Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Dunia informasi dan tekhnologi yang semakin canggih saat ini, membuat
keseluruhan produk hasil rekayasa tekhnologi menjadi bagian hidup tersendiri
dalam masyarakat untuk berkomunikasi. Salah satunya adalah “Sosial Media”
yang sedang menjadi trend masyarakat, terutama kaum muda untuk
memanfaatkannya sebagai jejaring dalam berkomunikasi.
Hal inilah yang rupanya menjadi incaran tersendiri bagi para figur panggung
politik yang akan menaiki tahta kepresidenan untuk berkampanye dan menjaring
seluruh komunitas dalam masyarakat melalui sosial media. Namun sebelumnya,
kita harus mengetahui apa sosial media, dan peranan apa yang dilakukan oleh
sosial media dalam berkampanye?

2. Rumusan Masalah

a. Apa yang dimaksud dengan media baru?


b. Seperti apa pengaruh media baru (media sosial) pada Pileg/pilpres 2019?
c. Apakah kekurangan Media Baru (media sosial)?

3. Tujuan

a. Untuk mengetahui pengertian Media baru


b. Untuk mengetahui peran dan pemgaruh media baru pada pileg/pilpres 2019
c. Untuk mengetahui kekurangan media baru

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Peran Sosial Media (Media Baru)


Media Baru atau sosial media adalah sebuah media online, dengan para
penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi
meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual.
Pendapat lain mengatakan bahwa media sosial adalah media online yang
mendukung interaksi sosial dan media sosial menggunakan teknologi berbasis
web yang mengubah komunikasi menjadi dialog interaktif.
Menurut Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial
sebagai “sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas
dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan
pertukaran user-generated content1”.
Dari berbagai jenis sosial media, Blog dan Jejaring sosial adalah sosial media
yang paling sering digunakan. Jejaring sosial merupakan situs dimana setiap
orang bisa membuat web page pribadi, kemudian terhubung dengan teman-teman
untuk berbagi informasi dan berkomunikasi. Contoh Jejaring sosial antara lain
Facebook, instagram, dan Twitter.
Perbedaan sosial media dengan media konvensional adalah ika media
konvensional menggunakan media cetak dan media broadcast, maka media sosial
menggunakan internet sebagai sarana komunikasinya. Adapun ciri sosial media
adalah sebagai berikut :
• Pesan yang di sampaikan tidak hanya untuk satu orang saja namun bisa
keberbagai banyak orang contohnya pesan melalui SMS ataupun internet
• Pesan yang di sampaikan bebas, tanpa harus melalui suatu Gatekeeper
• Pesan yang di sampaikan cenderung lebih cepat di banding media lainnya
• Penerima pesan yang menentukan waktu interaksi

1
Andreas Kaplan dan Michael Haenlein

2
Perkembangan tekhnologi, juga turut serta diringi dengan perkembangan
sosial media yang memudahkan seluruh pengguna untuk mengaksesnya hanya
dengan melalui handphone. Perkembangan inilah yang menjadikan sosial media
sebagai media yang efektif untuk menyampaikan informasi atau sesuatu. Selain
digunakan untuk menyampaikan informasi atau berita, media sosial saat ini marak
digunakan untuk berbisnis, untuk transaksi, bahkan untuk belajar dengan
segudang fitur ilmu yang terdapat didalamnya serta kemudahan dan kecepatannya
dalam memberikan informasi atau sesuatu.
Posisi kemudahan dan kecepatan sosial media dalam menyampaikan
informasi inilah yang membuat peran sosial media kini penting untuk segala hal,
sehingga dipilih sebagai media yang efektif, bahkan untuk berkampanye.

2.2 Peran Sosial Media Untuk Kampanye Pileg/Pilpres 2019


Kampanye merupakan hal yang tak lepas dalam kompetisi politik untuk
mensosialisasikan para figur yang bertanding. Berbagai cara dan gerakan mereka
lakukan untuk menarik suara dan simpati publik. Salah satunya adalah dengan
berkampanye melalui dunia maya yang memanfaatkan sosial media sebagai
sarana komunikasi yang sedang dekat dengan masyarakat.
Sosial media dianggap sebagai media komunikasi yang efektif untuk
bersosialisasi terhadap masyarakat. dengan memanfaatkan jejearing sosial yang
ada dan banyak digunakan masyarakat seperti twitter, facebook, blog, dll.
Terbukti, belakangan ini berkampanye melalui media sosial menjadi trend
tersendiri dalam dunia politik terutama menjelang pilpres 2019 mendatang bahkan
terdapat gerakan-gerakan khusus dari simpatisan untuk berkampanye di dunia
maya.
Sebagai contoh, dalam Pilgub DKI Jakarta dua tahun lalu, terdapat gerakan di
dunia maya untuk mendukung Jokowi-Ahok. Mereka menamakan diri dengan
Jokowi Ahok Social Media Volunteers (JASMEV). Gerakan tersebut kini kembali
aktif untuk mendukung Jokowi-JK dalam berkampanye di dunia maya untuk
memenangkan pilpres 2014 lalu.

3
Tak hanya itu, lawan politik Jokowi-JK, Prabowo-Hatta pada waktu itu juga
banyak memanfaatkan sosial media sebagai media kampanyenya. Meski tidak ada
gerakan atau komunitas khusus di dunia maya untuk Prabowo-Hatta, namun para
simpatisan Jokowi-JK bergerak melalui facebook, yaitu sebanyak 5000 followers.
Selain facebook, Prabowo-Hatta lebih banyak memanfaatkan website atau blog-
blog resmi mereka. Dalam google trends, Prabowo mengungguli pasangan
Jokowi-JK dengan perolehan skors sebanyak 78. Selain itu, pengunjung blog
resmi milik Prabow juga semakin meningkat dengan jumlah saat ini sekitar
252,15 orang untuk global dan 8,052 orang untuk Indonesia.
Setelah kita pelajari, terbukti bahwa kegiatan kampanye melalui dunia maya
cukup menarik simpati masyarakat dan memilki jangkauan yang luas dalam
berkomunikasi. Namun, apakah sebenarnya kampanye malalui dunia maya sudah
efektif? Adakah kekurangan dari kampanye melalui dunia maya?

2.3 Kekurangan Kampanye Melalui Sosial Media (Media Baru)


Dalam kegiatannya sebagai mesin penjaring suara masyarakat, tentunya
sosial media memilki jangakaun yang luas. Namun ditengah trendnya yang
sedang melambung dimasyarakat, ternyata kampanye melalui sosial media masing
kurang untuk menajngkau masyarakat di daerah-daerah terpencil di Indonesia
seperti pedalaman Kalimantan, dan masyarakat daerah-daerah pegunungan yang
masih jauh dari jangkauan komunikasi elektronik.
Dalam pemanfaatan jejaring sosial, banyak para oknum yang tidak
bertanggung jawab menyalahgunakan jaringan informasi yang dipublikasikan
untuk masyarakat sehingga muncul “Kampanye Hitam” atau “Black Campaigns”.
“Kampanye Hitam” atau “Black Campaigns” yang belakangan ini
melibatkan media sebagai perantara untuk menyampaikan pesan-pesan yang
sesungguhnya diluar dari etika politik. Black Campaigns atau kampanye hitam
secara terminologi dapat diartikan sebagai kampanye dengan cara jahat yang
dilakukan untuk menjatuhkan lawan politik dengan isu, tulisan, atau gambar yang
tidak sesuai denagn fakta dengan tujuan untuk merugikan dan menjatuhkan orang
lain.

4
Dalam perspektif etika politik, secara hukum kampanye hitam merupakan
bagian kampanye yang dilarang dalam Undang-undang. Seperti ditegaskan dalam
Pasal 84 Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilihan presiden dan
Wakil Presiden ditegaskan menganai aturan kampanye, yang melarang sejumlah
kampanye sebagai berikut :
1. Kampanye tidak boleh mempersoalkan Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945. Kedua;
2. Kampanye tidak boleh dilakukan yang membahayakan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
3. Kampanye tidak boleh dilakukan dengan cara menghina seseorang, ras, suku,
agama, golongan calon atau peserta pemilu yang lain;
4. Menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat;
5. Mengganggu ketertiban umum;
6. Mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan
kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau
Peserta Pemilu yang lain;
7. Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga Kampanye Peserta Pemilu;
8. Menggunakan fasilitas pemerintah,tempat ibadah, dan tempat pendidikan;
9. Membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut lain selain dari
tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan;
10. Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta
kampanye.
Kecanggihan dan kemudahan tekhnologi membuat kampanye hitam juga
semakin mudah dilakukan. Seperti yang pernah terjadi pada pilpres 2014 dulu,
sebuah sosial media sempat memberitakan kampanye hitam yang menimpa capres
Jokowi dengan isi sebuah konten foto Jokowi yang bertuliskan RIP (telah
meninggal dunia) Ir, Herbertus Jokowidodo (Oey Hong Liong). Dalam konten
tersebut juga dituliskan para rekan yang turut berduka cita seperti ketua umum
PDIP megawati Soekarnoputri.
Contoh tersebut merupakan salah satu dari bagian kampanye hitam atau
‘Black Campaigns” yang tidak mencerminkan etika politik dengan memanfaatkan

5
jejaring sosial untuk menebar isu yang buruk untuk saling menjatuhkan dalam
lawan politik.
Kampanye hitam dapat dianggap sebagai penyalahgunaan dari kampanye
melalui jejaring sosial sehingga dapat kita simpulkan, kampanye melalui sosial
media juga berdampak negatif terhadap penyebaran-penyebaran isu politik yang
negatif yang saling menjatuhkan dan tidak mendidik bagi masyarakat. Sehingga
dalam praktiknya, masih harus diperlukan pengaturan khusus untuk mengatur
mengenai kegiatan dalam berkampanye melalui sosial media.
Kesimpulannya bahwa kesuksesan dalam sebuah pemilu, tidak hanya
dipengaruhi oleh efektifitas berkampanye melalui sosial media, sebab interaksi
langsung dengan masyarakat lebih diperlukan untuk menjaga jarak antara
pemimpin dengan masyarakatnya dan kesigapan seorang pemimpin untuk
menyelesaikan langsung permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Kehadiran sosial media sebagai media kampanye, menuntun masyarakat untuk
lebih cerdas dalam menyikapi isu-isu politik yang ada dengan menjunjung tinggi
etika politik sebagai cermin masyarakat yang berbudi pekerti luhur dimata dunia
dan mencintai perdamaian.

2.4 Peran Media dan Opini Publik dalam Politik Luar Negeri
Di era yang globalasasi dan informasi ini hampir tidak ada sesuatu yang tidak
tersentuh oleh media. Piers Robinson dan kawan-kawan mengatakan bahwa pada
dasarnya kondisi real saat ini media massa merupakan suatu hal yang dapat
mempengaruhi paradigma, perspektif dan opini, dan ternyata keberadaan media
massa juga dapat mempengaruhi secara langsung politik luar negeri suatu negara
(Piers, 2003).
Bahkan, dengan semakin meluasnya jangkauan fenomena terhadap realitas,
terkadang media juga dapat menghadirkan sebuah hiperrealitas yang pada
akhirnya akan dipercayai sebagai sebuah realitas. Kondisi ini akan menghasilkan
suatu pandangan yang tidak objektif. Media massa sangat terkait dengan opini
publik, ini disebabkan media massa memiliki akses yang luas atas informasi
(Piers, 2003).

6
Dengan penyajian dan penggambaran yang dilakukan oleh media, opini publik
akan dapat terkonstruksi sedemikian rupa dalam memandang suatu fenomena.
Dalam sebuah pemerintahan, opini publik berguna untuk mengontrol kinerja
pemerintah secara tidak langsung. Kontrol ini dapat muncul karena opini publik
adalah salah satu simbol legitimasi masyarakat terhadap pemerintah. Namun,
paradoksnya adalah opini publik lagi-lagi bisa muncul akibat dari produk media
massa yang telah mengolah serta membungkus sebuah fenomena.
Media massa adalah sebuah komoditas yang mampu membentuk opini publik
sehingga seringkali media diarahkan untuk membentuk satu isu-isu yang tidak
objektif demi satu kepentingan tertentu (Piers, 2003).
Perdebatan yang muncul mengenai peran media massa serta opini publik
dalam pengambilan kebijakan luar negeri menempatkan pandangan liberalis-
demokratis dengan realis pada dua posisi yang bertentangan. Menurut liberalis-
demokratis, media massa dan opini publik memiliki peran aktif dan positif guna
menjaga dan membatasi para pembuat kebijakan dengan mengedepankan
akomodasi dan akuntabilitas publik sehingga akan tercipta pemerintahan yang
stabil (Holsti, 1992).2
Sedangakan menurut realis skeptis berpendapat bahwa media massa dan opini
publik hanya akan menjadi penghambat dari pelaksanaan pemerintahan karena
media massa dan opini publik tidak memiliki dimensi rasionalitas yang stabil dan
cenderung dibangun berdasarkan hiperrealitas dan emosionalitas saja yang tidak
kontributif terhadap keberlangsungan pemerintahan. Opini publik adalah sebuah
hal yang sangat terpengaruh oleh banyak variabel diatranya adalah media dan
perspektif masyarakat (Fearan, 1998).3
Dalam hal ini iperlukan sebuah diplomasi publik untuk memberikan
signifikansi pada politik luar negeri agar dapat melibatkan masyarakat secra luas
ke dalam politik luar negeri. Opini publik juga sangat menentukan dalam politik
luar negeri, seperti kebijakan Amerika Serikat untuk menginvasi Irak dan
Afganistan yang mendapatkan tentangan dari publik Amerika Serikat yang

2
Holsti, 1992
3
Fearan, 1998

7
akhirnya memaksa pemerintah Amerika Serikat untuk mempertimbangkan lagi
kebijakan tersebut.
Media massa dengan kebijakan luar negeri juga memiliki hubungan yang
relatif dekat. Kebijakan luar negeri banyak dimainkan dan diciptakan oleh elit dan
para pembuat kebijakan yang tentu saja merupakan pejabat pemerintahan ini
senada dengan apa yang dikatakan oleh James Fearon.
Sedangkan media massa dan opini publik tidak serta merta dapat menembus
gedung-gedung dan kantor-kantor pemerintahan jika memang tidak begitu kuat
mempengaruhi para elit pembuat kebijakan senada dengan apa yang dikatakan
oleh Holsti. Sehingga tidak jarang media massa dan opini publik hanya dianggap
sebagai angin lalu oleh para pembuat kebijakan. Media yang cenderung terlalu
berlebihan dalam merespon sesuatu adalah salah satu sebab mengapa kemudian
banyak pihak menilai media tidak memberikan pandnagan yang objektif.

2.5 Media Baru Sebagai Alat Pertarungan Elit Politik


Seperti yang kita ketahui bahwa media massa mempunyai peran yang sangat
signifikan dalam kehidupan manusia. Tak bisa dipungkiri bahwa hampir pada
setiap aspek kegiatan manusia, baik secara pribadi maupun umum, selalu
berhubungan dengan aktifitas komunikasi massa. Hasrat interaksi antar individu
atau masyarakat yang tinggi tersebut menemukan salurannya yang paling efektif
dan terandalkan dalam berbagai bentuk media massa, guna saling berkomunikasi
dan bertukar informasi.
Dalam perkembangannya, media massa memang sangat berpengaruh di
wilayah kehidupan sosial, budaya, ekonomi, hingga politik. Dari aspek sosial-
budaya, media adalah institusi sosial yang membentuk definisi dan citra realitas
serta dianggap sebagai ekspresi sosial yang berlaku umum; secara ekonomis,
media adalah institusi bisnis yang membantu masyarakat untuk memperoleh
keuntungan dari berbagai usaha yang dilakoni; sedang dari aspek politik, media
memberi ruang atau arena pertarungan diskursuf bagi kepentingan berbagai
kelompok sosial-politik yang ada dalam masyarakat demokratis.

8
Oleh karena begitu vitalnya peran media massa dalam berbagai aspek
kehidupan publik, maka memicu banyak pihak dari golongan politik tertentu yang
mencoba memanfaatkan media massa sebagai alat untuk mencapai tujuannya dan
secara hegemonik kerap memaksakannya kepada publik. Diantara mereka bahkan
mampu menguasai media secara keseluruhan, yakni menjadi pemilik perusahaan
media massa.
Hal seperti ini juga terungkap dalam teori ekonomi-politik media yang
dikemukakan oleh Golding dan Murdock. Dengan memakai pendekatan
strukturasi Giddens, mereka menguraikan bahwa media massa memang telah
menjelma sebagai industri yang menjual produk berupa informasi untuk
dikonsumsi masyarakat demi memperoleh profit bagi pemiliknya.
Pola ini telah menggurita secara global dalam suatu sistem kapitalisme media,
dimana media massa berperan penting sebagai agen ideologis yang membentuk
pola fikir dan memandu perilaku konsumennya. Nilai umum yang biasanya
ditanamkan adalah perihal memacu hasrat konsumsi, pandangan hidup liberal,
melegitimasi wacana investasi dan pasar bebas, hingga memassifkan budaya
trend-popular dan sebagainya.
Namun, pendekatan strukturasi ini juga melirik bahwa determinasi kapitalisme
global menjadi satu-satunya penentu nilai-nilai apa yang akan disebar melalui
media massa tidaklah patut diterima begitu saja. Sebab, dalam rantai strukturnya,
terdapat agen-agen lokal yang memiliki peranan aktif dan kreatif dalam proses
pengendalian pengaruh media massa terhadap pembentukan opini publik sesuai
dengan kepentingan politis yang hendak dicapai golongannya (Sunarto, 20094).
Sebagai contoh yang paling kasat mata, misalnya ANTV dan TV One adalah
kepunyaan dari Aburizal Bakrie ketua umum partai Golkar, sedangkan Surya
Paloh sebagai ketua umum partai Nasdem merupakan pemilik dari Metro TV dan
harian cetak Media Indonesia Group, kemudian MNC Media Group yang meliputi
MNC TV, RCTI, Global TV, dan harian cetak Sindo berada di bawah
kepemilikan Hary Tanoesoedibjo yang juga menjadi ketua dewan pertimbangan
partai Hanura sekaligus ketua umum ormas Perindo. Ketiga sosok pemilik media

4
Pengantar komunikasi politik (Sunarto, 2009)

9
massa ini bukanlah pengusaha biasa, namun juga praktisi politik. Maka, disadari
ataupun tidak, ini berdampak pada kecenderungan media tersebut mengarahkan
gagasan politik dan pencitraan tokoh masing-masing ke dalam setiap
pemberitaannya.
Pada dasarnya, secara ideal, pemberitaan media massa haruslah sesuai dengan
azas dan prinsip jurnalistik yang berlaku secara universal, yakni menjunjung
tinggi azas objektifitas, akurat, adil, berimbang, dan menegaskan posisi
netralitasnya. Selain itu, wajib hukumnya setiap pelaku jurnalistik dalam
pemberitaannya untuk menaati kode etik. Privatisasi atau kepemilikan pribadi
maupun kelompok atas perusahaan media massa sebenarnya bukanlah masalah,
sepanjang pemberitaan yang disebarkan kepada masyarakat luas senantiasa
tunduk pada azas serta prinsip ideal tersebut.
Menjadi masalah kemudian, apabila terjadi penyimpangan terhadap fungsi
media sebagai sarana komunikasi massa yang mengutamakan kepentingan publik,
terutama jika hal ini dilakukan oleh sang pemilik modal itu sendiri. Sebagai
pemilik dari suatu perusahaan media, tentunya mereka memiliki kuasa lebih untuk
mengintervensi kebijakan redaksi. Sayangnya, beberapa pihak yang disebut di
atas maupun pihak lain yang mengindikasikan fenomena serupa justru beralih
memanfaatkan situasi ini untuk memuluskan proyek politik pribadi maupun
golongannya saja, sehingga objektifitas pemberitaan sebagai syarat bagi informasi
yang dibutuhkan oleh masyarakat demokratis telah dikesampingkan.
Sekarang ini, fenomena pemanfaatan media massa sebagai alat politik bagi
pertarungan kepentingan elit tertentu telah menjadi gejala umum yang terus
menjalar tidak hanya di ranah nasional tetapi juga di daerah. Berbagai ajang
pencitraan yang berlebihan, tendensi sikap yang diskriminatif terhadap golongan
atau tokoh tertentu, serta berbagai upaya pemelintiran substansi pemberitaan pun
kerap dengan mudah kita jumpai.
Kondisi seperti ini merupakan paradoks dilematis yang telah menciderai
kehidupan masyarakat demokratis, dimana setiap orang memiliki hak untuk
memperoleh informasi publik yang objektif. Sementara media massa sebagai
sarana pemenuhan informasi paling mainstream justru mulai ditunggangi oleh elit

10
politik tertentu yang berkepentingan mengarahkan pilihan politik masyarakat
kepada apa yang dia munculkan sebagai pilihan tunggal.
Sebagai konsumen informasi, masyarakat tidak boleh terus menerus pasrah
melihat keadaan ini, nalar kritis haruslah dijadikan pedoman setiap menerima
informasi publik dari media manapun. Jangan pula kondisi ini membuat kita
menjadi apatis dan cenderung tak pro aktif mengikuti perkembangan informasi
publik, karena justru hanya akan merugikan kita. Upaya konfirmasi dan
komparasi dengan media massa lain tentang suatu tema pemberitaan yang sama
haruslah dijadikan pertimbangan sebelum kita menentukan kesimpulan sendiri.
Sebagai insan media, tentu hal ini patut kembali direnungkan, baik oleh
mereka kuli tinta di lapangan maupun dibalik meja redaksi, mengingat kembali
pentingnya berkeras menegakkan idealisme jurnalis yang menitipkan tanggung
jawab objektifitas pemberitaan informasi publik dengan pedoman tunggal, yakni
mengutamakan kepentingan masyarakat umum, bukan golongan apalagi elit
tertentu saja. Berpolitik praktis secara aktif tentu menjadi hak bagi setiap orang,
namun akan lebih bijaksana jika pengusaha pemilik industri media massa lebih
mengedepankan profesionalisme dalam menjalankan bisnisnya. Bukankah
perjuangan politiknya haruslah meraih legitimasi publik secara demokratis, bukan
dengan pemaksaan terselubung seperti yang nampak selama ini.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Inilah peran sentral dari media massa yang saat ini dijadikan alat ataupun
senjata bagi individu/kelompok yang mempunyai kepentingan-kepentingan
politik. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa kelompok kepentingan
atau dalam hal ini adalah partai politik sangat erat hubungannya terhadap
pentingnya peran media itu sendiri. Apalagi mengingat media massa yang telah
diberikan hak kebebasan untuk mengeluarkan suara atau opini-opini public baik
itu tentang kebijakan pemerintah atau isu-isu politik yang lain.
Dalam peranannya media massa saling berhubungan erat dengan
individu/masyarakat, partai politik, komunikasi politik, dan budaya/partisipasi
politik di Indonesia. Pada intinya dalam dunia politik, atau kalau merujuk pada
masalah Pemilu legislative dan eksekutif, para actor dan masing-masing partai
politik untuk mendapatkan simpati dari masyarakat harus melakukan komunikasi
politik terhadap masyarakat (suara pemilih) secara tepat agar isu-isu politik dan
kepentingan politik tersebut dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
Agar komunikasi politik yang diharapkan dapat teraktualisasi secara tepat,
maka butuh wadah atau media yang memfasilitasi, yaitu media massa. Media
massa disini dapat berbentuk media cetak seperti koran, majalah, rekalame,
pamflet, sticker, ataupun media massa elektronik seperti televisi, radio, dan
Internet. Bahkan dapat melalui media massa dengan bentuk turun lapangan
langsung.
Dengan adanya komunikasi politik melalui media massa, partai politik
dalam mencapai tujuan kepentingan politiknya akan mudah tersampaikan pada
masyarakat. Dengan demikian, bisa saja masyarakat yang mempunyai hak suara
dalam Pemilu akan menggunakan hak suaranya untuk memilih partai politik yang
mempunyai kedekatan emosional terhadap pemilik hak suara tersebut. Hal ini
secara tidak langsung berpengaruh terhadap tingakat partisipasi politik masyarakat
Indonesia dalam Pemilu laegislatif/eksekutif

12
DAFTAR PUSTAKA

1) Cangara, H. (2009). Komunikasi Politik. Jakarta: Raja Grafindo


Persada.hlm.34
2) Miriam Budiardjo (2010). Dasar-dasar ilmu Politik (edisi revisi). Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. Hlm.152.
3) Prentice - Hall. hlm.166. Kegiatan politik merupakan suatu interaksi atau
dapat dikatakan adalah suatu kegiatan berkomunikasi antara orang-orang.
Politik sangat berkaitan erat dengan apa yang disebut dengan komunikasi.
Salah satu kajian penting dalam kegiatan politik yaitu bahwa semua kegiatan
politik sangat berhubungan dengan komunikasi
4) Rakhmat, J. (1993). Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, Media.
Bandung: Remaja Rosdakarya Offest.Hlm.8.
5) Roskin, M. (1977). Political Science An Introduction, Sixt Edition. New
Jersey:

13

Anda mungkin juga menyukai