BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pemenuhan kebutuhan dalam memenuhi asuhan keperawatan yang sangat diperlukan
pengawasan terhadap masalah yang berhubungan dengan gangguan dari dalam tubuh yang
diakibatkan oleh Apendiksitis, yang dapat mengganggu pola aktivitas sehari–hari. Ada beberapa
prosedur keperawatan yang dapat dilakukan, diantaranya pemenuhan kebutuhan asuhan
keperawatan pada pasien yang tidak mampu melakukannya secara mandiri.
Sistem gastrointestinal berjalan mulai dari mulut ke anus, yang berfungsi untuk ingesti
dan pendorongan makanan, pencernaannya, serta penyerapan zat-zat gizi yang penting bagi
pertumbuhan dan kehidupan. Saluran GI berawal di rongga mulut berlanjut ke esofagus dan
Lambung dimana makanan sementara disimpan sampai di salurkan ke usus halus. Setelah
diserap di usus makanan disalurkan ke usus besar (colon dan rectum).Organ-organ tambahan
sistem GI meliputi hati, pankreas, kandung empedudan apendik. Jika salah satu organ GI
terganggu maka akan menimbulkan gangguan, salah satunya apendik. Apendik cenderung
menjadi tersumbat ataurentanterhadap infeksi bila pengosongan mukusnya tidak efektif
danlumennya yang kecil kira-kira 7% dari populasi akan mengalamiapendikdisitis.
Apendikdisitis sering terjadi antara 20 dan 30 tahun. Untuk itu diperlukan adanya kerjasama
dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan apendiksitis baik perawat, individu
dan keluarga, sehingga tercapai keperawatan yang komprehensif.
BAB II
TINJAUAN TEORI
B. Etiologi
Appendiksitis merupakan infeksi bakteri yang disebabkan oleh obstruksi atau
penyumbatan akibat :
- Hiperplasia dari folikel limfoid.
- Adanya fekalit dalam lumen appendiks.
- Tumor appendiks.
- Adanya benda asing seperti cacing askariasis.
- Erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histilitica.
Menurut penelitian, epidemiologi menunjukkan kebiasaan makan makanan
rendah serat akan mengakibatkan konstipasi yang dapat menimbulkan appendiksitis. Hal
tersebut akan meningkatkan tekanan intra sekal, sehingga timbul sumbatan fungsional
appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora pada kolon.
C. Patofisiologi
Appendiksitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebutkan mukus yang
diproduksi mukosa yangmengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi
mukosa. Pada saat inilah terjadi appendiksitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
appendiksitis supuraktif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding appendiks yang diikuti gangren. Stadium ini disebut dengan appendiksitis
gangreosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendiksitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate
appendilkularis. Peradangan appendiks tersebut menjadi abses atau menghilang. Pada
anak-anak, karena omentum lebih pendek dan appendiks lebih tipis.Keadaan tersebut
ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan tejadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh
darah (Mansjoer. A, 2000)
D. Manifestasi klinis
Menurut Smeltzer, Suzanne, C, 2001, Tanda dan gejala yang muncul pada pasien
dengan apendiksitis, antara lain :
1. Nyeri kuadran bawah
Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan
lepas mungkin akan dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah
terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi
appendiks. Bila appendiks melingkar di belakang sekum, nyeri dan nyeri tekan
dapat terasa di daerah lumbal ; bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini
hanya dapat diketahui pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi
menunjukkan bahwa ujung appendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter.
Adanya kekeakuan pada bagian bawah otot rektum kanan dapat terjadi.
2. Demam ringan
3. Mual-muntah
4. Hilangnya nafsu makan
5. Nyeri tekan lokal pada titik mc Burney
6. Nyeri tekan lepas (hasil atau intesifikasi dari nyeri bila tekanan dilepaskan)
7. Tanda rovsing
Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang
secara paradoksimal menyebabkan nyeri yang terasa di kuadran kanan bawah.
Apabila appendiks telah ruptur, nyeri dan dapat lebih menyebar ; distensi
abdomen terjadi akibat ileus paralitikdan kondisi klien memburuk
8. Distensi abdomen akibat ileus paralitik
9. Kondisi pasien memburuk
E. Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu
setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu
sudah bertumpuk nanah.
2. Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah
sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks
miring, biasanya ditemukan pada usia tua.
Adapun tahapan peradangan apendisitis, antara lain :
1. Apendisitis akuta (sederhana, tanpa perforasi)
2. Apendisitis akuta perforate ( termasuk apendisitis gangrenosa, karena
dinding apendiks sebenarnya sudah terjadi mikroperforasi).
Beberapa komplikasi Appendiksitis yang dapat terjadi adalah
a) Perforasi
Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya
perforasi. Perforasi appendix akan mengakibatkan peritonitis purulenta
yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh
perut dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans
muskuler di seluruh perut, peristaltik usus menurun sampai menghilang
karena ileus paralitik (Syamsuhidajat, 1997). Apendisitis adalah penyakit
yang jarang mereda dengan spontan, tetapi peyakit ini tidak dapat
diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan
mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama,
observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut. Tanda-tanda
perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran
kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi,
ileus, demam, malaise, leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan
peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak klien pertam
akali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti.
Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah
operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai
penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium, pemasangan NGT,
puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian
antibiotik berspektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotic yang
sesuai dengan kultur, transfusi utnuk mengatasi anemia, dan penanganan
syok septik secara intensif, bila ada.
Bila terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan
bawah yang cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina.
Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik (misalnya ampisilin,
gentamisin, metronidazol, atau klindamisin). Dengan sediaan ini abses
akan segera menghilang, dan apendiktomi dapat dilakaukan 6-12 minggu
kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakuakn
drainase.Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rektum atau vagina
dengan fruktuasi positif juga perlu dibuatkan drainase.
Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi
merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus dicurigai bila ditemukan
demam sepsis, menggigil, hepatomegali, dan ikterus setelah terjadi
perforasi apendiks. Pada keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotik
kombinasi dengan drainase. Komplikasi lain yang terjadi ialah abses
subfrenikus dan fokal sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga
dapat terjadi akibat perlengketan.
Peritonitis
Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat
terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi
akibat penyebaran infeksi dari apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi
tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya
peritonitis generalisata. Dengan begitu, aktivitas peristaltic berkurang
sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus menyebabkan dehidrasi,
gangguan sirkulasi, oligouria, dan mungkin syok.Gejala : demam,
lekositosis, nyeri abdomen, muntah, Abdomen tegang, kaku, nyeri tekan,
dan bunyi usus menghilang (Price dan Wilson, 2006).
b) Massa Periapendikuler
Hal ini terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi pendindingan oleh omentum. Umumnya massa apendix terbentuk
pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis
generalisata. Massa apendix dengan proses radang yang masih aktif
ditandai dengan keadaan umum masih terlihat sakit, suhu masih tinggi,
terdapat tanda-tanda peritonitis, lekositosis, dan pergeseran ke kiri. Massa
apendix dengan proses meradang telah mereda ditandai dengan keadaan
umum telah membaik, suhu tidak tinggi lagi, tidak ada tanda peritonitis,
teraba massa berbatas tegas dengan nyeri tekan ringan, lekosit dan netrofil
normal (Ahmadsyah dan Kartono, 1995).
F. Pencegahan
Pencegahan pada appendiksitis yaitu dengan menurunkan resiko obstuksi dan
peradangan pada lumen appendiks. Pola eliminasi klien harus dikaji,sebab obstruksi
oleh fekalit dapat terjadi karena tidak ada kuatnya diit tinggi serat.Perawatan dan
pengobatan penyakit cacing juga menimbulkan resiko. Pengenalan yang cepat
terhadap gejala dan tanda appendiksitis menurunkan resiko terjadinya
gangren,perforasi dan peritonitis.
G. Penatalaksanaan
Appendiktomi
Ada 3 cara tehnik operatif yang mempunyai keuntungan dan kerugian
1. Insisi menurut Mc.Burney (grid incision atau muscle splitting incision).
Sayatan dilakukan pada garis yang tegak lurus pada garis yang menghubungkan
spinal iliaka anterior superior (SIAS) dengan umbilicus pada batas sepertiga
lateral (titik Mc.Burney). Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia. Otot-otot
dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan
tampak peritonium parietal (mengkilat berwarna biru ke abu-abuan) yang disayat
secukupnya untuk meluksasi sekum. Sekum di kenal dari ukurannya yang besar,
megkilat, lebih kelabu/putih, mempunyai hustrae dan taenia koli.Sedangkan ileum
lebih kecil, lebih merah, dan tidak mempunyai haustrae atau taenia koli. Basis
apendiks dicari pada pertemuan ketiga taenia koli . Tehnik inilah yang paling
sering dikerjakan karena keuntungannya tidak terjadi benjolan dan tidak mungkin
terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh dan masa istirahat
pasca bedah yang lebih pendek karena penyembuhan lebih cepat. Kerugiannya
adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas, dan waktu operasi lebih lama.
Lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong otot secara tajam.
2. Insisi menurut Roux (muscle cutting incision)
Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc. Burney, hanya sayatannya langsung
menembus dinding perut tanpa memperdulikan arah serabut sampai mudah
diperluas, sederhana dan mudah. Sedangkan kerugiannya adalah diagnosis yang
harus tepat sehingga lokasi dapat dipastikan, lebih banyak memotong syaraf dan
pembuluh darah sehingga perdarahan menjadi lebih banyak, masa istirahat pasca
bedah lebih lama karena adanya benjolan yang mengganggu pasien, nyeri pasca
operasi lebih sering terjadi kadang-kadang ada hematoma yang terinfeksi dan
massa penyembuhan lebih lama.
3. Insisi pararektal
Dilakukan sayatan pada garis batas lateral m. rektus abdominalis dekstrasecara
vertical dati cranial ke kaudal sepanjang 10 cm. Keuntungan teknik ini dapat
dipakai kasus-kasus appendiks yang belum pasti dan kalau perlu sayatan dapat
diperpanjang dengan mudah. Sedangkan kerugiannya sayatanini tidak secara
langsung mengarah ke appendiks atau sekum, kemungkinan memotong saraf dan
pembuluh darah lebih besar dan untuk menutup luka operasi jahitan perlu
dilakukan jahitan penunjang.