Anda di halaman 1dari 8

Tutorial Januari, 2017

TRAUMATOLOGI
“Laka Lantas”

Disusun Oleh :
NAMA : Nalto Mentara
STAMBUK : N 101 13 035
KELOMPOK : 12

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2017
1. Sistem rujukan pada kasus skenario!
2. Penatalaksanaan syok hipovolemik!
3. Jenis komplikassi fraktur berdasarkan lokasinya serta penatalaksanaannya!
4. Pengertian syok spinal!

Jawab :

1. Cara merujuk pasien sesuai kasus yang ada pada scenario.


Tata Cara Pelaksanaan Sistem Rujukan
Pasien yang akan dirujuk harus sudah diperiksa dan layak untuk dirujuk.
Adapun Kriteria pasien yang dirujuk adalah apabila memenuhi salah satu dari :
1. Hasil pemeriksaan fisik sudah dapat dipastikan tidak mampu diatasi.
2. Hasil pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan penunjang medis ternyata tidak mampu diatasi.
3. Memerlukan pemeriksaan penunjang medis yang lebih lengkap, tetapi pemeriksaan harus
disertai pasien yang bersangkutan.
4. Apabila telah diobati dan dirawat ternyata memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan
perawatan di sarana kesehatan yang lebih mampu.

Dalam prosedur merujuk dan menerima rujukan pasien ada dua pihak yang terlibat yaitu pihak
yang merujuk dan pihak yang menerima rujukan dengan rincian beberapa prosedur sebagai
berikut :1. prosedur standar merujuk pasien
2. prosedur standar menerima rujukan pasien
3. prosedur standar memberi rujukan balik pasien
4. prosedur standar menerima rujukan balik pasien

1. Prosedur standar merujuk pasien


a. prosedur klinis
(1). Melakukan anamesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medik untuk
menentukan diagnosa utama dan diagnosa banding.
(2). Memberikan tindakan pra rujukan sesuai kasus
(3). Memutuskan unit pelayanan tujuan rujukan
(4) untuk pasien gawat darurat harus didampingi petugas medis / paramedic yang berkompeten
dibidangnya dan mengetahui kondisi pasien
(5) apabila pasien diantar dengan kendaraan puskesmas keliling atau ambulans, agar petugas
dan kendaraan tetap menunggu pasien di IGDntujuan sampai ada kepastian pasien tersebut
mendapat pelayanan dan kesimpulan dirawat inap atau rawat jalan.
b. Prosedur Administratif
(1) dilakukan setelah pasien diberikan tindakan pra-rujukan
(2) membuat catatan rekam medis pasien
(3) memberi informed consent (persetujuan / penolakan rujukan)
(4) membuat surat rujukan pasien rangkap 2 lembar pertama dikirim ke tempat rujukan
bersama pasien yang bersangkutan. Lembar kedua disimpan sebagai arsip.Mencatat identitas
pasien pada buku regist rujukan pasien.
(5) menyiapkan sarana transportasi dan sedapat mungkin menjalin komunikasi dengan tempat
rujukan.
(6)pengiriman pasien sebaiknya dilaksanakan setelah diselesaikan administrasi yang
bersangkutan
Sumber: eprints.undip.ac.id/44813/3/BAB_II.pdf
2. Syok Hipovolemik:
1. Infus cepat kristaloid untuk ekspansi volume intravaskuler melalui kanula vena besar (dapat
lebih satu tempat) atau melalui vena sentral.
2. Pada perdarahan maka dapat diberikan 3-4 kali dari jumlah perdarahan. Setelah pemberian 3
liter disusul dengan transfusi darah. Secara bersamaan sumber perdarahan harus dikontrol.
3. Resusitasi tidak komplit sampai serum laktat kembali normal. Pasien syok hipovolemik berat
dengan resusitasi cairan akan terjadi penumpukan cairan di rongga ketiga.
4. Vasokonstriksi jarang diperlukan pada syok hipovolemik murni
Sumber :
Zainudin AA, dkk. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta

3. Jenis kompilaksi fraktur berdasarkan lokasinya dan penatalaksanaannya


a. Fraktur Costae
Tulang iga umumnya patah di daerah terjadinya benturan atau di daerah yang struktur
tulangnya lemah, biasanya di sudut posterior. Tulang iga ke–4 sampai ke–9 adalah yang paling
sering terjadi fraktur. Fraktur iga dapat terjadi akibat penetrasi yang menyebabkan
hematopneumotoraks dan darah yang dihasilkan oleh setiap patahan tulang iga dapat
mencapai 100–150mL. Fraktur iga ke–1 dan ke–2 dapat terjadi akibat benturan dengan yang
besar karena kedua tulang iga tersebut dilindungi oleh otot–otot yang cukup tebal. Tempat
yang paling sering terjadi fraktur pada iga ke–1 adalah di daerah sulkus subklavia dan di bagian
posterior. Posisi fraktur iga di dalam rongga toraks juga menentukan penyebab terjadinya
cedera, seperti fraktur iga bawah lebih banyak menyebabkan gangguan pada organ abdomen
dibandingkan parenkim paru. Fraktur iga bawah kiri dapat merusak limpa (risiko 22–28%),
fraktur iga bawah kanan dapat merusak hati (risiko 19–56%) dan fraktur iga ke–11 dan ke–12
dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal. Fraktur iga merupakan masalah besar pada paru
dengan insidens 84–94% yang berupa hemotoraks, pneumotoraks, dan kontusio paru.
Fraktur iga umumya terjadi akibat kompresi pada rongga toraks. Fraktur seringkali
terjadi pada putaran 60 derajat dari sternum karena di daerah ini merupakan lokasi yang lemah
dibandingkan lokasi lainnya.
Fraktur iga multipel dapat menyebabkan rasa nyeri, atelektasis dan gagal napas.
Diagnosis klinis fraktur iga didapatkan dari kelainan dada, pergerakan fragmen, ekimosis dan
juga pemeriksaan radiologi. Nyeri timbul pada saat inspirasi dan pasien berusaha untuk
mengurangi gerakan rongga dada yang berakibat pada hipoventilasi. Mengurangi rasa nyeri
juga menyebabkan berkurangnya batuk dan dan napas dalam yang berakibat pada retensi
sputum, atelektasis dan penurunan kapasitas residu fungsional. Faktor–faktor tersebut
menyebabkan penurunan lung compliance, perubahan V˙/Q ˙mismatch dan hipoksemia
Penatalaksanaan Fracture Costae
Biasanya penatalaksanaan fraktur iga seperti stabilisasi dengan pembedahan, tidak langsung
pada frakturnya karena fraktur iga cenderung sembuh dengan hasil yang baik dalam 10 sampai
14 hari. Terapi ditujukan kepada pencegahan terjadinya masalah gangguan respirasi. Kerusakan
paru dapat terjadi akibat rasa nyeri yang mengganggu pulmonary toilet serta kontusio paru
atau kombinasi keduanya. Terapi isinial yang diberikan berupa mengatasi rasa nyeri yang
timbul, fisioterapi dada dan mobilisasi. Modaliti untuk mengatasi rasa nyeri berupa terapi
sistemik dengan memberikan narkotik, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dan terapi
regional seperti blok tulang iga setempat, pemasangan chest tube dan analgesia epidural.
Rasa nyeri juga dapat diatasi dengan pemberian narkotik intravena, tetapi dapat
menyebabkan sedasi, penekanan batuk dan depresi pernapasan yang mempengaruhi
pulmonary toilet. Hal ini sebaiknya dihindari pemakaiannya pada orang tua karena dapat
menyebabkan pneumonia obstruksi. Analgesia epidural banyak digunakan sebagai terapi
regional untuk mengatasi rasa nyeri pada dinding dada. Meskipun invasif tindakan ini lebih
efektif dalam memperbaiki pulmonary toilet. Modalitas regional lain untuk mengatasi rasa
nyeri regional adalah dengan blok nervus interkostal, analgesia intrapleura melalui chest tube
dan blok paravertebral toraks. Berkurangnya rasa nyeri akan memperbaiki pola pernapasan
dan efektifitas batuk. Jika batuk tidak adekuat maka dapat dibantu dengan aspirasi kateter atau
bronchial toilet dengan bronkoskopi dan jika diperlukan dapat dilakukan intubasi.
Penanganan fraktur iga pada dasarnya masuk dalam penatalaksanaan trauma toraks. Tahap
penilainan keadaan pasien dimulai dari primary survey, tindakan resusitasi, secondary survey,
pemeriksaan penunjang (darah dan foto toraks) dan penilaian skor trauma. Setelah itu
dilakukan penilaian status trauma toraks, mulai dari pengkajian (saturasi O2, pulse oximetry,
end–tidal CO2, foto toraks, FAST ultrasound, gas darah arteri), primary survey (obstruksi jalan
napas, pneumotoraks tension, pneumotoraks terbuka, hemotoraks, flail chest, tamponade
jantung), secondary survey (fraktur iga, kontusio paru, kerusakan trakeobronkial, esofagus,
diafragma, aorta dan jantung).
Penatalaksaan pasien fraktur iga multipel yaitu dengan mengatasi masalah yang ada yaitu
pemberian obat anti nyeri untuk mengatasi nyeri, pemasangan chest tube untuk mengatasi
hematoraks dan emfisema subkutis. Tindakan pemasangan fiksasi interna dilakukan untuk
mempertahankan fungsi paru dan mengurangi komplikasi.
b. Fraktur Basis Kranii
Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah basal tengkorak; bisa di anterior,
medial, atau posterior. Sulit dilihat dari foto polos tulang tengkorak atau aksial CT scan. Garis
fraktur bisa terlihat pada CT scan berresolusi tinggi dan potongan yang tipis. Umumnya yang
terlihat di CT scan adalah gambaran pneumoensefal.
Fraktur anterior fosa melibatkan tulang frontal, etmoid dan sinus frontal. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis yaitu adanya cairan likour yang keluar dari hidung (rinorea) atau
telinga (otorea) disertai hematoma kacamata (raccoon eye, brill hematoma, hematoma
bilateral periorbital) atau Battle sign yaitu hematoma retroaurikular. Kadang disertai anosmia
atau gangguan nervi kraniales VII dan VIII. Risiko infeksi intrakranial tinggi apabila duramater
robek.
Penatalaksanaan Fracture Basis Cranii
 Kondisi kesadaran pasien
Kesadaran menurun
Kesadaran baik
 Tindakan
Terapi non-operatif
Terapi operatif
 Saat kejadian
Manajemen prehospital
Instalasi Gawat Darurat
Perawatan di ruang rawat
Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk:
1) Mengontrol fi siologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan terjadinya\
tekanan tinggi intrakranial
2) Mencegah dan mengobati edema otak(cara hiperosmolar, diuretik)
3) Minimalisasi kerusakan sekunder
4) Mengobati simptom akibat trauma otak
5) Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi (antikonvulsan dan
antibiotik)
Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus:
Cedera kranioserebral tertutup
Fraktur impresi (depressed fracture)

Resusitasi dengan tindakan A =Airway, B = Breathing dan C = Circulation


 Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi.
Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan,
darah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung
dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan.
 Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan
sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan
Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer disebabkan
oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi.
Tata laksana:
 Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
 Cari dan atasi faktor penyebab
 Kalau perlu pakai ventilator
 Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik
<90mmHg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko kematian dan
kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia
karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung/
pneumotoraks, atau syok septik. Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber
perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan
cairan isotonik NaCl 0,9%.
c. Fraktur Pelvis
Rongga pelvis terdapat organ-organ seperti vesika urinaria, bagian distal traktus
digestivus, pleksus pudendus, arteria iliaka, saraf skiatik dan lain sebagainya. Pada trauma
energi berat akan mengakibatkan fraktur pelvis dengan komplikasi perdarahan disamping
trauma di organ lain. Darah dapat tertimbun dalam rongga tersebut akibat perdarahan dan
tulang pelvis atau akibat tusukan fragmen sehingga terjadi robekan pembuluh darah. Apabila
Anda membuat diagnosis fraktur pelvis dengan cara pemeriksaan klinis adanya wama kebiruan
daerah pelvis, hematom di simfisis atau skrotum ( laki-laki ) dengan tulang pelvis tidak stabil,
tenderness serta krepitasi dan diperkuat dengan pemeriksaan X-ray, maka segera
mempersiapkan tindakan life saving akibat sok karena perdarahan.
Pemeriksaan colok dubur akan mengetahui trauma di saiuran urogenital dan tonus otot
sphincter ani dalam hubungannya dengan trauma tulang belakang. Pemeriksaan angiography
pada trauma pembuluh darah kadangkala dibutuhkan bila perdarahan tidak dapat diatasi.
Pemasangan fiksasi luar segera dilakukan. Penyambungan arteri di daerah pelvis sangat sukar
dengan resiko kematian yang tinggi, tapi terapi embolisasi dapat dikerjakan untuk
mengatasinya.
Penatalaksanaan Fracture Pelvis
 Resusitasi cairan
 Hentikan perdarahan, dengan Direct pressure; Pemasangan stagen, pelvic sling, PASG;
Terapi definitif
 Terapi definitif, pemasangan C-CLAMP.
 Rujuk

d. Sindrom Kompartemen
Sindrom kompartemen akut terjadi ketika tekanan jaringan dalam kompartemen otot
tertutup melebihi tekanan perfusi dan menyebabkan otot dan saraf iskemia. Ini biasanya
terjadi setelah peristiwa traumatis, paling sering patah tulang. Pilihan penanganan untuk
sindrom kompartemen akut adalah dekompresi dini.
Berbagai sindroma kompartemen telah diuraikan untuk kedua ekstremitas atas dan
bawah. Uraian tersebut termasuk sindroma kompartemen pada bahu, lengan atas, lengan
bawah, tangan, bokong, paha, tungkai bawah, dan kaki. Penyebab sindroma kompartemen
beragam dan termasuk fraktur terbuka dan fraktur tertutup, cedera arteri, luka tembak, gigitan
ular, kompresi tungkai, dan luka bakar.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan Sindroma Kompartemen
yakni:
 Singkirkan penyebab kompresi
 O2
 Pertahankan ekstremitas setinggi jantung
 Konsultasi ortopedi atau bedah darurat
 Fasciotomi:
- Indikasi: sindroma kompartemen akut: tekanan kompartemen > 30 mmHg.
- Ahli bedah harus melakukan fasciotomi; bagaimanapun, pada tungkai yang tekanannya
meningkat atau terdapat penundaan pembedahan, fasciotomi emergensi mungkin perlu
dilakukan di departemen emergensi.
- Pendekatan dua-insisi fasciotomi pada tungkai bawah merupakan prosedur
- Langsung dan dapat dipercaya, mengingat bahwa anatominya mudah dipahami.
Sumber :
Prasenohadi & Tommy Sunartomo.2012. Penatalaksanaan Pasien Trauma dengan Fraktur Iga Multipel.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dilihat dari URL perdici.org/wp-content/uploads/mkti/2012-
02-03/mkti2012-0203-166174.pdf pada tanggal 24 Januari 2017.
Soertidewi, Lyna.2012. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Dilihat dari URL
www.kalbemed.com/Portals/6/05_193Penatalaksanaan%20Kedaruratan.pdf pada tanggal 24 Januari
2017.
Paula R. 2007. Compartment syndrome, extremity. Dilihat dari URL http://www.emedicine.com pada
tanggal 24 Januari 2017.
Guthrie HC, Owens R, Bircher MD, 2010. Focus On Pelvic Fractures. The journal of bone and joint
surgery. Dilihat dari URL http://www.jbjs.org.uk/media/29777/focuson_pelvic.pdf pada tanggal 24
Januari 2017

4. Spinal syok (syok pada medula spinalis) termasuk syok distributif, terjadi karena volume darah
secara abnormal berpindah tempat pada vaskuler seperti ketika darah berkumpul dalam
pembuluh darah perifer (Moor, 2013). Spinal syok / syok pada medula spinalis adalah suatu
keadaan disorganisasi fungsi medula spinalis yang fisiologis dan berlangsung untuk sementara
waktu, keadaan ini timbul segera setelah cedera dan dapat berlangsung dari beberapa jam
hingga beberapa minggu. Syok spinal juga diketahui sebagai syok neurogenik adalah akibat dari
kehilangan tonus vasomotor yang mengakibatkan dilatasi vena dan arteriol umum. Syok ini
menimbulkan hipotensi, dengan penumpukan darah pada pembuluh penyimpan atau
penampung dan kapiler organ splanknik.
Terjadinya syok spinal biasanya diawali dengan adanya trauma pada spinal. Syok spinal
merupakan hilangnya reflek pada segmen atas dan bawah lokasi terjadinya cederapada medulla
spinalis. Reflek yang hilang antara lain reflek yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan
usus, tekanan darah, dan suhu tubuh. Hal ini terjadi akibat hilangnya muatan tonik secara akut
yang seharusnya disalurkan melalui neuron dari otak untuk mempertahankan fungsi reflek.
Ketika syok spinal terjadi akan mengalami regresi dan hiperrefleksia ditandai dengan spastisitas
otot serta reflex pengosongan kandung kemih dan usus.
Syok spinal akan menimbulkan hipotensi, akibat penumpukan darah pada pembuluh darah dan
kapiler organ splanknik.tonus vasomotor di medulla dan saraf simpatis yang meluas ke medulla
spinalis sampai pembuluh darah perifer secara berurutan. Kerena itu kondisi yang menekan
fungsi medulla atau integritas medulla spinalis serta persarafan akan mengakibatkan syok
neurogenic.
syok spinal, diakibatkan :Karena cedera tulang belakang akut, Tidak adanya semua aktivitas
neurologis sukarela dan refleks bawah tingkat cedera refleks menurun Hilangnya sensasi flaccid
paralysis bawah cedera Berlangsung hari ke bulan (Transient), Spinal syok & syok neurogenik
bisa dalam gangguan pasien-TAPI tidak sama sama (beberapa sumber mungkin kelompok kedua
bersama-sama)
Sumber :
Helmin Zairin N., 2012. Buku Ajar Gangguan Musculoskeletal. Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai