OLEH :
FERASINTA
2015980103
ت ُ ْا َ ْل َحا َجةُ ت َِن ْْز ُل َم ْن ِزلَةَ الض َُّر ْو َر ِة َوالض َُّر ْو َرة ُ ت ُ ِب ْي ُح ْال َمح
ِ ظ ْو َرا
“Hajat (kebutuhan yang sangat penting) diperlakukan seperti dalam keadaan terpaksa.
Padahal keadaan darurat/terpaksa itu membolehklan melakukan hal-hal yang
terlarang”.
Dalil-dalil Syar’i yang dapat dijadikan sebagai landasan hukumnya adalah Al-
Qur’an Surat Al-Isra ayat 70
ض ا
يًل ٍ ت َوفَض َّْلنَا ُه ْم َعلَى َك ِث
ِ ير ِم َّم ْن َخلَ ْقنَا ت َ ْف َّ َولَقَدْ ك ََّر ْمنَا َب ِني آدَ َم َو َح َم ْلنَا ُه ْم ِفي ْال َب ِ ِّر َو ْال َبحْ ِر َو َرزَ ْقنَا ُه ْم ِمنَ ال
ِ ط ِِّي َبا .
Hadits Nabi :
ع َغي ِْر ِه َ ََل يَ ِح ُّل َِل ِم ْْرئ يُؤْ ِمنُ ِباهللِ َو ْاليَ ْو ِم ْاْل َ ِخ ِر أ َ ْن يَ ْس ِق
َ ي َما َءهُ زَ ْر
“Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir menyiramkan
airnya (sperma) pada tanaman orang lain (vagina istri orang lain). (Hadits Riwayat
Abu Daud, Al-Tirmidzi, dan hadits ini dipandang shahih oleh Ibnu Hibban)”
b. Hukum Kloning
Menurut syara’ hokum Kloning pada tumbuhan dan hewan tidak apa-apa untuk
dilakukan dan termasuk aktivitas yang mubah hukumnya. Dari hal itu memanfaatkan
tanaman dan hewan dalam proses Kloning guna mencari obat yang dapat
menyembuhkan berbagai penyakit manusia –terutama yang kronis– adalah kegiatan
yang dibolehkan Islam, bahkan hukumnya sunnah (mandub), sebab berobat hukumnya
sunnah. Begitu pula memproduksi berbagai obat-obatan untuk kepentingan pengobatan
hukumnya juga sunnah. Imam Ahmad telah meriwayatkan hadits dari Anas RA yang
telah berkata, bahwa Rasulullah SAW berkata:
Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Usamah bin Syuraik RA, yang
berkata:
”Aku pernah bersama Nabi, lalu datanglah orang-orang Arab Badui. Mereka
berkata,’Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat ?”
“Ya. Hai hamba-hamba Allah, berobatlah kalian, sebab sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla tidaklah menciptakan penyakit kecuali menciptakan pula obat baginya…”
Kloning pada manusia haram menurut hukum Islam dan tidak boleh dilakukan. Dalil-
dalil keharamannya adalah sebagai berikut :
1. Anak-anak produk proses Kloning tersebut dihasilkan melalui cara yang tidak alami.
Padahal justru cara alami itulah yang telah ditetapkan oleh Allah untuk manusia dan
dijadikan-Nya sebagai sunnatullah untuk menghasilkan anak-anak dan keturunan.
Allah SWT berfirman :
“Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian
mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan
menyempurnakannya.” (QS. Al Qiyaamah : 37-38)
2. Anak-anak produk Kloning dari perempuan saja (tanpa adanya laki-laki), tidak akan
mempunyai ayah. Dan anak produk Kloning tersebut jika dihasilkan dari proses
pemindahan sel telur-yang telah digabungkan dengan inti sel tubuh-ke dalam rahim
perempuan yang bukan pemilik sel telur, tidak pula akan mempunyai ibu. Sebab
rahim perempuan yang menjadi tempat pemindahan sel telur tersebut hanya menjadi
penampung, tidak lebih. Ini merupakan tindakan menyia-nyiakan manusia, sebab
dalam kondisi ini tidak terdapat ibu dan ayah. Hal ini bertentangan dengan firman
Allah SWT :
“Hai manusia, sesunguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan.” (QS. Al Hujuraat : 13)
3. Kloning manusia akan menghilang nasab (garis keturunan). Padahal Islam telah
mewajibkan pemeliharaan nasab. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas RA, yang
mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
“Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau
(seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan
mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.” (HR. Ibnu
Majah).
Menimbang,
1. Bahwa salah satu hasil kemajuan yang dicapai oleh iptek adalah Kloning, yaitu
“suatu proses penggandaan makhluk hidup dengan cara nucleus transfer dari sel
janin yang sudah beerdiferensiasi dari sel dewasa”, atau “penggandaan makhluk
hidup menjadi lebih banyak, baik dengan memindahkan inti sel tubuh ke dalam
indung telur pada tahap sebelum terjadi pemisahan sel-sel bagian-bagian tubuh”
2. Bahwa masyarakat senantiasa mengharapkan penjelasan hukum Islam tentang
Kloning, baik Kloning terhadap tumbuh-tumbuhan, hewan, dan terutama Kloning
terhadap manusia/
3. Bahwa oleh karena itu, MUI dipandang perlu untuk menetapkan fatwa tentang
hukum Kloning untuk dijadikan pedoman.
Memperhatikan:
1. Kloning tidak sama dengan, dan sedikit pun tidak berarti, penciptaan, melainkan
hanya sekedar penggandaan.
2. Secara umum, Kloning terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan akan membawa
kemanfaatan dan kemaslahatan kepada umat manusia.
3. Kloning terhadap manusia dapat membawa manfaat, antara lain : rekayasa genetik
lebih efisien dan manusia tidak perlu khawatir akan kekurangan organ tubuh
pengganti (jika memerlukan) yang biasa diperoleh melalui donor, dengan Kloning ia
tidak akan lagi merasa kekurangan ginjal, hati, jantung, darah, dan sebagainya,
karena ia bisa mendapatkannya dari manusia hasil teknologi Kloning.
4. Kloning terhadap manusia juga dapat menimbulkan mafsadat (dampak negatif yang
tidak sedikit; antara lain :
a. menghilangkan nasab anak hasil Kloning yang berakibat hilangnya banyak hak
anak dan terabaikan-nya sejumlah hukum yang timbul dari nasab;
b. institusi perkawinan yang telah disyari’atkan sebagai media berketurunan secara
sah menjadi tidak diperlukan lagi, karena proses reproduksi dapat dilakukan tanpa
melakukan hubungan seksual
c. lembaga keluarga (yang dibangun melalui perkawinan) akan menjadi hancur, dan
pada gilirannya akan terjadi pula kehancuran moral (akhlak), budaya, hukum, dan
syari’ah Islam lainnya
d. tidak akan ada lagi rasa saling mencintai dan saling memerlukan antara laki-laki
dan perempuan
e. hilangnya maqashid syari’ah dari perkawinan, balk maqashid awwaliyah (utama)
maupun maqashid tabi’ah (sekunder).
Mengingat
1. Firman Allah S WT : “Dan Dia menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) dariNva. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang berfikir” (QS. al-Jatsiyah [45].- 13).
2. Firman Allah SWT : “Dan Kami telah memuliakan anak-anakAdam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari Yang baik-baik, dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas rraakhluk vang telah
Kami ciptakan ” (QS. al-Isra'[I7]: 70).
3. Firman Allah SWT : “..f apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah
yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nva sehingga kedua ciptaan itu serupa
menurut pandangan mereka. Katakanlah, ‘Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan
Dialah Tuhan Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa (QS. al-Ra’d [13]: 16)
4. firman Allah SWT : “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakar manusia dari
saripati (berasal) dari tanah. Kemudiar Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan ; dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air man: itu Kami jadikan
segumpal darah, lalu segumpa. darah itu Kami jadikan segumpal daging, dar.
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulan, lalu tulang belulang itu Kami
bungkus dengan dagiri 27 Kemudian Kami jadikan dia makhluk (berbentuk) lain.
Maha sucilah Allah, Pencipta Paling baik” (QS. al-Mu’minun (23]: 12-14).
5. Kaidah Fiqhiyah : “Menghindarkan kerusakan (hal-hal yang negatif) diutamakan
dari pada mendatangkan kemaslahatan”
Memutuskan
Kita melihat ada beberapa titik perbedaan pendapat yang bila kita sarikan akan terbagi
menjadi beberapa pendapat, yaitu :
1. Pendapat pertama
Khitan Hukumnya sunnah bukan wajib. Pendapat ini dipegang oleh mazhab
Hanafi (lihatHasyiah Ibnu Abidin: 5-479; Al Ikhtiyar 4-167), mazhab Maliki
(lihat Asy Syarhu Ash Shaghir 2-151) dan Syafi`i dalam riwayat yang syaz (lihat Al
Majmu` 1-300).
Menurut pandangan mereka khitan itu hukumnya hanya sunnah bukan wajib,
namun merupakan fithrah dan syiar Islam. Bila seandainya seluruh penduduk negeri
sepakat untuk tidak melakukan khitan, maka negara berhak untuk memerangi
mereka sebagaimana hukumnya bila seluruh penduduk negeri tidak melaksanakan
azan dalam shalat.
Khusus masalah mengkhitan anak wanita, mereka memandang bahwa
hukumnya mandub (sunnah), yaitu menurut mazhab Maliki, mazhab Hanafi dan
Hanbali. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Ibnu Abbas marfu` kepada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. `Khitan itu sunnah buat laki-laki dan
memuliakan buat wanita.` (HR Ahmad dan Baihaqi).
Selain itu mereka juga berdalil bahwa khitan itu hukumnya sunnah bukan
wajib karena disebutkan dalam hadits bahwa khitan itu bagian dari fithrah dan
disejajarkan dengan istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencukur kumis,
memotong kuku dan mencabut bulu ketiak. Padahal semua itu hukumnya sunnah,
karena itu khitan pun sunnah pula hukumnya.
2. Pendapat kedua
Khitan itu hukumnya wajib bukan sunnah, pendapat ini didukung oleh mazhab
Syafi`i (lihat Al Majmu` 1-284/285; Al Muntaqa 7-232), mazhab Hanbali
(lihat Kasysyaf Al Qanna` 1-80 dan Al Inshaaf 1-123).
Mereka mengatakan bahwa hukum khitan itu wajib baik baik laki-laki maupun
bagi wanita. Dalil yang mereka gunakan adalah ayat Al Quran dan sunnah:
`Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti millah Ibrahim yang
lurus` (QS. An-Nahl: 123). Dan hadits dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh berkata
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, `Nabi Ibrahim ‘Alaihis
Salam berkhitan saat berusia 80 dengan kapak`. (HR. Bukhari dan muslim).
Kita diperintah untuk mengikuti millah Ibrahim Alaihis Salam karena
merupakan bagian dari syariat kita juga`. Dan juga hadits yang berbunyi, `Potonglah
rambut kufur darimu dan berkhitanlah` (HR. Asy Syafi`i dalam kitab Al Umm yang
aslinya dri hadits Aisyah riwayat Muslim).
3. Pendapat ketiga
Wajib bagi laki-laki dan mulia bagi wanita. Pendapat ini dipengang oleh Ibnu
Qudamah dalam Al Mughni, yaitu khitan itu wajib bagi laki-laki dan mulia bagi
wanita tapi tidak wajib. (lihat Al Mughni 1-85). Di antara dalil tentang khitan bagi
wanita adalah sebuah hadits meski tidak sampai derajat shahih bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah menyuruh seorang perempuan yang
berprofesi sebagai pengkhitan anak wanita. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam bersabda : `Sayatlah sedikit dan jangan berlebihan, karena hal itu akan
mencerahkan wajah dan menyenangkan suami.
Jadi untuk wanita dianjurkan hanya memotong sedikit saja dan tidak sampai
kepada pangkalnya. Namun tidak seperti laki-laki yang memang memiliki alasan
yang jelas untuk berkhitan dari sisi kesucian dan kebersihan, khitan bagi wanita
lebih kepada sifat pemuliaan semata. Hadits yang kita miliki pun tidak secara tegas
memerintahkan untuk melakukannya, hanya mengakui adanya budaya seperti itu dan
memberikan petunjuk tentang cara yang dianjurkan dalam mengkhitan wanita.
Sehingga para ulama pun berpendapat bahwa hal itu sebaiknya diserahkan
kepada budaya tiap negeri, apakah mereka memang melakukan khitan pada wanita
atau tidak. Bila budaya di negeri itu biasa melakukannya, maka ada baiknya untuk
mengikutinya. Namun biasanya khitan wanita itu dilakukan saat mereka masih kecil.
Sedangkan khitan untuk wanita yang sudah dewasa, akan menjadi masalah tersendiri
karena sejak awal tidak ada alasan yang terlalu kuat untuk melakukanya. Berbeda
dengan laki-laki yang menjalankan khitan karena ada alasan masalah kesucian dari
sisa air kencing yang merupakan najis. Sehingga sudah dewasa, khitan menjadi
penting untuk dilakukan.
Menurut Imam Ibnul Qayyim, alat kelamin perempuan terdiri atas dua bagian.
Bagian pertama merupakan simbol kegadisannya dan bagian kedua adalah bagian
yang harus dipotong saat ia khitan. Bentuknya seperti jengger ayam jantan, bagian ini
terletak di bagian farji paling atas diantara dua tepinya. Jika bagian ini dipotong,
sisanya akan berbentuk seperti biji kurma. Cara memotongnya tidak boleh berlebihan
dan tidak perlu memotong semua bagian itu.
1. Khitan pada wanita yang dilakukan secara benar justru bermanfaat untuk kehidupan
seksual wanita yang bersangkutan. Karena membuat lebih bersih dan lebih mudah
menerima rangsangan.
2. Khitan dapat membawa kesempumaan agama, karena ia disunnahkan.
3. Khitan adalah cara sehat yang memelihara seseorang dari berbagai penyakit.
4. Khitan membawa kebersihan, keindahan, dan meluruskan syahwat.
Khitan perempuan merupakan sunnah fitrah yang sudah diterima oleh umat
Islam. Walaupun terjadi perbedaan pendapat para ulama dalam masalah hukum khitan
pada perempuan, namun syiar khitan perempuan ini harus dilakukan oleh umat Islam.
Karena khitan perempuan yang sesuai dengan prosedur dan dilakukan oleh orang yang
mengerti caranya, akan membawa hikmah yang baik bagi perempuan dalam
menstabilkan syahwatnya. Dan juga akan bermanfaat bagi hubungan suami istri
selanjutnya. Para bidan dan dokter yang mengkhitan perempuan harus berhati-hati,
sehingga tidak memotong atau menyayat terlalu besar, sehingga akan membawa akibat
yang buruk bagi yang dikhitan.
Sehubungan dengan menjaga diri dari penyimpangan seksual, maka para
muslimah harus mendekatkan diri kepada Allah dan merasakan selalu pengawasan
Allah.Sehingga perzinahan dan perselingkuhan jauh dari kita umat Islam ini. Mengenai
adanya pelarangan khitan bagi perempuan dari beberapa pihak, hal itu sebenarnya tidak
hak bagi siapapun melarang sesuatu yang dibolehkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Kalau
terdapat kesalahan dalam praktek, maka kesalahan itu saja yang harus diluruskan.
3. Fenomena aborsi merupakan masalah sosial yang sulit dihentikan. Anehnya aborsi
banyak dilakukan oleh pasangan yang menikah secara sah. Coba saudara jelaskan
bagaimanakah hukum aborsi dalam islam? Apa argumentasinya?
Jawaban :
Aborsi atau abortus adalah pengakhiran kehamilan atau hasil konsepsi sebelum janin
dapat hidup di luar kandungan. Di dalam Islam, aborsi merupakan suatu hal yang sangat
dilarang. Pelaku aborsi sama halnya dengan dengan pelaku pembunuhan. Akan tetapi, para
ulama fiqih berbeda pendapat mengenai kebolehannya. Yang memperbolehkan aborsi
sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An-
Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang
memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.
Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Imam Ibnu Hajar (w. 1567
M) dalam kitabnya At-Tuhfah dan Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumudin.
Di dalam teks-teks al Qur’an dan Hadist tidak didapati secara khusus hukum aborsi, tetapi
yang ada adalah larangan untuk membunuh jiwa orang tanpa hak, sebagaimana firman
Allah swt :
ّللاُ َعلَ ْي ِه َولَ َعنَهُ َوأَ َعدَّ لَهُ َعذَاباا َع ِظي اما
ِّ ب ِ َو َمن يَ ْقت ُ ْل ُمؤْ ِمناا ُّمتَ َع ِ ِّمداا فَ َجزَ آ ُؤهُ َج َهنَّ ُم خَا ِلداا فِي َها َوغ
َ َض
“ Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya
adalah neraka Jahanam, dan dia kekal di dalamnya,dan Allah murka kepadanya dan
melaknatnya serta menyediakan baginya adzab yang besar( Qs An Nisa’ : 93 )
Begitu juga hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwasanya Rosulullah saw
bersabda :
ضغَةا ِمثْ َل ذَلِكَ ث ُ َّمْ ط ِن أ ُ ِ ِّم ِه أ َ ْربَعِينَ يَ ْو اما ث ُ َّم يَ ُكونُ فِي ذَلِكَ َعلَقَةا ِمثْ َل ذَلِكَ ث ُ َّم يَ ُكونُ فِي ذَلِكَ ُم ْ َِإ َّنََ أ َ َحدَ ُك ْم يُجْ َم ُع خ َْلقُهُ فِي ب
س ِعيد َ ش ِقي أَ ْو َ ب ِر ْزقِ ِه َوأَ َج ِل ِه َو َع َم ِل ِه َو ُّ س ُل ْال َملَكُ فَيَ ْنفُ ُخ فِي ِه
ٍ الرو َح َويُؤْ َم ُر بِأ َ ْربَعِ َك ِل َما
ِ ْت ِب َكت َ ي ُْر
“ Sesungguhnya seseorang dari kamu dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya
selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari kedua, terbentuklah segumlah
darah beku. Ketika genap empat puluh hari ketiga , berubahlah menjadi segumpal
daging. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh, serta memerintahkan
untuk menulis empat perkara, yaitu penentuan rizki, waktu kematian, amal, serta
nasibnya, baik yang celaka, maupun yang bahagia. “ ( Bukhari dan Muslim )
Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w.
1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang
bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang
mengalami pertumbuhan.
Argumentasinya : Tindakan melakukan aborsi sangat di larang dalam islam karena bisa
dikatakan pembunuhan jiwa seseorang. Oleh karena itu, kita sebagai umat islam wajib
menjaga dan menjauhi adanya tindakan aborsi tersebut. Kecuali ada hal yang darurat
seperti harus menyelamatkan nyawa ibu.
4. Bank ASI merupakan sesuatu yang tidak asing lagi di zaman sekarang.
Bagaimanakah menurut anda tentang bank ASI itu? Jawaban dihubungkan dengan
masalah akibat dan pengaruh terhadap berbagai hal.
Jawaban :
“ Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. “ ( Qs Al Baqarah : 233 )
Maksudnya bahwa seorang bayi yang berumur dua tahun ke bawah ketika merasa
lapar, kemudian menyusui, maka dia akan menjadi kenyang. Susu tersebut akan
mempengaruhi pertumbuhan tulang dan dagingnya.
Madzhab Syafi’i dan Hanbali mengatakan bahwa susuan yang mengharamkan
adalah jika telah melewati 5 kali susuan secara terpisah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah
ra, bahwasanya beliau berkata :
َّ صلَّى
َُّللا َّ سو ُل
َ َِّللا َ ِِخنَ بِخ َْمس َم ْعلُو َمات فَتُ ُوف
ُ ي َر ْ ضعَات َم ْعلُو َمات يُ َح ِر ْمنَ ث ُ َّم نُس
َ آن َع ْش ُر َر ِ انَ فِي َما أ ُ ْن ِز َل ِم ْن ْالقُ ْر
سلَّ َم َوه َُّن فِي َما يُ ْق َرأ ُ ِم ْن
َ َعلَ ْي ِه َو
ِ ْالقُ ْر
آن
"Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh
kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja.
Lalu Rasulullah saw wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu." ( HR
Muslim)
Kapan seorang bayi menyusui dan dianggap sebagai satu susuan? Yaitu jika dia
menyusui, setelah kenyang dia melepas susuan tersebut menurut kemauannya. Jika dia
menyusu lagi setelah satu atau dua jam, maka terhitung dua kali susuan dan seterusnya
sampai lima kali menyusu. Kalau si bayi berhenti untuk bernafas, atau menoleh kemudian
menyusu lagi, maka hal itu dihitung satu kali susuan saja. (Sidiq Hassan Khan, Raudhatu
an Nadiyah, 2/174 ).
Para ulama berbeda pendpat tentang tata cara menyusu yang bisa mengharamkan:
Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang penting adalah sampainya air susu tersebut ke
dalam perut bayi, sehingga membentuk daging dan tulang, baik dengan cara menghisap
puting payudara dari perempuan langsung, ataupun dengan cara as su’uth (memasukkan
susu ke lubang hidungnya), atau dengan cara al wujur (menuangkannya langsung ke
tenggorakannya ), atau dengan cara yang lain.
Adapun Madzhab Dhohiriyah mengatakan bahwa persusuan yang mengharamkan
hanyalah dengan cara seorang bayi menghisap puting payudara perempuan secara
langsung. Selain itu, maka tidak dianggap susuan yang mengharamkan. Mereka berpegang
kepada pengertian secara lahir dari kata menyusui yang terdapat di dalam firman Allah swt
:
ع ِة
َ ضا
َ الر َ َوأ ُ َّم َهات ُ ُك ُم الالَّتِي أ َ ْر
َّ َض ْعنَ ُك ْم َوأَخ ََوات ُ ُكم ِمن
“(Diharamkan atas kamu mengawini) Ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara
perempuan sepersusuan.” (Qs an Nisa’ : 23)
Perbedaan pandangan ulama terhadap beberapa masalah penyusuan di atas,
mengakibatkan mereka berbeda pendapat di dalam menyikapi munculnya Bank ASI :
1. Bayi yang mengambil air susu dari bank ASI tidak bisa menjadi mahram bagi
perempuan yang mempunyai ASI tersebut, karena susuan yang mengharamkan adalah
jika dia menyusu langsung dengan cara menghisap puting payudara perempuan yang
mempunyai ASI, sebagaimana seorang bayi yang menyusu ibunya. Sedangkan dalam
bank ASI, sang bayi hanya mengambil ASI yang sudah dikemas.
2. Mendirikan Bank ASI hukumnya haram. Alasan mereka bahwa Bank ASI ini akan
menyebabkan tercampurnya nasab, karena susuan yang mengharamkan bisa terjadi
dengan sampainya susu ke perut bayi tersebut, walaupun tanpa harus dilakukan
penyusuan langsung, sebagaimana seorang ibu yang menyusui anaknya. Dalil-dalilnya
sudah dijelaskan di atas.
3. Pendirian Bank ASI dibolehkan jika telah memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat,
diantaranya : setiap ASI yang dikumpulkan di Bank ASI, harus disimpan di tempat
khusus dengan menulis nama pemiliknya dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain.
Setiap bayi yang mengambil ASI tersebut harus ditulis juga dan harus diberitahukan
kepada pemilik ASI tersebut, supaya jelas nasabnya. Dengan demikian, percampuran
nasab yang dikhawatirkan oleh para ulama yang melarang bisa dihindari.
Donor ASI melalui bank ASI, berpotensi merancukan hubungan mahram atau
persaudaraan karena sepersusuan. Pendonor hanya sekedar memberikan identitas dirinya
secara umum, seperti seseorang yang akan mendonorkan darahnya. Selanjutnya tidak
dapat dilacak siapa saja bayi-bayi yang pernah mengkonsumsi ASI-nya, sehingga tidak
jelas bagi seseorang siapa bermahram dengan siapa. Akibatnya, akan terjadi kelak di
kemudian hari, seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita yang ternyata pernah
mengkonsumsi ASI dari seorang wanita pendonor ASI yang sama. Bila hal ini terjadi,
berarti pasangan tersebut telah melakukan keharaman karena menikahi mahram yang
terjadi akibat ikatan saudara sepersusuan. Inilah bahaya yang nyata dari keberadaan donor
ASI yang disimpan di bank ASI tanpa dilengkapi dengan pencatatan secara syari.
Oleh karena itu, Kementrian Kesehatan yang sedang menggodok peraturan yang
berkaitan dengan donor ASI dan bank ASI, harus memperhatikan kaidah-kaidah syariat
Islam yang berkaitan dengan hubungan nasab sepersusuan.