Anda di halaman 1dari 17

PERCOBAAN XI

ANTIMIKROBA

Disusun oleh :

Ketua:

Sigit Purnomo (3311161145)

Anggota :

Abilyo Ramadhan (331161150)

Winda Setia Puspita (3311161151)

Nadya Adithasari (3311161152)

Dwi Novitasari (3311161153)

Farmasi D 2016

Kelompok 4

10.00-13.00 WIB

PUSPA SARI DEWI S. S.Si., M.Si., Apt

LABORATORIUM FARMAKOLOGI - TOKSIKOLOGI

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI

CIMAHI

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Prinsip Percobaan

1. Berdasarkan adanya pertumbuhan mikroba Staphylococcus aureus pada media dengan


menggunakan metode mikrodelusi.

2. Berdasarkan perbedaan kekeruhan pada konsentrasi yang berbeda.

1.2 Tujuan Percobaan

1. Untuk dapat memahami metode pemilihan antibiotik untuk mikroba tertentu.

2. Untuk dapat terampil dalam penentuan nilai KHM.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Antibiotika adalah zat-zat kimia yang dihasilkan mikro-organisme hidup terutama

fungi dan bakteri tanah, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat

pertumbuhan banyak bakteri dan beberapa virus besar, sedangkan toksisitasnya bagi

manusia relatif kecil (Tjay, 1978).

Kegiatan antibiotika untuk pertama kalinya ditemukan oleh sarjana Inggris dr.

Alexander Flemming pada tahun 1928 (penisilin). Tetapi penemuan ini baru

diperkembangkan dan dipergunakan dalam terapi di tahun 1941 oleh dr.Florey (Oxford).

Kemudian banyak zat lain dengan khasita antibiotik diisolir oleh penyelidik-penyelidik di

seluruh dunia, akan tetapi berhubung dengan sifat toksisnya hanya beberapa saja yang

dapat digunakan sebagai obat (Tjay, 1978).

Pertumbuhan dan pengerasan bakteri-bakteri dipengaruhi oleh berbagai macam

zat kimia dalam lingkungan karena pengaruh zat kimia, maka bakteri seperti bergerak

menuju atau menjauhi zat kimia itu. Peristiwa. Bila bakteri-bakteri itu tertarik dan bergerak

menuju kearah zat kimia kita sebut chemotaxis (+) dan sebaliknya kita sebut chemotaxis

(-). Bakteri-bakteri yang tidak bergerak, peretumbuhan koloninya dapat dipengaruhi oleh

zat-zat kimiab peristiwa itu disebut chemotropis (soemarno, 1976).

Suatu bahan diklasifikasikan sebagai antibiotika apabila (Djide, 2005) :

 Bahan tersebut merupakan produk metabolisme (alami maupun sintesis).


 Bahan tersebut adalah produk sintesis yang dihasilkan sebagai analog struktur suatu

antibiotika yang terdapat di alam.

 Bahan tersebut mengantagonis pertumbuhan atau keselamatan suatu spesies

mikroorganisme atau lebih.

 Bahan tersebut efektif dalam konsentrasi rendah.

Secara umum antibiotika terbagi atas (Raharja, 2002) :

 Penisilin

Penisilin-G dan turunannya bersifat bakterisid terhadap terutama kuman Gram-positif

(khususnya Cocci) dan hanya beberapa kuman Gram-negatif. Contohnya :

Benzilpenisilin, Fenoksimetilpenisilin Kloksasilin, Asam Klavulanat, Ampisilin.

 Sefalosporin

Spektrum kerjanya luas dan meliputi banyak kuman Gram-positif dan Gram-negatif

termasuk Escherichia coli. Berkhasiat bakterisid dalam fase pembunuhan kuman,

berdasarkan penghambatan sintesa peptidoglikan yang diperlukan kuman untuk

ketangguhan dindingnya. Contohnya : Sefaleksin, Sefamandol, Sefouroksin, Sefotaksim,

Seftazidim, Aztreonam.

 Aminoglikosida

Aktivitasnya bakterisid, berdasarkan dayanya untuk mempenetrasi dinding bakteri dan

mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Proses translasi (RNA dan DNA) diganggu

sehingga biosintesa proteinnya dikacaukan. Efek ini tidak saja terjadi pada fase

pertumbuhan juga bila kuman tidak membelah diri. Contohnya : Streptomisin,

Gentamisin, Amiksin, Neomisin Paromomisin.


 Tetrasiklin

Mekanisme kerja berdasarkan diganggunya sintesa protein kuman. Spectrum kerjanya

luas dan meliputi banyak cocci Gram-positif dan Gram-negatif serta kebanyakan bacilli,

kecuali pseudomonas dan proteus. Contohnya : Tetrasiklin, Doksisiklin,

 Makrolida dan linkomisin

Eritromisin bekerja bakteriostatis terhadap terutama bakteri Gram-positif, dan spectrum

kerjanya mirip penisilin-G. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversible pada

ribosom kuman, sehingga sintesis proteinnya dirintangi. Contohnya : Eritromisin,

Azitromisin, Spiramisin, Linkomisin.

 Polipeptida

Khasiatnya adalah bakterisid berdasarkan aktivitas permukaannya dan kemampuannya

untuk melekatkan diri pada membran sel bakteri, sehingga permeabilitas sel meningkat

dan akhirnya sel meletus. Contohnya : Polimiksin B, Basitrasin, Gramsidin.

 Antibiotika lainnya

Khasiatnya bersifat bakteriostatis terhadap enterobacter dan Staphylococcus aureus

berdasarkan perintangan sintesa polipeptida kuman. Contohnya : Kloramfenikol,

Vankomisin, Asam fusidat, Mupirosin, Spektinomisin.

Berdasarkan mekanisme kerjanya antimikroba dibagi dalam lima kelompok

(Ganiswarna, 1995) :

 Antimikroba yang menghambat metabolisme sel mikroba


Antimikroba yang termasuk dalam kelompok ini adalah sulfonamid, trimetoprim, asam p-

aminosalisilat dan sulfon.

 Antimikroba yang menghambat sintesis dinding sel mikroba

Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah penisilin, sfalosforin, basitrasin,

vankomisin, dan sikloserin.

 Antimikroba yang mengganggu keutuhan membran sel

Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah polimiksin, golongan polien serta berbagai

antimikroba kemoteraupetik, seperti antiseptik surface active agents.

 Antimikroba yang menghambat sintesis protein sel mikroba

Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah golonbgangna aminoglikosid, makrolid,

linkimisin, tetrasiklin dan kloramfenikol.

 Antimikroba yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba

Antimikroba yang termasuk kelompok ini ialah rimpisin dan golongan kuinolon.

Prinsip penggunaan antibiotik didasarkan pada dua pertimbangan utama, yaitu

(Ditjen POM, 2001) :

 Penyebab infeksi

Pemberian antibiotik yang paling ideal adalah berdasarkan hasil pemeriksaan

mikrobiologis dan uji kepekaan kuman. Namun dalam praktek sehari-hari, tidak

melakukan pemeriksaan mikro-biologis untuk setiap pasien yang dicurigai menderita

suatu infeksi. Di samping itu, untuk infeksi berat yang memerlukan penanganan segera

dimulai setelah pengambilan sampel bahan biologik untuk biakan dan pemeriksaan
kepekaan kuman. Pemberian antibiotik tanpa pemeriksaan mikrobiologis dapat

didasarkan pada educated guess.

 Faktor pasien

Diantara faktor pasien yang perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotik antara lain

fungsi ginjal, fungsi hati, riwayat alergi, daya tahan terhadap infeksi (status imunologis),

daya tahan terhadap obat, beratnya infeksi, usia, untuk wanita apakah sedang hamil atau

menyusui, dan lain-lain.

Resistensi sel mikroba ialah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel

mikroba oelh antimikroba. Sifat ini dapat merupakan suatu mekanisme alamiah untuk

bertahan hidup. Ada 5 mekanisme resistensi kuman terhadap antimikroba yaitu

(Ganiswara, 1995) :

 Perubahan tempat kerja (target site) obat pada mikroba.

 Mikroba menurunkan permeabilitasnya sehingga obat sulit masuk ke dalam sel.

 Inaktivasi obat oleh mikroba.

 Mikroba yang membentuk jalan pintas untuk menghindari tahap yang dihambat oleh

antimikroba.

 Meningkatkan produksi enzim yang dihambat oleh antimikroba.

Pemberian antibiotik yang paling ideal adalah berdasarkan hasil pemeriksaan

mikrobiologis dan uji kepekaan kuman. Namun dalam praktek sehari-hari, tidak mungkin

melakukan pemeriksaan mikrobiologis untuk pasien yang dicurigai menderita suatu

infeksi berat yang memerlukan penanganan segera dimulai setelah pengambilan sampel

bahan biologik untuk biakan dan pemeriksaan kepekaan kuman (Ditjen POM, 2001).
Suatu zat antimikroba yang ideal, memiliki toksisitas selektif. Istilah ini berarti

bahwa suatu obat berbahaya bagi parasit tapi tidak membahayakan bagi inang.

Umumnya toksisitas selektif lebih bersifat relatif dan bukan absolud, ini berarti bahwa

suatu obat yang pada konsentrasi tertentu dapat ditoleransi oleh inang umum dapat

merusak parasit (Tjay, 2003).

Aktifitas mikroba dapat dikendalikan dengan mengatur faktor-faktor lingkungan

yang meliputi faktor biotik dan abiotik (temperatur, pH, kelembaban, radiasi)

(Dwidjesoputro, 1994).

Uji potensi antibiotika dilakukan dalam dua metode yaitu metode kertas saring

(Kirby and Bauer) dan metode d’Aubert. Metode kertas saring menghambat pertumbuhan

mikroorganisme dengan menggunakan zat-zat kimia seperti fungisida, bakterisida, dan

insektisida. Dengan perlakuan fisik seperti dengan sinar UV, pemanasan yang tinggi,

serta dengan perlakuan biologi seperti menggunakan mikroorganisme lain sebagai

antagonis. Metode d’Aubert yaitu metode yang digunakan untuk memeriksa kadar

anibiotika dalam bahan makanan sebagai bahan pengawet (Ramona dkk., 2007).
BAB III

METODELOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat yang digunakan

1. Inkubator
2. Oven
3. Spektrofotometer
4. Erlenmeyer
5. Tabung reaksi
6. Tip pipet
7. Mikropipet
8. Bunsen
9. 96-microwell plat
10. Gelas ukur
3.1.2 Bahan yang digunakan
1. Medium Mueller Hinton Broth
2. Antibiotik Uji
3. Kapas lemak
4. DMSO
5. Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Candida albicans
6. Methylen blue

3.2 Prosedur Percobaan


1. Sterilisasi alat, medium broth, air suling dalam autoklaf pada suhu 110-115º selama 20
menit.
2. Bakteri ditumbuhkan dalam medium broth selama 24 jam pada suhu 37º.
3. Diukur kekeruhan bakteri pada spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm dengan
pengaturan kekeruhan setara dengan T25% atau absorbs 0,008-0,01 dengan penambahan
medium broth.
4. Pembuatan larutan antibiotic : sejumlah antibiotic dilarutkan dalam air suling dan
diencerkan sehingga konsentrasi pada 96-microwell plat adalah 512 mikro gram/ ml.
5. Pembuatan larutan ekstrak uji : sejumlah ekstrak dilarutkan dalam DMSO sehingga
konsentrasi pada 96-microwell plat adalah 4096 mikro gram/ml.
6. Sejumlah 100 mikro liter media steril ditambahkan 96-microwell plat.
7. Kemudian, 100 mikro liter larutan antibiotika/ekstra uji ditambahkan pada posisi 12 pada
96-microwell plat.
8. Larutan ini diaduk perlahan menggunakan mikropipet hingga homogeny, lalu 100 mikro
liter larutan ini dipipet dan dipindahkan ke posisi 11 96-microwell plat.
9. Pengenceran ini dilanjutkan hingga posisi 3. Pengenceran dilakukan dari kanan ke kiri pada
96-microwell plat.
10. Setelah pengenceran dilakukan pada seluruh sumur, 100 mikro liter suspense bakteri yang
telah dibuat ditambahkan pada masing-masing pelat mikro hingga volume total tiap sumur
200 mikro liter.
11. Pada kontrol negative diisi 200 mikroliter media, sedangkan pada kontrol positif diisi
dengan 100 mikro liter media dan 100 mikro liter bakteri uji.
12. 96-microwell plat yang telah mengandung kontrol negative, kontrol positif, ekstrak uji dan
antibiotika pembanding kemudian diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 35± 2ºC.
13. KHM diamati sebagai konsentrasi paling rendah dimana tidak terdapat endapan bakteri
pada dasar sumur (jernih) yang mengindikasikan terhambatnya pertumbuhan bakteri.
BAB IV

HASIL PEMBAHASAN

4.1 Hasil Percobaan

Tabel Hasil Konsrntarsi Hambat Minimum (KHM)

Bahan Uji Nilai KHM

Staphylococcus aureus

Metoksazole A B C

10 10 10

Ketoconazole D E F

10 10 10

Tetrasiklin G H -

3 4

4.2 Pembahasan

Tujuan praktikum ini adalah praktikan dapat melakukan penetuan MIC dan MBC suatu
antimikrobia menggunakan teknik dilusi dan mikrodilusi. MIC (Minimum Inhibitory
Cincentration) adalah konsentrasi terendah dari antimikrobia yang dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme, sedangkan MBC (Minimum Bakteriofag Concentration) adalah
konsentrasi terendah dari antimikrobia yang dapat berfungsi untuk membunuh mikroorganisme.
Parameter antara MIC dan MBC berbeda, untuk MIC parameternya yaitu adanya kekeruhan
namun tidak terlalu pekat sedangkan untuk MBC parameternya yaitu kejerinhan yang
menyekuruh. Terdapat pula istilah bakteriostatik dan bakteriosidal. Bakteriostatik adalah senyawa
kimia yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan bakteriosidal adalah senyawa
kimia yang dapat membunuh bakteri. Praktikum ini digunakan kontrol positif (+) serta kontrol (-
). Kontrol positif berisi media dan bakteri yang bertujuan untuk mengamati pertumbuhan bakteri.
Untuk kontrol negatif hanya berisi media yang digunakan sebagai pembanding tingkat parameter
kejernihan.
Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair(broth dilution) dan dilusi padat
(solid dilution). Metode dilusi cair mengukur kadar hambat minimum (KHM/MIC) dan kadar
bunuh bakteri(KBM/MBC). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen
antimikrobia pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen
antimikrobia pada kadar terkecil yang terlihat jenis tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji
ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutmya dikultur
ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi
selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai
KHM. Sedangkan metode dilusi padat atau solid dilution test, metode ini serupa dengan metode
dilusi cair namuun menggunakan metode padat. Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi
agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji.
Pertama-tama yang dilakukan pada praktikum yaitu membuat media. Media yang
digunakan untuk uji potensi antimikrobia terhadap bakteri yaitu menggunakanMBH. Kemudian
disiapkan microwell plat yang digunakan sebagai alat percobaan untuk menguji adanya mikroba.
Di masukkan medium broth pada 96-microwell kemudian di tambakan metoksazole, ketoconazole,
dan tetrasiklin dan di lakukan pengenceran. Pada baris kesatu dan dua di gunakan sebagai control
positif(+) dan kontrol negative (-). Setelah dilakukan pengenceran di tambahkan bakteri S. aureus
pada 96-microwell plat kecuali pada control negative. Kemudian dilakukan inkubasi pada suhu
37o C selama 24 jam. Proses inkubasi dilakukan di dalam LAF. Prinsip LAF adalah menyaring
udara yang masuk ke dalam daerah kerja melalui filter sehingga udara yang masuk ke daerah kerja
bebaas mikroorganisme dan partikel asing diudara.
Pada hari kedua diamati pada 96-microwell plat yang menunjukan pertumbuhan dengan
melihat adanya kekeruhan. Apabila tabung terlihat keruh (+) menandakan bahwa telah terjadi
pertumbuhan bakteri di dalam tabung dan apabila tabung terlihat jernih (-) menandakan tidak
terjadinya pertumbuhan bakteri atau telah terjadi penghambatan pertumbuhan bakteri oleh
antibiotik yang ditambahkan. Pada keadaan ini disebut MIC (Minimum inhibitory concentration)
atau konsentrasi terendah bahan antimicrobial yang mengahambat pertumbuhan.
Dari hasil percobaan didapatkan bahwa terjadi kekeruhan pada 96-microwell plat yang di
beri antibiotic metoksazole dan ketoconazole sedangkan pada antibiotic yang diberi tetrasiklin
hanya sedikit yang terjadi kekeruhan hal ini menandakan bahwa pada antibiotic metoksazole dan
ketoconazole tidak efektif untuk bakteri staphylococcus aureus sedangkan pada antibiotic
tetrasiklin menandakan bahwa antibiotic ini efektif untuk bakteri staphylococcus aureus. Karna
tetrasiklin merupakan antibiotic dengan spectrum yang luas di bandingkan dengan metoksazole
dan ketoconazole.
BAB V

KESIMPULAN

Bakteri Staphylococcus aureus berasal dari kata Staphylo (buah anggur) dan coccus

(bulat). Bakteri sering ditemukan sebagai flora normal di kulit dan selaput lendir pada manusia.

Bakteri Staphylococcus aureus berbentuk bulat menyerupai bentuk buah anggur yang

tersusun rapi dan tidak teratur satu sama lain.

Bakteri Staphylococcus aureus yang dibawa pengidap tidak menimbulkan gejala, tetapi

dapat menularkan pada orang lain atau lingkungannya dengan berbagai cara yakni dapat

dihembuskan dari saluran pernapasan atas pada waktu bersin, dan dapat menjadi sumber penularan

terhadap orang lain.

Antibiotic tetrasiklin lebih efektif untuk bakteri Staphylococcus aureus di bandingkan

dengan antibiotic metoksazole dan ketoconazole.


DAFTAR PUSTAKA

 Craig, W.A. 1998. Choosing An Antibiotic On The Basis of Pharmacodynamics. Ear


NoseThroat J. New England.
 Dwidjoseputro, D. 2003. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.
 Jawetz, Melnick, Adelberg’s. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Salemba Medika. Jakarta.
 Katzung, B.G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
 Lim, D. 1998. Microbiology 2nd Edition. McGraw Hill. United of States America.
 Mc Evoy, G.K., J.L. Miller, J. Shick and E.D. Milikan. 2002. AHFS Drug Information.
American Society of Health: USA.
 Pelczar, M., E.C.S. Chan. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Penerbit Universitas
Indonesia. Jakarta.
 Tjay, Tann Hoan., Rahardja, Kirana. 2008. Obat-Obat Penting. Penerbit Elexmedia
Komputindo. Jakarta.
 Van Saene, H.K.F, Silvestri L, De la Cal MA. 2005. Infection Control In The Intensive
Care Unit. 2nd ed. Springer. Milan.
LAMPIRAN

Percobaan mikrodilusi pada 96-


microwell plat

Percobaan mikrodilusi pada 96-


microwell plat
 

Anda mungkin juga menyukai