Anda di halaman 1dari 13

Patofisiologi Appendicitis

Appendicitis merupakan peradangan appendiks yang mengenai semua

lapisan dinding organ tersebut. Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi lumen dan ulserasi
mukosa menjadi langkah awal terjadinya appendicitis.28 Obstruksi

intraluminal appendiks menghambat keluarnya sekresi mukosa dan menimbulkan

distensi dinding appendiks. Sirkulasi darah pada dinding appendiks akan terganggu.

Adanya kongesti vena dan iskemia arteri menimbulkan luka pada dinding appendiks.

Kondisi ini mengundang invasi mikroorganisme yang ada di usus besar memasuki

luka dan menyebabkan proses radang akut, kemudian terjadi proses irreversibel

meskipun faktor obstruksi telah dihilangkan.

Appendicitis dimulai dengan proses eksudasi pada mukosa, sub mukosa,

dan muskularis propia. Pembuluh darah pada serosa kongesti disertai dengan infiltrasi

sel radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi kemerah-merahan dan ditutupi

granular membran. Pada perkembangan selanjutnya, lapisan serosa ditutupi oleh

fibrinoid supuratif disertai nekrosis lokal disebut appendicitis akut supuratif. Edema

dinding appendiks menimbulkan gangguan sirkulasi darah sehingga terjadi ganggren,

warnanya menjadi hitam kehijauan yang sangat potensial ruptur. Pada semua dinding

appendiks tampak infiltrasi radang neutrofil, dinding menebal karena edema dan pembuluh darah
kongesti.9

Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna,

tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya

perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali

Universitas Sumatera Utara

menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan
kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.24

2.4. Epidemiologi Appendicitis


2.4.1. Distribusi Appendicitis a. Distribusi Appendicitis Berdasarkan Orang (Person) Penelitian Omran et
al (2003) di Kanada pada 65.675 penderita appendicitis didapat 38.143 orang (58%) laki-laki dan 27.532
orang (42%) perempuan.14

Penelitian Khanal (2004) di Rumah Sakit Tribhuvan Nepal pada 99 penderita

appendicitis didapat 76 orang (76,8%) laki-laki dan 23 orang (23,2%) perempuan,

serta kelompok umur 15-24 tahun 41 orang (41,4%), 25-34 tahun 38 orang (38,4%),

35-44 tahun 15 orang (15,2%), 45-54 tahun 3 orang (3,0%), 55-64 tahun 1 orang (1,0%), dan 65-74
tahun 1 orang (1,0%).29

Penelitian Nwomeh (2006) di Amerika Serikat pada 788 penderita appendicitis didapat proporsi kulit
putih 81%, kulit hitam 12%, dan lainnya 7%.30

Penelitian Salari (2007) di Iran pada 400 penderita appendicitis didapat 287 orang

(71,7%) laki-laki dan 113 orang (28,3%) perempuan, serta kelompok umur

5-14 tahun 58 orang (14,5%), 15-19 tahun 114 orang (28,5%), 20-24 tahun 99 orang (24,8%), 25-34
tahun 102 orang (25,5%), dan ≥35 tahun 27 orang (6,8%).31 b. Distribusi Appendicitis Berdasarkan
Tempat (Place) Penelitian Richardson et al (2004) di Afrika Selatan, IR appendicitis 5 per

1.000 penduduk di pedesaan, 9 per 1.000 penduduk di periurban, dan 18 per 1.000 penduduk di
perkotaan.32 Penelitian Penfold et al (2008) di Amerika Serikat pada

Universitas Sumatera Utara

anak umur 2-20 tahun didapat bahwa perforasi appendicitis lebih cenderung di pedesaan (69,6%)
daripada perkotaan (30,4%) (p=0,042).33 c. Distribusi Appendicitis Berdasarkan Waktu (Time) Penelitian
Dombal (1994) di Amerika Serikat terjadi penurunan kasus appendicitis dari 100 menjadi 52 per 100.000
penduduk periode tahun 1975-1991.34

Penelitian Walker (1995) di Afrika Selatan terjadi peningkatan kasus appendicitis dari 8,2 menjadi 9,5
per 100.000 penduduk periode tahun 1987-1994.35

Penelitian Bisset (1997) di Skotlandia terjadi penurunan kasus appendicitis dari 19,7 menjadi 9,6 per
10.000 penduduk periode tahun 1973-1993.36 Penelitian

Ballester et al (2003) di Spanyol terjadi peningkatan kasus appendicitis dari 11,7 menjadi 13,2 per 10.000
penduduk periode tahun 1998-2003.13

2.4.2. Determinan Appendicitis a. Faktor Host a.1. Umur

Appendicitis dapat terjadi pada semua usia dan paling sering pada dewasa

muda. Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, appendicitis tertinggi pada usia
10-19 tahun dengan Age Specific Morbidity Rate (ASMR) 23,3 per 10.000 penduduk.37 Hal ini
berhubungan dengan hiperplasi jaringan limfoid karena jaringan limfoid mencapai puncak pada usia
pubertas.24

a.2. Jenis Kelamin

Penelitian Omran et al (2003) di Kanada, Sex Specific Morbidity Rate (SSMR) pria : wanita yaitu 8,8 : 6,2
per 10.000 penduduk dengan rasio 1,4 : 1.14

Penelitian Gunerhan (2008) di Turki didapat SSMR pria : wanita yaitu 154,7 : 144,6

Universitas Sumatera Utara

per 100.000 penduduk dengan rasio 1,07: 1.17 Kesalahan diagnosa appendicitis

15-20% terjadi pada perempuan karena munculnya gangguan yang sama dengan

appendicitis seperti pecahnya folikel ovarium, salpingitis akut, kehamilan ektopik, kista ovarium, dan
penyakit ginekologi lain.24

a.3. Ras

Faktor ras berhubungan dengan pola makan terutama diet rendah serat dan

pencarian pengobatan. Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, IR kulit putih : kulit hitam
yaitu 15,4 : 10,3 per 10.000 penduduk dengan rasio 1,5 : 1.37

Penelitian Richardson et al (2004) di Afrika Selatan, IR kulit putih : kulit hitam yaitu 2,9 : 1,7 per 1.000
penduduk dengan rasio 1,7 : 1.32

Penelitian Ponsky (2004) di Children's National Medical Center Amerika

Serikat dengan desain Case Control pada anak umur 5-17 tahun didapat penderita

ruptur appendicitis 1,66 kali lebih besar pada anak keturunan Asia (Odds Ratio [OR]:

1,66; 95% Confidence Interval [CI] : 1,24-2,23) dan 1,13 kali lebih besar pada anak

kulit hitam (OR: 1,13; 95% CI: 1,01-1,30) dibandingkan anak bukan penderita ruptur appendicitis.38
Penelitian Smink (2005) di Boston dengan desain Case Control pada

anak umur 0-18 tahun didapat penderita ruptur appendicitis 1,24 kali lebih besar pada

anak kulit hitam (OR: 1,24; 95% CI: 1,10–1,39) dan 1,19 kali lebih besar pada anak

hispanik (OR: 1,19; 95% CI: 1,10–1,29) dibandingkan anak bukan penderita ruptur appendicitis.39

Universitas Sumatera Utara


b. Faktor Agent Proses radang akut appendiks disebabkan invasi mikroorganisme yang ada

di usus besar. Pada kultur ditemukan kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan

Eschericia coli, Splanchicus sp, Lactobacilus sp, Pseudomonas sp, dan Bacteriodes splanicus. Bakteri
penyebab perforasi yaitu bakteri anaerob 96% dan aerob 4%.9 c. Faktor Environment Urbanisasi
mempengaruhi transisi demografi dan terjadi perubahan pola

makan dalam masyarakat seiring dengan peningkatan penghasilan yaitu konsumsi tinggi lemak dan
rendah serat.40 Penelitian epidemiologi menunjukkan peran

konsumsi rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis.

Kebiasaan konsumsi rendah serat mempengaruhi defekasi dan fekalith menyebabkan obstruksi lumen
sehingga memiliki risiko appendicitis yang lebih tinggi.24

2.5. Klasifikasi Appendicitis41, 42

Adapun klasifikasi appendicitis berdasarkan klinikopatologis adalah sebagai

berikut:

2.5.1. Appendicitis Akut a. Appendicitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis) Proses peradangan baru
terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan

obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi

peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks

jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah

umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada appendicitis

Universitas Sumatera Utara

kataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak

ada eksudat serosa. b. Appendicitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis) Tekanan dalam lumen
yang terus bertambah disertai edema menyebabkan

terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.

Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang

ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa

sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks

dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen.

Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas

di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan

defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda

peritonitis umum.

c. Appendicitis Akut Gangrenosa Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda

supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks

berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada appendicitis akut

gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.

Universitas Sumatera Utara

2.5.2. Appendicitis Infiltrat Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya

dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga

membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.

2.5.3. Appendicitis Abses Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah

(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan

pelvic.

2.5.4. Appendicitis Perforasi Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren

yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis

umum. Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan

nekrotik.

2.5.5. Appendicitis Kronis Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut supuratif sebagai

proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah,

khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa appendicitis kronis baru dapat

ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari

dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara
histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia

mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub

mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.

Universitas Sumatera Utara

2.6. Gejala Appendicitis20 Beberapa gejala yang sering terjadi yaitu:

2.6.1. Rasa sakit di daerah epigastrum, daerah periumbilikus, di seluruh abdomen

atau di kuadran kanan bawah merupakan gejala-gejala pertama. Rasa sakit ini

samar-samar, ringan sampai moderat, dan kadang-kadang berupa kejang.

Sesudah empat jam biasanya rasa nyeri itu sedikit demi sedikit menghilang

kemudian beralih ke kuadran bawah kanan. Rasa nyeri menetap dan secara

progesif bertambah hebat apabila pasien bergerak.

2.6.2. Anoreksia, mual, dan muntah yang timbul selang beberapa jam dan

merupakan kelanjutan dari rasa sakit yang timbul permulaan. 2.6.3. Demam tidak tinggi (kurang dari
380C), kekakuan otot, dan konstipasi.

2.6.4. Appendicitis pada bayi ditandai dengan rasa gelisah, mengantuk, dan terdapat

nyeri lokal. Pada usia lanjut, rasa nyeri tidak nyata. Pada wanita hamil rasa

nyeri terasa lebih tinggi di daerah abdomen dibandingkan dengan biasanya.

2.6.5. Nyeri tekan didaerah kuadran kanan bawah. Nyeri tekan mungkin ditemukan

juga di daerah panggul sebelah kanan jika appendiks terletak retrocaecal.

Rasa nyeri ditemukan di daerah rektum pada pemeriksaan rektum apabila

posisi appendiks di pelvic. Letak appendiks mempengaruhi letak rasa nyeri.

Universitas Sumatera Utara

2.7. Diagnosa Banding Appendicitis19, 24 Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis
appendicitis

karena penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan

appendicitis, diantaranya:
2.7.1. Gastroenteritis ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare mendahului

rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, hiperperistaltis sering ditemukan, panas

dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan appendicitis akut.

2.7.2. Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau

gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan

mual dan nyeri tekan perut.

2.7.3. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh

hasil positif untuk Rumple Leed, trombositopeni, dan hematokrit yang

meningkat.

2.7.4. Infeksi Panggul, salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan appendicitis

akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendicitis dan nyeri perut bagian

bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan

dan infeksi urin.

2.7.5. Gangguan alat reproduksi perempuan, folikel ovarium yang pecah dapat

memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi.

Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam.

Universitas Sumatera Utara

2.7.6. Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan

yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar rahim

disertai pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvic dan bisa

terjadi syok hipovolemik.

2.7.7. Divertikulosis Meckel, gambaran klinisnya hampir sama dengan appendicitis

akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada appendicitis

akut sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama.

2.7.8. Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan appendicitis jika isi
gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.

2.7.9. Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan menyerupai

appendicitis retrocaecal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis, hematuria,

dan terjadi demam atau leukositosis.

2.8. Komplikasi Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan appendicitis. Faktor

keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita

meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan

diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat

melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas

dan mortalitas. Proporsi komplikasi appendicitis 10-32%, paling sering pada anak

kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan

40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang tua.43 Anak-
anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih

Universitas Sumatera Utara

pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua
terjadi gangguan pembuluh darah.24 Adapun jenis

komplikasi diantaranya:

2.8.1. Abses Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa

lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa

flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila appendicitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.20

2.8.2. Perforasi Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri

menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam.19 Perforasi dapat diketahui praoperatif

pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari
38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN).
Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.20

2.8.3. Peritonitis Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya


yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada

permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas

peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya

cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.

Universitas Sumatera Utara

Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan
leukositosis.28, 44

2.9. Pencegahan Appendicitis

2.9.1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap

kejadian appendicitis. Upaya pencegahan primer dilakukan secara menyeluruh

kepada masyarakat. Upaya yang dilakukan antara lain:

a. Diet tinggi serat Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan

insidens timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan bahwa

diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran pencernaan.40 Serat dalam
makanan mempunyai kemampuan mengikat air, selulosa,

dan pektin yang membantu mempercepat sisi-sisa makanan untuk diekskresikan

keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang mengakibatkan penekanan pada dinding kolon.45

b. Defekasi yang teratur Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces.

Makanan yang mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces dan

makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada waktu yang

sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan
keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon.45

Universitas Sumatera Utara

Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi feces yang

lebih padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan intracaecal

sehingga terjadi sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan


flora normal kolon. Pengerasan feces memungkinkan adanya bagian yang terselip

masuk ke saluran appendiks dan menjadi media kuman/bakteri berkembang biak sebagai infeksi yang
menimbulkan peradangan pada appendiks.24

2.9.2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder meliputi diagnosa dini dan pengobatan yang tepat

untuk mencegah timbulnya komplikasi. a. Diagnosa Appendicitis

Diagnosa yang dilakukan antara lain: a.1. Pemeriksaan Fisik24, 43

a.1.1. Inspeksi pada appendicitis akut tidak ditemukan gambaran yang spesifik dan

terlihat distensi perut.

a.1.2. Palpasi pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan terasa nyeri dan

bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah

merupakan kunci diagnosa appendicitis. Pada penekanan perut kiri bawah

akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing

(Rovsing Sign). Apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan

terasa nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Blumberg (Blumberg

Sign).

Universitas Sumatera Utara

a.1.3. Pemeriksaan rektum, pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis untuk

menentukan letak appendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat

dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan appendiks yang

meradang terletak di daerah pelvic.

a.1.4. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini dilakukan untuk

mengetahui letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan

rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif

sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang

meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan


menimbulkan nyeri. Pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan

endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila appendiks yang

meradang kontak dengan obturator internus yang merupakan dinding panggul

kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. a.2. Pemeriksaan Penunjang46

a.2.1. Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein

(CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3
(leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada

CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu

komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya

proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein.

Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.

Universitas Sumatera Utara

a.2.2. Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed

Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian

memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan

pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith

dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya

pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan

spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat

akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu

90-100% dan 96-97%.

a.2.3. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan

infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.

a.2.4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa

peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.

a.2.5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa


adanya kemungkinan kehamilan.

a.2.6. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan

Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk

kemungkinan karsinoma colon.

a.2.7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti appendicitis,

tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan appendicitis dengan

obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

Universitas Sumatera Utara

b. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita appendicitis meliputi

penanggulangan konservatif dan operasi.

b.1. Penanggulangan konservatif

Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak

mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian

antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis perforasi,

sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik.47

b.2. Operasi

Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan

yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan

appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses
appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).48

2.9.3. Pencegahan Tersier

Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi

yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi

luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen

dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan


perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-
abdomen.20

Anda mungkin juga menyukai