Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes masih menjadi masalah global. Penyakit ini merupakan salah
satu penyebab kematian terbanyak ketiga setelah penyakit kanker dan
kardiovakular pada penduduk dengan rentang usia 30-70 tahun.1 Diabetes
Melitus (DM) terdiri dari 2 tipe yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2 yang mana
DM tipe 2 ini adalah tipe yang paling sering ditemukan yaitu 90-95% dari
semua kasus diabetes yang ada.2 Berbagai penelitian epidemiologi
menunjukkan bahwa angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai
penjuru dunia akan cenderung meningkat. World Health Organization
(WHO) telah memprediksi akan terdapat peningkatan jumlah penderita DM
yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang, bahkan Indonesia kini telah
menduduki ranking keempat dengan jumlah penderita DM terbanyak setelah
Amerika Serikat, China dan India bahkan dipredikasikan kenaikan
prevalensinya dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada
tahun 2030.3 Menurut laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2013 terjadi peningkatan prevalensi DM dari 1,1% pada tahun 2007 menjadi
2,1% pada tahun 2013 untuk usia diatas 15 tahun (Riskeedes, 2013).
Prevalensi DM yang cenderung kian meningkat ini membuat banyak
peneliti tertarik untuk mengembangkan obat anti DM. Obat Hipoglikemik
Oral (OHO) merupakan pengobatan lini utama untuk DM tipe 2. Obat-obatan
hipoglikemik oral ini pun sudah banyak yang efektif menurunkan kadar gula
darah yang tinggi namun komplikasi yang ditimbulkan oleh DM itu sendiri
masih belum bisa dicegah dengan baik sehingga masih diperlukan upaya
untuk mencari obat baru dengan kemampuan anti diabetes fisiologis yang
tepat sasaran, aman dan mudah terjangkau/ekonomis. WHO (1980) juga
merekomendasikan melakukan analisis tumbuhan dengan efek hipoglikemia,
sehingga dapat ditemui bahan yang memiliki mekanisme kerja sebagai
antidiabetik yang mendekati proses fisiologis tubuh (Onojo,2012).
Pengobatan tradisional secara luas telah digunakan di seluruh dunia.
Pada konferensi internasional tentang pengobatan tradisional untuk negara-
negara Asia Tenggara pada bulan Februari 2013, terbukti obat tradisional
memiliki kualitas, aman, dan efisien. Diharapkan semua orang memiliki akses
ke pengobatan. Banyak obat-obatan herbal, pengobatan tradisional dan
praktik tradisional. Tiga hal ini merupakan sumber utama dari pengobatan
kesehatan dan kadang-kadang satu-satunya sumber pengobatan bagi jutaan
orang. Pengotabatan tradisional ini adalah pengobatan yang dekat dengan
rumah, mudah diakses, dan terjangkau. Hal ini juga diterima secara budaya
dan dipercaya oleh banyak orang. Keterjangkauan kebanyakan obat
tradisional membuat mereka semua lebih tertarik pada obat tradisional saat
melonjaknya biaya kesehatan dan bisa menghemat biaya.
Tanaman Syzygiumpolyanthum (wight) Walp telah banyak dikenal oleh
masyarakat Indonesia dengan sebutan daun salam. Tanaman ini tumbuh di
berbagai daerah, baik di pegunungan maupun di dataran rendah dan banyak
dikenal dengan nama pohon salam.13Daun salam biasanya banyak dikonsumsi
sebagai makanan atau pengobatan oleh masyarakat di Indonesia khususnya
daerah Sumatera, Jawa dan Bali.14Dan bisa digunakan sebagai pengobatan untuk
beberapa penyakit seperti diabetes, diare, dan darah tinggi.
Daun salam (Syzygium polyanthum) merupakan salah satu tanaman
yang secara luas digunakan sebagai salah satu bumbu masakan dan secara
tradisional digunakan dalam tatalaksana diabetes di Indonesia. Analisis
fitokimia menunjukkan bahwa di dalam daun salam terdapat kandungan
minyak esensial, tanin, flavonoid dan terpenoid. Flavonoid yang terkandung
di dalam daun salam merupakan salah satu golongan senyawa yang dapat
menurunkan kadar glukosa darah (Widyawati PS dkk, 2014).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Diabetes Melitus (DM)
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang ditandai
oleh hiper glikemia akibat kegagalan sekresi insulin, kerja insulin atau
keduanya. Penyakit ini bersifat kronis dan jumlah penderitanya terus
meningkat di seluruh dunia seiring dengan bertambahnya jumlah populasi,
usia, prevalensi obesitas dan penurunan aktivitas fisik. Akibatnya, jumlah
penderita akan menjadi dua kali lipat pada dekade berikutnya sehingga akan
menambah beban harga pelayanan di bidang kesehatan terutama di negara
berkembang. Hal ini menjadi masalah kesehatan yang penting karena
sebagian kasus diabetes melitus umumnya tidak terdiagnosis atau
undiagnosed diabetes melitus (UDDM) sehingga perlu upaya pemeriksaan
untuk mendeteksi lebih awal agar dapat mencegah terjadinya komplikasi
Menurut National Diabetes Fact Sheet 2014, total prevalensi
diabetes di Amerika tahun 2012 adalah 29,1 jutajiwa (9,3%). Dari data
tersebut 21 juta merupakan diabetes yang terdiagnosis dan 8,1 juta jiwa atau
27,8% termasuk kategori diabetes melitus tidak terdiagnosis. International
Diabetes Federation (IDF) tahun 2012 menyatakan bahwa prevalensi
diabetes melitus di Indonesia sekitar 4,8% dan lebih dari setengah kasus DM
(58,8%) adalah diabetes melitus tidak terdiagnosis. IDF juga menyatakan
bahwa sekitar 382 juta penduduk dunia menderita diabetes melitus pada tahun
2013 dengan kategori diabetes melitus tidak terdiagnosis adalah 46%,
diperkirakan prevalensinya akan terus meningkat dan mencapai 592 juta jiwa
pada tahun 2035.
DM terbagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe I dan tipe II. Individu yang
menderita DM tipe I memerlukan suplai insulin dari luar (eksogen insulin),
seperti injeksi untuk mempertahankan hidup, sedangkan individu dengan DM
tipe II resisten terhadap insulin, suatu kondisi dimana tubuh atau jaringan
tubuh tidak berespon terhadap aksi dari insulin (Lewis, Heitkemper &
Dirksen, 2004 dalam Sofiana, 2012).
Meningkatnya jumlah penderita DM dapat di sebabkan oleh banyak
faktor, diantaranya perubahan gaya hidup, pola makan yang salah, obat-
obatan yang mempengaruhi kadar glukosa darah, kurangnya aktivitas fisik,
proses menua, kehamilan, perokok dan stres (Muflihatin, 2015).
1. Klasifikasi DM
Tipe 1 : Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut
- Autoimun
- Idiopatik
Tipe 2 : Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin
disertai resistensi insulin
Tipe lain :
- Defek genetik fungsi sel beta,
- Defek genetik kerja insulin, Penyakit eksokrin pankreas
- Endokrinopati
- Karena obat atau zat kimia
- Infeksi
- Sebab imunologi yang jarang
- Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
- Diabetes mellitus
Gestasional (Perkeni, 2015).
2. Penegakkan diagnosis DM tipe 2
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena.Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang
diabetes.
3. Patofisiologi diabetes melitus tipe 2
Insulin dan glukagon adalah hormon utama yangmempertahankan
homeostasis glukosa untuk mengontrol kadar gula darah setelah
mengonsumsi makanan. Kebanyakan makanan dicerna di saluran
pencernaan bagian atas, terhidrolisis menjadi monosakarida dan diserap ke
dalam aliran darah melalui berbagai transporter glukosa (GLUT). 22,23
Pankreas kemudian menyekresikan insulin mengirim sinyal untuk
menurunkan glukosa darah dengan meningkatkan penyerapan glukosa
pada jaringan perifer (otot rangka, jaringan adiposa dan ginjal) dibantu
GLUT 4 ke sel, glukosa juga ada yang disimpan di hati (misalnya,
glikogenesis untuk penyimpanan glukosa menjadi glikogen.
Ketika konsentrasi glukosa darah menurun, glukagon disekresi dari
sel α pulau pankreas. Glukagon meningkatkan glukosa darah dengan
memproduksi glukosa memecah glikogen di hati dan meningkatkan
lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas (FFA) dari jaringan adiposa.
Oleh karena itu, kedua hormon ini sangat penting dalam proses mengatur
glukosa dalam jaringan pankreas, hati, otot rangka atau adiposa karena
dapat mempengaruhi homeostasis glukosa.
4. Penatalaksanaan diabetes melitus tipe2
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani selama beberapa waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah
belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat
hipoglikemik oral (OHO) dan/atau suntikan insulin.
Obat-obat OHO ini memiliki efek samping seperti sakit kepala,
pusing, mual, diare, rasa tidak nyaman di abdomen, hipoglikemia dan
anoreksia namun dikontraindikasikan untuk pasien yang mempunyai
penyakit hati dan penyakit ginjal.5,10Namun sudah banyak penelitian
untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya dengan cara pengobatan
alternatif menggunakan bahan alam seperti tanaman
herbal.9,10Pengobatan ini terbukti memiliki kualitas, aman, murah,
terjangkau, efisien dan memiliki efek samping yang minimal
B. Daun Salam
1. Kandungan senyawa kimia daun salam
Kandungan kimia yang terdapat pada daun salam adalah tannin,
flavonoid, minyak atsiri, sitral, eugenol, seskuiterpen, triterpenoid, steroid,
lakton, saponin dan karbohidrat. Selain itu, daun salam juga mengandung
beberapa vitamin, di antaranya vitamin C, vitamin A, thiamin, riboflavin,
niacin, vitamin B6, vitamin B12 dan folat. Bahkan mineral seperti
selenium terdapatdi dalam kandungan daun salam. Diketahui bahwa
senyawa eugenol, tannin dan flavonoid dalam daun salam bisa digunakan
untuk menurunkan kadar glukosa darah.
2. Potensi daun salam sebagai antidiabetes
Flavonoid yang merupakan senyawa polifenol dapat memberikan
aroma khas dan juga mempunyai sifat sebagai antioksidan, dimana
flavonoid diyakini dapat menurunkan kadar glukosa darah seseorang.26
Flavonoid dapat mencegah komplikasi atau progresifitas diabetes mellitus
dengan cara membersihkan radikal bebas yang berlebihan, memutuskan
rantai reaksi radikal bebas, mengikat ion logam (chelating) dan
memblokade jalur poliol dengan menghambat enzim aldose reduktase.
Flavonoid juga memiliki efek penghambatan terhadap enzim alfa
gukosidase melalui ikatan hidroksilasi dan substitusi pada cincin β. Prinsip
penghambatan ini serupa dengan acarbose yang selama ini digunakan
sebagai obat untuk penanganan diabetes mellitus, yaitu dengan
menghasilkan penundaan hidrolisis karbohidrat, disakarida dan absorpsi
glukosa serta menghambat metabolisme sukrosa menjadi glukosa dan
fruktosa.
Tanin yang dapat terhidrolisis dibagi menjadi 2 yaitu ellagitanin
dan gallotanin. Ellagitanin memiliki beberapa turunan yaitu lagerstroemi,
flosin B dan reginin A. Dan memiliki sifat yang mirip dengan hormon
insulin (insulin-like compound). Tiga senyawa ini mampu meningkatkan
aktivitas transport glukosa ke dalam sel adiposa secara in vitro. Sedangkan
untuk gallotanin dapat meningkatkan fungsi penyerapan glukosa sekaligus
dapat menghambat adipogenesis.28Tanin diketahui dapat memacu
metabolisme glukosa dan lemak sehingga timbunan kedua sumber kalori
ini dalam darah dapat dihindari. Tanin mempunyai aktivitas antioksidan
dan aktivitas hipoglikemik yaitu dengan meningkatkan glikogenesis.
Selain itu, tanin juga berfungsi sebagai astringent atau pengkhelat yang
dapat mengerutkan membran epitel usus halus sehingga mengurangi
penyerapan sari makanan dan sebagai akibatnya menghambat asupan gula
dan laju peningkatan gula darah tidak terlalu tinggi
Eugenol yang terkandung dalam daun salam merupakan senyawa
yang mempunyai aktivitas antioksidan yang mirip dengan α–tochopherol
yang mampu melindungi membran sel dari proses lipid peroksidasi.
Senyawa antioksidan yang dimiliki oleh daun salam inilah yang dapat
membantu memperbaiki kerusakan sel β pankreas serta memberikan
perlindungan pada sel yang masih sehat, sehingga dapat menormalkan
kembali produksi insulin. Perbaikan produksi insulin inilah yang pada
akhirnya akan membuat kadar glukosa darah kembali normal.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian
Penyakit Diabetes mellitus merupakan penyebab kematian terbanyak
di Indonesia. Penyakit ini prevalensinya dari tahun ke tahun cenderung
meningkat. Obat-obatan yang ada saat ini sudah banyak tapi komplikasi yang
ditimbulkan dari penyakit ini masih banyak yang sulit dikendalikan. Oleh
karena itu, diperlukan modalitas terapi baru yang dapat menyamai anti
diabetes fisiologis, aman dan ekonomis. Salah satu tanaman herbal Indonesia
yang telah digunakan secara tradisional untuk mengobati Diabetes mellitus
adalah Daun Salam.
Di dalam Daun Salam terdapa kandungan minyak esensial, tanin, fenol
flavonoid dan terpenoid. Senyawa Fenol-Flavonoid merupakan senyawa yang
dapat menurunkan kadar gula darah sehingga Daun Salam diduga memiliki
efek anti diabetes. Hal ini telah dibuktikan dalam beberapa penelitian baik
yang dilakukan secara in vivo, yaitu dengan menggunakan hewan percobaan,
maupun penelitian langsung kepada manusia, dimana setelah diberikan
ekstrak Daun Salam terjadi penurunan pada kadar gula darah secara
signifikan.
B. Perbandingan antar penelitian
Daun salam (Syzygium polyanthum) merupakan salah satu tanaman
yang secara luas digunakan sebagai salah satu bumbu masakan dan secara
tradisional digunakan dalam tatalaksana diabetes di Indonesia. Analisis
fitokimia menunjukkan bahwa di dalam daun salam terdapat kandungan
minyak esensial, tanin, flavonoid dan terpenoid. Flavonoid yang terkandung
di dalam daun salam merupakan salah satu golongan senyawa yang dapat
menurunkan kadar glukosa darah
Daun salam (Syzygium polyanthum) merupakan tanaman yang secara
luas digunakan sebagai salah satu bumbu masakan dan secara tradisional
digunakan dalam tatalaksana diabetes di Indonesia.6 Tanaman ini tumbuh di
wilayah iklim tropis dan subtropis, termasuk di Asia Tenggara dan Cina.
Tanaman ini dapat tumbuh di dataran rendah atau pun pegunungan, di
Indonesia pohon ini kebanyakan tumbuh di pegunungan, tetapi
ada juga yang ditanam orang untuk pelengkap bumbu masak.
Daun Salam memiliki banyak manfaat yaitu mengobati kencing
manis, kolesterol tinggi, hipertensi, diare, dan gastritis.15 Analisis fitokimia
menunjukkan kandungan minyak
esensial, tanin, flavonoid dan terpenoid dari daun salam. Flavonoid
merupakan salah satu golongan senyawa fenol yang diduga dapat
menurunkan kadar glukosa darah
Penelitian tentang potensi Daun Salam (Eugenia polyantha) ini telah
lama dan banyak dilakukan, baik pada hewan bahkan juga pada manusia.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Limawan pada tahun 1998 yang
melakukan uji aktivitas infusa daun salam pada kadar glukosa kelinci, dimana
didapatkan hasil bahwa infus daun salam dengan dosis 175 mg/kg BB kelinci
dapat menurunkan kadar glukosa darah kelinci. Kemudian, Studiawan dan
Santosa pada tahun 2005, mereka melakukan uji aktivitas ekstrak etanol daun
salam terhadap kadar glukosa darah mencit yang diinduksi dengan aloksan.
Dari perlakuan tersebut didapatkan bahwa ekstrak etanol daun salam dengan
dosis 2,62mg/20 g BB dan 5,24 mg/20 g BB dapat menurunkan kadar glukosa
darah mencit jantan yang diinduksi dengan aloksan secara bermakna
(p<0,05). Namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara dosis
perlakuan 1 dibandingkan dengan dosis perlakuan 2 dikarenakan kadar
flavonoid yang diantara kedua dosis belum mampu menghasilkan beda yang
bermakna.
Lenolo dan Tachibana pada tahun 2013 juga melakukan preeliminari
studi dengan menggunakan ekstrak infusa daun salam pada tikus jantan
wistar. Hasil yang didapatkan terdapat penurunan kadar glukosa darah antara
kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Dari penelitian ini juga
didapatkan bahwa daun salam memiliki potensi anti diabetik melalui jalur
alfa glukosidase inhibitor
Pada tahun 2014 Widyawati et al7 melakukan penelitian uji
efektivitas ekstrak methanol daun salam pada kadar gula darah tikus yang
diinduksi menjadi hiperglikemia. Hasil yang didapatkan ternyata ekstrak
methanol daun salam mampu menurunkan kadar gula darah pada tikus yang
diinduksi hiperglikemia dengan menghambat aktivitas absorpsi glukosa di
usus serta dengan meningkatkan ambilan glukosa pada jaringan otot.
Steffi Liem dkk tahun 2015, Pemberian kombinasi glibenklamid dan
ekstrak daun salam dapat menurunkan kadar glukosa darah yang lebih besar
daripada sediaan tunggal glibenklamid atau ekstrak daun salam. Dosis
optimal yang dapat menurunkan kadar glukosa darah adalah kombinasi 2.
Pada penelitian Nurhikma dkk tahun 2016 Data yang diperoleh
dianalisis secara statistik dengan menggunakan ANOVA (analysis of
variance) pada taraf kepercayaan 95% dengan parameter selisih penurunan
kadar glukosa darah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak
daun salam berpengaruh secara signifikan terhadap glibenklamid dalam
menurunkan kadar glukosa darah dan dosis yang efektif adalah kombinasi
dosis glibenklamid 0,65 mg/kg BB dan ekstrak daun salam 250 mg/kg BB.
BAB IV
KESIMPULAN
Ekstrak daun salam berefek secara signifikan dalam menurunkan kadar
glukosa dalam darah. Oleh karena itu, mengingat tanaman ini banyak terdapat di
Indonesia, maka tanaman ini sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai
modalitas terapi obat herbal dalam pencegahan dan pengobatan diabetes melitus.

Anda mungkin juga menyukai