Anda di halaman 1dari 39

PRESENTASI KASUS

GANGGUAN SOMATOFORM

Laporan kasus ini diajukan dalam rangka praktek dokter internsip sekaligus
sebagai bagian persyaratan menyelesaikan program internsip di
RSUD Kanjuruhan, Kepanjen, Malang

Diajukan kepada:
dr. Hendryk Kwandang, M.Kes (Pembimbing IGD dan Rawat Inap)
dr. Benidiktus Setyo Untoro (Pembimbing Rawat Jalan)

Disusun oleh:
dr. Erysha Kartika Anggraini

RSUD “KANJURUHAN” KEPANJEN


KABUPATEN MALANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
GANGGUAN SOMATOFORM

Laporan kasus ini diajukan dalam rangka praktek dokter internsip sekaligus
sebagai bagian persyaratan menyelesaikan program internsip di
RSUD Kanjuruhan, Kepanjen, Malang

Telah diperiksa dan disetujui


pada tanggal :

Oleh :
Dokter Pembimbing Instalasi Gawat Darurat dan Rawat Inap

dr. Hendryk Kwandang, M.Kes

i
HALAMAN PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
GANGGUAN SOMATOFORM

Laporan kasus ini diajukan dalam rangka praktek dokter internsip sekaligus
sebagai bagian persyaratan menyelesaikan program internsip di
RSUD Kanjuruhan, Kepanjen, Malang

Telah diperiksa dan disetujui


pada tanggal :

Oleh :
Dokter Pembimbing Rawat Jalan

dr. Benidiktus Setyo Untoro

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, sehingga penulis telah berhasil menyelesaikan
portofolio laporan kasus yang berjudul “GANGGUAN SOMATOFORM”.
Dalam penyelesaian portofolio laporan kasus ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. dr.Hendryk Kwandang, M.Kes selaku dokter pembimbing instalasi gawat
darurat.
2. dr.Benidiktus Setyo Untoro selaku dokter pembimbing rawat jalan dan rawat
inap.
3. Serta paramedis yang selalu membimbing dan membantu penulis.
Portofolio laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan
kerendahan hati penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan
saran dan kritik yang membangun. Semoga laporan kasus ini dapat menambah
wawasan dan bermanfaat bagi semua pihak.

Kepanjen, Desember 2017

Penulis

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang
memiliki gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana
tidak dapat ditemukan penjelasan medis yang adekuat. Gejala dan keluhan
somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang
bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk
berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan
somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah
suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan
somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau
gangguan buatan (Pardamean E, 2007).

Gambaran yang penting dari gangguan somatoform adalah adanya


gejala fisik, pada mana tak ada kelainan organik atau mekanisme fisiologik.
Dan untuk hal tersebut terdapat bukti positif atau perkiraan yang kuat bahwa
gejala tersebut terkait dengan adanya faktor psikologis atau konflik. Karena
gejala tak spesifik dari beberapa sistem organ dapat terjadi pada penderita
anxietas maupun penderita somatoform disorder, diagnosis anxietas sering
disalah diagnosiskan menjadi somatoform disorder, begitu pula sebaliknya.
Adanya somatoform disorder, tidak menyebabkan diagnosis anxietas
menjadi hilang. Pada DSM-IV ada 4 kategori penting dari somatoform
disorder, yaitu hipokhondriasis, gangguan somatisasi, gangguan konversi dan
gangguan nyeri somatoform (Iskandar Y, 2009).

Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari


perhatian (histrionik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil
membujuk dokternya untuk menerima bahwa keluhannya memang penyakit
fisik dan bahwa perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut. (PPDGJ
III, 2010).

4
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas.
Nama : Ny.S
Usia : 38 tahun.
Jenis Kelamin : Wanita.
Agama/Suku : Islam/Jawa.
Alamat : Sumbermanjing
Tanggal pemeriksaan : 23 Januari 2018
No. RM : 446xxx

2.2. Anamnesa
Autoanamnesa dengan pasien (23 Januari 2018) pk: 09:30 di Ruang Poli Jiwa
Keluhan Utama :
Sakit kuning
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli Jiwa RSUD Kanjuruhan setelah dirujuk dari puskesmas,
Kepanjen. Pasien mengeluhkan sakit kuning, pasien mengatakan kulitnya berwarna
kuning setelah 3 hari sebelumnya demam. Pasien juga mengatakan
memilikinriwayat sakit kantung empedu, sakit jantung, ususnya bengkak, usus
buntu sejak satu tahun ini. Namun saat diperiksakan setiap dokter yang dia datangi
mengatakan bahwa tidak ada penyakitnya.
Riwayat Penyakit Dahulu : kopokan pada telinga kanan sejak satu tahun yang
lalu.
Riwayat Keluarga.
Tidak ditemukan riwayat keluarga dengan keluhan yang sama.
Riwayat Pengobatan.
Pasien belum berobat sama sekali sejak keluhan telinganya muncul. Pasien
meminum Ultraflu 3x1 tablet dan OBH untuk pilek dan batuknya
Riwayat Alergi : disangkal

5
Riwayat penyakit sistemik : -
Riwayat Trauma : disangkal
Riwayat Sosial : siswa SMA

2.3. Pemeriksaan Fisik


22 Desember 2017 di poli THT-KL
1. Keadaan Umum
Pasien tampak sakit ringan, compos mentis, GCS 456.
2. Tanda Vital
a. Tekanan darah : tidak di evaluasi
b. Laju denyut jantung : 80 x/menit reguler.
c. Laju pernapasan : 20 x/menit.
d. Suhu aksiler : 36 OC.
3. Kepala
a. Bentuk : normosefal, benjolan massa (-)
b. Ukuran : mesosefal.
c. Rambut : tebal,hitam.
d. Wajah : simetris, bundar, rash (-), sianosis (-), edema (-).
e. Telinga : Hiperemia -, normotia ,nyeri tekan aurikula,
dilanjutkan di status telinga
f. Hidung : sekret (-) jernih, pernafasan cuping hidung(-),
perdarahan (-), hiperemi (-).
g. Mulut : mukosa bibir basah, mucosa sianosis (-).
4. Leher
a. Inspeksi : massa (-/-).
b. Palpasi : pembesaran kelenjar limfa regional (-/-).
5. Thoraks
a. Inspeksi. : bentuk dada kesan normal dan simetris; retraksi
dinding dada (-), tidak didapatkan deformitas.
b. Jantung:
 Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.

6
 Palpasi : ictus cordis teraba di MCL (S) ICS V(S).
 Perkusi : batas jantung normal.
 Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, ekstrasistol (-), gallop (-),
murmur (-).
c. Paru:
 Inspeksi : gerak nafas simetris pada kedua sisi dinding
dada, retraksi (-), RR 22 kali/menit, teratur, simetris.
 Palpasi : pergerakan dinding dada saat bernafas simetris.
 Perkusi : sonor sonor
sonor sonor
sonor sonor
 Auskultasi : vesikuler di seluruh lapang paru.
- - - -
Rh - - Wh - -
- - - -

6. Abdomen
a. Inspeksi : datar, kulit abdomen : jaringan parut (-).
b. Auskultasi : bising usus (+), normal.
c. Perkusi : timpani, shifting dullnes (-).
d. Palpasi : H/L tidak teraba.

7. Ekstremitas

Pemeriksaan Atas Bawah


Ekstremitas Kanan Kiri Kanan Kiri

Akral Hangat Hangat Hangat Hangat


kering kering kering kering

Anemis – – – –
Ikterik – – – –

7
Edema – – - -

Sianosis - - - -

Ptechiae – – – –

Capillary Refill Time <2 detik <2 detik <2 detik <2 detik

8. Status THT :
Kanan Kiri

Telinga Pembengkakan retro aurikuler - -


Fistula auris kongenital - -
Nyeri tekan - -
Meatus acusticus externus :
Hiperemi - -
Edema - -
Penyempitan - -
Furunkel - -
Fistel - -
Sekret, sifat +mukopurulen +mukopurulen
Granulasi - -
Polip - -
Kolesteatoma - -
Foetor - -
Benda asing - -
Membran timpani :
Intak - -
N/Retraksi/bombans Perforasi Perforasi
Hiperemi - -
Perforasi - -
Pulsasi - -
Refleks Cahaya Menurun Menurun

8
Hidung Deformitas - -
Hematoma - -
Krepitasi - -
Nyeri - -
Rhinoskopi anterior :
Vestibulum
 Edema - -
 Sekret - -
 massa - -
Kavum nasi
 luas Lapang Lapang
 mukosa Licin Licin
 hiperemi - -
 massa - -
 sekret - -
Konka
 edema - -
 pucat - -
 hiperemi - -
Septum hiperemi - -
Fenomena palatum mole + +
Rinoskopi posterior :
Septum nasi Deviasi –
Kauda Konka Kesan massa –
Meatus nasi Kesan massa –
Muara tuba eustachius Kesan massa –
Fossa rosenmuller Dalam batas normal
Atap nasofaring Dalam batas normal
Koane Dalam batas normal

9
Transluminasi SF T T

SM T T

Tenggorok Palatum molle N N


Uvula Di tengah
Tonsil T1 T1
 Hiperemi - -
 Kripte melebar - -
 Detritus - -
Arcus anterior - -
Arcus posterior - -
Faring : edema (-), hiperemi (-), lendir (-), granula (-), post
nasal drip

Laringoskopi indirek

Hipofaring :N
Epiglotis : hiper: (-) massa:(-)
Supraglotis :N
Korda vokalis :N
Edema : (-)
Massa : (-)

Gerak : add +/+ abd +/+

Gambar:

Regio colli Pembesaran kelenjar getah bening (-)

10
2.4. Resume.
Sdr. D / Laki-laki / 18 tahun
Anamnesis
Keluhan utama: Keluar cairan dari telinga kanan dan kiri
 Keluar cairan dari telinga sebelah kiri sejak 2 bulan sebelum ke poli THT.
Cairan yang keluar kental warna kekuningan.
 Keluar cairan dari telinga kanan sejak 1 tahun sebelum ke poli THT. Cairan
yang keluar berwarna kekuningan.
 6 hari sebelumnya pasien mengeluh telinga kiri nyeri disertai demam pilek
dan batuk
 Selain keluar cairan pasien mengeluh penurunan pendengaran dan grebeg
grebeg pada telinga kiri
Pemeriksaan fisik
 Pasien tampak sakit sedang, compos mentis, GCS: 456.
 Tanda vital : Tekanan darah : tidak di evaluasi
Denyut jantung : 80 x/menit reguler.
Pernapasan : 22 x/menit.
Suhu aksiler : 36O C.
 Kepala : pada telinga kiri terdapat nyeri tekan aurikula +, telinga
kanan -
 Leher : tidak ditemukan kelainan.
 Thoraks : tidak ditemukan kelainan.
 Abdomen : tidak ditemukan kelainan.
 Ekstrimitas : tidak ditemukan kelainan.
 Status neurologis : normal, tidak ditemukan MS dan kaku kuduk.

 Status THT
Pemeriksaan Fisik

11
Membran Timpani: Konka:

Hiperemi: -/- Hiperemi: -/-

Intak: -/- Edema: -/-

Perforasi: +/+ Sekret: -/-

Refleks cahaya ↓/↓

Sekret: + / +(mukopurulen)

Faring:

Granule: -/-

Tonsil: T1/T1

2.5. Diagnosis.
a. Diagnosis Kerja:
OMSK telinga kiri dan kanan
b. Rencana diagnosis: -
c. Diagnosis Banding : OME

2.6. Rencana Terapi.


- Co-Amoxiclav tablet 3x625 mg/hari
- Ofloxacin tetes telinga 4x2gtt ADS
- Natrium Diclofenac 2x50 mg
- Cuci telinga dengan H2O2 3 % 6x sehari ADS
- Kontrol ke poli THT 5 hari lagi

12
2.7. Rencana Edukasi.
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang diderita
yaitu Otitis Media Supuratif Akut stadium perforasi telinga kiri yang
kemungkinan besar terjadi karena infeksi bakteri. Infeksi ini kemungkinan
disebabkan oleh seringnya mengorek-korek telinga pasien.
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai komplikasi yang
bisa terjadi yaitu bisa terjadi infeksi kronis yang dapat berulang bila tidak
ditangani dengan baik.
 Menjelaskan tatalaksana (medikamentosa dan non medikamentosa) dan
prognosis penyakit kepada pasien.
 Edukasi untuk kontrol ke poli THT 5 hari kemudian.
 Edukasi untuk tidak mengorek-ngorek telinga.

2.8. Prognosis Dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi Telinga Tengah

13
Telinga tengah terdiri atas: membran timpani, kavum timpani, processus
mastoideus, dan tuba eustachius.1,5,6

1. Membran Timpani
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani dan
memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran ini memiliki panjang
vertikal rata-rata 9-10 mm, diameter antero-posterior kira-kira 8-9 mm, dan
ketebalannya rata-rata 0,1 mm .Letak membran timpani tidak tegak lurus terhadap
liang telinga akan tetapi miring yang arahnya dari belakang luar ke muka dalam dan
membuat sudut 450 dari dataran sagital dan horizontal. Membran timpani berbentuk
kerucut, dimana bagian puncak dari kerucut menonjol ke arah kavum timpani yang
dinamakan umbo. Dari umbo ke muka bawah tampak refleks cahaya ( cone of ligt).

Membran timpani mempunyai tiga lapisan yaitu :1


a) Stratum kutaneum (lapisan epitel) berasal dari liang telinga.
b) Stratum mukosum (lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani.
c) Stratum fibrosum (lamina propria) yang letaknya antara stratum kutaneum dan
mukosum.

Secara Anatomis membran timpani dibagi dalam 2 bagian :1


a. Pars tensa
Bagian terbesar dari membran timpani yang merupakan permukaan yang
tegang dan bergetar, sekelilingnya menebal dan melekat pada anulus fibrosus pada
sulkus timpanikus bagian tulang dari tulang temporal.

b. Pars flaksida atau membran Shrapnell.


Letaknya di bagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Pars flaksida
dibatasi oleh 2 lipatan yaitu :
 Plika maleolaris anterior (lipatan muka).
 Plika maleolaris posterior (lipatan belakang).

14
Membran timpani terletak dalam saluran yang dibentuk oleh tulang
dinamakan sulkus timpanikus. Akan tetapi bagian atas muka tidak terdapat sulkus
ini dan bagian ini disebut incisura timpanika (rivini). Permukaan luar dari membran
timpani disarafi oleh cabang nervus aurikulo temporalis dari nervus mandibula dan
nervus vagus. Permukaan dalam disarafi oleh nervus timpani cabang dari nervus
glossofaringeal.
Aliran darah membrana timpani berasal dari permukaan luar dan dalam.
Pembuluh-pembuluh epidermal berasal dari aurikula yang merupakan cabang dari
arteri maksilaris interna. Permukaan mukosa telinga tengah didarahi oleh arteri
timpani anterior cabang dari arteri maksilaris interna dan oleh stylomastoid cabang
dari arteri aurikula posterior.

2. Kavum Timpani
Kavum timpani terletak di dalam pars petrosa dari tulang temporal, bentuknya
bikonkaf, atau seperti kotak korek api. Diameter antero-posterior atau vertikal 15
mm, sedangkan diameter transversal 2-6 mm. Kavum timpani mempunyai 6
dinding yaitu : bagian atap, lantai, dinding lateral, medial, anterior, dan posterior.
Kavum timpani terdiri dari :1,5
a. Tulang-tulang pendengaran, terbagi atas: malleus (hammer/martil), inkus
(anvil/landasan), stapes (stirrup/pelana)
b. Otot, terdiri atas: otot tensor timpani (muskulus tensor timpani) dan otot
stapedius (muskulus stapedius).
c. Saraf korda timpani.
d. Saraf pleksus timpanikus.

3. Processus mastoideus
Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke
kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding
lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak di bawah duramater pada daerah
ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum.

15
4. Tuba eustachius.1,5,6
Tuba eustachius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani berbentuk
seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani
dengan nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36 mm berjalan ke
bawah, depan dan medial dari telinga tengah dan pada anak dibawah 9 bulan adalah
17,5 mm.

Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu :


a. Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian).
b. Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3 bagian).

Gambar 3.1. Anatomi Telinga.7

3.2. Definisi
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.5
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut “congek”
adalah radang kronis telinga tengah dengan adanya lubang (perforasi) pada gendang
telinga (membran timpani) dan riwayat keluarnya cairan (sekret) dari telinga
(otorea) lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin
serous, mukous, atau purulen.1,2,3

16
Otitis Media Akut (OMA) dengan perforasi membran timpani dapat menjadi
otitis media supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Beberapa
faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK, antara lain: terapi yang terlambat
diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman yang tinggi, daya tahan tubuh
pasien yang rendah (gizi kurang), dan higiene yang buruk.5

3.3. Epidemiologi
Otitis media supuratif kronik merupakan penyakit THT yang paling banyak
ditemukan di negara sedang berkembang. Secara umum insiden OMSK
dipengaruhi oleh ras dan faktor sosioekonomi. Misalnya, OMSK lebih sering
dijumpai pada orang Eskimo dan Indian Amerika, anak-anak aborigin Australia dan
orang kulit hitam di Afrika Selatan. Walaupun demikian, lebih dari 90% beban
dunia akibat OMSK ini dipikul oleh negara-negara di Asia Tenggara, daerah Pasifik
Barat, Afrika, dan beberapa daerah minoritas di Pasifik. Kehidupan sosial ekonomi
yang rendah, lingkungan kumuh, dan status kesehatan serta gizi yang jelek
merupakan faktor yang menjadi dasar untuk meningkatnya prevalensi OMSK pada
negara yang sedang berkembang.3
Survei prevalensi di seluruh dunia menunjukkan bahwa beban dunia akibat
OMSK melibatkan 65–330 juta orang dengan telinga berair, dimana 60% di
antaranya (39–200 juta) menderita kurangnya pendengaran yang signifikan. Secara
umum, prevalensi OMSK di Indonesia adalah 3,8% dan termasuk dalam klasifikasi
tinggi dalam tingkatan klasifikasi insidensi. Pasien OMSK meliputi 25% dari
pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia.
Berdasarkan Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran oleh
Departemen Kesehatan R.I tahun 1994-1996, angka kesakitan (morbiditas) Telinga,
Hidung, dan Tenggorok (THT) di Indonesia sebesar 38,6% dengan prevalensi
morbiditas tertinggi pada kasus telinga dan gangguan pendengaran yaitu sebesar
38,6% dan prevalensi otitis media supuratif kronis antara 2,1-5,2%.4 Data poliklinik
THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 menunjukkan pasien OMSK
merupakan 26% dari seluruh kunjungan pasien.3

17
3.4. Klasifikasi
OMSK dapat dibagi atas 2 tipe, yaitu :1,3
a) Tipe tubotimpani (tipe jinak/tipe aman/tipe rhinogen)
Proses peradangan pada OMSK tipe tubotimpani hanya terbatas pada mukosa
saja dan biasanya tidak mengenai tulang. Tipe tubotimpani ditandai oleh adanya
perforasi sentral atau pars tensa dan gejala klinik yang bervariasi dari luas dan
keparahan penyakit. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama
patensi tuba eustachius, infeksi saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap
infeksi yang gagal pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah. Disamping
itu campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, serta
migrasi sekunder dari epitel skuamosa juga berperan dalam perkembangan tipe ini.
Sekret mukoid kronis berhubungan dengan hiperplasia goblet sel, metaplasia dari
mukosa telinga tengah pada tipe respirasi dan mukosiliar yang jelek.

b) Tipe atikoantral (tipe ganas/tipe tidak aman/tipe tulang)


Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Perforasi tipe ini
letaknya marginal atau di atik yang lebih sering mengenai pars flaksida.
Karakteristik utama dari tipe ini adalah terbentuknya kantong retraksi yang berisi
tumpukan keratin sampai menghasilkan kolesteatom.
Kolesteatom adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega,
berwarna putih, terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah mengalami nekrotik.
Kolesteatom merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman, yang paling
sering adalah proteus dan pseudomonas. Hal ini akan memicu respon imun lokal
sehingga akan mencetuskan pelepasan mediator inflamasi dan sitokin. Sitokin yang
dapat ditemui dalam matrik kolesteatom adalah interleukin-1, interleukin-6, tumor
necrosis factor-α, dan transforming growth factor. Zat-zat ini dapat menstimulasi
sel-sel keratinosit matriks kolesteatom yang bersifat hiperproliferatif, destruktif,
dan mampu berangiogenesis. Massa kolesteatom ini dapat menekan dan mendesak
organ sekitarnya serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses
nekrosis terhadap tulang diperhebat oleh reaksi asam oleh pembusukan bakteri.1,3,5

18
Kolesteatom dapat dibagi atas 2 tipe yaitu:5
1. Kongenital
2. Didapat.
Kolesteatom didapat dapat terbagi atas:
 Primary acquired cholesteatoma.
Kolesteatom yang terjadi tanpa didahului oleh perforasi membran timpani
pada daerah atik atau pars flasida.
 Secondary acquired cholesteatoma.
Kolesteatoma yang terbentuk setelah terjadi perforasi membran timpani.
Kolesteatom terbentuk sebagai akibat dari masuknya epitel kulit dari liang
telinga atau dari pinggir perforasi membran timpani ke telinga tengah (teori
migrasi) atau terjadi akibat metaplasia mukosa kavum timpani karena iritasi
infeksi yang berlansung lama (teori metaplasia)

3.5. Patogenesis.
OMSK dimulai dari episode infeksi akut terlebih dahulu. Patofisiologi dari
OMSK dimulai dari adanya iritasi dan inflamasi dari mukosa telinga tengah yang
disebabkan oleh multifaktorial, diantaranya infeksi yang dapat disebabkan oleh
virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh turun, lingkungan
dan sosial ekonomi. Kemungkinan penyebab terpenting mudahnya anak mendapat
infeksi telinga tengah adalah struktur tuba pada anak yang berbeda dengan dewasa
dan kekebalan tubuh yang belum berkembang sempurna sehingga bila terjadi
infeksi jalan napas atas, maka lebih mudah terjadi infeksi telinga tengah berupa
Otitis Media Akut (OMA).1,3 Respon inflamasi yang timbul adalah berupa udem
mukosa. Jika proses inflamasi ini tetap berjalan, pada akhirnya dapat menyebabkan
terjadinya ulkus dan merusak epitel. Mekanisme pertahanan tubuh penderita dalam
menghentikan infeksi biasanya menyebabkan terdapatnya jaringan granulasi yang
pada akhirnya dapat berkembang menjadi polip di ruang telinga tengah. Jika
lingkaran antara proses inflamasi, ulserasi, infeksi dan terbentuknya jaringan
granulasi ini berlanjut terus akan merusak jaringan sekitarnya.1,

Sembuh/ normal

19
Fgs.tuba tetap terganggu, Infeksi (-)
Tekanan negatif
Gangguan
telinga tengah efusi OME
tuba

Tuba tetap terganggu


Perubahan tekanan tiba-tiba
+ ada infeksi
Alergi

Infeksi

Sumbatan : Sekret
Otitis Media Akut
Tampon
(OMA)
Tumor

Sembuh sempurna Otitis Media Supuratif Otitis media Efusi


Kronik
(OMSK) (OME)

OMSK tipe benigna OMSK tipe maligna

Gambar 3.2 Patogenesis Otitis Media5

3.6. Faktor Risiko


Terjadi OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak,
jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring
(adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis) dan mencapai telinga tengah melalui tuba
eustachius. Fungsi tuba eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi
yang dijumpai pada anak dengan palatoskisis dan sindrom down. Adanya tuba
patulous, menyebabkan refluk isi nasofaring yang merupakan faktor insiden OMSK
yang tinggi di Amerika Serikat. Faktor host yang berkaitan dengan insiden OMSK
yang relatif tinggi adalah defisiensi imun sistemik. Kelainan humoral, seperti
hipogammaglobulinemia dan cell-mediated (infeksi HIV) dapat timbul sebagai
infeksi telinga kronis.

20
Faktor-faktor risiko OMSK antara lain :1,3
1. Lingkungan.
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi
terdapat hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosio ekonomi, dimana
kelompok sosio ekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah
hampir dipastikan, bahwa hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet,
dan tempat tinggal yang padat.
2. Genetik.
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden
OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor
genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi
belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.
3. Otitis media sebelumnya.
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis
media akut dan atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang
menyebabkan satu telinga dan berkembangnya penyakit ke arah keadaan kronis.
4. Infeksi
Proses infeksi pada otitis media supuratif kronis sering disebabkan oleh
campuran mikroorganisme aerobik dan anaerobik yang multiresisten terhadap
standar yang ada saat ini. Kuman penyebab yang sering dijumpai pada OMSK ialah
Pseudomonas aeruginosa sekitar 50%, Proteus sp. 20% dan Staphylococcus
aureus 25%.
Jenis bakteri yang ditemukan pada OMSK agak sedikit berbeda dengan
kebanyakan infeksi telinga lain, karena bakteri yang ditemukan pada OMSK pada
umumnya berasal dari luar yang masuk ke lubang perforasi tadi.
5. Infeksi saluran nafas atas.
Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran
nafas atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan
menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada
dalam telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.

21
6. Autoimun.
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insidens lebih besar
terhadap otitis media kronis.
7. Alergi.
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi
dibanding yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderita
yang alergi terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteri atau toksin-toksinnya,
namun hal ini belum terbukti kebenarannya.
8. Gangguan fungsi tuba eustachius.
Hal ini terjadi pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat
oleh edema.

Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani menetap


pada OMSK :1
a) Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan
produksi sekret telinga purulen berlanjut.
b) Berlanjutnya obstruksi tuba eustachius yang mengurangi penutupan spontan
pada perforasi.
c) Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui
mekanisme migrasi epitel.
Pada pinggir perforasi, epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan yang cepat
di atas sisi medial dari membran timpani yang hal ini juga mencegah penutupan
spontan dari perforasi.

3.7. Gejala Klinis.


1. Telinga berair (otorea)
Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan
encer) tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh
aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe
ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang

22
karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Suatu sekret yang encer
berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.1,3

2. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran.
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran.
Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat
hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatom dapat menghantar
bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Pada OMSK tipe maligna
biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang
pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai
penghantar suara sehingga ambang pendengaran yang didapat harus
diinterpretasikan secara hati-hati.
Penurunan fungsi koklea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan
berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen
rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila
terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat. Hantaran tulang
dapat menggambarkan sisa fungsi koklea.1,3

3. Otalgia (nyeri telinga)


Adanya nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK dan bila ada
merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat
karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman
komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau
dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri
telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh adanya otitis eksterna sekunder.
Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK seperti petrositis,
subperiosteal abses, atau trombosis sinus lateralis.

23
4. Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius
lainnya. Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel
labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Pada penderita yang
sensitif, keluhan vertigo dapat terjadi karena perforasi besar membran
timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh
perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan
menyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi
serebelum. Fistula merupakan temuan yang serius, karena infeksi
kemudian dapat berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam
sehingga timbul labirinitis dan dari sana mungkin berlanjut menjadi
meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada kasus OMSK dengan riwayat
vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif dan negatif pada
membran timpani.

Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna :


a. Adanya abses atau fistel retroaurikular
b. Jaringan granulasi atau polip di liang telinga yang berasal dari kavum timpani.
c. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk (aroma kolesteatom)
d. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom.

Gambar 3.3. Perforasi Membran Timpani.8

24
Gambar 3.4. Otitis Media Supuratif Kronik.8
3.8. Diagnosis
Diagnosis OMSK ditegakan dengan cara:1,3,6
1. Anamnesis (history-taking)
Penyakit telinga kronis ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita
seringkali datang dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap. Gejala yang
paling sering dijumpai adalah telinga berair. Pada tipe tubotimpani sekretnya lebih
banyak dan seperti benang, tidak berbau bususk, dan intermiten. Sedangkan pada
tipe atikoantral sekretnya lebih sedikit, berbau busuk, kadangkala disertai
pembentukan jaringan granulasi atau polip, dan sekret yang keluar dapat bercampur
darah. Ada kalanya penderita datang dengan keluhan kurang pendengaran atau
telinga keluar darah.

2. Pemeriksaan otoskopi
Pemeriksaan otoskopi akan menunjukan adanya dan letak perforasi. Dari
perforasi dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah.

3. Pemeriksaan audiologi
Evaluasi audiometri dan pembuatan audiogram nada murni untuk menilai
hantaran tulang dan udara penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan
pendengaran dan untuk menentukan gap udara dan tulang. Audiometri tutur
berguna untuk menilai ‘speech reception threshold’ pada kasus dengan tujuan
untuk memperbaiki pendengaran.

4. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis memiliki
nilai diagnostik yang terbatas bila dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan

25
audiometri. Pemeriksaan radiologi biasanya memperlihatkan mastoid yang tampak
sklerotik dibandingkan mastoid yang satunya atau yang normal. Erosi tulang yang
berada di daerah atik memberi kesan adanya kolesteatom. Proyeksi radiografi yang
sekarang biasa digunakan adalah proyeksi schuller dimana pada proyeksi ini akan
memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari arah lateral dan atas.
Pada CT scan akan terlihat gambaran kerusakan tulang oleh kolesteatom, ada
atau tidaknya tulang–tulang pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula pada
kanalis semisirkularis horizontal.1,3

5. Pemeriksaan bakteriologi
Walaupun perkembangan dari OMSK merupakan kelanjutan dari mulainya
infeksi akut, bakteri yang ditemukan pada sekret yang kronis berbeda dengan yang
ditemukan pada otitis media supuratif akut. Bakteri yang sering dijumpai pada
OMSK adalah Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, dan Proteus sp.
Sedangkan bakteri pada otitis media supuratif akut adalah Streptococcus pneumonie
dan H. influenza.9
Infeksi telinga biasanya masuk melalui tuba dan berasal dari hidung, sinus
paranasal, adenoid, atau faring. Dalam hal ini penyebab biasanya adalah
pneumokokus, streptokokus atau H. influenza. Akan tetapi, pada OMSK keadaan
ini agak berbeda karena adanya perforasi membran timpani maka infeksi lebih
sering berasal dari luar yang masuk melalui perforasi tadi.

3.9. Penatalaksanaan
Pada waktu pengobatan haruslah dievaluasi faktor-faktor yang menyebabkan
penyakit menjadi kronis, perubahan-perubahan anatomi yang menghalangi
penyembuhan serta menganggu fungsi, dan proses infeksi yang terdapat di telinga.
Bila didiagnosis kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat -
obatan dapat digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum operasi.1,3,5,6
Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luas infeksi, yang dapat
dibagi atas: konservatif dan operasi

26
A. Otitis media supuratif kronik benigna
a) Otitis media supuratif kronik benigna tenang
Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan untuk jangan
mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang
dan segera berobat bila menderita infeksi saluran nafas atas. Bila fasilitas
memungkinkan sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi (miringoplasti,
timpanoplasti) untuk mencegah infeksi berulang serta gangguan pendengaran.

b) Otitis media supuratif kronik benigna aktif

Prinsip pengobatan OMSK adalah :


1. Membersihkan liang telinga dan kavum timpani (toilet telinga)
Tujuan toilet telinga adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk
perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang
baik bagi perkembangan mikroorganisme.

Cara pembersihan liang telinga (toilet telinga):1


a) Toilet telinga secara kering (dry mopping).
Telinga dibersihkan dengan kapas lidi steril, setelah dibersihkan dapat di beri
antibiotik berbentuk serbuk. Cara ini sebaiknya dilakukan di klinik atau dapat juga
dilakukan oleh anggota keluarga. Pembersihan liang telinga dapat dilakukan setiap
hari sampai telinga kering.

b) Toilet telinga secara basah (syringing).


Telinga disemprot dengan cairan untuk membuang debris dan nanah,
kemudian dibersihkan dengan kapas lidi steril dan diberi serbuk antibiotik.
Meskipun cara ini sangat efektif untuk membersihkan telinga tengah, tetapi dapat
mengakibatkan penyebaran infeksi ke bagian lain dan ke mastoid. Pemberian
serbuk antibiotik dalam jangka panjang dapat menimbulkan reaksi sensitifitas pada
kulit. Dalam hal ini dapat diganti dengan serbuk antiseptik, misalnya asam boric
dengan iodine.

27
c) Toilet telinga dengan pengisapan ( suction toilet)
Pembersihan dengan suction pada nanah dengan bantuan mikroskopis operasi
adalah metode yang paling populer saat ini. Setelah itu dilakukan pengangkatan
mukosa yang berproliferasi dan polipoid sehingga sumber infeksi dapat
dihilangkan. Akibatnya terjadi drainase yang baik dan resorbsi mukosa. Pada orang
dewasa yang kooperatif cara ini dilakukan tanpa anastesi tetapi pada anak-anak
diperlukan anestesi. Pencucian telinga dengan H2O2 3% akan mencapai sasarannya
bila dilakukan dengan “displacement methode” seperti yang dianjurkan oleh
Mawson dan Ludmann.

2. Pemberian antibiotika :1,3


a. Antibiotik topikal
Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dan sekret yang banyak tanpa
dibersihkan dulu adalah tidak efektif. Bila sekret berkurang atau tidak progresif lagi
diberikan obat tetes yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid. Irigasi
dianjurkan dengan garam faal agar lingkungan bersifat asam yang merupakan
media yang buruk untuk tumbuhnya kuman.
Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan agar masuk sampai telinga
tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik yang ototoksik misalnya neomisin dan
lamanya tidak lebih dari 1 minggu. Cara pemilihan antibiotik yang paling baik
dengan berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistensi.

Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada otitis media kronik adalah :
1. Polimiksin B atau polimiksin E
Obat ini bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatif.
2. Neomisin
Obat bakterisid pada kuman gram positif dan negatif. Toksik terhadap ginjal dan
telinga.
3. Kloramfenikol

28
Obat ini bersifat bakterisid terhadap basil gram positif dan negatif kecuali
Pseudomonas aeruginosa.

b. Antibiotik sistemik.1,3
Pemilihan antibiotik sistemik untuk OMSK juga sebaiknya berdasarkan
kultur kuman penyebab. Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus
disertai pembersihan sekret profus. Bila terjadi kegagalan pengobatan, perlu
diperhatikan faktor penyebab kegagalan yang ada pada penderita tersebut.
Dengan melihat konsentrasi obat dan daya bunuhnya terhadap mikroba,
antimikroba dapat dibagi menjadi 2 golongan. Golongan pertama daya bunuhnya
tergantung kadarnya. Makin tinggi kadar obat, makin banyak kuman terbunuh,
misalnya golongan aminoglikosida dan kuinolon. Golongan kedua adalah
antimikroba yang pada konsentrasi tertentu daya bunuhnya paling baik. Peninggian
dosis tidak menambah daya bunuh antimikroba golongan ini, misalnya golongan
beta laktam.
Untuk bakteri aerob dapat digunakan golongan kuinolon (siprofloksasin dan
ofloksasin) atau golongan sefalosforin generasi III (sefotaksim, seftazidin, dan
seftriakson) yang juga efektif untuk Pseudomonas, tetapi harus diberikan secara
parenteral.
Untuk bakteri anaerob dapat digunakan metronidazol yang bersifat bakterisid.
Pada OMSK aktif dapat diberikan dengan dosis 400 mg per 8 jam selama 2 minggu
atau 200 mg per 8 jam selama 2-4 minggu.

B. Otitis media supuratif kronik maligna.1,3,5


Pengobatan yang tepat untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan
konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum
dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses
sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi. Ada
beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dapat dilakukan pada OMSK
dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara lain :
1. Mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy)

29
2. Mastoidektomi radikal
3. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi
4. Miringoplasti
5. Timpanoplasti
6. Pendekatan ganda timpanoplasti (combined approach tympanoplasty)
Tujuan operasi adalah menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki
membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan
pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran.

30
31
Gambar 3.5. Pedoman Tatalaksana OMSK5

3.10. Komplikasi
Paparella dan Shumrick (1980) membagi komplikasi OMSK dalam :1,3
A. Komplikasi otologik
1. Mastoiditis koalesen
2. Petrositis
3. Paresis fasialis
4. Labirinitis
B. Komplikasi intrakranial
1. Abses ekstradural
2. Trombosis sinus lateralis
3. Abses subdural
4. Meningitis
5. Abses otak
6. Hidrosefalus otitis
Cara penyebaran infeksi :
1. Penyebaran hematogen
2. Penyebaran melalui erosi tulang

32
3. Penyebaran melalui jalan yang sudah ada.

Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intra kranial harus melewati 3 macam
lintasan :1,3
1. Dari rongga telinga tengah ke selaput otak
Melalui jalan yang sudah ada, seperti garis fraktur tulang temporal, bagian tulang
yang lemah atau defek karena pembedahan, dapat memudahkan masuknya infeksi.
2. Menembus selaput otak.
Dimulai begitu penyakit mencapai dura, menyebabkan pakimeningitis. Dura sangat
resisten terhadap penyebaran infeksi, akan menebal, hiperemi, dan lebih melekat ketulang.
Jaringan granulasi terbentuk pada dura yang terbuka dan ruang subdura yang berdekatan.
3. Masuk ke jaringan otak.
Pembentukan abses biasanya terjadi pada daerah diantara ventrikel dan permukaan
korteks atau tengah lobus serebelum. Cara penyebaran infeksi ke jaringan otak ini dapat
terjadi baik akibat tromboflebitis atau perluasan infeksi ke ruang Virchow Robin yang
berakhir di daerah vaskular subkortek.

3.11. Prognosis
Pasien dengan OMSK memiliki prognosis yang baik apabila dilakukan kontrol yang
baik terhadap proses infeksinya. Pemulihan dari fungsi pendengaran bervariasi dan
tergantung dari penyebab. Hilangnya fungsi pendengaran oleh gangguan konduksi dapat
dipulihkan melalui prosedur pembedahan, walaupun hasilnya tidak sempurna.10
Keterlambatan dalam penanganan karena sifat tidak acuh dari pasien dapat
menimbulkan kematian yang merupakan komplikasi lanjut OMSK yang tidak ditangani
dengan segera. Kematian akibat OMSK terjadi pada 18,6% pasien karena telah mengalami
komplikasi intrakranial yaitu meningitis.3,10

BAB IV

33
PEMBAHASAN

Definisi otitis media supuratif kronik (OMSK) menurut WHO adalah


adanya otorea yang menetap atau rekuren selama lebih dari 2 minggu dengan
perforasi membran timpani. Berdasarkan ICD-10, diagnosis OMSK ditegakkan jika
terdapat perforasi membran timpani disertai pengeluaran sekret terjadi selama
minimal dalam 6 minggu dimana sekret yang keluar dari telinga tengah ke telinga
luar dapat berlangsung terus-menerus atau hilang timbul. Menurut Buku THT FKUI
edisi keenam, Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah infeksi kronis di
telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari
telinga tengah terus-menerus atau hilang timbul yang berlangsung lebih dari 2
bulan. Jadi, karena pasien menunjukkan manifestasi klinis otorea yaitu telinga
mengeluarkan cairan sejak 2 bulan yang lalu serta ditemukannya perforasi
membran timpani pada telinga kanan dan kiri, maka pasien dapat didiagnosis
menderita Otitis Media Supuratif Kronik.
Pasien mengeluh keluar cairan lengket berwarna kuning dari telinga
tengahnya sejak 2 bulan yang lalu, dan setiap hari. Pada kasus ini, Otitis media
akuta yang diderita pasien tidak mencapai stadium resolusi karena perforasi yang
menetap dengan sekret yang keluar secara intermiten. Hal ini dapat terjadi karena
beberapa faktor seperti imunitas atau daya tahan tubuh pasien rendah, pengobatan
yang dilakukan tidak adekuat atau tidak tuntas misalnya pemberian obat tidak
teratur, tingkat virulensi kuman yang tinggi, adanya infeksi fokal di hidung dan
faring, dan lain-lain.
Faktor risiko timbulnya OMSK adalah gangguan fungsi tuba eustachius
akibat infeksi hidung dan tenggorokan yang berlangsung kronik atau sering
berulang, obstruksi tuba, pembentukan jaringan ikat, penebalan mukosa, polip,
adanya jaringan granulasi, timpanosklerosis, OMSK juga lebih mudah terjadi pada
orang yang pernah terkena penyakit telinga pada masa kanak-kanak, perforasi
membran timpani persisten, terjadinya metaplasia pada telinga tengah, otitis media
yang virulen, memiliki alergi, keadaan imunitas yang menurun.

34
Pasien menderita OMSK tipe benigna karena telinga mengeluarkan sekret
secara intermiten dan ditemukannya membran timpani yang mengalami perforasi
sentral tanpa terbentuknya kolesteatoma, jaringan granulasi, destruksi ke tulang
ataupun adanya komplikasi lain.
Dalam otitis media pendengaran biasanya berkurang akibat tuli konduktif
yang berkisar antara 20-50 dB. Pemeriksaan fungsi pendengaran biasanya
dilakukan untuk mengetahui jenis ketulian dan derajat ketulian pasien serta untuk
mengevaluasi kondisi pasien apakah sudah mengalami perbaikan atau belum.
Timpanometri biasanya dilakukan bersama dengan audiometri. Dalam otitis media
juga dapat dilakukan pneumotoskopi untuk mengetahui pergerakan membran
timpani, apakah ada kekakuan atau tidak. Jika membran timpani sudah mengalami
perforasi sekecil apapun, pemberian angin terhadap membran timpani tidak akan
membuatnya bergerak.
Anjuran pemeriksaan fungsi pendengaran dalam kasus ini adalah
pemeriksaan Rinne, Weber, dan Swabach, audiometri, Pada pemeriksaan Rinne
diharapkan negatif agar sesuai dengan keadaan tuli konduktif. Pada pemeriksaan
Weber jika terdapat lateralisasi ke satu telinga berarti ada perbedaan derajat ketulian
antara telinga kanan dan kiri. Pada pemeriksaan Swabach diharapkan hasilnya
memanjang untuk menunjang adanya tuli konduktif. Tuli konduktif pada pasien
diakibatkan oleh adanya cairan atau pus dalam telinga tengah yang menyebabkan
gangguan pergerakan tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus, dan stapes)
sehingga konduksi suara menjadi terhambat. Selain itu, sekret nasofaringeal dapat
refluks ke telinga tengah sehingga clearance cavum timpani menurun. Namun pada
beberapa kasus OMSK dapat menimbulkan tuli sensorineural dan tuli campur.
Untuk menentukan jenis bakteri yang menjadi penyebab infeksi pada pasien
dibutuhkan pemeriksaan kultur spesimen. Lagipula kultur juga berguna untuk
memilih jenis antibiotik yang spesifik untuk melawan bakteri penyebabnya.
Prinsip terapi OMSK tipe benigna adalah terapi konservatif atau dengan
medikamentosa. Bila sekret keluar secara terus menerus larutan H202 3% diberikan
untuk 3-5 hari. Nanti setelah sekret berkurang diberikan tetes telinga yang
mengandung antibiotik dan kortikosteroid. Karena obat tetes telinga banyak yang

35
memiliki efek samping ototoksik, maka tetes telinga dianjurkan hanya dipakai 1
atau 2 minggu dan pada OMSK yang sudah tenang. Secara oral dapat diberikan
antibiotika Ampicilin atau Eritromisin bila pasien alergi terhadap Penicillin. Jika
dicurigai resisten maka diberikan ampicilin asam klavulanat. Namun cara
pemilihan antibiotika yang paling baik ialah berdasarkan kultur kuman penyebab
dan uji resistensi. Bila sekret telah kering namun perforasi menetap setelah
observasi selama 2 bulan maka sebaiknya dilakukan miringoplasti atau
timpanoplasti dengan tujuan menghentikan infeksi dan memperbaiki membran
timpani yang ruptur sehingga fungsi pendengaran membaik dan komplikasi tidak
terjadi.

BAB V

36
KESIMPULAN

OMSK adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media supuratif kronik
adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-tanda yang bersifat
kronis.
Penegakan diagnosis dilakukan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Terapi dibedakan berdasarkan stadium dari penyakit
Pada pasien ini, ditemukan bahwa pasien menderita OMSK telinga dextra
sinistra, sehingga pada pasien ini direncanakan terapi dengan medikamentosa dan
diberikan komunikasi edukasi mengenai penyakit dan tata laksananya.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Zainul A djaafaar. Pentingnya diagnosis dini oada otitis media supuratif.


Kumpulan naskah kongres nasional VI PERHATI medan. 30 juni-2 juli
2007. P.30
2. Adams GL,Bois LR. Fundamental of otolaryngology textbook of Ear,Nose,
and Throath disease 5th edition. Philadelphia,London,Toronto. 2008. P. 195-
215
3. Becker W Naumann. Ear, Nose And Throath disease edited by Ricahrd.
Buckingham georg thieme verlag. 2009. P.28-82
4. Gibson WPR. Otolaryngology 5th edition editor by John B . international
edition 2010. P. 602
5. Jung TTK and Rhe CK. Otolaringologic approach to the diagnosis and
management of otitis media. Otolaryngology clinics of north America.
August 2006
6. Valvassori GE. Imaging of temporal bone and surgery of the ear 4th edition.
WB saunders company. Philadelphia. 2007. P.100-142
7. Shenoi PM. Management of otitis media . scoots browns otolaryngology 5th
edition buttleworth international edition. 2005 p215-280
8. Sando I, Takahashi. Update on functional anatomy and pathology of human
ear related to otitis media. 2009. P.251-323

38

Anda mungkin juga menyukai