Anda di halaman 1dari 56

dsrerewrPERBIDKES.

com - Bantuan hidup dasar yang berikan kepada anak maupun bayi berbeda
dengan bantuan hidup dasar yang diberikan kepada anak & bayi Tanda-tanda henti jantung pada
anak mirip dengan orang dewasa.

Penyebab.
Sebab2 henti jantung pada adalah ;
 Karena penyakit/trauma.
 Masalah gangguan irama jantung primer (terutama pada anak berusia kurang dari 8 tahun.
 Kegawatan nafas yang tidak ditangani dengan benar.
Secara umum, prinsip pertolongan bantuan hidup dasar baik dewasa, anak maupun bayi harus
dilakukan secara urut. Tetapi, yang paling diperhatikan mengenai cara pemberian bantuan hidup
dasar adalah jumlah penolong serta terdapat usaha untuk bernafas atau tidak.

Perlu di ingat, dalam memberikan pertolongan hidup dasar untuk anak berusia > 8 tahun sama
dengan orang dewasa.

1. Penilaian respon.
Setelah penolong sudah yakin bahwa tindakan bersifat aman bagi penolong & anak yang ditolong
maka penilaian respons terhadap anak dapat dilakukan dengan segera.

Pertama kali berikan rangsangan dengan memanggil sambil menepuk/menggoyangkan pasien


apakah pasien tersebut memberikan respons terhadap rangsangan yang diberi & perhatikan juga
apakah ada tanda2 trauma pada anak tersebut.

2. Aktifkan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpatu (SPGDT).


Apabila pasien tidak memberikan respons & penolong lebih dari satu orang, minta tolong kepada
orang terdekat untuk menelpon sistem gawat darurat & mengambil AED (Automatic External
Defibrillator).

Apabila penolong hanya seorang diri & henti jantung disaksikan baru terjadi, maka segera untuk
mengaktifkan sistem gawat darurat & ambil AED jika tersedia.

Sedangkan apabila penolong hanya seorang diri & henti jantung tidak disaksikan, maka lakukan dulu
resusitasi jantung paru (RJP) selama 2 menit kemudian aktifkan sistem gawat darurat & ambil AED.

href="http://lh3.googleusercontent.com/-
f4BqvQupQZQ/VmTp6DdsrsI/AAAAAAAAAYo/LZBBG0KDXvk/s1600/Sirkulasi.jpg" imageanchor="1"
style="font-family: sans-serif; font-weight: normal; margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align:
center;">

Gambar. Ilustrasi pemeriksaan sirkulasi pada anak & bayi.


3. Kompresi Jantung (Circulation).
Dalam melakukan pemeriksaan nadi pada anak & bayi sebelum melakukan kompresi merupakan hal
yang tidak mudah karena pemeriksaan nadi tidak dilakukan pada arteri karotis, tetapi pada arteri
brakialis/arteri femoralis. Sedangkan pada anak usia 1 tahun keatas dapat dilakukan seperti pada
orang dewasa.

Kompresi harus dilakukan dengan segera pada anak maupun bayi yang tidak sadarkan diri, serta
tidak ada denyut nadi & tidak bernafas.

Dalam melakukan kompresi yang membedakan adalah teknik kompresi pada anak berumur kurang
dari 8 tahun teknik kompresi satu tangan, sedangkan pada bayi menggunakan teknik kompresi 2 jari
maupun 2 ibu jari.

Kompresi dada pada Anak usia 1-8 tahun.


 Letakkan tumit satu tangan pada setengah bawah tulang dada (sternum), hindarkan jari2 pada tulang
iga anak.
 Tekan sternum sedalam 2,5 sampai 4 cm, lalu lepaskan dengan rasio menekan : melepas adalah dengan
kecepatan 100 x permenit.
 Sesudah 30 x kompresi, buka jalan nafas & berikan 2 x nafas buatan hingga dada terangkat ( untuk 1
penolong)
 Kompresi & nafas buatan dengan rasio 15 : 2 (untuk 2 penolong).

Kompresi dada pada bayi.


 Letakkan 2 jari satu tangan pada setengah bawah sternum; lebar jari berada di bawah garis
intermammari.
 Tekan sternum sedalam 1,25 hingga 2,5 cm, lalu angkat tanpa melepaskan jari dari sternum dengan
kecepatan 100 x permenit.
 Setelah 30 x kompresi, buka jalan nafas & berikan 2 x nafas buatan hingga dada terangkat (untuk 1
penolong).
 Kompresi & nafas buatan dengan rasio 15 ; 2 (untuk 2 penolong).

TEKNIK PADA BAYI DAN ANAK-ANAK

Prinsip Bantuan Hidup Dasar pada bayi dan anak adalah sama dengan pada orang dewasa. Akan tetapi karena
ketidaksamaan ukuran, diperlukan modifikasi teknik yang disebutkan di atas yaitu sebagai berikut.4

1. Ekstensi kepala yang berlebihan dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas pada bayi dan anak kecil. Kepala hendaknya
dijaga dalam posisi netral selama diusahakan membuka jalan napas pada kelompok ini.
2. Pada bayi dan anak kecil, ventilasi mulut-ke-mulut dan hidung lebih sesuai daripada ventilasi mulut-ke-mulut atau mulut-
ke-hidung. Pemberian ventilasi harus lebih kecil volumnya dan frekuensi ventilasi harus ditingkatkan menjadi 1 ventilasi
tiap 3 detik untuk bayi dan 1 ventilasi tiap 4 detik untuk anak-anak.
3. Pukulan punggung dengan pangkal tangan dapat diberikan pada bayi di antara 2 skapula dengan korban telungkup dan
mengangkang pada lengan penolong dan hentakan dada diberikan dengan bayi terlentang, kepala terletak dibawah
melintang pada paha penolong. Pukulan punggung pada anak yang lebih besar dapat diberikan dengan korban telungkup
melintang di atas paha penolong dengan kepala lebih rendah dari badan, dan hentakan dada dapat diberikan dengan anak
terlentang di atas lantai.
4. Karena jantung terletak sedikit lebih tinggi dalam rongga toraks pada pasien-pasien muda, kompresi dada luar hendaknya
diberikan dengan 2 jari pada 1 jari di bawah titik potong garis putting susu dengan sternum pada bayi dan pada tengah
pertengahan bawah sternum pada anak. Penekanan sternum 1,5-2,5 cm efektif untuk bayi, tetapi pada anak diperlukan
penekanan 2,5-4 cm. pada anak yang lebih besar hendaknya digunakan pangkal telapak tangan untuk kompresi dada luar.
5. Selama henti jantung, pemberian komprsi dada luar harus minimal 100 kali permenit pada bayi dan 80 kali permenit pada
anak-anak. Perbandingan kompresi terhadap ventilasi selalu 5:1.
Usaha tindakan RKP pada langkah-langkah ABC (Bantuan Hidup Dasar) yang dilakukan pada korban yang
mengalami henti jantung dapat memberi beberapa kemungkinan hasil, yaitu sebagai berikut. 4

1. Korban menjadi sadar kembali


2. Korban dinyatakan mati. Ini bisa disebabkan karena terlambatnya pemberian tindakan RKP atau salah dalam
pelaksanaannya.
3. Korban belum dapat dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung spontan. Dalam hal ini perlu diberikan pertolongan
lebih lanjut.
4. Denyut jantung spontan timbul, tetapi korban belum pulih kesadarannya. Ventilasi spontan bisa ada bisa tidak.
REFERENSI

Bantuan hidup dasar pada anak merupakan hal yang harus dapat dikerjakan oleh setiap tenaga
kesehatan terutama dokter. Bantuan hidup dasar pada anak berdasarkan rekomendasi American
Health Association (AHA) tahun 2010 dilakukan dengan tekhnik C-A-B (circulation-airwaybreathing)
dengan kualitas resusitasi optimal (high quality CPR). Diharapkan dengan resusitasi yang baik,
sirkulasi pasien dapat normal kembali dan gangguan neurologis pasca henti jantung dan napas dapat
dihindari. Key words: Bantuan hidup dasar, resusitasi, sirkulasi - jalan napas - pernapasan ABSTRACT
Every health provider must be competent in pediatric life support. Basic pediatric life support
recommendations by AHA 2010 use C-A-B maneuvers with high quality CPR. Rapid and eff ective
bystander CPR is associated with successful return of spontaneous circulation (ROSC) and
neurologically-intact survival in children. Irene Yuniar. Basic Life Support for Children. Kata kunci:
Basic life support, resuscitation, circulation - airway - breathing Alamat korespondensi email:
irene.tambunan@yahoo.co.id PENDAHULUAN Bantuan hidup dasar pada anak atau sering disebut
Pediatric Basic Life Support (BLS) merupakan hal yang penting untuk kelangsungan dan kualitas
hidup anak. Pediatric Chain Survival berdasarkan American Heart Association tahun 2010 meliputi
tindakan preventif, resusitasi jantung paru (RJP) segera dengan mengutamakan pijat jantung (teknik
C-A-B atau Circulation-AirwayBreathing), mengaktifkan akses emergensi atau emergency medical
system (EMS), bantuan hidup lanjut, serta melakukan perawatan pasca henti jantung. Pediatric chain
survival ini dapat dilihat pada gambar 1.1 Tujuan akhir RJP adalah kembalinya sirkulasi spontan yang
normal atau disebut return Gambar 1 Lingkaran dasar basic life support1 CONTINUING MEDICAL
EDUCATION CONTINUING MEDICAL EDUCATION Akreditasi PB IDI–4 SKP B

pada orang dewasa) dan dapat dilakukan baik dengan satu atau dua tangan. Dalamnya kompresi
mencapai sepertiga diameter antero-posterior rongga dada. Koordinasi bantuan napas dan kompresi
dada Jika penolong seorang diri, lakukan 30 kompresi dada diikuti pemberian 2 bantuan napas.
Untuk 2 penolong, pemberian bantuan napas dan kompresi dada dilakukan dengan perbandingan
15:2. Jangan melakukan bantuan napas dan kompresi dada pada saat yang bersamaan.3 Keputusan
mengakhiri upaya resusitasi6,7 Semua tenaga kesehatan dituntut untuk memulai RJP segera setelah
diagnosis henti napas atau henti jantung dibuat. Tidak ada pernapasan spontan dan refl eks muntah
dan dilatasi pupil yang menetap selama 15 sampai 30 menit atau lebih merupakan petunjuk
kematian otak kecuali pasien hipotermik atau di bawah efek barbiturat atau dalam anestesia umum.
Tidak adanya tanggapan jantung atau tidak ada aktivitas listrik jantung terhadap tindakan resusitasi
selama paling sedikit 30 menit walaupun dilakukan upaya RJP dan terapi obat optimal menandakan
mati jantung. Dalam keadaan darurat resusitasi dapat diakhiri jika ada salah satu keadaan berikut ini:
1. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif. 2. Upaya resusitasi telah diambil
alih oleh orang lain yang lebih bertanggung jawab meneruskan resusitasi (bila tidak ada dokter). 3.
Seorang dokter mengambil alih tanggung jawab (bila tidak ada dokter sebelumnya). 4. Penolong
terlalu lelah sehingga tak sanggup meneruskan resusitasi. 5. Pasien dinyatakan mati. 6. Setelah
dimulai resusitasi ternyata diketahui bahwa pasien berada dalam stadium terminal, suatu penyakit
yang tidak dapat disembuhkan atau hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tak akan pulih
(yaitu sesudah setengah atau satu jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP).
SIMPULAN Resusitasi jantung paru pada anak merupakan hal yang harus diketahui semua kalangan,
terutama tenaga kesehatan. Seorang dokter harus mengenali adanya henti jantung paru,
mengusahakan resusitasi dengan cepat dan tepat, melakukan teknik yang mengacu pada high
quality CPR sehingga ROSC dapat dicapai. DAFTAR PUSTAKA 1. Berg MD, Schexnayder SM,
Chameides L, Terry M, et al. Pediatric basic life support. 2010 American Health Association
Guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care science.
Circulation. 2010;122:S862-75. 2. Lubrano R, Cecchetti C, Bellelli E, Gentile I, Loayza LH, et al.
Comparison of times of intervention during pediatric CPR maneuvers using ABC and CAB sequences:
A randomized trial. Resuscitation. 2012;12:1473-7. 3. European Resuscitation Council [Internet].
[cited 2010 Feb 15]. Available from:
https://www.erc.edu/index.php/view_category/en/posters/cid=10/ 4. Pediatric advance life
support. 2005 International Consensus Conference on Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care Science with Treatment Recommendations, American Heart
Association. Circulation. 2005;112:IV-167-IV-187 5. 2010 CPR Guidelines: A summary [Internet]. 2010
[cited 2014 Jan 19]. Available from: http://www.jems.com/article/patient-care/2010-cpr-guidelines-
summary 6. Resusitasi jantung paru [Internet]. 2009 [cited 2012 Feb 10]. Available from:
http://doktermu.wordpress.com/2009/10/05/resusitasi-jantung-paru/ 7. Morrison LJ, Kierzek G,
Diekema DS, Sayere MR, Silvers SM, et al. Ethics. 2010 American Health Association Guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care science. Circulation.
2010;122:S665-75. Gambar 5 Posisi stabil pada anak1 Gambar 6 Teknik kompresi dada pada anak
kurang dari 1 tahun3 Circulation Penilaian sirkulasi dilakukan dalam 10 detik dengan meraba pulsasi
arteri brakialis (pada bayi) dan arteri karotis dan femoralis pada anak. Jika frekuensi nadi kurang dari
60 kali per menit dan pada anak terlihat tanda perfusi kurang (pucat dan sianosis), kompresi dada
dapat dimulai. Jika frekuensi nadi ≥60 kali per menit tetapi anak tidak bernapas, lanjutkan bantuan
napas tanpa kompresi dada. Bantuan napas diberikan 12 sampai 20 kali per menit (1 pernapasan
tiap 3 sampai 5 detik) sampai pasien bernapas spontan. Sambil melakukan bantuan napas, nilai
pulsasi arteri tiap 2 menit secara singkat (tidak lebih dari 10 detik).1 Kompresi dada dilakukan secara
push hard and fast, dengan kedalaman sepertiga diameter anteroposterior dada, harus kembali
sempurna (complete recoil) setelah setiap kompresi dengan interupsi minimal. Semua ini termasuk
high quality CPR. Untuk anak kurang dari 1 tahun dan penolong seorang diri, kompresi dilakukan
dengan teknik 2 jari yang diletakkan di bawah garis intermamaria. Teknik ini dapat dilakukan dengan
satu atau dua tangan (lihat gambar 6).3 Pada anak lebih besar, kompresi dada dilakukan pada
setengah bagian bawah sternum dengan pangkal pergelangan tangan (seperti

email: irene.tambunan@yahoo.co.id PENDAHULUAN Bantuan hidup dasar pada anak atau sering
disebut Pediatric Basic Life Support (BLS) merupakan hal yang penting untuk kelangsungan dan
kualitas hidup anak. Pediatric Chain Survival berdasarkan American Heart Association tahun 2010
meliputi tindakan preventif, resusitasi jantung paru (RJP) segera dengan mengutamakan pijat
jantung (teknik C-A-B atau Circulation-AirwayBreathing), mengaktifkan akses emergensi atau
emergency medical system (EMS), bantuan hidup lanjut, serta melakukan perawatan pasca henti
jantung. Pediatric chain survival ini dapat dilihat pada gambar 1.1 Tujuan akhir RJP adalah
kembalinya sirkulasi spontan yang normal atau disebut return Gambar 1 Lingkaran dasar basic life
support1 CONTINUING MEDICAL EDUCATION CONTINUING MEDICAL EDUCATION Akreditasi PB IDI–
4 SKP Bantuan Hidup Dasar pada Anak Irene Yuniar Divisi Pediatri Gawat Darurat, Departemen Ilmu
Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta,
Indonesia 708 CONTINUING MEDICAL EDUCATION CDK-220/ vol. 41 no. 9 th. 2014 ringan dan
dengan teriakan keras untuk melihat respons anak dan jangan lupa teriak minta pertolongan untuk
bantuan melakukan RJP.1,3 Resusitasi jantung paru meliputi pembebasan jalan napas (airway),
melakukan bantuan napas (breathing) dan mempertahankan suplai darah yang adekuat dalam tubuh
(circulation).3 Algoritma RJP pada anak dapat dilihat pada gambar 2. Airway Pada anak yang tidak
sadar, lidah sering jatuh ke belakang dan dapat menyebabkan sumbatan jalan napas. Penolong harus
membuka jalan napas dengan manuver head tilt dan chin lift yang dapat dikerjakan baik pada pasien
trauma maupun nontrauma. Teknik jaw thrust dilakukan bila terdapat kecurigaan trauma servikal.
Manuver head tilt dan chin lift dapat dilihat pada gambar 3. Untuk mempertahankan terbukanya
jalan napas, dapat dilakukan pemasangan alat orofaringeal (guedel) dan selang nasofaringeal.
Guedel dengan ukuran tertentu digunakan pada pasien tidak sadar, jika terlalu kecil lidah akan tetap
terjatuh ke belakang sedangkan jika terlalu besar akan menyumbat jalan napas. Pemasangan guedel
yang benar dapat dilihat pada gambar 4.3 Pemasangan selang nasofaringeal diindikasikan pada
pasien dengan kesadaran tidak terlalu terganggu. Pada bayi kecil, selang nasofaringeal mudah
tersumbat dengan sekret.4 Breathing Penilaian pernapasan dilakukan dalam waktu 10 detik dengan
teknik look, listen dan feel pada saat bersamaan (gambar 3 kanan). Penolong harus melihat gerakan
pernapasan baik pernapasan dada maupun abdominal, mendengar suara napas pasien melalui
hidung dan mulut, dan merasakan udara pernapasan yang keluar pada pipi penolong. Jika anak
bernapas dan tidak ada riwayat trauma sebelumnya, tempatkan pasien pada posisi stabil untuk
menjaga jalan napas dan menurunkan risiko aspirasi (gambar 5).1 Jika anak tidak bernapas atau
gasping, pertahankan jalan napas dan berikan 2 kali bantuan napas. Pada anak 1 tahun dengan
menggunakan teknik mouth-to-mouth. Hindari pemberian ventilasi yang berlebihan karena dapat
menyebabkan pneumotoraks akibat tekanan berlebihan, dapat menyebabkan regurgitasi lambung
karena saat ventilasi udara dapat masuk baik ke paru ataupun lambung, serta dapat menyebabkan
berkurangnya curah jantung akibat peningkatan tekanan intratorak sehingga aliran balik darah ke
jantung (venous return) berkurang. Ketiga hal ini akan memperburuk kondisi anak.5
Hipovelemik shock

1.1. Ringkasan langkah penilaian triase


gawat darurat dan penanganannya
Periksa tanda kegawatdaruratan dalam 2 tahap:

 Tahap 1: Periksa jalan napas dan pernapasan, bila terdapat masalah segera berikan
tindakan untuk memperbaiki jalan napas dan berikan napas bantuan.
 Tahap 2: Segera tentukan apakah anak dalam keadaan syok, tidak sadar, kejang, atau
diare dengan dehidrasi berat.

Bila didapatkan tanda kegawatdaruratan:

 Panggil tenaga kesehatan profesional terlatih bila memungkinkan, tetapi jangan


menunda penanganan. Tetap tenang dan kerjakan dengan tenaga kesehatan lain yang
mungkin diperlukan untuk membantu memberikan pertolongan, karena pada anak
yang sakit berat seringkali memerlukan beberapa tindakan pada waktu yang
bersamaan. Tenaga kesehatan profesional yang berpengalaman harus melanjutkan
penilaian untuk menentukan masalah yang mendasarinya dan membuat rencana
penatalaksanaannya.
 Lakukan pemeriksaan laboratorium kegawatdaruratan (darah lengkap, gula darah,
malaria). Kirimkan sampel darah untuk pemeriksaan golongan darah dan cross-match
bila anak mengalami syok, anemia berat, atau perdarahan yang cukup banyak.
 Setelah memberikan pertolongan kegawatdaruratan, lanjutkan segera dengan
penilaian, diagnosis dan penatalaksanaan terhadap masalah yang mendasarinya.

Tabel diagnosis banding untuk kasus dengan tanda kegawatdaruratan


dapat dilihat di bagian 1.4.

Bila tidak didapatkan tanda kegawatdaruratan, periksa tanda prioritas (konsep 4T3PR MOB):

 Tiny baby (bayi kecil < 2 bulan)


 Temperature (anak sangat panas)
 Trauma (trauma atau kondisi yang perlu tindakan bedah segera)
 Trismus
 Pallor (sangat pucat)
 Poisoning (keracunan)
 Pain (nyeri hebat)
 Respiratory distress (distres pernapasan)
 Restless, irritable, or lethargic (gelisah, mudah marah, lemah)
 Referral (rujukan segera)
 Malnutrition (gizi buruk)
 Oedema (edema kedua punggung kaki)
 Burns (luka bakar luas)
Anak dengan tanda prioritas harus didahulukan untuk mendapatkan pemeriksaan dan
penanganan lebih lanjut dengan segera (tanpa menunggu giliran). Pindahkan anak ke depan
antrean. Bila ada trauma atau masalah bedah yang lain, segera cari pertolongan bedah.
Terapi Terkini Syok Pada Anak

Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sistem sirkulasi dalam mencukupi
kebutuhan nutrien dan oksigen baik dari segi pasokan maupun utilisasinya untuk
metabolisme
seluler jaringan tubuh, sehingga terjadi defisiensi akut oksigen di tingkat seluler. Untuk
mempertahankan sirkulasi normal, dibutuhkan volume intravaskular yang adekuat
serta fungsi pompa jantung dan sistem vaskular yang normal. Berdasarkan kegagalan
komponen penunjang sirkulasi, syok dibagi menjadi syok hipovolemik, kardiogenik dan
distributif. Syok hipovolemik merupakan syok yang paling sering dijumpai pada anak.
Pada anak, hipotensi biasanya baru terjadi pada syok yang telah lanjut, oleh karena itu
hipotensi tidak merupakan keharusan untuk diagnosis syok. Pada fase awal, terjadi
kompensasi tubuh, secara klinis dapat dijumpai takikardi, ekstremitas dingin, capillary
refill
yang mulai memanjang, pulsasi perifer melemah, sementara tekanan darah masih
normal.

Ketika mekanisme kompensasi tidak dapat lagi mempertahankan homeostasis tubuh, akan
dijumpai penurunan kesadaran, hipotermia atau hipertermia, penurunan produksi
urine, asidosis metabolik atau peningkatan kadar laktat darah. Selanjutnya tekanan darah
menurun hingga tidak terukur, nadi tidak teraba, kesadaran semakin menurun, anuria disertai
kegagalan system organ lain.

Manifestasi Klinis

Selain tanda-tanda syok, seperti telah diuraikan di atas, beberapa penyebab syok yang sering
pada anak dapat digali dari anamnesis
Diagnosis syok dapat ditegakkan bila ditemukan takikardia (mungkin tidak ada pada kasus
yang disertai hipotermia), disertai tanda penurunan perfusi organ atau perfusi
perifer, termasuk pulsasi nadi perifer yang lebih kecil dari sentral, penurunan kesadaran,
waktu pengisian kapiler yang lebih dari 2 detik, ekstremitas yang dingin atau mottled,atau
penurunan produksi urine.

Tanda awal syok hipovolemik adalah takikardia dan penurunan perfusi perifer. Pada syok
hipovolemik, hipotensi baru terjadi setelah kehilangan lebih dari 25 volume intravaskular.
Agitasi hingga obtundasi dapat terjadi akibat penurunan perfusi serebral. Bila kehilangan
darah lebih dari 40% akan terjadi koma, bradikardia, penurunan tekanan darah, asidosis dan
anuria.
Pada syok kardiogenik dengan kegagalan fungsi ventrikel kiri, terjadi peningkatan tekanan
hidrostatik vaskular paru. Akibatnya, terjadi transudasi hingga mengganggu pertukaran gas
alveolar. Pada pemeriksaan fisik biasanya anak tampak takipnu disertai ronkhi basah
halus tidak nyaring di kedua lapangan paru, kadang-kadang dapat juga ditemukan wheezing.
Kegagalan fungsi ventrikel kanan biasanya disertai dengan kongesti vena sistemik dengan
peningkatan tekanan vena juguler dan pembesaran hati. Bunyi gallop dapat dijumpai pada
auskultasi jantung. Untuk mempertahankan tekanan darah, pada curah jantung yang rendah,
akan terjadi vasokonstriksi hingga dapat dijumpai akral yang dingin, sianosis atau mottled.
Vasokonstriksi sistemik akan mengakibatkan peningkatan afterload hingga memperburuk
kerja jantung.
Pada syok distributif, yang sering dijumpai pada syok septik, terjadi paralisis vasomotor,
sehingga terjadi vascular pooling dan peningkatan permeabilitas kapiler. Situasi semacam ini
dikenal dengan kondisi hipovolemia efektif . Pemeriksaan fisis menunjukan takikardia
dengan akral yang hangat, penurunan produksi urine, penurunan kesadaran dan hipotensi.

Pemeriksaan Penunjang
Saturasi oksigen mixed vein (SvO2) dapat menggambarkan keseimbangan antara pasokan
(DO2
) dan kebutuhan oksigen (VO2
). Penurunan SvO2
sebesar 5% (normal 65%-77%)
menunjukkan penurunan DO2
atau peningkatan VO2.
Pemantauan kadar laktat darah arteri dan saturasi vena sentral (SCVO2) dapat digunakan
untuk menilai defisiensi oksigen global.

Foto Röntgen thoraks pada syok kardiogenik dapat menunjukan gambar edema paru.
Indikator hemodinamik lain dapat diperoleh melalui pemasangan pulmonary artery catheter
(PAC) atau pulse contour continuous cardiac output monitoring (PICCO). Nilai normal
cardiac Index (CI) dan systemic vascular resistance index (SVRI)

Penanganan
– Pertahankan jalan nafas, berikan oksigen (FiO2
100%), bila perlu berikan tunjangan
ventilator.
– Pasang akses vaskular secepatnya (60-90 detik), lalu berikan cairan kristaloid 20 ml/
kg berat badan dalam waktu kurang dari 10 menit. Nilai respons terhadap pemberian
cairan dengan menilai perubahan denyut nadi dan perfusi jaringan. Respons yang baik
ditandai dengan penurunan denyut nadi, perbaikan perfusi jaringan dan perbaikan
tekanan darah bila terdapat hipotensi sebelumnya.
– Pasang kateter urin untuk menilai sirkulasi dengan memantau produksi urin.
– Penggunaan koloid, dalam jumlah yang terukur, dapat dipertimbangkan untuk mengisi
volume intravaskular.
– Pemberian cairan resusitasi dapat diulangi, bila syok belum teratasi, hingga volume
intravaskular optimal.

Target resusitasi cairan:

– Capillary refill kurang dari 2 detik


– Kualitas nadi perifer dan sentral sama
– Akral hangat
– Produksi urine > 1 ml/kg/jam
– Kesadaran normal

– Pemberian cairan resusitasi dihentikan bila penambahan volume tidak lagi


mengakibatkan perbaikan hemodinamik, dapat disertai terdapatnya ronkhi basah halus tidak
nyaring, peningkatan tekanan vena jugular atau pembesaran hati akut.
– Periksa dan atasi gangguan metabolik seperti hipoglikemi, hipokalsemi dan asidosis.
– Sedasi dan pemasangan ventilator untuk mengurangi konsumsi oksigen dapat
dipertimbangkan.
– Bila syok belum teratasi, lakukan pemasangan vena sentral. Bila tekanan vena sentral
kurang dari 10 mmHg, pemberian cairan resusitasi dapat dilanjutkan hingga mencapai 10
mmHg.
– Bila syok belum teratasi setelah langkah no. 8, berikan dopamine 2-10 µg/kg/menit atau
dobutamine 5-20 µg/kg/menit.
– Bila syok belum teratasi setelah langkah no. 9, berikan epinephrine 0,05-2 µg/kg/menit, bila
akral dingin (vasokonstriksi) atau norepinephrine 0,05-2 µg/kg/menit, bila akral hangat
(vasodilatasi pada syok distributif). Pada syok kardiogenik dengan resistensi vaskular tinggi,
dapat dipertimbangkan milrinone yang mempunyai efek inotropik dan vasodilator. Dosis
milrinone adalah 50 µg/kg/ bolus dalam 10 menit, kemudian dilanjutkan dengan 0,25-0,75
µg/kg/menit (maksimum 1,13 µg/kg/hari)
– Bila syok masih belum teratasi setelah langkah no. 10, pertimbangkan pemberian
hidrokortison, atau metil-prednisolon atau dexamethason, terutama pada anak yang
sebelumnya mendapat terapi steroid lama (misalnya asma, penyakit-autoimun dll.).
Dosis hidrokortison dimulai dengan 2 mg/kg, setara dengan metil prednisolon 1.3
mg/kg dan dexamethason 0,2 mg/kg.
– Bila syok masih belum teratasi, dibutuhkan pemasangan pulmonary artery catheter
(PAC) untuk pengukuran dan intervensi lebih lanjut. Inotropik dan vasodilator digunakan
untuk kasus dengan curah jantung rendah dan resistensi vaskular sistemik tinggi. Vasopressor
untuk kasus dengan curah jantung tinggi dan resistensi vaskular sistemik rendah. Inotropik
dan vasopressor untuk kasus dengan curah jantung rendah dan resistensi vaskular sistemik
rendah (dosis inotropik, vasopressor dan vasodilator
dapat dilihat pada tabel 4). Saat ini telah tersedia berbagai alat diagnostik untuk mengukur
parameter hemodinamik sebagai alternatif pemasangan pulmonary artery catheter. Target
terapi:
– Cardiac Index >3,3 dan <6 L/Menit/M2
Perfusion Pressure (Mean Arterial Pressure – Central Venous Pressure) Normal ( 1 Tahun: 65
Cm H2o)
– Saturasi Vena Sentral (Mixed Vein) > 70%
– Kadar Laktat 2 mmol/L, saturasi vena sentral <70% dan hematokrit <30%, dapat dilakukan
tranfusi packed red cells disertai upaya menurunkan konsumsi oksigen.

 Be the first to comment

Syok pada anak

1. 1. SYOK PADA ANAK (Goal-Directed Management of Pediatric Shock in the


Emergency Department) Professor Joseph A. Carcillo, MD Division of Critical Care
Medicine, Children's Hospital of Pittsburgh 2009 i
2. 2. ii SYOK PADA ANAK (Goal-Directed Management of Pediatric Shock In the
Emergency Department) Alih bahasa: dr Iyan Darmawan ISBN: 978-979-95956-9-0
© 2009 Farmedia All rights preserved Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang
mengutip, memperbanyak sebagian atau Seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit Edisi 1 Cetakan 1: November 2009 Perpustakaan Nasional R.I. data Katalog
Dalam Terbitan (KDT) Syok pada anak/penulis: Carcillo, Joseph A; Alih bahasa:
Darmawan, Iyan Cetakan 1- Jakarta, Farmedia 2009 127 halaman 12,5 x 21,5 cm
ISBN: 978-979-95956-9-0
3. 3. iii KATA PENGANTAR Bayi dan anak memiliki struktur anatomis dan parameter
hemodinamik yang berbeda dengan orang dewasa, sehingga patofisiologi dan
interpretasi syok pada anak jauh berbeda dibandingkan orang dewasa. Syok tersering
pada trauma anak adalah syok hemoragik, walaupun bisa dibarengi oleh syok tipe
lain, seperti kardiogenik (misal, tamponade jantung), obstruktif (misal, tension
pneumothorax) dan neurogenik (misal, syok spinal). Peningkatan cadangan sistem
kardiovaskular memungkinkan anak mengkompensasi dan memelihara tekanan darah
sekalipun syok hemoragik sampai ke tingkat sedang. Anak akan mempertahankan
tekanan darah sistolik yang normal sebelum mereka kehilangan sampai 30% volume
darah sirkulasi Buku saku ini membahas lebih rinci patofisiologi dan manajemen syok
pada anak, dan menjadi tambahan referensi untuk para dokter yang bertugas di IGD
dan PICU. November 2009 Penerbit
4. 4. iv DAFTAR ISI Bagian 1 Memahami Syok 1 Bagian 2 Stadium Syok 10 Bagian 3
Manajemen Syok pada Anak 13 Bagian 4 Resusitasi Volume: Kristaloid vs Koloid 57
Bagian 5 Rangkuman Manajemen Syok pada Anak 79 Bagian 6 Ilustrasi kasus 84
Bagian 7 Dengue Shock Syndrome 99 Bagian 8 Singkatan dan terminologi 104
Bagian 9 Nilai Normal 106 Bagian 10 Rumus-rumus 108 Lampiran : Teknik
Pemberian Infus Intraosea 110
5. 5. 1 BAGIAN I Memahami Syok Pendahuluan Syok adalah kegagalan sirkulasi untuk
membawa oksigen dan nutrien ke jaringan. Syok lazim dijumpai pada anak.
Pemahaman tentang penyebab dan patofisiologinya bisa mengarahkan para klinisi
membuat keputusan yang rasional dalam terapi dan bisa memperbaiki prognosis.
Bagian ini memberikan penjelasan komprehensif dari klasifikasi, penyebab dan
patofisiologi syok pada anak, dengan pedoman untuk deteksi dan pemantauan,
sehingga pendekatan terapi menjadi rasional. Sebagai sindrom klinis yang kompleks,
syok ditandai oleh disfungsi sirkulasi akut di mana hubungan antara kebutuhan
oksigen dan pasokan oksigen terganggu.1 Akibatnya, sistem kardiovaskular gagal
menjalankan fungsi utamanya, yakni membawa substrat dan membuang metabolit,
sehingga terjadi metabolisme anaerob dan asidosis jaringan. Umumnya, semua
keadaan syok berakhir dengan berkurangnya hantaran atau gangguan utilisasi substrat
sel yang esensial, sehingga fungsi sel normal berhenti. Syok merupakan proses
progresif yang ditandai oleh 3 stadium berbeda. Pada fase dini, stadium kompensasi,
6. 6. 2 sejumlah mekanisme neurohormonal yang bersifat kompensatorik dan fisiologis
bekerja untuk mempertahankan tekanan darah dan memelihara kecukupan fungsi
jaringan. Pada stadium ini syok bisa reversibel dengan intervensi yang benar. Namun,
bila mekanisme kompensasi ini gagal, syok berlanjut ke stadium dekompensata. Pada
stadium menetap (irreversible stage), syok berlanjut ke cidera organ dan jaringan yang
berat, yang tidak responsif terhadap terapi konvensional, dan berujung dengan gagal
organ ganda dan kematian pasien. Syok merupakan diagnosis klinis, namun deteksi
masih merupakan masalah pada anak. Dalam pedoman yang dipublikasi oleh the
American College of Critical Care Medicine, Carcillo dkk mendefinisikan syok septik
pada anak sebagai takikardia dengan tanda berkurangnya perfusi perifer, termasuk
berkurangnya volume nadi, capillary refill time (CRT) lebih dari 2 detik, bercak dan
dingin pada ekstremitas, kesadaran berubah dan jumlah urin berkurang.2 Hipotensi
merupakan tanda lanjut dan fase dekompensata pada syok anak, sehingga tidak bisa
diandalkan untuk menegakkan diagnosis. Capillary refill terbaik diperiksa dengan
menekan ekstremitas distal, seperti jari tangan dan kaki, selama 5 detik dan kemudian
dilepas. Waktu pengisian kembali dicatat. Pada suhu kamar normal, capillary bed
distal biasanya terisi dalam 2-3 detik. Dikatakan memanjang jika lebih dari 5 detik.
7. 7. 3 Titik alternatif untuk memeriksa CRT adalah di atas sternum dan bantal kuku
(nailbed). Syok sebaiknya dideteksi dengan tanda klinis dan laboratorium yang
meliputi takipnea dan takikardia, vasodilatasi perifer (syok hangat) atau ekstremitas
dingin (syok dingin), perubahan status mental, hipothermia atau hipertermia, diikuti
berkurangnya jumlah urin, asidosis metabolik dan peninggian laktat darah3
Klasifikasi syok Karena fungsi sirkulasi bergantung pada volume darah, tonus
vaskular dan fungsi jantung, syok dapat diakibatkan oleh kelainan-kelainan dari satu
atau lebih faktor-faktor ini, atau mulai dari gangguan metabolisme seluler sampai
ketidakmampuan menggunakan substrat yang dibawa oleh sirkulasi. Lima jenis syok
yang utama dilukiskan di bawah (Table 1.1). Pembagian kategori ini terlalu
sederhana, karena lebih dari satu mekanisme dapat terjadi pada pasien yang sama.
Hasil akhirnya adalah kegagalan menyediakan substrat energi untuk memenuhi
kebutuhan metabolik dari jaringan. Tabel 1. 1 Klasifikasi Syok Jenis Sindrom Klinis
Hipovolemik Hemoragik Nonhemoragik: • Muntah • Diare • Luka bakar
8. 8. 4 • Sekuestrasi internal (misal ileus obstruksi) • KAD (ketoasidosis diabetik) •
Sindrom nefrotik • Bentuk dehidrasi lain Kardiogenik Infark miokard Gagal jantung
bendungan Bedah jantung Penyakit katup /koarktasi Disritmia Pintas kardiopulmoner
Syok septik Intoksikasi obat Obstruktif Tamponade jantung Penyakit katup/koarktasi
Pneumotoraks Emboli paru Distributif Syok septik Syok toksik Syok neurogenik
Gagal adrenal akut Intoksikasi obat Disosiatif Keracunan (misal sianida,
methemoglobin, karbon monoksida Anemia berat SYOK KUANTITATIF
(HANTARAN O2 BERKURANG) Aliran berkurang (syok hipovolemik &
kardiogenik) Pada syok hipovolemik, kardiogenik dan obstruktif, defek primer adalah
penurunan curah jantung, yang mengakibatkan hipoperfusi, hipotensi dan
metabolisme anaerob. Syok hipovolemik merupakan syok jenis terbanyak pada anak
dan merupakan akibat dari penurunan volume sirkulasi (hipovolemia absolut atau
relatif). Hipovolemia dikatakan ‘absolut’ bila disebabkan dehidrasi melalui
kehilangan cairan ekstrasel, darah atau
9. 9. 5 plasma; dan “relatif” bila volume intravaskular tidak adekuat untuk
mengkompensasi hilangnya tonus vaskular, seperti pada sepsis atau anafilaksis, atau
karena obat vasodilatasi. Syok kardiogenik disebabkan oleh penurunan curah jantung
yang bersifat sekunder terhadap kerusakan dan/atau disfungsi miokard. Ini bisa
disebabkan oleh jejas miokard (infeksi atau iskemia) atau lesi obstruktif (peningkatan
afterload ventrikel kanan, peningkatan afterload ventrikel kiri, tamponade jantung)
dan/atau kurangnya pengisian ventrikel (penurunan preload ventrikel kanan atau kiri,
lesi katup, penurunan waktu pengisian yang disebabkan takiaritmia). Penurunan
kandungan oksigen (syok hemoragik, gagal napas akut hipoksemik, keracunan) Syok
hemoragik biasanya diakibatkan oleh hipovolemia dan anemia. Bila terjadi
perdarahan pada pasien yang sebelumnya anemia, penurunan hantaran oksigen (DO2)
jauh lebih besar. Berkurangnya kapasitas angkut oksigen oleh hemoglobin (Hb), dan
DO2 yang tidak adekuat, dapat juga menyebabkan syok. Contohnya pada orang
keracunan karbon monoksida , penurunan DO2 terjadi karena pengikatan kompetitif
di mana hemoglobin lebih suka berikatan dengan karbon monoksida dibanding O2.
Dan ini diperhebat dengan utilisasi O2 yang bersifat
10. 10. 6 abnormal, karena karbon monoksida mengganggu fosforilasi oksidatif yang
mengakibatkan berkurangnya rasio ekstraksi oksigen (ERO2). Pada kasus ini, syok
bersifat distributif dan kuantitatif. Pada setiap hipoksia akut karena kelainan paru,
penurunan saturasi oksigen arteri (SaO2) menyebabkan penurunan DO2 segera
setelah peningkatan curah jantung gagal mengkompensasi kebutuhan metabolik. Syok
distributif sering terjadi sekaligus dengan syok hipovolemik dan/atau kardiogenik.
Syok distributif ini diakibatkan oleh kelainan distribusi aliran ke berbagai organ,
bersifat sekunder terhadap gangguan tonus vasomotor sebagaimana terjadi pada sepsis
dan anafilaksis. Di samping sepsis, penurunan pengisian kapiler bisa terjadi sekunder
terhadap perubahan reaktivitas vaskular, koagulasi intravaskular diseminata, difungsi
sel endotel atau gangguan rheologi (meningkatnya adhesi sel darah), bersama dengan
disfungsi mitokondria. Perubahan-perubahan ini ikut memperburuk utilisasi oksigen.
Trauma medula spinalis merupakan bentuk spesifik dari syok distributif yang
menjurus ke perubahan hemodinamik yang dalam. Kehilangan mendadak dari aliran
simpatis dari medula spinalis dapat mengakibatkan penurunan mendadak dari tahanan
tepi total dan curah jantung.
11. 11. PATOFISIOLOGI SYOK Gagal sirkulasi mengakibatkan penurunan DO2 ke
jaringan dan disusul oleh berkurangnya tekanan oksigen parsial sel (PO2). Bila
sampai ke titik kritis PO2, fosforilasi oksidatif dibatasi oleh kurangnya oksigen,
sehingga menggeser metabolisme dari aerob menjadi anaerob. Ini menghasilkan
kenaikan laktat sel dan darah, serta asidosis laktat DO2 bergantung pada dua variabel:
kandungan oksigen darah arteri (CaO2) dan curah jantung. CaO2 adalah produk dari
kandungan Hb, arterial SaO2 dan kapasitas angkut oksigen dari hemoglobin.
Selanjutnya, curah jantung bergantung pada detak jantung dan curah sekuncup, yang
ditentukan oleh kontraktilitas miokard dan preload serta afterload. Pada anak, curah
jantung lebih bergantung pada detak jantung dibanding curah sekuncup karena
miokard belum matang. Metabolisme energi yang tidak adekuat dapat berasal dari
peningkatan konsumsi oksigen total tubuh (VO2), walaupun DO2 normal. Kebutuhan
oksigen 7
12. 12. 8 bervariasi menurut jenis jaringan dan waktu.4 Walaupun kebutuhan oksigen
tidak bisa diukur atau dihitung, VO2 dan DO2 keduanya bisa dihitung, dan
dihubungkan sebagai berikut: VO2 = DO2 × ERO2 (oxygen extraction ratio) Pada
kondisi normal, kebutuhan oksigen setara dengan DO2. Normal, ERO2 adalah kira-
kira 25% yang berarti 25% dari oksigen yang dibawa akan diambil jaringan dan 75%
kembali ke paru. ERO2 berbanding terbalik dengan SvO2, yang diperlihatkan dalam
persamaan berikut: SvO2 = 1 - ERO2 Bila kebutuhan meningkat, DO2 harus
menyesuaikan dan meningkat. Pada syok sirkulasi atau hipoksemia, karena DO2
berkurang, VO2 dipertahankan dengan peningkatan kompensatorik dari ERO2.
Namun, jika DO2 turun terus, dicapai titik kritis dan ERO2 tidak bisa lagi bertambah
untuk mengkompensasi penurunan DO2. Pada syok septik, oksigenasi jaringan bisa
tidak adekuat sekalipun ada aliran darah normal yang disebabkan peningkatan banyak
dari kebutuhan metabolik dan gangguan ekstraksi oksigen. Konsekuensi patofisiologis
dari syok kardiogenik dan hipovolemik lebih berkaitan dengan defisiensi oksigen
akut, sedangkan efek-efek patofisiologi dari syok septik diakibatkan oleh banyaknya
produksi mediator radang.
13. 13. 9 Pada syok septik ada interaksi kompleks antara vasodilatasi patologis,
hipovolemia relatif dan absolut, depresi miokard langsung dan perubahan distribusi
aliran darah, yang terjadi akibat respon radang terhadap infeksi. Respon inflamasi
yang berlebihan selanjutnya berperan terhadap gangguan hemodinamik dan iskemia
jaringan yang tersebar, dengan berakhir sebagai disfungsi organ ganda. Referensi: 1.
American Heart Association. 2005 American Heart Association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergencycardiovascular care of pediatric and
neonatal patients: pediatric advanced life support. Pediatrics 2006; 117: E1005–1028.
2. Carcillo JA, Fields AI, Task Force Committee Members. Clinical practice variables
for hemodynamic support of pediatric and neonatal patients in septic shock. Crit Care
Med 2002; 30: 1365–1378. 3. N adel S, Kissoon N, Ranjit S. Recognition and initial
management of shock. In: Nichols DG, ed. Rogers’ textbook of pediatric intensive
care, 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2008, p. 372–383. 4.
Vallet B, Tavernier B, Lund N. Assessment of tissue oxygenation in the critically ill.
Eur J Anaesthesiol 2000; 17: 221–229.
14. 14. 10 BAGIAN II Stadium Syok Stadium Dini atau Syok Kompensata Pada syok
dini atau kompensata, berbagai mekanisme kompensasi diaktifkan. Dalam
menghadapi ancaman hipoperfusi, sistem saraf simpatis meningkatkan detak jantung
(HR) dan tahanan pembuluh sistemik (SVR) melalui pelepasan katekolamin dari
kelenjar adrenal. Sistem Renin-angiotensin-aldosteron juga diaktifkan, sehingga ikut
menyebabkan vasokonstriksi dan mempertahankan SVR, serta retensi cairan melalui
pemekatan urin. . Pada anak, tonus vaskular dipertahankan walaupun dalam keadaan
aliran rendah pada syok septik dan kardiogenik1 . Oleh karena itu, anak bisa sering
mempertahankan tekanan darah sebelum mereka berada dalam keadaan syok berat.
Vasokonstriksi kompensatorik sering begitu mencolok hingga tekanan darah sistemik
bisa berada dalam kisaran normal, sekalipun ada gangguan sirkulasi bermakna.
Hipotensi khas merupakan temuan lanjut pada syok anak. Dengan vasokonstriksi
darah dipintas menjauhi organ non-vital (kulit dan splanchnic bed) untuk diarahkan ke
otak, jantung dan paru. Hasilnya adalah ekstremitas dingin dan bercak- bercak
(mottled), capillary refill memanjang, serta
15. 15. 11 takikardia yang diinduksi katekolamin. Jika syok dibiarkan, mekanisme
kompensasi akan gagal dan pasien masuk ke stadium dekompensata. Kegagalan
menormalkan nadi perifer, suhu kulit, serta capillary refill time dengan terapi adekuat
akan berakibat fatal.2 ……………………………………. Anak banyak bergantung
pada detak jantung untuk meningkatkan curah jantung. Kemampuan meningkatkan
kontraktilitas sebagai respon terhadap stimulasi katekolamin terbatas karena massa
otot yang tidak cukup dan “kekakuan” miokard anak dibandingkan jantung dewasa. 3
Bila mekanisme kompensasi diaktifkan, anak menjadi bergantung pada volume
intravaskular (preload) untuk mempertahankan CO.4 Karena afterload sudah
meningkat agar bisa mempertahankan SVR dan TD, kunci keberhasilan dalam
resusitasi adalah menjaga volume intravaskular yang adekuat. Stadium dekompensata
Bila mekanisme kompensasi gagal memenuhi kebutuhan metabolik yang meningkat
di tingkat jaringan, maka akan terjadi syok dekompensata dengan hipotensi.
Hipoksemia jaringan dan iskemia akan memicu metabolisme anaerob yang
menghasilkan penimbunan laktat dan asidosis metabolik. Sejumlah metabolit
vasoaktif seperti adenosin, nitric oxide juga dilepaskan dan tertimbun. Vasokonstriksi
kompensatorik gagal sebagai akibat hipoksia. Darah kapiler menjadi lamban,
16. 16. 12 leukosit bergerak ke pinggir dan mikrotrombus terbentuk. Paralisis vasomotor
dan disfungsi mikrosirkulasi memuncak ke hipoperfusi organ akhir, disfungsi dan
gagal organ ganda. Hipoperfusi organ bermanifestasi sebagai perubahan status
mental, takipnea, takikardia, letargi, urin sedikit atau tidak ada dan timbul bercak pada
anggota gerak. Sekali tekanan darah turun, pasien akan berlanjut ke syok menetap
(irreversible shock), jika tekanan perfusi ke jaringan tidak dipulihkan. Syok non-
reversibel, sesuai namanya, adalah “the point of no return” dengan angka kematian
tinggi apapun intervensinya. Referensi 1. Ceneviva G, Paschall JA, Maffei F, Carcillo
JA. Hemodynamic support in fluid-refractory pediatric septic shock. Pediatrics
1998;102(2):e19 2. Kirklin JK, Blackstone EH, Kirklin JW, McKay R, Pacifico AD,
Bargeron LM, Jr. Intracardiac surgery in infants under age 3 months: predictors of
postoperative in-hospital cardiac death. Am J Cardiol 1981;48(3):507-12. 3. Feltes
TF, Pignatelli R, Kleinert S, Mariscalco MM. Quantitated left ventricular systolic
mechanics in children with septic shock utilizing noninvasive wall-stress analysis.
Crit Care Med 1994;22(10):1647-58. 4. Lambert HJ, Baylis PH, Coulthard MG.
Central-peripheral temperature difference, blood pressure, and arginine vasopressin in
preterm neonates undergoing volume expansion. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed
1998;78(1):F43-5
17. 17. 13 BAGIAN III Manajemen Syok pada Anak di IGD Deteksi dini dan tatalaksana
syok pada anak bisa menyelamatkan jiwa, tanpa memandang kategori diagnostiknya.
Di sini ditekankan: 1) pengenalan dini dari takikardia, capillary refill yang
memanjang, dan hipotensi 2) proses 3-langkah: akses pembuluh darah dan pemberian
cairan serta infus epinefrin (pada sebagian kasus dengan hidrokortison) untuk
pemulihan syok dalam jam pertama pasien masuk IGD. Walaupun garis besar proses
tampak sederhana, dibutuhkan persiapan yang matang. Pasien syok harus dikenali
pada triase dan cepat digiring ke ruang resusitasi, di mana pendekatan tim perlu untuk
mencapai semua sasaran klinis dalam 1 jam. Sasaran klinis yang sensitif- waktu ini
meliputi pemulihan capillary refill yang memanjang dan hipotensi serta indeks syok
yang membaik. Sasaran dan proses yang dirangkum dalam bab ini bisa berhasil
diterapkan mulai dari puskesmas sampai rumah sakit tersier dengan perencanaan dan
pelatihan yang baik. Syok adalah suatu keadaan gagal energi akut di mana produksi
ATP (adenosine triphosphate) tidak cukup untuk
18. 18. 14 menopang fungsi sel sistemik. Syok bisa disebabkan kurangnya hantaran
oksigen (anemia, hipoksia, atau iskemia); kurang hantaran substrat glukosa
(glikopenia); atau disfungsi mitrokondria (cellular dysoxia). Hantaran oksigen
didefinisikan oleh persamaan berikut: DO2 (mL O2/min) = CaO2 (mL O2/L blood) X
CO (L/min) Selanjutnya: CaO2 = Hb x 1,36 x SaO2 + PaO2 x 0.003 Syok anemik
terjadi bila kadar hemoglobin terlalu rendah; syok hipoksia terjadi bila saturasi
oksigen terlalu rendah; dan syok iskemik terjadi bila aliran terlalu rendah. Hantaran
glukosa bergantung pada kadar glukosa, aliran darah dan insulin untuk sel-sel (misal,
sel jantung) yang influks glukosanya bergantung insulin. Syok glikopenik bisa
disebabkan oleh hipoglikemia ataupun resistensi insulin. Walaupun definisi syok ini
logis dan mudah dipahami, namun tidak praktis karena pengukuran ATP tidak
dilakukan. Oleh karena itu, pemeriksaan klinis menggunakan tanda-tanda tidak
langsung untuk mendiagnosis dan menilai syok. Tanda-tanda ini harus
mengidentifikasi stadium paling dini dari syok atau paling tidak patologi yang terjadi
sebelum syok terdeteksi. Anemia diketahui dari pucat, takikardia kompensatorik,
19. 19. 15 dan kadar hemoglobin kurang dari 8 g/dL. Takikardia meningkatkan curah
jantung untuk mempertahankan hantaran oksigen sekalipun hemoglobin berkurang.
Hipoksia diidentifikasi dengan takipnea kompensatorik dan penurunan Pao2, di
bawah 60 mm Hg. Hemoglobin masih mengalami saturasi cukup sebelum ambang
Pao2 dicapai. Takipnea menyebabkan penurunan Pco2, yang, sesuai dengan
persamaan gas alveoli, menghasilkan peningkatan proporsional dari Pao2. Iskemia
dikenali pada stadium dini sebagai takikardia. Terjadi penurunan aliran darah jika
curah sekuncup berkurang akibat hipovolemia ataupun fungsi jantung yang buruk.
Aliran pada kondisi ini bisa dipertahankan dengan meningkatkan detak jantung (CO =
heart rate [HR] × stroke volume [SV]). Glikopenia dikenali pada stadium dini dengan
hipoglikemia atau hiperglikemia ringan. Penggunaan terapi yang memulihkan anemia,
hipoksia, iskemia dan glikopenia sebelum terjadinya defisiensi ATP bisa mencegah
syok. Syok bisa didiagnosis dan dinilai berdasarkan progresi dari tanda-tanda klinis
ini. Syok anemik terjadi bila kadar hemoglobin turun menjadi di bawah 6 g/dL, dan di
klinis terlihat sebagai peningkatan detak jantung lebih dari persentil ke 98 untuk usia;
perubahan status mental ; takipnea. Syok iskemik dikenali sebagai takikardia persisten
dengan capillary refill lebih dari 2 detik, disertai
20. 20. 16 vasokonstriksi sistemik untuk memelihara tekanan perfusi dan aliran darah ke
organ pusat, antara lain otak dan ginjal. Jika aliran terus berkurang, akhirnya hipotensi
terjadi dengan berkurangnya aliran darah ke otak dan perubahan status mental. Pada
stadium akhir, syok bisa dikenali dengan adanya asidosis senjang anion. Dewasa ini,
senjang anion lebih dari 16 mEq/L merupakan tanda yang mewakili dari deplesi ATP
dan gagal energi. Bila hantaran oksigen tidak adekuat, metabolisme anaerob terjadi
melalui glikolisis. Piruvat diubah menjadi laktat, dan asam laktat menyebabkan suatu
senjang anion. Syok glikopenik bisa didiagnosis sebagai senjang anion lebih dari 16
mEq/L dengan adanya hipoglikemia (substrat tidak cukup), hiperglikemia (resistensi
insulin), atau euglikemia (substrat tidak cukup + resistensi insulin). Bila pemakaian
glukosa tidak adekuat, senjang anion lebih dari 16 mEq/L disebabkan oleh zat antara
asam organik yang dihasilkan oleh katabolisme protein dan/atau lemak untuk
menyediakan bahan bakar untuk siklus Krebs. Transfusi darah akan meningkatkan
hemoglobin dan memulihkan takikardia dan takipnea pada pasien dengan syok
anemik. Pemberian cairan dan dukungan inotropik meningkatkan curah sekuncup dan
memulihkan takikardia serta mengurangi capillary refill menjadi < 2 detik pada pasien
dengan syok iskemik. Pemberian
21. 21. 17 glukosa sebagai dekstrosa 10% pada kecepatan rumatan dengan penggunaan
insulin untuk mengoreksi hiperglikemia akan menghasilkan euglikemia dan
memulihkan senjang anion pada pasien dengan syok glikopenik. Syok, Skor
Keparahan penyakit dan Prognosis Syok merupakan kontributor dari penyebab
kematian pada anak. Kelainan-kelainan dalam parameter fisiologi yang
mencerminkan tanda-tanda klinis syok merupakan prediktor kuat dari kematian pada
dua sistem skoring , PRISM (pediatric risk illness severity and mortality score) dan
PELOD (pediatric logistic organ dysfunction score). Pada PRISM, takikardia (>150
detak per menit untuk anak, >160 untuk bayi), takipnea (>50 napas per menit untuk
anak, >60 untuk bayi), PaO2/FiO2 <300 mm Hg, glukosa (<60 atau >250 mg/dL),
dan bikarbonat (<16 mEq/L) semuanya memprediksi mortalitas tinggi. Pada PELOD,
hipotensi (systolic blood pressure [SBP] <65 mm Hg pada neonatus, <75 mm Hg
pada bayi, <85 mm Hg pada anak, <95 mm Hg pada adolesen) dan menurunnya
kesadaran (Glasgow coma scale score, 7-11) memprediksi mortalitas. Abnormalitas
kreatinin serum (≥140 μmol/L pada usia < 7 hari, ≥55 μmol/L untuk usia 7 hari- 1
tahun; ≥100 μmol/L untuk usia 1 – 12 tahun; ≥140 μmol/L untuk anak di atas 12
tahun) dan waktu protrombin (<60%) atau international normalized ratio (INR) (≥1.4)
juga memprediksi mortalitas. Syok yang
22. 22. 18 memanjang dan deplesi ATP lebih dari 1 jam menyebabkan peningkatan kadar
kreatinin serum ketika sel-sel tubulus ginjal kehilangan orientasinya dan lepas ke
tubulus, di mana obstruksi bisa mengakibatkan disfungsi atau gagal ginjal akut. Syok
lama juga menyebabkan koagulasi intravaskular dengan konsumsi faktor-faktor
pembekuan dan pemanjangan waktu protrombin. Curah jantung rendah (<2
L/menit/m2 ) juga memprediksi mortalitas. Ini bisa dinilai di klinis dengan capillary
refill lebih dari 2 detik, suhu jempol kaki dingin, dengan selisih oksigen arteriovena
yang besar (AVDO2), atau dengan pengukuran langsung curah jantung. Parr dkk1
memeriksa curah jantung CO dengan menggunakan teknik Fick-dilution indocyanine
green dye injection pada bayi di bawah usia 6 bulan yang membutuhkan pembedahan
jantung. Mereka memperlihatkan bahwa risiko mortalitas meningkat pada populasi ini
bila cardiac index (CI) kurang dari 2 L/menit/m2 . Dukungan inotropik yang diikuti
dengan penurunan afterload dengan nitroprusid dan volume loading efektif dalam
memperbaiki CO pada anak-anak ini.2 Capillary refill kurang dari 2 detik merupakan
tanda klinis bahwa CI lebih dari 2 L/menit/m2 pada populasi ini. Anak dengan syok
septik tampaknya memerlukan CO lebih tinggi dibandingkan anak dengan syok
kardiogenik semata.
23. 23. 19 Pollack dkk3 menunjukkan hasil terbaik diamati pada pasien-pasien ini bila CI
berada di antara 3,3 dan 6 L/menit/m2 pada anak dengan syok septik. Ceneviva dkk
memperlihatkan bahwa anak dengan syok septik bisa saja memiliki salah satu dari 3
gangguan kardiovaskular4 : CO tinggi (>5,5 L/menit/m2 ) dan tahanan sistemik
rendah (SVR; <800 dyne·sec/cm5), CO rendah (<3,3 L/menit/m2 ) SVR rendah, atau
CO rendah dan SVR tinggi (>1200 dyne·sec/cm5 ). Mereka mendapatkan bahwa
penggunaan vasopresor; inotrop + vasopresor; atau inotrop + vasodilator masing-
masing memulihkan curah jantung ke kisaran yang dikehendaki. Serupa dengan Parr
dkk 1 , mereka mendapatkan bahwa pasien dengan CO rendah memiliki risiko
mortalitas tertinggi. Pemulihan tanda Syok pada waktu yang tepat memperbaiki
prognosis Tanda-tanda dini dari syok yang dipulihkan pada waktu yang tepat
memperbaiki prognosis pasien. Suatu kajian pada dewasa oleh Rivers dkk 5
menunjukkan pentingnya terapi yang tidak hanya memelihara tekanan darah
melainkan juga hantaran oksigen. Para peneliti mengacak pasien syok dewasa yang
datang di IGD untuk terapi yang ditujukan mencapai tekanan darah normal dan
saturasi oksigen vena cava superior (Superior vena cava oxygen [SVCO2]) lebih dari
70% (setara dengan saturasi oksigen vena campur 62%) pada kelompok lain,
24. 24. 20 dengan menggunakan transfusi konsentrat eritrosit untuk pasien dengan kadar
hemoglobin di bawah 10 g/dL (untuk memulihkan syok anemik) kemudian cairan dan
inotropik (untuk memulihkan syok iskemik) jika saturasi SVCO2 tetap di bawah 70%.
Mitokondria biasanya menarik oksigen sesuai dengan kebutuhan metabolik. Hantaran
oksigen ke mitokondria bergantung pada kapasitas angkut oksigen (persen
hemoglobin), oksigen yang tersedia (saturasi oksigen dari hemoglobin plus oksigen
yang larut dalam plasma), serta curah jantung. Jika persentasi hemoglobin dan
saturasi oksigen arteri normal, hanya CO yang menjadi penentu hantaran oksigen.
Ketika curah jantung (CO) berkurang, dan kebutuhan metabolik tetap sama,
mitokondria menarik lebih banyak oksigen untuk mempertahankan konsumsi oksigen
dan produksi energi yang sama. Bila ini terjadi, saturasi oksigen dari darah yang
kembali ke jantung berkurang. Pada anak sehat saturasi SVCO2 adalah 75%. Rivers
dkk5 mengamati bahwa pasien-pasien dalam kelompok pertama mencapai tekanan
darah normal namun saturasi SVCO2 nya hanya 65%, sedangkan pada kelompok
terapi kedua mempertahankan tekanan darah dan saturasi SVCO2 lebih dari 70%. Ini
dicapai dengan lebih banyak transfusi darah, resusitasi cairan dan pemakaian
inotropik. Kombinasi terapi yang ditujukan untuk memperbaiki tekanan darah dan
hantaran oksigen ini menghasilkan penurunan mortalitas sebesar 50%
25. 25. 21 disamping pemulihan kelainan waktu protrombin. Upaya resusitasi yang
ditujukan untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung memperbaiki
prognosis serta memulihkan koagulopati. Bila pasien dengan takikardia, saturasi
SVCO2 < 70%, dan normotensi dinilai menurut kelompok terapi, mereka yang
mendapat terapi dengan sasaran mencapai saturasi SVCO2 di atas 70% mendapat
lebih banyak cairan dan obat inotropik. Komplikasi gagal organ ganda dan kematian
lebih rendah dibanding kelompok yang saturasi SVCO2 tidak dipertahankan lebih dari
70%. Penulis menyebut syok tanpa hipotensi sebagai “cryptic shock.” Syok iskemik
tanpa hipotensi bisa digambarkan menurut persamaan berikut: CO yang berkurang =
MAP normal atau tinggi − CVP/SVR yang meninggi. Pemulihan syok iskemik yang
normotensi mengurangi gagal organ dan mortalitas. Di IGD, pemasangan line sentral
untuk pengukuran saturasi SVCO2 pada anak tidak sesering pada orang dewasa. Oleh
karena itu Han dkkl 6 dan Orr dkk 7 memeriksa EGDT (early goal-directed therapy)
untuk syok septik pada neonatus dan anak serta semua kasus syok di IGD, dengan
memanfaatkan capillary refill yang memanjang >2 detik sebagai “surrogate marker”
dari penurunan CO sesuai dengan laporan Parr dkk1
26. 26. 22 ketimbang menggunakan penurunan saturasi SVCO2. Mortalitas dan
neuromorbiditas meningkat lurus dengan a) takikardia sendiri, b) hipotensi dengan
capillary refill normal, c), pemanjangan capillary refill tanpa hipotensi, d)
pemanjangan capillary refill dengan hipotensi. Pemulihan tanda-tanda klinis ini di
IGD dapat menurunkan mortalitas dan neuromorbiditas sebanyak > 50%. Setiap jam
keterlambatan pemulihan dari hipotensi dan capillary refill menjadi < 2 detik akan
disusul oleh odds ratio kematian 2 kali lipat akibat gagal organ ganda. Glikopenia
adalah defisiensi glukosa dalam jaringan. Glikopenia penting dipulihkan sebagaimana
dicatat oleh van den Berghe 8 dkk pada unit bedah kritis dewasa. Para peneliti ini
memberikan semua pasien dekstrosa 10% pada laju rumatan untuk memenuhi
kebutuhan akan glukosa. Kemudian pasien diacak untuk kontrol euglikemia ketat
dengan insulin untuk mempertahankan kadar glukosa antara 80 dan 120 mg/dL atau
sesuai dengan praktek standar. Pada pasien yang mendapat insulin, rasio glukosa: laju
infus glukosa menurun (45 vs 75) dibandingkan pasien yang tidak mendapat insulin
dan mengalami penurunan mortalitas sebesar 50% (3% vs 7%). Semua perbaikan
dalam hasil klinis disebabkan penurunan kematian akibat syok septik dan gagal organ
ganda.
27. 27. 23 Pemberian glukosa mencegah hipoglikemia, dan pemberian insulin untuk
hiperglikemia menjamin hantaran glukosa ke dalam organ yang transporter
glukosanya bergantung insulin, terutama sistem kardiovaskular. Dengan
menggunakan asidosis senjang anion sebagai surrogate marker untuk gagal energi,
Lin dkk [9] melaporkan bahwa peninggian rasio glukosa/ laju infus glukosa
merupakan prediktor asidosis senjang anion pada anak dengan syok. Penggunaan
insulin untuk menurunkan rasio tersebut, bisa mengatasi asidosis senjang anion pada
pasien-pasien ini. Fisiologi dan Patofisiologi Respon stres Respon stres lazim
dijumpai ketika sakit. Disebut juga “fight-or-flight response”, ini didominasi oleh
aktivasi sistem saraf pusat dan simpatis. Sistem saraf pusat membebaskan hormon
adrenokortikotropik, yang selanjutnya merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan
kortisol. Sistem saraf simpatis melepaskan epinefrin dan norepinefrin.
28. 28. Kortisol memfasilitasi kerja kedua katekolamin ini. Epinefrin dan norepinefrin
meningkatkan CO dengan meningkatkan detak jantung dan curah sekuncup. Kedua
katekolamin ini juga meningkatkan tekanan darah. Epinefrin meningkatkan detak
jantung dan kontraktilitas, sedangkan norepinefrin meningkatkan kontraktilitas dan
tonus pembuluh darah sistemik. Untuk kebutuhan energi yang bertambah ini,
glukagon juga disekresi. Glukagon meningkatkan hantaran glukosa ke siklus Krebs
melalui aktivasi glikogenolisis dan glukoneogenesis. Respon Syok Respon syok
terjadi ketika stres tidak lagi disebabkan “fight or flight” tetapi disebabkan penurunan
akut dari 24
29. 29. 25 hantaran oksigen dan/atau produksi ATP. Perdarahan, hipovolemia karena
diare yang berat dan mendadak atau disfungsi jantung dan pembuluh darah akibat
sepsis, toksin atau obat-obatan, menyebabkan otak memimpin respon syok untuk
menyelamatkan jiwa. Ini agak mirip dengan respon stres tetapi bersifat lebih
mencolok. Kadar katekolamin dan kortisol lebih tinggi. Sebagai controh, kadar
kortisol pada stres bisa mencapai 30 μg/dL, tetapi selama syok bisa mencapai 150
sampai 300 μg/dL. Sistem angiotensin/aldosteron dan antidiuretic
hormone(vasopresin) juga diaktifkan untuk menjaga cairan intravaskular.
Katekolamin menginduksi takikardia, sedangkan angiotensin, aldosteron dan
vasopresin menyebabkan oliguria. Glukagon juga dilepaskan. Bersama-sama dengan
kortisol dan katekolamin, glukagon menginduksi hiperglikemia melalui
glukoneogenesis, disamping melalui resistensi insulin. Respon syok ini
memungkinkan pasien untuk kompensasi jangka pendek (short-term survival) , namun
intervensi medis sering dibutuhkan agar pasien selamat. Pemahaman dan penerapan
prinsip fisiologi dibutuhkan untuk menyelamatkan pasien (long-term survival).
Fisiologi kardiovaskular Sistem kardiovaskular bisa dipandang sebagai berikut: CO =
MAP − CVP/SVR. Persamaan ini menjelaskan prinsip patofisiologi penting dari syok.
Pertama,
30. 30. 26 persamaan ini memandu kita dalam mengelola tekanan darah. Tekanan perfusi
(= Mean arterial pressure − CVP) lebih penting dari MAP sendiri. Menurut persamaan
ini, sebagai contoh secara teoritis bisa dikatakan seseorang memiliki MAP normal
tetapi tidak ada aliran maju (misal, CO), jika CVP setara dengan MAP. Bila kita
melakukan resusitasi cairan untuk memperbaiki tekanan darah, kenaikan MAP harus
lebih besar daripada kenaikan CVP. Jika kenaikan MAP lebih kecil dari kenaikan
CVP, tekanan perfusi berkurang. Obat-obat kardiovaskular lah dan bukan tambahan
cairan, yang diindikasikan untuk memperbaiki tekanan darah pada skenario ini.
Persamaan ini juga menuntun kita dalam manajemen curah jantung (CO) atau aliran
darah. Curah jantung bisa menurun bila MAP − CVP berkurang, tetapi bisa juga
menurun ketika MAP − CVP normal dan ketika tahanan pembuluh darah meningkat.
Tekanan perfusi bisa dipertahankan, sekalipun pada keadaan CO rendah, dengan
meningkatkan tahanan pembuluh darah (lihat Gambar 1). Jadi, pasien dengan tekanan
darah normal bisa saja memiliki CO yang tidak adekuat karena tonus pembuluh darah
tinggi. Curah jantung bisa diperbaiki pada pasien ini dengan penggunaan inotrop,
vasodilator dan volume loading.
31. 31. Gambar 1. Vasokonstriksi sistemik bisa memelihara MAP dan tekanan perfusi
sekalipun ada hipovolemia dan berkurangnya CO. Oleh karena itu syok harus
dideteksi bila ada takikardia dan capillary refill yang memanjang, sebelum terjadi
hipotensi. Frank dan Starling terkenal karena mempopulerkan prinsip-prinsip dasar
yang mempengaruhi curah sekuncup (CO = heart rate [HR] × stroke volume [SV]).
Frank mengamati bahwa serabut otot jantung berkontraksi lebih kuat bila diregang,
sepanjang regangan serabut tersebut tidak berlebihan (overstretched). Starling
melukiskan prinsip Frank ini dengan kurva yang mengaitkan hubungan curah
sekuncup (sumbu y) dengan volume akhir-diastolik ventrikel (lihat Gambar 2). Curah
sekuncup bergerak baik sepanjang kurva saat pengisian akhir diastolik 27
32. 32. 28 meningkat ke titik di mana ventrikel kepenuhan, dan selanjutnya curah
sekuncup turun lagi. Preload yang tidak adekuat didefinisikan sebagai volume akhir-
diastolik di bawah curah sekuncup maksimum. Gagal jantung bendungan terjadi bila
preload atau volume akhir- diastolik berada di atas kisaran optimum ini. Disfungsi
jantung digambarkan dengan pergeseran kurva ke arah bawah dan kanan. Kurva ini
bisa digunakan untuk menunjukkan prinsip-prinsip pemberian cairan, obat inotropik
dan vasodilator. Pasien yang curah sekuncupnya tidak adekuat sekalipun mendapat
volume cairan cukup berarti memiliki kontraktilitas yang berkurang. Ini digambarkan
dengan kurva sterling yang mendatar. Terapi inotropik memperbaiki kurva Sterling,
dan menggesernya ke atas dan kiri. Curah sekuncup menjadi lebih besar untuk setiap
volume akhir-diastolik pada pasien yang diberi terapi inotropik dibanding yang tidak
diterapi. Pasien dengan syok kardiogenik membutuhkan vasodilator untuk
memperbaiki kurva Sterling, menggesernya ke atas dan kiri. Pemberian volume
loading sering dibutuhkan pada pasien-pasien ini karena terapi vasodilator sering
menurunkan preload.
33. 33. Mekanisme Frank-Starling. Dengan meningkatkan alir-balik vena ke ventrikel kiri
akan meningkatkan tekanan dan volume akhir-diastolik ventrikel kiri (LVEDP &
LVEDV). Ini menghasilkan penambahan curah sekuncup (SV). Titik operasional
“normal” adalah LVEDP ~ 8 mmHg dan SV ~ 70 ml/detak Perubahan-perubahan
dalam afterload dan inotropi akan menggeser kurva Frank-Starling ke atas dan ke
bawah Kurva Starling dan kurva ventricular compliance memprediksi respon
fisiologis terhadap terapi cairan, inotropik, vasopresor dan vasodilator. Epinefrin 0,05
μg/kg/menit merupakan inotropik garis pertama dalam jam pertama resusitasi.
Epinefrin bisa diberikan melalui 29
34. 34. 30 vena perifer sampai didapat akses vena sentral (jika melalui vena tepi, harus
diberikan dengan infus cairan lebih cepat untuk sampai ke jantung tepat waktu).
Hubungan antara afterload dan curah sekuncup terbaik dilihat dengan modifikasi
kurva compliance. Saat afterload atau tekanan diastolik aorta naik, curah sekuncup
berkurang. Jantung yang berfungsi normal bisa mentoleransi peningkatan tekanan
diastolik aorta dengan cukup baik. Akan tetapi, jantung dengan kontraktilitas yang
berkurang tidak bisa mentoleransi peningkatan afterload. Ini menjelaskan efek baik
dari terapi vasodilator terhadap kurva Starling. Penurunan afterload dengan
vasodilator menurunkan tekanan diastolik aorta dan memperbaiki curah sekuncup,
khususnya pada jantung yang kontraktilitasnya kurang baik. Namun, patut
diperhatikan bahwa tekanan diastolik merupakan determinan penting dari tekanan
perfusi arteri koroner. Dua pertiga dari siklus jantung digunakan dalam diastole.
Takikardia, penurunan tekanan diastolik atau meningkatnya tegangan dinding dada
(wall stress), bisa mengurangi pengisian koroner. Penggunaan terapi vasodilator harus
ditujukan mengurangi wall stress (penurunan afterload) tanpa menyebabkan
takikardia atau hipotensi diastolik.
35. 35. 31 Fisiologi Pembekuan Pada homeostasis, darah berada dalam keadaan tidak
membeku. Namun pada keadaan syok yang memanjang, terjadi trombosis dan
hipofibrinolisis. Ini disebabkan sebagian oleh stasis, deplesi ATP sel endotel dan
aktivasi sel endotel yang dimediasi oleh peradangan sistemik. Endotel yang
teraktivasi bersifat prokoagulan dan antifibrinolitik. Ini menyebabkan konsumsi
protein prokoagulan maupun antikoagulan di dalam trombosit dan trombus fibrin.
Inilah mekanisme di mana pasien meninggal akibat syok biasa mengalami trombosis
dan perdarahan. Waktu protrombin yang memanjang berbanding lurus dengan waktu
mencapai resusitasi dan tidak langsung dengan jumlah cairan resusitasi yang
diberikan. Pemulihan syok yang cepat dengan resusitasi cairan, inotropik dan
vasodilator memulihkan dan mencegah koagulasi intravaskular diseminata dan
perdarahan. Pada resusitasi yang tertunda, penggantian protein antikoagulan, seperti
protein C mungkin berguna. Pada trombosis yang mengancam jiwa atau anggota
gerak, terapi fibrinolitik bisa efektif memulihkan aliran darah.
36. 36. 32 Goal-Directed Therapy Sasaran klinis Resusitasi sampai tercapai sasaran klinis
merupakan prioritas utama. Pasien harus diresusitasi sampai status mental normal,
kualitas nadi normal baik proksimal dan distal, suhu sentral dan perifer sama,
capillary refill < 2 detik, dan jumlah urin > 1 mL/kg/jam. Dua puluh persen darah
menuju otak, dan 20% menuju ginjal. Oleh karena itu, pemeriksaan klinis terhadap
kedua organ ini sangat berguna. Ke 2 organ ini mengatur aliran darah dengan
autoregulasi dan bergantung pada tekanan perfusi (MAP − CVP) untuk
mempertahankan perfusi. Endotoksemia, sirosis, aminoglikosida, cisplatin,
takrolimus, dan siklosporin A menginduksi vasokonstriksi glomerulus. Pada anak,
dibutuhkan tekanan perfusi yang lebih tinggi untuk menembus ginjal dan memelihara
jumlah urin. Kualitas nadi distal, suhu dan pengisian ulang kapiler mencerminkan
tonus pembuluh darah sistemik dan curah jantung. Capillary refill dan suhu ibu jari
kaki yang normal menjamin cardiac index (CI) lebih dari 2 L/menit/m2 . Resusitasi
cairan harus dipantau dengan menggunakan temuan klinis seperti terabanya pinggir
hati, ronkhi, takipnea atau batuk produktif, sebagai indikasi untuk menghentikan
resusitasi cairan dan memulai terapi inotropik.
37. 37. 33 Sasaran Hemodinamik dan Penggunaan Oksigen Detak jantung normal
menurut usia dan tekanan perfusi normal menurut usia adalah sasaran hemodinamik
awal sebelum memasang akses vena sentral. Resusitasi cairan bisa dipantau dengan
mengamati detak jantung dan selisih MAP − CVP. Detak jantung akan berkurang, dan
MAP − CVP akan bertambah bila resusitasi cairan efektif. Detak jantung akan
meningkat dan MAP − CVP akan berkurang, jika terlalu banyak cairan. Indeks syok
(HR/SBP) bisa digunakan untuk menilai keberhasilan terapi cairan maupun inotropik.
Karena curah sekuncup meningkat dengan terapi, detak jantung akan berkurang dan
tekanan darah sistolik (SBP) akan naik. Indeks syok akan berkurang. Jika curah
sekuncup tidak membaik dengan resusitasi, detak jantung tidak akan berkurang, SBP
tidak akan meningkat, dan indeks syok tidak membaik. Pada pasien yang dipasang
kateter vena sentral (vena cava superior), saturasi oksigen > 70% harus digunakan
sebagai sasaran. Jika kurang dari 70% dan anemis, anak harus ditransfusi untuk
mencapai kadar hemoglobin di atas 10 g/dL. Jika saturasi oksigen vena sentral kurang
dari 70% tanpa anemia, bisa digunakan inotrop dan vasodilator untuk memperbaiki
CO sampai saturasi vena sentral di atas 70%. AVDO2 juga bisa dikalkulasi dengan
38. 38. 34 sasaran hemodinamik 3% sampai 5%. Jika lebih lebar dari 5%, CO harus
ditingkatkan dengan terapi sampai AVDO2 kembali ke kisaran normal. AVDO2
paling akurat bila kateter vena sentral terletak di arteri pulmonalis. Curah jantung bisa
diukur dengan menggunakan PiCCO (Philips Medical Systems, Bothell, Wash),
thermodilusi arteri femoralis, kateter arteri pulmonalis, atau ekokardiografi Doppler.
Sasarannya adalah cardiac index (CI) lebih dari 2 L/menit/m2 pada syok kardiogenik
dan antara 3,3 dan 6 L/menit/m2 pada syok septik. Sasaran Biokimia Banyak yang
menggunakan laktat sebagai ukuran metabolisme anerob; namun laktat bisa meninggi
karena berbagai kondisi sekalipun tanpa adanya syok. Ini meliputi, kelainan
metabolisme, penyakit limfoproliferatif, gagal hati, dan sepsis. Laktat paling berguna
pada evaluasi syok kardiogenik pra dan pasca bedah (walaupun kadarnya bisa
meningkat sekalipun tidak ada penurunan aliran). Untuk pasien-pasien ini risiko
kematian meningkat saat kadar laktat serum naik di atas 2,0 mmol/L. Bila digunakan
sebagai sasaran hemodinamik, targetnya adalah kadar < 2.0 mmol/L. Ada juga yang
menggunakan asidosis senjang anion (anion gap acidosis) sebagai sasaran biokimia.
Asidosis senjang anion bisa disebabkan oleh metabolisme anaerob pada keadaan
aliran rendah dan adanya asam organik pada
39. 39. 35 keadaan glikopenia. Sasaran senjang anion (anion gap) adalah kurang dari 16
mmol/L. [Catatan: yang dimaksud senjang anion atau anion gap di sini adalah (Na+ +
K+ ) - (Cl- + HCO3 - ) dan perlu dikoreksi dengan kadar albumin (g/L), yakni
Corrected AG = AG + [0.25 x (44 - albumin)] Jika pasien telah mendapat bikarbonat,
akan menyelubungi asidosis, tetapi tidak akan menyelubungi senjang anion. Asidosis
Non–anion gap yang disebabkan kelebihan ion klorida, banyak dijumpai pada pasien
yang diresusitasi dengan NaCl 0.9%. Asidosis menetap walaupun senjang anion telah
normal, karena asidosis di sini disebabkan pemberian anion kuat (Cl- ) dan bukan
karena gagal energi. Kadar Troponin I bisa digunakan sebagai marker terapi untuk
cidera atau disfungsi jantung. Kadar Troponin I meningkat pada cidera miokard dan
menjadi normal dengan memulihnya jejas. Bersihan kreatinin bisa digunakan sebagai
marker terapi untuk disfungsi ginjal. Bersihan kreatinin akan membaik saat
hemodinamik ginjal membaik. Tatalaksana Syok Cairan Terapi cairan terbanyak
digunakan pada resusitasi syok pada bayi dan anak. Digunakan untuk memulihkan
status hipovolemia dan mengoptimalkan kurva Starling untuk
40. 40. 36 menghasilkan aliran dan CO optimal untuk berbagai derajat kontraktilitas.
Kira-kira 8% dari volume darah total dikandung dalam sisi arteri, 70% dalam sisi
vena, dan 12% di jaringan kapiler. Volume darah total pada neonatus 85 mL/kg dan
65 mL/kg pada bayi. Resusitasi cepat bisa memulihkan volume sirkulasi. Karena
kemampuan vasokonstriksi yang bermakna, hipotensi tidak muncul sebelum 50% dari
volume darah hilang. Oleh karena itu, bolus cepat 30 sampai 40 mL/kg dibutuhkan
untuk memulihkan volume intravaskular. Jika ada kebocoran kapiler dan digunakan
kristaloid untuk resusitasi, dibutuhkan volume yang sangat besar dalam jam pertama
(bisa sampai 200 mL/kg pada syok septik). Kristaloid dan koloid dua-duanya bisa
digunakan untuk ekspansi volume. Dibutuhkan lebih sedikit koloid dibanding
kristaloid karena koloid lebih lambat mengalami redistribusi ke ekstravaskular. Dalam
uji acak terkontrol dan berskala besar, albumin terlihat lebih efektif pada pasien
dewasa dengan sepsis/syok septik dibandingkan kristaloid 10 . Pada uji acak dan
terkontrol pada anak dengan DSS (dengue shock syndrome), kinerja kristaloid dan
koloid sama baik11 . Sebagian peneliti menggunakan kristaloid sebagai cairan garis
pertama dan disusul dengan koloid jika dibutuhkan 12 .
41. 41. 37 Bolus cairan cepat tidak hanya memulihkan volume intravaskular, melainkan
juga menekan ekspresi gen peradangan dan koagulasi. Ekspansi volume yang cepat
dan agresif pada jam pertama memperbaiki survival pada model syok hewan maupun
manusia. Namun, pemberian cairan pada neonatus dan anak-anak harus hati-hati,
karena berpotensi memperburuk gagal jantung akibat kardiomiopati atau penyakit
jantung kongenital. Anak- anak bisa “didorong” keluar kurva Starling jika dikelola
terlalu agresif. Volume 10 mL/kg direkomendasikan dengan pemantauan
CVP/tekanan atrium kiri/ tekanan oklusi arteri pulmonalis pada pasien-pasien ini.
Darah Pada pasien dengan syok anemik dibutuhkan darah. Mitokondria tidak bisa
menarik 20% terakhir dari oksigen yang berikatan dengan hemoglobin. Pada kondisi
normal, mitokondria menarik 25% oksigen yang berikatan dengan hemoglobin. Di
klinis ini terlihat dengan saturasi oksigen vena campur 75% pada orang sehat dengan
saturasi oksigen darah arteri 100%. Pada anak dengan hemoglobin 10 g/dL, hanya 8
g/dL tersedia untuk ekstraksi (20% tidak bisa ditarik), dan 2,5 g/dL digunakan untuk
ekstraksi oksigen, sehingga tinggal kelebihan 5,5 g/dL hemoglobin. Pada keadaan
hemolisis, syok hemolitik bisa terjadi bila surplus ini hilang atau kadar hemoglobin
turun di bawah 5 g/dL. Angka kematian
42. 42. 38 meningkat bila kadar Hb turun di bawah 6 g/dL. Ini juga berlaku untuk syok
hemoragik. Transfusi darah menyelamatkan jiwa dalam hal ini. Whole blood tersedia
di banyak tempat dan begitupula konsentrat eritrosit (packed red blood cells).
Konsentrasi lazim dari hemoglobin pada konsentrat eritrosit adalah 20 g/dL. Karena
volume darah anak berkisar antara 85 mL/kg pada neonarus sampai 65 mL/kg pada
anak, 10 mL/kg konsentrat eritrosit akan menaikkan kadar hemoglobin sekitar 2 g/dL.
Obat Inotropik Obat inotropik digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas dan CO.
Dobutamin adalah agonis β1- adrenergik dengan aksi kronotropik dan inotropik.
Dobutamin dianggap sebagai agonis parsial. Pada dewasa dobutamin efektif; tetapi,
ada ketidakpekaan obat ini pada anak yang bersifat spesifik-usia. Perkin dkk13
memperlihatkan bahwa anak di bawah usia 2 tahun kurang responsif terhadap
dobutamin. Pada dosis lebih dari 10 μg/kg/menit, dobutamine bisa mengurangi
afterload secara bermakna, dan kadang-kadang hipotensi. Ini diduga terjadi karena
dobutamin pada dosis ini memiliki efek reseptor α2 yang menghambat pelepasan
norepinefrin dari terminal presinaptik. Pada gilirannya ini menurunkan tonus
pembuluh darah.
43. 43. Epinefrin merupakan inotrop pilihan pasien yang gagal dengan terapi dobutamin
(lihat Gambar 3). Dewasa dan anak yang resisten terhadap terapi dobutamin
umumnya merespon epinefrin 14 . Epinefrin adalah neurohormon alamiah, yang
dihasilkan untuk meningkatkan kontraktilitas selama stres dan syok. Epinefrin
merupakan agonis β1-, β2-, α1-, dan α2-adrenergik. Pada dosis lebih rendah (0,05
μg/kg/menit) efek β- adrenergik meniadakan efek α1-adrenergik, sehingga
menghasilkan kualitas inotropik yang hampir murni. Efek α1-adrenergik menjadi
lebih menonjol saat dosis epinefrin mencapai dan melebihi 0,3 μg/kg/menit. Pasien
gagal jantung dengan peningkatan tahanan tepi (SVR) mungkin dirugikan dengan
dosis epinefrin yang lebih tinggi, kecuali jika diberikan berbarengan dengan
vasodilator atau inodilator. 39
44. 44. 40 Gambar 3. Inotrop seperti epinefrin merangsang reseptor β- adrenergik, yang
meningkatkan kalsium intrasel selama sistole dan mengurangi kalsium intrasel selama
diastole. Ini diselesaikan melalui sistem pembawa pesan kedua, cAMP. Penghambat
fosfodiesterase tipe III bisa memprotensiasi efek-efek ini dengan mencegah
pemecahan cAMP. Vasodilator Vasodilator digunakan untuk menurunkan tahanan
tepi pulmoner dan sistemik serta memperbaiki CO (lihat Gambar 4). Vasodilator
golongan nitrat bergantung pada pelepasan nitrosothiol, yaitu donor nitric oxide,
untuk mengaktifkan soluble guanylate cyclase dan melepas cGMP (cyclic guanosine
monophosphate). Nitroprusid merupakan vasodilator sistemik dan pulmoner. Dosis
awal adalah 1 μg/kg/menit. Nitrogliserin memiliki efek yang agak selektif dan
bergantung dosis. Nitrogliserin merupakan vasodilator koroner pada dosis di bawah 1
μg/kg/menit, vasodilator pulmoner pada dosis 1 μg/kg/menit, dan vasodilator sistemik
pada 3 μg/kg/menit. Nitric oxide inhalasi merupakan vasodilator pulmoner selektif,
yang bisa dimulai 5 ppm. Prostaglandin merupakan vasodilator yang meningkatkan
kadar cyclic adenosine monophosphate (cAMP). Prostasiklin bisa dimulai 3
ng/kg/menit. Prostaglandin E1 bisa dimulai pada 0,1 μg/kg/menit dan efektif
mempertahankan duktus arteriosus yang terbuka pada neonatus dengan penyakit
jantung bawaan yang bergantung duktus .
45. 45. Gambar 4. Vasokonstriktor dan vasodilator merangsang sistem-sistem pembawa
pesan kedua yang berlawanan. Agonis α-adrenergik, angiotensin, dan vasopresin
merangsang reseptor-reseptor yang berbeda, yang merangsang produksi inositol 1,4,4-
triphosphate (IP3) dan diasilgliserol (DAG), sehingga menyebabkan peningkatan
kadar ionized calcium (Ca ++ )dan kontraksi. Agonis β2-adrenergik dan vasodilator
prostanoid merangsang produksi cAMP dan nitrovasodilator dan inhaled nitric oxide
(iNO) merangsang produksi cGMP(guanosine monophosphate). Pembawa pesan ini
menurunkan Ca ++ dan menginduksi vasodilatasi. Inhibitor Fosfodiesterase Tipe III
dan V bisa mempotensiasi efek vasodilator. PKC = protein kinase C. Inodilator 41
Inhibitor fosfodiesterase (PDEI) merupakan kelompok obat penting, yang memediasi
inotropi dan vasodilatasi dengan mencegah hidrolisis cAMP (PDEI tipe III, milrinon,
amrinon, enoximon, atau pentoksifilin). Pada monoterapi,
46. 46. 42 peningkatan cAMP ini memperbaiki kontraktilitas dan relaksasi diastolik dan
juga menyebabkan vasodilatasi arteri pulmoner dan sistemik. Interaksi PDEI dengan
obat inotropik, vasodilator dan bahkan vasopresor bisa digunakan pada pasien syok
(lihat Gambar 3). Sebagai contoh, epinefrin bisa tetap sebagai inotrop poten dan
relatif murni pada dosis lebih tinggi. Untuk setiap dosis epinefrin, PDEI tipe III
mencegah pemecahan cAMP yang dihasilkan oleh stimulasi β1- dan β2-adrenergik.
Peningkatan cAMP intrasel ini menghambat efek-efek stimulasi α1-adrenergik. Jadi,
vasokonstriksi tidak mudah terjadi pada dosis epinefrin yang lebih tinggi.
Norepinefrin juga bisa menjadi inotrop yang lebih efektif sementara mempertahankan
efek vasopresornya bila diberikan bersama dengan PDEI tipe III. Produksi cAMP di
reseptor β1 tidak dihidrolisis. Peningkatan cAMP di otot jantung memperbaiki
kontraktilitas dan relaksasi. Efek-efek α1- dan α2-adrenergik tetap sama karena tanpa
stimulasi β2 , milrinon memiliki efek minimal terhadap vasodilatasi dibandingkan
dengan vasokonstriksi α-adrenergik yang dimediasi norepinefrfin. Masalah utama
dengan obat fosfodiesterase yang digunakan dewasa ini adalah waktu paruhnya relatif
panjang dibandingkan dengan katekolamin dan nitrovasodilator. Katekolamin dan
nitrovasodilator dieliminasi dalam beberapa menit, sedangkan PDEI tidak
47. 47. 43 dieliminasi setelah berjam-jam. Waktu-paruh eliminasi ini lebih penting bila
ada gagal organ. Contohnya, eliminasi milrinon lebih dominan melalui ginjal dan
amrinon melalui hati. Bila toksisitas seperti hipotensi atau takiaritmia terlihat, obat-
obat ini harus dihentikan. Yang menarik, norepinefrin telah dilaporkan efektif sebagai
antidotum dari toksisitas ini. Seperti telah disebutkan, norepinefrin merupakan agonis
α1-adrenergik tetapi dengan aktivitas agonis β1 dan bukan β2. Norpinefrin
meningkatkan tekanan darah (efek α1-adrenergik) dan CO (efek β1- adrenergik)
namun tidak menyebabkan eksaserbasi efek vasodilatasi PDEI (tidak ada efek β2-
adrenergik). Isoproterenol merupakan inodilator penting dengan aktivitas β1- dan β2-
adrenergik. Obat ini penting dalam tatalaksana blok jantung, status asmatikus
refrakter, dan krisis hipertensi pulmoner dengan gagal ventrikel kanan. Levosimendan
mewakili kelompok inodilator baru yang mensensitisasi pengikatan kalsium pada
kompleks aktin- tropomiosin. Efek lainnya adalah memperbaiki kontraktilitas dan
juga hiperpolarisasi saluran kalium, sehingga menyebabkan vasodilatasi. Vasopresor
Fenilefrin adalah agonis murni reseptor α-adrenergik. Peran utamanya pada anak
adalah untuk memulihkan sianosis (spell) pada tetralogi Fallot. Bayi dan anak
48. 48. 44 dengan tetralogi Fallot mengalami penebalan infundibulum yang cenderung
spasme dan menyebabkan aliran darah kanan-ke-kiri melalui defek septum ventrikel.
Spasme bisa hebat sehingga mencegah aliran darah melalui paru. Terapi meliputi
oksigen dan morfin untuk merelaksasi infundibulum dan posisi knee-to-chest untuk
meningkatkan afterload dan membantu menghasilkan aliran kiri-ke-kanan melalui
defek septum ventrikel. Bila perasat-perasat ini gagal, obat pilihannya adalah
fenilefrin. Peningkatan vasokonstriksi arteri sistemik mengakibatkan pintasan kiri-ke-
kanan dan perfusi paru. Karena fenilefrin tidak memiliki efek β-adrenergik, obat ini
tidak meningkatkan detak jantung. Jadi pengisian jantung lebih baik. Juga
penyempitan infundibulum tidak diperburuk oleh kontraktilitas yang meningkat.
Baru-baru ini telah muncul kembali minat untuk memanfaatkan 2 vasopresor kuno:
angiotensin dan vasopresin (lihat Gambar 4). Angiotensin berinteraksi dengan
reseptor angiotensin dan memediasi vasokonstriksi melalui sistem pembawa pesan
kedua fosfolipase C. Waktu-paruhnya relatif panjang dibandingkan katekolamin .
Angiotensin juga memediasi tekanan darah melalui peningkatan sekresi aldosteron.
Patut diperiksa apakah pemakaian angiotensin menurunkan CO pada anak dengan
hipotensi karena angiotensin tidak memiliki efek inotropik. Vasopresin juga
49. 49. 45 telah “ditemukan” kembali. Berbeda dengan angiotensin, vasopresin diberikan
hanya dalam dosis fisiologis dan diduga memperbaiki tekanan darah. Mekanismenya
bukan saja melalui interaksi dengan reseptor angiotensin sistem fosfolipase C,
melainkan juga dengan meningkatkan pelepasan hormon adrenokortikotropik dan
selanjutnya pelepasan kortisol. Vasopresor ini juga harus digunakan dengan hati-hati
karena bisa menurunkan CO pada anak dengan fungsi jantung yang kurang baik.
Inovasopresor Dopamin adalah inotropik/vasopresor yang paling banyak digunakan.
Efeknya bergantung dosis. Pada kisaran dosis 3 sampai 10 μg/kg/menit, reseptor β1-
adrenergik dirangsang. Pada dosis lebih dari 10 μg/kg/menit, efek terhadap reseptor
α1-adrenergik menjadi lebih mencolok. Seperti halnya dobutamin, ada ketidakpekaan
terhadap obat yang dipengaruhi usia. Dopamin memediasi kebanyakan efek-efek β1-
dan α1-adrenergik nya melalui pelepasan norepinefrin dari vesikel simpatis Hewan
muda dan bayi di bawah usia 6 bulan tidak memiliki jumlah vesikel simpatis lengkap.
Ini dikemukakan sebagai penyebab dari berkurangnya efektivitas dopamin pada
kelompok usia ini. Anak yang lebih besar dan dewasa ada juga yang tidak peka
terhadap dopamin, khususnya mereka yang kehabisan cadangan katekolamin
endogen.
50. 50. 46 Norepinefrin efektif untuk syok yang resisten dengan dopamin. Efeknya
dimediasi melalui reseptor β1-, α1-, dan α2-adrenergik. Norepinefrin selalu bersifat
inotropik, tetapi kualitas vasopresornya lebih mencolok bahkan pada dosis rendah
0,01 μg/kg/menit. Dopamin dan norepinefrin memiliki peran terbesar dalam
memelihara perfusi yang adekuat pada anak dengan syok. Fungsi ginjal bisa membaik
dengan menggunakan inovasopresor ini sampai ke titik di mana tekanan perfusi ginjal
adekuat. Hidrokortison Hidrokortison juga “ditemukan kembali”. Insufisiensi adrenal
di tingkat pusat dan perifer semakin banyak dijumpai di ICU anak. Banyak anak yang
mendapat terapi untuk penyakit kronis dengan steroid mengalami supresi aksis
hipofisis-adrenal. Banyak anak memiliki anomali sistem saraf pusat dan penyakit
dapatan. Ada anak yang mengidap purpura fulminans dan sindrom Waterhouse-
Friderichsen. Lainnya memiliki penurunan dalam aktivitas sitokrom P450, produksi
kortisol dan aldosteron. Yang menarik, insufisiensi adrenal bisa tampil dengan CO
rendah dan SVR tinggi, atau dengan CO tinggi dan SVR rendah. Diagnosis harus
dipikirkan pada setiap anak dengan syok yang resisten terhadap epinefrin atau
norepindefrin. Dosis hidrokortison yang dianjurkan di kepustakaan adalah 50 mg/kg
hidrokortison suksinat,
51. 51. 47 disusul oleh dosis sama selama 24 jam16 . Dosis yang dianjurkan untuk stres
adalah 2 mg/kg disusul oleh dosis sama yang diberikan dalam 24 jam. Insufisiensi
adrenal sentral dan perifer mungkin didiagnosis pada bayi atau anak yang
membutuhkan epinefrin atau norepinefrin untuk syok dan memiliki kadar kortisol
kurang dari 18 mg/dL 15 . Sebelum memberikan hidrokortison untuk pasien syok,
penting dipahami 2 konsep. Pertama, dosis hidrokortison terlihat lebih tinggi karena
ada potensi glukokortikoid relatif. Hidrokortison harus dikalikan 6 untuk memiliki
glukokortikoid setara dengan metilprednisolon, dan dikalikan 30 untuk memiliki
glukokortikoid setara dosis deksametason; kendati demikian, hidrokortison memiliki
efek glukokortikoid dan mineralokortikoid. Oleh karena alasan inilah digunakan
hidrokortison, bukan metilprednisolon ataupun deksametason. Kedua, kadar kortisol
berbeda selama stres dan syok, sehingga upaya untuk mengatasi pasien dengan
insufisiensi adrenal harus ditujukan untuk mencapai kadar-kadar ini. Selama stres
pembedahan, kadar kortisol bisa mencapai kisaran 30 μg/dL. Namun, selama syok
akut, kadar kortisol bisa mencapai 150 sampai 300 μg/dL. Pemberian infus
hidrokortison 2 mg/kg/hari (50 mg/m2 /hari) menghasilkan kadar kortisol 20 sampai
30 μg/dL. Infus hidrokortison
52. 52. 48 pada dosis 50 mg/kg/hari menghasilkan kadar kortisol 150 μg/dL. Glukosa dan
Insulin Glukosa dan insulin sama-sama berfungsi sebagai inotropik, meningkatkan
produksi cAMP serta ATP di jantung. Jumlah glukosa yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan hantaran glukosa adalah dekstrosa 10% dengan kecepatan
rumatan. Jumlah insulin yang dibutuhkan bisa bervariasi dari 0 sampai lebih dari 1
U/kg/jam, dengan konsentrasi insulin lebih tinggi dibutuhkan pada resistensi inulin
yang lebih besar. Laju infus insulin yang tinggi bisa diikuti oleh gangguan elektrolit.
Pemantauan fosfor, kalsium,magnesium, dan kalium dianjurkan bila menggunakan
terapi ini. 16 . Atropin dan Ketamin Sedasi untuk prosedur IV invasif atau intubasi
mungkin dibutuhkan oleh pasien syok. Ketamin bukan saja obat pilihan untuk indikasi
ini, namun juga bersifat inovasopresor yang memadamkan produksi interleukin-6.
Ketamin menginduksi pelepasan norepinefrin endogen. Pada kajian eksperimental,
ketamin meningkatkan survival dari syok septik karena bersifat antagonis terhadap
reseptor asam N-metil-d-aspartat. Ini menekan radang sistemik dan memulihkan
supresi miokard. Pada
53. 53. 49 pasien dewasa yang menjalani bedah pintas kardiopulmoner, infus ketamin
dengan laju 0,25 mg/kg/jam mengurangi peradangan sistemik dan memperbaiki
fungsi jantung 17 . Ketamin memungkinkan pembiusan yang aman pada syok septik
dewasa. Atropin harus diberikan bersama ketamin untuk mengurangi sekresi bronkus
(bronchorrhea). Penambahan benzodiazepin bisa diperlukan atau tidak untuk menjaga
pasien tidak terbangun selama pemberian sedasi. Hipothermia Hipothermia telah lama
digunakan pada bedah jantung anak dan neonatus. Rasionale nya adalah penurunan
suhu menghemat kebutuhan energi. Kadar ATP yang lebih sedikit dibutuhkan untuk
menyediakan tingkat suhu yang lebih rendah untuk fungsi sel vital. Dengan setiap
kenaikan satu derajat celsius di atas 37°C, metabolisme energi bertambah sebesar
kira-kira 10%. Dengan setiap penurunan suhu, hubungannya berbeda. Pada 35°C
sampai 36°C, kebutuhan energi sebenarnya meningkat karena terjadi menggigil. Suhu
ini dipenuhi dengan respon kardiovaskular, yang meliputi vasokonstriksi dan
peningkatan tekanan darah. Pada 34°C, kebutuhan energi menjadi normal, tetapi
aliran darah meningkat di dalam otak. Di bawah 33°C, kebutuhan energi berkurang;
tetapi, di bawah 30°C, aritmia ventrikel dan asistole menjadi faktor risiko. Selama
pintas kardiopulmoner,
54. 54. 50 hipothermia dalam, di bawah 18°C, diperlukan untuk mengurangi kebutuhan
ATP sampai ke tingkat yang memungkinkan pembedahan. Kadar hemoglobin dan
saturasi oksigen yang adekuat dibutuhkan untuk memelihara kadar oksigen lebih
tinggi. Di samping itu, pH normal yang dikoreksi suhu dibutuhkan untuk aliran darah
otak yang optimal. Glukosa juga harus dihantarkan untuk memenuhi kebutuhan
produksi ATP. Pada sebagian pasien dengan syok refrakter, hipothermia
ringan/moderat mungkin berguna sebagai jembatan untuk dukungan mekanis
ekstrakardiak. Jika pasien berada dalam syok refrakter, dan setiap keputusan dibuat
untuk melakukan dukungan ekstrakardiak, sebaiknya menghangatkan badan pasien di
atas 34°C sebelum memulai. Segera setelah pasien berada pada dukungan mekanis
ekstrakardiak, pasien boleh dihangatkan dengan pemahaman bahwa vasodilatasi akan
membutuhkan pengisian volume kepada pasien. Kesimpulan Syok pada anak harus
dikenali sejak mereka datang di ruang gawat darurat. Deteksi dini dan tatalaksana
seksama dari syok bisa memperbaiki prognosis pada pasien ini. Sasaran resusitasi
meliputi pemulihan dari
55. 55. 51 capillary refill yang memanjang (yakni capillary refill <2 detik) dan hipotensi
(tekanan darah normal sesuai usia) dan perbaikan indeks syok (yaitu, rasio HR/SBP
normal sesuai usia). Antisipasi dalam bentuk pelatihan staf harus meliputi
kemampuan deteksi dini, intervensi efektif dan mengurangi morbiditas serta
mortalitas. Manajemen dini dari dukungan hemodinamik pada syok. Table 1. 1 Kenali
syok saat triase a. Hanya Hipotensi dengan nadi kuat pada syok hangat b. Hanya
perfusi perifer yang berkurang (nadi perifer lebih lemah dari nadi sentral dan capillary
refill > 2 detik) pada syok dingin kompensata c. Kombinasi hipotensi dengan perfusi
perifer yang berkurang pada syok dingin dekompensata 2 Segera pindahkan pasien ke
ruang syok/trauma dan kumpulkan tim resusitasi 3 Pasang oksigen dan infus jaga,
gunakan 90 detik untuk coba cari vena 4 Jika belum berhasil setelah 2 kali usaha,
pikirkan akses intraosea 5 Palpasi untuk hepatomegali; auskultasi untuk deteksi
ronkhi 6 a. Jika tidak ada hepatomegali dan ronkhi, bolus 20 ml/kg ringer laktat/NS
atau albumin 5% sampai 60 ml/kg dalam 15 menit sampai perfusi membaik atau hati
turun atau terdengar ronkhi. Berikan 20 ml/kg pRBC jika syok hemoragik tidak
responsif[18] b. Jika hepatomegali, awas ada syok kardiogenik, dan berikan hanya 10
ml/kg bolus kristaloid isotonik.
56. 56. 52 Berikan PGE1 untuk menjaga duktus arteriosus tetap terbuka pada semua
neonatus. 7 Jika capillary refill > 2 detik dan/atau hipotensi menetap selama resusitasi
cairan, mulai berikan epinefrin IO/perifer 0,05 μg/kg/menit 8 Jika ada risiko
insufisiensi adrenal (misal paparan steroid sebelumnya, Waterhouse Friderichsen atau
anomali hipofisis) berikan hidrokortison sebagai bolus (50 ml/kg) dan kemudian drip
titrasi antara 2 dan 50 mg/kg/hari 9 Jika syok berlanjut, gunakan atropin (0,2 mg/kg)
plus ketamin (2 mg/kg) untuk sedasi pemasangan vena sentral. Jika butuh ventilasi
mekanis, gunakan atropin plus ketamin plus penyekat neuromuskular untuk induksi
intubasi 10 Arahkan sasaran terapi: a. capillary refill < 3 detik (misal < 2 detik) b.
Tekanan darah normal sesuai usia c. Indeks syok membaik. Keterangan: pRBC,
packed red blood cells; PGE1, prostaglandin E1; IO, intraosseous.
57. 57. Referensi 1. G.V. Parr, E.H. Blackstone and J.W. Kirklin, Cardiac performance
and mortality early after intracardiac surgery in infants and young children,
Circulation 51 (1975), pp. 867–874. View Record in Scopus | Cited By in Scopus (30)
53
58. 58. 54 2. A. Appelbaum, E.H. Blackstone and N.T. Kouchoukos et al., Afterload
reduction cardiac output in infants after intracardiac surgery, Am J Cardiology 39
(1977), pp. 445–451. Abstract | PDF (733 K) | View Record in Scopus | Cited By in
Scopus (8) 3. M.M. Pollack, A.I. Fields and U.E. Ruttimann, Distributions of
cardiopulmonary variables in pediatric survivors and nonsurvivors of septic shock,
Crit Care Med 13 (1985), pp. 454–459. View Record in Scopus | Cited By in Scopus
(30) 4. G. Ceneviva, J.A. Paschall and F. Maffei et al., Hemodynamic support in fluid
refractory pediatric septic shock, Pediatrics 102 (1998), p. e19. Full Text via CrossRef
| View Record in Scopus | Cited By in Scopus (87) 5. E. Rivers, B. Nguyen and
Havstad et al., Early goal directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic
shock, N Engl J Med 346 (2001), pp. 1368–1377. Full Text via CrossRef | View
Record in Scopus | Cited By in Scopus (2018) 6. Y.Y. Han, J.A. Carcillo and M.A.
Dragotta et al., Early reversal of pediatric-neonatal septic shock by community
physicians is associated with improved outcome, Pediatrics 112 (2003), pp. 793–799.
Full Text via CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in Scopus (86) 7. R.A.
Orr, B. Kuch and J. Carcillo et al., Shock is under- reported in children transported for
respiratory distress: a multi-center study, Crit Care Med 31 (2003), p. A18.
59. 59. 55 8. G. van den Berghe, P. Wouters and F. Weekers et al., Intensive insulin
therapy in the critically ill patients, N Engl J Med 345 (2001), pp. 1359–1367. Full
Text via CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in Scopus (3290) 9. J.C. Lin,
B. Karapinar and D.N. Finegold et al., Increased glucose/glucose infusion rate ratio
predicts anion gap acidosis in pediatric shock, Crit Care Med 32 (2004), p. A5. 10. S.
Finfer, R. Bellomo and SAFE Study Investigators, A comparison of albumin and
saline for fluid resuscitation in the intensive care unit, N Engl J Med 350 (2004), pp.
2247–2256. View Record in Scopus | Cited By in Scopus (463) 11. N.T. Ngo, X.T.
Cao and R. Kneen et al., Acute management of dengue shock syndrome: a
randomized double-blind comparison of 4 intravenous fluid regimens in the first hour,
Clin Infect Dis 32 (2001), pp. 204–212. 12. J.A. Carcillo, A.I. Davis and A. Zaritsky,
Role of early fluid resuscitation in pediatric septic shock, JAMA 255 (1991), pp.
1242–1245. View Record in Scopus | Cited By in Scopus (102) 13. R.M. Perkin, D.L.
Levin and R. Webb et al., Dobutamine: a hemodynamic evaluation in children with
shock, J Pediatr 100 (1982), pp. 977–983. View Record in Scopus | Cited By in
Scopus (16) 14. P.E. Bollaert, P. Bauer and G. Audibert et al., Effects of epinephrine
on hemodynamics and oxygen metabolism in dopamine-resistant septic shock, Chest
98 (1990),
60. 60. 56 pp. 949–953. Full Text via CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in
Scopus (63) 15. J.A. Carcillo and A.I. Fields, American College of Critical Care
Medicine Task Force Committee Members. Clinical practice parameters for
hemodynamic support of pediatric and neonatal patients in septic shock, Crit Care
Med 30 (2002), pp. 1365–1378. Full Text via CrossRef | View Record in Scopus |
Cited By in Scopus (208) 16. M. Bettendorf, K.G. Schmitt and J. Grulich Henn et al.,
Tri-iodothyronine treatment in children after cardiac surgery a double blind,
randomized placebo controlled study, Lancet 356 (2000), pp. 529–534. Article | PDF
(100 K) | View Record in Scopus | Cited By in Scopus (85) 17. L. Roytblat, D.
Talmor and M. Rachinsky et al., Ketamine attenuates the interleukin 6 response after
cardiopulmonary bypass, Anesth Analg 87 (1998), pp. 266–271. Full Text via
CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in Scopus (55) 18. N.J. Thomas and
J.A. Carcillo, Hypovolemic shock in the pediatric patient, New Horizons 6 (1998), pp.
120– 129. View Record in Scopus | Cited By in Scopus (11)
61. 61. 57 BAGIAN IV Resusitasi Volume: Kontroversi Kristaloid vs Koloid Pemilihan
koloid vs kristaloid untuk resusitasi volume telah lama menjadi bahan perdebatan di
kalangan praktisi rawat kritis, disebabkan kedua bentuk terapi memiliki data-data
pendukung. Pada tahun 1998, British Medical Journal mempublikasi suatu meta-
analisis pemakaian albumin pada pasien-pasien sakit kritis; 30 uji klinik acak dg
kontrol (RCT) yang melibatkan 1419 pasien dianalisis. Kesimpulannya adalah
sebenarnya albumin meningkatkan mortalitas (Timothy Evans,MD)1 . Tinjauan ini
berdampak terhadap praktik kedokteran, mempengaruhi klinisi mengurangi
penggunaan albumin, tetapi kemudian dikritik karena tinjauan-tinjauan berikutnya
tidak bisa menjelaskan kesimpulan para penulis2 . Belum lama berselang, kajian
SAFE (Saline versus Albumin Evaluation) telah membuka wacana baru tentang isu
ini3,4 Dengan tersedianya berbagai koloid dengan sifat fisikokimia yang berbeda,
kontroversi koloid vs koloid menjadi isu tambahan. Sifat-Sifat Anti-Radang dan
Antioksidan dari Albumin Tiol memiliki berbagai fungsi antioksidan yang penting,
dan pasien sepsis sering mengalami deplesi tiol. Pada kajian Quinlan dkk,5 albumin
ditunjukkan meningkatkan
62. 62. 58 kadar tiol plasma pada pasien sepsis. Albumin juga telah ditunjukkan
meningkatkan glutation pada sel epitel paru dan menghambat NF-kappaB. Pada
pasien hipo- proteinemia dengan acute lung injury (ALI) yang diberikan albumin,
kenaikan tiol plasma dan kapasitas antioksidan diperlihatkan baru-baru ini oleh
Quinlan dkk.6 . Pemberian albumin memperbaiki status antioksidan plasma yang
tergantung tiol, serta kadar kerusakan oksidasi protein. Jadi, tampaknya albumin
memiliki beberapa efek fisiologis, termasuk memperkuat potensial antioksidan dan
modulasi imbang redoks, sehingga mengurangi proses radang. Albumin dan Ruang
Intravaskuler Mungkin ada kaitan antara kadar albumin dan keparahan penyakit pada
pasien sakit kritis. Namun tidak ada korelasi jelas antara skor APACHE II dan kadar
albumin pada hari masuk ICU, sebagaimana diperhatikan oleh Neil Soni,MD7 .
Namun 72 jam setelah pasien masuk ICU, pasien yang bertahan hidup memiliki kadar
albumin lebih tinggi dibanding yang meninggal. Di samping itu, walaupun ada
korelasi antara COP (colloid osmotic pressure) dan protein total, tidak ada korelasi
antara albumin dan COP. Lebih dari itu, bila pasien sepsis diberi infus albumin,
diamati kenaikan COP yang tidak bertahan lama, dan jumlah albumin di
kompartemen intravaskuler cepat menurun. Di samping itu, suplementasi albumin
63. 63. 59 tidak memiliki efek bermakna dalam mengurangi permeabilitas mikrovaskuler
pada pasien sepsis dengan hipoalbuminemia berat.8 Permeabilitas paru telah
dipelajari pada pasien ALI dan ARDS (adult respiratory distress syndrome).
Ditunjukkan bahwa permeabilitas berkorelasi positif dengan keparahan penyakit dasar
dan berkorelasi negatif dengan survival (makin parah penyakit, makin tinggi
permeabilitas, dan makin tinggi permeabilitas, makin rendah survival) pada populasi
pasien ini. Ini bisa membantu menjelaskan apakah ARDS bersifat eksudatif atau
noneksudatif.9 Dengan kemampuan menentukan permeabilitas secara kuantitatif,
marker prognostik menjadi tersedia bagi klinisi. Albumin berfungsi sebagai plasma
expander hiperonkotik dan bila digabung dengan furosemid, bisa memperkuat
perpindahan cairan. Pada studi yang tidak dipublikasi terhadap 24 pasien sepsis, bolus
200 ml albumin 20% secara bermakna meningkatkan cardiac index dalam 1 menit.
Namun peningkatan ini tidak menetap, melainkan turun secara progresif dalam 30
menit berikutnya (Dr Soni).7 Efek-efek yang sama terlihat dengan perubahan tekanan
arteri pulmonalis dan pO2. Pada suatu telaah lain dari 37 pasien ALI, furosemid dan
albumin yang diberikan sekaligus, menghasilkan penurunan berat
64. 64. 60 badan dan meningkatkan rasio pO2/FIO2.10 Namun tidak diamati perbedaan
dalam mortalitas. Mengukur efek ekspansi volume: Hematokrit pembuluh darah besar
vs Hematokrit sistemik Markus Rehm, MD,11 membahas efek-efek 2 metode
pemberian koloid terhadap volume darah total: acute normovolemic hemodilution
(ANH) dan volume loading (VL). ANH memerlukan pengambilan darah dan diganti
sekaligus dengan sejumlah setara volume kristaloid atau koloid untuk
mempertahankan volume sirkulasi. Acute hypovolemic hemodilution atau VL adalah
pemberian infus kristaloid atau koloid tanpa pengambilan darah. Dalam praktek, efek
pemberian infus diukur secara tidak langsung dengan hematokrit pembuluh darah
besar. Namun, taksiran akurat dari volume darah harus memperhitungkan dua volume
lain (volume sel dan volume plasma). Oleh karena itu dengan menggunakan
pengukuran volume darah berlabel ganda untuk menaksir hematokrit sistemik, suatu
cara yang lebih akurat untuk menaksir volume darah, efek-efek koloid dan kristaloid
terhadap volume darah dinilai selama VL dan ANH oleh Rhem dkk.12 . Dua puluh
pasien yang menjalani histerektomi total diberikan koloid 20 ml/kg sebelum
pembedahan; kelompok 1 mendapat larutan albumin 5% (n=10) dan kelompok 2
mendapat larutan
65. 65. 61 hetastarch 6% (n=10). Volume plasma (teknik pengenceran indocyanine
green), volume eritrosit (eritrosit ditandai dengan fluorescein), hematokrit, protein
total, dan kadar hetastarch plasma (kelompok 2) diukur sebelum dan 30 menit setelah
akhir infusi. Secara keseluruhan, lebih dari 1350 koloid (kira-kira 50% dari volume
plasma semula) diinfus dalam 15 menit. Tigapuluh menit setelah infus selesai, volume
darah hanya bertambah sebesar 524 ml (38%) dari baseline pada kelompok 1 dan 603
ml (26%) pada kelompok 2. Hematokrit pembuluh darah besar (diukur dengan
sentrifuge) berkurang lebih dari pada hematokrit sistemik. Hasil-hasil ini berbeda
dengan kajian-kajian yang menilai ANH, di mana sebagian besar volume koloid
terlihat bertahan di ruang intravaskuler. Kemungkinan penyebab dari perbedaan hasil
ini adalah glikokaliks endotel (endothelial surface layer atau ESL), yang berisi elemen
non-seluler dari darah dan tanpa sel- sel darah merah. ESL merupakan struktur
dinamis yang menyelubungi sel endotel yang melapisi enzim-enzim dan reseptor di
permukaan endotel. ESL yang mengandung plasma dan protein non-sirkulasi
berfungsi sebagai zona eksklusif untuk eritrosit. Selama VL, ESL dapat berkurang,
sehingga memobilisasi plasma dan me- ningkatkan volume plasma intravaskuler. Ini
menyebabkan perbedaan antara hematokrit pembuluh
66. 66. 62 darah besar dan hematokrit sistemik. Di samping itu, volume efek rendah
selama VL dapat dijelaskan oleh aksi ANP (atrial natriuretic peptide), yang
menambah filtrasi cairan dan permeabilitas pembuluh darah terhadap makromolekul.
Sebagai kesimpulan, tampaknya ada 3 kompartemen volume darah: volume eritrosit,
volume plasma sirkulasi, dan volume plasma non-sirkulasi di dalam lapisan
permukaan endotel. Efek volume dari koloid bervariasi menurut metode pemberian
infus (misal ANH vs VL), namun albumin 5% dan HES 6% memiliki efek ekspansi
volume serupa. Penurunan hematokrit pembuluh darah besar tidak mencerminkan
penambahan volume darah intravaskuler total yang disebabkan pemberian infus
koloid. Pengukuran volume darah label ganda untuk pengukuran hematokrit sistemik
merupakan standar emas untuk menentukan efek berbagai produk untuk ekspansi
volume. Ekspansi Volume pada Pasien ALI (Acute Lung Injury) ALI merupakan
komplikasi lazim setelah kehilangan darah atau sepsis, sebagaimana dicatat oleh
Arthur Slutsky, MD.13 ALI berhubungan dengan peningkatan produksi sitokin
peradangan dan pelepasan radikal- bebas oksigen. Sepsis berat dan kehilangan darah
67. 67. 63 massif bisa menyebabkan hipotensi dan pasien membutuhkan intubasi
endotrakea, namun tidak jelas cairan apa yang optimal untuk resusitasi volume pada
pasien ALI. Kristaloid bocor ke ruang ekstravaskuler. Di samping mencegah
kebocoran ke rongga ketiga, albumin memiliki efek anti-radang dan anti-radikal
bebas. Pada kajian tikus oleh Zhang dkk, 14 Larutan Ringer laktat dibandingkan
dengan albumin 5% dan albumin 25%. Tikus diinduksi perdarahan atau
endotoksemia, kemudian diresusitasi dengan ketiga cairan. Setelah resusitasi kadar
sitokin darah (tumor necrosis factor [TNF]-alfa, interleukin [IL]-6 dan macrophage
inflammatory protein[MIP]-2 ) diukur. Kemudian paru dieksisi dan diventilasi selama
2 jam. Perbedaan mencolok diamati di antara 2 model. Resusitasi dengan albumin
setelah syok hemoragik menurunkan kadar sitokin pro-inflamatorik (TNF-alfa,IL-6
dan MIP-2 dan radikal-bebas oksigen) serta meningkatkan sitokin anti- inflamatorik
IL-10. Di paru, TNF-alfa dan MIP-2 juga berkurang dan IL-10 meningkat (dianggap
memiliki efek protektif). Edema paru setelah ventilasi mekanik juga berkurang.
Kendati demikian, resusitasi dengan albumin setelah syok endotoksik tidak
memberikan efek proteksi yang sama. Tidak ada perbedaan antara albumin 5% dan
25%. Manfaat albumin yang terlihat pada model syok hemoragik tidak terlihat pada
model syok endotoksik.
68. 68. 64 Tampaknya resusitasi dengan albumin memiliki peran penting mengurangi
ALI yang diinduksi oleh ventilator setelah syok hemoragik, namun tidak setelah syok
endotoksik. Pada suatu RCT prospektif,tersamar ganda dan terkontrol plasebo oleh
Martin dkk,10 efek-efek albumin dan furosemide dinilai pada 37 pasien ALI dg
ventilasi mekanik yang hipoproteinemik (kadar protein total serum < 5 g/dl). Pasien
diberikan 25 g albumin setiap 8 jam dengan furosemid kontinyu atau plasebo. Tidak
ada perbedaan mortalitas antara kedua kelompok, tetapi ada perbedaan bermakna
dalam parameter-parameter imbang cairan, oksigenasi dan hemodinamik pada
kelompok albumin/ furosemid. Data kolektif memberi kesan bahwa albumin mungkin
bermanfaat pada ALI yang diinduksi ventilator setelah model syok hemoragik dan
pada pasien ALI dg hipoproteinemia. RCT yang lebih besar dibutuhkan untuk
konfirmasi. SAFE Study Dalam suatu metaanalisis baru-baru ini, terlihat peningkatan
mortalitas 6% pada pasien yang diberi albumin.15 Temuan ini menimbulkan
perdebatan hebat yang akhirnya menuntun ke pembuatan desain dan
69. 69. 65 implementasi SAFE study, yang disajikan oleh Simon Finfer,MD.4 Uji acak
tersamar ganda ini merekrut 7000 pasien dari 16 ICU di Australia dan Selandia Baru
selama kurun waktu 18 bulan. Pasien diacak mendapat albumin 4% atau normal saline
sejak saat masuk ICU sampai meninggal atau pulang. Dalam 4 hari pertama, rasio
albumin: saline adalah 1:1,4 yang berarti bahwa volume (koloid vs kristaloid) tidak
berbeda bermakna. Tidak ada perbedaan antara kedua kelompok dalam mortalitas 28
hari oleh semua sebab. MAP, tekanan vena sentral, denyut jantung dan insiden gagal
organ baru juga serupa pada kedua kelompok. Pada analisis sub-kelompok diamati
perbedaan antara pasien trauma dan sepsis. RR (relative risk) kematian pada pasien
dengan sepsis berat yang menerima albumin vs saline adalah 0,87. RR kematian pada
pasien yang mendapat albumin tanpa sepsis berat adalah 1,05 (P=.059). Hasil ini
berlawanan pada pasien trauma. Angka kematian pada pasien trauma lebih tinggi bila
albumin vs saline digunakan untuk resusitasi volume (13,5% vs 10%, P =.055) Bila
pasien dengan Traumatic brain injury (TBI) dikaji secara terpisah, angka kematian
adalah 24,6% pada pasien yang mendapat albumin, dibandingkan 15% pada pasien
saline (RR 1,62, 95% confidence interval, -1,12 sampai 2,34, P=0,009). Lebih
70. 70. 66 dari itu, bila pasien TBI dikeluarkan, tidak ada perbedaan angka kematian pada
pasien-pasien trauma. Berdasarkan hasil-hasil ini, pemberian albumin tampaknya
aman selama 28 hari pada populasi pasien sakit kritis yang heterogen dan mungkin
bermanfaat pada pasien sepsis berat. Akan tetapi, keamanan pemberian albumin
belum jelas pada pasien trauma, termasuk traumatic brain injury(TBI). Walaupun
diamati perbedaan mortalitas pada trauma dan TBI pada analisis sub- kelompok, dan
dianggap memiliki validitas terbatas, ini merupakan signal kuat khususnya pada
pasien TBI. Suatu kajian baru SAFE Brains sudah dirancang untuk memeriksa
perbedaan-perbedaan ini. Ekspansi Volume pada Pasien Hipoalbuminemia Studi
SOAP (Sepsis Occurence in Acutely Ill Patients) mencatat variasi bermakna dalam
jumlah albumin yang diberikan pada beberapa ICU di Eropa, menurut Louis
Vincent,MD.16 Lebih dari itu, pasien-pasien yang mendapat albumin memiliki angka
kematian lebih tinggi, yang bisa dijelaskan oleh fakta bahwa penyakit mereka lebih
berat ketika memulai pengobatan. Alasan-alasan yang mungkin untuk keparahan
penyakit lebih besar meliputi kelebihan beban cairan, kontraktilitas miokard yang
71. 71. 67 berubah, perburukan edema, gangguan ekskresi natrium dan air, serta respon
imun yang berubah. Walaupun albumin mahal, manfaatnya harus diperiksa pada
pasien hipoalbuminemia. Biasanya diajarkan bahwa resusitasi dengan kristaloid
menyebabkan pembentukan edema pada pasien sepsis dan kemudian mengganggu
pertukaran gas, penyembuhan jaringan, fungsi usus dan penyembuhan kulit, serta
memacu pembentukan ulkus dekubitus. Koloid bisa mencapai tujuan resusitasi yang
sama seperti kristaloid dengan volume yang dibutuhkan lebih sedikit. Koloid sintetik
tidak semahal albumin manusia tetapi memiliki efek-efek yang lebih merugikan
seperti koagulopati dan gagal ginjal. Pasien sakit kritis lazim mengalami
hipoalbuminemia yang sekunder terhadap peradangan, disfungsi hati, malnutrisi,
kebocoran kapiler dan produksi reaktan fase akut. Hipoalbuminemia merupakan
masalah klinis yang penting karena terkait dengan anergi, diare, masa rawat ICU lebih
lama dan mortalitas lebih tinggi. Pada suatu meta-analisis dari 90 kajian cohort yang
melibatkan 291433 pasien, disimpulkan bahwa hipoalbuminemia diikuti dengan
prognosis jelek, sehingga albumin sebaiknya digunakan bila ada indikasi klinis.17
Pada meta-analisis yang sama, juga ditinjau 9 kajian prospektif dengan kontrol
terhadap 535 pasien. Pada kajian-kajian
72. 72. 68 ini hipoalbuminemia dikoreksi dan ada kesan bahwa angka komplikasi bisa
diturunkan bila kadar albumin serum dipertahankan di atas 30 g/L selama pemberian
albumin. Pada suatu kajian retrospektif terhadap 19.578 pasien CABG, sedikit
penurunan (bermakna statistik) dalam mortalitas didapatkan pada pasien yang
mendapat albumin vs koloid sintetik (2,5% vs 3%, P =0.02) sebagai plasma
expander.[18] Menurut penulis, keunggulan albumin ini disebabkan lebih sedikitnya
koagulopati dan perdarahan yang terkait. Pada pasien sirosis dan peritonitis bakterial
spontan, penambahan albumin ke regimen terapi mengurangi mortalitas.19 dan
albumin diperlihatkan memperkuat efek terlipressin pada pasien dengan sindrom
hepatorenal.20 Sebuah RCT kecil dan prospektif (albumin vs plasebo) yang
memeriksa efek albumin pada 100 pasien sakit kritis dengan hipoalbuminemia
memperlihatkan tidak ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Pasien yang
mendapat albumin memiliki kadar albumin serum lebih tinggi, skor SOFA
(Sequential Organ Failure Assessment) lebih rendah dan rasio pO2/FIO2 lebih tinggi.
Pasien yang diberi albumin juga membutuhkan lebih sedikit diuretik, peningkatan
berat badan lebih sedikit dan mereka lebih sanggup menyerap kalori (sehingga
73. 73. 69 menghindari imbang nitrogen negatif) dibandingkan kelompok plasebo.
Kesimpulan Albumin vs kristaloid Apakah kontroversi koloid vs kristaloid pada
pasien sakit kritis sudah berakhir? Sebelum menjawab pertanyaan ini, penting
diperhatikan bagaimana permasalahan berevolusi. Koloid menghasilkan efek
hemodinamik sama dengan volume infus lebih sedikit dan menyebabkan lebih sedikit
edema. Dan walaupun koloid lebih mahal, profil keamanannya tidak ditanyakan
dengan serius, sebelum meta-analisis Cochrane15 menimbulkan gejolak di kalangan
praktisi rawat kritis. Setelah memeriksa 30 RCT yang melibatkan 1419 pasien, RR
kematian dengan pemberian albumin dilaporkan setinggi 1,68 (1,26 sampai
2,23).[15]. Berdasarkan data-data ini, ada kesan bahwa untuk setiap 17 pasien sakit
kritis yang mendapat albumin, terjadi penambahan kematian 1 pasien. Ini merupakan
data yang mengkhawatirkan mengingat jumlah pasien sepsis yang perlu diterapi untuk
menyelamatkan jiwa dalam kisaran 5-30 %. Jadi 1 dari 17 pasien yang diterapi
albumin meninggal, ini bisa membatalkan manfaat- manfaat dari intervensi lain. Bisa
dibayangkan dampak dari pernyataan ini terhadap penggunaan albumin di ICU
seluruh dunia.
74. 74. 70 Wilkes dkk[2] mengikuti meta-analisis lainnya terhadap 55 uji klinis yang
melibatkan 3504 pasien. Mereka mengkritik analisis Cochrane15 sebagai desain salah
dan setelah menganalisis data mereka sendiri berkesimpulan secara umum tidak ada
efek albumin terhadap mortalitas. Temuan ini mendukung keamanan albumin.
Berkaitan dengan keraguan yang ditimbulkan oleh hasil- hasil yang berlawanan dari
kedua meta-analisis di atas, penyelesaian SAFE study ditunggu dengan harapan besar.
Dan sekarang kita tahu bahwa albumin memiliki keamanan sama dengan saline pada
pasien nontrauma. Namun ini bukan pembenaran atas pemakaian albumin secara
rutin. Debat kristaloid vs koloid merupakan peninggalan dari debat ARDS
sebelumnya. Pada kedua kasus, kajian-kajian dengan masalah metodologi
menghasilkan ketidakpastian di komunitas intensivist, yang ketika itu evidence-base
medicine belum ber- kembang. Walaupun ada subkelompok pasien yang mendapat
manfaat dari albumin (yaitu pasien dengan sirosis dan peritonitis bakterial spontan)
serta alasan-alasan mempertimbangkan albumin dalam terapi pasien ALI dengan
sepsis hipoalbuminemia, belakangan ini belum ada data yang meyakinkan untuk
penggunaan albumin
75. 75. secara rutin karena harganya lebih mahal dari kristaloid saline. Koloid Sintetik
Tabel . Karakteristik dari berbagai koloid diberikan di bawah 71
76. 76. 72 Efek berbagai koloid dan larutan hipertonik pada mikrosirkulasi21 Perubahan-
perubahan permeabilitas kapiler bisa mengubah volume plasma dan mempengaruhi
derajat edema. Kinetika kristaloid dan koloid yang dibahas sebelumnya mengacu pada
pembuluh darah yang utuh. Pada penyakit-penyakit dengan permeabilitas kapiler yang
meningkat, terapi cairan yang adekuat sangat penting untuk mencegah hipovolemia.
Mekanisme perbedaan-perbedaan dalam efektivitas berbagai plasma expander untuk
memulihkan volume plasma yang rendah dan gangguan mikrosirkulasi masih belum
dipahami dengan jelas. Hollbeck Staffan dari Lund University Hospital melakukan
eksperimen pada tahun 2001 yang menganalisis koloid dan plasma expander
hipertonik, mengenai efek-efek cairan-cairan tersebut terhadap pertukaran cairan
transvaskular dan permeabilitas otot rangka selama dan setelah pemberian infus. Di
samping itu, efek terhadap permeabilitas dianalisis pada otot rangka menyusul infus
endotoksin. Pengukuran koefisien filtrasi kapiler memperlihatkan bahwa
permeabilitas cairan dikurangi oleh albumin dan dextran, tidak berubah dengan HES
(hetastarch) dan bertambah dengan gelatin. Pengukuran terhadap koefisien refleksi
untuk albumin memperlihatkan dextran, gelatin dan HES tidak mempengaruhi
permeabilitas kapiler terhadap albumin. NaCl hipertonik meningkatkan permeabilitas
cairan,
77. 77. sedangkan manitol dan urea tidak. Volume otot berkurang 20% albumin; tidak
berubah dengan 6% dextran 70 dan 6% HES 200/0.5, serta meningkat dengan 3.5%
gelatin. Gelatin dan HES, (tetapi tidak dextran dan albumin) menginduksi rebound
filtration. Ini menunjukkan akumulasi molekul gelatin dan HES di interstisial. NaCl
hipertonik memiliki kapasitas osmotik lebih kuat dibandingkan manitol dan urea.
Manitol dan urea (tetapi tidak NaCl hipertonik) memperlihatkan rebound filtration
yang menunjukkan akumulasi manitol dan urea di dalam intraselular. Selama
endotoksemia, baik permeabilitas cairan dan albumin meningkat pada otot rangka,
dan hipovolemia terlihat mencolok. Tidak ada perbedaan terlihat antara albumin,
dextran, dan hydroxyethyl starch dalam efektivitasnya memulihkan perfusi usus
selama endotoksemia. 73
78. 78. 74 Pengaruh Berbagai Koloid Terhadap Fungsi Ginjal Semua koloid, termasuk
albumin manusia hiperonkotik (HA 20% atau 25%) dapat menginduksi gagal ginjal
akut (ARF)22 dengan cara meningkatkan tekanan osmotik koloid plasma. Kondisi ini
sudah diberi nama ”hyperoncotic ARF”. Pasien dehidrasi yang mendapat koloid
hiperonkotik dalam jumlah bermakna tanpa penambahan kristaloid sangat rentan
untuk mengalami hyperoncotic ARF. Suatu kajian pada pasien non-bedah dan non-
ICU, efek renal dari albumin 20% dibandingkan dengan dextran 70 dan poligeline
pada pasien sirosis yang menjalani parasentesis. Enam hari setelah parasentesis, kadar
kreatinin serum tidak berubah pada kelompok albumin dan sedikit meninggi pada
kelompok dextran (kenaikan rata-rata 0,06 mg/dl) dan kelompok gelatin (kenaikan
rata-rata 0,11 mg/dl), Namun perbedaan antara kelompok tidak bermakna statistik.
Beberapa kajian histologis telah memperlihatkan pembengkakan sel tubulus ginjal
setelah pemberian beberapa sediaan HES, yang kemungkinan disebabkan reabsorpsi
makromolekul. Pembengkakan sel tubulus menyebabkan obstruksi tubulus dan
iskemia medula. Pada pasien dengan kreatinin serum > 2-3 mg/dl HES harus
digunakan dengan hati-hati. HES generasi ketiga (BM 130 kd; DS 0,4) memiliki
profil berbeda dengan generasi-generasi
79. 79. 75 sebelumnya. Namun, walaupun ada publikasi bahwa HES 130 tidak
memperburuk fungsi ginjal, tidak ditemukan kajian prospektif besar dan terkontrol
pada pasien sakit kritis Catatan 1. RCT = randomized clinical trial 2. OR (Odds Ratio)
No of patients in the treatment group who experienced event/ No who did not No of
patients in the control group who experienced event/ No who did not 3. RR (Relative
Risk) No of patients in the treatment group who experienced event/ No of all patients
No of patients in the control group who experienced event/ No of all patients •A
relative risk of 1 means there is no difference in risk between the two groups. •A RR
of < 1 means the event is less likely to occur in the experimental group than in the
control group. •A RR of > 1 means the event is more likely to occur in the
experimental group than in the control group. 4. Terlipressin adalah analog
vasopressin yang digunakan sebagai obat vasoaktif dalam manajemen hipotensi.
Diketahui efektif bila norepinefrin tidak menolong Indikasi adalah syok septik yang
resisten terhadap noreepinferin dan sindrom hepatorenal. Di samping itu digunakan
juga pada perdarahan varises esofagus. Referensi 1. Evans T. Biochemical properties
of albumin. Program and abstracts of the 24th International Symposium on Intensive
Care and Emergency Medicine; March 30- April 2, 2004; Brussels, Belgium. 2.
Wilkes MM, Navickis RJ. Patient survival after human albumin administration. A
meta-analysis of randomized,
80. 80. 76 controlled trials. Ann Intern Med. 2001;135:149-164. Abstract 3. Finfer S.
Lessons from the SAFE Study. Program and abstracts of the 24th International
Symposium on Intensive Care and Emergency Medicine; March 30- April 2, 2004;
Brussels, Belgium. 4. Finfer S. Is albumin SAFE? Program and abstracts of the 24th
International Symposium on Intensive Care and Emergency Medicine; March 30-
April 2, 2004; Brussels, Belgium. 5. Quinlan GJ, Margarson MP, Mumby S, et al.
Administration of albumin to patients with sepsis syndrome: a possible beneficial role
in plasma thiol repletion. Clin Sci. 1998;95:459-465. Abstract 6. Quinlan GJ, Mumby
S, Martin GS, Bernard GR, Gutteridge JM, Evans TW. Albumin influences total
plasma antioxidant capacity favorably in patients with acute lung injury. Crit Care
Med. 2004;32:755-759. Abstract 7. Soni N. Albumin may help lung function.
Program and abstracts of the 24th International Symposium on Intensive Care and
Emergency Medicine; March 30- April 2, 2004; Brussels, Belgium. 8. Margarson MP,
Soni NC. Effects of albumin supplementation on microvascular permeability in septic
patients. J Appl Physiol. 2002;92:2139-2145. Abstract 9. Hoegerle S, Benzing A,
Nitzsche EU, et al. Radioisotope albumin flux measurement of microvascular lung
permeability: an independent
81. 81. 77 10. Martin GS. Fluid balance and colloid osmotic pressure in acute respiratory
failure: emerging clinical evidence. Crit Care. 2000;4(suppl 2):S21-25. Abstract 11.
Rehm M. Colloid administration during hemodilution. Program and abstracts of the
24th International Symposium on Intensive Care and Emergency Medicine; March
30-April 2, 2004; Brussels, Belgium. 12. Rehm M, Haller M, Orth V, et al. Changes
in blood volume and hematocrit during acute preoperative volume loading with 5%
albumin or 6% hetastarch solutions in patients before radical hysterectomy.
Anesthesiology. 2001;95:849-856. Abstract 13. Slutsky A. Albumin may protect the
lungs. Program and abstracts of the 24th International Symposium on Intensive Care
and Emergency Medicine; March 30- April 2, 2004; Brussels, Belgium. 14. Zhang H,
Voglis S, Kim CH, et al. Effects of albumin and Ringer's lactate on production of lung
cytokines and hydrogen peroxide after resuscitated hemorrhage and endotoxemia in
rats. Crit Care Med. 2003;31:1515-1522. Abstract 15. The SAFE Study Investigators.
A comparison of albumin and saline for fluid resuscitation in the intensive care unit.
N Engl J Med. 2004;350:2247- 2256. Abstract 16. Vincent J-L. Still a place for
albumin? Program and abstracts of the 24th International Symposium on
82. 82. 78 Intensive Care and Emergency Medicine; March 30- April 2, 2004; Brussels,
Belgium. 17. Vincent JL, Dubois MJ, Navickis RJ, et al. Hypoalbuminemia in acute
illness: is there a rationale for intervention? A meta-analysis of cohort studies and
controlled trials. Ann Surg. 2003;237:319-334. Abstract 18. Sedrakyan A, Gondek K,
Paltiel D, et al. Volume expansion with albumin decreases mortality after coronary
artery bypass graft surgery. Chest. 2003;123:1853-1857. Abstract 19. Sort P, Navasa
M, Arroyo V, et al. Effect of intravenous albumin on renal impairment and mortality
in patients with cirrhosis and spontaneous bacterial peritonitis. N Engl J Med.
1999;341:403-409. Abstract 20. Ortega R, Gines P, Uriz J, et al. Terlipressin therapy
with and without albumin for patients with hepatorenal syndrome: results of a
prospective, nonrandomized study. Hepatology. 2002;36:941-948. Abstract 21.
Holbeck S, Grände P-O: Effects on capillary fluid permeability and fluid exchange of
albumin, dextran, gelatin, and hydroxyethyl starch in cat skeletal muscle. Critical
Care Medicine 2000; 28: 1089-1095. 22. Boldt, J, Joachim H Priebe, Intravascular
Volume Replacement Therapy with Synthetic Colloids: Is There an Influence on
Renal Function? Anesth Analg 2003;96:376-382
83. 83. 79 BAGIAN V RANGKUMAN MANAJEMEN SYOK PADA ANAK Tabel V.1
Jenis-jenis syok pada pasien anak. CO = cardiac output, SVR= systemic vascular
resistance, JVD = jugular venous distention. Dari McKiernan CA, Lieberman SA.
Pediatr Rev. 2005;26(12):451-60. Jenis Syok Mekanisme gagal sirkulasi Tanda dan
gejala Intervensi Hipovolemik Deplesi volume absolut atau relatif, CO ↓, SVR ↑
Takikardia, nadi lemah, mata dan fontanela cekung, oliguria, capillary refill
memanjang Bolus kristaloid 20 ml/kg sampai hemodinamik membaik, nilai lagi
setelah setiap bolus, produk darah pada syok hemoragik Kardiogenik CO ↓, SVR ↑
Takikardia, nadi lemah, hepatomegali, JVD Obat inotropik dopamin, dobutamin,
epinefrin, milrinon Bolus kecil 5-10 ml/kg dapat diberikan dengan hati-hati sambil
memantau respon. Periksa ekokardiogram dini CO ↑, then ↓, SVR ↓↓ Angioedema,
distres pernapasan, stridor, wheezing, hipotensi dini Beri dukungan adrenergik sambil
berikan cairan, cepat pasang infus jaga, mungkin dibutuhkan dosis tinggi inotropik
Distributif Anafilaktik Neurogenik CO normal, SVR ↓ Hipotensi tanpa ada takikardia
Naikkan SVR dengan vasopresor, fenilefrin mungkin dibutuhkan, beri
84. 84. 80 cairan seperlunya Septik “Syok hangat” CO ↑, SVR↓, 0% kasus pediatrik)
Takikardia, nadi kuat, ekstremitas hangat dengan hipotensi,hiperpnea, perubahan
status mental Bolus kristaloid 20 ml/kg ulang sampai hemodinamik stabil, vasopresor
pilihan pertama (dopamin atau norepinefrin) “Syok dingin” CO ↓, SVR ↑(60% kasus
pediatrik) Takikardia,perfusi perifer buruk, nadi lemah, hiperpnea, perubahan status
mental Bolus kristaloid 20 ml/kg ulang sampai hemodinamik stabil, dukungan
inotropik dini dengan dopamin atau epinefrin mungkin dibutuhkan, ekokardiografi
mungkin membantu memandu terapi CO ↓, SVR ↓ Takikardia,perfusi perifer buruk,
nadi lemah, hiperpnea, perubahan status mental Bolus kristaloid 20 ml/kg ulang
sampai hemodinamik stabil, dukungan inotropik dini dengan dopamin atau epinefrin
mungkin dibutuhkan, ekokardiografi mungkin membantu memandu terapi Obstruktif
Preload ↓, CO ↓, SVR normal sampai ↑ Takikardia, hipotensi, JVD, deviasi trakea
jika pnemotoraks, penyamaan tekanan dengan CVP yang meninggi jika dipasang
pemantauan invasif Cepat fatal jika proses dasar tidak terdeteksi atau dipulihkan,
bolus cairan harus diberikan sementara mempersiapkan drainase darurat
85. 85. 81 Table V. 2 Tanda klinis syok hemoragik pada anak dengan berbagai derajat
kehilangan darah Tanda klinis% darah hilang HR TD Capillary refill Frekuensi napas
Jumlah urin Status mental < 15 Normal normal Atau sedikit naik Normal Atau
meningkat Normal Normal Normal Cemas 15-25 Sedikit naik Mungkin berkurang > 2
detik Takipnea ringan Normal sampai sedikit berkurang Cemas, Mungkin gaduh 25-
40 naik Turun > 2 detik Takipnea sedang sedikit (<0,5 ml/kg/jam) Cemas, bingung >
40 Naik Turun >2 detik Takipnea berat Absen Bingung, letargi, tidak responsif Table
V. 3. Obat-obat kardiovaskular Obat Reseptor Kerja Dosis Dopamin Dopamin, ß,α
Kronotropi, inotropi,vasokonstriksi 3-20 mcg/kg/menit Dobutamin ß Kronotropi,
inotropi, vasodilatasi 5-20 mcg/kg/menit Epinefrin ß,α Kronotropi,
inotropi,vasokonstriksi 0,05-0,2 mcg/kg/menit Norepinefrin α,ß Vasokonstriksi,
kronotropi, inotropi 0,01-2 mcg/kg/menit Milrinon PDE inhibitor Inotropi, lusitropi,
vasodilatasi 0,25-4 mcg/kg/menit Nitroprusid Donor NO, relaksasi otot polos
Vasodilatasi 0,5-10 mcg/kg/menit Vasopresin Reseptor V1 di pembuluh darah
vasokonstriksi 0,3-4 mU/kg/menit
86. 86. Gambar 1. Rekomendasi untuk manajemen syok septik pada bayi dan anak 82
87. 87. Gambar 2. Rekomendasi untuk manajemen syok septik pada neonatus PPHN
=persistent pulmonary hypertension ECMO = extracorporeal membrane oxygenation
83
88. 88. 84 Gambar 3. Tatalaksana syok pada anak dengan dehidrasi berat Usia Pertama
beri 30 ml/kg dalam : Selanjutnya beri 70 ml/kg dalam : Bayi (<1 tahun) 1 jam * 5
jam Anak (>1 tahun) ½ jam * 2 ½ jam Catatan: - Ringer laktat/ Ringer asetat
diberikan pada 1 jam tahap pertama, sedangkan pada tahap selanjutnya dapat
diberikan KAEN 3B atau Half strength Darrow (HSD) untuk mengatasi hipokalemia.
- KAEN 3B mengandung: Na+ 50,K+ 20,Cl- 50 dan Laktat 20 mEq/L, glukosa 27
g/L; HSD : Na+ 60,K+ 17,Cl- 52 dan Laktat 25 mEq/L, glukosa 25 g/L . - Setelah 6
jam (Bayi) atau 3 jam (anak), pasien dievaluasi dengan menggunakan tabel penilaian
dehidrasi dan tentukan rencana terapi selanjutnya sesuai status dehidrasi (A,B, C). -
*Ulangi 1 kali lagi bila pulsasi nadi masih sangat lemah atau tidak teraba

SHOCK PADA ANAK

Pengertian shock

Shock merupakan suatu syndrome klinis akibat tidak adekuatnya sirkulasi darah dan
atau hantaran oksigen untuk memenuhi kebutuhan metabolism jaringan.

Shock bukan merupakan diagnosis tekanan darah.

Perbedaan shock pada anak dan dewasa adalah shock pada dewasa tekanan darahnya
turun, sedangkan tekanan darah yang sudah turun pada anak berarti shock yang sudah
berlangsung lama.

Patofisiologis

Shock bisa terjadi bila suplai oksigen dan nutrient secara sistemik tidak adekuat dalam
memenuhi kebutuhan metabolic pada sistem organ.

Oxygen Delivery (DO₂) < Oxygen Comsumption VO₂

Bila tidak diatasi akan menyebabkan terjadinya asidosis metabolic, disfungsi organ dan
menyebabkan kematian.

Beberapa keadaan yang menyebabkan shock

11. Menurunnya kadar kapasitas darah mengangkut oksigen


22. Tidak cukupnya oksigen yang mengakibatkan hipoksemia berat

33. Kegagalan jantung dalam memompa dalam memompa darah menyebabkan


hipoperfusi atau iskemia berat.

Ada beberapa klasifikasi shock antara lain : s. hipovolemi, s. distributive, s.


kardiogenik, s.obstruktif, s. kompensata, s. dekompensata, dan s. irreversible

Yang paling sering dijumpai pada anak adalah shock hipovolemik, yang penyebabnya
adalah :

1 1. Kehilangan cairan : pada kasus DSS, sepsis

2 2. Perdarahan

3. Kegagalan pengisian volum

Penatalaksanaannya adalah penggantian cairan dan penghentian hilangnya cairan.

Mekanisme kompensasi :

1 1. Hipofungsi memicu system syaraf simpatis →kelenjar adrenal mengeluarkan


kathekolamin → HR DAN SVR ↑

2 2. System rennin – angiostensin – aldosteron teraktifasi – menahan cairan keluar

3 3. Pada anak : tahanan vaskuler dipertahankan dg. Aliran darah ↓→ TD tetap normal

4 4. Bila mekanisme kompensasi gagal→tekanan darah turun

Shock dekompensata

1 1. Mekanisme kompensata gagal →hipotensi

2 2. Hipoksia dan iskemi jaringan →metabolisme. Anaerob →lactat ↑→asidosis


metabolic.

3 3. Akumulasi metabolit vasoaktif lain ( adenosine, NO)

4 4. Aliran darah kapiler melambat, terbentuk mikrotrombusl.

5 5. Disfungsi mikrosirkkulasi, paralisis vasomotor→hipoprefusi, disfunfsi organ, gagal


multi organ.

6 6. Hipoperfusi organ merupakan tanda awal disfungsi organ yaitu : perubahan tingkat
kesadaran, takhpnepnea, takhikardia, letrgi, produk urin menurun atau nol,
ekstremitas mottled ( istilah lain blorok kulitnya)

7 7. Sekali tekanan darah turun →shock irreversible ( menetap) →mortalitas


meningkat
Diagnosis:

Tanda-tanda hipoperfusi jaringan :

1. Perubahan status mental, iriabel


2. Takhikardia
3. Takhipnea
4. Ekstremitas dingin, mottled
5. Pengisian kapiler lambat ( lbh 2 detik )
6. Tekanan nadi kecil sampai tidak teraba
7. Produk urin turun (<0,5ml/kg/jam)
Tekanan darah masih normal

c Tekanan darah yang menurun merupakan tanda stadium lanjut.

Resusitasi cairan penanganan awal pada semua jenis shock.

Keberhasilan terapi ditentukan bukan dari jenis cairan yang diberikan, tetapi periode
waktu resusitasi.

Komplikasi pada pemberian cairan kristaloid :

Resusitasi tidak adekuat akibatnya gagal ginjal

Resusitasi berlebih mengakibatkan edema paru dan edema perifer

Pemilihan cairan : Kristaloid untuk resusitasi inisial

PRC untuk mengganti perdarahan

Follow up respon therapy

1 HR : indicator sensitive teehadap CO adekuat

21. Modifikasi terapi berdasarkan tanda vital, pemeriksaan dan lab.

32. Tanda awal shock membaik : penurunan HR, diikuti TD↑, urine out Put ↑

43. Capillary refill normal ( < 2detik), pulsasi perifer normal, akral hangat,
OU>1ml/kg/jam, status mental normal. ( Materi pelatihan Picu di RS. Sardjito,
Yogyakarta, 2010 )

APA PERAN PERAWAT DALAM PENANGANAN SHOCK PADA ANAK?

Shock yang terjadi pada anak di ruang perawatan anak tak banyak variasinya, yang
paling sering adalah di karenakan demam berdarah.
Bagaimana cara supaya perawat tahu sejak awal akan terjadinya shock dan bila
mungkin shock tidak terjadi.

Observasi dan kepekaan seorang perawat wajib ditingkatkan, melalui tahap-tahap


berikut :

Pada febris hari ke 3 sd hari 6 shock pada DHF wajib di waspadai.

Hitung denyut nadi, bila nadi ↑ meskipun teraba kuat dan urine output ↓,
ekstremitas masih hangat, adalah tanda shock kompensata ( pre shock ), keadaan
ini pada anak TD tetap normal.

Tindakan perawat :

a. Lapor Dokter yang merawat.


b. Bila belum ketemu dgn dokter yang merawat, perawat lakukan resusitasi
cairan 20cc/kgbb secara cepat dengan cairan kristaloid (misal RL, Asering)
c. Cek nadi dan urine output, bila ada perbaikan hentikan resusitasi →lapor
dokter
d. Bila belum ada perbaikan berikan sekali lagi resusitasi seperti diatas
→lapor dokter.
Shock dekompensata ( shock ) semestinya bisa dihindari bila shock kompensata bisa
teratasi dengan baik. Jangan tunggu adanya hipotensi, akral dingin, mottled, nadi kecil
atau tidak teraba, produksi urine turun (<0,5ml/kg/jam) ini menandakan adanya shock
yang sudah berlangsung lama dengan penanganan yang kurang maksimal dan tepat.

Sebenarnya semua jenis shock dapat termonitor sama dgn shock pada DHF dan
perlakuan dalam resusitasi cairanpun juga sama.

Tanda dan Gejala Syok Pada Anak


Syok pada anak merupakan salah satu kedawat daruratan yang paling sering terjadi pada anak
yang mana memerlukan penanganan dan pengobatan secepatnya karena bila di biarkan akan
berakibat buruk pada si anak bahkan dapat meimbulkan kematian. Syik biasanya terjadi
karena berkurangnya cairan tubuh yang di akibatkan oleh berbagai macam penyebab dan
biasanya berlangsung sangat cepat.

Syok yang terjadi pada anak dapat di sebabkan oleh perdarahan, trauma, diare, demam, DBD,
dll. Dengan mengetahui berbagai penyebab syok yang terjadi pada anak ada baik nya anda
sebagai orang tua selalu waspada bila anak anda sedang sakit karena syok ini dapat terjadi
kapan pun dan di manapun.

Lalu seperti apakakah tanda dan gejala syok yang terjadi pada anak ?

Syok yang terjadi pada anak bisanya memiliki tanda-tanda seperti anak yang tiba-tiba terlihat
lemas dan kesadaran menurun kadang juga bias sampai pingsan, tangan terasa dingin, nafas
yang menjadi cepat, nadi tangan teraba lemah dan denyut jantung menjadi cepat.
Apakah syok yang terjadi pada anak berbahaya ?

Seperti yang di jelaskan sebelumnya syok pada anak adalah salah satu kedawat daruratan
yang terjadi pada anak. Bila tidak segera di tangani syok dapat menyebabkan berbagai
komplikasi seperti :

 Kerusakan otak
 Kelumpuhan
 Epilepsi
 Cacat permanen
 Bahkan yang paling buruk dapat menyebabkan kematian

Tindakan pertama untuk mengatasi syok

Banyak hal yang bisa anda lakukan untuk untuk mengatasi syok yang terjadi pada anak
seperti segeralah berikan minum pada anak anda hal ini dapat membantu memperbaiki
kekurangan cairan yang terjadi pada anak, selanjut nya jaga suhu tubuhnya tetap hangat
dengan cara memakaikanya selimut. Kemudian segeralah bawa anak anda kedokter atau
klinik terdekat anda.

Peran dokter atau tenaga medis sangat di perlukan dalam penanganan syok yang terjadi pada
anak. Selain memperbaiki keadaan umum penderita pengobatan bertujuan untuk
menghilangkan berbagai penyebab syok dan mencegah agar syok tidak terulang lagi.

Anak yang mengalami syok biasanya memerlukan rawat inap di rumah sakit dan untuk
mengatasi kekurangan cairan akan di lakukan pemasangan infus. Selajutnya dokter akan
menyarankan untuk di lakukan berbagai pemeriksaan seperti laboratrium, foto rontgen,
ataupun pemeriksaan lainya yang bertujuan untuk mengetahui penyebab syok dan
menentukan pengobatanya.
pemberian obat inhalasi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terapi inhalasi adalah cara pengobatan dengan cara memberi obat untuk dihirup agar
dapat langsung masuk menuju paru-paru sebagai organ sasaran obatnya. Terapi inhalasi
adalah terapi dengan memanfaatkan uap hasil dari kerja mesin Nebulizer. Uap air yang
berasal dari campuran obat dan pelarutnya dipercaya dapat langsung mencapai saluran
pernafasan, sehingga efektif untuk mengatasi masalah di daerah tersebut. Inhalasi sering
digunakan pada anak-anak dibawah usia 10 tahun. Batuk / pilek karena alergi dan asma
adalah gangguan saluran pernafasan yang paling umum terjadi.

B. Rumusan masalah
1. Apakah definisi dari pengobatan secara inhalasi ?
2. Apakah tujuan pengobatan secara inhalasi ?
3. Apakah keuntungan dan kerugian pengobatan secara inhalasi ?
4. Apa sajakah jenis-jenis inhalasi ?

C. Tujuan
1. Memahami pengertian dari pengobatan secara inhalasi
2. Memahami tujuan pengobatan secara inhalasi
3. Mengetahui keuntungan dan kerugian pengobatan secara inhalasi
4. Mengetahui jenis-jenis inhalasi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Inhalasi adalah alat pengobatan dengan cara memberi obat untuk dihirup agar dapat
langsung masuk menuju paru-paru sebagai organ sasaran obatnya. Alat ini biasanya
digunakan dalam proses perawatan penyakit saluran pernafasan yang akut maupun kronik,
misalnya pada penyakit asma. Inhalasi adalah pengobatan dengan cara memberikan obat
dalam bentuk uap kepada si sakit langsung melalui alat pernapasannya (hidung ke paru-paru).
Terapi inhalasi merupakan teknik pemberian obat yang praktis dan langsung ke target
organ. Terapi inhalasi menghantarkan obat dalam berbagai bentuk dan ukuran.Banyak alat
(devices) dikembangkan dalam terapi inhalasi.
Inhalasi memberikan pengiriman obat yang cepat melewati permukaan luas dari saluran
nafas dan epitel paru-paru, yang menghasilkan efek hampir sama cepatnya dengan efek yang
di hasilkan oleh pemberian obat secara intravena. Cara pemberian ini di gunakan untuk obat-
obat berupa gas (misalnya, beberapa obat anestetik) atau obat yang dapat di dispersi dalam
suatu eorosol. Rute tersebut terutama efektif dan menyenangkan untuk penderita- penderita
dengan keluhan-keluhan pernafasan (misalnya, Asma atau penyakit paru obstruktif kronis)
karena obat yang di berikan langsung ketempat kerjanya efek samping sistemik minimal.
Obat diberikan dengan inhalasi akan terdispersi melalui aerosol semprot, asap atau
bubuk sehingga dapat masuk ke saluran nafas. Jaringan alverokapiler menyerap obat dengan
cepat. Inhaler dosisi terukur (metered-dose inhaler/MDI) dan inhaler bubuk kering (Dry
Power Inhaler/DPIs) biasanya memiliki efek local seperti dilate bronkus. Namun, beberapa
obat dapat menyebabkan efek sistemik yang serius.
Yang menerima obat melalui inhalasi biasanya memiliki penyakit pernafasan kronis
seperti asma kronis, emfisema, atau bronchitis masing-masing masalah pernafasan
memerlukan obat inhalasi yang berbeda. Sebagai contoh, klien dengan asma biasanya
menerima obat antiimfamasi karena asma merupakan penyakit imflamasi sementara klien
dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) menerima brokoladilator karena biasanya
mereka memiliki masalah dengan bronkokostriks.Obat inhalasi juga sering disebut
obat”darurat” atau “perbaikan”.Obat darurat berupa obat dengan waktu kerja cepat yang
diberikan untuk mengatasi kesulitan pernafasan akut.Inheral “perbaikan” digunakan sehari-
hari untuk mencegah timbulnya serangan akut. Efek dari inhaler “ perbaikan” dimulai dalam
hitungan jam dan bertahan dalam waktu yang lebih lama jika dibanding dengan inhaler “
darurat “. Beberapa inhaler mengandung kombinasi dari obat “darurat”.Dan “perbaikan”
(capriotti, 2005). Karena lien bergantung pada obat inhalasi untuk mengontrol penyakitnya,
maka mereka perlu mengetahui mengenai obat tersebut dan bagaimana cara menggunakannya
dengan aman.

B. Tujuan pengobatan secara inhalasi

Karena terapi inhalasi obat dapat langsung pada sasaran dan absorpsinya terjadi secara
cepat dibanding cara sistemik, maka penggunaan terapi inhalasi sangat bermanfaat pada
keadaan serangan yang membutuhkan pengobatan segera dan untuk menghindari efek
samping sistemik yang ditimbulkannya.
Biasanya terapi inhalasi ditujukan untuk mengatasi bronkospasme, meng-encerkan
sputum, menurunkan hipereaktiviti bronkus, serta mengatasi infeksi.Terapi inhalasi ini baik
digunakan pada terapi jangka panjang untuk menghindari efek samping sistemik yang
ditimbulkan obat, terutama penggunaan kortikosteroid.
Pada asma, penggunaan obat secara inhalasi dapat mengurangi efek samping yang
sering terjadi pada pemberian parenteral atau per oral, karena dosis yang sangat kecil
dibandingkan jenis lainnya. Terapi ini biasanya digunakan dalam proses perawatan penyakit
saluran pernafasan yang akut maupun kronik, misalnya pada penyakit asma. Asma termasuk
penyakit yang sering terjadi pada anak-anak.Ashma adalah suatu gangguan pada saluran
bronchial yang mempunyai ciri bronchospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran
nafas).Selain asma ada batuk / pilek karena alergi adalah gangguan saluran pernafasan yang
paling umum terjadi. Banyak cara dicoba untuk mempercepat penyembuhan dan
pengurangan gejala akibat masalah ini termasuk secara inhalasi.

C. Keuntungan dan kerugian pengobatan secara inhalasi


1. Keuntungan
Dibandingkan dengan terapi oral (obat yang diminum), terapi ini lebih efektif, kerjanya
lebih cepat pada organ targetnya, serta membutuhkan dosis obat yang lebih kecil, sehingga
efek sampingnya ke organ lainpun lebih sedikit. Sebanyak 20-30% obat akan masuk di
saluran napas dan paru-paru, sedangkan 2-5% mungkin akan mengendap di mulut dan
tenggorokan. Bandingkan dengan obat oral. Ibaratnya obat tersebut akan "jalan-jalan" dulu ke
lambung, ginjal, atau jantung sebelum sampai ke sasarannya, yakni paru-paru. Pada anak-
anak, umumnya diberi tambahan masker agar obat tidak menyemprot kemana-mana. Dengan
cara ini, bayi/balita cukup bersikap pasif dan ini jelas menguntungkan. Artinya, si kecil cuma
perlu bernapas saja dan tak mesti begini atau begitu. Kalaupun ia menangis, tak perlu
khawatir juga karena efeknya malah semakin bagus mengingat obatnya kian terhirup.

2. Kerugiannya,
Jika penggunaan di bawah pemeriksaan dokter dan obat yang di pakai tidak cocok
dengan keadaan mulut dan sistem pernafasan , hal yang mungkin bisa terjadi adalah iritasi
pada mulut dan gangguan pernafasan. Jadi pengguna pengobatan inhalasi akan terus
berkonsultasi pada dokter tentang obat nya. Selain hal itu obat relatif lebih mahal dan bahkan
mahal dari pada obat oral.

D. Jenis-jenis inhalasi
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi (penumpukan) obat dalam
mulut (orofaring), sehingga mengurangi jumlah obat yang tertelan, dan mengurangi efek
sistemik.Deposisi (penyimpanan) dalam paru pun lebih baik, sehingga didapatkan efek
terapetik (pengobatan) yang baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (DPI = Dry
Powder Inhaler) seperti Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler, Twisthaler
memerlukan inspirasi (upaya menarik/menghirup napas) yang kuat. Umumnya bentuk ini
dianjurkan untuk anak usia sekolah.

1. Metered Dose Inhaler (MDI) tanpa Spacer

Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara alat dengan mulut, sehingga
kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang. Hal ini mengurangi pengendapan di
orofaring (saluran napas atas). Spacer ini berupa tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan
panjang sekitar 10-20 cm, atau bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml.
Penggunaan spacer ini sangat menguntungkan pada anak.
MDI (Metered-dose Inhaler)
Contoh Obat :

Cara Penggunaan :
1. Lepaskan penutup aerosol
2. Pegang tabung obat di antara ibu jari dan jari telunjuk kemudian kocok seperti gambar

3. Ekspirasi maksimal. Semakin banyak udara yang dihembuskan, semakin dalam obat dapat
dihirup.

4. Letakkan mouthpiece di antara kedua bibir, katupkan kedua bibir kuat-kuat


5. Lakukan inspirasi secara perlahan. Pada awal inspirasi, tekan MDI seperti pada gambar.
Lanjutkan inspirasi anda selambat dan sedalam mungkin.
6. Tahan nafas selama kurang lebih 10 detik agar obat dapat bekerja
7. Keluarkan nafas secara perlahan
8. Kumur setelah pemakaian (mengurangi ES stomatitis)

2. Dry Powder Inhaler (DPI)


Penggunaan obat dry powder (serbuk kering) pada DPI memerlukan hirupan yang
cukup kuat.Pada anak yang kecil, hal ini sulit dilakukan.Pada anak yang lebih besar,
penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi
dibandingkan MDI.Deposisi (penyimpanan) obat pada paru lebih tinggi dibandingkan MDI
dan lebih konstan.Sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun.

Cara Penggunaan Inhaler:

1. Sebelum menarik nafas, buanglah nafas seluruhnya, sebanyak mungkin

2. Ambillah inhaler, kemudian kocok

3. Peganglah inhaler, sedemikian hingga mulut inhaler terletak dibagian bawah

4. Tempatkanlah inhaler dengan jarak kurang lebih dua jari di depan mulut (jangan meletakkan
mulut kita terlalu dekat dengan bagian mulut inhaler)

5. Bukalah mulut dan tariklah nafas perlahan-lahan dan dalam, bersamaan dengan menekan
inhaler (waktu saat menarik nafas dan menekan inhaler adalah waktu yang penting bagi obat
untuk bekerja secara efektif)
6. Segera setelah obat masuk, tahan nafas selama 10 detik (jika tidak membawa jam, sebaiknya
hitung dalam hati dari satu hingga sepuluh)

7. Setelah itu, jika masih dibutuhkan dapat mengulangi menghirup lagi seperti cara diatas,
sesuai aturan pakai yang diresepkan oleh dokter

8. Setelah selesai, bilas atau kumur dengan air putih untuk mencegah efek samping yang
mungkin terjadi.Pengobatan asma harus dilakukan secara tepat dan benar untuk mengurangi
gejala yang timbul. Pengobatan asma memerlukan kerja sama antara pasien, keluarga, dan
dokternya. Oleh karena itu pasien asma dan keluarganya harus diberi informasi lengkap
tentang obat yang dikonsumsinya; kegunaan, dosis, aturan pakai, cara pakai dan efek
samping yang mungkin timbul. Pasien hendaknya juga menghindari faktor yang menjadi
penyebab timbulnya asma. Selain itu, pasien harus diingatkan untuk selalu membawa obat
asma kemanapun dia pergi, menyimpan obat-obatnya dengan baik, serta mengecek tanggal
kadaluarsa obat tersebut. Hal ini perlu diperhatikan agar semakin hari kualitas hidup pasien
semakin meningkat.

3. Nebulizer
Alat nebulizer dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus
menerus dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau gelombang ultrasonik
sehingga dalam prakteknya dikenal 2 jenis alat nebulizer yaitu ultrasonic nebulizer dan jet
nebulizer. Hasil pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung pada jenis nebulizer
yang digunakan.

Nebulizer yang dapat menghasilkan partikel aerosol terus menerus ada juga yang dapat
diatur sehingga aerosol hanya timbul pada saat penderita melakukan inhalasi sehingga obat
tidak banyak terbuang. Keuntungan terapi inhalasi menggunakan nebulizer adalah tidak atau
sedikit memerlukan koordinasi pasien, hanya memerlukan pernafasan tidal, beberapa jenis
obat dapat dicampur (misalnya salbutamol dan natrium kromoglikat).Kekurangannya adalah
karena alat cukup besar, memerlukan sumber tenaga listrik dan relatif mahal.
PROSEDUR PERAWATAN DENGAN NEBULIZER
1. Letakkan kompresor udara pada permukaan yang mendukung untuk beratnya. Lepaskan
selang dari kompresor .
2. sebelum melakukan perawatan ini, cuci tangan terlebih dahulu dengan subun kemudian
keringkan.
3. hati-hati dalam menghitung pengobatan secara tepat sesuai dengan perintah dan letakkan
dalam tutup nebulizer.
4. pasang/ gunakan tutup nebulizer dan masker atau sungkup.
5. Hubungkan pipa ke kompresor aerosol dan tutup nebulizer.
6. nyalakan kompresor untuk memastikan alat tersebut bekerja dengan baik.
7. duduk dalam posisi tegak baik dalam pangkuan atau kursi.
8. apabila menggunakan masker, letakkan dalam posisi yang tepat dan nyaman pada bagian
wajah.
9. apabila menggunakan (mouthpiece) letakkan secara tepat antara gigi dan lidah.
10. bernafaslah secara normal lewat mulut. Secara periodic ambil nafas dalam dan tahan selama
2 sampai 3 detik sebelum melepaskan nafas.
11. lanjutkan perawatan ini sampai obat habis ( antara 9 sampai 10 menit).
12. apabila pasien merasa pusing atau gelisah, hentikan perawatan dan istirahat selama kurang
lebih 5 menit..
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Inhalasi adalah pengobatan dengan cara memberikan obat dalam bentuk uap kepada si
sakit langsung melalui alat pernapasannya (hidung ke paru-paru).
Obat diberikan dengan inhalasi akan terdispersi melalui aerosol semprot, asap atau
bubuk sehingga dapat masuk ke saluran nafas.Terapi ini biasanya digunakan dalam proses
perawatan penyakit saluran pernafasan yang akut maupun kronik, misalnya pada penyakit
asma. Jenis-jenis inhalasi ada 3 yaitu: Metered Dose Inhaler (MDI) tanpa Spacer, Dry
Powder Inhaler (DPI),Nebulizer.
Terapi ini lebih efektif, kerjanya lebih cepat pada organ targetnya tetapi, hal yang
mungkin bisa terjadi adalah iritasi pada mulut dan gangguan pernafasan pada penggunaan
inhalasi.
B. Saran
Dengan penulisan makalah ini, penulis berharap agar dapat menambah ilmu
pengetahuan kepada pembaca. Oleh karena itu, harapan penulis kepada pembaca semua agar
memberikan kritik dan sarang yang bersifat membangun.

SPO Pemberian Obat Inhalasi dengan


Nebulizer
May 05, 2016

Pengertian
Pemberian inhalasi uap dengan obat/tanpa obat menggunakan nebulator

Tujuan
1. Mengencerkan sekret agar mudah dikeluarkan
2. Melonggarkan jalan nafas
Kebijakan
(Berdasarkan UU.... dan Peratuan.....

Prosedur
Persiapan Alat dan Bahan
1. Set nebulizer
2. Obat bronkodilator
3. Bengkok 1 buah
4. Tissue
5. Spuit 5 cc
6. Aquades

Pelaksanaan
A. Tahap PraInteraksi
1. Mengecek program terapi
2. Mencuci tangan
3. Menyiapkan alat

Tahap Orientasi
1. Memberikan salam dan sapa nama pasien
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan
3. Menanyakan persetujuan/kesiapan pasien

Tahap Kerja
1. Menjaga privacy pasien
2. Mengatur pasien dalam posisi duduk
3. Menempatkan meja/troly di depan pasien yang berisi set nebulizer
4. Mengisi nebulizer dengan aquades sesuai takaran
5. Memastikan alat dapat berfungsi dengan baik
6. Memasukkan obat sesuai dosis
7. Memasang masker pada pasien
8. Menghidupkan nebulizer dan meminta pasien nafas dalam sampai obat habis
9. Bersihkan mulut dan hidung dengan tissue

Tahap Terminasi
1. Melakukan evaluasi tindakan
2. Berpamitan dengan pasien/keluarga
3. Membereskan alat
4. Mencuci tangan
5. Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan
SOP Mengukur Suhu Tubuh Aksila
Ana Nurkhasanah SOP Keperawatan

Definisi

Suatu tindakan untuk mengukur suhu tubuh seseorang dengan menggunakan alat
termometer melalui aksila

Tujuan

Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk melakukan tindakan mengukur


suhu tubuh per aksila
Persiapan Alat

 Termometer bersih dalam tempatnya


 Tissue
 Bengkok
 Buku Catatan dan alat tulis

Persiapan Pasien

 Jelaskan prosedur yang akan dilakukan


 Atur posisi pasien dengan duduk atau berbaring

Persiapan Petugas

 Menggunakan APD yang terdiri dari :


 Sarung tangan k/p
Pelaksanaan Tindakan

 Perawat memperkenalkan diri kepada pasien dan keluarga serta menjelaskan


mengenai prosedur yang akan dilakukan
 Perawat meminta persetujuan tindakan secara lisan kepada
pasien/keluarganya
 Perawat menjaga privacy pasien dengan cara memasang tirai
 Perawat melakukan identifikasi pasien sesuai dengan prosedur
 Perawat melakukan kebersihan tangan sesuai dengan prosedur
 Perawat mengenakan APD sesuai dengan prosedur
 Perawat menurunkan air raksa thermometer dibawah 35 derajad dengan cara
diayunkan
 Perawat mengeringkan ketiak dengan tissue
 Perawat meletakkan thermometer di bagian tengan axilla dan silangkan
lengan pasien di dada
 Perawat mendiamkan thermometer selama 6-10 menit
 Perawat mengangkat termometer dan membersihkan dengan tissu dengan
gerakan rotasi mulai dari arah pangkal ke ujung.
 Perawat membaca thermometer dan sejajar dengan mata
 Perawat mencuci dan membilas thermometer di air yang mengalir dan
menggunakan sabun lalu dikembalikan ke tempat penyimpanan
 Perawat merapikan alat yang telah diberikan dan membuang sampah sesuai
dengan prosedur
 Perawat menjelaskan kepada pasien/keluarga bahwa tindakan selesai
dilakukan dan mohon undur diri
 Perawat melepas APD sesuai dengan prosedur
 Perawat melakukan kebersihan tangan sesuai prosedur
 Perawat mencatat di buku catatan vital sign pasien
 Perawat mendokumentasikan hasil suhu tubuh pasien pada lembar grafik
SOP / PROTAP PENGUKURAN SUHU

Pengukuran suhu
Pengertian :
Merupakan tatacara pemeriksaan suhu tubuh. Suhu tubuh merupakan indikator untuk menilai
keseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran panas. Rentang suhu tubuh dapat diukur
dengan menggunakan termometer air raksa melalui oral, rektal, maupun axila dan
menggunakan termometer digital.
Tujuan :
Pengukuran suhu tubuh dilakukan untuk mengetahui rentang suhu tubuh.
Kebijakan :

Alat dan bahan:

1. Termometer
2. Tiga buah botol

 Botol pertama berisi larutan sabun


 Botol kedua berisi larutan desinfektan
 Botol ketiga berisi larutan air bersih

1. Bengkok
2. Kertas/tissue
3. Vaselin/jelly
4. Buku catatan suhu
5. Sarung tangan

Prosedur :

1. Pemeriksaan Suhu Oral

1. Jelaskan prosedur pada klien.


2. Cuci tangan
3. Gunakan sarung tangan
4. Atur posisi pasien.
5. Tentukan letak bawah lidah.
6. Turunkan suhu termometer dibawah 34 o C – 35 o C.
7. Letakkan termometer di bawah lidah sejajar dengan gusi.
8. Anjurkan mulut dikatupkan selama 3 menit.
9. Angkat termaometer dan baca hasilnya.
10. Catat hasil.
11. Bersihkan termometer dengan kertas tisu.
12. Cuci dengan air sabun, desinfektan dan bilas dengan air bersih, dan
keringkan.
13. Cuci tangan setelah prosedur dilakukan.
1. Pemeriksaan Suhu rektal

1. Jelaskan prosedur pada klien.


2. Cuci tangan
3. Gunakan sarung tangan
4. Atur posisi pasien.
5. Tentukan termometer dan atur pada nilai nol lalu oleskan vaselin
jelly
6. Letakkan telapak tangan pada pada sisi glutea pasien dan masukkan
termometer ke dalam rektal jangan sampai berubah tempatnya dan
ukur suhu.
7. Setelah 3-5 menit angkat termaometer dan baca hasilnya.
8. Catat hasil.
9. Bersihkan termometer dengan kertas tisu.
10. Cuci dengan air sabun, desinfektan dan bilas dengan air bersih, dan
keringkan.
11. Cuci tangan setelah prosedur dilakukan.

1. Pemeriksaan suhu aksila

1. Jelaskan prosedur pada klien.


2. Cuci tangan
3. Gunakan sarung tangan
4. Atur posisi pasien.
5. Tentukan letak aksila dan bersihkan daerah aksila dengan
menggunakan tisu.
6. Letkkan termometer pada daerah aksila dan lengan pasien fleksi
diatas dada.
7. Setelah 3-10 menit angkat termaometer dan baca hasilnya.
8. Catat hasil.
9. Bersihkan termometer dengan kertas tisu.
10. Cuci dengan air sabun, desinfektan dan bilas dengan air bersih, dan
keringkan.
11. Cuci tangan setelah prosedur dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai