Anda di halaman 1dari 22

REFLEKSI KASUS OKTOBER 2015

“ CEREBRAL PALSY ”

Nama : Irvan Ananto S.Ked


No. Stambuk : G 111 14 060
Pembimbing : dr. SULDIAH, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2015

BAB I
PENDAHULUAN

Cerebral palsy adalah keadaan kerusakan jaringan otak yang permanen dan
tidak progresif yang terjadi pada waktu masih muda (sejak dilahirkan) dan
merintangi perkembangan otak normal dengan gambaran klinis yang menunjukan
kelainan dalam sikap dan pergerakan disertai kelainan neurologis berupa
kelumpuhan spastik dan kelainan mental. Istilah cerebral palsy merupakan istilah
yang digunakan untuk menggambarkan sekelompok gangguan gerakan, postur
tubuh, dan tonus yang bersifat non progresif, akibat cedera pada sistem saraf pusat
selama awal masa perkembangan.1
Meskipun metode dan peralatan medis untuk perawatan neonatus telah
berkembang secara signifikan, insidensi cerebral palsy tidak mengalami
perubahan dalam lebih dari 4 dekade terakhir. Prevalensi cerebral palsy di negara-
negara maju adalah 2 - 2.5 kasus per 1000 kelahiran hidup, dimana bayi prematur
merupakan kelompok prevalensi tertinggi. Pada negara berkembang, prevalensi
cerebral palsy tidak begitu jelas diketahui. Semua kelompok ras memiliki potensi
yang sama terkena cerebral palsy. Status sosioekonomi yang rendah serta jenis
kelamin laki-laki merupakan risiko tinggi kejadian cerebral palsy.2
Prevalensi cerebral palsy berkisar antara 1.5 hingga 2.5 per 1000 kelahiran
hidup dengan variabilitas yang kecil bahkan hampir tidak ada pada negara-negara
barat. Studi yang dilaksanakan oleh The Collaborative Perinatal Project dengan
melibatkan 45.000 anak yang dimonitor sejak intra-uterus hingga usia 7 tahun
menunjukkan bahwa sebagian besar anak dengan cerebral palsy tidak
berhubungan dengan proses persalinan dan kelahiran. Pada 80% kasus cerebral
palsy ditemukan adanya hubungan faktor antenatal yang menyebabkan terjadinya
abnormalitas perkembangan otak. Kurang dari 10% anak dengan asfiksia
intrapartum yang mengalami cerebral palsy. Infeksi intra-uterus (chorioamnitis,
inflamasi membran plasenta, inflamasi tali pusat, cairan amnion berbau busuk,
sepsis maternal, suhu tubuh > 38 ℃ saat persalinan, infeksi saluran kemih)
diketahui berhubungan secara signifikan dengan peningkatan risiko cerebral palsy
pada bayi dengan berat lahir normal.4

2
Pada laporan kasus ini, akan dibahas mengenai cerebral palsy pada pasien
anak yang datang di poli anak RSUD UNDATA palu.

BAB II

3
KASUS

1. Identitas
Nama : An. I J
Umur : 2 tahun 2 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Ds. Toga, Kec. Ampibabo
Tanggal Pemeriksaan : 23 september 2015

2. Anamnesis
Keluhan Utama : Kaku seluruh tubuh
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poli Anak RSUD Undata diantar oleh orang tuanya dengan
keluhan kaku seluruh badan. Keluhan dialami sejak ± 5 bulan yang lalu. Kedua
kaki dan tangan dalam posisi lurus dan kaku. Saat ini pasien belum dapat
mengangkat kepala dan menjadi kurang aktif. Pasien belum mampu tengkurap
usia ini dan leher masih lemah. Seluruh tubuh tetap kaku walaupun dalam kondisi
tidur. Orang tua mengamati mata anak yang sering tampak tidak sama dan susah
melirik jika dipanggil.
Pasien tidak mengalami kejang dan panas. Tidak ada batuk, flu, dan sesak
napas. Tidak ada mual, muntah, sakit perut, buang air besar biasa. Buang air kecil
lancar.
Riwayat Penyakit Sebelumnya :
- Riwayat opname 1 minggu yang lalu dan 5 bulan yang lalu dengan
keluhan yang sama. Kaku seluruh tubuh dialami setelah pasien kejang.
Kejang dialami 1 kali dan berlangsung kurang lebih 10 menit. Saat kejang
pasien kaku seluruh tubuh. Setelah kejang pasien kaku dan tidak aktif.
- Riwayat kejang (+) saat bayi
Riwayat Penyakit Keluarga :
Dalam keluarga tidak ada yang mengalami hal yang sama
Riwayat Sosial-ekonomi : menengah atas

4
Riwayat Kehamilan dan Persalinan :
Pasien anak pertama, lahir cukup bulan, ibu mengalami persalinan lama, lahir
dengan induksi vakum – letak belakang kepala, saat lahir tidak langsung
menangis, warna air ketuban tidak diketahui, berat badan lahir 3200 gram,
panjang badan lahir 49 cm. Setelah lahir bayi dirawat di ruang bayi selama 14 hari
kemudian dipulangkan. Saat hamil ibu tidak pernah sakit dan kunjungan antenatal
rutin di puskesmas.
Kemampuan dan Kepandaian Bayi :
- Kepala terangkat (4 bulan)
- Belajar duduk (8 bulan), namun saat usia 1 tahun 3 bulan setelah pasien
mengalami kejang dan kaku, pasien kembali seperti saat bayi, tidak bisa
duduk bahkan mengangkat kepala.
Anamnesis Makanan :
- ASI ( 0 – 1 tahun 3 bulan)
- Susu Formula ( 0 – sekarang)
- Bubur SUN (6 bulan – sekarang)
Riwayat Imunisasi : Belum vaksin campak

Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum : Sakit sedang
- Tingkat kesadaran : Compos mentis
- Tinggi badan : 68 cm
- Berat badan : 7 kg
- Status gizi : Gizi Baik (Z Score (-1) s/d (-2) SD)

Tanda Vital
- Tekanan darah : - mmHg
- Nadi : 120 x/menit
- Pernapasan : 35 x/menit
- Suhu badan : 36,7oC
Kepala : Bentuk Normocephal

5
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-),
refleks cahaya (+/+), edema palpebra (-/-)
Telinga : Otorrhea -/-
Hidung : Rhinorrhea -/-
Mulut : Bibir sianosis (-), kering (-)
Leher : Kelenjar getah bening : pembesaran (-),
Kelenjar tiroid : pembesaran (-),
Tonsil : T1-T1 tidak hiperemis.

Thoraks
Paru-paru
Inspeksi : Ekspansi paru simetris bilateral, massa (-),retraksi (-)
Palpasi : Tidak teraba massa, tidak teraba fraktur, vocal fremitus kiri=
kanan.
Perkusi : Sonor seluruh permukaan paru
Auskultasi : Brokovesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-).

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada spatium intercosta V linea
midclavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni reguler, murmur (-), gallop (-).

Abdomen
Inspeksi : Ruam (-), massa (-), distensi abdomen (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), hepatomegali (-)
Genitalia : Dalam batas normal

6
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), tampak kaku pada kedua tangan dan
kaki, tonus otot meningkat (+/+).

Resume :
Anak perempuan usia 2 tahun 2 bulan datang ke Poli dengan keluhan kaku
seluruh tubuh sejak kurang lebih 5 bulan yang lalu. Mengangkat kepala (-),
kurang aktif (+), kaku saat tidur (+), gerakan mata tidak simetris, respon (-) jika
dipanggil. Riwayat kejang (+). Riwayat persalinan partus lama (+), lahir dengan
induksi vakum dan asfiksia (+).
Dari hasil pemeriksaan kesadaran komposmentis dan status gizi baik. Tanda
vital: nadi 120 kali/menit, pernapasan 35 kali/menit, dan suhu tubuh 36,7 oC. Pada
pemeriksaan ekstremitas ditemukan posisi ekstensi dan hipertoni.

7
8
Interpretasi : Dari pemeriksaan denver di dapatkan
keterlambatan pada sektor motorik kasar dan
halus. Selain itu, pada sektor sosial dan sektor
bahasa juga mengalami keterlambatan. (Global
Delay Development)
Diagnosis kerja : Cerebral palsy
Terapi : Fisioterapi
Anjuran :
o Foto polos kepala
o CT-scan
o EEG
o Pungsi lumbal

9
BAB III
DISKUSI
Cerebral palsy adalah suatu keadaan kerusakan jaringan otak yang menetap
dan tidak progresif, meskipun gambaran klinisnya dapat berubah selama hidup;
terjadi pada usia dini dan merintangi perkembangan otak normal dengan
menunjukkan kelainan posisi dan pergerakan disertai kelainan neurologis berupa
gangguan korteks serebri, ganglia basalis, serta serebelum. Pada saat diagnosis
ditegakkan, penyakit susunan saraf pusat yang aktif sudah tidak ada lagi.4
Penyebabnya dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu prenatal, perinatal,
dan pascanatal. 3,4
a) Prenatal
Infeksi terjadi dalam masa kandungan, menyebabkan kelainan pada janin,
misalnya toksoplasmosis, rubela dan penyakit inklusi sitomegalik. Kelainan
yang menyolok biasanya gangguan pergerakan dan retardasi mental.
Anoksia dalam kandungan (misalnya: solusio plasenta, plasenta previa,
anoksi maternal, atau tali pusat yang abnormal), terkena radiasi sinar-X dan
keracunan kehamilan dapat menimbulkan “Cerebral palsy”
b) Perinatal
1. Anoksia/Hipoksia
Penyebab terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah “brain
injury”. Keadaan inillah yang menyebabkan terjadinya anoksia. Hal ini
terdapat pada kedaan presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalo-pelvik,
partus lama, plasenta previa, infeksi plasenta, partus menggunakan
bantuan instrumen tertentu dan lahir dengan seksio caesaria.
2. Perdarahan otak
Perdarahan dapat terjadi di ruang subarakhnoid akan menyebabkan
penyumbatan CSS sehingga mengakibatkan hidrosefalus. Perdarahan di
ruang subdural dapat menekan korteks serebri sehingga timbul
kelumpuhan spastik.

3. Prematuritas

10
Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan otak
yang lebih banyak dari pada bayi cukup bulan, karena pembuluh darah,
faktor pembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna.
4. Ikterus
Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak
yang permanen akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal.
5. Meningitis Purulenta
Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat
pengobatannya akan mengakibatkan gejala sisa berupa “Cerebral palsy”.
c) Pascanatal
Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu perkembangan
dapat menyebabkan “cerbral palsy”.

1. Trauma kapitis dan luka parut pada otak pasca-operasi.


2. Infeksi misalnya : meningitis bakterial, abses serebri, tromboplebitis,
ensefalomielitis.
3. Kern icterus
Faktor-faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP
antara lain adalah: 6
a. Letak lintang.

b. Proses persalinan sulit.

Masalah vaskuler atau respirasi bayi selama persalinan merupakan


tanda awal yang menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau
otak bayi tidak berkembang secara normal. Komplikasi tersebut dapat
menyebabkan kerusakan otak permanen.

c. Apgar score rendah.

Apgar score yang rendah hingga 10-20 menit setelah kelahiran.

d. BBLR dan prematuritas.

Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir < 2500gram
dan bayi lahir dengan usia kehamilan < 37 minggu. Resiko akan
meningkat sesuai dengan rendahnya berat lahir dan usia kehamilan.

11
e. Kehamilan ganda.

f. Malformasi SSP.

Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan


malformasi SSP yang nyata, misalnya lingkar kepala abnormal
(mikrosefali). Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah telah terjadi
pada saat perkembangan SSP sejak dalam kandungan.

g. Perdarahan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir


kehamilan. Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga 10 kehamilan
dan peningkatan jumlah protein dalam urine berhubungan dengan
peningkatan resiko terjadinya CP pada bayi.

h. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang.

i. Kejang pada bayi baru lahir.

Sekitar setengah dari semua anak yang mengalami cerebral palsy, lahir
prematur. Risiko bayi mengalami cerebral palsy meningkat pada bayi berat lahir
rendah. Bayi yang lahir prematur biasanya memiliki berat badan lahir rendah yaitu
kurang dari 2,5 kg. Tapi bayi cukup bulan juga dapat memiliki berat lahir rendah.
Kebanyakan anak dengan cerebral palsy mengalami gangguan dalam
perkembangan bagian dari otak mereka selama pertumbuhan janin. Bayi berat
lahir rendah dan bayi prematur lebih mungkin mengalami masalah perkembangan
selama pertumbuhan janin dibandingkan bayi lahir cukup bulan dengan berat
badan normal. Misalnya, suatu kondisi yang disebut periventrikel leukomalacia,
atau PVL, yang menunjukkan cedera pada materi putih otak, lebih mungkin pada
bayi yang lahir prematur dibandingkan bayi yang lahir cukup bulan.2,6,7
Pada kasus ini, penyebab cerebral palsy yaitu lahir aterm dan berat bayi lahir
normal, dengan Riwayat kejang, persalinan partus lama, lahir dengan induksi
vakum dan asfiksia sehingga anak mengalami gangguan dalam perkembangan
bagian otaknya.
Klasifikasi Cerebral palsy terbagi sebagai berikut :

12
a. Spastik
Merupakan bentuk yang terbanyak (70-80%), ditandai dengan tonus otot yang
hipertonik selama gerakan volunter, otot mengalami kekakuan dan secara
permanen kontraktur serta melawan untuk bergerak. Pada anak-anak yang
mengalami tipe ini harus bekerja keras untuk berjalan dan bergerak. Jika kedua
tungkai mengalami spastisitas, pada saat seseorang berjalan, kedua tungkai
tampak bergerak kaku dan lurus. Gambaran klinis ini membentuk karakterisitik
berupa ritme berjalan yang dikenal dengan “scissor gait”. Kerusakan biasanya
terletak di traktus kortikospinalis. Golongan spastisitas meliputi 2/3 – 3/4 pasien
palsi serebral. Bentuk kelumpuhan spastisitik tergantung pada letak dan luasnya
kerusakan: 6,7

Gambar 1. Bentuk-bentuk palsi serebral spastik


b. Atetoid/Diskinetik
Kondisi yang melibatkan sistem ektrapiramidal ditandai dengan timbulnya
gerakan-gerakan involunter pada tubuh. Tipe atetoid terjadi pada 10%-15%

13
penderita cerebral palsy. Anak yang mengalami tipe ini mempunyai gerakan-
gerakan yang tidak terkontrol. Gerakan ini tidak dapat dicegah sehingga dapat
mengganggu aktivitas. Gerakan abnormal ini mengenai tangan, kaki, lengan atau
tungkai dan pada sebagian besar kasus otot muka dan lidah, menyebabkan anak
tampak selalu menyeringai dan selalu mengeluarkan air liur. Gerakan sering
meningkat selama periode peningkatan stress dan hilang pada saat tidur. Penderita
juga mengalami masalah koordinasi otot lidah.6,7

Gambar 2. Bentuk atetoid


c. Ataksia
Hanya terjadi pada sebagian anak kecil dan penyebabnya kerusakan pada
serebelum yang berfungsi mengatur gerakan halus .gangguan koordinasi dan
keseimbangan. Jarang dijumpai, <15% yang menderita tipe ini. Gangguan atau
hilangnya keseimbangan dan koordinasi. Penderita akan bergoyang ketika sedang
berdiri, pasien memiliki masalah dengan keseimbangan yang menyebabkan
penderita berjalan dengan kaki terbuka lebar, meletakkan kedua kaki dengan
posisi yang saling berjauhan untuk menghindar dari jatuh. Kelainan kaki lebih
berat dari lengan, seringkali nistagmus dan tremor.6,7

14
Gambar 3. Bentuk ataksia
d. Tipe Campuran,
Sering ditemukan pada seorang penderita yang mempunyai lebih dari satu
bentuk cerebral palsy yang telah dijelaskan di atas. Bentuk campuran yang sering
dijumpai adalah spastic dan gerakan atetoid tetapi kombinasi lain juga dapat di
jumpai.6,7
Pada kasus ini, pasien mengalami cerebral palsy spastik tipe quadriplegia.
keempat ektremitas menjadi kaku dengan derajat yang sama. Spastisitas dapat
mengakibatkan masalah fungsional dengan kegiatan sehari-hari seperti berjalan,
makan, mencuci dan berpakaian. Seiring waktu dapat menyebabkan kontraktur
sendi dan dislokasi pinggul. 4
Seiring waktu, spastisitas juga dapat menyebabkan kontraktur menyebabkan
deformitas sendi, deformasi tulang, subluksasi atau dislokasi sendi dan
kemandirian fungsional berkurang. Kontraktur terjadi ketika ada kehilangan gerak
sendi akibat perubahan struktural pada otot, ligamen dan tendon di sekitar sendi. 5
Dalam istilah luas, tujuan dari setiap rencana pengobatan spastisitas adalah
memaksimalkan fungsi aktif, memudahkan perawatan, dan mencegah masalah
sekunder seperti nyeri, subluksasi, dan kontraktur. Program pengobatan dimulai

15
dengan evaluasi secara cermat dan seksama untuk menentukan apakah spastisitas
mengganggu aspek fungsi dan kenyamanan. 6
Pemeriksaan awal dengan melakukan skreening awal Denver II, didapatkan
keterlambatan atau penundaan tertentu seperti motorik kasar dan halus. Skreening
harus dilakukan secara bertahap bersamaan dengan terapi yang dilakukan untuk
melihat perkembangan kemampuan anak.2
Skor Penilaian:2
Skor dari tiap uji coba ditulis pada kotak segi empat.
 P : Pass/lewat. Anak melakukan uji coba dengan baik, atau ibu/pengasuh
anak memberi laporan anak melakukan uji coba dengan baik.
 F : Fail/gagal. Anak tidak dapat melakukan ujicoba dengan baik atau
ibu/pengasuh anak memberi laporan bahwa anak tidak dapat
melakukannya dengan baik.
 No : No opportunity/tidak ada kesempatan. Anak tidak mempunyai
kesempatan untuk melakukan uji coba karena ada hambatan.
 R : Refusal/menolak. Anak menolak untuk melakukan uji coba. 7
Interpretasi Penilaian Individual:2
 Lebih (advanced)
Bila seorang anak lewat pada ujicoba yang terletak di kanan garis umur,
dinyatakan perkembangan anak lebih pada ujicoba tersebut.
 Normal
Bila seorang anak gagal atau menolak melakukan ujicoba di sebelah kanan
garis umur.
 Caution/peringatan
Bila seorang anak gagal atau menolak ujicoba yang terletak pada garis
umur di antara persentil 75 dan 90.
 Delayed/keterlambatan
Bila seorang anak gagal atau menolak melakukan ujicoba yang terletak
lengkap di sebelah kiri garis umur.
 No Opportunity/tidak ada kesempatan ujicoba yang dilaporkan orangtua.8

16
Interpretasi Denver II:2
 Normal
- Bila tidak ada keterlambatan dan atau paling banyak satu caution.
- Lakukan ulangan pada kontrol berikutnya.
 Suspek
- Bila didapatkan > 2 caution dan/atau > 1 keterlambatan.
- Lakukan uji ulang dalam 1-2 minggu untuk menghilangkan faktor sesaat
seperti rasa takut, keadaan sakit, atau kelelahan.
 Tidak dapat diuji2
- Bila ada skor menolak pada > 1 uji coba terletak disebelah kiri garis
umur atau menolak pada > 1 uji coba yang ditembus garis umur pada
daerah 75-90%.
- Uji ulang dalam 1-2 minggu
Pada kasus ini, interpretasi individual pada anak yaitu anak mengalami
keterlambatan/delayed dan interpretasi Denver II yaitu suspek gangguan
perkembangan. Pasien mengalami keterlambatan dalam hal personal-sosial,
adaptif-motorik halus, bahasa, dan motorik kasar.
Cerebral palsy yang diderita oleh pasien pada kasus ini adalah tipe spastik.
Cerebral palsy tipe ini mengalami peninggian tonus otot sehingga pasien terlihat
kaku. Pasien mengeluhkan gangguan ini pertama kali pada usia 1 tahun 3 bulan.
Gangguan ini diawali oleh etiologi yang kemungkinan besar adalah hipoksia (atau
bahkan mungkin anoksia) otak karena pada masa perinatal ibu pasien mengalami
partus lama dan juga adanya riwayat kejang.3,5
Pemeriksaan khusus:3,5
1. Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan setelah diagnosis
palsi serebral ditegakkan. Gangguan mata biasanya berupa strabismus
konvergen dan kelainan refleks. Pada keadaan asfiksia yang berat dapat
terjadi katarak. Hampir 25% pasien palsi serebral menderita kelainan mata.
2. Pungsi lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebabnya suatu proses degeneratif. Pada palsi serebral, CSS normal.

17
3. Pemeriksaan EEG dilakukan pada pasien kejang atau pada golongan
hemiparesis baik yang disertai kejang atau tidak.
4. CT scan kepala
Untuk mengevaluasi perdarahan dan anoksia dapat dilakukan namun sukar
membedakannya. Misalnya saja perdarahan yang mengelilingi batang otak
dapat mengganggu pusat pernapasan dan peredaran darah yang
menyebabkan terjadinya anoksia. Perdarahan dapat terjadi di ruang
subarakhnoid menyebabkan penyumbatan cairan serebrospinal sehingga
menyebabkan terjadinya hidrosefalus. Perdarahan di ruang subdural dapat
menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spastik.

5. Penilaian psikologis perlu dikerjakan untuk tingkat pendidikan yang


dibutuhkan.
6. Pemeriksaan metabolik untuk menyingkirkan penyebab lain dari retardasi
mental.
Penatalaksanaan Cerebral palsy

Tidak ada terapi spesifik terhadap Cerebral palsy. Terapi bersifat simtomatik,
yang diharapkan akan memperbaiki kondisi pasien. Terapi yang sangat dini akan
dapat mencegah atau mengurangi gejala-gejala neurologik. Untuk menentukan
jenis terapi atau latihan yang diberikan dan untuk menentukan ke berhasilannya
maka perlu diperhatikan penggolongan Cerebral palsy berdasarkan derajat
kemampuan fungsionil yaitu derajat ringan, sedang dan berat.8
Tujuan terapi pasien Cerebral palsy adalah membantu pasien dan keluarganya
memperbaiki fungsi motorik dan mencegah deformitas serta penyesuaian
emosional dan pendidikan sehingga penderita sedikit mungkin memerlukan
pertolongan orang lain, diharapkan penderita bisa mandiri.8
Pada keadaan ini perlu kerja sama yang baik dan merupakan suatu team
antara dokter anak, neurolog, psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi,
psikologi, fisioterapi, “occupational therapist”, pekerja sosial, guru sekolah luar
biasa dan orang tua penderita:7,8
a) Fisioterapi

18
Fisioterapi dini dan intensif untuk mencegah kecacatan, juga penanganan
psikolog atau psikiater untuk mengatasi perubahan tingkah laku pada
anak yang lebih besar.
Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut
membantu program latihan di rumah. Untuk mencegah kontraktur perlu
diperhatikan posisi penderita pada waktu istirahat atau tidur. Bagi
penderita yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal di suatu pusat
latihan. Fisioterapi ini diakukan sepanjang penderita hidup.
b) Pembedahan
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk
melakukn pembedahan otot, tendon, atau tulang untuk reposisi kelainan
tersebut. Pembedahan stereotaktik dianjurkan pada penderita dengan
gerakan koreo-atetosis yang berlebihan.
c) Pendidikan
Penderita “Cerebral palsy” dididik sesuai tingkat intelegensinya, di
sekolah luar biasa dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-sama
dengan anak yang normal. Mereka sebaiknya diperlakukan sama dengan
anak yang normal, yaitu pulang ke rumah dengan kendaraan bersama-
sama, sehingga mereka tidak merasa diasingkan, hidup dalam suasana
normal. Orang tua juga janganlah melindungi anak secara berlebihan dan
untuk ini pekerja sosial dapat membantu dirumah dengan nasehat
seperlunya.
d) Obat-obatan
Pada penderita dengan kejang diberikan obat antikonvulsan rumat yang
sesuai dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin, dan
sebagainya. Pada keadaan tonus otot berlebihan, obat dari golongan
benzodiazepin dapat menolong, misalnya diazepam, klordiazepoksid
(librium), nitrazepam (mogadon). Pada keadaan koreoatestosis diberikan
artan. Imipramin (tofranil) diberikan pada penderita dengan depresi.

Prognosis
Kesembuhan dalam arti regenerasi dari otak yang sesungguhnya tidak
dapat terjadi pada penderita cerebral palsy. Tetapi akan terjadi perbaikan sesuai
dengan tingkat maturitas otak yang sehat sebagai kompensasinya. Prognosis

19
paling baik pada derajat fungsi otak ringan, sedangkan bertambah berat bila
disertai retardasi mental, bangkitan kejang, ganggguan penglihatan dan
pendengaran.

20
KESIMPULAN
Cerebral palsy adalah keadaan kerusakan jaringan otak yang permanen dan
tidak progresif yang terjadi pada waktu masih muda (sejak dilahirkan) dan
merintangi perkembangan otak normal dengan gambaran klinis yang menunjukan
kelainan dalam sikap dan pergerakan disertai kelainan neurologis berupa
kelumpuhan spastik dan kelainan mental.
Tatalaksana memerlukan kerja sama yang baik suatu team antara dokter anak,
neurolog, psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, psikologi, fisioterapi,
“occupational therapist”, pekerja sosial, guru sekolah luar biasa dan orang tua
penderita.
Prognosis paling baik pada derajat fungsi otak ringan, sedangkan bertambah
berat bila disertai retardasi mental, bangkitan kejang, ganggguan penglihatan dan
pendengaran.
Cerebral palsy yang diderita oleh pasien pada kasus ini adalah tipe spastik.
Cerebral palsy tipe ini mengalami peninggian tonus otot sehingga pasien terlihat
kaku. Pasien mengeluhkan gangguan ini pertama kali pada usia 1 tahun 3 bulan.
Gangguan ini diawali oleh etiologi yang kemungkinan besar adalah hipoksia (atau
bahkan mungkin anoksia) otak karena pada masa perinatal ibu pasien mengalami
partus lama dan juga adanya riwayat kejang. Interpretasi individual pada anak
yaitu anak mengalami keterlambatan/delayed dan interpretasi Denver II yaitu
suspek gangguan perkembangan. Pasien mengalami keterlambatan dalam hal
personal-sosial, adaptif-motorik halus, bahasa, dan motorik kasar

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdel-Hamid, H.Z. & Kao, A. (2013). Cerebral Palsy. Medscape (online),


(cited 1 agustus 2015) di unduh dari http://emedicine.medscape.
com/article/1179555
2. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh kembang anak. EGC : Jakarta
3. Levitt, S. (2010). Treatment of Cerebral Palsy and Motor Delay. USA: Wiley-
Blackwell.
4. Kliegman, R.M., Behrman, R.E., Jenson, H.B., Stanton, B.F. 2007. Kliegman:
Nelson Textbook of Pediatrics 18th Ed. USA: Elsiever.
5. Soedarmo, Sumarno dkk. 1999. Buku Ajar Neurologi Anak. Edisi 1. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI. hal: 116
6. Utomo, A. 2013. Cerebral Palsy Tipe Spastic Diplegy Pada Anak Usia Dua
Tahun. Medula [cited: 7 agustus 2015]; 1(4): 26, 30-32. Diakses dari:
http://www.download.portalgaruda.org/article.php?article=122521&val=5502
7. Shamsoddini, A. et al. 2014. Management of Spasticity in Children with
Cerebral Palsy. Iran Journal Pediatric [cited 1 agustus 2015], 24(4): 345-347.
Diakses dari: http:// www.bioline.org.br/pdf?pe14064.
8. Kim, S. C. 2012. Cerebral Palsy [cited 1 agustus 2015], 1(1): 6. Diakses dari:
http://www.webmd.com/children/tc/cerebral-palsy-what-increases-your-risk

22

Anda mungkin juga menyukai