Anda di halaman 1dari 30

https://www.slideshare.

net/fitrayagami/penilaian-tradisional-
15061101

Penilaian merupakan salah satu komponen utama dalam


sebuah kurikulum. Melalui penilaian dapat dilihat apakah
tujuan pembelajaran sebagaimana yang termuat dalam
kurikulum sudah tercapai atau belum. Model penilaian ini selalu
berkembang dan disempurkan seiring dengan perkembangan
dan perobhan kurikulum yang berlaku. Perobahan kurikulum di
Indonesia sudah terjadi sebanyk 9 kali yang dimulai dari tahun
1947 yang dikenal dengan rentjana pelajaran hingga kurikulum
2013 yang dikenal dengan kurikulum berkarakter.

Pada setiap perubahan kurikulum terdapat ciri ciri khusus yang


membedakannya dari kurikulum sebelumnya. Namun demikian
implementasinya dalam setiap aspek penerapan kurikulum
banyak para pendidik melihat bahwa penilaian hanya dalam
artian sempit ( terbatas) untuk memenuhi target dalam proses
pembelajaran yang dituangkan dalam bentuk raport baik rapor
mid semester, rapor semester dan ujian akhir.

Hal ini menimbulkan terjadinya perubahan paradigma anak dan


orang tua serta masyarakat tentang pendidikan. Mereka
menilai bahwa pendidikan atau pembelajaran itu adalah sebuah
proses untuk mendapatkan nilai yang tinggi untuk juara dan
naik kelas atau lulus.hal ini dapat kita lihat dari sikap anak
dalam belajar dimana mereka hanya mau belajar jika ada ujian
agar bisa mendapatkan nilai tertinggi. Padahal hasil
pembelajaran siswa ynag dinyatakan dalam bentuk rapor dan
ijazah hanya menilai kemampuan kognitip siswa yang belum
mencerminkan kemampuan anak secara luas.
Perkembangan pendidikan yang ditandai dengan perubahan
kurikulum yang terjadi dalam rentang waktu segitar 10 tahun
akhir akhir ini ( mulai dari kurikulum 1975 – 2013) memang
telah membawa perobahan kurikulum dalam aspek konseptual
namun secara factual hal ini belum terelihat secara signifikan.
Para guru sebagai ujung tombak pendidikan banyak yang
belum memahami konsep kurikulum yang sedang berkembang
sehingga kurikulum berubah tapi cara pembelajaran guru
termasuk dalam aspek penilaian tidak berubah alias jalan
ditempat.

Kurikulum Berbasis Kompetensi, yang dikenal dengan


Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sebenarnya
sudah mengenal penilaian autentik. Kurikulum ini menekankan
pencapaian kompetensi untuk melakukan sesuatu sesuai
dengan karakteristik tiap mata pelajaran. Hal itu antara lain
ditandai dengan pelaksanaan pembelajaran yang
mempergunakan pendekatan pembelajaran kontekstual (CTL,
Contextual Teaching and Learning). Pendekatan pembelajaran
kontekstual, pada giliran selanjutnya, menghendaki penilaian
hasil pembelajaran dengan mempergunakan model penilaian
otentik (Authentic Assessment). Penilaian otentik dalam
pembelajaran mensyaratkan dua hal yang mesti ada, yaitu
kinerja dan bermakna. Dalam mata pelajaran Agama Islam hal
itu berarti bahwa pengukuran hasil pembelajaran harus berupa
kinerja aktif produktif yang ditandai dengan kegiatan amal
shaleh perserta didik Berbagai kinerja amal shaleh yang
diujikan di kelas haruslah mencerminkan kebutuhan kinerja
beragama yang sesungguhnya dibutuhkan dalam kehidupan.

Penilaian otentik tidak dimaksudkan untuk menggantikan


penilaian tradisional, khususnya bentuk tes objektif pilihan
ganda yang lebih bersifat merespons jawaban yang lazim
dipergunakan dalam ujian-ujian akhir seperti ujian nasional
(UN) dan ulangan umum (UU). Ia hadir untuk saling
melengkapi dan menutup kekurangan penilaian objektif. Skor
hasil pengukuran penilaian otentik mencerminkan kompetensi
berbagai bentuk kinerja peserta didik sepanjang kegiatan
pembelajaran, sedang skor hasil pengukuran tes objektif pada
akhir pembelajaran menunjukkan capaian kompetensi selama
satuan waktu tertentu.

Penilaian autentik ini bertujuan mengevaluasi kemampuan


siswa dalam konteks dunia nyata. Dengan kata lain, siswa
belajar bagaimana mengaplikasikan pengetahuan dan
keterampilannya ke dalam tugas-tugas yang autentik. Melalui
penilaian autentik ini, diharapkan berbagai informasi yang
absah/benar dan akurat dapat terjaring berkaitan dengan apa
yang benar-benar diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa
atau tentang kualitas program pendidikan .

Sehubungan dengan masalah masalah diatas maka perlu


adanya sebuah alternatip penilaian yang lebih akurat untuk
melihat potensi anak secara lebih objektip. Oleh karena itu,
Paparan penilaian autentik dalam tulisan ini dimaksudkan
untuk memberikan pencerahan pada para pendidik untuk lebih
meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan kita khususnya
mutu para pendidik yang merupakan ujung tombak sebuah
mendidikan.

Penilaian Autentik
1. Penilaian Autentik

Secara harafiah evaluasi berasal dari bahasa


Inggris evaluation yang berarti penilaian atau
penaksiran.[1] Evaluasi menurut Kumano merupakan penilaian
terhadap data yang dikumpulkan melalui kegiatan
asesmen.[2] Zainul dan Nasution menyatakan bahwa evaluasi
dapat dinyatakan sebagai suatu proses pengambilan keputusan
dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui
pengukuran hasil belajar, baik yang menggunakan instrumen
tes maupun non tes[3]. Arikunto mengungkapkan bahwa
evaluasi adalah serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk
mengukur keberhasilan program pendidikan.[4]
Berdasarkan pengertian diatas secara garis besar dapat
dikatakan bahwa evaluasi adalah pemberian nilai terhadap
kualitas sesuatu. Selain dari itu, evaluasi juga dapat dipandang
sebagai proses merencanakan, memperoleh, dan menyediakan
informasi yang sangat diperlukan untuk membuat alternatif-
alternatif keputusan. Dengan demikian, Evaluasi merupakan
suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau
membuat keputusan sampai sejauhmana tujuan-tujuan
pengajaran telah dicapai oleh siswa.

Penilaian otentik adalah proses pengumpulan informasi oleh


guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran
yang dilakukan oleh peserta didik melalui berbagai teknik yang
mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan
secara tepat bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar
dikuasai dan dicapai.[5]
Hakikat penilaian pendidikan menurut konsep authentic
assesment ini adalah proses pengumpulan berbagai data yang
bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa.
Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh
guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses
pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan
guru mengindikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan
dalam belajar, guru segara bisa mengambil tindakan yang
tepat. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu
diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, asesmen tidak
hanya dilakukan di akhir periode (semester) pembelajaran
seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar (seperti
EBTA/Ebtanas/UAN), tetapi dilakukan bersama dan secara
terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran.

2. Karakteristik Penilaian Autentik

Karakteristik penilaian otentik menurut Santoso adalah sebagai


berikut:
1. Penilaian merupakan bagian dari proses pembelajaran.
2. Penilaian mencerminkan hasil proses belajar pada kehidupan
nyata.
3. Menggunakan bermacam-macam instrumen, pengukuran,
dan metode yang sesuai dengan karakteristik dan esensi
pengalaman belajar.
4. Penilaian harus bersifat komprehensif dan holistik yang
mencakup semua aspek dari tujuan pembelajaran.[6]
Sedangkan Nurhadi mengemukakan bahwa karakteristik
authentic assesment adalah sebagai berikut:

1. Melibatkan pengalaman nyata (involves real-world


experience)
2. Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran
berlangsung
3. Mencakup penilaian pribadi (self assesment) dan refleksi
yang diukur keterampilan dan performansi, bukan
mengingat fakta
4. Berkesinambungan
5. Terintegrasi
6. Dapat digunakan sebagai umpan balik
7. Kriteria keberhasilan dan kegagalan diketahui siswa dengan
jelas
Jadi, penilaian autentik merupakan suatu bentuk tugas yang
menghendaki pembelajar untuk menunjukkan kinerja di dunia
nyata secara bermakna, yang merupakan penerapan esensi
pengetahuan dan keterampilan. Penilaian autentik menekankan
kemampuan pembelajar untuk mendemonstrasikan
pengetahuan yang dimiliki secara nyata dan bermakna.
Kegiatan penilaian tidak sekedar menanyakan atau menyadap
pengetahuan yang telah diketahui pembelajar, melainkan
kinerja secara nyata dari pengetahuan yang telah dikuasai.

Tujuan penilaian itu adalah untuk mengukur berbagai


keterampilan dalam berbagai konteks yang mencerminkan
situasi di dunia nyata di mana keterampilan-keterampilan
tersebut digunakan. Misalnya, penugasan kepada pembelajar
untuk membaca berbagai teks aktual-realistik, menulis topik-
topik tertentu sebagaimana halnya di kehidupan nyata, dan
berpartisipasi konkret dalam diskusi atau bedah buku, menulis
untuk jurnal, surat, atau mengedit tulisan sampai siap cetak.
Dalam kegiatan itu, baik materi pembelajaran maupun
penilaiannya terlihat atau bahkan memang alamiah. Jadi,
penilaian model ini menekankan pada pengukuran
kinerja, doing something, melakukan sesuatu yang merupakan
penerapan dari ilmu pengetahuan yang telah dikuasai secara
teoretis.
Penilaian autentik lebih menuntut pembelajar
mendemonstrasikan pengetahuan, keterampilan, dan strategi
dengan mengkreasikan jawaban atau produk. Siswa tidak
sekedar diminta merespon jawaban seperti dalam tes
tradisional, melainkan dituntut untuk mampu mengkreasikan
dan menghasilkan jawaban yang dilatarbelakangi oleh
pengetahuan teoretis.

3. Model Penilaian Autentik dan Penilaian Tradisional


Assesmen tradisional (AT) ini mengacu pada forced-choice
ukuran tes pilihan ganda, fill-in-the-blank, true-false,
menjodohkan dan semacamnya yang telah digunakan dalam
pendidikan umumnya. Tes ini memungkinkan distandarisasi
atau dikreasi oleh guru. Mereka dapat mengatur setingkat
lokal, nasional atau secara internasional. Latar belakang
asessmen autentik dan tradisional adalah suatu kepercayaan
bahwa misi utama sekolah adalah untuk membantu
mengembangkan warganegara yang produktif. Itu adalah
intisari dari misi yang sering kali kita baca. Dari permulaan
umum ini, muncul dua perpektif pada penilaian yang
berbeda/menyimpang.

Esensi assesmen tradisional didasarkan pada filosofi bidang


pendidikan yang mengadopsi pemikiran yang berikut:( 1).
Suatu misi sekolah adalah untuk mengembangkan
warganegara produktif, (2) Untuk menjadi warganegara
produktif setiap orang harus memiliki suatu kopetensi tertentu
dari pengetahuan dan ketrampilan (3) Oleh karena itu sekolah
harus mengajarkan kopetensi ketrampilan dan pengetahuan
ini: (4) Untuk menentukan kopetensi itu sukses, kemudian
sekolah menguji para siswa, untuk melihat apakah mereka
memperoleh pengetahuan dan ketrampilan.

Di dalam assesmen tradisional, kurikulum memandu penilaian.


Kopetensi pengetahuan ditentukan lebih dulu. Pengetahuan itu
menjadi kurikulum yang ditransferkan. Sesudah itu penilaian
dikembangkan dan diatur untuk menentukan jika suatu saat
kurikulum tersebut diterapkan.Kontras dengan asesmen
autentik yang mendasarka pada alasan praktek berikut ; (1)
Suatu misi sekolah adalah untuk mengembangkan warga
negara produktif, (2) Untuk menjadi warga negara yang
produktif, seseorang harus mampu untuk melakukan
/menyelenggarakan tugas yang bermakna di dalam dunia yang
nyata; (3) Oleh karena itu, sekolah harus membantu para
siswa menjadi pandai untuk melakukan /menyeleng
garakan tugas yang mereka hadapi ketika mereka lulus; (4)
Untuk menentukan kopetensi itu sukses , (5) kemudian
sekolah meminta para siswa untuk melaksanakan tugas penuh
arti yang replicate dengan dunia nyata dalam menghadapi
tantangan, untuki melihat para siswa adalah mampu untuk
melakukannya.[7]
Berikut ini dikemukakan juga perbandingan antara asesmen
autentik(AA) dan asesmen tradisional (AT) menurut Frazee dan
Rudnitski (1995), Mueller (2008), dan Corebima (2008).[8]
Asesmen Tradisional:
-Periode waktu khusus
-Mengukur kecakapan tingkat rendah
-Menerapkan driil dan kecakapan
-Memiliki perspektif sempit
-Mengungkap fakta
-Menggunakan standar kelompok
-Bertumpu pada ingatan
-Hanya satu solusi yang benar
-Mengungkap kecakapan
-Mengajar untuk ujian
Asesmen Autentik:
-Waktu ditentukan oleh guru dan siswa
-Mengukur kecakapan tingkat tinggi
-Menerapkan strategi-2 kritis dan kreatif
-Memiliki perspektif menyeluruh
-Mengungkap konsep
-Menggunakan standar individu
-Bertumpu pada internalisasi
-Solusi yang benar banyak / banyak cara selesaikan
-Mengungkap proses
-Mengajar demi kebutuhan

Penilaian otentik adalah sebagai bentuk penilaian yang


nyata, benar-benar adanya, dan semua orang mengatakan
membenarkannya. Penilaian otentik dewasa ini banyak
dibicarakan di dunia pendidikan karena model ini
direkomendasikan, atau bahkan harus ditekankan,
penggunaannya dalam kegiatan menilai hasil belajar
pembelajar. Ada dua isu utama yang perlu diperhatikan di
dalam memaknai penilaian otentik yakni: sesuatu yang diduga
sebagai nyata dan sesuatu yang diduga sebagai nyata terhadap
sesuatu untuk dilakukan atau diwujudkan. Pada isu yang
terakhir ini, sesuatu yang diduga sebagai nyata terhadap
sesuatu untuk dilakukan atau diwujudkan, ada tiga cara
pandang (perspektif) dalam memaknainya lebih lanjut:

1. Perspektif kehidupan tidak sebatas sekolah. Cara pandang


ini, penilaian otentik dipandang sebagai penilaian yang
menekankan pada proses kognitif peserta belajar untuk
mempersiapkan mereka di dalam dunia nyata atau di dalam
bentuk kedewasaan sempurna. Tugas-tugas yang diberikan
oleh guru harus benar-benar mencirikan sebagai tugas-tugas
yang akan mereka lakukan setelah lulus sekolah, sehingga
kinerja yang mereka miliki berbentuk konkrit dan aplikatif.
2. Perspektif praktik kelas dan kurikulum. Di dalam perspektif
ini, penilaian otentik dipandang sebagai suatu penilaian yang
menyelaraskan antara praktik penilaian di dalam kelas
dengan ketetapan berdasarkan kurikulum yang telah baku.
Standar kompetensi, kompetensi dasar, serta indikator yang
telah ditentukan oleh kurikulum harus dipatuhi oleh pengajar
di dalam melakukan penilaian.
3. Perspektif Pembelajaran dan Instruksi. Cara pandang ini
memberikan pemaknaan bahwa penilaian otentik adalah
penilaian yang mendasarkan pada sebuah gagasan dimana
tujuan penilaian yang penting adalah pembelajaran itu
sendiri. Suatu penilaian dikatakan otentik apabila penilaian
tersebut efektif terhadap proses pembelajaran yang
dilaksanakan atau efektif di dalam mengarahkan proses
instruksi menjadi lebih baik. Perspektif ini menekankan
bahwa penilaian tidak dipandang sebagai interupsi,
persoalan benar atau salah, gagal atau lulus, tetapi lebih
dipandang sebagai sarana untuk melakukan perbaikan atau
peningkatan (improvement).
Sedangkan bila dikaitkan dengan isu yang pertama di atas,
sesuatu yang diduga sebagai suatu yang nyata, maka ada tiga
fokus atau penekanan di dalam penilaian otentik yakni:
Pertama. Penekanan pada proses dan produk (hasil). Penilaian
otentik mementingkan penilaian proses dan hasil sekaligus.
Dengan demikian, seluruh tampilan di dalam rangkaian
kegiatan pembelajaran dapat dinilai secara objektif, apa
adanya, dan tidak semata-mata hanya berdasarkan hasil
akhir (produk) saja. Sejak pertama kali pengajar bertemu
dengan para peserta belajar, hendaknya penilaian sudah mulai
dilakukan hingga penilaian itu ditutup pada pertemuan
terakhir. Amat banyak kinerja siswa yang ditampilkan
selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran sehingga
penilaiannya haruslah dilakukan selama dan sejalan dengan
berlangsungnya kegiatan proses pembelajaran. Penekanan
pada proses dan produk dapat dikombinasikan terhadap tiga
perspektif penilaian otentik sebagaimana telah diuraikan di
atas.

Kedua. Penekanan pada kondisi. Penilaian otentik juga ramah


terhadap kondisi kelas. Penilaian yang dilakukan harus selaras
dan sesuai dengan situasi di dalam kelas secara nyata.
Penekanan kondisi juga dikombinasikan terhadap tiga
perspektif penilaian otentik. Latar belakang agama, suku, ras,
budaya, dan latar belakang sosial lain harus menjadi
pertimbangan yang kuat dari seorang pengajar (penilai) untuk
membuat proses penilaian dan merumuskan keputusan-
keputusan.

Ketiga. Penekanan pada konteks figuratif. Penilaian otentik


menekankan suatu konteks yang bersifat lambang atau kiasan.
Yang dimaksud dengan lambang atau kiasan adalah dimana
penilaian otentik ditekankan sebagai prototipe permasalahan
dunia nyata yang dibawa ke dalam kelas. Kejadian-kejadian
besar di luar sekolah yang memberikan aspke-aspek penting
dapat di-‘capture’ oleh seorang pengajar di dalam melakukan
proses penilaian pembelajaran.

Asesmen Autentik dan Tuntutan Kurikulum 2013


Asesmen autentik memiliki relevansi kuat terhadap pendekatan
ilmiah dalam pembelajaran sesuai dengan tuntutan Kurikulum
2013. Karena, asesmen semacam ini mampu menggambarkan
peningkatan hasil belajar peserta didik, baik dalam rangka
mengobservasi, menalar, mencoba, membangun jejaring, dan
lain-lain.Asesmen autentik cenderung fokus pada tugas-tugas
kompleks atau kontekstual, memungkinkan peserta didik untuk
menunjukkan kompetensi mereka dalam pengaturan yang
lebih autentik. Karenanya, asesmen autentik sangat relevan
dengan pendekatan tematik terpadu dalam pembejajaran,
khususnya jenjang sekolah dasar atau untuk mata pelajaran
yang sesuai.

Kata lain dari asesmen autentik adalah penilaian kinerja,


portofolio, dan penilaian proyek. Asesmen autentik adakalanya
disebut penilaian responsif, suatu metode yang sangat populer
untuk menilai proses dan hasil belajar peserta didik yang miliki
ciri-ciri khusus, mulai dari mereka yang mengalami kelainan
tertentu, memiliki bakat dan minat khusus, hingga yang jenius.
Asesmen autentik dapat juga diterapkan dalam bidang ilmu
tertentu seperti seni atau ilmu pengetahuan pada umumnya,
dengan orientasi utamanya pada proses atau hasil
pembelajaran.

Asesmen autentik sering dikontradiksikan dengan penilaian


yang menggunkan standar tes berbasis norma, pilihan ganda,
benar–salah, menjodohkan, atau membuat jawaban singkat.
Tentu saja, pola penilaian seperti ini tidak diantikan dalam
proses pembelajaran, karena memang lzim digunakan dan
memperoleh legitimasi secara akademik. Asesmen autentik
dapat dibuat oleh guru sendiri, guru secara tim, atau guru
bekerja sama dengan peserta didik. Dalam asesmen autentik,
seringkali pelibatan siswa sangat penting. Asumsinya, peserta
didik dapat melakukan aktivitas belajar lebih baik ketika
mereka tahu bagaimana akan dinilai.

Peserta didik diminta untuk merefleksikan dan mengevaluasi


kinerja mereka sendiri dalam rangka meningkatkan
pemahaman yang lebih dalam tentang tujuan pembelajaran
serta mendorong kemampuan belajar yang lebih tinggi. Pada
asesmen autentik guru menerapkan kriteria yang berkaitan
dengan konstruksi pengetahuan, kajian keilmuan, dan
pengalaman yang diperoleh dari luar sekolah.

Asesmen autentik mencoba menggabungkan kegiatan guru


mengajar, kegiatan siswa belajar, motivasi dan keterlibatan
peserta didik, serta keterampilan belajar. Karena penilaian itu
merupakan bagian dari proses pembelajaran, guru dan peserta
didik berbagi pemahaman tentang kriteria kinerja. Dalam
beberapa kasus, peserta didik bahkan berkontribusi untuk
mendefinisikan harapan atas tugas-tugas yang harus mereka
lakukan.

Asesmen autentik sering digambarkan sebagai penilaian atas


perkembangan peserta didik, karena berfokus pada
kemampuan mereka berkembang untuk belajar bagaimana
belajar tentang subjek. Asesmen autentik harus mampu
menggambarkan sikap, keterampilan, dan pengetahuan apa
yang sudah atau belum dimiliki oleh peserta didik, bagaimana
mereka menerapkan pengetahuannya, dalam hal apa mereka
sudah atau belum mampu menerapkan perolehan belajar, dan
sebagainya. Atas dasar itu, guru dapat mengidentifikasi materi
apa yang sudah layak dilanjutkan dan untuk materi apa pula
kegiatan remidial harus dilakukan.

Asesmen Autentik dan Belajar Autentik


Asesmen Autentik memfokuskan pada proses belajar yang
Autentik pula. Menurut Ormiston belajar autentik
mencerminkan tugas dan pemecahan masalah yang dilakukan
oleh peserta didik dikaitkan dengan realitas di luar sekolah
atau kehidupan pada umumnya.Asesmen semacam ini
cenderung berfokus pada tugas-tugas kompleks atau
kontekstual bagi peserta didik, yang memungkinkan mereka
secara nyata menunjukkan kompetensi atau keterampilan yang
dimilikinya. Contoh asesmen autentik antara lain keterampilan
kerja, kemampuan mengaplikasikan atau menunjukkan
perolehan pengetahuan tertentu, simulasi dan bermain peran,
portofolio, memilih kegiatan yang strategis, serta memamerkan
dan menampilkan sesuatu.

Asesmen Autentik terdiri dari berbagai teknik


penilaian. Pertama, pengukuran langsung keterampilan peserta
didik yang berhubungan dengan hasil jangka panjang
pendidikan seperti kesuksesan di tempat kerja. Kedua,
penilaian atas tugas-tugas yang memerlukan keterlibatan yang
luas dan kinerja yang kompleks. Ketiga, analisis proses yang
digunakan untuk menghasilkan respon peserta didik atas
perolehan sikap, keteampilan, dan pengetahuan yang ada.[9]
Dengan demikian, asesmen autentik akan bermakna bagi guru
untuk menentukan cara-cara terbaik agar semua siswa dapat
mencapai hasil akhir, meski dengan satuan waktu yang
berbeda. Konstruksi sikap, keterampilan, dan pengetahuan
dicapai melalui penyelesaian tugas di mana peserta didik telah
memainkan peran aktif dan kreatif. Keterlibatan peserta didik
dalam melaksanakan tugas sangat bermakna bagi
perkembangan pribadi mereka.

Dalam pembelajaran autentik, peserta didik diminta


mengumpulkan informasi dengan pendekatan saintifik,
memahahi aneka fenomena atau gejala dan hubungannya satu
sama lain secara mendalam, serta mengaitkan apa yang
dipelajari dengan dunia nyata yang luar sekolah. Di sini, guru
dan peserta didik memiliki tanggung jawab atas apa yang
terjadi. Peserta didik pun tahu apa yang mereka ingin pelajari,
memiliki parameter waktu yang fleksibel, dan
bertanggungjawab untuk tetap pada tugas. Asesmen autentik
pun mendorong peserta didik mengkonstruksi,
mengorganisasikan, menganalisis, mensintesis, menafsirkan,
menjelaskan, dan mengevaluasi informasi untuk kemudian
mengubahnya menjadi pengetahuan baru.

Mengetahui bagaimana Sejalan dengan deskripsi di atas, pada


pembelajaran autentik, guru harus menjadi “guru autentik.”
Peran guru bukan hanya pada proses pembelajaran, melainkan
juga pada penilaian. Untuk bisa melaksanakan pembelajaran
autentik, guru harus memenuhi kriteria tertentu seperti
disajikan berikut ini.

1. Menilai kekuatan dan kelemahan peserta didik serta desain


2. Mengetahui bagaimana cara membimbing peserta didik
untuk mengembangkan pengetahuan mereka sebelumnya
dengan cara mengajukan pertanyaan dan menyediakan
sumberdaya memadai bagi peserta didik untuk melakukan
akuisisi pengetahuan.
3. Menjadi pengasuh proses pembelajaran, melihat informasi
baru, dan mengasimilasikan pemahaman peserta didik.
4. Menjadi kreatif tentang bagaimana proses belajar peserta
didik dapat diperluas dengan menimba pengalaman dari
dunia di luar tembok sekolah.
Asesmen autentik adalah komponen penting dari reformasi
pendidikan sejak tahun 1990an. Wiggins (1993) menegaskan
bahwa metode penilaian tradisional untuk mengukur prestasi,
seperti tes pilihan ganda, benar/salah, menjodohkan, dan lain-
lain telah gagal mengetahui kinerja peserta didik yang
sesungguhnya. Tes semacam ini telah gagal memperoleh
gambaran yang utuh mengenai sikap, keterampilan, dan
pengetahuan peserta didik dikaitkan dengan kehidupan nyata
mereka di luar sekolah atau masyarakat[10].
Asesmen hasil belajar yang tradisional bahkan cenderung
mereduksi makna kurikulum, karena tidak menyentuh esensi
nyata dari proses dan hasil belajar peserta didik. Ketika
asesmen tradisional cenderung mereduksi makna kurikulum,
tidak mampu menggambarkan kompetensi dasar, dan rendah
daya prediksinya terhadap derajat sikap, keterampilan, dan
kemampuan berpikir yang diartikulasikan dalam banyak mata
pelajaran atau disiplin ilmu; ketika itu pula asesmen autentik
memperoleh traksi yang cukup kuat. Memang, pendekatan apa
pun yang dipakai dalam penilaian tetap tidak luput dari
kelemahan dan kelebihan. Namun demikian, sudah saatnya
guru profesional pada semua satuan pendidikan memandu
gerakan memadukan potensi peserta didik, sekolah, dan
lingkungannya melalui asesmen proses dan hasil belajar yang
autentik.

Data asesmen autentik digunakan untuk berbagai tujuan


seperti menentukan kelayakan akuntabilitas implementasi
kurikulum dan pembelajaran di kelas tertentu. Data asesmen
autentik dapat dianalisis dengan metode kualitatif, kuanitatif,
maupun kuantitatif. Analisis kualitatif dari asesmen otentif
berupa narasi atau deskripsi atas capaian hasil belajar peserta
didik, misalnya, mengenai keunggulan dan kelemahan,
motivasi, keberanian berpendapat, dan sebagainya. Analisis
kuantitatif dari data asesmen autentik menerapkan rubrik skor
atau daftar cek (checklist) untuk menilai tanggapan relatif
peserta didik relatif terhadap kriteria dalam kisaran terbatas
dari empat atau lebih tingkat kemahiran (misalnya: sangat
mahir, mahir, sebagian mahir, dan tidak mahir). Rubrik
penilaian dapat berupa analitik atau holistik. Analisis holistik
memberikan skor keseluruhan kinerja peserta didik, seperti
menilai kompetisi Olimpiade Sains Nasional.
Jenis-Jenis Asesmen Autentik
Dalam rangka melaksanakan asesmen autentik yang baik, guru
harus memahami secara jelas tujuan yang ingin dicapai. Untuk
itu, guru harus bertanya pada diri sendiri, khususnya berkaitan
dengan: (1) sikap, keterampilan, dan pengetahuan apa yang
akan dinilai; (2) fokus penilaian akan dilakukan, misalnya,
berkaitan dengan sikap, keterampilan, dan pengetahuan; dan
(3) tingkat pengetahuan apa yang akan dinilai, seperti
penalaran, memori, atau proses. Beberapa jenis asesmen
autentik disajikan berikut ini.[11]
1. Penilaian Kinerja
Asesmen autentik sebisa mungkin melibatkan parsisipasi
peserta didik, khususnya dalam proses dan aspek-aspek yangg
akan dinilai. Guru dapat melakukannya dengan meminta para
peserta didik menyebutkan unsur-unsur proyek/tugas yang
akan mereka gunakan untuk menentukan kriteria
penyelesaiannya. Dengan menggunakan informasi ini, guru
dapat memberikan umpan balik terhadap kinerja peserta didik
baik dalam bentuk laporan naratif mauun laporan kelas. Ada
beberapa cara berbeda untuk merekam hasil penilaian berbasis
kinerja:

1. Daftar cek (checklist). Digunakan untuk mengetahui muncul


atau tidaknya unsur-unsur tertentu dari indikator atau
subindikator yang harus muncul dalam sebuah peristiwa
atau tindakan.
2. Catatan anekdot/narasi (anecdotal/narative records).
Digunakan dengan cara guru menulis laporan narasi tentang
apa yang dilakukan oleh masing-masing peserta didik
selama melakukan tindakan. Dari laporan tersebut, guru
dapat menentukan seberapa baik peserta didik memenuhi
standar yang ditetapkan.
3. Skala penilaian (rating scale). Biasanya digunakan dengan
menggunakan skala numerik berikut predikatnya. Misalnya:
5 = baik sekali, 4 = baik, 3 = cukup, 2 = kurang, 1 =
kurang sekali.
4. Memori atau ingatan (memory approach). Digunakan oleh
guru dengan cara mengamati peserta didik ketika
melakukan sesuatu, dengan tanpa membuat catatan. Guru
menggunakan informasi dari memorinya untuk menentukan
apakah peserta didik sudah berhasil atau belum. Cara
seperti tetap ada manfaatnya, namun tidak cukup
dianjurkan.
Penilaian kinerja memerlukan pertimbangan-pertimbangan
khusus. Pertama, langkah-langkah kinerja harus dilakukan
peserta didik untuk menunjukkan kinerja yang nyata untuk
suatu atau beberapa jenis kompetensi tertentu.Kedua,
ketepatan dan kelengkapan aspek kinerja yang dinilai. Ketiga,
kemampuan-kemampuan khusus yang diperlukan oleh peserta
didik untuk menyelesaikan tugas-tugas
pembelajaran.Keempat, fokus utama dari kinerja yang akan
dinilai, khususnya indikator esensial yang akan
diamati. Kelima, urutan dari kemampuan atau keerampilan
peserta didik yang akan diamati.
Pengamatan atas kinerja peserta didik perlu
dilakukan dalam berbagai konteks untuk menetapkan tingkat
pencapaian kemampuan tertentu. Untuk menilai keterampilan
berbahasa peserta didik, dari aspek keterampilan berbicara,
misalnya, guru dapat mengobservasinya pada konteks yang,
seperti berpidato, berdiskusi, bercerita, dan wawancara. Dari
sini akan diperoleh keutuhan mengenai keterampilan berbicara
dimaksud. Untuk mengamati kinerja peserta didik dapat
menggunakan alat atau instrumen, seperti penilaian sikap,
observasi perilaku, pertanyaan langsung, atau pertanyaan
pribadi.

Penilaian-diri (self assessment) termasuk dalam rumpun


penilaian kinerja. Penilaian diri merupakan suatu teknik
penilaian di mana peserta didik diminta untuk menilai dirinya
sendiri berkaitan dengan status, proses dan tingkat
pencapaian kompetensi yang dipelajarinya dalam mata
pelajaran tertentu. Teknik penilaian diri dapat digunakan untuk
mengukur kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor.
Penilaian ranah sikap.Misalnya, peserta didik diminta
mengungkapkan curahan perasaannya terhadap suatu objek
tertentu berdasarkan kriteria atau acuan yang telah disiapkan.
Penilaian ranah keterampilan. Misalnya, peserta didik diminta
untuk menilai kecakapan atau keterampilan yang telah
dikuasainya oleh dirinya berdasarkan kriteria atau acuan yang
telah disiapkan. Penilaian ranah pengetahuan. Misalnya,
peserta didik diminta untuk menilai penguasaan pengetahuan
dan keterampilan berpikir sebagai hasil belajar dari suatu mata
pelajaran tertentu berdasarkan atas kriteria atau acuan yang
telah disiapkTeknik penilaian-diri memiliki beberapa manfaat
positif. Pertama, menumbuhkan rasa percaya diri peserta
didik. Kedua, peserta didik menyadari kekuatan dan kelemahan
dirinya. Ketiga, mendorong, membiasakan, dan melatih peserta
didik berperilaku jujur. Keempat, menumbuhkan semangat
untuk maju secara personal.bentuk teknik penilaian diri ini
adalah sebagai berikut :
1. Penilaian Proyek
Penilaian proyek (project assessment) merupakan kegiatan
penilaian terhadap tugas yang harus diselesaikan oleh peserta
didik menurut periode/waktu tertentu. Penyelesaian tugas
dimaksud berupa investigasi yang dilakukan oleh peserta didik,
mulai dari perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian,
pengolahan, analisis, dan penyajian data. Dengan demikian,
penilaian proyek bersentuhan dengan aspek pemahaman,
mengaplikasikan, penyelidikan, dan lain-lain.
mengerjakan sebuah proyek pembelajaran, peserta didik
memperoleh kesempatan untuk mengaplikasikan sikap,
keterampilan, dan pengetahuannya. Karena itu, pada setiap
penilaian proyek, setidaknya ada tiga hal yang memerlukan
perhatian khusus dari guru.

1. Keterampilan peserta didik dalam memilih topik, mencari


dan mengumpulkan data, mengolah dan menganalisis,
memberi makna atas informasi yang diperoleh, dan menulis
laporan.
2. Kesesuaian atau relevansi materi pembelajaran dengan
pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang
dibutuhkan oleh peserta didik.
3. Orijinalitas atas keaslian sebuah proyek pembelajaran yang
dikerjakan atau dihasilkan oleh peserta didik.
Penilaian proyek berfokus pada perencanaan, pengerjaan,
danproduk proyek. Dalam kaitan ini serial kegiatan yang harus
dilakukan oleh guru meliputi penyusunan rancangan dan
instrumen penilaian, pengumpulan data, analisis data, dan
penyiapkan laporan. Penilaian proyek dapat menggunakan
instrumen daftar cek, skala penilaian, atau narasi. Laporan
penilaian dapat dituangkan dalam bentuk poster atau tertulis.

Produk akhir dari sebuah proyek sangat mungkin memerlukan


penilaian khusus. Penilaian produk dari sebuah proyek
dimaksudkan untuk menilai kualitas dan bentuk hasil akhir
secara holistik dan analitik. Penilaian produk dimaksud
meliputi penilaian atas kemampuan peserta didik menghasilkan
produk, seperti makanan, pakaian, hasil karya seni (gambar,
lukisan, patung, dan lain-lain), barang-barang terbuat dari
kayu, kertas, kulit, keramik, karet, plastik, dan karya
logam.Penilaian secara analitik merujuk pada semua kriteria
yang harus dipenuhi untuk menghasilkan produk tertentu.
Penilaian secara holistik merujuk pada apresiasi atau kesan
secara keseluruhan atas produk yang dihasilkan.

1. Penilaian Portofolio
Penilaian portofolio merupakan penilaian atas kumpulan artefak
yang menunjukkan kemajuan dan dihargai sebagai hasil kerja
dari dunia nyata. Penilaian portofolio bisa berangkat dari hasil
kerja peserta didik secara perorangan atau diproduksi secara
berkelompok, memerlukan refleksi peserta didik, dan
dievaluasi berdasarkan beberapa dimensi.

Penilaian portofolio merupakan penilaian berkelanjutan yang


didasarkan pada kumpulan informasi yang menunjukkan
perkembangan kemampuan peserta didik dalam satu periode
tertentu. Informasi tersebut dapat berupa karya peserta didik
dari proses pembelajaran yang dianggap terbaik, hasil tes
(bukan nilai), atau informasi lain yang releban dengan sikap,
keterampilan, dan pengetahuan yang dituntut oleh topik atau
mata pelajaran tertentu.Fokuspenilaian portofolio
adalahkumpulan karya peserta didik secara individu atau
kelompok pada satu periode pembelajaran tertentu. Penilaian
terutama dilakukan oleh guru, meski dapat juga oleh peserta
didik sendiri.
Memalui penilaian portofolio guru akan mengetahui
perkembangan atau kemajuan belajar peserta didik. Misalnya,
hasil karya mereka dalam menyusun atau membuat karangan,
puisi, surat, komposisi musik, gambar, foto, lukisan, resensi
buku/ literatur, laporan penelitian, sinopsis, dan lain-lain. Atas
dasar penilaian itu, guru dan/atau peserta didik dapat
melakukan perbaikan sesuai dengan tuntutan pembelajaran.

Penilaian portofolio dilakukan dengan menggunakan langkah-


langkah seperti berikut ini.

1. Guru menjelaskan secara ringkas esensi penilaian portofolio.


2. Guru atau guru bersama peserta didik menentukan jenis
portofolio yang akan dibuat.
3. Peserta didik, baik sendiri maupun kelompok, mandiri atau
di bawah bimbingan guru menyusun portofolio
pembelajaran.
4. Guru menghimpun dan menyimpan portofolio peserta didik
pada tempat yang sesuai, disertai catatan tanggal
pengumpulannya.
5. Guru menilai portofolio peserta didik dengan kriteria
tertentu.
6. Jika memungkinkan, guru bersama peserta didik membahas
bersama dokumen portofolio yang dihasilkan.
7. Guru memberi umpan balik kepada peserta didik atas hasil
penilaian portofolio.
8. Penilaian Tertulis
Meski konsepsi asesmen autentik muncul dari ketidakpuasan
terhadap tes tertulis yang lazim dilaksanakan pada era
sebelumnya, penilaian tertulis atas hasil pembelajaran tetap
lazim dilakukan. Tes tertulis terdiri dari memilih atau mensuplai
jawaban dan uraian. Memilih jawaban dan mensuplai jawaban.
Memilih jawaban terdiri dari pilihan ganda, pilihan benar-
salah, ya-tidak, menjodohkan, dan sebab-akibat. Mensuplai
jawaban terdiri dari isian atau melengkapi, jawaban singkat
atau pendek, dan uraian.

Tes tertulis berbentuk uraian atau esai menuntut peserta didik


mampu mengingat, memahami, mengorganisasikan,
menerapkan, menganalisis, mensintesis, mengevaluasi, dan
sebagainya atasmateri yang sudah dipelajari. Tes tertulis
berbentuk uraian sebisa mungkin bersifat komprehentif,
sehingga mampu menggambarkan ranah sikap, keterampilan,
dan pengetahuan peserta didik.

Pada tes tertulis berbentuk esai, peserta didik berkesempatan


memberikan jawabannya sendiri yang berbeda dengan teman-
temannya, namun tetap terbuka memperoleh nilai yang sama.
Misalnya, peserta didik tertentu melihat fenomena kemiskinan
dari sisi pandang kebiasaan malas bekerja, rendahnya
keterampilan, atau kelangkaan sumberdaya alam. Masing-
masing sisi pandang ini akan melahirkan jawaban berbeda,
namun tetap terbuka memiliki kebenarann yang sama, asalkan
analisisnya benar. Tes tersulis berbentuk esai biasanya
menuntut dua jenis pola jawaban, yaitu jawaban terbuka
(extended-response) atau jawaban terbatas (restricted-
response). Hal ini sangat tergantung pada bobot soal yang
diberikan oleh guru. Tes semacam ini memberi kesempatan
pada guru untuk dapat mengukur hasil belajar peserta didik
pada tingkatan yang lebih tinggi atau kompleks.
Kesimpulan
Penilaian autentik merupakan sebuah konsep evaluasi untuk
menilai kemampuan atau hasil belajar anak secara holistic.
Penilaian ini diperoleh melalui pengumpulan informasi oleh
guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran
yang dilakukan oleh peserta didik melalui berbagai teknik yang
mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan
secara tepat bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar
dikuasai dan dicapai.

Penilaian ini dilakukan melalui 4 jenis penilaian yaitu Penilaian


Kerja Penilaian porto folio, penilain proyek dan penilaian
tertulis. Hasil dari kombinasi seluruh penilaian ini akan lebih
mencerminkan penilaian yang lebih holistic untuk melihat
kemampuan anak secara objektif.

Asesmen autentik ini memiliki relevansi kuat terhadap


pendekatan ilmiah dalam pembelajaran sesuai dengan tuntutan
Kurikulum 2013. Karena, asesmen semacam ini mampu
menggambarkan peningkatan hasil belajar peserta didik, baik
dalam rangka mengobservasi, menalar, mencoba, membangun
jejaring, dan lain-lain.
Penilaian autentik hadir bukan untuk mengganti
keseluruhan penilaian tradisional. Penilaian
tradisional sebenarnya punya banyak sisi untuk
dipertahankan secara prinsip. Namun secara
praktek setiap guru mesti kembali bertanya
kepada hati masing-masing apakah tipe penilaian
tradisional masih diperlukan untuk menilai siswa
yang sekarang hidup di abad 21.
Berikut ini alasan mengapa penilaian
autentik perlu dipelajari dan diaplikasikan
oleh guru.
 Penilaian tradisional mengutamakan satu
jawaban benar dan yang lain salah, sementara
terbukti bahwa kenyataan dalam kehidupan ada
banyak kemungkinan yang bisa diambil dalam
penyelesaian masalah. Siswa akan jadi sosok
yang berpikiran terbuka jika terus diasah lewat
penilaian autentik.
 Penilaian tradisional mencari kesalahan,
sementara penilaian autentik menggali
informasi demi peningkatan siswa oleh seorang
guru.
 Penilaian tradisional bertujuan untuk
membandingkan dan mengkompetisikan murid
satu dan lainnya, sementara penilaian autentik
digunakan untuk mencari tahu seberapa baik
seorang siswa menjalani proses nya, tanpa
maksud untuk membandingkan dengan yang
lain.
 Penilaian tradisional hanya menguatkan
kemampuan menghafal siswa dan bukan
menyuburkan kemampuan memecahkan
masalah dari seorang siswa.
 Penilaian tradisional miskin pilihan produk.
Produk pembelajaran hanya secarik kertas
ulangan yang tidak mengatakan apa-apa selain
salah berapa dan betul berapa. Sementara
Penilaian autentik memberikan pilihan produk
pembelajaran yang beragam , dari presentasi
sampai poster, dari peta konsep sampai drama
bisa dinilai. Guru terus ditantang untuk selalu
mendasarkan pembelajaran yang dilakukan di
kelas pada aspek kinerja atau performa yang
membuat kelasnya aktif.
 Penilaian tradisional hanya membuat siswa
tahu sebabnya tanpa tahu alasan atau cara
mengaplikasikan, sementara penilaian autentik
memaksa siswa mengaplikasikan pengetahuan,
karena yang dinilai adalah aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik.
 Guru sering terkejut ketika menggunakan
penilaian tipe autentik karena siswa berusaha
mencari tahu lebih lanjut hal yang sudah
diajarkan kepadanya tanpa disuruh karena
ingin tampil yang terbaik dalam penampilannya
di kelas.
 Dengan penilaian autentik guru diminta untuk
mencari audience yang luas dengan libatkan
penilaian lewat media sosial saat memberi
penugasan pada siswa. Sebuah hal yang pasti
akan disukai oleh siswa abad 21.

Jenis-jenis Penilaian Autentik[sunting | sunting sumber]


Dalam rangka melaksanakan penilaian autentik yang baik, guru
harus memahami secara jelas tujuan yang ingin dicapai. Untuk itu,
guru harus bertanya kepada dirinya sendiri, khususnya yang
berkaitan dengan: (1) sikap, pengetahuan, dan keterampilan apa
yang akan dinilai; (2) fokus penilaian apa yang akan dilakukan,
misalnya berkaitan dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan;
dan (3) tingkat pengetahuan apa yang akan dinilai, seperti
penalaran, memori, atau proses.
Jenis –jenis penilaian uatentik yang harus dilakukan guru adalah:
1. Penilaian Sikap[sunting | sunting sumber]
Penilaian sikap dilakukan melalui observasi, penilaian diri, penilaian
antar teman, dan jurnal.
2. Penilaian Pengetahuan[sunting | sunting sumber]
Penilaian pengetahuan dilakukan melalui tes tulis, tes lisan, dan
penugasan.
3. Penilaian Keterampilan[sunting | sunting sumber]
Penilaian keterampilan dilakukan melalui penilaian kinerja,
penilaian proses, dan penilaian portofolio

Anda mungkin juga menyukai