19.
16 Pemerintah Kota Medan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Medan Tahun

2011–2015 (Medan: Pemko Medan, 2011), hlm. I-1.


tahun atau lebih) relatif besar. Struktur penduduk kota Medan ini menunjukkan
bahwa potensi ketenagakerjaan penduduk Kota Medan sangat besar. Hal ini
menjadi modal dasar untuk mendorong percepatan pembangunan ekonomi
daerah.
Saat ini Kota Medan sedang mengalami masa transisi demografi. Istilah
ini mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan di mana tingkat
kelahiran dan kematian tinggi ke keadaan di mana tingkat kelahiran dan
kematian rendah. Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak
faktor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang
diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi.
Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat
akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat. Pada tahap ini pertumbuhan
penduduk mulai menurun.
Berdasarkan data BPS Kota Medan yang tersebar dalam laporan per
Kecamatan yang diterbitkan di tahun 2016, dari 21 Kecamatan yang ada di Kota
Medan, Kecamatan Medan Deli adalah kecamatan dengan jumlah penduduk
terbesar, yaitu 181.460 jiwa. Sedangkan kelahiran terbanyak ada di Kecamatan
Medan Tembung, kematian terbanyak terjadi di Kecamatan Medan Petisah.
Kecamatan Medan Denai menjadi kecamatan yang paling banyak menerima
pendatang sementara warga di Kecamatan Medan Polonia paling banyak pindah
ke tempat lain. Tabel 3 memperlihatkan komposisi penduduk Kota Medan
berdasarkan komponen kependudukan untuk 21 Kecamatan yang ada di Kota
Medan.
Permasalahan lain yang muncul dari kegiatan urbanisasi dan juga migrasi
di Kota Medan di antaranya adalah:
1. Eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya buatan secara berlebihan
yang berdampak negatif terhadap kesinambungan pembangunan kota.
2. Penurunan produksi dan pendapatan pelaku usaha tradisional.
3. Permasalahan sosial akibat penurunan produksi, seperti peningkatan angka
pengangguran, angka kemiskinan, angka kriminalitas.
4. Tidak self-reliance.
5. Degradasi budaya lokal.
6. Dominasi kepemilikan modal dan usaha produksi oleh pelaku usaha dari luar
Kota Medan.

D. Urbanisasi di Kota Surabaya


Kota Surabaya merupakan kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia,
setelah DKI Jakarta. Berbagai potensi Kota Surabaya, diantaranya di bidang
industri, bisnis dan perdagangan, transportasi maritim dan pelabuhan,
pendidikan, dan pariwisata.
Sumber data utama yang digunakan dalam pembangunan di Kota Surabaya
adalah berdasarkan hasil registrasi penduduk yang terpusat dalam Sistem
Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Unit analisis mulai dari tingkat
kelurahan, kecamatan dan Kota Surabaya bersumber dari Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) selama bulan Januari–Desember tahun
2015.
Di samping itu, dikumpulkan juga data-data lain yang bersumber dari
Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) lain di lingkungan Pemerintah Kota
Surabaya, yaitu: Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Kantor Urusan
Agama, Pengadilan Agama, dan Badan Pusat Statistik Kota Surabaya. Data yang
bersumber dari SKPD lain merupakan informasi kualitas penduduk, untuk
mengetahui indikator kesehatan, indikator pendidikan, dan sosial.
Sampai dengan bulan Desember 2015, jumlah penduduk Kota Surabaya
mencapai 2.943.280 jiwa, terdiri atas 50.06 persen (1.473.499 jiwa) penduduk
laki-laki dan 49,94 persen (1.469.781 jiwa) penduduk perempuan, yang
menyebar di 31 kecamatan. Selama enam tahun terakhir penduduk Kota
Surabaya yang teregistrasi di SIAK cenderung fluktuatif, seperti disajikan pada
Gambar 4.1. Dalam periode 2010–2013, jumlah penduduk Kota Surabaya
mengalami peningkatan tajam, selanjutnya menurun pada tahun 2014.
Kemudian tahun 2015, terdapat peningkatan jumlah penduduk sebesar 3,14
persen (89.619 jiwa) dari tahun 2014.
Penurunan jumlah penduduk tahun 2014 bukan karena faktor kelahiran
dan kematian ataupun peristiwa migrasi, namun adanya pembersihan data
ganda penduduk yang dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Surabaya. Adanya kebijakan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP),
sehingga penduduk Kota Surabaya banyak teridentifikasi memiliki KTP ganda.
Oleh karena itu dilakukan penghapusan data ganda penduduk, sehingga
menyebabkan jumlah penduduk turun drastis. Penurunan penduduk ini
mengindikasikan bahwa penduduk yang ber-KTP ganda Iebih memilih untuk
menjadi penduduk luar Kota Surabaya.
Lima kecamatan di Kota Surabaya dengan jumlah penduduk terbesar
dengan jumlah penduduk lebih dari 150 ribu jiwa, yaitu: Kecamatan Tambaksari
(223.893 jiwa), Kecamatan Sawahan (207.099 jiwa), Kecamatan Semampir
(190.146 jiwa), Kecamatan Wonokromo (164.115 jiwa), dan Kecamatan
Kenjeran (154.529 jiwa). Besarnya persentase jumlah penduduk kelima
kecamatan tersebut terhadap total penduduk Kota Surabaya mencapai di atas
lima persen, masing-masing secara berurutan, yaitu: 7,61 persen, 7,04 persen,
6,46 persen, 5,58 persen dan 5,25 persen.
Kota Surabaya sebagai salah satu kota metropolitan menarik banyak
orang untuk datang dengan berbagai alasan baik ekonomi maupun sosial.
Banyak orang yang berkeinginan mendapat penghasilan dan pekerjaan yang
lebih baik, maka mereka berdatangan ke Kota Surabaya untuk mengadu nasib.
Tingginya fasilitas pendidikan dan lapangan pekerjaan yang tersedia merupakan
salah atu faktor yang mendorong tingginya orang untuk datang ke Kota
Surabaya.
Jumlah penduduk yang migrasi masuk di Kota Surabaya mengalami
fluktuasi selama periode tahun 2010 sampai 2014, yaitu berkisar antara 65.000
jiwa sampai dengan 108.000 jiwa per tahun. Mulai tahun 2010, jumlah penduduk
migrasi masuk meningkat hingga tahun 2012 dan menurun pada tahun 2014.
Perkembangan jumlah penduduk migrasi masuk mulai tahun 2010 sampai 2014
di Kota Surabaya disajikan pada Tabel 5. Pada tahun 2014 angka migrasi masuk
ke Kota Surabaya mencapai angka 23,92. Angka ini menunjukkan bahwa
sebanyak 23–24 orang yang datang per 1000 penduduk di Kota Surabaya.
Terdapat hubungan yang erat antara angka migrasi masuk dan angka
migrasi keluar antarkecamatan dan berbanding terbalik. Artinya bahwa suatu
kecamatan semakin besar penduduk yang migrasi masuk, semakin kecil
penduduk yang migrasi keluar. Terdapat empat kelompok kecamatan menurut
persebaran angka migrasi masuk dan migrasi keluar.
Secara alamiah penduduk suatu wilayah akan mengalami penambahan
seiring berjalannya waktu. Seperti halnya Kota Surabaya yang mempunyai
pertumbuhan penduduk tergolong tinggi dengan pertumbuhan tidak merata di
setiap kecamatan. Sebagai kota metropolitan, Kota Surabaya tumbuh lebih
disebabkan oleh faktor migrasi daripada faktor kelahiran dan kematian.
Perubahan peraturan Perda terkait penyelenggaraan administrasi
penduduk nonpermanen telah terjadi beberapa kali, Perda yang pernah memuat
peraturan tersebut di antaranya adalah Perda No. 5 Tahun 1993, Perda No. 5
Tahun 1996, Perda No. 5B Tahun 200, Perda No. 2 Tahun 2007, Perda No. 5
Tahun 2011, serta Perda No. 14 Tahun 2014. Sejak berlakunya Perda tahun 1993
sampai tahun 2000, kartu identitas penduduk nonpermanen disebut dengan
KIPEM (Kartu Identitas Penduduk Musiman), pada Perubahan Perda tahun 2007
berubah menjadi SKTS (Surat Keterangan Tinggal Sementara), kemudian pada
Perubahan Perda tahun 2011 kembali menjadi KIPEM, dan pada Perubahan
Perda tahun 2014 berubah lagi menjadi SKTS.
Sejak tahun 2011, permasalahan penduduk nonpermanen (musiman)
menjadi perhatian khusus Pemerintah Kota Surabaya, sejak tahun itu pencatatan
dan peraturan terkait penduduk nonpermanen lebih diperketat. Berdasarkan
Perda tahun 2011 penduduk yang ingin membuat KIPEM harus melengkapi
beberapa persyaratan yaitu surat keterangan pindah sementara dari daerah asal,
KTP asli, surat pernyataan jaminan tempat tinggal, dan surat keterangan
pekerjaan atau studi. Pendaftaran KIPEM bisa dilaksanakan di kecamatan
penduduk nonpermanen menetap dan prosedur pencatatannya masih dilakukan
secara manual, maksudnya penduduk nonpermanen yang ingin membuat KIPEM
harus mendaftarkan langsung ke kecamatan.
Pada Perda tahun 2014 persyaratan dan prosedur untuk mengurus surat
tinggal sementara bagi penduduk nonpermanen lebih dipermudah dan namanya
berubah menjadi SKTS. Pembuatan SKTS tidak lagi memerlukan surat
keterangan pindah sementara dari daerah asal. Pada tahun 2014 pendaftaran
KIPEM juga lebih dipermudah, pendaftaran dapat dilaksanakan secara online
melalui website Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya
(www.dispendukcapil.surabaya.go.id).
Hasil kajian Dispendukcapil (2014) menunjukkan bahwa penduduk
musiman tidak mengurus SKTS karena tiak mengetahui adanya peraturan
administrasi kependudukan tersebut. Menurut mereka, Kelurahan termasuk RT
dan RW tidak mmemberitahukan aturan tersebut. Sebagian dari penduduk
musiman memang sudah melapor ke RT atau RW namun tidak dilanjutkan
dalam kepengurusan SKTS. Kurangnya sosialisasi kepada penduduk
nonpermanen berdampak pada ketidaktahuan bahwa harus memiliki SKTS
ketika tinggal sementara selama 3 bulan berturut-turut.

E. Permasalahan Sosial Akibat Urbanisasi


Permasalahan sosial yang terjadi akibat urbanisai di Kota Medan dan
Kota Surabaya dapat disimpulkan menjadi gambaran (umum) terhadap
beberapa permasalahan yang dihadapi Indonesia sebagai satu negara dengan
permasalahan pertambahan penduduk perkotaan yang terus meningkat.
Di Indonesia urbanisasi pada umumnya mempunyai kaitan dengan
timbulnya beberapa masalah sosial, ekonomi, dan pemukiman, baik di kota
maupun di desa. Sebab-sebab urbanisasi di Indonesia adalah:
a) sebagai akibat dari pertambahan penduduk alami di kota;
b) sebagai akibat dari perpindahan penduduk desa ke kota; dan
c) berkembangnya daerah tepian kota.
Kadang-kadang ketiga sebab tersebut terjadi bersamaan, sehingga dapat
mempercepat proses urbanisasi. Kecepatan urbanisasi di Indonesia tergantung
pada beberapa faktor, antara lain:
a) tingkat pendidikan penduduk yang melakukan urbanisasi (urbanit);
b) tingkat kesehatan masyarakat;
c) persentase penduduk yang miskin;
d) latar belakang pertanian di daerah pedesaan;
e) kondisi geografis; serta
f) fungsi serta peranan kota-kota sebagai faktor penarik.

Apabila diinventarisasi permasalahan akibat urbanisasi akan dapat


dilihat bahwa jumlahnya tidak sedikit. Misalnya saja dapat disebutkan di sini:
- Kepadatan penduduk kota yang menimbulkan masalah kesehatan
lingkungan, masalah perumahan, masalah persampahan.
- Pertambahan penduduk kota yang menimbulkan masalah kesempatan dan
mendapatkan pekerjaan yang layak dan memadai, masalah pengangguran
dan gelandangan.
- Penyempitan ruang dengan segala akibat negatifnya di kota karena
banyaknya orang, bertambahnya bangunan untuk perumahan, perkantoran,
kegiatan industri, dan bertambahnya kendaraan bermotor yang terus-
menerus membanjiri kota.
- Masalah lalu lintas, kemacetan jalan, dan masalah parkir yang menghambat
kelancaran kota.
- Industrialisasi di kota yang menimbulkan polusi udara, polusi air, dan polusi
kebisingan.

Sebagai akibat dari cepatnya pertambahan penduduk yang ditunjang


dengan perkembangan ekonomi, transportasi dan pendidikan, frekuensi
mobilitas semakin meningkat. Memerhatikan informasi yang didapat dalam
diskusi, maka implikasi urbanisasi terhadap sektor kehidupan dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
- Di sektor ekonomi, struktur ekonomi menjadi lebih bervariasi. Bermacam-
macam usaha atau kegiatan di bidang transportasi, perdagangan dan jasa
timbul dari mereka yang bermodal gurem sampai yang bermodal besar,
terutama timbulnya kegiatan di sektor informal. Sangat menarik ialah
kegiatan usaha yang dikenal dengan istilah pedagang “kaki lima”, dan di
bidang jasa yang juga dilaksanakan oleh kaum wanita, sebagai tenaga angkut
di pasar dan tenaga anak-anak sebagai penyemir sepatu dan penjual surat
kabar.
- Perkembangan di bidang wiraswasta juga nampak meluas, misalnya saja
peternakan telur ayam, telur burung puyuh, kegiatan di bidang kerajinan
tangan, dan lain-lain untuk kepentingan pariwisata, kegiatan di bidang
perjalanan atau travel bureau, di bidang perbengkelan dan pertukangan, di
bidang catering, dan masih banyak lagi.
- Di bidang pendidikan makin banyak diusahakan adanya pendidikan kejuruan
setingkat SMTP, SMTA bahkan setingkat perguruan tinggi yaitu adanya
program non-gelar bagi mereka yang ingin memiliki ilmu yang bisa dicapai
dalam jangka studi yang pendek tetapi sudah dapat mendatangkan
penghasilan. Selain itu juga timbulnya kursus montir, kursus pengetikan,
kursus di bidang teknik dan pertukangan dapat diharapkan menampung para
urbanit yang ingin mendapat pekerjaan di kota.
- Implikasi lain yang juga dapat diamati adalah jumlah perluasan fisik kota ke
arah daerah tepian atau pinggiran kota (the periphery areas) yang
menimbulkan permasalahan baru mengenai soal administratif pertanahan,
kependudukan, dan administratif pemerintahan.
- Demikian pula dapat dipahami bahwa harga atau nilai tanah baik di kota
maupun di daerah tepian kota cenderung menaik. Dan keadaan ini juga mulai
dirasakan oleh penduduk di daerah pedesaan.

F. Kebijakan Urbanisasi yang Lebih Baik


Ada tiga hal yang perlu diperhatikan agar kebijakan urbanisasi ke depan
lebih baik untuk kondisi Indonesia. Tiga hal tersebut adalah:
a. Daya Dukung Kota
Daya dukung kota sebagai tujuan urbanisasi dititikberatkan pada
aspek demografis atau kependudukan, sebab urbanisasi yang ditimbulkan
oleh eksplosi penduduk di pedesaan dan di kota sudah cenderung, bahkan
mungkin sudah melampaui daya dukung masing-masing. Masalah kepadatan
penduduk yang berakibat lanjut terhadap masalah perumahan dan masalah
kelebihan tenaga kerja menjadi masalah yang sangat mengganggu, bahkan
dapat menghambat pembangunan.
b. Kualitas Urbanit
Dari sudut pandang perilaku (behavioral) urbanisasi dilihat dari segi
pentingnya atau sejauh mana manusia itu dapat menyesuaikan diri terhadap
situasi yang berubah-ubah baik yang disebabkan oleh kemajuan teknologi
maupun dengan adanya perkembangan-perkembangan baru dalam
kehidupan. Hasil penyesuaian atau adaptasi para urbanit di daerah
perkotaan mencerminkan kelincahan hidup dan kejelian melihat dan
menangkap sesuatu gejala, dan ini sangat tergantung pada latar belakang
pendidikan dan mental para urbanit.
c. Kebijakan Pemerintah
Urbanisasi mempunyai hubungan erat dengan berbagai aspek
pembangunan nasional. Oleh karena itu, peranan pemerintah sangat
diperlukan dalam mengatur kebijaksanaan urbanisasi agar proses urbanisasi
dapat mencapai keseimbangan dalam suatu urban system yang secara efektif
dapat memperluas pelayanan terhadap penduduk secara keseluruhan.

G. Penutup
Dengan bertambahnya penduduk, maka berdampak pada tingkat
kepadatan wilayah akan bertambah pula, apalagi daya dukung tidak memadai.
Oleh karena itu, upaya pengendalian penduduk perlu dilakukan. Wilayah yang
perlu mendapatkan perhatian adalah kecamatan dengan kepadatan penduduk
permanen yang sudah tinggi dan ditambah dengan penduduk non-permanen
yang tinggi pula.
Kebijakan yang dapat dipertimbangkan guna memungkinkan lebih
banyak manfaat dari urbanisasi di antaranya adalah:
- memprioritaskan urbanisasi dalam agenda pembangunan nasional dan
mengatasi masalah melalui pendekatan komprehensif;
- membiayai infrastruktur perkotaan dapat menggunakan pilihan domestik
yang tersedia;
- meningkatkan pengelolaan pemerintahan kota;
- konsistensi perencanaan tata ruang di tiap tingkat kepemerintahan (pusat,
propinsi, dan kabupaten/kota);
- menyesuaikan strategi pembangunan perkotaan dengan besarnya kota yang
bersangkutan; serta
- memperbaiki konektivitas antarkawasan metropolitan, begitu juga antara
kawasan perkotaan dan pedesaan mengingat kondisi geografis Indonesia
yang beragam dan terbentang luas.

Anda mungkin juga menyukai