Anda di halaman 1dari 24

EPIDEMIOLOGI

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian di negara


maju dan diperkirakan tren serupa akan terjadi di negara berkembang pada
tahun 2020. Di antaranya, penyakit jantung koroner merupakan manifestasi
terbesar dan dikaitkan dengan mortalitas serta morbiditas tinggi. Gambaran
klinis Penyakit Jantung Koroner termasuk iskemia tanpa gejala, angina pektoris
stabil, angina tidak stabil, infark miokard, gagal jantung dan kematian mendadak.

Infark miokard akut adalah penyebab kematian utama di Amerika Utara


dan Eropa. Setiap tahun kurang lebih 785.000 orang Amerika akan mengalami
infark miokard baru dan kurang lebih 470.000 orang akan mengalami infark
miokard rekuren. Di Amerika Infark miokard terjadi 1 kasus setiap 25 detik dan
satu orang meninggal setiap menit karena infark miokard. Pada tahun 2007,
penyakit jantung koroner menjadi satu penyebab dari setiap 6 kasus kematian di
Amerika.

Di Indonesia, Sindrom Koroner Akut menyebabkan angka perawatan


Rumah Sakit yang sangat besar dalam tahun 2009 di Pusat Jantung Nasional dan
merupakan masalah utama hingga saat ini.

HEMOSTASIS NORMAL

Ketika pembuluh darah yang normal terluka, permukaan endotel pembuluh darah
mengalami kerusakan dan jaringan ikat subendotel yang bersifat trombogenik
terpapar oleh aliran darah. Hemostasis primer adalah mekanisme pertahanan
pertama untuk mencegah terjadinya perdarahan. Proses ini berlangsung dalam
hitungan detik segera setelah perlukaan pada pembuluh darah dan diperantarai
oleh trombosit yang berada di dalam peredaran darah yang menempel pada
kolagen subendotel dan menyebabkan agregrasi trombosit yang akhirnya
menyebabkan terjadinya pembentukan platelet plug. Ketika proses hemostasis
primer sedang terjadi, paparan tissue factor di lapisan subendotel oleh aliran darah
memicu aktivasi jalur pembekuan plasma yang merupakan suatu proses yang
dinamakan hemostasis sekunder. Protein-protein pembekuan plasma teraktivasi
secara berurutan dan sebagai hasil akhir adalah terbentuknya fibrin clot yang
memperkuat dan menstabilkan platelet plug yang terbentuk oleh proses
hemostasis primer.

MEKANISME PROTEKTIF ENDOGEN ANTITROMBOTIK

Pembuluh darah normal memiliki mekanisme protektif endogen untuk


mencegah kejadian thrombosis dan oklusi pada pembuluh darah.

Gambar 4. Mekanisme Protektif Endogen Antitrombotik


Inaktivasi Faktor-faktor Pembekuan

Beberapa inhibitor alami mengatur dan mengontrol proses koagulasi untuk


mencegah pembentukan thrombosis. Beberapa inhibitor alami tersebut
diantaranya adalah antithrombin, protein C, protein S dan Tissue Factor Pathway
Inhibitor (TFPI).6,7

Antithrombin adalah protein plasma yang berikatan dengan thrombin


secara ireversibel dan faktor pembekuan yang lain, menginaktivasi dan
menfasilitasi proses penghancuran faktor pembekuan di dalam sirkulasi.
Efektivitas antithrombin meningkat 1000 kali lipat ketika berikatan dengan
heparan sulfat, molekul menyerupai heparin yang normal terdapat pada lapisan
endotel pembuluh darah.6,7

Protein C, Protein S dan thrombomodulin membentuk sistem antikoagulan


alami yang menginaktivasi faktor ‘akselerasi’ dari jalur koagulasi (faktor Va dan
VIIIa). Protein C disintesis oleh hati dan bersirkulasi dalam bentuk inaktif.
Thrombomodulin adalah reseptor pengikat thrombin yang normal terdapat pada
lapisan endotel pembuluh darah. Thrombin yang berikatan dengan
thrombomodulin tidak dapat mengubah fibrinogen menjadi fibrin (reaksi akhir
pembentukan thrombus/sumbatan). Sebaliknya kompleks thrombin-
thrombomodulin mengaktivasi protein C. Protein C yang aktif kemudian
mendegradasi faktor Va dan VIIIa sehingga menghambat proses koagulasi.
Keberadaan protein S di dalam sirkulasi meningkatkan fungsi inhibisi dari Protein
C.6,7

TFPI (Tissue Factor Pathway Inhibitor) diaktivasi oleh faktor koagulasi


Xa. Kompleks faktor Xa dan TFPI berikatan dan menginaktivasi kompleks faktor
VIIa dan Tissue Factor yang seharusnya memicu jalur koagulasi ekstrinsik.

Pemecahan Jendalan Fibrin (Fibrin Clot)


Tissue Plasminogen Activator (tPA) adalah protein yang disekresi oleh sel
endotel sebagai respons dari pembentukan thrombus di dalam darah. tPA
memecah protein plasminogen menjadi bentuk aktif plasmin, yang kemudian
secara enzimatik mendegradasi fibrin. Ketika tPA berikatan dengan fibrin,
kemampuannya untuk mengubah plasminogen menjadi plasmin bertambah besar
secara signifikan.6,7,8

Inhibisi Platelet Endogen dan Vasodilatasi

Prostacyclin dan Nitric Oxide (NO) disintesis dan disekresi oleh sel
endotel. Prostacyclin dan NO meningkatkan kadar c-AMP dari trombosit sehingga
menginhibisi aktivasi dan agregasi trombosit. Selain itu Prostacyclin dan NO juga
menghambat proses koagulasi melalui kemampuannya untuk menginduksi
vasodilatasi pembuluh darah sehingga menghambat kontak faktor-faktor
pembekuan dengan dinding pembuluh darah.6,7,8

Patogenesis Terbentuknya Thrombus pada Pembuluh Darah Koroner

Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan yang telah disebutkan di atas


mencegah pembentukan thrombus. Dalam keadaan di mana terdapat lesi
atherosklerosis, mekanisme pertahanan ini dapat terganggu dan akhirnya dapat
menyebabkan terbentuknya thrombus dan sumbatan di dalam pembuluh darah
koroner. Atherosklerosis dapat berkontribusi terhadap kejadian pembentukan
thrombus melalui adanya robekan pada plak atheroskleris sehingga menyebabkan
terjadinya pajanan komponen thrombogenik oleh aliran darah dan adanya
disfungsi endotel menyebabkan hilangnya atau terganggunya mekanisme
pertahanan protektif endogen antithrombotik dan terganggunya fungsi vasodilatasi
pembuluh darah yang diperantarai endotel.

Lebih dari 90% kasus Sindrom Koroner Akut merupakan akibat dari
pecahnya plak atherosklerosis yang mengaktivasi agregasi platelet dan
menyebabkan terbentuknya thrombus dan sumbatan di dalam pembuluh darah
koroner. Adapun kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya pecahnya/ruptur
plak atherosklerosis diantaranya faktor kimia dan faktor fisika yang membuat lesi
atherosklerosis menjadi tidak stabil.

Beberapa substansi yang dilepaskan oleh sel-sel radang di dalam plak


dapat mengganggu integritas jaringan fibrosa yang berada di bagian luar plak.
Beberapa sel di dalam lesi atherosklerosis juga memproduksi enzim seperti enzi m
metalloproteinase yang mendegradasi matriks interstitial yang lebih lanjut
mengganggu integritas jaringan fibrosa pembungkus plak. Plak fibrosa yang tipis
atau yang melemah berpotensi menjadi tempat timbulnya robekan atau pecahnya
lesi atherosklerosis, terutama di daerah “shoulder” region (bagian lesi
atherosklerosis yang berbatasan dengan dinding pembuluh darah yang normal)
yang dapat disebabkan karena faktor kimia atau fisik misalnya tekanan darah yang
tinggi dan atau adanya torsi pada pembuluh darah akibat kontraksi miokardium.

Sindrom Koroner Akut kadang terjadi dengan adanya faktor pemicu


tertentu diantaranya adanya aktivitas fisik yang berlebihan dan adanya stess
emosional. Aktivasi sistem saraf simpatis pada keadaan ini meningkatkan tekanan
darah, frekuensi denyut jantung permenit dan kontraksi miokardium, suatu
keadaan yang dapat mempengaruhi lesi atherosklerosis. Infark Miokardium lebih
sering terjadi pada pagi hari, hal ini berkaitan dengan cenderung meningkatnya
tekanan darah, viskositas darah dan kadar epinephrine pada waktu tersebut
sehingga lesi atherosklerosis lebih rentan untuk ruptur.
Mengikuti kejadian pecahnya/ruptur lesi atherosklerosis akan menyebabkan
terjadinya aktivasi jalur pembekuan yang diperantarai pajanan aliran darah dengan
tissue factor subendotel dan aktivasi trombosit yang disebabkan pajanan
komponen aliran darah dengan jaringan kolagen subendotel. Aktivasi trombosit
ini menyebabkan keluarnya isi granul trombosit yang dapat menjadi fasilitator
agregasi trombosit (ADP dan fibrinogen), mengaktivasi jalur pembekuan (faktor
Va) dan menyebabkan vasokonstriksi (thromboxane dan serotonin). Terbentuknya
thrombus intrakoroner, terjadinya perdarahan di dalam plak (intraplaque
hemorrhage) dan vasokonstriksi semuanya menyebabkan penyempitan diameter
lumen pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya aliran turbulensi yang
meningkatkan shear stress dan lebih lanjut mengaktivasi trombosit.

Disfungsi endotel yang bahkan tampak pada lesi atherosklerosis yang


ringan juga meningkatkan kemungkinan terjadinya thrombus. Pada keadaan
disfungsi endotel, produksi vasodilator Nitric Oxide (NO) dan Prostacyclin
berkurang. Hal ini menyebabkan mekanisme pencegahan atau pertahanan
terjadinya agregasi trombosit melalui jalur ini terganggu. Lebih lanjut, hal ini
menyebabkan tidak adanya mekanisme pertahanan atau pencegahan terhadap
proses vasokonstriksi yang disebabkan oleh produk-produk / isi granul trombosit.
Ketika proses pembetukan thrombus terjadi vasokonstriksi yang sebabkan oleh
produk trombosit (thromboxane dan serotonin) dan thrombin dalam bekuan yang
mulai terbentuk. Respons normal pembuluh darah terhadap proses ini seharusnya
adalah vasodilatasi karena produk-produk trombosit menstimulasi produksi NO
dan Prostacyclin, namun berkurangnya produksi NO dan Prostacyclin oleh
endotel pembuluh darah menyebabkan terjadinya vasokonstriksi. Dalam proses
yang sama, thrombin pada bekuan yang terbentuk juga merupakan vasokonstriktor
kuat pembuluh darah pada keadaan disfungsi endotel.

Vasokonstriksi menyebabkan terjadinya gaya torsi pada lesi


atherosklerosis yang berkontribusi terhadap pecahnya lesi atherosklerosis dan
menyebabkan oklusi pembuluh darah melalui peningkatan tonus pembuluh darah.
Penurunan aliran darah koroner karena vasokonstriksi juga menurunkan
‘pencucian’ protein-protein koagulasi di dalam plasma sehingga meningkatkan
daya trombogenik.
Patogenesis Atherosklerosis

Mekanisme pembentukan lesi atherosklerosis dibagi menjadi 3 tahap patologis


yaitu pembentukan fatty streak, progresi plak dan pecahnya/ruptur plak.

1. Fatty Streak
Fatty streak adalah lesi yang pertama kali dapat terlihat dalam tahap awal
patogenesis atherosklerosis. Fatty streak tampak sebagai pewarnaan kuning
pada lapisan dalam dinding pembuluh darah. Adapun mekanisme patologis yang
terjadi pada fatty streak yaitu adanya disfungsi endotel, masuknya lipoprotein ke
dalam lapisan subendotel dan modifikasi lipoprotein, masuknya leukosit ke
dalam lapisan subendotel dan pembentukan foam cell.
Ketika ada stressor fisika atau kimia akan terjadi gangguan pada hemostasis
normal sel endotel dan dapat menyebabkan terjadinya disfungsi endotel. Adanya
disfungsi endotel menyebabkan berkurangnya efektivitas endotel sebagai barier
fisik. Hal ini menyebabkan masuknya LDL ke dalam lapisan intima dinding
pembuluh darah. Di dalam lapisan subendotel, LDL berikatan dengan matriks
ekstraseluler yang dinamakan proteoglikan. Hal ini menyebabkan LDL
terakumulasi di dalam lapisan subendotel dan dapat mengalami modifikasi
kimiawi. Adanya oksigen radikal bebas (reactive oxygen species) dan enzim
prooksidan yang berasal dari sel endotel dan sel otot polos yang teraktivasi atau
dari makrofag dapat menyebabkan terjadinya proses oksidasi pada LDL. Pada
pasien diabetes mellitus di mana terdapat hiperglikemia kronik dapat
menyebabkan terjadinya glikasi pada LDL. LDL yang mengalami proses oksidasi
atau glikasi kemudian bersifat antigenik dan menghasilkan zat-zat inflamasi yang
berperan dalam proses penarikan leukosit dan pembentukan foam cell.
Proses masuknya leukosit (terutama limfosit T dan monosit) dari aliran
darah ke dalam lapisan subendotel diperantarai oleh pembentukan
LAM(leucocyte Adhesion Molecule) dan zat chemoattractant seperti Monocyte
Chemotactic Protein I (MCP1), IL8 dan Interferon-inducible protein 10 yang
menyebabkan diapedesis leukosit ke dalam lapisan subendotel. Setelah sel
monosit masuk ke dalam lapisan subendotel, monosit akan berdiferensisasi
menjadi makrofag dan melalui perantaraan scavenger reseptor akan
menfagositosis LDL yang telah termodifikasi yang kemudian menyebabkan
pembentukan foam cell.
2. Progresi Plak
Progresi plak ditandai dengan adanya migrasi sel-sel otot polos dari lapisan
media ke dalam lapisan intima dinding pembuluh darah, prolliferasi sel-sel otot
polos di dalam lapisan intima dan sekresi matriks ekstraselular oleh sel otot
polos. Foam cell, trombosit yang teraktivasi dan sel endotel adalah beberapa
faktor yang mempengaruhi migrasi sel otot polos ke dalam lapisan intima. Foam
cell memproduksi beberapa faktor yang mempengaruhi migrasi sel otot polos ke
dalam lapisan intima. PDGF (Platelet Derived Growth Factor) dihasilkan oleh
foam cell dan juga trombosit dan sel endotel menstimulasi migrasi dan proliferasi
sel otot polos di dalam lapisan intima. Foam cell juga memproduksi sitokin dan
growth factor seperti TNF-σ, IL-1, fibroblast growth factor dan transforming
growth factor β yang lebih lanjut menstimulasi proliferasi sel otot polos dan
produksi matriks ekstraselular. Sitokin-sitokin ini juga mengaktivasi sel otot polos
dan leukosit yang semakin memicu pelepasan sitokin sehingga berperan dalam
proses peradangan kronik pada lesi atherosklerosis. Adanya perdarahan di dalam
plak menyebabkan pajanan darah pada tissue factor dari foam cell yang
mengaktivasi jalur pembekuan dan pembentukan mikro thrombus di dalam plak.
Trombosit yang teraktivasi dalam mikro thrombus dapat menghasilkan PDGF dan
heparinase. Heparinase mendegradasi Heparan Sulfat, polisakarida yang
terdapat di matriks ekstraselular yang dalam keadaan normal mencegah migrasi
dan proliferasi sel otot polos di dalam lapisan intima.
Deposisi matriks ekstraselular dipengaruhi oleh keseimbangan sintesis
matriks ekstraselular oleh sel otot polos dan degradasi matriks ekstraseluler oleh
enzim proteolitik seperti misalnya MMP (Matrix Metaloproteinase) dan
Elastolytic Cathepsins yang dihasilkan oleh foam cell. Beberapa sitokin yang
dihasilkan dalam patogenesis atherosklerosis dapat menghambat produksi
matriks ekstraselular oleh sel otot polos (interferon-ɣ) dan menstimulasi
produksi MMP dan elastolytic cathepsins oleh foam cell.
3. Ruptur Plak
Plak atherosklerosis yang pecah/ruptur dapat menyebabkan pembentukan
thrombus melalui mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya. Manifestasi
klinis yang timbul akibat ruptur pal atherosklerosis dipengaruhi oleh
keseimbangan antara proses koagulasi dan proses fibrinolisis.
Klasifikasi dan Stratifikasi Resiko
Infark miokard diklasifikasikan kedalam beberapa tipe berdasarkan
perbedaan gambaran klinis dan prognosis, patologis, maupun strategi
penatalaksanaan.3 ECS dalam universal definition of myocardial infarction
menggolongkan infark miokard menjadi 5 tipe seperti pada tabel dibawah ini :

Infark miokard tipe 1


Merupakan IM spontan yang berhubungan dengan ruptur plak
atherosklerosis, ulserasi, erosi, atau robekan yang menyebabkan terbentuknya
thrombus intralumen. Dapat terjadi pada satu atau lebih pembuluh darah koroner.
Infark miokard tipe 2
Cidera miokard disertai nekrosis pada kondisi-kondisi selain CAD yang
menyebabkan ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan oksigen miokard
seperti pada disfungsi endotel, spasme koroner, emboli koroner, bradi/takiaritmia,
anemia, hipo/hipertensi.
Infark miokard tipe 3
Mati mendadak dengan didahului gejala iskemik miokard dan perubahan
pada EKG yang terjadi sebelum sampel darah diperiksa atau kenaikan serum
biomarker enzim jantung.
Infark miokard tipe 4.
Infark miokard yang berhubungan dengan PCI (4a) maupun stent
thrombosis (4b).
Infark miokard tipe 5.
Infark miokard yang berhubungan dengan CABG.6

Stratifikasi Resiko
Selain klasifikasi diatas, untuk menentukan diagnosis dan prognosis luaran klinis
serta prediksi mortalitas pada penderita dengan STEMI dapat digunakan
klasifikasi berdasarkan Killip, seperti pada tabel berikut.2
Killip Class Clinical Presentation Hoapital Mortality (%)
Tidak didapatkan adanya tanda
I 6
dan gejala-gejala gagal jantung
Gagal jantung ringan-
sedang.didapatkan adanya S3
II 17
gallop, ronkhi basah pada basal
paru, hipertensi vena pulmonalis
II Didapatkan adanya gagal jantung 38
berat dengan edema paru
IV Didapatkan syok kardiogenik 81

Pada kasus diatas, pasien termasuk kedalam Killip kelas I dimana tidak
didapatkan adanya tanda-tanda gagal jantung. Selain Killip, kriteria TIMI juga
dapat dipakai pada penderita STEMI sebagai prediktor mortalitas atau
menentukan prognosis.14

Pada kasus diatas, pasien mempunyai TIMI score 4/14 yaitu : riwayat
hipertensi dan angina (1 point), berat badan 60 kg (1 point), ST elevasi anterior (1
point), dan waktu untuk reperfusi pada pasien ini > 4 jam (1 point). Berdasarkan
penelitian Morrow dkk, angka mortalitas dalam 30 hari pasien STEMI dengan
skor TIMI 4 adalah sebesar 7,3%. 14
Selain kedua kriteria diatas, pasien STEMI dengan manifestasi sebagai
berikut dapat juga dipakai sebagai prediktor atau prognosis yang jelek yaitu : usia
tua (≥ 75 tahun), Killip III atau IV, tekanan darah sistolik < 100 mmHg, denyut
nadi > 110x/menit, infark miokard anterior.13
I. Diagnosis
Pasien dengan riwayat nyeri dada yang dicurigai berasal dari jantung harus
dilakukan pemeriksaan Elektrokardiografi dalam 10 menit setelah onset dan
dilakukan interpretasi hasil EKG dengan benar untuk menentukan apakah pada
pasien tersebut perlu dilakukan prosedur revaskularisasi atau tidak. Dengan
mengintegrasikan informasi dari anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi,
pemeriksaan biomarker jantung, maka diagnosis awal seseorang dengan
kecurigaan infark miokard akut dapat ditegakkan sekaligus menyingkirkan
penyebab yang lain.
Diagnosis infark miokard mempunyai dua komponen utama. Komponen
patologis dimana memerlukan bukti adanya kematian sel miokard sebagai
konsekuensi dari iskemik yang berkepanjangan. Dan diagnosis klinis dengan
menilai riwayat penyakit dari anamnesis ditunjang dengan pemeriksaan
penunjang seperti elektrokardiografi, biomarker jantung, dan pemeriksaan
pencitraan.5,7 Kriteria klasik dari WHO untuk menegakkan diagnosis infark
miokard perlu memenuhi 2 dari 3 kriteria yang meliputi : gejala klinis khas infark,
perubahan elektrokardiografi, dan peningkatan atau penurunan dari biomarker
enzim jantung.8
Anamnesis

Keluhan penderita dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang
tipikal (typical angina) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal
berupa rasa tertekan, berat, seperti ditindih benda berat, terbakar didaerah
retrosternal, dapat menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, bahu, punggung, atau
epigastrium.2 Pada penderita dengan STEMI keluhan seperti ini dirasakan seperti
angina pectoris tetapi lebih berat, dengan durasi yang lebih lama (lebih dari 20
menit), dan tidak berkurang dengan istirahat atau pemberian preparat nitrat.
Gejala penyerta yang sering terdapat pada penderita infark miokard antara lain :
diaforesis, mual-muntah, nyeri abdomen, palpitasi, sesak nafas, dan sinkop.1,2

Walaupun nyeri dada tipikal merupakan tanda khas infark, akan tetapi
tidak semua pasien merasakannya.9 Kira-kira sekitar 30% pasien infark miokard
adalah asimptomtik atau datang dengan keluhan atipikal.4 Pada pasien angina
atipikal sering dijumpai keluhan nyeri didaerah penjalaran angina tipikal,
gangguan pencernaan, sesak nafas yang tidak dapat diterangkan atau mendadak
rasa lemah yang tidak dapat diterangkan.2,9 Keluhan atipikal ini sering dijumpai
pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita,
penderita diabetes, post operatif pasien.2

Diagnosis menjadi lebih kuat bila keluhan tersebut ditemukan pada pasien
dengan karakteristik : pria, diketahui mempunyai penyakit atherosklerosis atau
pernah mengalami infark miokard, CABG atau PCI, mempunyai faktor resiko
tinggi (hipertensi, diabetes mellitus, merokok, dislipidemia, riwayat penyakit
jantung koroner dalam keluarga atau meninggal mendadak sebelum usia 45 tahun
pada laki-laki dan 55 tahun pada perempuan).9 Mengidentifikasi faktor-faktor
resiko terutama pada mereka yang mempunyai faktro resiko tinggi bisa membantu
dalam menegakkan diagnosis infark miokard.1

Anamnesa pada kasus diatas didapatkan adanya nyeri dada khas infark
seperti tertimpa benda berat, dengan durasi lebih dari 30 menit, tidak berkurang
dengan istirahat dan pada pasien disertai gejala penyerta berupa keringat dingin,
berdebar-debar, dan mual.

Pemeriksaan fisik

Pasien dengan infark miokard sering datang dengan penampakan gelisah


dan tidak nyaman. Mereka yang sudah mempunyai gangguan pada fungsi
ventrikel kiri dapat muncul manifestasi takipneu, takikardia, ronkhi paru, dan
bunyi jantung ketiga atau keempat. Infark Miokard dengan komplikasi, misalnya
mitral regurgitasi atau ruptur septum interventrikel dapat menyebabkan terjadinya
bising sistolik.1 Pada pemeriksaan fisik juga dapat ditemukan tanda-tanda aritmia
yang bermanifestasi pada pemeriksaan nadi seperti misalnya nadi yang lambat,
cepat, lemah dan ireguler.

Pada pasien dengan infark ventrikel kanan dapat dijumpai peningkatan


tekanan vena jugular, tanda kusmaul dan bunyi jantung ketiga pada ventrikel
kanan. Pada pasien dengan disfungsi ventrikel berat terdapat tanda-tanda syok
seperti hipotensi, diaforesis, akral dingin, pucat, oligouria, dan perubahan status
mental.1,6

Elektrokardiografi
Pemeriksaan elektrokardiografi memegang peranan yang penting dalam
penatalaksanaan infark miokard tidak hanya sebagai alat diagnostik tetapi juga
untuk menentukan prognosis dari infark.7 EKG merupakan suatu bagian integral
dari diagnosis kerja pasien yang dicurigai menderita infark miokard dan harus
tersedia dan diinterpretasikan secara tepat (dalam waktu 10 menit) setelah
presentasi klinis.3 Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemik miokard harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan
sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat.4
Gambaran EKG pada penderita STEMI dengan onset akut diawali dengan
peningkatan amplitudo gelombang T, diikuti oleh elevasi segmen ST dalam
beberapa menit. Gelombang R dapat meningkat pada fase awal dan kemudian
segera mengalami penurunan lalu diikuti oleh terbentuknya gelombang Q.2
gambaran evolusi EKG pada STEMI dapat dilihat pada bagan dibawah ini.6,12

Kriteria diagnosis EKG pada STEMI yaitu : adanya elevasi segmen ST


diatas titik J (J point) pada 2 sadapan yang berurutan dengan nilai : ≥ 0,1 mV
pada semua sadapan selain V2-V3 dimana pada sadapan tersebut kenaikannya ≥
0,2 mV pada laki-laki ≥ 40 tahun, ≥2,5 mV pada laki-laki < 40 tahun, atau ≥ 0,15
mV pada perempuan.3,4 Yang dimaksud sadapan yang berurutan yaitu kelompok
sadapan anterior (V1-V6), sadapan inferior (II,III,aVF), atau sadapan
lateral/apikal (I,aVL). Sadapan tambahan meliputi V3R dan V4R yang
menggambarkan dinding ventrikel kanan serta V7-V9 pada dinding basal inferior
(posterior).3
Elevasi segmen ST dapat dibagi menjadi beberapa subgrup yang
menunjukkan korelasi dengan arteri koroner yang dicurigai sebagai tempat lesi
dan risiko kematian. Adapun subrgrup tersebut adalah sebagai berikut :

Adanya LBBB baru dengan gelaja yang konsisten dengan infark miokard
akut mengindikasikan adanya infark miokard akut pada dinding anterior yang luas
dan harus diperlakukan sebagai STEMI akut. Jika tidak ada rekaman EKG lama
atau sudah adanya gambaran LBBB sebelumnya, diagnosis STEMI akut dapat
dibuat dengan spesifisitas >90% dengan kriteria sebagai berikut :
Pada STEMI angka mortalitasnya meningkat dengan peningkatan basar
dan jumlah elevasi ST. Prediktor mortalitas lain yang dapat dilihat dari EKG 12
sadapan meliputi LBBB dan infark anterior.10 Pada kasus diatas pasien menderita
STEMI anterior dengan didapatkan elevasi segmen ST di V1-V4 yang
menunjukkan lokasi kelainannya pada LAD (Left Anterior Descending).
Berdasarkan penelitian angka kematian dalam 30 hari post infark dengan lokasi
proksimal LAD sebesar 19 % sedangkan angka mortalitas dalam 1 sebesar 25 %.1
Pada kasus didapatkan gambaran ST elevasi sebesar 0,1 mv pada sadapan
V1, 0,3 mv pada sadapan V2-V3, dan 0,2 mv pada sadapan V4 serta T inverted
pada sadapan V1-V6. Selain itu terbentuk gambaran gelombang Q pada V1-V4.

Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium khususnya biomarker jantung sudah sejak lama
digunakan dalam mendiagnosis infark miokard. Kenaikan dari kreatin kinase
(CK), dan sub tipe miokard (CK-MB), troponin (T dan I), mioglobin, AST, dan
LDH dapat terjadi pada semua pasien dengan nekrosis miokard pada pasien infark
miokard.13 Kerusakan pada miokard menyebabkan pelepasan dari protein dam
enzim tersebut kedalam sirkulasi sehingga bisa terdeteksi dalam darah. Kardiak
troponin sangat dianjurkan sebagai biomarker untuk kerusakan miokard karena
mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang tinggi. CK-MB bisa dipilih sebagai
alternatif terbaik bila pemeriksaan troponin tidak dapat dilakukan..2
Biomarker CKMB, karena lebih cepat terdeteksi dan dan hilang dari dalam
sirkulasi, maka dapat digunakan pada : pasien dengan presentasi klinis awal atau
dini saat gejala muncul, untuk menentukan onset cidera jika troponin meningkat,
dan untuk mendeteksi reinfark saat datang ke runah sakit.1 Pengambilan sampel
darah untuk pemeriksaan biomarker pada penderita infark miokard
direkomendasikan pada saat pasien datang ke rumah sakit, pada 6-9 jam onset,
dan 12-24 jam jika sampel awal mempunyai nilai negatif dan pasien mempunyai
kecurigaan yang tinggi untuk infark miokard.1,3,13

Selain pemeriksaan serum biomarker, pemeriksaan laboratorium lain yang


direkomendasikan pada penderita STEMI yaitu : darah rutin lengkap, elektrolit
lengkap, BUN, kreatinin, gula darah, profil lipid, INR, aPTT.10

Diagnosis Banding

Pada pasien-pasien yang datang dengan presentasi klinis nyeri dada akut
ke instalasi gawat darurat, sekitar 15-25 % mengalami infark miokard atau
angina pektoris tak stabil. Sebagian kecil yang lain mengalami kelainan
lain yang mengancam nyawa seperti emboli paru, diseksi aorta akut, tetapi
sebagian besar pasien pulang dengan diagnosa nyeri dada nonkardiak.
Kelainan nonkardiak tersebut dapat berasal dari sistem gastrointestinal,
muskuloskeletal, maupun masalah psikologis.
Komplikasi
Karakteristik klinis dan demografis serta aspek prosedural dapat
menentukan pasien-pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya
komplikasi akibat STEMI.4 Diantara kondisi-kondisi yang memiliki resiko tinggi
yaitu : usia lanjut, Killip II-IV, 3 vessel disease, infark dinding anterior, prolong
iskemik atau TIMI flow yang berkurang.4
Secara umum komplikasi akibat STEMI dibagi menjadi 3 :komplikasi
mekanik, elektrik, dan inflamasi yang disebabkan oleh miokard yang mengalami
nekrosis. Komplikasi akibat dari nekrosis miokard dapat menyebabkan terjadinya
inflamasi pada perikardium sehingga terjadi perikarditis maupun tamponade.6
Komplikasi mekanik dapat berupa, gangguan pompa jantung, regurgitasi mitral,
defek septum ventrikel akibat VSR, ruptur dinding LV, aneuresma LV, infark RV,
LV thrombus. Sedangkan komplikasi elektrik dapat berupa : ventrikular fibrillasi,
supraventrikular aritmia, maupun gangguan konduksi/ blok.1,4,6

Anda mungkin juga menyukai