Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang


ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus
cranialis.1,2

Pada sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau bisa
terjadi paralisis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot – otot pernafasan dan
wajah. Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter dan
dikenal sebagai Landry;s Paralisis ascending. Pertama dideskripsikan oleh Landry,
1859 menyebutnya sebagai suatu penyakit akut, ascending dan paralysys motoric
dengan gagal nafas.1,2

Penyakit ini terdapat diseluruh dunia pada semua umur dan setiap musim.
Insidensi GBS bervariasi antara 0,6 sampai 1,9 kasus per 100.000 orang pertahun.
SGB sering berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS
yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80% yaitu 1 sampai 4
minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atau
infeksi gastrointestinal.1,2

Angka kejadian penyakit GBS kurang lebih 0,6 - 1,6 setiap 10.000 -
40.000 penduduk. Perbedaan angka kejadian di negara maju dan berkembang
tidak nampak. Kasus ini cenderung lebih banyak pada pria dibandingkan wanita.
Data RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan pada akhir tahun
2010-2011 tercatat 48 kasus GBS dalam satu tahun dengan berbagai varian
jumlahnya perbulan. Pada tahun 2012 berbagai kasus di RSCM mengalami
kenaikan sekitar 10%.1,2

Gejala biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali timbul.


Sekitar 30 % penderita memiliki gejala sisa kelamahan setelah 3 tahun. Sampai
saat ini belum ada terapi spesifik untuk GBS. Pengobatan secara simptomatis dan
perawatan yang baik dapat memperbaikinnya.1,2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Guillain Barre Syndrome adalah suatu kelainan system kekebalan tubuh


manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan
karakteristik berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya
progresif. Kelainan ini kadang – kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom,
maupun susunan saraf pusat. GBS merupakan polineuropati akut, bersifat
ascenden, yang biasanya terjadi 1 - 3 minggu dan kadang 8 minggu setelah suatu
infeksi akut.3

2.2 Epidemiologi

Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim,


menyerang semua umur. 4 Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada
akhir musism panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus
influenza.5 Insidensi GBS bervariasi antara 0,6 sampai 1, 9 kasus per
100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo
Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang
mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3
bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari
pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit
hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.5

Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia. Insiden


Sindrom ini termasuk jarang kira-kira 1 orang dalam 100.000. 4 Penelitian Chandra
menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir

2
sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-
laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan
April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.5 GBS
merupakan salah satu penyebab kelumpuhan yang utama di negara maju atau
berkembang seperti Indonesia. pada usia dewasa muda. SGB tampil sebagai
salahsatu penyebab kelumpuhan yang utama di negara maju atau berkembang
seperti Indonesia.4

GBS seringkali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.


Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar 56% -
80%, yaitu 1 – 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti
infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Kelainan
ini juga dapat menyebabkan kematian, pada 3% pasien, yang
disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. Gejala yang terjadinya
biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali timbul. Sekitar 30%
penderita memiliki gejala sisa kelemahan setelah 3 tahun. Tiga persen pasien
dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun
setelah onset pertama. Bila terjadi kekambuhan atau tidak
ada perbaikan pada akhir minggu 4 maka termasuk Chronic
Inflammantory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP).4

2.3 Etiologi

Sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya
dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan / penyakit yang
mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain :5

a. Infeksi
b. Vaksinasi
c. Pembedahan
d. Penyakit sistematik
 Keganasan
 Systemic lupus erythematosus
 Tiroiditis
 Penyakit Addison
e. Kehamilan atau dalam masa nifas

3
GBS seringkali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul sepertii nfeksi saluran
pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.5

Gambar 2.1. Infeksi Akut yang berhubungan dengan GBS5

2.4 Klasifikasi 2

1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)


Merupakan suatu reaksi autoimun yang dimediasi oleh antibodi.
Dipicu oleh adanya infeksi bakteri atau virus, dimana pada
pemeriksaan elektrofisiologi didapatkan adanya demielinasi yang
dapat disertai dengan hilangnya persarafan axonal
2. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)
Murni motor aksonal dari neuropati. Sebanyak 67% seropositive
terhadap campylobacteriosis. Dari studi elektrofisiologi didapatkan
saraf sensorik normal dengan adanya penurunan atau hilangnya nervus
motorik. Secara tipikal pemulihan terjadi lebih cepat. Lebih sering
terjadi pada pasien pediatri.
3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Inflamasi dan demielinasi terjadi secara minimal. Seperti pada AMAN,
kecuali pada AMSAN mempengaruhi nervus dan pangkal sensoris.
Secara tipikal menyerang orang dewasa.

4
4. Miller Fisher Syndrome
Merupakan kelainan yang jarang terjadi. Secara cepat menimbulkan
ataksia, arefleksia dan kelemahan anggota gerak ringan serta
oftalmoplegia. Hilangnya sensoris jarang terjadi, namun proprioceptive
dapat terpengaruh. Demielinasi dan inflamasi nervus kranialis III dan
IV, spinal ganglia, dan nervus perifer. Berkurangnya atau hilangnya
potensial aksi nervus. Pemulihan terjadi dalam 1 hingga 3 bulan.
5. Acute Panautonomic Neuropathy
Merupakan jenis yang paling jarang terjadi. Sistem saraf simpatis,
parasimpatis ikut terkena. Seringkali disertai dengan keterlibatan
kardiovaskuler seperti hipotensi postural, takikardi, hipertensi,
disritmia. Penglihatan kabur, mata kering, dan anhidrosis. Pemulihan
terjadi secara bertahap dan seringnya tidak sepenuhnya pulih,
seringkali terkombinasi dengan gangguan sensoris.

2.5 Patologi

Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran


pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf
tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ketiga atau keempat,
kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari
kelima, terlihat beberapa limfosit pada hari kesembilan dan makrofag pada hari
kesebelas, proliferasi sel Schwann pada hari ketigabelas. Perubahan pada myelin,
akson, dan selubung Schwann berjalan secara progresif, sehingga pada hari
keenampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Kerusakan myelin
disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung
myelin dari sel schwan dan akson.9

2.6 Patogenesis

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang


mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui

5
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mechanism imunlogi.6
Bukti – bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah :6
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell
mediatedimmunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibody terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran
pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi
saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya,
yang paling sering adalah infeksi virus.6

Gambar 2.2. Patogenesa dan Fase Klinik dari GBS7

6
Gambar 2.3. Lokasi GBS yang menyerang sistem nervus perifer8\

Gambar 2.4. Stadium pada kerusakan saraf perifer GBS8

7
2.7 Gejala Klinis

1. Kelemahan

Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan


simetris secara natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan
sebelum tungkai atas. Otot otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada
yang lebih distal. Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga.
Kelemahan otot pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan, berkembang
secara akut dan berlangsung beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat
berkisar dari kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi. 9

2. Keterlibatan saraf kranial

Keterlibatann saraf cranial tampak pada 45-75% pasien dengan GBS.


Saraf kranial III-VII dan IX-XII mungkin akan terperngaruh. Keluhan umum
mungkin termasuk sebagai berikut: Wajah droop( bisa menampakkan Bells Palsy),
diplopia, diastria, disfagia, ophtalmoplegia, serta gangguan pada pupil.
Kelemahan wajah dan urofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai
yang terkena. Varian Miller-Visher dari GBS adalah unik karena subtype ini
dimulai dengan defisit saraf kranial. 9

3. Perubahan Sensorik

Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan


sensori cenderung minimal dan variabel. Kebanyakan pasien mengeluh parestesia,
mati rasa, atau perubahan sensori serupa. Gejala sensorik sering mendahului
kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses
menuju ke atas, tetapi umumnya tidak melebar keluar pergelangan tangan atau
pergelangan kaki. Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal
dapat hadir. 9

4. Nyeri

Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan GBS, 89% pasien
melaporkan nyeri yang disebabkan GBS pada beberapa waktu selama

8
perjalanannya. Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung,
pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini
sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut. Gejala dysesthetic diamati ada
dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan penyakit mereka. Dysesthetias
sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi shoclike dan
sering lebih umum di eksterimitas bawah daripada di ekstremitas atas.
Dysesthetias dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10% pasien. Sindrom nyeri
lainnya yang biasa dialami pasien dengan GBS adalah sebagai berikut: myalgic,
nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi imobilitas( misalnya.
tekanan palsy saraf, ulkus dekubitus). 9

5. Perubahan Otonom

Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis


dan parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan GBS. Perubahan otonom
dapat mencakup sebagai berikut: takikardia, bradikardia, facial flushing,
hipertensia paroksimal, hipertensi orthostatik. Retensi urin karena gangguan
sfingter urin karena paresis lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan.9

6. Pernapasan

40% Pasien GBS cenderung memiliki kelemahan pernapasan atau


orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah: dispnea saat
aktivitas, sesak nafas, kesulitan menelan, bicara cadel. Kegagalan ventilasi yang
memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga dari pasien
di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.9

2.8 Diagnosa

Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis. GBS ditandai dengan


timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon
dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai
disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.5

9
Gambar 2.5. Gejala Klinis GBS4

Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah kriteria dari National


Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS),
yaitu:5

I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:

 Terjadinya kelemahan yang progresif


 Hiporefleksi

II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:

a) Ciri-ciri klinis:
 Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2
minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
 Relatif simetris
 Gejala gangguan sensibilitas ringan
 Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain
 Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,
dapat memanjang sampai beberapa bulan.
 Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dangejala vasomotor.

10
 Tidak ada demam saat onset gejala neurologis

b) Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong


diagnosa:
 Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada LP serial
 Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
 Varian:
o Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
o Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3

c) Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:


perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.
Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.

2.9 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan LCS

Dari pemeriksaan LCS didapatakan adanya kenaikan kadar protein (1-1,5


g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain(1961)
disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan
serebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil
apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu
pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan
menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 ( albumniocytologic
dissociation) 9.

2. Pemeriksaan EMG

Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal,


kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir
minggu kedua dan pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan adanya
perbaikan. 9

3. Pemeriksaan MRI

11
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan
kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan
memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar.9

2.10 Diagnosa Banding

Gejala klinis GBS biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan kriteria
diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus
dibedakan dengan keadaan lain, seperti:5

 Mielitis akuta
 Poliomyelitis anterior akuta
 Porphyria intermitten akuta
 Polineuropati post difteri

2.11 Terapi

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara


umum bersifat simptomatik. Akan tetapi meskipun dikatakan bahwa penyakit ini
dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan
angka kecacatan (gejala sisa) yang cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus
diberikan. Tujuan terapi khususnya adalah untuk mengurangi beratnya penyakit
dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi). 5 Penderita
pada stadium awal perlu dirawat di Rumah Sakit untuk terus diobservasi tanda-
tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus segera dirawat di Rumah Sakit
untuk mendapatkan bantuan pernapasan, pengobatan, dan fisioterapi.9

a. Sistem Pernapasan

Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada GBS.


Pengobatan lebih ditujukkan pada tindakan suportif dan fisioterapi.
Bila perlu dilakukan tindakan trakeostomi, penggunaan alat bantu
pernapasan (ventilator) bila vital capacicity turun dibawah 50%.9

b. Fisioterapi

12
Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh untuk mencegah kekakuan
sendi. Segera setelah penyembuhan mulai, maka fisioterapi aktif
dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.9

c. Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat


steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.5
d. Plasmaferesis

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan


faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih
cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama
perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan
mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis
lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu
pertama).5
e. Pengobatan imunosupressan

 Imunoglobulin IV

Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih


menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek
samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4
gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.5
 Obat sitotoksik

Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:


 6 merkaptopurin (6-MP)
 azathioprine
 cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual
dan sakit kepala.5

13
2.12 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal nafas, aspirasi makanan, atau
cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,
thrombosis vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu, dan
kontraktur pada sendi.9

2.13 Prognosis

Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada


sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi
penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengankeadaan antara
lain:5
a. pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
b. mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
c. progresifitas penyakit lambat dan pendek
d. pada penderita berusia 30-60 tahun

BAB III
KESIMPULAN

Guillain Barre Syndrome adalah suatu kelainan system kekebalan tubuh


manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan
karakteristik berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya
progresif. Kelainan ini kadang – kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom,
maupun susunan saraf pusat. GBS merupakan polineuropati akut, bersifat

14
ascenden, yang biasanya terjadi 1 - 3 minggu dan kadang 8 minggu setelah suatu
infeksi akut.
Pada sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau bisa
terjadi paralisis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot – otot pernafasan dan
wajah. Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter dan
dikenal sebagai Landry;s Paralisis ascending. Pertama dideskripsikan oleh Landry,
1859 menyebutnya sebagai suatu penyakit akut, ascending dan paralysys motoric
dengan gagal nafas.
Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis. GBS ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon
dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai
disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.
Pengobatan secara umum bersifat simptomatik. Akan tetapi meskipun dikatakan
bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang
cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) yang cukup tinggi sehingga
pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khususnya adalah untuk
mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem
imunitas (imunoterapi). Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik
tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Munandar A. Laporan Kasus Sindroma Gullain – Barre dan Tifus


Abdominalis. Unit neurologi RS Husada Utama Jakarta. Available from :
URL http://www.14Guillainbarresyndrome93.pdf.html (paragraph 2,3,4,5)
2. Newswanger Dana L, Warren Charles R, GuillainBaree Syndrome,
http://www.americanfamilyphysician.com.

3. http://mobile.journals.lww.com/jaapa/_layouts/15/oaks.journals.mobile/arti
cleviewer.aspx?year=2015&issue=07000&article=00004#ath

4. Rahayu, Toetik. 2013. Guillain Barre Syndrome. Jurnal FK UNS. Vol 5


No.13

5. Japardi, Iskandar. 2011. Guillain Barre Syndrome. Jurnal FK USU. Vol 4


No 11.

6. Seneviratne U MD(SL), MRCP. Guillain-Barre Syndrome:


Clinicopathological Types and Electrophysiological Diagnosis.
Departement of Neurology, National Neuroscience Institute, SGH
Campus; 2003.
7. Mayo Clinic staff. 2011 [28/05/2011]. Available from :
http://www.mayoclinic.com/health/guillain-barre-
syndrome/DS00413/DSECTION=treatments-and-drugs
8. Andary T M, 2011 [26/08/2011]. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/315632-treatment
9. Olfriani, Ciho. 2013. Sindrom Guillain Barre. Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanegara.

16

Anda mungkin juga menyukai