Anda di halaman 1dari 11

A.

Anemia

a. Definisi

Anemia gizi adalah keadaan kadar hemoglobin dalam darah yang


lebih rendah dari normal akibat kekurangan satu macam atau lebih zat zat
gizi yang diperlukan untuk pembentukan darah (zat besi, asam folat,
vitamin B12 , Protein). (WHO, 1972 dalam Soehardjo, 1989).
Anemia lebih sering dijumpai dalam kehamilan, karena keperluan
zat makanan bertambah dan terjadi perubahan-perubahan dalam darah dan
sumsum tulang, yaitu darah bertambah banyak yang lazim disebut
hidremia atau hipervolemia. Bertambahnya sel sel darah tidak sebanding
dengan bertambahnya plasma dengan perbandingan : plasma 30 %, sel
darah 18 % dan hemoglobin 19 % sehingga terjadi pengenceran darah.
Pengenceran darah dianggap sebagai penyesuaian diri secara fisiologis
dalam kehamilan dan bermanfaat bagi wanita hamil karena dapat
meringankan beban jantung yang harus bekerja lebih berat dalam masa
hamil. Selain itu pada perdarahan, waktu persalinan, banyaknya unsur besi
yang hilang lebih sedikit dibandingkan apabila darah tetap kental.
(De Maeyer, 1993)
Bertambahnya darah dalam kehamilan dimulai sejak usia
kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya pada usia kehamilan
antara 32 sampai 36 minggu. Pada trimester pertama Hb rata rata 12,3
g/100 ml, trimester kedua 11,3 g/100 ml dan trimester ketiga 10,8 g/100
ml. Hal itu disebabkan karena pengenceran darah semakin nyata dengan
bertambahnya usia kehamilan sehingga frekuensi anemia dalam kehamilan
meningkat. Seorang wanita hamil dengan Hb kurang dari 10 g/100 ml
tidak dianggap menderita anemia patologik melainkan anemia fisiologik
atau pseudoanemia.

b. Prevalensi

Defisiensi makanan memegang peranan penting dalam timbulnya


anemia maka tidak heran bila prevalensi anemia di negara berkembang
lebih tinggi daripada di negara maju. Prevalensi rata rata anemia pada ibu
hamil secara nasional menurut SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga)
tahun 1995 sebesar 51,4 %. Angka ini tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian pada 4 propinsi Indonesia di kawasan timur yaitu sebesar 50,1
% atau survei nasional oleh Muhilal dkk sebesar 55,1 %. Hasil penelitian
SKRT tahun 1995 menunjukkan prevalensi anemia 51 % pada trimester I,
53 % pada trimester II dan 43 % pada trimester III. Hasil penelitian Bakta
dkk menunjukkan prevalensi anemia tertinggi pada trimester II.
Sedangkan Dahro dkk serta Umniyati mendapatkan prevalensi tertinggi
pada trimester III. Perbedaan ini tampaknya disebabkan oleh perbedaan
dinamika hubungan antara menurunnya hemodilusi dengan peningkatan
kebutuhan besi pada trimester III serta besarnya cadangan besi dalam
tubuh sebelum kehamilan dan masukan besi melalui makanan.
Anemia merupakan penyebab utama dari tingginya angka
kematian ibu melahirkan di negara berkembang. Untuk Indonesia, hasil
SKRT (1995) mencatat kematian ibu sebesar 373 orang untuk setiap
100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut untuk Jawa Barat dan NTT
merupakan yang tertinggi yaitu 686 orang, sedangkan yang terendah
adalah Jawa Tengah yaitu 246 orang (Soekirman, 1999)

c. Penyebab

Menurut Beck (1995), penyebab terjadinya anemia gizi antara lain


adalah :
1). Menu sehari hari kurang mengandung zat besi
2). Penyerapan zat besi dalam usus kurang baik
3). Infeksi parasit
4). Kemampuan menampung zat besi menurun sehingga kebutuhan zat
besi meningkat

d. Penggolongan anemia berdasarkan kadar Hb

Menurut De Maeyer (1993), penggolongan anemia berdasarkan


kadar Hb yaitu :
1). Anemia ringan dengan kadar Hb : >10 gr %
2). Anemia sedang dengan kadar Hb : 7 – 10 gr %
3). Anemia berat dengan kadar Hb : < 7 gr %

e. Pembagian anemia dalam kehamilan

Anemia dalam kehamilan dapat dibagi sebagai berikut :


1). Anemia Defisiensi Besi
Merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai dalam
kehamilan. Terjadi karena kurangnya masukan unsur besi dalam
makanan, gangguan reabsorpsi atau karena pendarahan. Anemia ini
dapat dicegah dengan meningkatkan asupan protein dan sayuran yang
banyak mengandung mineral dan vitamin serta dengan konsumsi tablet
Fe.
2). Anemia Megaloblastik
Terjadi karena defisiensi asam folik, jarang sekali karena
defisiensi vitamin B12 . Pengobatannya adalah dengan memberikan
tablet asam folik dengan dosis 15 – 30 mg sehari. Dan apabila anemia
megaloblastik disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 pengobatannya
dengan memberikan tablet vitamin B12 dengan dosis 100 – 1000 mg
sehari.
3). Anemia Hipoplastik
Terjadi karena sumsum tulang kurang mampu membuat sel sel
darah baru. Hal ini dapat disebabkan oleh sinar rontgen, racun atau
obat obatan. Pengobatannya adalah dengan transfusi darah.
4). Anemia Hemolitik
Terjadi karena penghancuran sel darah merah berlangsung
lebih cepat dari pembuatannya yaitu 120 hari. Wanita dengan anemia
hemolitik sukar untuk hamil, apabila hamil maka anemianya dapat
lebih berat. Sebaliknya kehamilan dapat menyebabkan krisis hemolitik
pada wanita yang sebelumnya tidak menderita anemia.

B. Hemoglobin

a. Definisi

Hemoglobin adalah bagian dari eritrosit (sel darah merah) yang


dibentuk dalam sumsum tulang. Hemoglobin dibentuk dari heme dan
globin. Heme terdiri dari 2 pasang rantai polipeptida (Meyes dkk, 1996).
Hemoglobin adalah molekul yang mengandung 4 sub unit yang
berinteraksi sehingga menimbulkan efek kooperatif yaitu bila sebuah
molekul hemoglobin mengambil molekul oksigen, ia cenderung terus
memperoleh 4 molekul oksigen.

b. Struktur Hemoglobin

Satu satuan Hemoglobin mempunyai bobot molekul sekitar 65.000


yang mengandung 4 molekul protein yang disebut globin. 96 % dari
molekul protein ini adalah globulin dan sisanya berupa heme.

c. Fungsi Hemoglobin

Sebagai alat transportasi untuk mengangkut oksigen dari paru paru


ke jaringan perifer dan kembali lagi ke paru paru melalui pembuluh darah
vena dengan membawa CO2 . Didalam jaringan, oksigen dipakai untuk
pembakaran zat besi menjadi energi.

d. Kadar Hemoglobin

Indikator yang digunakan untuk mengetahui kekurangan besi


adalah pengukuran jumlah dan ukuran sel darah merah, dan kadar
hemoglobin. Kadar Hb kurang peka terhadap tahap awal kekurangan besi,
tetapi berguna untuk mengetahui beratnya anemia. Kadar Hb yang rendah
menggambarkan kekurangan besi yang sudah lanjut (Almatsier, 2001)
TABEL 1.
KADAR HEMOGLOBIN NORMAL

Kelompok Umur Kadar Hb (gr/100ml)


Anak-anak
usia 6 bulan - 6 tahun 11
usia 6 tahun -14 tahun 12

Dewasa
Laki-laki 13
Wanita ( tidak hamil ) 12
Wanita hamil 11

Sumber : WHO. Nutritional Anemi, 1972 dalam Soekirman, 1999

C. Zat Besi

a. Definisi

Zat besi merupakan mikroelement yang esensial bagi tubuh dan


diperlukan dalam Hemopoesis atau pembentukan darah dalam sitesa
Hemoglobin.

b. Penyebaran zat besi dalam tubuh

Dalam tubuh zat besi sebagian besar terdapat dalam darah sebagai
bagian dari protein yang bernama Hb di sel darah merah dan mioglobin di
sel otot (Soekirman, 1999).
Jumlah seluruh zat besi dalam tubuh orang dewasa sekitar 3,5 gr.
Dimana 70 % terdapat dalam hemoglobin dan 25 % merupakan besi
cadangan (iron storage) yang terdiri dari feritin dan hemosiderin.

c. Senyawa zat besi dalam tubuh


1). Zat besi yang berfungsi untuk keperluan metabolik sebesar 25 – 55
mg/kg BB yang terdiri dari hemoglobin, myoglobin, cytocrome dan
beberapa zat besi yang berkaitan dengan protein.
2). Zat besi yang berbentuk simpanan atau reserve berkisar 5 – 25 mg/kg
BB sebagai feritin dan hemosiderin. Senyawa ini berfungsi
mempertahankan keseimbangan homeostatis (Husaini, 1989)

d. Metabolisme zat besi

Besi dalam makanan yang dikonsumsi dalam bentuk ikatan ferri


(umumnya dalam pangan nabati) maupun ikatan ferro (umumnya dalam
pangan hewani). Besi yang berbentuk ferri oleh getah lambung (HCI)
direduksi menjadi bentuk ferro yang mudah diserap oleh sel mukosa usus.
Adanya vitamin C juga dapat membantu proses reduksi tersebut. Didalam
sel mukosa ferro dioksidasi menjadi ferri lalu bergabung dengan apporitin
membentuk protein yang mengandung besi yaitu feritin. Selanjutnya,
untuk masuk ke plasma darah besi dilepaskan dari feritin dalam bentuk
ferro, sedangkan appoprotein yang terbentuk kembali akan bergabung lagi
dengan ferri hasil oksidasi dalam sel mukosa. Setelah masuk kedalam
plasma, besi ferro segera dioksidasi menjadi ferri untuk digabungkan
dengan protein spesifik yang mengikat besi yaitu transferin (Suhardjo,
1989).
Jumlah besi yang setiap hari diganti (turn over) sebanyak 30-40
mg. Dari jumlah ini hanya sekitar 1 mg yang berasal dari makanan.
Banyaknya besi yang dimanfaatkan untuk pembentukan hemoglobin
umumnya sebesar 20-25 mg per hari (Suhardjo, 1989).

e. Sumber zat besi

Ada dua jenis zat besi dalam makanan yaitu zat besi hem dan non
hem. Selain diperoleh dari bahan makanan, zat besi dapat diperoleh dari
tanah, debu, air atau panci tempat memasak yang disebut zat besi eksogen.

TABEL 2
SUMBER ZAT BESI BERDASARKAN JENIS ZAT BESI

Jenis Zat besi Sumber


1. Zat besi heme Hati, daging, unggas, ikan
2. Zat besi non heme Susu, telur, beras, sereal,
sayuran, buah, kacang-kacangan

Sumber : Soekirman ( 1999)


TABEL 3.
ZAT BESI DALAM BAHAN MAKANAN

Nabati Hewani
Bahan makanan Mg/100gr Bahan Makanan Mg/100gr
Bayam 3,9 Daging Ayam 1,5
Daun Ubi Jalar 10,6 Daging Angsa 1,8
Jamur Kuping Kering 6,7 Daging Itik 1,8
Daun Kelor 7,0 Daging Sapi 2,8
Pecay 6,9 Daging Kerbau 2,0
Kacang Kedelai 8,0 Telur Ayam 2,7
Kacang Merah 5,0 Telur Bebek 2,8
Tempe Kedelai Murni 10,0 Ikan Bandeng 2,0
Bungkil Kacang Tanah 30,7 Ikan Teri 3,0

Tabel 3 menunjukan bahwa tumbuh tumbuhan merupakan sumber besi


yang baik (Kuntaraf, 1984)

f. Penyerapan zat besi

Pada umumnya besi yang diserap berasal dari heme dalam


hemoglobin dan myoglobin yang sudah dipecah dari proteinnya di dalam
lumen. Penyerapan besi terjadi dalam duodenum dan jejunum.
Absorpsi zat besi dipengaruhi oleh bahan makanan sumber zat
besi, dimana tingkat absorbsi zat besi pada protein nabati lebih rendah (1-
6%) bila dibandingkan dengan bahan makanan hewani (7-22%).
Di negara maju absorpsi besi dari makanan yang dikonsumsi
berkisar 10 –20 %, sedangkan di negara berkembang berkisar 5 % - 10 %
atas dasar tersebut maka makanan sehari hari diklasifikasikan menjadi 3
yaitu :
1). Absorpsi besi rendah (5%)
2). Absorpsi besi sedang (10%)
3). Absorpsi besi tinggi (15%)
(Muhilal dalam Widya Karya Pangan dan Gizi, 1998)

g. Faktor faktor yang mempengaruhi penyerapan Fe

Penyerapan zat besi sangat dipengaruhi oleh kombinasi makanan


yang disantap pada waktu makan (De maeyer, 1993).

Faktor faktor dari makanan :

1). Zat pemacu (enchancers) Fe


a). Vitamin C (asam askorbat) pada buah
b). Asam malat dan tartrat pada sayuran : wortel, kentang, brokoli,
tomat, kobis, labu kuning.
c). Asam amino cystein pada daging sapi, kambing, ayam, hati, ikan.
Suatu hidangan yang mengandung salah satu atau lebih dari jenis
makanan tersebut akan membantu optimalisasi penyerapan zat besi
(Soekirman, 1999).
d). Protein hewani maupun protein nabati tidak meningkatkan absorpsi
tetapi bahan makanan yang disebut meat faktor seperti daging,ikan
dan ayam walaupun dalam jumlah yang sedikit akan meningkatkan
zat besi non hem yang berasal dari serealia dan tumbuh-tumbuhan.
Jadi apabila konsumsi makanan sehari-hari tidak hadir bahan
makanan tersebut diatas , maka absorpsi zat besi dari makanan
sangat rendah. Perlu diketahui bahwa susu ,keju dan telur tidak
meningkatkan zat absorpsi zat besi (Husaini,1989)

2). Zat penghambat (inhibitors) Fe


a). Fitat pada dedak, katul, jagung, protein kedelai, susu coklat dan
kacang- kacangan.
b). Polifenol (termasuk tannin) pada teh, kopi, bayam, kacangkacangan.
c). Zat kapur / kalsium pada susu, keju
d). Phospat pada susu, keju
(Soekirman, 1999)

h. Masukan zat besi yang dianjurkan

Masukan zat besi yang dianjurkan dipengaruhi oleh dua faktor,


yaitu kebutuhan fisiologis perorangan dan persediaan zat besi di dalam
makanan yang disantap. Persediaan zat besi mempunyai pengaruh nyata
terhadap masukan zat besi yang dianjurkan. Makanan dengan persediaan
zat besi rendah tidak akan mampu memenuhi kebutuhan zat besi pada
tingkat konsumsi yang adekuat. Hal ini terjadi terutama pada balita,
remaja wanita, wanita haid dan wanita hamil. Masukan zat besi yang
dianjurkan untuk wanita hamil adalah 49 mg per hari, jumlah ini perlu
ditingkatkan terutama pada mereka yang persediaan zat besi dalam
makannnya rendah (De Maeyer, 1993)
FAO/WHO (1985) menganjurkan bahwa jumlah besi yang harus
dikonsumsi sebaiknya berdasarkan jumlah kehilangan besi dari dalam
tubuh serta jumlah bahan makanan hewani yang terdapat dalam menu
(Soekirman, 1999)

i. Kebutuhan zat besi

Kebutuhan besi yang direkomendasikan didefinisikan sebagai


jumlah minimum zat besi yang berasal dari makanan yang dapat
menyediakan cukup besi untuk setiap individu yang sehat pada 95 %
populasi sehingga dapat terhindar dari kemungkinan anemia defisiensi
besi (Muhilal, 2000).
Pada kehamilan, kebutuhan selama trimester kedua dan ketiga
tidak dapat dipenuhi hanya dengan zat besi yang ada dalam makanan
walaupun persediaannya tinggi. Penambahan zat besi merupakan indikasi,
kecuali kalau simpanan zat besi pada awal kehamilan mencapai kira kira
500 mg. Meskipun hilangnya zat besi yang berhubungan dengan haid
menyusut sampai nol selama kehamilan, zat besi tambahan mutlak
diperlukan untuk janin, plasenta dan penambahan volume darah ibu.
Penambahan ini sebesar kira kira 1000 mg zat besi selama hamil (De
Maeyer, 1993)
Kebutuhan selama trimester pertama relatif kecil yaitu 0,8 mg per
hari dan meningkat pada trimester II dan III hingga mencapai 6,3 mg per
hari. Sebagian dari peningkatan ini dapat dipenuhi oleh simpanan zat besi
dan peningkatan adaptif persentase zat besi yang diserap. Tetapi, bila
simpanan zat besi rendah atau tidak ada sama sekali dan zat besi yang
diserap dari makanan sangat sedikit maka suplemen zat besi menjadi
penting (De Maeyer, 1993).
Anemia dalam kehamilan biasanya disebabkan oleh defisiensi zat
besi dan asam folat, sehingga tablet kombinasi yang tepat adalah yang
mengandung 250 mg asam folat dan 60 mg zat besi yang dikonsumsi dua
kali sehari ( De Maeyer, 1993)

D. Protein

Protein merupakan salah satu zat gizi penting bagi tubuh dan paling
banyak dijumpai di samping air. Seperlima bagian tubuh adalah protein,
setengahnya otot, seperlima di dalam tulang dan tulang rawan, sepersepuluh
di kulit dan sisanya beredar sebagai cairan tubuh (Amatsier, 2001).

a. Fungsi Protein

Protein merupakan komponen utama jaringan tubuh yang


berfungsi untuk pertumbuhan sel, penyusunan struktur sel, memelihara
membran sel, sumber tenaga, mengatur keseimbangan dalam jaringan,
menyusun anti bodi, hormon dan enzim (Marsetyo dan Kartasapoetra,
1991).
Pada wanita hamil protein berfungsi sebagai berikut :
1) Pertumbuhan janin
2) Cairan amnion
3) Pertumbuhan dan perkembangan plasenta
4) Pertumbuhan jaringan ibu (payudara dan rahim)
5) Kenaikan sirkulasi darah, haemoglobin (Hb) dan protein plasma.

b. Bahan makanan sumber protein


Hampir semua bahan makanan mengandung protein, hanya
jumlah dan macamnya yang berbeda. Pada umumnya, protein yang
berasal dari hewan lebih tinggi nilainya daripada protein yang berasal
dari tumbuh-tumbuhan karena protein hewani mengandung lebih
lengkap asam amino essensial dan susunannya mendekati tubuh
manusia. Sumber protein dari hewan antara lain daging, unggas, ikan,
telur, jeroan, susu dan olahannya. Sedangkan sumber protein dari
tumbuhan antara lain kacang-kacangan, biji-bijian, sayuran, buah dll.
Dalam menu sehari-hari dianjurkan untuk mengkonsumsi
protein yang bervariasi yaitu hewani dan nabati sehingga protein yang
satu dapat melengkapi protein yang lain.

c. Kebutuhan protein yang dianjurkan

Kebutuhan protein menurut FAO/WHO/UNU (1992) adalah konsumsi


bahan makanan sumber protein yang diperlukan untuk mencegah
kehilangan protein tubuh dan memungkinkan produksi protein yang
diperlukan dalam masa pertumbuhan, kehamilan atau menyusui
(Almatsier, 2001)

E. Vitamin C

Di negara-negara yang sedang berkembang yang hanya sedikit


memakan daging, asam askorbat merupakan satu-satunya pemacu penyerapan
zat besi yang paling penting. Penambahan sekurang-kurangnya 50 mg asam
askorbat ke dalam makanan, baik dalam bentuk murni atau sayuran atau buahbuahan
(Misalnya, sebuah jeruk atau 100 gram kol, atau 100 gram amaranth)
akan menggandakan penyerapan zat besi.(Demaeyer, 1993).
Asam organik, seperti vitamin C sangat membantu penyerapan besi
non hem dengan merubah bentuk feri menjadi bentuk fero. Bentuk fero lebih
mudah diserap. Vitamin C di samping itu membentuk gugus besi askorbat
yang tetap larut pada pH lebih tinggi dalam duodenum. Vitamin C dapat
meningkatkan penyerapan zat besi non hem sampai empat kali lipat. Oleh
karena itu bagi remaja putri, sangat dianjurkan memakan makanan sumber
vitamin C sebanyak 60 mg per hari. (Almatsier, 2001).
Mengambil contoh dari Amerika Latin, sejenis makanan terbuat dari
tepung maizena, beras dan kacang hitam, mengandung zat besi sebanyak 0,17
mg. Tetapi bila ditambahkan vitamin C dalam bentuk asam askorbat murni
(50 mg) atau kembang kol (125 mg), jumlah zat besi yang terserap akan
meningkat berturut-turut menjadi 0,14 mg atau 0,58 mg. (De Maeyer, 1993).
B. Kerangka Teori

Tingkat Konsumsi Fe

Pemacu absorpsi Metabolisme Penghambat Absorpsi


Vitamin C Pencernaan Filat
Daging Penyerapan Tanin
Ph rendah

Peningkatan Kadar Hb Kehilangan Darah


kebutuhan Fe Fisiologis melalui kulit,
Menstruasi feces, urine, darah haid
Pertumbuhan Perdarahan kronis ,
parasit

Anemia Gizi Besi

(Sumber, De Maeyer, 1993)

C. Kerangka Konsep

Tingkat Konsumsi Zat Besi Kadar Hb

Tingkat Konsumsi
Vitamin C
D. Hipotesis

1. Ada hubungan antara Tingkat Konsumsi zat besi dengan kadar


haemoglobin (Hb) setelah dikontrol dengan tingkat konsumsi vitamin C.

Anda mungkin juga menyukai