Anda di halaman 1dari 22

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Latar Belakang


Anemia hemolitik adalah suatu keadaan anemia yang terjadi oleh karena
meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikut dengan
ketidakmampuan sum-sum tulang dalam memproduksi sel eritrosit untuk
mememenuhi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit, penghancuran
sel eritrosit yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya hiperplasi sumsum
tulang sehingga produksi sel eritrosit akan meningkat dari normal, hal ini terjadi
bila umur eritrosit kurang dari 120 hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan
anemia. Namun bila sumsum tulang tidak mampu mengatasi keadaan tersebut
maka akan terjadi anemia.
Anemia hemolitik berdasarkan etiologinya salah satunya dapat disebabkan
oleh defisiensi G6PD. Pada defisiensi G6PD, maka membran eritrosit akan lebih
rentan terhadap stress oksidan dan akan lebih mudah menimbulkan kerapuhan
dikarenakan tidak kuatnya membran dari eritrosit tersebut.
Hemolisis berbeda dengan proses penuaan (senescence) , yaitu pemecahan
eritrosit karena memang sudah cukup umurnya. Hemolisis dapat terjadi dalam
pembuluh darah (intravascular) atau di luar pembuluh darah (ekstravaskular) yang
membawa konsekuensi patofisiologik yang berbeda.
Insidensi AIHA di amerika serikat tidak terlalu serikat tidak terlalu tinggi,
terjadinya AIHA di amerika serikat yaitu 1 per 80.000 sampai 2,6 per 100.000
ribu tiap tahunnya, dengan rata-rata insidensi 3.400 orang terkena AIHA di
amerika serikat.
Dari lembaga transfusi darah PMI jakarta AIHA tipe warm antibodi pada
tahun 1981 dijumpai 82 kasus dan 31 kasus pada tahun 1983, sedangkan tipe cold
antibody terdapat 9 kasus pada tahun 1983 dan 31 kasus pada tahun 1984.
Studi epidemiologi tentang AIHA jarang dilakukan di Indonesia, hal ini
dapat dibuktikan dengan sulitnya mencari hasil-hasil studi epidemiologi tentang
AUHA di Indonesia. Mungkin karena jarang terjadi di Indonesia, AIHA menjadi
jarang diteliti di Indonesia.

1
1.2. Definisi
Anemia hemolitik adalah suatu keadaan anemia yang terjadi oleh karena
meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang disebabkan oleh adanya
antibody oleh sel – sel eritrosit atau akibat kerusakan sel eritrosit yang lebih cepat
dari kemampuan sumsum tulang untuk menghasilkan eritrosit.
Penghancuran sel eritrosit yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya
hiperplasia sumsum tulang sehingga produksi sel eritrosit akan meningkat dari
normal, namun umur eritrosit kurang dari 120 hari menjadi 15-20 hari tanpa
diikuti dengan anemia.

1.3 Epidemiologi
Insidensi AIHA di amerika serikat tidak terlalu serikat tidak terlalu tinggi,
terjadinya AIHA di amerika serikat yaitu 1 per 80.000 sampai 2,6 per 100.000
ribu tiap tahunnya, dengan rata-rata insidensi 3.400 orang terkena AIHA di
amerika serikat.
Dari lembaga transfusi darah PMI jakarta AIHA tipe warm antibodi pada
tahun 1981 dijumpai 82 kasus dan 31 kasus pada tahun 1983, sedangkan tipe cold
antibody terdapat 9 kasus pada tahun 1983 dan 31 kasus pada tahun 1984.
Studi epidemiologi tentang AIHA jarang dilakukan di Indonesia, hal ini
dapat dibuktikan dengan sulitnya mencari hasil-hasil studi epidemiologi tentang
AUHA di Indonesia. Mungkin karena jarang terjadi di Indonesia, AIHA menjadi
jarang diteliti di Indonesia

1.4. Etiologi
Penyebab penyakit Anemia hemolitik antara lain:
Faktor Intrinsik :
Yaitu kelainan yang terjadi pada sel eritrosit. Kelainan karena faktor ini dibagi
menjadi tiga macam yaitu:
1. Karena kekurangan bahan baku pembuat eritrosit
2. Karena kelainan eritrosit yang bersifat kongenital contohnya thalasemia &
sferosis kongenital
3. Abnormalitas dari enzim dalam eritrosit

2
Faktor Ekstrinsik :

Yaitu kelainan yang terjadi karena hal-hal diluar eritrosit.

1. Akibat reaksi non imumitas : karena bahan kimia / obat


2. Akibat reaksi imunitas : karena eritrosit yang dibunuh oleh antibodi yang
dibentuk oleh tubuh sendiri.
3. Infeksi ,seperti malaria
4. Anemia hemolitik autoimun
5. Anemia hemolitik mikroangipatik

1.5. KLASIFIKASI ANEMIA HEMOLITIK

Kategori anemia hemolitik :

A. Anemia hemolitik autoimun.

B. Anemia hemolitik non autoimun

A. Anemia hemolitik autoimun

1. Anemia hemolitik autoimun (AIHA) terjadi ketika terdapat autoantibodi


yang berikatan dengan eritrosit, sehingga menghancurkan sel darah merah
dan berujung pada manifestasi anemia. Anemia hemolitik autoimun
menandakan adanya kegagalan dalam mekanisme pengenalan antigen diri.
Mekanisme spesifik dari AIHA sendiri belum jelas sampai saat ini. Sindrom
AIHA secara umum dibagi berdasarkan hubungan antara aktivitas antibodi
dan suhu. Antibodi tipe hangat yaitu molekul IgG mempunyai afinitas
maksimal pada eritrosit di suhu tubuh. Sedangkan antibodi tipe dingin yaitu
molekul IgM, mempunyai afinitas maksimal pada eritrosit di suhu rendah.

Insidens dari AIHA tipe hangat sekitar satu dari total 75-80.000 populasi
di USA. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat dapat muncul pada usia
berapapun, tidak seperti AIHA tipe dingin yang seringkali menyerang usia
pertengahan dan lanjut, atau Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH) yang

3
melibatkan usia kanak.2 Namun, di Indonesia tidak ada data yang khusus
membahas tentang prevalensi dan insiden kasus AIHA secara nasional.

Anemia hemolitik autoimun (autoimmune hemolytic anemia/ AIHA)


merupakan suatu kelainan di mana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit
sehingga umur eritrosit memendek

Patofisiologi

Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui


aktivasi sistem komplemen, aktivasi mekanisme selular, atau kombinasi
keduanya

Aktivasi Sistem Komplemen

Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyebabkan


hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskular yang
ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria.

Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur


alternatif. Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur
klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3 disebut sebagai agglutinin tipe dingin,
sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel
darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut agglutinin
hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu
tubuh.

4
Jalur aktivasi komplemen

5
Klasifikasi animia hemolitik autoimun

A. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat


B. Anemia hemolitik autoimun tipe dingin

A. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat

Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi bereaksi
secara optimal pada suhu 37°C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat
disertai penyakit lain. Eritrosit biasanya dilapisi oleh immunoglobulin (IgG) saja
atau dengan komplemen, dan karena itu, diambil oleh makrofag retikuloendotelial
yang mempunyai reseptor untuk fragmen Fc IgG. Bagian dari membran yang
terlapis hilang sehingga sel menjadi makin sferis secara progresif untuk
mempertahankan volume yang sama dan akhirnya dihancurkan secara prematur,
terutama di limpa. Jika sel dilapisi IgG dan komplemen (C3d, fragmen C3 yang
terdegradasi) atau komplemen saja, destruksi eritrosit menjadi lebih banyak dalam
sistem retikuloendotelial.

Gejala dan Tanda: penyakit ini dapat terjadi pada semua usia dan semua
jenis kelamin, timbul sebagai anemia hemolitik dengan keparahan yang bervariasi.
Limpa seringkali membesar. Penyakit ini cenderung mengalami remisi dan relaps;
dapat timbul sendiri atau disertai penyakit lain, atau muncul pada beberapa pasien
akibat terapi metildopa.

Awitan penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan


demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai
nyeri abdomen, dan anemia berat. Urin berwarna gelap karena terjadi
hemoglobinuria. Ikterik terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik
splenomegali terjadi pada 50-60%, Hepatomegali terjadi pada 30%, dan
limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak disertai
pembesaran organ dan limfonodi.

Laboratorium: temuan laboratorium dan biokimia bersifat khas pada anemia


hemolitik ekstravaskular dengan sferositosis yang menonjol dalam darah tepi.

6
Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7 g/dl. Pemeriksaan Coomb direk biasanya
positif. Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat
dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan
bereaksi dengan semua sel eritrosit normal. Autoantibodi tipe hangat ini biasanya
bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh.

B. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Dingin

Pada tipe ini, autoantibodi, baik monoklonal (seperti pada sindrom


hemaglutinin dingin idiopatik atau yang terkait dengan penyakit limfoproliferatif)
atau poliklonal (seperti sesudah infeksi) melekat pada eritrosit terutama di
sirkulasi perifer dengan suhu darah yang mendingin. Antibodi biasanya adalah
IgM dan paling baik berikatan dengan eritrosit pada suhu 4°C. Antibodi IgM
sangat efisien dalam memfiksasi komplemen dan dapat terjadi hemolisis
intrvaskular dan ekstravaskular. Komplemen sendiri biasanya terdeteksi pada
eritrosit, antibodinya telah mengalami elusi dari sel pada bagian sirkulasi yang
lebih hangat. Pada hampir semua tipe ini, antibodi ditujukan pada antigen ‘I’ di
permukaan eritrosit.

Gambaran klinis: Pasien mungkin menderita anemia hemolitik kronik yang


diperburuk oleh dingin dan seringkali disertai dengan hemolisis intravascular.
Dapat terjadi ikterus ringan dan splenomegali. Pasien dapat menderita
akrosianosis di ujung hidung, telinga, jari-jari tangan dan kaki yang disebabkan
oleh aglutinasi eritrosit dalam pembuluh darah kecil. Hemolisis berjalan kronik.
Anemia biasanya ringan dengan Hb 9-12 g/dl.

Laboratorium: Anemia ringan, sferositosis, polikromatosia, tes Coombs langsung


memperlihatkan komplemen (C3d) saja pada permukaan eritrosit, eritrosit
beraglutinasi dalam suhu dingin.

2. Anemia Hemolitik Imun Diinduksi Obat

Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat yaitu:


hapten/penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan

7
kompleks ternary (mekanisme kompleks imun tipe innocent bystander), induksi
autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu, serta
oksidasi hemoglobin. Penyerapan/absorbsi protein non-imunologis terkait obat
akan menyebabkan tes coombs positif tanpa kerusakan eritrosit.

 Pada mekanisme hapten/absorbsi obat, obat akan melapisi eritrosit dengan


kuat. Antibodi terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat pada
permukaan eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan
dirusak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrosit hanya bereaksi
dengan reagen yang mengandung eritrosit berlapis obat yang sama (misal
penisilin).
 Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau
metabolit obat, tempat ikatan obat permukaan sel target, antibodi, dan
aktivasi komplemen. Antibodi melekat pada neoantigen yang terdiri dari
ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah, dan
antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat ataupun
membrane eritrosit. Beberapa antibodi itu memiliki spesifisitas terhadap
antigen golongan darah tertentu. Pemeriksaan coombs biasanya positif.
Setelah aktivasi komplemen terjadi hemolisis intravaskular,
hemoglobinemia, dan hemoglobinuria. Mekanisme ini terjadi pada
hemolisis akibat obat kinin, kuinidin, sulfonamide, sulfonylurea, dan
tiazid.
 Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit
autolog, seperti contoh metildopa. Metildopa yang bersirkulasi dalam
plasma akan menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh pada
permukaan sel darah merah. Jadi yang melekat pada permukaan sel darah
merah adalah autoantibodi, sedangkan obat tidak melekat. Mekanisme
bagaimana induksi formasi autoantibodi ini tidak diketahui.
 Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh karena
hemoglobin mengikat oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan
mengalami kerusakan akibat zat oksidatif. Eritrosit yang tua makin mudah
mengalami trauma oksidatif. Tanda hemolisis karena proses oksidasi

8
adalah dengan ditemukannya methemoglobin, sulfhemoglobin, dan Heinz
bodies, blister cell, bites cell dan eccentrocytes. Contoh obat yang
menyebabkan hemolisis oksidatif ini adalah nitrofurantoin,
phenazopyridin, aminosalicylic acid. Pasien yang mendapat terapi
sefalosporin biasanya tes coombs positif karena absorbsi non-imunologis,
immunoglobulin, komplemen, albumin, fibrinogen, dan plasma protein
lain pada membran eritrosit.

Gambaran klinis: Adanya riwayat pemakaian obat tertentu. Pasien yang timbul
hemolisis melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi
sebagai hemolisis ringan sampai sedang. Bila kompleks ternary yang berperan
maka hemolisis akan terjadi secara berat, mendadak, dan disertai gagal ginjal. Bila
pasien sudah pernah terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah dapat terjadi
pada pemajanan dengan dosis tunggal.

Laboratorium: Anemia, retikulositosis, MCV tinggi, tes coombs positif,


leukopenia, trombositopenia, hemoglobinemia, hemoglobinuria sering terjadi pada
hemolisis yang diperantarai kompleks ternary.

3. Anemia Hemolitik Aloimun karena Transfusi

Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi transfusi akut yang
disebabkan karena ketidaksesuaian ABO eritrosit (sebagai contoh transfusi PRC
golongan A pada pasien golongan darah O yang memiliki antibodi IgM anti-A
pada serum) yang akan memicu aktivasi komplemen dan terjadi hemolisis
intravaskular yang akan menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa
menit pasien akan sesak nafas, demam, nyeri pinggang, menggigil, mual, muntah,
dan syok. Reaksi transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah transfusi, biasanya
disebabkan karena adanya antibodi dalam kadar rendah terhadap antigen minor
eritrosit. Setelah terpapar dengan sel-sel antigenik, antibodi tersebut meningkat
pesat kadarnya dan menyebabkan hemolisis ekstravaskular.

9
2. ANEMIA HEMOLITIK NON AUTOIMUN
A. Herediter-Familier
1. Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
a. Hereditary spherocytosis
Merupakan anemia hemolitik herediter diturunkan secara autosom
dominan, paling umum di Eropa Utara disebabkan cacat protein struktural
dari membran sel darah merah / defek membran. Sumsum tulang membuat sel
darah merah normal yang bikonkaf tetapi sel darah kehilangan membrannya
saat beredar melalui limpa dan sistem RES. Ratio permukaan sel terhadap
volume berkurang dan sel menjadi lebih sferis sehingga kurang elastic
melalui mikrosirkulasi dimana sferosit pecah lebih dini.
Tes Khusus:
 Fragilitas osmotik meningkat.
 Autohemolitik meningkat.
 Coomb’s direct test negatif.
 Cr51 destruksi oleh limpa terbanyak.

Panah hitam: Bentuk Sferositosis

b. Hereditary elliptocytosis

10
c. Hereditary stomatocytosis

2. Gangguan metabolism/enzim eritrosit (enzimopati)


A. Defek pada jalur heksosemonofosfat Defisiensi G-6PD (glucose-6
phosphate dehydrogenase) Defisiensi G6PD diturunkan secara sex-linked,
mengenai laki – laki dan didapatkan pada wanita yang memperlihatkan
kadar G6PD sel darah merahnya setengah normal. Merupakan hemolisis
intravaskuler yang berkembang cepat dengan faktor pencetus infeksi dan
penyakit akut lain, obat-obatan dan kacang fava.
B. Defisiensi enzim dideteksi dengan tes penyaring pemeriksaan enzim
G6PD pada sel darah merah.
Gambaran darah tepi saat krisis: sel krenasi, sel fragmen, sel gigitan/bite,
dan sel lepuh/blister. Heinz Bodies/hemoglobin teroksidasi terdenaturasi
tampak pada retrikulosit, terutama pada saat splenektomi.

11
MUTASI GEN

G6PD ↓ NADPH ↓ Stress oksidatif ↑

Obat
Stress oksidatif hemolisis
(oksidan)

Eritrosit ↓
Bilirubin
direk ↑
Hematokrit ↓

lemas
Hb keluar

Bilirubin
ATP ↓ Katabolisme heme
indirek ↑↑
hemoglobinemia

Metabolisme Vasokonstriksi
O2 ↓ pucat
otot ↓ perifer

a. Defek pada jalur Embden-Meyerhoff Defisiensi piruvat-kinase


Diturunkan secara resesif otosomal homozigot. Sel darah merah lisis
karena pembentukan ATP berkurang. Sel darah merah lisis karena
pembentukan ATP berkurang. Anemia ringan dengan hemoglobin 4-10g/dl
disebabkan pergeseran kurva disosiasi O2 ke kanan akibat kenaikan 2,3 DPG
dalam sel.
Pemeriksaan Laboratorium : Autohemolisis meningkat. Diagnosis
pasti dengan pemeriksaan jumlah enzim PK.

12
b. Nucleotide enzyme defect

C. Gangguan pembentukan hemoglobin (hemoglobinopati)


a. Hemoglobinopati structural (kelainan struktur asam amino pada rantai alfa
atau beta : HbC, HbD, HbE, HbS, unstable Hb, dll
b. Sindrom Thalassemia (gangguan sintesis rantai alfa atau beta) Thalasemia
alfa, beta , dll
c. Heterosigot ganda hemoglobinopati dan thalassemia Thalassemia-HbE,
dll.
B. DIDAPAT
1. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH)
Hemoglobinuria Paroksismal Nokturnal adalah anemia hemolitik
yang jarang terjadi, yang menyebabkan serangan mendadak dan berulang
dari penghancuran sel darah merah oleh sistem kekebalan.
Penghancuran sejumlah besar sel darah merah yang terjadi secara
mendadak (paroksismal), bisa terjadi kapan saja, tidak hanya pada malam
hari (nokturnal), menyebabkan hemoglobin tumpah ke dalam darah.
Ginjal menyaring hemoglobin, sehingga air kemih berwarna gelap
(hemoglobinuria).
Anemia ini lebih sering terjadi pada pria muda, tetapi bisa terjadi
kapan saja dan pada jenis kelamin apa saja.. Penyebabnya masih belum
diketahui.
Penyakit ini bisa menyebabkan kram perut atau nyeri punggung
yang hebat dan pembentukan bekuan darah dalam vena besar dari perut
dan tungkai.. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium
yang bisa menemukan adanya sel darah merah yang abnormal, khas untuk
penyakit ini.
Untuk meringankan gejala diberikan kortikosteroid (misalnya
prednison).
Penderita yang memiliki bekuan darah mungkin memerlukan
antikoagulan (obat yang mengurangi kecenderungan darah untuk
membeku, misalnya warfarin).

13
Transplantasi sumsum tulang bisa dipertimbangkan pada penderita
yang menunjukkan anemia yang sangat berat.

1.6 Manifestasi Klinis


Penegakan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang teliti.
A. Gambaran klinis
 Pucat
 Lemah
 Sesak nafas
 Ikterus
 Splenomegali (Kadang – kadang)
 Urine gelap (karena urobilinogen berlebihan)

B. Pemeriksaan Laboratorium
1. Direct Antiglobulin Test (Coomb’s test direct)
2. Coomb test indirect
3. Gambaran peningkatan pemecahan :
 Bilirubin serum meningkat, tidak terkonjugasi dan terikat pada
albumin.
 Urobilinogen urin meningkat
 Sterkobilinogen feses meningkat
 Haptoglobin serum tidak ada (karena haptoglobin menjadi jenuh
oleh hemoglobin dan kompleks ini dikeluarkan oleh sel RE).
4. Gambaran peningkatan produksi eritrosit :
 Retikulositosis
 Hiperplasia eritroid sumsum tulang
5. Eritrosit yang rusak :
 Morfologi : mikroferosit, eliptosit, fragmentosit.
 Fragilitas osmotik, autohemolisis
 Ketahanan eritrosit memendek (ditunjukkan dari pelabelan 51Cr
disertai pemeriksaan lokasi destruksi)

14
6. Gambaran hemolisis intravaskular :
 Hemoglobinemia dan hemoglobinuria.
 Hemosiderinuria
 Methemalbuminemia

1.7 Diagnosis

1. Menentukan Anemia Hemolitik dibandungkan dengan anemia jenis lain


dengan memeriksa:
- adanya tanda penghancuran dan pembentukan eritrosit pada waktu
yang sama
- terjadinya anemia yang diikuti dengan sistem eritropoesis yang
meningkat (hipersensitivitas eritropoesis)
- terjadinya penurunan kadar hemoglobin dengan cepat tanpa diimbangi
dengan proses eritropoesis yang normal.
2. Menentukan penyebab spesifik dari anemia hemolitik tersebut.
3. Mengklasifikasikan termasuk ke dalam jenis anemia hemolitik apa

4. Gambaran apus darah penderita anemia hemolitik ditandai dengan


mikrosferosit (hiperkrom mikrositer) dan bentuk eritrosit abnormal.

5. Pemeriksaan Laboratorium :
a. Gambaran penghancuran eritrosit yang meningkat:

15
- bilirubin serum meningkat
- urobilinogen urin meningkat, urin kuning pekat
- strekobilinogen feses meningkat, pigmen feses menghitam
b. Gambaran peningkatan produksi eritrosit
- retikulositosis, mikroskopis pewarnaan supravital
- hiperplasia eritropoesis sum-sum tulangGambaran rusaknya eritrosit:
morfologi : mikrosferosit, anisopoikilositosis, burr cell, hipokrom
mikrositer, target cell, sickle cell, sferosit.
- fragilitas osmosis, otohemolisis
- umur eritrosit memendek. Pemeriksaan terbaik dengan labeling crom.
persentasi aktifikas crom dapat dilihat dan sebanding dengan umur
eritrosit. semakin cepat penurunan aktifikas Cr maka semakin pendek
umur eritrosit

1.8 Diagnosis Banding


Dalam mendiagnosis anemia hemolitik, penting untuk mempertimbangkan
kemungkinan jenis anemia hemolitik. Diagnosis banding lain untuk anemia
hemolitik antara lain:
1. Anemia penyakit krotis
2. Anemia aplastik
3. Idiopati trombositopenia purpura
4. Evan’s syndrome

1.9 Terapi
a. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat

 Kortikosteroid: 1-1.5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan


menunjukkan respon klinis baik (Ht meningkat, retikulosit menurun, tes
coombs direk positif lemah, tes comb indirek negatif). Nilai normal dan
stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda
respon terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu 10-20 mg/hari.
Terapi steroid dosis <30 mg/hari diberikan secara selang sehari. Beberapa
pasien akan memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah,

16
namun bila dosis perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan
kadar Ht, maka perlu segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain.
 Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan
tapering dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi.
Splenektomi akan menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah
merah. Hemolisis masih bisa terus berlangsung setelah splenektomi,
namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah
yang jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama.
Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%, namun tidak bersifat
permanen. Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan setelah
splenektomi.
 Imunosupresi. Azatioprin 50-200 mg/hari, siklofosfamid 50-150 mg/hari.
Terapi lain: danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-
sama steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan
dosis danazol diturunkan menjadi 200-400 mg/hari. Terapi
immunoglobulin (400 mg/kgBB per hari selama 5 hari) menunjukkan
perbaikan pada beberapa pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak
efektif pada beberapa pasien lain. Jadi terapi ini diberikan bersama terapi
lain dan responnya hanya bersifat sementara. Terapi plasmafaresis masih
kontroversial.
 Terapi transfusi. Terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak.
Pada kondisi yang mengancam jiwa (misal Hb < 3 g/dl) transfusi dapat
diberikan, sambil menunggu steroid dan immunoglobulin untuk berefek.

b. Anemia hemolitik autoimun tipe dingin


Menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis, prednisone dan
splenektomi tidak banyak membantu, klorambusil 2-4 mg/hari, plasmaferesis
untuk mengurangi antibodi IgM secara teoritis bisa mengurangi hemolisis,
namun secara praktik hal ini sukar dilakukan.

17
1.1.0 Komplikasi

A. Deep vein thrombosis (DVT)

adalah bekuan darah yang terbentuk di vena dalam, biasanya di tungkai


bawah. Kondisi ini cukup serius, karena terkadang bekuan tersebut bisa pecah
dan mengalir melalui peredaran darah ke organ-organ vital seperti emboli paru
atau menyumbat arteri pada limpa sehingga terjadi iskemi dan bisa
menyebabkan gangguan jantung hingga kematian.

B. Gagal ginjal akut

Terjadi Hemogloblinuria oleh karena terjadi penghancuran eritrosit dalam


sirkulasi, maka Hb dalam plasma akan meningkat dan jika konsentrasi
plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma maka Hb akan berdifusi
dalam glomerulus ginjal. Selain itu juga terjadi mikrioangiopati pada
pembuluh darah ginjal sehingga merusak tubuli ginjal menyebabkan oligouria
dan gangguan berat fungsi ginjal.

1.1.1 Edukasi dan Pencegahan

 Belum ada obat-obatan yang dapat mencegah anemia hemoltítik autoimun


 Sebaiknya konseling genetik sebelum memiliki anak, jika salah satu
pasangan memiliki riwayat anemia hemolitik
 Menghindari cuaca dingin bisa mengendalikan bentuk yang kronik pada
anemia hemolitik autoimun tipe dingin
 Hindari transfusi darah yang tidak perlu

1.1.2 PROGNOSIS
Prognosis jangka panjang pada pasien penyakit ini adalah baik. Splenektomi
sering kali dapat mengontrol penyakit ini atau paling tidak memperbaikinya.

18
BAB II
STATUS ORANG SAKIT

No. Reg. RS : 00.97.52.34


Tanggal Masuk : 22 September 2015
Jam : 17.48
Bed : Ruang XIV Bed 18

ANAMNESIS PRIBADI
Nama Lilisolihat
Umur 60 tahun
Jenis Kelamin Perempuan
Status Perkawinan Menikah
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga
Suku Jawa
Agama Islam
Alamat Desa Jeraya

ANAMNESIS

Autoanamnesis Alloanamnesis

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Keluhan Utama : Lemas
Telaah : Os merasakan badan lemas disertai muka pucat sejak ± 1
bulan ini, semakin hari keluhan semakin memberat riwayat perdarahan spontan
seperti mimisan, gusi berdarah disangkal os. Riwayat BAB hitam dijumpai
sekitar 4 bulan yang lalu. Os sudah berobat ke RS Evaliana. Saat masuk di RS
Evaliana Hb = 4 dan mendapat tansfusi darah 4 kantong. Setelah ditransfusi Hb
naik menjadi 8, lalu os disarankan untuk berobat jalan. Sebulan kemudian os
merasakan lemas, letih, dan lesu, Os berobat ke RS Evaliana dan dikatakan Hb
turun menjadi 6,5, tanpa adanya tanda perdarahan. Karena keluhan sering

19
berulang, lalu Os dirujuk ke RSU DR. Pirngadi Medan. Demam juga dialami Os
dalam ±1 bulan ini. Demam hilang timbul, tidak terlalu tinggi,dan tidak disertai
dengan menggigil. Mual dijumpai muntah dan nyeri ulu hati tidak dijumpai.
Pasien mengeluhkan nyeri punggung ± sejak 1 bulan belakangan, myerinya hilang
timbul dan tidak menjalar. Riwayat adanya pembesaran limfa disangkal os..
Riwayat kelainan darah, kanker dan SLE disangkal os. Riwayat tekanan darah
rendah dijumpai ± 2 tahun dengan tekanan darah 90/70 mmHg. Riwaayat penyakit
gula, dan darah tinggi disangkal os. Riwayat BAK berwarna gelap disangkal os,
pada os BAK berwarna kuning bening dengan frekuensi dalam batas normal.
Riwayat BAB berwarna gelap tidak dijumpai, pada os berwarna kuning
kecoklatan dengan frekuensi 1 kali dalam sehari. Riwayat sakit kuning
sebelumnya disangkal os. Riwayat pekerjaan os sebagai Petani dan sering
memasak dengan kayu bakar selama 17 tahun.
RPT : Tidak dijumpai
RPK : Tidak dijumpai
RPO : Tidak jelas

ANAMNESIS UMUM ORGAN


Jantung Sesak napas - Edema -
Angina pektoris - Palpitasi -
Lain-lain -
Saluran Batuk-batuk + (Kadang) Asma, bronkitis -
pernafasan Dahak - Lain-lain -
Saluran Nafsu makan +↓ Penurunan BB : Tidak Jelas
pencernaan Keluhan menelan - Keluhan defekasi -
Keluhan perut - Lain-lain -
Saluran Sakit buang air - Buang air kecil -
urogenital kecil tersendat
Mengandung batu - Keadaan urin : Normal
Haid - Lain-lain -
(menopause)
Sendi dan Sakit pinggang + Keterbatasan -

20
tulang gerak

21
RENCANA PENJAJAKAN DIAGNOSTIK / TINDAKAN LANJUTAN
1. Darah rutin
2. EKG
3. KGD ad random
4. RFT
5. LFT
6. Elektrolit
7. Coombs test
8. Viral marker
9. USG abdomen

22

Anda mungkin juga menyukai