Anda di halaman 1dari 17

http://www.pediatrik.com/isi03.php?

page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=
07110-yxbp223.htm

ALERGI OBAT
Ariyanto Harsono, Anang Endaryanto

BATASAN
Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya
melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi
selama atau setelah pemakaian obat. Alergi obat masuk kedalam penggolongan reaksi
simpang obat (adverse drug reaction), yang meliputi toksisitas, efek samping,
idiosinkrasi, intoleransi dan alergi obat. Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan
dengan kelebihan dosis obat. Efek samping obat adalah efek obat selain khasiat
utama yang timbul karena sifat farmakologi obat atau interaksi dengan obat lain.
Idiosinkrasi adalah reaksi obat yang timbul tidak berhubungan dengan sifat
farmakologi obat, terdapat dengan proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab
yang tidak diketahui. Intoleransi adalah reaksi terhadap obat bukan karena sifat
farmakologi, timbul karena proses non imunologi. Sedangkan alergi obat adalah
respon abnormal terhadap obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi.

PATOFISIOLOGI
Alergi obat dapat terjadi melalui semua 4 mekanisme hipersensitifitas Gell dan
Coomb, yaitu :
 Reaksi hipersensitivitas segera (tipe I), terjadi bila obat atau metabolitnya
berinteraksi membentuk antibodi IgE yang spesifik dan berikatan dengan sel mast
di jaringan atau sel basofil di sirkulasi.
 Reaksi antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG dan IgM yang
mengenali antigen obal di membran sel. Dengan adanya komplemen serum, maka
sel yang dilapisi antibodiakan dibersihkan atau dihancurkan oleh sistem monosit-
makrofag.
 Reaksi kompleks imun (tipe III), disebabkan oleh kompleks soluble dari obat atau
metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG.
 Reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV)
adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik obat.
Bisa terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu
obat,namun yang tersering melalui tipe I dan IV. Jenis obat penyebab alergi sangat
bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat dan jenis penelitian yang dilakukan.
Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi adalah golongan
penisilin, sulfa, salisilat, dan pirazolon. Obat lainnya yaitu asam mefenamat, luminal,
fenotiazin, fenergan, dilantin, tridion. Namun demikian yang paling sering
dihubungkan dengan alergi adalah penisilin dan sulfa. Alergi obat biasaya tidak terjadi
pada paparan pertama. Sensitisasi imunologik memerlukan paparan awal dan
tenggang waktu beberapa lama (masa laten) sebelum terjadi reaksi alergi.
Alergenisitas obat tergantung dari berat molekul. Obat dengan berat molekul yang
kecil tidak dapat langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung dengan
bahan lain untuk bersifat sebagai allergen,disebut sebagaai hapten. Hapten dapat
membentuk ikatan kovalen dengan protein jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini
akan tetap utuh selama diproses didalam makrofag dan dipresentasikan pada sel
limfosit. Sebagian kecil obat mempunyai berat molekul besar misalnya insulin,
antisera, ekstrak organ bersifat sangat imunogenik dapat langsung merangsang sistem
imun tubuh.
Ada obat dengan berat molekul rendah yang imunogenik tanpa bergabung dengan
protein lain. Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini membentuk polimer
rantai panjang. Setelah paparan awal maka obat akan merangsang pembentukan
antibody dan aktifasi sel imun dalam masa induksi (laten) yang dapat berlangsung 10-
20 hari.

GEJALA KLINIK/Symptom
Gejala kilinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik untuk obat tertentu. Satu
macam obat dapat menimbulkan berbagai gejala pada seseorang, dapat berbeda
dengan orang lain, dapat berupa gejala ringan sampai berat. Erupsi kulit merupakan
gejala klinis yang paling sering,dapat berupa gatal, urtika, purpura, dermatitis kontak,
eritema multiforme, eritema nodusum, erupsi obat fikstum, reaksi fotosensifitas,
dermatitis eksfoliatif, erupsi vesikobulosa dan sidroma Steven Johnson.
Gejala klinis yang memerlukan pertolongan tepat dan segera adalah reaksi anafilaksis,
karena adanya hipotensi,spasme bronkus,sembab laring,angioudema atau urtikaria
generalisata. Demam dapat merupakan gejala tunggal alergi obat atau bersama gejala
lain yang timbul beberapa jam setelah pemberian obat tetapi biasanya pada hari 7-10
dan menghilang dalam waktu 48 jam setelah penghentian obat atau beberapa hari
kemudian. Demam disebabkan karena pelepasan sitokin. Beberapa obat dapat sebagai
pirogen langsung misalnya amfoterisis B, simetidin, dextran, besi kalsium dan
dimerkaprol. Mekanismenya belum jelas pada anak, epinefrin dapat menimbulkan
demem karena bersifat vasokostriktor, dengan demikian menghambat pengeluaran
panas tubuh. Demikian juga pemberian atrofin serta fenotiasin dapat menimbulkan
demam dengan menghambat pembentukan keringat. Beberapa obatseperti alupurinol,
azatioprim, barbiturat, produk darah, sefalosporin, hidroksiurea, yodida, metildopa,
penisilamin, penisilin, fenitoin, prokainamid dan kuinidin sering menimbulkan
demam tanpa disertai gejala alergi lain.

Tabel 1. : Klasifikasi alergi obat menurut gejala klinis


Anafilaksis Sembab laring , hipotensi , bronkospasme
Erupsi kulit Urtikaria/angioudema , pruritus , ruam makulopapular, erupsi
obat fikstum, dermatitis kontak, vaskulitis,eritema nodusum,
eritema multiforme,sindroma Steven Johnson, nekrolisis
epidermal toksik, dermatitis eksfoliatif, reaksi fotosensitif.
Kelainan hematologi Anemia hemolitik,netropenia,trobositopenia.
Kelainan paru Pneumonitis interstitialis/aveolaris,edema paru/fibrosis paru.
Kelainan renal Nefritis interstitialis,glomerulonefritis,sindroma nefrotik.
Penyakit Serum
Demam obat
Vaskulitis sistemik
Limfadenopati

CARA PEMERIKSAAN/DIAGNOSIS
Diagnosis alergi obat sering sulit dibuktikan walaupun dugaan sudah kuat. Dasar diagnosis
obat yang terpenting adalah anamnesis rinci tentang berbagai hal penting. Gejala klinis
umumnya tidak khas, kecuali beberapa bentuk erupsi kulit seperti pruritus generalisata,
urtikaria, erupsi fikstum, atau reaksi anafilaksis yang memenuhi kriteria anamnesis di atas.
Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk kelengkapan diagnosis, berupa uji
in vivo dan in vitro terdapat obat atau metabolitnya. Uji in vivo berupa uji kulit dan uji
provokasi. Uji in vitro terbata sebagai sarana penelitian dan bukan merupakan prosedur
rutin.
Kesulitan yang terbesar dalam membuat diagnosis adalah untuk mengetahui apakah benar
ada hubungan antara manifestasi klinis dengan pemberian obat dan apakah gejala klinis
tersebut bukan merupakan bagian dari perjalanan penyakitnya sendiri yang sedang diobati.
Diagnosis alergi obat berdasarkan klinis dan uji laboratoris. Secara klinis yang terpenting
adalah anamnesa rinci tentang berbagai hal penting yaitu bahwa reaksi yang timbul bukan
merupakan efek farmakologi obat, biasanya terjadi beberapa hari setelah pemberian obat
(kecuali jika telah terpapar sebelumnya). Gejala klinis akan menghilang beberapa waktu
setelah penggantian obat dan gejala yang sama akan timbul dengan pemberian ulang obat
yang sama atau dengan struktur obat yang sama (Tabel 2). Gambaran fisik terutama erupsi
kulit ada pola gambaran tertentu untuk masing-masing obat (Tabel 3).

Tabel 2. : Kriteria Klinis Alergi Obat


1 The observed manifestation do not resemble the pharmacological action of the drug
2 The reaction are generally similar to those which may,occur with other Antigen.
3 An induction period commonly 7-10 days is required following initial exposure to the drug
4 The reaction may be reproduced by cross reacting chemical structures.
5 The reaction may be reproduced by minute dose of the drug.
6 Blood and /or tissue eosinophilia may be present.
7 Discontinuation of the drug result in resolution of the reaction.
8 The reaction occurs in a minority of patients receiving the drug.

Tabel 3. : Pola Reaksi Klinis dan Obat Tersangka


Exanthems : Lichenoid eruptions :
Ampicillin, penicillin Anti maalarials
Phenilbutazone Beta blockers
Sulphonamides Chlorpropamide
Phenitoin Gold
Carbamazepine Methyl dopa
Gold Penicillamine
Allopurinol Phenylbutazone
Sterptomycin.
Erythema multiforme and Steven
Johnson Syndrome:
Trimetrprim,Smx
Penicillin
Griseofulvin
Tetracyclines
NSADs
Gold
Anticonvulsant
Tokxicepidermal necrolysis Acneform eruptions :
Allopurinol Cortcosteroids
Apirin Anabolic steroids
Penicillin Androgens (in female)
Phenytoin Oral contraceptives
Sulfasalazine Iodides and bromides
Lithium
Isoniazid

Uji Laboratorium :
Uji invivo.
Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu
determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat non
iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas karena baru
sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui dan tersedia untuk uji
kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro molekul:
insulin, antisera, ekstrak organ, sedang untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat
diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja.
Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi merupakan prosedur
diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu terjadinya
anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat yang memiliki fasilitas dan
tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi merupakan indikasi kontra untuk
alergi obat yang berat misalnya anafilaksis, sindroma Steven Johnson, dermatitis
eksfoliatif, kelainan hematology, eritema vesiko bulosa. Uji provokasi dilakukan
setelah eliminasi yang lamanya tergantung dari masa paruh setiap obat.
Uji in vitro.
Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian. Pemeriksaan
yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan lisis sel darah
merah, RAST, uji pelepasan histamin,uji sensitisasi jaringan (basofil/lerkosit serta esai
sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan rutin seperti IgE total dan spesifik,
uji Coomb’s, uji komplemen dan lain-lain bukanlah untuk konfirmasi alergi obat.

PENATALAKSANAAN
Dasar utama penatalaksanaan alergi obat adalah penghentian obat yang dicurigai
kemudian mengatasi gejala klinis yang timbul.
Penghentian obat
Kalau mungkin semua obat dihentikan dulu,kecuali obat yang memang perlu dan tidak
dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi atau menggantikan dengan obat lain. Bila obat
tersebut dianggap sangat penting dan tak dapat digantikan, dapat terus diberikan atas
persetujuan keluarga, dan dengan cara desensitisasi.
Pengobatan
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Untuk
pruritus, urtikaria atau edema angionerotik dapat diberikan antihistamin misalnya,
diphenhidramin, loratadin atau cetirizine dan kalau kelainan cukup luas diberikan pula
adrenalin subkutan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3
mg/dosis.Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam. CTM
diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.
Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis, 1
kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun : 30 mg/hari, 2
kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4kali/hari. Bila gejala
klinis sangat berat misalnya dermatitois eksfoliatif, ekrosis epidermal toksik, sindroma
Steven Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan hematologi harus diberikan
kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan
elektrolit, tranfusi, antibiotik profilaksis dan perawatan kulit sebagaimana pada luka
bakar untuk kelainan-kelainan dermatitis eksfoliatif, nekrosis epidermal toksik dan
Sindroma Steven Johnson.
Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari
sampai keadaan stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari,
dibagi 3-4 kali/hari dalam 4-10 hari. Steroid parenteral yang digunakan adalah metil
prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai
kegawatan dilewati disusul rumatan prednison oral. Cairan dan elektrolit dipenuhi
dengan pemberian Dekstrosa 5% dalam 0,225% NaCl atau Dekstrosa 5% dalam 0,45%
NaCl dengan jumlah rumatan dan dehidrasi yang ada.
Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, parut atau kontraktur.
Reaksi anafilaksis harus mendapat penatalaksanaan adekwat secepatnya.
Kortikosteroid topikal diberikan untuk erupsi kulit dengan dasar reaksi tipe IV dengan
memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Pemilihan sediaan dan macam
obat tergantung luasnya lesi dan tempat. Prinsip umum adalah : dimulai dengan
kortikosteroid potensi rendah. Krim mempunyai kelebihan lebih mudah dioles, baik
untuk lesi basah tetapi kurang melindungi kehilangan kelembaban kulit. Salep lebih
melindungi kehilangan kelembaban kulit, tetapi sering menyebabkan gatal dan
folikulitis. Sediaan semprotan digunakan pada daerah kepala dan daerah berambut
lain. Pada umumnya steroid topikal diberikan setelah mandi, tidak diberikan lebih dari
2 kali sehari. Tidak boleh memakai potensi medium sampai tinggi untuk daerah kulit
yang tipis misalnya muka, leher, ketiak dan selangkangan..

PROGNOSIS
Estimasi saat ini menunjukkan angka kejadian alergi obat makin meningkat. Laporan
dari seluruh dunia menunjukkan angka 0,01% sampai 5% dan sekurang kurangnya
15%-30% penderita yang dirawat di rumah sakit mengalami reaksi sedikitnya terhadap
1 macam obat dan 6-10% merupakan alergi obat.
Dengan penatalaksanaan yang baik, prognosis alergi obat adalah baik bahkan untuk
alergi obat yang berat sekalipun. Dapat terjadi perlekatan kulit, kontraktur,
simblefaron, kebutaan bila tindakan tidak tepat dan terlambat dilakukan. Angka
kematian dilaporkan 1 dari 10.000 kejadian, pada sindroma Steven Johnson kematian
sebesar 5-15%.

DAFTAR PUSTAKA
1. Boguniewicz M. Adverse reaction to drugs. In: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB (eds) : Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders
2004. pp. 783-785.
2. Bernstein IL, Gruchalla RS, Lee RE. Disease management of drug
hypersensitivity : A practice parameter. Ann Allergy Asthma Immunol 1999; 83 :
678-79.
3. Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity
syndrome in pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92.
4. Gruchalla R. Understanding drug allergies. J Allergy Clin Immunol 2000; 105 :
S637-44.
5. Viard I., Wehrli P., Bullani R. Inhibition of toxic epidermal necrolysis by
blockade of CD95 with human intravenous immunoglobulin. Science 1998; 282 :
490-3.

https://allergyclinic.wordpress.com/2012/04/18/patofisiologi-terkini-alergi-obat/

Patofisiologi Terkini Alergi Obat


Posted on April 18, 2012

Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau
metabolitnya melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi
hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat. Alergi obat
masuk kedalam penggolongan reaksi simpang obat (adverse drug reaction), yang
meliputi toksisitas, efek samping, idiosinkrasi, intoleransi dan alergi obat.
Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan dengan kelebihan dosis obat. Efek
samping obat adalah efek obat selain khasiat utama yang timbul karena sifat
farmakologi obat atau interaksi dengan obat lain. Idiosinkrasi adalah reaksi obat
yang timbul tidak berhubungan dengan sifat farmakologi obat, terdapat dengan
proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab yang tidak diketahui.
Intoleransi adalah reaksi terhadap obat bukan karena sifat farmakologi, timbul
karena proses non imunologi. Sedangkan alergi obat adalah respon abnormal
terhadap obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi.
Patofisiologi
Antigen yang bersifat tidak lengkap seperti ini merupakan kompleks obat dan protein yang
disebut sebagai hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan protein jaringan yang
bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses di makrofag dan dipresentasikan
kepada sel limfosit hingga sifat imunogeniknya stabil.

Sebagian kecil substansi obat mempunyai berat molekul besar (insulin, antisera, ekstrak organ)
dan bersifat imunogenik sehingga dapat langsung merangsang sistem imun tubuh. Tetapi ada
beberapa jenis obat dengan berat molekul relatif rendah yang bersifat imunogenik tanpa
bergabung dengan karier. Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini membentuk
polimer rantai panjang.

Setelah pajanan awal maka kompleks obat-karier akan merangsang pembentukan antibodi dan
aktivasi sel imun dalam masa laten yang dapat berlangsung selama 10-20 hari. Pada pajanan
berikutnya periode laten menjadi lebih singkat karena antigen tersebut sudah dikenal oleh
sistem imun tubuh melalui mekanisme pembentukan sel memori (reaksi anamnestik) .

Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan menjadi 4 tipe menurut
Gell dan Coombs (lihat bab tentang reaksi hipersensitivitas). Alergi obat dapat terjadi melalui
mekanisme ke-4 tipe tersebut (Tabel 26-2). Bila antibodi spesifik yang terbentuk adalah IgE
pada penderita atopi (IgE-mediated) maka yang terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis). Bila
antibodi yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka
yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah
respons imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV merupakan
reaksi imun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui pembentukan IgE (non IgE-
mediated). Perlu diingat bahwa dapat saja terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme
tersebut terhadap satu macam obat secara bersamaan. Alergi obat tersering biasanya melalui
mekanisme tipe I dan IV. Sedangkan alergi obat melalui mekanisme tipe II dan tipe III
umumnya merupakan bagian dari kelainan hematologik atau penyakit autoimun.
Mekanisme reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs
Waktu
Reaksi imun Mekanisme Klinis reaksi

Kompleks IgE-obat Urtikaria, Menit


berikatan dengan sel angioedema, sampai
Tipe I mast melepaskan bronkospasme, jam
(diperantarai histamin dan muntah, diare, setelah
IgE) mediator lain anafilaksis paparan

Antibodi IgM atau IgG Anemia hemolitik,


Tipe II spesifik terhadap sel neutropenia,
(sitotoksik) hapten-obat trombositopenia Variasi

Serum sickness,
Deposit jaringan dari demam, ruam, 1-3
Tipe III kompleks antibodi- artralgia, minggu
(kompleks obat dengan aktivasi limfadenopati, setelah
imun) komplemen vaskulitis, urtikaria paparan

Tipe IV Presentasi molekul


(lambat, obat oleh MHC kepada 2-7 hari
diperantarai sel T dengan pelepasan Dermatitis kontak setelah
oleh selular) sitokin alergi paparan

Alergi obat dapat terjadi melalui semua 4 mekanisme hipersensitifitas Gell dan Coomb, yaitu :

 Reaksi hipersensitivitas segera (tipe I), terjadi bila obat atau metabolitnya
berinteraksi membentuk antibodi IgE yang spesifik dan berikatan dengan sel mast di
jaringan atau sel basofil di sirkulasi. Reaksi tipe I merupakan hipersensitivitas cepat yang
diperantarai oleh IgE dan menyebabkan reaksi seperti anafilaksis. Gejala yang ditimbulkan
dapat berupa urtikaria, edema laring, wheezing dan kolaps kardiorespiratorius. Penyebab
umum adalah molekul biologis dan beberapa obat, seperti penisilin dan insulin.
 Reaksi antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG dan IgM yang mengenali
antigen obal di membran sel. Dengan adanya komplemen serum, maka sel yang dilapisi
antibodiakan dibersihkan atau dihancurkan oleh sistem monosit-makrofag. Reaksi tipe II
merupakan reaksi sitotoksik yang diinduksi oleh kompleks komplemen dengan antibodi
sitotoksik IgM atau IgG. Reaksi ini terjadi sebagai respon terhadap obat yang mengubah
membran permukaan sel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh
metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin. Obat lain
yang bekerja melalui mekanisme ini antara lain sefalosporin, sulfonamida dan rifampisin.
 Reaksi kompleks imun (tipe III), disebabkan oleh kompleks soluble dari obat atau
metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG. Pada reaksi tipe III terdapat periode laten
beberapa hari sebelum gejala timbul, yaitu periode yang dibutuhkan untuk membentuk
kompleks imun yang dapat mengaktivasi komplemen. Reaksi terkadang baru timbul setelah
obat dihentikan. Reaksi tersebut dapat pula berupa reaksi setempat yang dikenal sebagai
reaksi Arthus. Terdapat pembengkakan dan kemerahan setempat pada tempat antigen
berada, misalnya pada vaksinasi. Reaksi setempat ini terjadi oleh karena penderita telah
mempunyai kadar antibodi yang tinggi sehingga terjadi presipitasi pada tempat masuk
antigen yang terjadi dalam waktu 2 sampai 5 jam setelah pemberian. Manifestasi utama
berupa demam, ruam, urtikaria, limfadenopati dan artralgia. Contoh obat tersebut antara
lain penisilin, salisilat, sulfonamida, klorpromazin, tiourasil, globulin antilimfositik dan
fenitoin.
 Reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe
IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik obat. Pada reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, limfosit bereaksi langsung dengan antigen, misalnya pada
dermatitis kontak. Obat topikal yang secara antigenik biasanya berbentuk hapten, bila
berikatan dengan protein jaringan kulit yang bersifat sebagai karier dapat merangsang sel
limfosit T yang akan tersensitisasi dan berproliferasi. Pada pajanan berikutnya, sel T yang
sudah tersensitisasi akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang menarik sel radang ke
tempat antigen berada sehingga terjadi reaksi inflamasi. Contoh obat yang sering
menimbulkan reaksi tipe IV antara lain benzil alkohol, derivat merkuri, neomisin, nikel,
antibiotik topikal, krim steroid, antihistamin topikal, anestesi lokal, serta beberapa zat aditif
yang sering terdapat pada obat topikal seperti parabens atau lanolin.
Bisa terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu obat,namun yang
tersering melalui tipe I dan IV. Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda
menurut waktu, tempat dan jenis penelitian yang dilakukan. Pada umumnya laporan tentang
obat tersering penyebab alergi adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat, dan pirazolon. Obat
lainnya yaitu asam mefenamat, luminal, fenotiazin, fenergan, dilantin, tridion. Namun demikian
yang paling sering dihubungkan dengan alergi adalah penisilin dan sulfa. Alergi obat biasaya
tidak terjadi pada paparan pertama. Sensitisasi imunologik memerlukan paparan awal dan
tenggang waktu beberapa lama (masa laten) sebelum terjadi reaksi alergi.

Alergenisitas obat tergantung dari berat molekul. Obat dengan berat molekul yang kecil tidak
dapat langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung dengan bahan lain untuk bersifat
sebagai allergen,disebut sebagaai hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan
protein jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses didalam
makrofag dan dipresentasikan pada sel limfosit. Sebagian kecil obat mempunyai berat molekul
besar misalnya insulin, antisera, ekstrak organ bersifat sangat imunogenik dapat langsung
merangsang sistem imun tubuh.

Ada obat dengan berat molekul rendah yang imunogenik tanpa bergabung dengan protein lain.
Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini membentuk polimer rantai panjang. Setelah
paparan awal maka obat akan merangsang pembentukan antibody dan aktifasi sel imun dalam
masa induksi (laten) yang dapat berlangsung 10-20 hari.

Ikatan obat dengan protein jaringan dapat mengubah struktur dan sifat jaringan sebagai
antigen diri menjadi antigen yang tidak dikenal oleh sistem imun tubuh, sehingga dapat terjadi
reaksi autoimun. Contoh obatnya antara lain klorpromazin, isoniazid, penisilamin, fenitoin dan
sulfasalazin. Bila sel sasaran ini adalah endotel pembuluh darah, maka dapat terjadi vaskulitis
akibat aktivasi komplemen oleh kompleks imun pada permukaan sel endotel (misalnya
pada serum sickness). Aktivasi komplemen ini mengakibatkan akumulasi sel polimorfonuklear
dan pelepasan lisozim sehingga terjadi reaksi inflamasi dan kerusakan dinding pembuluh darah.
Obat yang dapat menimbulkan reaksi seperti ini antara lain penisilin, sulfonamid, eritromisin,
salisilat, isoniazid, dan lain-lain.
Reaksi alergi
Karena bentuk makromolekul beberapa obat, seperti hormon peptida, secara intrinsik
imunogenik. Banyak obat, memiliki massa molekul kurang dari 1000 dalton dan tidak mampu
menginduksi respon imun di negara asal mereka. Untuk agen-agen untuk menjadi immunogens
efektif, mereka tidak hanya harus mengikat secara kovalen ke tinggi-molekul protein berat
badan tetapi juga harus menjalani pengolahan antigen sukses dan presentasi.

Pemahaman kita tentang respon imun terhadap antigen obat didasarkan terutama pada
hipotesa hapten. Beberapa obat, seperti penisilin, dapat langsung terjadi reaksi kimia sebagai
akibat dari ketidakstabilan struktur molekul. Namun, yang lain harus dimetabolisme, atau
bioactivated, menjadi bentuk reaktif sebelum respon imun dapat dimulai. Meskipun
bioactivation biasanya dimediasi oleh enzim sitokrom P450 di hepatosit hati, mungkin juga
terjadi di lokasi lain, seperti keratinosit kulit.
Bioactivation biasanya diikuti dengan proses bioinactivating. Dalam beberapa kasus, faktor
genetik atau lingkungan dapat mengganggu keseimbangan antara kedua proses, yang
menyebabkan terbentuknya ditambah atau dikurangi eliminasi metabolit obat reaktif. Setelah
terbentuk, spesies reaktif dapat melakukan salah satu dari beberapa hal. Mereka mungkin
mengikat makromolekul dan menyebabkan kerusakan sel langsung. Mereka mungkin mengikat
asam nukleat untuk menghasilkan produk gen yang berubah. Mereka mungkin mengikat secara
kovalen dengan target makromolekul yang lebih besar, membentuk sebuah kompleks
imunogenik, dan merangsang respon kekebalan tubuh.

Penisilin dan β-laktam


Alergi terhadap β-laktam obat umumnya dilaporkan, terutama penisilin alergi. The β-laktam
yang disebabkan reaksi obat yang paling umum adalah erupsi makulopapular atau morbilliform
dan urtikaria. Namun, reaksi anafilaksis parah dapat dan memang terjadi pada kesempatan
langka. Sebuah tinjauan penisilin yang disebabkan anafilaksis yang dilakukan pada akhir tahun
1960 dievaluasi data dari kedua laporan dipublikasikan dan tidak dipublikasikan dan
menemukan tingkat kejadian 1,5 sampai 4 kasus per 10.000 diperlakukan patients.10
Selanjutnya, studi internasional prospektif dilakukan untuk menentukan kejadian reaksi alergi
terhadap bulanan benzatin intramuskular suntikan penisilin yang diberikan untuk mencegah
kambuhnya demam rematik. Seribu sembilan puluh pasien dari 11 negara yang terdaftar.
Setelah 32.430 suntikan selama 2736 pasien-tahun pengamatan, 57 tahun 1790 pasien (3,2%)
mengalami reaksi alergi, dan 4 dari reaksi ini adalah anafilaksis (kejadian 0,2%, 1,2 cases/10,
000 suntikan) . Terlepas dari kenyataan bahwa penisilin- disebabkan anafilaksis jarang terjadi,
obat ini terus menjadi penyebab paling umum dari anafilaksis pada manusia, terhitung sekitar
75% kasus anafilaksis yang fatal di Amerika Serikat setiap tahun.

Penisilin telah menjadi keluarga antibiotik yang paling banyak dipelajari, dan untuk alasan ini
banyak yang diketahui tentang Immunochemistry mereka. Semua penisilin mengandung cincin
β-laktam dan cincin tiazolidin. Selain itu, setiap dapat dibedakan oleh sifat kelompok samping
rantai R

Sedangkan sebagian besar obat haptenic lain, seperti sulfonamid, harus dimetabolisme sebelum
mereka bereaksi dengan protein untuk membentuk kompleks imunogenik,. Penisilin secara
intrinsik reaktif karena β-laktam cincin. Karena ketidakstabilan, ini struktur cincin mudah
membuka, memungkinkan gugus karbonil amida untuk membentuk hubungan dengan
kelompok amino dari residu lisin pada proteins.14 terdekat Karena sekitar 95% dari molekul
penisilin mengikat protein dengan cara ini, penentu antigenik terbentuk, benzil penicilloyl, telah
disebut penentu utama penisilin. Setelah identifikasi, penentu penicilloyl yang digabungkan
dengan pembawa polylysine lemah imunogenik untuk membentuk penicilloyl polylysine (PPL),
yang sekarang tersedia secara komersial.

Selain penentu penicilloyl, beberapa lainnya kecil penisilin penentu terbentuk, dan ini juga telah
ditunjukkan untuk menimbulkan IgE-mediated tanggapan pada manusia. Karena pentingnya,
tidak hanya harus PPL digunakan sebagai pereaksi pengujian ketika mengevaluasi pasien untuk
kehadiran penisilin antibodi spesifik IgE, tetapi campuran penentu kecil juga harus digunakan.
Campuran penentu asli kecil yang dikembangkan dan dianalisis terdiri dari benzilpenisilin,
alkalin hidrolisis produknya (benzylpenicilloate), dan asam hidrolisis produknya
(benzylpenilloate) .

Telah didokumentasikan bahwa pasien dengan riwayat positif tetapi hasil tes negatif kulit
dengan PPL dan campuran penentu kecil jarang memiliki IgE-mediated reaksi pada penicillin
readministration. Jika reaksi seperti itu memang terjadi, mereka ringan dan diri terbatas, dan
anafilaksis belum pernah dilaporkan dalam diri seseorang dengan kulit penisilin negatif test.

PPL (Pra-Pen) adalah penisilin hanya tersedia secara komersial kulit reagen tes. Sayangnya,
penggunaan reagen ini saja bisa menyebabkan sebanyak 25% dari semua reaksi tes kulit positif
potensi untuk menjadi missed.18 Jika segar (bukan usia) benzilpenisilin G digunakan (pada
konsentrasi 10.000 U / mL) sebagai satu-satunya penentu kecil (bersama dengan PPL), 5%
sampai 10% dari potensi reaksi tes kulit positif akan missed. Beberapa orang tidak terjawab
mungkin berisiko untuk pengembangan anafilaksis jika penisilin adalah readministered.

Selain faktor penentu antigenik yang terbentuk dari struktur cincin β-laktam, kelompok rantai
samping yang membedakan penisilin yang berbeda juga dapat menimbulkan produksi antibodi
IgE yang signifikan secara klinis. Dengan demikian, tes khusus untuk penisilin individu
mungkin diperlukan, dibandingkan dengan hanya menggunakan persiapan penentu besar dan
kecil yang terbuat dari benzilpenisilin. Pentingnya sisi-rantai-antibodi spesifik baru-baru ini
ditunjukkan dalam sebuah studi oleh Baldo23 di mana kekhususan IgE mengikat dievaluasi
pada pasien yang bereaksi terhadap flukloksasilin. Kuantitatif hapten studi menunjukkan
bahwa penghambatan dicloxacillinYang saja, kloksasilin, dan oksasilin (penisilin yang memiliki
gugus R mirip dengan yang di flukloksasilin) mampu sangat menghambat IgE mengikat.
Penisilin yang tidak memiliki metil-fenil-isoxazolyl samping rantai penentu adalah inhibitor
miskin. Hasil ini menunjukkan bahwa, setidaknya untuk beberapa β-laktam-orang alergi,
antibodi IgE yang terbentuk dapat diarahkan pada kelompok R obat β-laktam dan tidak untuk
penentu dibentuk oleh β laktam-atau cincin tiazolidin . Temuan ini menunjukkan bahwa
penisilin berbeda mungkin cross-reaktif, tidak hanya berdasarkan cincin bersama mereka β-
laktam dan tiazolidin tetapi juga berdasarkan bersama atau sama sisi-rantai penentu. Karena
kita tidak memiliki reagen tes kulit untuk penisilin semisintetik di negara ini dan dengan
demikian tidak memiliki sisi-rantai-reagen tertentu, akan sangat membantu untuk memiliki
pengetahuan dari rantai samping. Gambar 2 memuat daftar penisilin semisintetik berbagai dan
persamaan struktural mereka.
Berbeda dengan penisilin, pemahaman kita tentang Immunochemistry dari sefalosporin bahkan
lebih terbatas. Dengan demikian, pengetahuan kita tentang determinan antigenik yang relevan
sefalosporin adalah jarang, dan untuk alasan ini derajat mereka reaktivitas silang tidak
diketahui. Juga, kita masih tidak dapat menjawab pertanyaan kuno penting: Dapatkah
penisilin-alergi pasien dengan aman menerima sefalosporin? Meskipun kedua golongan obat
berbagi cincin β-laktam (sefalosporin juga memiliki cincin dihydrothiazine unik), secara klinis
relevan reaktivitas silang tidak umum. Lin24 ditemukan dalam tinjauan literatur bahwa dari
15.987 pasien yang diobati dengan cephaloridine, sefaleksin, sefalotin, cefaxolin, atau
sefamandol, 8,1% dari mereka yang memiliki riwayat alergi penisilin memiliki reaksi,
dibandingkan 1,9% dari orang yang tidak punya sejarah. Baru-baru ini, Kelkar dan Li25
diringkas semua penelitian yang diterbitkan yang mengevaluasi risiko pemberian sefalosporin
pada pasien alergi penisilin. Di 8 dari studi dievaluasi, uji kulit penisilin dilakukan. Dalam 3 dari
studi ini, baik orang-orang yang memiliki hasil uji kulit yang positif dan mereka yang memiliki
hasil uji kulit negatif menjalani tantangan, dalam 4, hanya mereka dengan hasil tes kulit positif
menjalani tantangan, dan dalam 1, hanya mereka dengan hasil tes kulit negatif menjalani
menantang. Dari 135 pasien dengan hasil tes kulit positif yang menjalani tantangan, 6
mengalami reaksi (reaksi laju 4,4%), sedangkan hanya 2 dari 351 (reaksi laju 1,3%) pasien
dengan hasil tes kulit negatif bereaksi. Meskipun data ini menunjukkan bahwa pasien yang telah
dikenal penisilin antibodi spesifik IgE mungkin pada peningkatan risiko untuk reaksi terhadap
sefalosporin, penelitian lain menunjukkan bahwa risiko ini sebenarnya minimal.26, 27
Seperti penisilin, sefalosporin juga dapat menginduksi respon kekebalan tubuh. Side-rantai-
antibodi spesifik dapat dibentuk, serta antibodi diarahkan pada struktur cincin. Dengan
demikian, prinsip-reaksi alergi silang antara sefalosporin adalah sama dengan yang yang
berhubungan dengan penisilin. Jika antibodi IgE diarahkan pada struktur inti cincin, reaktivitas
silang mungkin ada di antara semua sefalosporin. Jika antibodi ada untuk kelompok samping
rantai R1 atau R2, bagaimanapun, situasi menjadi jauh lebih kompleks. Cross-reaksi dapat
terjadi melalui pengakuan R1 identik (cefaclor, sefaleksin, cephaloglycin) atau mirip (cefaclor
dan sefadroksil) sisi-rantai, atau mereka mungkin terjadi melalui pengakuan R2 (sefalotin dan
sefotaksim) .23 Rekomendasi untuk pasien dengan sefalosporin menunjukkan sensitivitas
adalah sebagai berikut. Jika seorang pasien yang memiliki sejarah alergi sefalosporin
membutuhkan lain sefalosporin, satu dari dua pendekatan dapat dipertimbangkan. Lakukan
tantangan dinilai dengan sefalosporin yang tidak berbagi sisi-rantai penentu dengan
sefalosporin asli. Melakukan uji kulit sefalosporin, meskipun pengujian kulit seperti tidak
standar dan nilai prediktif negatif adalah unknown mencantumkan berbagai sefalosporin dan
sisi-rantai mereka persamaan struktural.

Selain IgE-mediated reaksi, satu sefalosporin, cefaclor, telah terbukti menyebabkan sindrom
penyakit seperti serum. Karena kompleks imun beredar belum ditemukan, reaksi-reaksi ini
tidak dianggap mewakili penyakit serum benar atau reaksi komplek imun. Meskipun
mekanisme reaksi ini tidak diketahui dengan jelas, Kearns et al29 telah menunjukkan bahwa
mereka dapat dihasilkan dari biotransformasi hati dari obat induk.
Pasien yang telah diketahui atau diduga antibodi IgE terhadap obat β-laktam dapat mengalami
desensitisasi jika obat yang diperlukan untuk pengobatan. Desensitisasi obat akut melibatkan
pemberian dosis tambahan obat selama periode jam untuk hari dan merupakan proses dimana
seseorang obat alergi diubah dari negara yang sensitif terhadap obat untuk keadaan di mana
obat ini ditoleransi. Tidak hanya negara tertentu peka antigen, juga adalah antigen tergantung,
membutuhkan kehadiran terus-menerus antigen.
Penisilin desensitisasi yang biasa dilakukan, dan baik oral atau rute intravena dapat digunakan.
Setelah dosis awal telah ditentukan, 30 dosis obat dua kali lipat setiap 15 menit. Tanda-tanda
vital, pemeriksaan fisik, dan nilai-nilai peak flow dimonitor seluruh prosedur. Meskipun
sebagian besar pengalaman kami dengan desensitisasi obat telah diturunkan dari penisilin,
prinsip ini telah berhasil diterapkan untuk obat lain banyak sebagai well.

Prosedur Induksi Intoleransi obat


dosis
jenis toleransi obat lama awal Mekanisme obat

Antigen-specific
mediator Penicillin
Immunologic IgE depletion, Carboplatin,
(drug downregulation of cisplatin,
desensitization) jam μg receptors oxaliplatin

jam
Immunologic non- hingga
IgE hari mg Unknown TMP-SMX

jam Metabolic shift,


hingga internalization of
Pharmacologic hari mg receptors Aspirin

Nonimmunologic
mast cell
activation jam μg Unknown Paclitaxel

μg-
Undefined minggu mg Unknown Allopurinol

Reaksi non imunologi


Reaksi non imun yang tidak dapat diprediksi diklasifikasikan dalam pseudoalergi, idiosinkrasi
atau intoleransi. Reaksi pseudoalergi merupakan hasil aktivasi sel mast secara langsung, tidak
melibatkan IgE spesifik dan degranulasi oleh agen seperti opiat, koloid ekspander, polipeptida,
antiinflamasi non-steroid dan media radiokontras. Reaksi yang bersifat non imunologi ini
dapat terjadi saat pertama kali paparan. Reaksi idiosinkrasi hanya terjadi pada sebagian kecil
populasi, seperti hemolisis yang diinduksi obat pada orang dengan defisiensi glucose-6-
phosphate dehydrogenase (G6PD). Intoleransi obat merupakan ambang batas yang lebih
rendah terhadap aksi farmakologi obat, seperti terjadinya tinitus setelah pemberian aspirin
Reaksi Nonimmunologically dimediasi dapat diklasifikasikan menurut beberapa fitur berikut:
akumulasi, efek samping, siaran langsung dari mediator sel mast, reaksi idiosinkratik,
intoleransi, Jarisch-Herxheimer fenomena, overdosis, atau dermatitis fototoksik. (Gejala
Jarisch-Herxheimer reaksi menghilang dengan terapi lanjutan Terapi obat harus dilanjutkan
sampai infeksi sepenuhnya diberantas..)

 Contoh akumulasi adalah Argyria (biru-abu-abu perubahan warna kulit dan kuku) diamati
dengan penggunaan perak nitrat semprotan hidung.
 Efek samping adalah efek normal tetapi tidak diinginkan dari obat. Sebagai contoh, agen
kemoterapi antimetabolit, seperti siklofosfamid, yang berhubungan dengan kerontokan
rambut.
 Pelepasan langsung mediator sel mast adalah fenomena tergantung dosis yang tidak
melibatkan antibodi. Sebagai contoh, aspirin dan NSAID lainnya menimbulkan pergeseran
produksi leukotriene, yang memicu pelepasan histamin dan tiang-sel mediator. Bahan
kontras radiografi, alkohol, sitokin, opiat, cimetidine, kina, hydralazine, atropin,
vankomisin, dan tubocurarine juga dapat menyebabkan pelepasan sel mast mediator.
 Reaksi idiosinkratik yang tidak terduga dan tidak dijelaskan oleh sifat farmakologi obat.
Contohnya adalah individu dengan infeksi mononukleosis yang mengembangkan ruam jika
diberikan ampisilin.
 Ketidakseimbangan flora endogen dapat terjadi ketika agen antimikroba secara istimewa
menekan pertumbuhan satu spesies mikroba, yang memungkinkan spesies lain untuk
tumbuh penuh semangat. Misalnya, kandidiasis sering terjadi dengan terapi antibiotik.
 Intoleransi dapat terjadi pada pasien dengan metabolisme berubah. Sebagai contoh,
individu yang asetilator lambat dari enzim N-asetiltransferase lebih mungkin daripada yang
lain untuk mengembangkan obat-induced lupus dalam menanggapi prokainamid.
 Jarisch-Herxheimer fenomena adalah reaksi karena endotoksin bakteri dan antigen mikroba
yang dibebaskan oleh penghancuran mikroorganisme. Reaksi ini ditandai dengan demam,
limfadenopati tender, arthralgias, makula sementara atau letusan urtikaria, dan eksaserbasi
yang sudah ada sebelumnya lesi kulit. Reaksi ini bukan merupakan indikasi untuk
menghentikan pengobatan karena gejala menyelesaikan dengan terapi lanjutan. Reaksi ini
dapat dilihat dengan terapi penisilin untuk sifilis, terapi griseofulvin atau ketoconazole
untuk infeksi dermatofit, dan terapi diethylcarbamazine untuk oncocerciasis.
 Overdosis adalah respon berlebihan terhadap jumlah yang meningkat dari obat. Sebagai
contoh, peningkatan dosis antikoagulan dapat menyebabkan purpura.
 Dermatitis fototoksik adalah respon terbakar sinar matahari berlebihan yang disebabkan
oleh pembentukan photoproducts beracun, seperti radikal bebas atau spesies oksigen reaktif
Mekanisme reaksi alergi non imunologi
Tipe reaksi non imunologi Contoh

Dapat diprediksiEfek samping


farmakologiEfek samping
farmakologi sekunder

Toksisitas obat

Interaksi obat
Mulut kering oleh antihistaminThrusholeh
antibiotikHepatotoksik oleh metroteksat
Overdosis obat
Seizure oleh kombinasi teofilin dan
eritromisin
Seizure oleh kelebihan lidokain
Tidak dapat Reaksi anafilaktoid setelah media
diprediksiPseudoalergiIdiosinkrasi radiokontrasAnemia hemolitik pada pasien
G6PD oleh primakuinTinitus oleh aspirin
Intoleransi dengan dosis kecil, tunggal

Daftar Pustaka
 Iannini P, Mandell L, Felmingham J, Patou G, Tillotson GS. Adverse cutaneous reactions
and drugs: a focus on antimicrobials. J Chemother. Apr 2006;18(2):127-39.
 Green JJ, Manders SM. Pseudoporphyria. J Am Acad Dermatol. Jan 2001;44(1):100-8.
 Bork K. Adverse drug reactions. In: Demis DJ, ed. Clinical Dermatology. Vol 3.
Philadelphia, Pa: Lippincott-Raven; 1998.
 Breathnach SM, Hintner H. Adverse Drug Reactions and the Skin. London, England:
Blackwell Scientific; 1992.
 Campos-Fernandez Mdel M, Ponce-De-Leon-Rosales S, Archer-Dubon C, Orozco-Topete
R. Incidence and risk factors for cutaneous adverse drug reactions in an intensive care
unit. Rev Invest Clin. Nov-Dec 2005;57(6):770-4.
 Coombs RRA, Gell PGH. Classification of allergic reactions responsible for clinical
hypersensitivity and disease. Clin Aspects Immunol. 1968;575-96.
 Daoud MS, Schanbacher CF, Dicken CH. Recognizing cutaneous drug eruptions.
Reaction patterns provide clues to causes. Postgrad Med. Jul 1998;104(1):101-4, 107-8,
114-5.
 Fitzpatrick JE. New histopathologic findings in drug eruptions. Dermatol Clin. Jan
1992;10(1):19-36.
 Gendernalik SB, Galeckas KJ. Fixed drug eruptions: a case report and review of the
literature. Cutis. Oct 2009;84(4):215-9.
 Greenberger PA. 8. Drug allergy. J Allergy Clin Immunol. Feb 2006;117(2 Suppl Mini-
Primer):S464-70.
Provided by

Anda mungkin juga menyukai