Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi yang

sering terjadi pada anak selain infeksi saluran nafas atas dan diare, yang

ditandai dengan jumlah bakteri yang bermakna dalam urin. Kejadian ISK pada

anak kira-kira 40% akan mengalami infeksi berulang. Manifestasi klinis ISK

sangat bervariasi dan tergantung pada umur, mulai dengan asimtomatik hingga

gejala yang berat, sehingga ISK sering tidak terdeteksi baik oleh tenaga medis

maupun oleh orangtua. Kesalahan dalam menegakkan diagnosis

(underdiagnosis atau overdiagnosis) akan sangat merugikan. Underdiagnosis

dapat berakibat penyakit berlanjut ke arah kerusakan ginjal karena tidak

diterapi. Sebaliknya overdiagnosis menyebabkan anak akan menjalani

pemeriksaan dan pengobatan yang tidak perlu. Bila diagnosis ISK sudah

ditegakkan, perlu ditentukan lokasi dan beratnya invasi ke jaringan, karena

akan menentukan tata laksana dan morbiditas penyakit. Pada masa

preantibiotik, mortalitas ISK adalah 20%.

Komplikasi akut pada anak sehat saat ini jarang kecuali pada bayi yang

dapat berkembang menjadi infeksi sistemik. Komplikasi jangka panjang ISK

adalah keadaan yang berhubungan dengan parut ginjal yaitu hipertensi dan

gagal ginjal kronik. Pada penelitian di Swedia selama tahun 1950-1960

ditemukan anak dengan parut ginjal akibat pielonefritis berkembang menjadi

hipertensi sebanyak 23% dan penyakit ginjal terminal sebanyak 10%. Apabila

ISK dapat ditangani dengan benar sejak awal akan sangat memperbaiki
prognosis terutama efek jangka panjang seperti parut ginjal yang akhirnya

dapat mengakibatkan gagal ginjal kronik. Mengingat pentingnya diagnosis dan

penanganan yang tepat untuk memperbaiki fungsi ginjal pada anak yang

menderita ISK maka pada kepustakaan ini akan dibahas mengenai definisi,

epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis dan

tatalaksana ISK.
BAB II

INFEKSI SALURAN KEMIH

Definisi

Infeksi Saluran Kemih (ISK) atau Urinary Track Infections (UTI) adalah

keadaan tumbuh dan berkembang biaknya kuman dalam saluran kemih meliputi

infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih dengan jumlah

bakteriuria yang bermakna. Dari sudut pandang mikrobiologi, ISK terjadi bila

mikroorganisme patogen dideteksi di urin, uretra, vesika urinaria, atau ginjal.


5
Umumnya, pertumbuhan >10 organisme/ml dari sediaan urin “mid stream” yang

bersih mengindikasikan suatu infeksi. Tetapi, seringkali pada ISK yang

sebenarnya, pada pasien-pasien yang simtomatis, jumlah yang lebih kecil telah

dapat dikatakan sebagai infeksi (102-104 organisme/ml), atau pada sampel yang

berasal dari aspirasi supra pubis atau dari sampel yang diambil dari kateter.

Sebaliknya, pada midstream urin yang terkontaminasi, jumlah koloninya bisa

>105 /ml. Pada beberapa keadaan pasien dengan persentasi klinis tanpa bekteriuria

bermakna. Piuria bermakna (significant pyuria), bila ditemukan netrofil >10 per

lapangan pandang.

Meskipun uretra distal dari kedua jenis kelamin dapat dikolonisasi oleh

berbagai macam organisme, saluran kemih normal bersifat steril terhadap bakteri.

Jalur yang paling penting bagi organisme adalah jalur ascendens dari uretral ke
vesika urinaria yang kemudian naik ke ureter berlanjut ke pelvis dan parenkim

ginjal. Penyebaran infeksi secara hematogen menuju parenkim ginjal dapat terjadi

tetapi biasanya dihasilkan pada pembentukan abses.

Beberapa istilah yang sering digunakan dalam ISK.

1. Infeksi saluran kemih (urinary tract infection=UTI)

adalah bertumbuh dan berkembang biaknya kuman atau mikroba dalam saluran

kemih dalam jumlah bermakna.

2. Bakteriuria

Ialah terdapatnya bakteri dalam urin. Disebut bakteriuria bermakna bila

ditemukannya kuman dalam jumlah bermakna. Pengertian jumlah bermakna

tergantung pada cara pengambilan sampel urin. Bila urin diambil dengan cara

mid stream, kateterisasi urin, dan urine collector, maka disebut bermakan bila

ditemukan kuman 105 cfu (colony forming unit) atau lebih dalam setiap

mililiter urin segar, sedangkan bila diambil dengan cara aspirasi supra pubik,

disebutkan bermakna jika ditemukan kuman dalam jumlah berapa pun.

3. Bakteriuria asimtomatik (asymptomatic bacteriuria, covert bacteriuria)

adalah terdapatnya bakteri dalam saluran kemih tanpa menimbulkan

manifestasi klinis. Umumnya diagnosis bakteriuria asimtomatik ditegakkan

pada saat melakukan biakan urin ketika check-up rutin atau uji tapis pada anak

sehat atau tanpa gejala klinis.

4. ISK simtomatik

adalah ISK yang disertai gejala dan tanda klinik. ISK simtomatik dapat dibagi

dalam dua bagian yaitu infeksi yang menyerang parenkim ginjal, disebut
pielonefritis dengan gejala utama demam, dan infeksi yang terbatas pada

saluran kemih bawah (sistitis) dengan gejala utama berupa gangguan miksi

seperti disuria, polakisuria, kencing mengedan (urgency).

5. ISK non spesifik

adalah ISK yang gejala klinisnya tidak jelas. Ada sebagian kecil (10-20%)

kasus yang sulit digolongkan ke dalam pielonefritis atau sistitis, baik

berdasarkan gejala klinik maupun pemeriksaan penunjang yang tersedia.

6. ISK simpleks (simple UTI, uncomplicated UTI)

adalah infeksi pada saluran kemih yang normal tanpa kelainan struktural

maupun fungsional saluran kemih yang menyebabkan stasis urin.

7. ISK kompleks (complicated UTI)

adalah ISK yang disertai dengan kelainan anatomik dan atau fungsional saluran

kemih yang menyebabkan stasis ataupun aliran balik (refluks) urin. Kelainan

saluran kemih dapat berupa batu saluran kemih, obstruksi, anomali saluran

kemih, kista ginjal, buli- buli neurogenik, benda asing, dan sebagainya.

8. Pielonefritis akut

adalah infeksi yang menyebabkan invasi bakteri ke parenkim ginjal.

9. Sistitis akut

adalah infeksi yang terbatas pada invasi kandung kemih.

10. Pielonefritis kronik

Istilah ini sebaiknya dipakai untuk kepentingan histopatologik kelainan ginjal

dengan ditemukannya proses peradangan kronis pada interstisium ginjal dan

secara radiologik ditemukan gambaran parut ginjal yang khas pada kalises
yang tumpul. Lebih dikenal dengan istilah nefropati refluks, meskipun tidak

selalu ditemukan refluks pada saat parut ginjal terdeteksi.

11. ISK kambuh (relaps)

yaitu bakteriuria yang timbul kembali setelah pengobatan dengan jenis kuman

yang sama dengan kuman saat biakan urin pertama kalinya. Kekambuhan

dapat timbul antara satu sampai 6 minggu setelah pengobatan awal.

12. Reinfeksi

yaitu bakteriuria yang timbul setelah selesai pengobatan dengan jenis kuman

yang berbeda dari kuman saat biakan pertama.

13. Infeksi persisten

yaitu ISK yang timbul dalam periode pengobatan maupun setelah selesai

terapi.

14. Febrile UTI atau ISK febris atau ISK demam

adalah ISK dengan biakan urin dengan jumlah kuman bermakna yang disertai

demam dengan suhu > 380C. ISK demam sering ditemukan pada bayi atau

anak kecil, dan sekitar 60-65% ISK demam merupakan pielonefirits akut.

15. ISK atipik

adalah ISK dengan keadaan pasien yang serius, diuresis sedikit, terdapat massa

abdomen atau kandung kemih, peningkatan kreatinin darah, septikemia, tidak

memberikan respon terhadap antibiotik dalam 48 jam, serta disebabkan oleh

kuman non E. coli.


16. ISK berulang

terdapat dua kali atau lebih episode pielonefritis akut atau ISK atas, atau satu

episode pielonefritis akut atau ISK atas disertai satu atau lebih episode sistitis

atau ISK bawah, atau tiga atau lebih episode sistitis atau ISK bawah.

PREVALENSI

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyakit yang relatif sering pada

anak. Kejadian ISK tergantung pada umur dan jenis kelamin. Prevalensi ISK pada

neonatus berkisar antara 0,1% hingga 1%, dan meningkat menjadi 14% pada

neonatus dengan demam, dan 5,3% pada bayi. Pada bayi asimtomatik, bakteriuria

didapatkan pada 0,3 hingga 0,4%. Risiko ISK pada anak sebelum pubertas 3-5%

pada anak perempuan dan 1-2% pada anak laki. Pada anak dengan demam

berumur kurang dari 2 tahun, prevalensi ISK 3-5%. Puncak insidensi terjadi saat

infant dan toilet training.

Pada anak laki-laki, sebagian besar ISK terjadi saat 1 tahun kehidupan,

ISK banyak terjadi pada anak yang tidak dilakukan sirkumsisi. Prevalensi ISK

bermacam-macam sesuai usia, yaitu :

a. Pada 1 tahun kehidupan, rasio laki-laki : perempuan adalah 2,8-5,4 : 1.

b. Pada 1-2 tahun kehidupan, rasio laki-laki : perempuan adalah 1 : 10.

Epidemiologi ISK menurut usia dan jenis kelamin


Faktor Risiko

Proses berkemih merupakan proses pembersihan bakteri dari kandung

kemih, sehingga anak yang suka menahan kencing atau berkemih yang tidak

sempurna akan meningkatkan risiko untuk terjadinya infeksi.

Keadaan yang menyebabkan tertahannya urin seperti refluks vesikoureter

(RVU) dan kelainan anatomi serta gangguan berkemih menjadi predisposisi

timbulnya infeksi. Risiko untuk terjadi ISK yang paling umum adalah RVU

berkisar antara 20–42 %. Urin yang refluks meningkatkan risiko ISK berulang dan

parut ginjal. Faktor risiko lain adalah adanya riwayat infeksi sebelumnya,

orangtua atau saudara anak tersebut mengalami refluks. Anak ras kulit putih

mempunyai risiko untuk ISK 2 kali lebih banyak dibanding anak kulit berwarna.

Faktor predisposisi lain adalah kelainan anatomi seperti obstruksi

hubungan ureterovesikal, megaureter bawaan, ureter ektopik, ureterokel dan lain-

lain. Stasis urin yang disebabkan oleh faktor penekanan dari luar seperti

neoplasma, peradangan saluran cerna, konstipasi atau sindroma-sindroma saluran


keluar kandung kemih (bladder outlet syndroms) dapat meningkatkan risiko

terjadinya ISK.

Beberapa penelitian menghubungkan risiko timbulnya ISK pada anak yang

tidak disirkumsisi. Kulup preputium merupakan tempat penyimpanan organisme

uropatogen. Anak laki-laki dengan RVU yang tidak disirkumsisi sepertiganya

dijumpai pertumbuhan uropatogen walaupun sudah diberi antibitiotik profilaksis.

Bagaimanapun bakteriuria asimtomatik kemungkinan berhubungan dengan

abnormalitas saluran kemih dan pada beberapa anak kemudian berkembang

menjadi infeksi yang simtomatik.

Faktor risiko infeksi saluran kemih (ISK)

 Jenis kelamin perempuan  Penggunaan pakaian dalam yang

 Laki-laki yang tidak di sirkumsisi ketat

 Refluks vesikoureter (RVU) *  Pinworm infestation

 Toliet training  Konstipasi

 Disfungsi berkemih  Bacteria with P fimbriae

 Uropati obstruktif  Abnormalitas anatomi (adhesi labia)

 Urethral instrumentation  Neuropathic bladder

 Membasuh dari belakang ke depan pada  Aktivitas seksual

perempuan  Kehamilan

 Bubble bath

*Peningkatan risiko terjadinya pyelonephritis,

bukan cystitis
ETIOLOGI

Infeksi saluran kemih (ISK) terutama disebabkan oleh koloni bakteri.

Escherichia coli (E.coli) merupakan kuman penyebab tersering 60-80% pada ISK

akut. Pada anak perempuan, 75-90% infeksi disebabkan oleh Escherichia coli,

lalu oleh Klebsiella spp., dan Proteus spp. Pada anak laki-laki usia lebih dari 1

tahun, ISK sering disebabkan oleh Proteus spp. dan Escherichia coli, dan

sebagian kecil disebabkan oleh bakteri gram positif. Bakteri Staphylococcus

saprophyticus dan enterokokus merupakan patogen yang menyebabkan ISK pada

anak perempuan dan anak laki-laki.

Bila penyebabnya Proteus, perlu dicurigai kemungkinan batu struvit

(magnesium- ammonium-fosfat) karena kuman Proteus menghasilkan enzim

urease yang memecah ureum menjadi amonium, sehingga pH urin meningkat

menjadi 8-8,5. Pada urin yang alkalis, beberapa elektrolit seperti kalsium,

magnesium, dan fosfat akan mudah mengendap.

Infeksi virus, terutama adenovirus juga dapat menyebabkan ISK, terutama

adenovirus yang menyebabkan cystitis. Haemofilus influenzae dan parainfluenza

dilaporkan sebagai penyebab ISK pada anak.

Mikroorganisme gram negatif paling sering menyebabkan ISK

FAMILI GENUS SPESIES

Enterobakteriaceae Escherichia Coli

Klebsiella Pneumoniae

Oxytoca

Proteus Mirabilis
Vulgaris

Enterobacter Cloacae

Aerogenes

Providencia Rettgeri

Stuartii

Morganella Morganii

Cytobacter Freundii

Diversus

Serratia Marcescens

Pseudomonadaceae Pseudomonas Aeruginosa

Mikroorganisme gram positif paling sering menyebabkan ISK

FAMILI GENUS SPESIES

Micrococcaceae Staphylococcus Aureus

Saprophyticus

Streptococceae Streptococcus Fecalis

(enterococcus)

KLASIFIKASI

Klasifikasi infeksi saluran kemih (ISK), antara lain :


1. Berdasarkan anatomi

a. ISK atas : urethritis dan cystitis

b. ISK bawah : acute pyelonephritis, prostatitis, dan intrarenal dan

perinephric abscess

*Batas antara atas dan bawah adalah vesicoureteric junction.

2. Berdasarkan ada atau tidaknya penyulit

a. ISK tipe sederhana (uncomplicated)

b. ISK tipe berkomplikasi (complicated)

3. Berdasarkan ada atau tidaknya gejala

a. ISK simtomatik

b. ISK asimtomatik

4. Berdasarkan onset klinis

a. ISK akut

b. ISK kronis

Klasifikasi ISK pada anak dapat dibedakan berdasarkan gejala klinis,

lokasi infeksi, dan kelainan saluran kemih. Berdasarkan gejala, ISK dibedakan

menjadi ISK asimtomatik dan simtomatik. Berdasarkan lokasi infeksi, ISK

dibedakan menjadi ISK atas dan ISK bawah, dan berdasarkan kelainan saluran

kemih, ISK dibedakan menjadi ISK simpleks dan ISK kompleks. ISK

asimtomatik ialah bakteriuria bermakna tanpa gejala. ISK simtomatik yaitu

terdapatnya bakteriuria bermakna disertai gejala dan tanda klinik. Sekitar 10-20%
ISK yang sulit digolongkan ke dalam pielonefritis atau sistitis baik berdasarkan

gejala klinik maupun pemeriksaan penunjang disebut dengan ISK non spesifik.

Membedakan ISK atas atau pielonefritis dengan ISK bawah (sistitis dan

urethritis) sangat perlu karena risiko terjadinya parut ginjal sangat bermakna pada

pielonefritis dan tidak pada sistitis, sehingga tata laksananya (pemeriksaan,

pemberian antibiotik, dan lama terapi) berbeda. Untuk kepentingan klinik dan tata

laksana, ISK dapat dibagi menjadi ISK simpleks (uncomplicated UTI) dan ISK

kompleks (complicated UTI). ISK kompleks adalah ISK yang disertai kelainan

anatomik dan atau fungsional saluran kemih yang menyebabkan stasis ataupun

aliran balik (refluks) urin. Kelainan saluran kemih dapat berupa RVU, batu

saluran kemih, obstruksi, anomali saluran kemih, buli-buli neurogenik, benda

asing, dan sebagainya. ISK simpleks ialah ISK tanpa kelainan struktural maupun

fungsional saluran kemih.

National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) membedakan

ISK menjadi ISK atipikal dan ISK berulang. Kriteria ISK atipikal adalah; keadaan

pasien yang sakit berat, diuresis sedikit, terdapat massa abdomen atau kandung

kemih, peningkatan kreatinin darah, septikemia, tidak memberikan respon

terhadap antibiotik dalam 48 jam, serta disebabkan oleh kuman non E. coli. ISK

berulang berarti terdapat dua kali atau lebih episode pielonefritis akut atau ISK

atas, atau satu episode pielonefritis akut atau ISK atas disertai satu atau lebih

episode sistitis atau ISK bawah, atau tiga atau lebih episode sistitis atau ISK

bawah.

ISK Uncomplicated
Disebut juga ISK non-obstruktif :

o Saluran kemih normal

o Fungsi ginjal normal

ISK Complicated

Disebut juga obstruktif :

o Saluran kemih abnormal : Batu, VUR, refluk nefropati, paraplegia

o Kelainan pertahanan tubuh :DM, neutropenia, pengobatan imunosupresan

o Gangguan fungsi ginjal

Simptomatik

o Sindrom frekuensi :

- Disuria

- Bakteri sistitis

- Pielonefritis akut

- Prostatitis akut

Asimptomatik

o Sindrom frekuensi – disuria :

Sindrom yang paling sering ditemukan pada wanita dewasa, pada anak-anak

juga ditemukan namun masih sedikit yang dilaporkan.

o Biakan kuman negative pada 30-50%

Klasifikasi Infeksi dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi infeksi di

dalam saluran kemih. Akan tetapi karena adanya hubungan satu lokasi dengan

lokasi lain sering didapatkan bakteri di dua lokasi yang berbeda. Klasifikasi
diagnosis Infeksi Saluran Kemih dan Genitalia Pria yang dimodifikasikan dari

panduan EAU (European Association of Urology) dan IDSA (Infectious Disease

Society of America) terbagi kepada ISK non komplikata akut pada wanita,

pielonefritis non komplikata akut, ISK komplikata, bakteriuri asimtomatik, ISK

rekurens, uretritis dan urosepsis (Naber KG et al). Pielonefritis akut (PNA) adalah

proses inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan infeksi bakteri. Pielonefritis

kronis (PNK) mungkin akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau

infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih dan refluks vesikoureter dengan

atau tanpa bakteriuria kronik sering diikuti pembentukan jaringan ikat parenkim

ginjal yang ditandai pielonifritis kronik yang spesifik.

Selain itu, ISK juga dinyatakan sebagai ISK uncomplicated (simple) dan

ISK complicated. ISK simple adalah infeksi yang terjadi pada insan sehat dan

tidak menyebar ke tempat tubuh yang lain. ISK simple ini biasanya sembuh

sempurna sesuai dengan pemberian obat. Sementara ISK complicated adalah

infeksi yang disebabkan oleh kelainan anatomis pada seluran kemih, menyebar ke

bagian tubuh yang lain, bertambah berat dengan underlying disease, ataupun

bersifat resisten terhadap pengobatan. Berbanding dengan yang simple, ISK

complicated lebih sukar diobati.

PATOGENESIS

Bakteri dalam urin bisa berasal dari ginjal, pielum, ureter, vesika urinaria

atau dari uretra. Timbulnya suatu infeksi di saluran kemih tergantung dari faktor

predisposisi dan faktor pertahanan tubuh penderita yang masih belum diketahui

dengan pasti.
Bakteri uropatogenik yang melekat pada sel uroepitel, dapat

mempengaruhi kontraktilitas otot polos dinding ureter, dan menyebabkan

gangguan peristaltiknya. Melekatnya bakteri ke sel uroepitel ini, akan

meningkatkan virulensi bakteri tersebut.

E.coli merupakan organisme yang potensial sebagai penyebab ISK yang

ascending, tetapi tidak semua galur E.coli dapat berkolonisasi di saluran kemih.

Invasi bakteri membutuhkan virulensi uropatogen untuk menyebabkan terjadinya

ISK pada anatomi saluran kemih yang normal. Kemampuan melekat kuman ke

uroepitel berkat adanya fimbria atau pili yang disebut P – fimbriae, yang mudah

menempel pada reseptor spesifik epitel saluran kemih yaitu sejenis karbohidrat

yang berisi glikolipid galaktosa a 1–4 galaktosa b (Gal–Gal positive).

Kemampuan melekat pada mukosa uroepitel akan meningkatkan virulensi kuman.

Glukopid Gal-Gal positive ditemukan pada sel uroepitel orang dengan golongan

darah P1, sehingga anak dengan golongan darah P1, akan mengalami risiko

terkena pielonefritis akut berulang 11 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak

golongan darah P2. Aerobactin suatu zat yang dihasilkan kuman berfungsi

mengikat dan menumpuk zat besi yang berguna untuk pertumbuhan kuman.

Pada bakteriuria asimtomatik yang berhubungan dengan galur bakteri yang

berkolonisasi di dalam saluran kemih, galur bakteri tetap bertahan sampai timbul

gejala ISK atau terjadi invasi galur lain. Galur bakteri tertentu dapat bertahan rata-

rata 88 hari tanpa ada demam atau gejala infeksi sistemik.Di sisi lain E.coli

penyebab bakteriuria asimtomatik virulensinya kurang bila dibandingkan dengan

yang terdapat pada pasien dengan ISK simtomatik.


Patogenesis ISK ascending :

Flora usus

Munculnya tipe uropatogenik

Kolonisasi di perineal dan uretra anterior

Barier pertahanan mukosa normal

Cystitis

VIRULENSI Acute FAKTOR PENJAMU (HOST)
BAKTERI Pyelonephritis 1. Memperkuat perlekatan ke
sel uroepitel
2. Refluks vesiko ureter
3. Refluks intrarenal
Parut ginjal Urosepsis 4. Tersumbatnya saluran
kemih
5. Benda asing (kateter urin)

Peran patogenisitas bakteri. Sejumlah flora saluran cerna termasuk Escherichia

coli diduga terkait dengan etiologi ISK. Patogenisitaas E.coli terkait dengan

bagian permukaan sel polisakarida dari lipopolisakarin (LPS). Hanya IG serotype

dari 170 serotipe O/ E.coli yang berhasil diisolasi rutin dari pasien ISK klinis,

diduga strain E.coli ini mempunyai patogenisitas khusus.

Peran bacterial attachment of mucosa. Penelitian membuktikan bahwa fimbriae

merupakan satu pelengkap patogenesis yang mempunyai kemampuan untuk

melekat pada permukaan mukosa saluran kemih. Pada umumnya P fimbriae akan

terikat pada P blood group antigen yang terdpat pada sel epitel saluran kemih atas

dan bawah

Peranan faktor virulensi lainnya. Sifat patogenisitas lain dari E.coli

berhubungan dengan toksin. Dikenal beberapa toksin seperti α-hemolisin,

cytotoxic necrotizing factor-1(CNF-1), dan iron reuptake system (aerobactin dan


enterobactin). Hampir 95% α-hemolisin terikat pada kromosom dan berhubungan

degan pathogenicity island (PAIS) dan hanya 5% terikat pada gen plasmio.

Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mengalami

perubahan bergantung pada dari respon faktor luar. Konsep variasi fase MO ini

menunjukan ini menunjukkan peranan beberapa penentu virulensi bervariasi di

antara individu dan lokasi saluran kemih. Oleh karena itu, ketahanan hidup bakteri

berbeda dalam kandung kemih dan ginjal.

Peranan Faktor Tuan Rumah (host)

Faktor Predisposisi Pencetus ISK. Penelitian epidemiologi klinik mendukung

hipotensi peranan status saluran kemih merupakan faktor risiko atau pencetus

ISK. Jadi faktor bakteri dan status saluran kemih pasien mempunyai peranan

penting untuk kolonisasi bakteri pada saluran kemih. Kolonisasi bacteria sering

mengalami kambuh (eksasebasi) bila sudah terdapat kelainan struktur anatomi

saluran kemih. Dilatasi saluran kemih termasuk pelvis ginjal tanpa obstruksi

saluran kemih dapat menyebabkan gangguan proses klirens normal dan sangat

peka terhadap infeksi. Endotoksin (lipid A) dapat menghambat peristaltik ureter.

Refluks vesikoureter ini sifatnya sementara dan hilang sendiri bila mendapat

terapi antibiotika. Proses pembentukan jaringan parenkim ginjal sangat berat bila

refluks visikoureter terjadi sejak anak-anak. Pada usia dewasa muda tidak jarang

dijumpai di klinik gagal ginjal terminal (GGT) tipe kering, artinya tanpa edema

dengan/tanpa hipertensi.

Status Imunologi Pasien (host). Penelitian laboratorium mengungkapkan bahwa

golongan darah dan status sekretor mempunyai konstribusi untuk kepekaan

terhadap ISK. Pada tabel di bawah dapat dilihat beberapa faktor yang dapat
meningkatkan hubungan antara berbagai ISK (ISK rekuren) dan status secretor

(sekresi antigen darah yang larut dalam air dan beberapa kelas immunoglobulin)

sudah lama diketahui. Prevalensi ISK juga meningkat terkait dengan golongan

darah AB, B dan PI (antigen terhadap tipe fimbriae bakteri) dan dengan fenotipe

golongan darah Lewis.

Faktor-faktor yang meningkatkan kepekaan terhadap infeksi saluran kemih (UTI)

Kepekaan terhadap ISK rekuren dari kelompok pasien dengan saluran

kemih normal (ISK tipe sederhana) lebih besar pada kelompok antigen darah non-

sekretorik dibandingkan kelompok sekretorik. Penelitian lain melaporkan sekresi

IgA urin meningkat dan diduga mempunyai peranan penting untuk kepekaan

terhadap ISK rekuren.

Secara umum patogenesis ISK kompleks hampir sama dengan ISK, tetapi

terdapat perbedaan yaitu pada ISK kompleks terdapat faktor risiko berupa

kelainan anatomi, fungsi dan metabolik dan sering menimbulkan infeksi berulang.

Hampir seluruh ISK terjadi secara asenden. Bakteri berasal dari flora feses,

berkolonisasi didaerah perineum dan memasuki kandung kemih melalui uretra.

Pada bayi, septikemia karena bakteri gram negatif relatif lebih sering, hal ini
mungkin disebabkan imaturitas dinding saluran pencernaan pada saat kolonisasi

oleh Escherichia coli atau karena imaturitas sistem pertahanan. Penyebaran secara

hematogen lebih sering terjadi pada neonatus. Infeksi nosokomial juga dapat

terjadi, biasanya disebabkan operasi atau intrumentasi pada saluran kemih.

Bakteri penyebab ISK yang paling sering ditemukan di praktek umum

adalah E. coli (lebih dari 90%), sedangkan yang disebabkan infeksi nosokomial

(hospital acquired) sekitar 47%.10 Awal terjadinya ISK adalah bakteri

berkolonisasi di perineum pada anak perempuan atau di preputium pada anak laki-

laki. Kemudian bakteri masuk kedalam saluran kemih mulai dari uretra secara

asending. Setelah sampai di kandung kemih, bakteri bermultiplikasi dalam urin

dan melewati mekanisme pertahanan antibakteri dari kandung kemih dan urin.

Pada keadaan normal papila ginjal memiliki sebuah mekanisme anti refluks yang

dapat mencegah urin mengalir secara retrograd menuju collecting tubulus.

Akhirnya bakteri bereaksi dengan urotelium atau ginjal sehingga menimbulkan

respons inflamasi dan timbul gejala ISK.

Mekanisme tubuh terhadap invasi bakteri terdiri dari mekanisme

fungsional, anatomis dan imunologis. Pada keadaan anatomi normal,

pengosongan kendung kemih terjadi reguler, drainase urin baik dan pada saat

setiap miksi, urin dan bakteri dieliminasi secara efektif. Pada tingkat seluler,

bakteri dihancurkan oleh lekosit polimorfonuklear dan komplemen. Maka setiap

keadaan yang mengganggu mekanisme pertahanan normal tersebut dapat

menyebabkan risiko terjadinya infeksi.

Pada anak perempuan, ISK kompleks sering terjadi pada usia toilet

training karena gangguan pengosongan kandung kemih terjadi pada usia ini. Anak
mencoba untuk menahan kencing agar tidak ngompol, dimana kontraksi otot

kandung kemih ditahan sehingga urin tidak keluar. Hal ini menyebabkan tekanan

tinggi, turbulensi aliran urin dan atau pengosongan kandung kemih yang tidak

tuntas, kemudian semuanya akan menyebabkan bakteriuria. Gangguan

pengosongan kandung kemih dapat terjadi pula pada anak yang tidak BAK secara

teratur. Uropati obstruktif menyebabkan hidronefrosis yang akan meningkatkan

risiko ISK karena adanya stasis urin. Instrumentasi pada uretra selama VCUG

atau kateterisasi yang tidak steril dapat menginfeksi kandung kemih oleh bakteri

patogen. Konstipasi dapat meningkatkan risiko terjadinya ISK karena dapat

menyebabkan gangguan pengosongan kandung kemih.

Patogenesis ISK adalah berdasarkan adanya pili atau fimbrae pada

permukaan bakteri. Terdapat 2 tipe fimbrae yaitu tipe I dan tipe II. Fimbrae tipe I

terdapat pada seluruh strain E.Coli. Karena perlekatan pada sel target dapat

dihambat oleh D-Mannose, maka fimbrae ini disebut juga mannose sensitive dan

tidak berperan dalam pielonefritis. Perlekatan fimbrae tipe II tidak dihambat oleh

mannose, sehingga disebut juga Mannose resistant, fimbrae ini hanya terdapat

pada beberapa strain E. coli. Reseptor fimbriae tipe II adalah suatu

glikospingolipid yang terdapat pada sel uroepitel dan sel darah merah. Fraksi Gal

1-4 oligosakaridase adalah resptor. Karena fimbrae tersebut dapat diaglutinasi

oleh P blood eritrosit maka disebut sebagai P fimbrae. Bakteri dengan P fimbrae

lebih sering menyebabkan pielonefritis. Sekitar 76-94% strain pielonefritogenik E.

coli mempunyai P fimbrae, sedangkan strain sistitis sekitar 19-23%.6,7,8 Infeksi

persisten atau rekuren dari ISK pertama dapat terjadi disebabkan oleh terapi yang

tidak adekuat (misalnya antibiotik yang tidak tepat, lama terapi terlalu pendek
atau dosis kurang tepat). Tetapi selain hal tersebut, merupakan suatu tanda adanya

kelainan yang mendasari di saluran kemih (misalnya batu ginjal, kista, abses,

benda asing) yang menjadi tempat bakteri berkembang biak. Infeksi rekuren dapat

merupakan infeksi baru yang disebabkan bakteri yang baru dan harus dicurigai

adanya kelainan anatomi atau fungsi.

MANIFESTASI KLINIS

Terdapat 3 bentuk utama ISK, yaitu pyelonephritis, cystitis, dan

bakteriuria asimtomatik

1. Pyelonephritis

- Terdapat gejala berikut :

a. Nyeri abdomen atau flank pain,

b. Demam,

c. Malaise,

d. Mual,

e. Muntah

f. Kadang-kadang terjadi diare.

- Pada neonatus dapat menunjukkan gejala nonspesifik, seperti sedikit

minum, irritability, dan penurunan berat badan.

- Pyelonephritis merupakan infeksi bakteri yang serius dan sering terjadi

pada infant <24 bulan.

- Jika infeksi mengenai parenkim renal, maka disebut acute

pyelonephritis. Jika tidak mengenai parenkim renal, maka disebut


pyelitis. Acute pyelonephritis dapat mengakibatkan renal injury,

disebut pyelonephritic scarring.

2. Acute lobar nephronia (Acute lobar nephritis)

- Merupakan infeksi bakteri pada renal yang terlokalisasi, meliputi >1

lobus, yang akan menyebabkan komplikasi pyelonephritis atau stadium

awal berkembangnya abses renal.

- Manifestasi klinis indentik dengan pyelonephritis.

- Abses renal dapat terjadi mengikuti pyelonephritis atau sekunder

akibat bakterimia primer (S. aureus).

- Perinephritic abscess dapat terjadi sekunder akibat infeksi berlanjut

yang terjadi di area perirenal (misalnya: vertebral osteomyelitis, psoas

abses) atau pyelonephritis yang merusak kapsul renal.

3. Cystitis

- Infeksi pada vesika urinaria

- Gejala meliputi :

a. Dysuria,

b. Urgency,

c. Frequency,

d. Suprapubic pain,

e. Incontinence,

f. Malodorous urine (tidak spesifik untuk ISK).

g. Tidak disertai demam dan tidak menyebabkan renal injury

4. Bakteriuria asimtomatik
- Kondisi yang menunjukkan hasil kultur urin yang positif tanpa disertai

manifestasi klinis infeksi. Hal ini sering terjadi pada anak perempuan.

- Insidensi :

a. 1-2% pada usia pra-sekolah dan anak perempuan usia sekolah,

b. 0,3% anak laki-laki.

Insidensi menurun sesuai pningkatan usia.

- Kondisi bakteriuria asimtomatik tidak membahayakan dan tidak

menyebabkan renal injury, kecuali pada wanita hamil yang mengalami

Asymptomatic bacteriuria, jika tidak diterapi, maka akan

menyebabkan ISK simtomatik.

Gejala klinik ISK pada anak sangat bervariasi, ditentukan oleh intensitas

reaksi peradangan, letak infeksi (ISK atas dan ISK bawah), dan umur pasien.

Sebagian ISK pada anak merupakan ISK asimtomatik, umumnya ditemukan pada

anak umur sekolah, terutama anak perempuan dan biasanya ditemukan pada uji

tapis (screening programs). ISK asimtomatik umumnya tidak berlanjut menjadi

pielonefritis dan prognosis jangka panjang baik.

Pada masa neonatus, gejala klinik tidak spesifik dapat berupa apati,

anoreksia, ikterus atau kolestatis, muntah, diare, demam, hipotermia, tidak mau

minum, oliguria, iritabel, atau distensi abdomen. Peningkatan suhu tidak begitu

tinggi dan sering tidak terdeteksi. Kadang-kadang gejala klinik hanya berupa apati

dan warna kulit keabu-abuan (grayish colour).

Pada bayi sampai satu tahun, gejala klinik dapat berupa demam,

penurunan berat badan, gagal tumbuh, nafsu makan berkurang, cengeng, kolik,
muntah, diare, ikterus, dan distensi abdomen. Pada palpasi ginjal anak merasa

kesakitan. Demam yang tinggi dapat disertai kejang.

Pada umur lebih tinggi yaitu sampai 4 tahun, dapat terjadi demam yang

tinggi hingga menyebabkan kejang, muntah dan diare bahkan dapat timbul

dehidrasi. Pada anak besar gejala klinik umum biasanya berkurang dan lebih

ringan, mulai tampak gejala klinik lokal saluran kemih berupa polakisuria, disuria,

urgency, frequency, ngompol, sedangkan keluhan sakit perut, sakit pinggang, atau

pireksia lebih jarang ditemukan.

Pada pielonefritis dapat dijumpai demam tinggi disertai menggigil, gejala

saluran cerna seperti mual, muntah, diare. Tekanan darah pada umumnya masih

normal, dapat ditemukan nyeri pinggang. Gejala neurologis dapat berupa iritabel

dan kejang. Nefritis bakterial fokal akut adalah salah satu bentuk pielonefritis,

yang merupakan nefritis bakterial interstitial yang dulu dikenal sebagai nefropenia

lobar.

Pada sistitis, demam jarang melebihi 38ºC, biasanya ditandai dengan nyeri

pada perut bagian bawah, serta gangguan berkemih berupa frequensi, nyeri waktu

berkemih, rasa diskomfort suprapubik, urgensi, kesulitan berkemih, retensio urin,

dan enuresis.

DIAGNOSIS

1. Gejala

a. Asimtomatik

b. Simtomatik
- Pada neonatus gejala tidak khas, seperti : panas badan, malas

minum, muntah, diare, berat badan tidak naik, dan penurunan

kesadaran.

- Pada anak : disuria, frekuensi berkemih meningkat, urgensi,

polakisuria, berat badan sukar naik, atau anoreksia, nyeri perut

atau pinggang, gangguan pertumbuhan, muntah, panas badan

yang tidak diketahui penyebabnya, enuresis, dan urin yang

berbau menyengat

2. Tanda

a. Nyeri ketok CVA

b. Nyeri tekan suprapubik

c. Kelainan pada genitalia eksterna (fimosis, sinekia vulva,

hipospadia, epispadia)

d. Kelainan pada tulang belakang seperti spina bifida

3. Pemeriksaan penunjang

a. Analisis urin rutin

Pemeriksaan analisis urin rutin merupakan uji saring yang dapat

diandalkan bila koleksi urin benar dan masih segar, yang terdiri

dari:

 pH urin

 Proteinuria

 Pemeriksaan mikroskopik urin : leukosituria (>5/lp) dan

hematuria (eritrosit >5/lp)


b. Identifikasi bakteriuria patogen penyebab infeksi saluran kemih

 Uji biokimia

 Mikrobiologi : bakteriuria bermakna pada biakan urin

- Anak toilet-trained : midstream urine sample >100.000

koloni bakteri tunggal atau 10.000 koloni dan menunjukan

gejala simtomatik  anak memiliki ISK

- Infant : terdapat >100.000 koloni  memiliki UTI

c. USG abdomen bawah

American Academy of Pediatrics (AAP) membuat rekomendasi bahwa

pada bayi umur di bawah 2 bulan, setiap demam harus dipikirkan kemungkinan

ISK dan perlu dilakukan biakan urin. Pada anak umur 2 bulan sampai 2 tahun

dengan demam yang tidak diketahui penyebabnya, kemungkinan ISK harus

dipikirkan dan perlu dilakukan biakan urin, dan anak ditata laksana sebagai

pielonefritis. Untuk anak perempuan umur 2 bulan sampai 2 tahun, AAP membuat

patokan sederhana berdasarkan 5 gejala klinik yaitu:

1. suhu tubuh 39ºC atau lebih,

2. demam berlangsung dua hari atau lebih,

3. ras kulit putih,

4. umur di bawah satu tahun,

5. tidak ditemukan kemungkinan penyebab demam lainnya.


Bila ditemukan 2 atau lebih faktor risiko tersebut maka sensitivitas untuk

kemungkinan ISK mencapai 95% dengan spesifisitas 31%.

Pemeriksaan penunjang diagnosis ISK

Analisa urin rutin, pemeriksaan mikroskop urin segar tanpa puter, kultur

urin, serta jumlah kuman/mL urin merupakan protocol standar untuk pendekatan

diagnosis ISK. Pengambilan dan koleksi urin, suhu, dan teknik transportasi

sampel urin harus sesuai dengan protocol yang dianjurkan.

Investigasi lanjutan terutama renal imaging procedures tidak boleh rutin,

harus berdasarkan indikasi yang kuat. Pemeriksaan radiologis dimaksudkan untuk

mengetahui adanya batu atau kelainan anatomis yang merupakan faktor

predisposisi ISK. Renal imaging procedures untuk investigasi faktor predisposisi

ISK termasuklah ultrasonogram (USG), radiografi (foto polos perut, pielografi IV,

micturating cystogram), dan isotop scanning.

Pemeriksaan laboratorium

1. Urinalisis

a. Leukosuria

Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting terhadap

dugaan adalah ISK. Dinyatakan positif bila terdapat > 5 leukosit/lapang

pandang besar (LPB) sedimen air kemih. Adanya leukosit silinder pada

sediment urin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal. Namun adanya

leukosuria tidak selalu menyatakan adanya ISK karena dapat pula dijumpai
pada inflamasi tanpa infeksi. Apabila didapat leukosituri yang bermakna,

perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan kultur.

Leukosuria

b. Hematuria

Dipakai oleh beberapa peneliti sebagai petunjuk adanya ISK, yaitu bila

dijumpai 5-10 eritrosit/LPB sedimen urin. Dapat juga disebabkan oleh

berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun oleh

sebab lain misalnya urolitiasis, tumor ginjal, atau nekrosis papilaris.

2. Bakteriologis

a. Mikroskopis

Dapat digunakan urin segar tanpa diputar atau tanpa pewarnaan gram.

Dinyatakan positif bila dijumpai 1 bakteri /lapangan pandang minyak

emersi.

b. Biakan bakteri
Gambar 2.2. Biakan bakteri

Dimaksudkan untuk memastikan diagnosis ISK yaitu bila ditemukan bakteri

dalam jumlah bermakna sesuai dengan criteria Cattell, 1996:

• Wanita, simtomatik

>102 organisme koliform/ml urin plus piuria,

atau 105 organisme pathogen apapun/ml urin,

atau Adanya pertumbuhan organisme pathogen apapun pada urin yang

diambil dengan cara aspirasi suprapubik

• Laki-laki, simtomatik >103 organisme patogen/ml urin

• Pasien asimtomatik 105 organisme patogen/ml urin pada 2 contoh urin

berurutan.

3. Tes kimiawi

Yang paling sering dipakai ialah tes reduksi griess nitrate. Dasarnya

adalah sebagian besar mikroba kecuali enterokoki, mereduksi nitrat bila dijumpai

lebih dari 100.000 - 1.000.000 bakteri. Konversi ini dapat dijumpai dengan

perubahan warna pada uji tarik. Sensitivitas 90,7% dan spesifisitas 99,1% untuk
mendeteksi Gram-negatif. Hasil palsu terjadi bila pasien sebelumnya diet rendah

nitrat, diuresis banyak, infeksi oleh enterokoki dan asinetobakter.

4. Tes Plat-Celup (Dip-slide)

Gambar 2.3. Plat celup

Lempeng plastik bertangkai dimana kedua sisi permukaannya dilapisi

perbenihan padat khusus dicelupkan ke dalam urin pasien atau dengan digenangi

urin. Setelah itu lempeng dimasukkan kembali ke dalam tabung plastik tempat

penyimpanan semula, lalu dilakukan pengeraman semalaman pada suhu 37° C.

Penentuan jumlah kuman/ml dilakukan dengan membandingkan pola

pertumbuhan pada lempeng perbenihan dengan serangkaian gambar yang


memperlihatkan keadaan kepadatan koloni yang sesuai dengan jumlah kuman

antara 1000 dan 10.000.000 dalam tiap ml urin yang diperiksa. Cara ini mudah

dilakukan, murah dan cukup akurat. Tetapi jenis kuman dan kepekaannya tidak

dapat diketahui.

PENGELOLAAN

Prinsip pengelolaan ISK pada anak mencakup 3 hal :


1. Eradikasi kuman pathogen penyebab infeksi dengan antibiotika
2. Mencari kemungkinan adanya kelainan anatomi atau fungsional pada saluran
kemih
3. Mencegah adanya kekambuhan

PENATALAKSANAAN

Tata laksana Tata laksana ISK didasarkan pada beberapa faktor seperti

umur pasien, lokasi infeksi,gejala klinis, dan ada tidaknya kelainan yang

menyertai ISK. Sistitis dan pielonefritis memerlukan pengobatan yang berbeda.

Keterlambatan pemberian antibiotik merupakan faktor risiko penting terhadap

terjadinya jaringan parut pada pielonefritis. Sebelum pemberian antibiotik,

terlebih dahulu diambil sampel urin untuk pemeriksaan biakan urin dan resistensi

antimikroba. Penanganan ISK pada anak yang dilakukan lebih awal dan tepat

dapat mencegah terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut.

Sampai saat ini masih belum ada keseragaman dalam penanganan ISK

pada anak, dan masih terdapat beberapa hal yang masih kontroversi. Beberapa

protokol penanganan ISK telah dibuat berdasarkan hasil penelitian multisenter

berupa uji klinis dan meta-analisis, meskipun terdapat beberapa perbedaan tetapi

protokol penanganan ini saling melengkapi. Secara garis besar, tata laksana ISK
terdiri atas: 1. Eradikasi infeksi akut, 2. Deteksi dan tata laksana kelainan anatomi

dan fungsional pada ginjal dan saluran kemih, dan 3. Deteksi dan mencegah

infeksi berulang.

1. Eradikasi infeksi akut

Tujuan eradikasi infeksi akut adalah mengatasi keadaan akut, mencegah

terjadinya urosepsis dan kerusakan parenkhim ginjal. Jika seorang anak dicurigai

ISK, berikan antibiotik dengan kemungkinan yang paling sesuai sambil menunggu

hasil biakan urin, dan terapi selanjutnya disesuaikan dengan hasil biakan urin.

Pemilihan antibiotik harus didasarkan pada pola resistensi kuman setempat atau

lokal, dan bila tidak ada dapat digunakan profil kepekaan kuman yang terdapat

dalam literatur.

Umumnya hasil pengobatan sudah tampak dalam 48-72 jam pengobatan. Bila

dalam waktu tersebut respon klinik belum terlihat mungkin antibiotik yang

diberikan tidak sesuai atau mungkin yang dihadapi adalah ISK kompleks,

sehingga antibiotik dapat diganti. Selain pemberian antibiotik, dianjurkan untuk

meningkatkan asupan cairan. Penelitian tentang lama pemberian antibiotik pada

sistitis menunjukkan tidak ada perbedaan dalam outcome anak dengan pemberian

antibiotik jangka pendek dibandingkan dengan jangka panjang. Oleh karena itu,

pada sistitis diberikan antibiotik jangka pendek. Biasanya, untuk pengobatan ISK

simpleks diberikan antibiotik per oral selama 7 hari, tetapi ada penelitian yang

melaporkan pemberian antibiotik per oral dengan waktu yang lebih singkat (3-5

hari), dan efektifitasnya sama dengan pemberian selama 7 hari. NICE

merekomendasikan penanganan ISK fase akut, sebagai berikut:


1. Bayi < 3 bulan dengan kemungkinan ISK harus segera dirujuk ke dokter

spesialis anak, pengobatan harus dengan antibiotik parenteral.

2. Bayi ≥ 3 bulan dengan pielonefritis akut/ISK atas :

•Pertimbangkan untuk dirujuk ke spesialis anak .

•Terapi dengan antibiotik oral 7-10 hari, dengan antibiotik yang resistensinya

masih rendah berdasarkan pola resistensi kuman, seperti sefalosporin atau ko-

amoksiklav.

•Jika antibiotik per oral tidak dapat digunakan, terapi dengan antibiotik

parenteral, seperti sefotaksim atau seftriakson selama 2-4 hari dilanjutkan

dengan antibiotik per oral hingga total lama pemberian 10 hari.

3.Bayi ≥ 3 bulan dengan sistitis/ ISK bawah:

• Berikan antibiotik oral selama 3 hari berdasarkan pola resistensi kuman

setempat. Bila tidak ada hasil pola resistensi kuman, dapat diberikan

trimetroprim, sefalosporin, atau amoksisilin.

• Bila dalam 24-48 jam belum ada perbaikan klinis harus dinilai kembali,

dilakukan pemeriksaan kultur urin untuk melihat pertumbuhan bakteri dan

kepekaan terhadap obat.

Di negara berkembang didapatkan resistensi kuman uropatogen yang tinggi

terhadap ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol, sedangkan sensitivitas

sebagian besar kuman patogen dalam urin mendekati 96% terhadap gentamisin

dan seftriakson. Berbagai antibiotik dapat digunakan untuk pengobatan ISK, baik

antibiotik yang diberikan secara oral maupun parenteral, seperti terlihat pada tabel

1 dan tabel 2.

Tabel Pilihan antimikroba oral pada infeksi saluran kemih


Tabel Pilihan antimikroba parenteral pada infeksi saluran kemih.

Pengobatan sistitis akut

Anak dengan sistitis diobati dengan antibiotik per oral dan umumnya tidak

memerlukan perawatan di rumah sakit,namun bila gejala klinik cukup berat

misalnya rasa sakit yang hebat, toksik, muntah dan dehidrasi, anak harus dirawat

di rumah sakit dan diberi pengobatan parenteral hingga gejala klinik membaik.

Lama pengobatan umumnya 5 – 7 hari, meskipun ada yang memberikan 3-5 hari,
6 atau 7 hari. Untuk sistitis akut, direkomendasikan pemberian antibiotik oral

seperti trimetoprim-sulfametoksazol, nitrofurantoin, amoksisilin, amoksisilin-

klavulanat, sefaleksin, dan sefiksim. Golongan sefalosporin sebaiknya tidak

diberikan untuk menghindari resistensi kuman dan dicadangkan untuk terapi

pielonefritis. Pemberian sefiksim pada sistitis akut terlalu berlebihan. ISK

simpleks umumnya memberikan respon yang baik dengan amoksisilin,

sulfonamid, trimetoprim-sulfametoksazol, atau sefalosporin.

Pengobatan pielonefritis

Para ahli sepakat bahwa antibiotik untuk pielonefritis akut harus

mempunyai penetrasi yang baik ke jaringan karena pielonefritis akut merupakan

nefritis interstitialis. Belum ada penelitian tentang lamanya pemberian antibiotik

pada pielonefritis akut, tetapi umumnya antibiotik diberikan selama 7-10 hari,

meskipun ada yang menuliskan 7-14 hari. atau 10-14 hari. Pemberian antibiotik

parenteral selama 7 - 14 hari sangat efektif dalam mengatasi infeksi pada

pielonefritis akut, tetapi lamanya pemberian parenteral menimbulkan berbagai

permasalahan seperti masalah kesulitan teknik pemberian obat, pasien

memerlukan perawatan, biaya pengobatan yang relatif mahal, dan

ketidaknyamanan bagi pasien dan orangtua, sehingga dipikirkan untuk

mempersingkat pemberian parenteral dan diganti dengan pemberian oral.

Biasanya perbaikan klinis sudah terlihat dalam 24-48 jam pemberian

antibiotik parenteral. sehingga setelah perbaikan klinis, antibiotik dilanjutkan

dengan pemberian antibiotik per oral sampai selama 7-14 hari pengobatan. Secara

teoritis pemberian antibiotik yang lebih singkat pada anak mempunyai


keuntungan antara lain efek samping obat lebih sedikit dan kemungkinan

terjadinya resistensi kuman terhadap obat lebih sedikit.

Pada kebanyakan kasus, antibiotik parenteral dapat dilanjutkan dengan

oral setelah 5 hari pengobatan bila respons klinik terlihat dengan nyata atau

setidak-tidaknya demam telah turun dalam 48 jam pertama. Tidak ada bukti yang

meyakinkan bahwa pengobatan 14 hari lebih efektif atau dapat mengurangi risiko

kekambuhan.

Dianjurkan pemberian profilaksis antibiotik setelah pengobatan fase akut

sambil menunggu hasil pemeriksaan pencitraan. Bila ternyata kasus yang dihadapi

termasuk ke dalam ISK kompleks (adanya refluks atau obstruksi) maka

pengobatan profilaksis dapat dilanjutkan lebih lama. Berbagai penelitian untuk

membandingkan pemberian antibiotik parenteral dengan antibiotik per oral telah

dilakukan.

Hoberman dkk. melakukan penelitian multisenter, uji klinik tersamar

(randomized clinical trial) pada 306 anak dengan ISK dan demam, yang diterapi

dengan sefiksim oral dan dibandingkan dengan sefotaksim selama 3 hari yang

dilanjutkan dengan sefiksim per oral sampai 14 hari, dan hasil pengobatan tidak

berbeda bermakna. Disimpulkan bahwa sefiksim per oral dapat direkomendasikan

sebagai terapi yang aman dan efektif pada anak yang menderita ISK dengan

demam.

Montini dkk., melaporkan penelitian pada 502 anak dengan diagnosis

pielonefritis akut, yang diterapi dengan antibiotik ko-amoksiklav peroral (50

mg/kgbb/hari dalam 3 dosis) selama 10 hari dibandingkan dengan seftriakson

parenteral (50 mg/kgbb/hari dosis tunggal) selama 3 hari, dilanjutkan dengan


pemberian ko-amoksiklav peroral (50 mg/kgbb/hari dalam 3 dosis) selama 7 hari.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pielonefritis akut, efektivitas antibiotik

parenteral selama 10 hari sama dengan antibiotik parenteral yang dilanjutkan

dengan pemberian per oral.

Pengobatan ISK pada neonatus

Pada masa neonatus, gejala klinik ISK tidak spesifik dapat berupa apati,

anoreksia, ikterus, gagal tumbuh, muntah, diare, demam, hipotermia, tidak mau

minum, oliguria, iritabel, atau distensi abdomen. Kemampuan neonatus mengatasi

infeksi yang belum berkembang menyebabkan mudah terjadi sepsis atau

meningitis, terutama pada neonatus dengan kelainan saluran kemih.

Pengobatan terutama ditujukan untuk mengatasi infeksi bakteri Gram

negatif. Antibiotik harus segera diberikan secara intravena. Kombinasi

aminoglikosida dan ampisilin pada umumnya cukup memadai. Lama pemberian

antibiotik pada neonatus dengan ISK adalah 10-14 hari. Pemberian profilaksis

antibiotik segera diberikan setelah selesai pengobatan fase akut.

Bakteriuria asimtomatik

Pada beberapa kasus ditemukan pertumbuhan kuman > 105 cfu/mL dalam

urin tanpa gejala klinik, baik gejala klinik ISK bawah (disuria, urgency, dan

frekuensi) ataupun gejala klinik ISK atas seperti demam, menggigil, nyeri sekitar

ginjal. Bakteri pada bakteriuria asimtomatik biasanya bakteri dengan virulensi

rendah dan tidak punya kemampuan untuk menyebabkan kerusakan ginjal

meskipun kuman tersebut mencapai ginjal.

Secara umum disepakati bahwa bakteriuria asimtomatik tidak memerlukan

terapi antibiotik, malah pemberian antibiotik dapat menambah risiko komplikasi


antara lain meningkatkan rekurensi pada 80% kasus. Kuman komensal dan

virulensi rendah pada saluran kemih dapat menghambat invasi kuman patogen,

dengan demikian kuman komensal tersebut dianggap berfungsi sebagai profilaksis

biologik terhadap kolonisasi kuman patogen.

Pengobatan suportif

Selain terapi kausal terhadap infeksi, pengobatan suportif dan simtomatik

juga perlu diperhatikan, misalnya pengobatan terhadap demam dan muntah.

Terapi cairan harus adekuat untuk menjamin diuresis yang lancar. Anak yang

sudah besar dapat disuruh untuk mengosongkan kandung kemih setiap miksi.

Higiene perineum perlu ditekankan terutama pada anak perempuan. Untuk

mengatasi disuria dapat diberikan fenazopiridin HCl (Pyridium) dengan dosis 7 –

10 mg/ kgbb/hari. Perawatan di rumah sakit diperlukan bagi pasien sakit berat

seperti demam tinggi, muntah, sakit perut maupun sakit pinggang.

2. Deteksi kelainan anatomi dan fungsional serta tata laksananya

Deteksi kelainan anatomi atau fungsional ginjal saluran kemih dilakukan

untuk mencari faktor predisposisi terjadinya ISK dengan pemeriksaan fisik dan

pencitraan. Dengan pemeriksaan fisik saja dapat ditemukan sinekia vagina pada

anak perempuan, fimosis, hipospadia, epispadia pada anak laki-laki. Pada tulang

belakang, adanya spina bifida atau dimple mengarah ke neurogenic bladder.

Pemeriksaan pencitraan sangat penting untuk melihat adanya kelainan

anatomi maupun fungsional ginjal dan saluran kemih, yang merupakan faktor

risiko terjadinya ISK berulang dan parut ginjal. Berbagai jenis pemeriksaan

pencitraan antara lain ultrasonografi (USG), miksio-sistouretrografi (MSU), PIV


(pielografi inravena), skintigrafi DMSA (dimercapto succinic acid), CT-scan atau

magnetic resonance imaging (MRI). Dulu, PIV merupakan pemeriksaan yang

sering digunakan, tetapi belakangan ini tidak lagi rutin digunakan pada ISK

karena berbagai faktor antara lain efek radiasi yang multipel, risiko syok

anafilaktik, risiko nekrosis tubular akut, jaringan parut baru terlihat setelah

beberapa bulan atau tahun, tidak dapat memperlihatkan jaringan parut pada

permukaan anterior dan posterior. PIV digunakan untuk kasus tertentu, misalnya

untuk melihat gambaran anatomi jika tidak jelas terlihat dengan USG dan

skintigrafi DMSA, misalnya ginjal tapal kuda. Berdasarkan studi tentang untung-

ruginya pemeriksaan pencitraan ( cost-effectiveness), Stark (1997) mengajukan

alternatif pilihan pemeriksaan pencitraan sebagai berikut:

1. Anak yang diduga menderita pielonefritis akut dan semua bayi yang menderita

ISK perlu pemeriksaan USG dan MSU. Bila ditemukan RVU, pemeriksaan

PIV atau sintigrafi DMSA dapat dilakukan. Bila pada pemeriksaan USG

dicurigai adanya kelainan anatomik maka PIV lebih disarankan.

2. Anak perempuan dengan ISK bawah (sistitis) berulang sampai dua atau tiga

kali, atau ISK pertama dengan adanya riwayat RVU dalam keluarga,

diperlakukan seperti pilihan no. 1.

3. Sebagian besar anak perempuan dengan ISK serangan pertama atau ISK bawah

saja tidak memerlukan pemeriksaan pencitraan. Kelompok ini cukup dipantau

tiap 6-12 bulan dan biakan urin bila ada demam.

Guideline AAP (1999) merekomendasikan USG ginjal dan voiding

cyctoureterography (VCUG) atau sistografi radionuklir pada anak kurang dari 2


tahun setelah ISK pertama. Untuk anak yang lebih besar belum ada patokan.

Dalam algoritme disebutkan bila respons klinik dalam 48 jam pengobatan tidak

nyata maka perlu biakan urin ulangan dan USG sesegera mungkin, sedangkan

MSU atau sistografi radionuklid dilakukan setelah kondisi klinis mengijinkan.

Bila respons klinik baik maka USG maupun MSU/sistografi radionuklid

dilakukan setelah kondisi klinis memungkinkan.

AAP tidak merekomendasikan pemakaian PIV dalam tata laksana ISK.

Goldman dkk. menganjurkan bahwa USG dan MSU harus dilakukan secara rutin

pada ISK bayi laki-laki. Skintigrafi ginjal dipersiapkan bila pada USG diduga ada

kelainan ginjal atau bila pada MSU ditemukan refluks derajat III atau lebih. CHN

guideline merekomendasikan pemeriksaan USG terhadap semua anak dengan ISK

pertama kali, dan terhadap semua anak dengan ISK febris pertama sekali

dilakukan pemeriksaan VCUG 7-10 hari setelah pengobatan selesai.

Pemeriksaan pencitraan dibedakan berdasarkan kelompok umur, yaitu umur

< 2 tahun, 2-5 tahun, dan di atas 5 tahun. Pada kelompok umur < 2 tahun,

dilakukan pemeriksaan USG dan MSU, dan jika ditemukan kelainan, dilanjutkan

dengan PIV atau DMSA, sedangkan jika tidak ada kelainan, anak diobservasi

saja.. Pada kelompok umur 2-5 tahun, dilakukan pemeriksaan USG dan jika

ditemukan kelainan, dilanjutkan dengan MSU, dan jika dengan MSU ditemukan

kelainan, pemeriksaan dilanjutkan dengan PIV atau DMSA. Pada kelompok umur

> 5 tahun, dilakukan USG dan jika terdapat kelainan, dilanjutkan dengan PIV atau

DMSA, kemudian dengan MSU jika hasilnya abnormal.

Dalam kaitannya dengan pencitraan, Lambert dan Coulthard (2003)

membagi anak dalam 3 kelompok yaitu 0-1 tahun, 1-4 tahun, dan anak yang lebih
besar,dan tidak menganurkan pemeriksan PIV. Pada 0-1 tahun, dilakukan

pemeriksaan USG untuk mengetahui gambaran anatomi, skintigrafi DMSA untuk

mendeteksi jaringan parut, dan MSU untuk mendeteksi refluks vesiko-ureter serta

gambaran anatomi kandung kemih dan uretra. Pada kelompok umur 1-4 tahun,

tidak ada konsensus pemeriksaan yang tegas.

USG dan skintigrafi DMSA merupakan pemeriksaan yang sering

digunakan. MSU dilakukan jika terdapat kecurigaan terhadap RVU misalnya

terdapat riwayat keluarga dengan RVU atau pada pemeriksaan antenatal terdapat

dilatasi ginjal. Pada anak besar, dianjurkan hanya dengan USG, sedangkan

pemeriksaan skintigrafi DMSA dan MSU dilakukan atas indikasi.

Sebelum tahun 2006, perhimpunan dokter anak merekomendasikan

pemeriksaan VCUG dilakukan secara rutin pada semua anak dengan ISK febris

pertama kali. Dengan pemeriksaan ini, RVU ditemukan pada 20-40% pasien dan

sebagian besar di antaranya RVU derajat rendah.

Berdasarkan State of art Conference Swedia, pada anak di atas 2 tahun,

skintigrafi DMSA dengan USG merupakan pemeriksaan yang dianjurkan. VCUG

hanya dilakukan jika skintigrafi DMSA abnormal.

Pada 2007, NICE mendefinisikan anak dengan risiko tinggi yaitu: 1. anak

dengan prokalsitonin yang tinggi karena sensitivitas yang tinggi terhadap refluks

derajat berat, 2. bayi kurang dari 6 bulan dengan demam tinggi, ISK berulang, dan

gejala klinis berupa gangguan aliran air kemih atau ginjal yang teraba, infeksi

dengan organisme atipik, bakteremia atau septikemia, manifestasi klinik yang

lama dan tidak memberikan respon terhadap antibiotik dalam waktu 48- 72 jam;
presentasi klinis yang tidak lazim seperti anak lelaki yang lebih tua atau dengan

abnormalitas saluran kemih pada saat pemeriksaan USG antenatal.

Anak dengan risiko tinggi tersebut perlu diperiksa USG dan VCUG pada

episode pertama ISK. NICE membuat rekomendasi pemeriksan pencitraan pada

anak dengan ISK, yang dibedakan menjadi rekomendasi untuk bayi < 6 bulan,

untuk bayi 6 bulan hingga 3 tahun, dan untuk anak > 3 tahun. Masing-masing

kelompok umur dibedakan lagi menjadi ISK yang memberikan respon yang baik

terhadap antibiotik dalam waktu 48 jam, ISK atipik, dan ISK berulang/rekuren.

Pada semua kelompok umur yang memberikan respon yang baik terhadap

antibiotik dalam waktu 48 jam, tidak diperlukan pemeriksaan pencitraan kecuali

pada kelompok umur < bulan, yaitu pemeriksaan USG dalam waktu 6 minggu.

Pada kelompok umur < 6 bulan, dilakukan pemeriksaan USG, DMSA, dan MSU

baik pada ISK atipik maupun ISK berulang.

Pada kelompok umur 6 bulan – 3 tahun, baik pada ISK atipik maupun

berulang dilakukan pemeriksaan USG dan DMSA, dan jika perlu dilakukan

pemeriksaan MSU. Pada kelompok umur > 3 tahun, pada ISK atipik dilakukan

pemeriksaan USG, sedangkan pada ISK berulang dilakukan USG dan DMSA.

Pemeriksaan pencitraan hendaknya memperhatikan faktor untung rugi (

cost-effectiveness), faktor tekanan psikologik terhadap anak dan orangtua akibat

pemeriksaan invasif, bahaya radiasi, dan sebagainya dibandingkan dengan

manfaatnya untuk tindakan pengobatan, pencegahan infeksi berulang, terutama

pencegahan timbulnya parut ginjal. Hingga saat ini belum ada kesepakatan

tentang seberapa jauh pemeriksaan pencitraan perlu dilakukan.


Para klinikus mengakui tidak ada satupun metode pencitraan yang secara

tunggal dapat diandalkan untuk mencari faktor predisposisi ISK. Masing-masing

pemeriksaan tersebut memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing,

sehingga sering diperlukan kombinasi beberapa pemeriksaan. Pilihan pemeriksaan

pencitraan hendaknya ditentukan oleh tersedianya alat pencitraan pada setiap

tempat atau institusi.

3. Deteksi dan mencegah infeksi berulang

Infeksi berulang terutama pielonefritis akut merupakan faktor yang berperan

dalam terjadinya parut ginjal. Diperkirakan 40 – 50% kasus ISK simtomatik akan

mengalami infeksi berulang dalam dua tahun pengamatan dan umumnya berupa

reinfeksi, bukan relaps. Deteksi ISK berulang dilakukan dengan biakan urin

berkala, misalnya setiap bulan, kemudian dilanjutkan dengan setiap 3 bulan. Jika

terdapat ISK berulang, berikan antibiotik yang sesuai dengan hasil biakan urin.

Beberapa faktor berperan dalam terjadinya ISK berulang, terutama pada

anak perempuan, antara lain infestasi parasit seperti cacing benang, pemakaian

bubble bath, pakaian dalam terlalu sempit, pemakaian deodorant yang bersifat

iritatif terhadap mukosa perineum dan vulva, pemakaian toilet paper yang salah,

konstipasi, ketidak mampuan pengosongan kandung kemih secara sempurna, baik

akibat gangguan neurologik (neurogenic bladder) maupun faktor lain (non

neurogenic bladder), RVU, preputium yang belum disirkumsisi.

ISK berulang dapat dicegah dengan meningkatkan keadaan umum pasien

termasuk memperbaiki status gizi, edukasi tentang pola hidup sehat, dan

menghilangkan atau mengatasi faktor risiko. Asupan cairan yang tinggi dan miksi

yang teratur bermanfaat mencegah ISK berulang. Pada kasus refluks dianjurkan
miksi berganda (double micturation maupun tripple micturation). Koreksi bedah

terhadap kelainan struktural seperti obstruksi, refluks derajat tinggi, urolitiasis,

katup uretra posterior, ureterokel dan ureter dupleks yang disertai obstruksi sangat

bermanfaat untuk mengatasi infeksi berulang. Indikasi tindakan bedah harus

dilihat kasus per kasus. Risiko terjadinya ISK pada bayi laki-laki yang tidak

disirkumsisi meningkat 3-15 kali dibandingkan dengan bayi laki-laki yang sudah

disirkumsisi. Tindakan sirkumsisi pada anak laki telah terbukti efektif

menurunkan insidens ISK.

Pemberian antibiotik profilaksis merupakan upaya pencegahan ISK

berulang yang sudah sejak lama dilaksanakan, namun belakangan ini pemberian

antibiotik profilaksis menjadi kontroversial dan sering diperdebatkan.

Pemberian profilaksis

Antimikroba profilaksis dosis rendah yang diberikan dalam jangka lama

telah digunakan secara tradisional terhadap pasien yang rentan terhadap

berulangnya pielonefritis akut atau ISK bawah. Terapi profilaksis tersebut sering

diberikan pada anak risiko tinggi seperti RVU, uropati obstruktif, dan berbagai

kondisi risiko tinggi lainnya. Namun demikian, efektivitas antibiotik profilaksis

ini sering dipertanyakan dan masih kontroversial. Antibiotik profilaksis bertujuan

untuk mencegah infeksi berulang dan mencegah terjadinya parut ginjal. Berbagai

penelitian telah membuktikan efektivitas antibiotik profilaksis menurunkan risiko

terjadinya ISK berulang pada anak, dan kurang dari 50% yang mengalami infeksi

berulang selama pengamatan 5 tahun. Antibiotik profilaksis dimaksudkan untuk

mencapai konsentrasi antibiotik yang tinggi dalam urin tetapi dengan efek yang

minimal terhadap flora normal dalam tubuh. Beberapa antibiotik dapat digunakan
sebagai profilaksis. Pemberian profilaksis menjadi masalah karena beberapa hal

antara lain kepatuhan yang kurang, resistensi kuman yang meningkat, timbulnya

reaksi simpang (gangguan saluran cerna, skin rashes, hepatotoksik, kelainan

hematologi, sindrom Stevens-Johnson), dan tidak nyaman untuk pasien. Beberapa

penelitian akhir-akhir ini menyebutkan bahwa pada RVU derajat rendah, tidak

terdapat perbedaan bermakna dalam risiko terjadinya ISK pada kelompok yang

mendapat antibiotik profilaksis dengan yang tidak diobati. Dengan demikian,

antibiotik profilaksis tidak perlu diberikan pada RVU derajat rendah.

The International VUR Study of Children melakukan penelitian untuk

membandingkan efektivitas pemberian antibiotik profilaksis jangka lama dengan

tindakan operasi pada anak dengan RVU derajat tinggi untuk mencegah

penurunan fungsi ginjal. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan

pada kedua kelompok tersebut dalam hal terjadinya parut ginjal dan

komplikasinya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis

pada RVU derajat tinggi ternyata efektif.

Montini dan Hewitt (2009) melakukan review terhadap berbagai penelitan

tentang pemberian antibiotik profilaksis dan membuat beberapa kesimpulan,

meskipun masih banyak hal-hal yang belum dapat disimpulkan. 1. Antibiotik

profilaksis tidak terindikasi pada ISK demam yang pertama kali (first febrile UTI)

yang tidak disertai RVU atau hanya RVU derajat I dan II. Ada 3 alasan terhadap

kesimpulan ini yaitu: a. penelitian metaanalisis menunjukkan tidak ada

keuntungan pemberian antibiotik profilaksis. b. terdapat risiko meningkatnya

resistensi terhadap bakteri. c. frekuensi terjadinya reinfeksi rendah. 2. Untuk

refluks derajat tinggi, tidak dapat diambil kesimpulan yang jelas, dengan alasan: a.
persentase reinfeksi lebih tinggi pada RVU derajat III dibandingkan dengan

derajat 0, I, dan II. b. penelitian metaanalisis membuktikan bahwa dengan

antibiotik profilaksis tidak terdapat keuntungan yang bermakna pada kelompok

ini, namun jumlah pasien yang diikutkan dalam penelitian tersebut tidak

mencukupi.

NICE (2007) merekomendasikan bahwa antibotik profilaksis tidak rutin

diberikan pada bayi dan anak yang mengalami ISK untuk pertama kali. Antibiotik

profilaksis dipertimbangkan pada bayi dan anak dengan ISK berulang. Selain itu

direkomendasikan juga bahwa jika bayi dan anak yang mendapat antiboitik

profilaksis mengalami reinfeksi, maka infeksi diterapi dengan antibiotik yang

berbeda dan tidak dengan menaikkan dosis antibiotik profilaksis tersebut.

Belum diketahui berapa lama sesungguhnya jangka waktu optimum

pemberian antibiotik profilaksis. Ada yang mengusulkan antibiotik profilaksis

diberikan selama RVU masih ada dan yang lain mengusulkan pemberian yang

lebih singkat. Pada ISK kompleks pemberian profilaksis dapat berlangsung 3 - 4

bulan. Bila ternyata kasus yang dihadapi termasuk ke dalam ISK kompleks

(adanya refluks atau obstruksi) maka pemberian profilaksis dapat dilanjutkan

lebih lama.
Selain antibiotik, dilaporkan penggunaan probiotik sebagai profilaksis yaitu

Lactobacillus rhamnosus dan Laktobasilus reuteri (L. fermentum); serta cranberry

juice.

1. Non-Farmakoterapi

Untuk mencegah kekambuhan

a. Perawatan umum

b. Cairan/minuman yang cukup

c. Kebersihan daerah perineum

d. Hindari pakaian dalam terlalu ketat

e. Jangan mandi berendam

f. Hindari konstipasi

g. Hindari kebiasaan menahan buang air kecil

2. Farmakoterapi

Antibiotik
a. Eradikasi kuman pathogen penyebab infeksi

b. Sebelum ada hasil biakan dan tes kepekaan, berikan antibiotik yang efektif

dan mempunyai efek samping kecil.

c. Pengobatan infeksi akut 5-7 hari.

d. Cara pemberian obat tergantung pada berat-ringannya infeksi.

e. Pengobatan dianggap efektif bila gejala klinis hilang disertai biakan

menjadi negative paling lama 4 hari setelah pengobatan.

f. Antibiotik profilaksis diberikan pada penderita:

 ISK dengan penyulit berulang ≥3 kali/tahun  selama 1-2 tahun

 ISK tanpa penyulit berulang ≥3 kali/tahun  selam 3-6 bulan

 Berikan Nitrofurantoin dan kotrimoksazol dengan dosis 1/4-1/3 dosis

terapeutik, dalam 2 dosis atau dosis tunggal.

g. Pencegahan infeksi berulang

 Nitrofurantoin : 1-2 mg/kgBB/hari

 Trimetroprim : 1-2 mg/kgBB/hari

 Sulfametoksazol : 5-10 mg/kgBB/hari

Tabel 2.4. Antibiotik pilihan untuk ISK pada anak


Nama obat Dosis Interval Catatan
mg/kgBB/hari
Amoksisilin 50-100 8 jam po, iv, im Tidak pada alergi penisilin

Ampisilin 50-100 6-8 jam po, iv Tidak pada alergi penisilin

100-200

Trimetroprim 6-12 12 jam Tidak pada usia <6 minggu

Sulfametoksazol 30-60 12 jam po, iv Tidak pada usia <6 minggu

Nitrofurantoin 5-7 6-8 jam po, iv Tidak pada usia <4 minggu
atau GFR <50%
Karbenesilin 200-400 6 jam po Untuk Pseudomonas

Sefaleksin 25-100 6 jam po Pengganti penisilin

Sefazolin 25-100 6-8 jam im, iv Untuk Klebsiella

Tobramisin 5-7 8 jam im Infeksi gram (-),


Pseudomonas

Asam nadiliksat 60 6-8 jam po Cepat resisten

Gentamisin 3-7 8-12 jam im, iv

Amikasin 7 12 jam iv

Sefiksim 8 12 jam

Seftriakson 75 12-24 jam im, iv

Sefotaksim 150 6-8 jam im, iv

Seftazisim 150 6-8 jam im, iv


Catatan :
 Bayi <5 minggu jangan diberikan nitrofurantoin, tetapi dapat diberikan sefalosporin generasi I
(sefaleksin), 10 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, diberikan malam hari sampai usia bayi 6
minggu.
 Pemeriksaan radiologi untuk menentukan kelainan obstruktif meliputi IVP,
mixiourethrography (MCU), USG, kedokteran nuklir dan tomograsi komputer yang dilakukan
setelah 4-6 minggu sesudah infeksi teratasi. Intervensi urologis dilakukan jika ada tindakan
bedah.

* Antibiotik harus memenuhi syarat-syarat sbb:


1. Mempunyai afinitas bakterisidal atau bakteriostatik yang tinggi
2. Tidak memlunyai efek samping terhadap alat tubuh
3. Segera setelah pemberian, kadar obat di dalam air kemih meningkat tinggi
4. Mudah diberikan dan cukup murah
5. Kuman tidak mudah resisten

Indikasi rawat

ISK yang memerlukan tindakan rawat inap antara lain, ISK pada neonatus,

pielonefritis akut, ISK dengan komplikasi seperti gagal ginjal, hipertensi, ISK

disertai sepsis atau syok, ISK dengan gejala klinik yang berat seperti rasa sakit

yang hebat, toksik, kesulitan asupan oral, muntah dan dehidrasi. ISK dengan
kelainan urologi yang kompleks, ISK dengan organisme resisten terhadap

antibiotik oral, atau terdapat masalah psikologis seperti orangtua yang tidak

mampu merawat anak.

Komplikasi

ISK dapat menyebabkan gagal ginjal kronik, bakteremia, sepsis, abses

perinefrik dan meningitis. Komplikasi ISK jangka panjang adalah parut ginjal,

hipertensi, gagal ginjal, komplikasi pada masa kehamilan seperti preeklampsia.

Parut ginjal terjadi pada 8-40% pasien setelah mengalami episode pielonefritis

akut. Faktor risiko terjadinya parut ginjal antara lain umur muda, keterlambatan

pemberian antibiotik dalam tata laksana ISK, infeksi berulang, RVU, dan

obstruksi saluran kemih.

Prognosis

Tergantung ada atau tidaknya kelainan anatomi, usia, dan kecepatan serta

ketepatan terapi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Dr. Taralan Tambunan, Sp.A(K) Prof. Dr. Husein Alatas, dkk.

Konsensus Infeksi Saluran Kemih Pada Anak. Dalam : ikatan dokter anak

indonesia (idai) unit kerja koordinasi (ukk) nefrologi. Jakarta 2011

2. Jones KV, Asscher AW. Urinary tract infection and vesico-ureteral reflux.

Dalam: Edelmann CM, Bernstein J, Meadow SR, Spitzer A, Travis LB,

penyunting. Pediatric Kidney Disease vol. II edisi ke-2. Boston: Little Brown,

1992;h.1943-91

3. Kher KK, Leichter HE. Urinary tract infection. Dalam: Kher KK, Makker SP,

penyunting. Clinical Pediatric Nephrology. New York; McGraw-

Hill;1992:h.277- 321.

4. Lambert H, Coultard M. The child with urinary tract infection. Dalam: Webb

NJA, Postlethwaite RJ, penyunting, Clinical Paediatric Nephrology, edisi ke-3,

Oxford, Oxford University Press, 2013,h.197-225.

5. Stamm WE. Urinary tract infection. Dalam: Greenberg A, Cheny AK, Coffman

TM, Falk RJ, Jennette JC, penyunting, Primer on kidney diseases: San Diego:

National Kidney Foundation, Academic Press, 2011;h.243-6

6. Bensman A, Dunand O, Ulinski T. Urinary tract infection. Dalam: Avner ED,

Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, penyunting. Pediatric Nephrology,

edisi ke-6, Springer- Verlag, Berlin Heidelberg, 2010,h.1229-310.

7. Down SM. Technical report: Urinary tract infection in febrile infants and

young children. Pediatrics 1999;103:e 54(p1-22, electronic article).


8. Farmaki E, Papachristou F, Winn RM, Karatzas N, Sotiriou J, Roilides E.

Transforming growth factor-β1 in the uribe of young children with urinary tract

infection. Pediatr Nephrol 2005;29:180-3. 9. Yilmaz A, Sevketoglu E,

Gedikbasi A, Karyagar S, Kiyak A, Mulazimoglu M, dkk. Early prediction of

urinary tract infection with urinary neutrophil gelatinase associated lipocalin.

Pediatr Nephrol 2010;24:2387-92.

10. Pecile P, Miorin E, Romanello C, Vidal E, Contrado M, Valent F. dkk. Age-

related renal parenchymal lesions in children with first febrile urinary tract

infections. Pediatrics 2010;124:23-9.

Anda mungkin juga menyukai