PENDAHULUAN
Dakriosistitis akut ditandai dengan nyeri yang muncul secara tiba-tiba dan
kemerahan pada kantus medial. Sistem eksresi air mata mudah mengalami infeksi dan
peradangan yang disebabkan oleh berbagai faktor. Tujuan fungsional dari sistem
eksresi air mata adalah untuk mengalirkan air mata dari mata ke dalam kavum nasal.
Adanya hambatan air mata yang patologis pada sistem drainase air mata dapat
menyebabkan terjadinya dakriosistitis. Dakriosistitis menjadi salah satu penyakit yang
dapat menimbulkan gejala dengan morbiditas bermakna. Dakriosistitis akut dapat
berlanjut menjadi dakriosistitis menahun yang bersifat rekuren karena itu sangat
penting untuk ditangani secara tepat dan sedini mungkin.1
Dakriosistitis umumnya terjadi pada dua kategori usia, yaitu anak-anak dan
orang dewasa di atas 40 tahun dengan puncak insidensi pada usia 60 hingga 70 tahun.
Dakriosistitis pada bayi yang baru lahir jarang terjadi, hanya sekitar 1% dari jumlah
kelahiran yang ada. Kebanyakan penelitian menyebutkan bahwa sekitar 70-83% kasus
dakriosistitis dialami oleh wanita.3
Dakriosistitis akut dapat diterapi dengan melakukan kompres hangat pada
daerah sakus yang terkena dalam frekuensi yang cukup sering. Pengobatan
dakriosistitis meliputi antibiotik yang sesuai, baik sistemik maupun lokal, untuk nyeri
dapat diberikan analgetik dan bila terjadi abses dapat dilakukan insisi dandrainase.7
Dakriosistitis sangat sensitif terhadap antibiotika namun masih berpotensi
terjadi kekambuhan jika tidak ditangani secara tepat. Karena itu, penulis ingin
mengenalkan tentang pentingnya pengobatan dakriosistitis dan bagaimana cara untuk
mengatasinya.7
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Selanjutnya, air mata akan dialirkan ke dua kanalis lakrimalis, superior dan
inferior, kemudian menuju ke punctum lakrimalis yang terlihat sebagai penonjolan kecil
pada kantus medial. Setelah itu, air mata akan mengalir ke dalam sakus lakrimalis yang
terlihat sebagai cekungan kecil pada permukaan orbita. Dari sini, air mata akan mengalir
2
ke duktus nasolakrimalis dan bermuara pada meatus nasal bagian inferior. Dalam
keadaan normal, duktus ini memiliki panjang sekitar 12 mm dan berada pada sebuah
saluran pada dinding medial orbita.4
2.2 Definisi
Dakriosistitis adalah peradangan pada sakus lakrimalis akibat adanya obstruksi
pada duktus nasolakrimalis.
Dakriosistitis akut adalah peradangan supuratif sakus lakrimal disertai dengan
selulitis jaringan di atasnya.
2.3 Epidemiologi
Penyakit ini sering ditemukan pada anak-anak atau orang dewasa di atas 40 tahun,
terutama perempuan dengan puncak insidensi pada usia 60 hingga 70 tahun. Dakriosistitis
pada bayi yang baru lahir jarang terjadi, hanya sekitar 1% dari jumlah kelahiran yang ada
dan jumlahnya hampir sama antara laki-laki dan perempuan. Jarang ditemukan pada
orang dewasa usia pertengahan kecuali bila didahului dengan infeksi jamur.1
2.4. Etiologi
Etiologi dari dakriosistitis akut antara lain:
- kerusakan dinding sakus lakrimal pada waktu mengadakan probing,
sehingga sekret yang penuh kuman dapat menjalar ke jaringan
disekitarnya
- riwayat trauma pada hidung, konjungtivitis trakomatosa atau
konjungtivitis lainnya.
- Kuman yang sering ditemukan pada dakriosistitis akut antara lain:
Haemophilus influenzae (menimbulkan dakriosistitis akut pada anak-
anak), Staphylococcus aureus dan Streptococcus ß haemolyticus
(menimbulkan dakriosistitis akut pada orang dewasa), dan
Pneumococcus.3
3
2.5 Patofisiologi
Awal terjadinya peradangan pada sakus lakrimalis adalah adanya obstruksi pada
duktus nasolakrimalis. Obstruksi duktus nasolakrimalis pada anak-anak biasanya
akibat tidak terbukanya membran nasolakrimal, sedangkan pada orang dewasa akibat
adanya penekanan pada salurannya, misal adanya polip hidung.1
Obstruksi pada duktus nasolakrimalis ini dapat menimbulkan penumpukan air
mata, debris epitel, dan cairan mukus sakus lakrimalis yang merupakan media
pertumbuhan yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
Ada 3 tahapan terbentuknya sekret pada dakriosistitis. Hal ini dapat diketahui
dengan melakukan pemijatan pada sakus lakrimalis. Tahapan-tahapan tersebut antara
lain:5
Tahap obstruksi
Pada tahap ini, baru saja terjadi obstruksi pada sakus lakrimalis, sehingga yang
keluar hanyalah air mata yang berlebihan.
Tahap Infeksi
Pada tahap ini, yang keluar adalah cairan yang bersifat mukus, mukopurulen, atau
purulent tergantung pada organisme penyebabnya.
Tahap Sikatrik
Pada tahap ini sudah tidak ada regurgitasi air mata maupun pus lagi. Hal ini
dikarenakan sekret yang terbentuk tertahan di dalam sakus sehingga membentuk
suatu kista.
4
terbentuk fistel. Bila fistel tetap terbuka, cairan yang keluar mencair. Selama fistel ini
terbuka, penderita terhindar dari serangan akut. Segera fistel ini tertutup, timbul lagi
bahaya pembentukan abses dengan segala akibatnya. Kadang-kadang fistel masih ada,
tetapi sangat kecil dan tidak cukup untuk dapat mengeluarkan cairan dengan
sempurna.1
5
b. Kalazion
Kalazion adalah peradangan granulomatosa kelenjar meibom yang tersumbat.
Pada kalazion terjadi penyumbatan kelenjar meibom dengan infeksi ringan yang
mengakibatkan peradangan kronis kelenjar tersebut. Kalazion akan memberikan gejala
adanya benjolan pada kelopak, tidak hiperemi, tidak ada nyeri tekan.1
Gambar 9. Kalazion
2.8 Terapi
Pengobatan dakriosistitis pada anak (neonatus) dapat dilakukan dengan masase
kantong air mata ke arah pangkal hidung. Dapat juga diberikan antibiotik
amoxicillin/clavulanate atau cefaclor 20-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam tiga dosis dan
dapat pula diberikan antibiotik topikal dalam bentuk tetes (moxifloxacin 0,5% atau
azithromycin 1%) atau menggunakan sulfonamid 4-5 kali sehari.4
Pada orang dewasa, dakriosistitis akut dapat diterapi dengan melakukan kompres
hangat pada daerah sakus yang terkena dalam frekuensi yang cukup sering.
Amoxicillin dan chepalosporine (cephalexin 500mg p.o. tiap 6 jam) juga merupakan
pilihan antibiotik sistemik yang baik untuk orang dewasa. Untuk mengatasi nyeri dan
radang, dapat diberikan analgesik oral (acetaminofen atau ibuprofen), bila perlu
dilakukan perawatan di rumah sakit dengan pemberian antibiotik secara intravena,
seperti cefazoline tiap 8 jam. Bila terjadi abses dapat dilakukan insisi dan drainase. (7)
Penatalaksaan dakriosistitis dengan pembedahan bertujuan untuk mengurangi
angka rekurensi. Prosedur pembedahan yang sering dilakukan pada dakriosistitis
adalah dacryocystorhinostomy (DCR). Di mana pada DCR ini dibuat suatu hubungan
langsung antara sistem drainase lakrimal dengan cavum nasal dengan cara melakukan
bypass pada kantung air mata. Dulu, DCR merupakan prosedur bedah eksternal
6
dengan pendekatan melalui kulit di dekat pangkal hidung. Saat ini, banyak dokter telah
menggunakan teknik endonasal dengan menggunakan scalpel bergagang panjang atau
laser.3
7
Kelainan pada kantong air mata :
o Keganasan pada kantong air mata.
o Dakriosistitis spesifik, seperti TB dan sifilis
Kelainan pada hidung :
o Keganasan pada hidung
o Rhinitis spesifik, seperti rhinoskleroma
o Rhinitis atopik
Kelainan pada tulang hidung, seperti periostitis
2.9 Komplikasi
Dakriosistitis yang tidak diobati dapat menyebabkan pecahnya kantong air mata
sehingga membentuk fistel. Bisa juga terkadi abses kelopak mata, ulkus, bahkan
selulitis orbita.
Komplikasi juga bisa muncul setelah dilakukannya DCR. Komplikasi tersebut di
antaranya adalah perdarahan pascaoperasi, nyeri transien pada segmen superior
os.maxilla, hematoma subkutaneus periorbita, infeksi dan sikatrik pascaoperasi yang
tampak jelas.7
2.10 Prognosis
Dakriosistitis sangat sensitif terhadap antibiotika namun masih berpotensi terjadi
kekambuhan jika obstruksi duktus nasolakrimalis tidak ditangani secara tepat, sehingga
prognosisnya adalah dubia ad malam. Akan tetapi, jika dilakukan pembedahan baik itu
dengan dakriosistorinostomi eksternal atau dakriosistorinostomi internal, kekambuhan
sangat jarang terjadi sehingga prognosisnya dubia ad bonam.7
8
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidharta. 2017. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Gilliland, G.D. 2009. Dacryocystitis. [serial online]. http://www.emedicine.com/.
[12 juni 2018]
3. Asbury , Faughan. Oftalmolgy Umum. 17th ed. Jakarta: EGC; 2009.
4. Ellis, Harold. 2006. Clinical Anatomy, A Revision and Applied Anatomy for
Clinical Students Eleventh Edition. Massachusetts, USA : Blackwell Publishing,
Inc