Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hingga saat ini, hipertensi dalam kehamilan masih merupakan masalah
kesehatan serius di bidang obstetri di seluruh dunia. World Health Organization
(WHO) memperkirakan di dunia setiap menit perempuan meninggal karena
komplikasi yang terkait dengan kehamilan dan persalinan. Dari jumlah kematian
maternal, prevalensi paling besar adalah pre-eklampsia dan eklampsia sebesar
12,9% dari keseluruhan kematian ibu. Insidensi pre eklamsia di Indonesia sekitar
3 – 10%, menyebabkan mortalitas maternal sebanyak 39.5% pada tahun 2001, dan
sebanyak 55.56% pada tahun 2002 (Roeshadi, 2004).
Hipertensi gestasional diartikan sebagai setiap onset baru hipertensi tanpa
komplikasi selama kehamilan bila tidak ada bukti jelas dari sindrom
preeklampsia. Sedangkan pre eklamsia sendiri merupakan hipertensi pada
kehamilan yang disertai dengan proteinuria (Cunningham, 2005).
Hipertensi dalam kehamilan terjadi pada wanita yang sebelumnya
memiliki penyakit hipertensi primer atau dapat juga pada wanita dengan
hipertensi sekunder kronik, dan pada wanita tanpa riwayat hipertensi dengan onset
terjadinya hipertensi yang baru muncul setelah setengah masa kehamilan.
Hipertensi pada kehamilan memiliki resiko baik terhadap ibu dan juga
janinnya. Pada ibu, hipertensi dapat menjadi pre eklamsia atau eklamsia yang
mengancam jiwa. Sedangkan pada bayi akan menyebabkan kematian perinatal,
5% bayi lahir dengan kelainan congenital. Biasanya pada kehamilan pertama, 8 –
10% bayi akan lahir premature (kurang dari 34 minggu) sebagai konsekuensi dari
pre eklamsia, tapi pada wanita dengan pre eklamsia berat, 50%nya mengalami
kelahiran preterm.
Meskipun telah dilakukan penelitian yang intensif selama beberapa
dekade, hipertensi yang dapat menyebabkan atau memperburuk kehamilan tetap
menjadi masalah yang belum terpecahkan. Secara umum, preeklamsi merupakan

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 1


suatu hipertensi yang disertai dengan proteinuria yang terjadi pada kehamilan.
Penyakit ini umumnya timbul setelah minggu ke-20 usia kehamilan dan paling
sering terjadi pada primigravida. Jika timbul pada multigravida biasanya ada
faktor predisposisi seperti kehamilan ganda, diabetes mellitus, obesitas, umur
lebih dari 35 tahun dan sebab lainnya (Cunningham, 2005).
Morbiditas janin dari seorang wanita penderita hipertensi dalam kehamilan
berhubungan secara langsung terhadap penurunan aliran darah efektif pada
sirkulasi uteroplasental, juga karena terjadi persalinan kurang bulan pada kasus-
kasus berat. Kematian janin diakibatkan hipoksia akut, karena sebab sekunder
terhadap solusio plasenta atau vasospasme dan diawali dengan pertumbuhan janin
terhambat (IUGR). Di negara berkembang, sekitar 25% mortalitas perinatal
diakibatkan kelainan hipertensi dalam kehamilan. Mortalitas maternal diakibatkan
adanya hipertensi berat, kejang grand mal, dan kerusakan end organ lainnya
(Brooks, 2005).

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 2


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi Dalam Kehamilan


2.1.1. Definisi Hipertensi Dalam Kehamilan
Terdapat beberapa perbedaan mengenai klasifikasi hipertensi pada
hipertensi secara umum dengan hipertensi dalam kehamilan. NHBPEP
(National High Blood Pressure Education Working Group Report on High
Blood Pressure in Pregnancy) memiliki klasifikasi tersendiri karena pada
kehamilan, terjadi beberapa perubahan hemodinamik yang mempengaruhi
tekanan darah.

Tabel(1) 2.1.1. Perbedaan Klasifikasi Kriteria Hipertensi Hamil dan Tidak


Hamil
Klasifikasi JNC 7 (Tidak Hamil) Klasifikasi NHBPEP (Hamil)
Normal: Normal/acceptable pada kehamilan
TDS ≤ 120 mmHg TDS ≤ 140 mmHg
TDD ≤ 80 mmHg TDD ≤ 90 mmHg
Pre Hipertensi:
TDS 120 - 139 mmHg
TDD 80 - 89 mmHg
Hipertensi Stage 1: Hipertensi Ringan:
TDS ≤ 120 mmHg TDS 140 -150 mmHg
TDD ≤ 80 mmHg TDD 90 - 109 mmHg
Hipertensi Stage 2 Hipertensi Berat
TDS 160 - 179 mmHg TDS ≥ 160 mmHg
TDD 100 - 110 mmHg TDD ≥ 110 mmHg
Hipertensi Stage 3
TDS 180 - 209 mmHg
TDD 110 - 119 mmHg

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 3


2.1.2. Etiologi Hipertensi Dalam Kehamilan
Penyebab pasti yang dapat menimbulkan eklampsia sampai saat ini belum
diketahui. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa plasentasi biasanya
dianggap sebagai penyebab utama gangguan hipertensif pada kehamilan karena
setelah kelahiran, penyakit ini berkurang. Studi awal oleh Roberts & Redman
(1993) mengindikasikan bahwa plasentasi abnormal bisa merupakan salah satu
peristiwa awal proses penyakit ini.

2.1.3. Faktor Risiko Hipertensi Dalam Kehamilan


Dari berbagai macam faktor risiko terjadinya hpertensi dalam kehamilan,
maka dapat dikelompokkan sebagai berikut ;
1. Primigravida
2. Hiperplasentosis, seperti molahidatidosa, kehamilan ganda, diabetes
mellitus, hidrop fetalis, bayi besar
3. Umur yang ekstrim
4. Riwayat keluargapernah preklampsia/eklampsia
5. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6. Obesitas

2.1.4. Patofisiologi Hipertensi Dalam Kehamilan


Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan
jelas.Banyak teori yang dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, tetapi tidak ada satupun teori yang dianggap mutlak benar. Teori-teori
yang sekarang banyak dianut adalah sebagai berikut :
1. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta (Invasi Trofoblas Abnormal)
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari
cabang-cabang arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah
tersebut menembus miometrium berupa arteri akuarta dan arteri akuarta
memberi cabang arteri radialis. Arteri radialis menembus endometrium
menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang menjadi cabang arteri
spinalis.

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 4


Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas
kedalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan
otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblast juga
memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi
gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan
dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi dampak
penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan
aliran darah pada daerah uteroplasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup
banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin
pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan “remodelling arteri
spiralis”.
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblast pada
lapiasan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapaisan otot
arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak
memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis
relatif mengalami vasokontriksi dan terjadi kegagalan “remodelling arteri
spiralis”. Sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia
dan iskemia plasenta. Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan
perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan patogenesis hipertensi dalam
kehamilan selanjutnya.
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron.
Sedangkan pada preeklampsia rata-rata 200 mikron, pada hamil normal
vasodilatasi lumen ateri spiralis , dapat meningkat 10 kali aliran darah ke
utero plasenta.kembali.
2. Teori Iskemia Placenta, Radikal Bebas Dan Disfungsi Endotel
 Iskemia placenta dan pembentukan oksidan/ radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam
kehamilan terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis” dengan akibat
plasenta mengalami iskemia.
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan
oksidan (disebut juga radikal bebas).

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 5


Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima electron atau
atom/ molekul yang mempunyai electron yang tidak berpasangan.
Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah
radikal hidroksil yang sangat toksis, khusunsya terhadap membrane sel
endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan pada manusia
adalah suatu proses normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk
perlindungan tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin
dahulu dianggap sebagai bahan toksin yang beredar dalam darah, maka
dulu hipertensi dalam kehamilan disebut “toxaemia”.
Radikal hidroksil akan merusak membrane sel, yang mengandung
banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak
selain akan merusak membrane sel, juga akan merusak nucleus, dan
protein sel endotel.
Produksi oksidan (radikal bebas) dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu
diimbangi dengan produksi antioksidan.
 Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan
Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan
khusunya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misal
vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi
dominasi kadar oksiodan peroksida lemak yang relative tinggi.
Peroksida lemak sebagai oksidan/ radikal bebas yang sangat toksis
ini akan beredar diseluruh dalam aliran darah dan akan merusak
membrane sel endotel.
Membran sel endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh
peroksida lemak, karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran
darah dan mengandung abnyak asam lemak tidak jenuh, asam lemak tidah
jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah
menjadi perosida lemak.

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 6


 Disfungsi sel endotel
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi
kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membrane sel
endotel. Kerusakan membrane sel endotel mengakibatkan terganggunya
fungsi sel endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan
ini disebut “disfungsi sel endotel”.
Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan
disfungsi sel endotel, maka akan terjadi :
- Gangguan metabolism prostaglandin, karena salah satu fungsi sel
endotel adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya
produksi prostasiklin (PGE2) yang merupakan suatu vasodilator
kuat.
- Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup
tempat-tempat di lapisan sel endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi trombosit memproduksi tromboxan (TXA2) yang
merupakan vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal
perbandingan kadar protasiklin/ tromboksan lebih tinggi kadar
prostasiklin (lebih tinggi vasodilator).
- Perubahan khas sel endotel kapilar glomerulus.
- Peningkatan permeabilitas kapiler
- Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin,
kadar NO (vasodilator) menurun, sedangkan endotelin
(vasokonstriktor) meningkat,
- Peningkatan faktor koagulasi
3. Teori inteloransi imunologik antara ibu dan janin
Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya
hipertensi dalam kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut :
 Primigravida mempunyai resiko lebih besar terjadinya hipertensi
dalam kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 7


 Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih
besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan
dengan suami yang sebelumnya.
 Seks oral mempunyai resiko lebih rendah terjadinya hipertensi
dalam kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai saat
kehamilan ialah makin lama periode ini, makin kecil terjadinya
hipertensi dalam kehamilan.
Pada perempuan hamil normal,respons imun tidak menolak adanya
“hasil konsepsi” yang bersifat antigen asing. Hal ini disebabkan adanya
Human Leukocyte Antigen Protein G (HLA-G), yang berperan penting
dalam modulasi respons imun, sehingga si ibu tidak menolak hasil
konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi
trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu.
Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas
kedalam jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan prakondisi untuk
terjadinya invasi trofoblas kedalam jaringan desidua ibu, disamping untuk
menghadapi sel Natural Killer. Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan,
terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di desidua
daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas kedalam desidua. Invasi
trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjafi lunak, dan gembur
sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga
merangsang prodoksi sitokin, sehingga memudahkan terjadinya reaksi
inflamasi. Kemungkinan terjadi Immune-Maladaption pada preeklampsia.
Pada awal trisemeter kedua kehamilan perempuan yang
mempunyai kecendrungan terjadi preeklampsia, ternyata mempunyai
proporsi helper sel yang lebih rendah dibandingkan pada normotensif.
4. Teori adaptasi kardiovaskular
pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan
vasopresor. Refraktor, berarti pembuluh darah tidak peka terhadap
rangsangan bahan vasopresor, atau dibutuhkan kadarvasopresor yang lebih
tinggi untuk menimbulkan respons vasokontriksi.

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 8


Pada kehamilan normal terjadinya refraktor pembuluh darah
terhadap bahan vasopressor adalah akibat dilindungi oleh adanya sintesis
prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa
daya refrakter terhadap bahan vasopresor akan hilang bila diberi
prostaglandin sintesa inhibitor (bahan yang menghambat produksi
prostaglandin). Prostaglandin ini kemudian hari ternyata adalah
prostasiklin.
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refraktor
terhadap bahan vasokontriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan
terhadap bahan-bahan vasopresor artinya daya refraktor pembuluh darah
terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi
sangat peka terhadap bahan vasopresor. Banyak peneliti telah
membuktikan bahwa peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan
vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjadi trimester I
(pertama). Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan menjadi
hipertensi dalam kehamilan dua puluh minggu. Fakta ini dapat ditemukan
predileksi akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
5. Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal.
Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan
secara familial jika dibandingkan dengan genotype janin. Telah terbukti
bahwa pada ibu yang mengalami preeklamsia pula, sedangkan hanya 8%
anak menantu mengalami preeklamsia
6. Teori Defisiensi Gizi
Beberapa hasil penilitian menunjukkan bahwa kekurangan
defisiensi gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Penelitian yang penting yang pernah dilakukan di inggris ialah
defisiensi tentang pengaruh diet pada preeklamsia beberapa waktu
sebelum pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit mendapat gizi
yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan kenaikan insiden
hipertensi dalam kehamilan.

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 9


Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan,
termasuk minyak hati halibut, dapat mengurangi risiko preeklamsia.
Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat
menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivitas trombosit, dan
mencegah vasokontriksi pembuluh darah. Beberapa peneliti telah mencoba
melakukan uji klinik untuk memakai konsumsi minyak ikan atau bahan
yang mengandung asam lemak tak jenuh dalam mencegah preeklamsia.
Hasil sementara menunjukkan bahwa penelitian ini berhasil baik dan
mungkin dapat dipakai sebagai alternatif pemberian aspirin.
Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium pada
diet perempuan hamil mengakibatkan resiko terjadinya preeklmasia atau
eklamsia. Penelitian di Negara Equador Andes dengan metode uji klinik,
ganda tersamar, dengan membandingkan pemberian kalsium placebo.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi suplemen
kalsium cukup, kasus yang mengalami preeklamsia adalah 14 % sedang
yang diberi glukosa 17 %.
7. Teori Stimulus Inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di
dalam sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses
inflamasi.
Pada kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris trofoblas,
sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi
stress oksidatif.
Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang
timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris
trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih
dalam batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklamsia,
dimana pada preeklmasia terjadi peningkatan stress oksidatif, sehingga
produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin
banyak sel trofoblas plasenta, misalmnya pada plasenta besar, pada hamil
ganda, maka reaksi stress oksidatif akan sangat meningkat, sehingga

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 10


jumlah sisa debris trofoblas juga meningka. Keadaan ini menimbulkan
beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar
disbanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal. respon inflamasi ini
akan mengaktivasi sel endotel dan sel-sel makrofag atau granulosit, yang
lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang
menimbulkan gejala-gejala preeklamsia pada ibu.
Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preeklamsia
akibat produksi trofoblas plasenta berlebihan tersebut diatas,
mengakibatkan “ aktivitas leukosit yang sangat tinggi “ pada sirkulasi ibu.
Peristiwa ini oleh Redman disebut sebagai “ kekacauan adaptasi dari
proses inflamasi intravascular pada kehamilan “ yang biasanya
berlangsung normal dan menyeluruh.

2.1.5. Klasifikasi Hipertensi Dalam Kehamilan


1. Hipertensi Gestasional
Didapatkan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg untuk pertama kalinya pada
kehamilan, tidak disertai dengan proteinuria dan tekanan darah kembali
normal < 12 minggu pasca persalinan.
Hipertensi gestasional terjadi sekitar 6% dari total kehamilan dan
separuhnya berkembang menjadi preeklamsia dengan ditemukannya
proteinuri. Diagnosis pasti sering dibuat di belakang, Jika tes laboratorium
tetap normal dan tekanan darah menurun pasca melahirkan, maka
diagnosisnya adalah hipertensi gestational (sebelumnya disebut transcient
hypertension).
Wanita dengan hipertensi gestational harus dianggap beresiko
terjadinya preeklamsia, yang dapat berkembangkan setiap saat, termasuk
minggu pertama pasca melahirkan. Sekitar 15% hingga 45% perempuan
awalnya didiagnosis dengan hipertensi gestational akan mengembangkan
preeklamsia, dan kemungkinan lebih besar pada pasien yang memiliki
riwayat preeklamsia sebelumnya, miscarriage, dan riwayat hipertensi
kehamilan sebelumnya (Davis et.al, 2007).

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 11


2. Preeklamsi
Preeclampsia adalah sindrom yang memiliki manifestasi klinis seperti
new-onset hypertension pada saat kehamilan (setelah usia kehamilan 20
minggu, tetapi biasanya mendekati hari perkiraan lahir), berhubungan
dengan proteinuria: 1+ dipstick atau 300 mg dalam 24 jam urin tampung.
Sindrom ini terjadi pada 5 - 8 % dari seluruh kehamilan. Pengobatan
antihipertensi pada pasien ini bukan ditujukkan untuk menyembuhkan atau
memulihkan preeklamsia. Preeklamsia dapat berkembangkan secara tiba-
tiba pada wanita muda, pada wanita yang sebelumnya normotensive,
sehingga perlu pencegahan gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular
sebagai konsekuensi dari berat dan cepat peningkatan tekanan darah, hal ini
adalah tujuan utama manajemen klinis yang membutuhkan kebijaksanaan
penggunaan obat antihipertensi (Levine et.al, 2004).
3. Eklamsia
Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang tidak dapat
dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsi. Konvulsi terjadi secara
general dan dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah melahirkan. Pada
studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsi, terutama nulipara, serangan
tidak muncul hingga 48 jam setelah postpartum. Setelah perawatan prenatal
bertambah baik, banyak kasus antepartum dan intrapartum sekarang dapat
dicegah, dan studi yang lebih baru melaporkan bahwa seperempat serangan
eklampsia terjadi di luar 48 jam postpartum (Cunningham, 2005).
4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsi
Timbulnya proteinuria ≥ 300 mg/ 24 jam pada wanita hamil yang sudah
mengalami hipertensi sebelumnya. Proteinuria hanya timbul setelah
kehamilan 20 minggu.
5. Hipertensi kronik (preexisting hypertention)
Ditemukannya tekanan darah ≥ 140/ 90 mmHg, sebelum kehamilan
atau sebelum kehamilan 20 minggu dan tidak menghilang setelah 12
minggu pasca persalinan. Wanita usia subur dengan hipertensi esensial stage
I yang tidak memiliki kerusakan organ target dan dalam kondisi kesehatan

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 12


yang baik memiliki prognosis yang baik dalam kehamilan. Walaupun
terdapat peningkatan resiko terjadi superimposed preeclampsia, akan tetapi
secara fisiologi akan terjadi penurunan tekanan darah selama kehamilan dan
penurunan kebutuhan terhadap agen antihipertensi. Capaian tatalaksananya
adalah mempertahankan tekanan darah pada level yang memiliki resiko
gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular pada ibu yang minimal
(Abalos et.al, 2007).
Kadang-kadang, wanita dengan hypertensi kehamilan akan tetap
hipertensi setelah melahirkan. Pada pasien ini kemungkinan besar memiliki
hipertensi kronis yang sudah ada sebelumnya, yang tertutup/tak tampak di
awal kehamilan oleh karena respon fisiologis dari kehamilan yakni
vasodilasi. Kejadian hipertensi pada periode pasca melahirkan dan waktu
maksimum untuk normalisasi tekanan darah belum diketahui. Pada
umumnya, hipertensi > 140/90 mm Hg menetap lebih dari 3 bulan pasca
melahirkan didignosis sebagai hipertensi kronis.

2.1.6. Diagnosis Hipertensi Dalam Kehamilan


Selain pemantauan tekanan darah, diperlukan pemeriksaan laboratorium
guna memantau perubahan dalam hematologi, ginjal, dan hati yang dapat
mempengaruhi prognosis pasien dan janinnya. Pemeriksaan laboratorium yang
dianjurkan untuk memantau pasien hipertensi dalam kehamilan adalah
hemoglobin dan hematokrit untuk memantau hemokonsentrasi yang mendukung
diagnosis hipertensi gestasional. Pemeriksaan enzim AST, ALT, dan LDH untuk
mengetahui keterlibatan hati. Urinalisis untuk mengetahui adanya proteinuria atau
jumlah ekskresi protein urin 24 jam. Kreatinin serum diperiksa untuk mengetahui
fungsi ginjal, yang umumnya pada kehamilan kreatinin serum menurun. Asam
urat perlu diperiksa karena kenaikan asam urat biasanya dipakai sebagai tanda
beratnya pre eklampsia. Pemeriksaan EKG diperlukan pada hipertensi kronik.
Seperti juga pada kehamilan tanpa hipertensi, perlu pula dilakukan pemeriksaan
gula darah dan kultur urin (Suhardjono, 2007).

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 13


Diagnosis hipertensi dalam kehamilan berarti adalah ditemukannya
peningkatan tekanan darah pada pemeriksaan vital sign. Standar pengukuran
tekanan darah adalah sebagai berikut. Tekanan darah sebaiknya diukur pada posisi
duduk dengan posisi cuff setinggi jantung. Adanya penekanan vena kava inferior
oleh uterus gravid pada posisi berbaring dapat mengganggu pengukuran, sehingga
terjadi pengukuran yang lebih rendah. Sebelum pengukuran, wanita hamil
dianjurkan untuk duduk tenang 5-10 menit (Gipson dan Carson, 2009).
Hipertensi didiagnosa apabila tekanan darah pada waktu beristirahat
140/90 mmHg atau lebih besar, fase ke V Korotkoff digunakan untuk menentukan
tekanan darah diastolik. Dahulu telah dianjurkan agar peningkatan tambahan
tekanan diastolik 15 mmHg atau sistolik 30 mmHg digunakan sebagai kriteria
diagnostik, bahkan apabila tekanan darah saat diukur di bawah 140/90 mmHg.
Kriteria tersebut sekarang ini tidak lagi dianjurkan karena bukti menunjukkan
bahwa wanita tersebut tidak memiliki kecenderungan untuk mengalami efek
samping merugikan saat kehamilan. Sebagai tambahan, tekanan darah biasanya
menurun pada trimester ke-II kehamilan dan tekanan diastolik pada primigravida
dengan kehamilan normotensi kadang-kadang naik sebesar 15 mmHg. Oedem
telah ditinggalkan sebagai kriteria diagnostik karena hal tersebut juga banyak
terjadi pada wanita hamil yang normotensi. Oedem dianggap patologis bila
menyeluruh dan meliputi tangan, muka, dan tungkai. Sebagai catatan, oedem tidak
selalu terdapat pada pasien preeklamsi maupun eklamsi (Brooks, 2005).
Kriteria diagnosis hipertensi dalam kehamilan rekomendasi dari The
Associety of Obstetrician and Gynaecologists of Canada (JOGC Vol 30 number 3,
March 2008) adalah:
1. Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan di rumah sakit atau tempat
pelayanan kesehatan primer.
2. Hipertensi dalam kehamilan didefinisikan sebagai tekanan diastolic >90
mmHg, didapatkan pada minimal 2 kali pemeriksaan pada lengan yang
sama.
3.Wanita dengan sistolik >140mmHg harus dipantau untuk mengawasi
adanya perkembangan kea rah hipertensi diastolic.

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 14


4. Hipertensi berat, didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥160
mmHg atau tekanan darah diastolic ≥110mHg.
5. Untuk hipertensi tidak berat, pemeriksaan tekanan darah serial harus
dicatat sebelum menegakkan diagnosis hipertensi.
6. Pada hipertensi berat, konfirmasi pemeriksaan ulang dilakukan setelah
15 menit.

1. Hipertensi Gestasional
Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu :
 TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.
 Tidak ada proteinuria.
 TD kembali normal < 12 minggu postpartum.
 Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.
 Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri
epigastrium atau trombositopenia (Cunningham, 2005).
2. Pre Eklamsia dan Eklamsia
Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :
Kriteria minimal, yaitu :
 TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.
 Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.
Kemungkinan terjadinya preeklamsi :
 TD 160/110 mmHg.
 Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.
 Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah
meningkat.
 Trombosit <100.000/mm3.
 Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).
 Peningkatan ALT atau AST.
 Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.
 Nyeri epigastrium persisten. (Cunningham, 2005)

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 15


Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas
abnormalitas yang dapat dilihat pada Tabel 2.2. Semakin banyak ditemukan
penyimpangan tersebut, semakin besar kemungkinan harus dilakukan
terminasi kehamilan. Perbedaan antara preeklamsi ringan dan berat sulit
dibedakan karena preeklamsi yang tampak ringan dapat berkembang dengan
cepat menjadi berat.
Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis
preeklampsia, tetapi tekanan darah bukan merupakan penentu absolut
tingkat keparahan hipertensi dalam kehamilan. Contohnya, pada wanita
dewasa muda mungkin terdapat proteinuria +3 dan kejang dengan tekanan
darah 135/85 mmHg, sedangkan kebanyakan wanita dengan tekanan darah
mencapai 180/120 mmHg tidak mengalami kejang. Peningkatan tekanan
darah yang cepat dan diikuti dengan kejang biasanya didahului nyeri kepala
berat yang persisten atau gangguan visual.
Pada preeklamsia dapat terjadi komplikasi akibat tekanan darah
yang tinggi sehingga terjadi kejang. Kejang terjadi tanpa adanya riwayat
epilepsy dan bukan merupakan proses intracranial. Keadaan ini dikenal
sebagai keadaan eklamsia.

Tabel(2) 2.1.6. Gejala berat hipertensi dalam kehamilan (Cunningham,


2005)
Abnormalitas < 100 mmHg ≥ 110 mmHg
Tekanan darah Trace - 1+ Persisten ≥ 2+
diastolik
Proteinuria Tidak ada Ada
Sakit kepala Tidak ada Ada
Nyeri perut Tidak ada Ada
bagian atas
Oliguria Tidak ada Ada
Kejang (eklamsi) Tidak ada Ada

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 16


Serum Kreatinin Normal Meningkat
Trombositopeni Tidak ada Ada
Peningkatan Minimal Nyata
enzim hati
Hambatan Tidak ada Nyata
pertumbuhan
janin
Oedem paru Tidak ada Ada

3. Superimposed Preeclampsia
Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :
 Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang belum
ada sebelum kehamilan 20 minggu.
 Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah
trombosit <100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi atau
proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu (Brooks, 2005).
4. Hipertensi Kronis
Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila :
 Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) terbukti mendahului kehamilan.
 Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) diketahui sebelum 20 minggu, kecuali bila
ada penyakit trofoblastik.
 Hipertensi berlangsung lama setelah kelahiran.
Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita
hamil tidak mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada
beberapa kasus, hipertensi kronis didiagnosis sebelum kehamilan usia 20
minggu, tetapi pada beberapa wanita hamil, tekanan darah yang meningkat
sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin merupakan tanda awal
terjadinya preeklamsi.
Sebagian dari banyak penyebab hipertensi yang mendasari dan
dialami selama kehamilan dicatat pada Tabel 2.2. Hipertensi esensial
merupakan penyebab dari penyakit vaskular pada > 90% wanita hamil.

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 17


Selain itu, obesitas dan diabetes adalah sebab umum lainnya. Pada beberapa
wanita, hipertensi berkembang sebagai konsekuensi dari penyakit parenkim
ginjal yang mendasari.Seperti:

1. Obesitas
2. Hipertensi esensial
3. Kelainan arterial : Hipertensi renovaskular
Koartasi aorta
4. Gangguan-gangguan endokrin : Diabetes mellitus
Sindrom cushing
Aldosteronism primer
Pheochromocytoma
Thyrotoxicosis
5. Glomerulonephritis (akut dan kronis)
6. Hipertensi renoprival : Glomerulonephritis kronis
Ketidakcukupan ginjal kronis
Diabetic nephropathy
7. Penyakit jaringan konektif : Lupus erythematosus
Systemic sclerosis
Periarteritis nodosa
8. Penyakit ginjal polikistik
9. Gagal ginjal

Pada beberapa wanita dengan hipertensi kronis, tekanan darah dapat


meningkat sampai tingkat abnormal, khususnya setelah 24 minggu. Jika
disertai oleh proteinuria, maka preeklamsi yang mendasarinya dapat
didiagnosis.
Preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis ini sering berkembang
lebih awal pada kehamilan daripada preeklamsi murni, dan hal ini
cenderung akan menjadi lebih berat dan sering menyebabkan hambatan
dalam pertumbuhan janin.

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 18


Indikator tentang beratnya hipertensi sudah diperlihatkan pada Tabel
2.1 dan digunakan juga untuk menggolongkan preeklamsi yang mendasari
hipertensi kronis tersebut (Cunningham, 2005).

2.1.7. Penatalaksanaan Hipertensi Dalam Kehamilan


Setiap wanita harus dievaluasi sebelum konsepsi untuk menentukan
kondisi tekanan darahnya. Jika terdapat hipertensi, dapat ditentukan beratnya,
sebab sekunder yang mungkin, kerusakan target organ, dan rencana strategis
penatalaksanaannya. Kebanyakan wanita penderita hipertensi yang merencanakan
kehamilan harus menjalani skrining adanya faeokromositoma karena angka
morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi apabila keadaan ini tidak terdiagnosa
pada ante partum.
Pada umumnya, frekuensi kunjungan antenatal menjadi sering pada akhir
trimester untuk menemukan awal preeklamsi. Wanita hamil dengan tekanan darah
yang tinggi (140/90 mmHg) akan dievaluasi di rumah sakit sekitar 2-3 hari untuk
menentukan beratnya hipertensi. Wanita hamil dengan hipertensi yang berat akan
dievaluasi secara ketat bahkan dapat dilakukan terminasi kehamilan. Wanita hamil
dengan penyakit yang ringan dapat menjalani rawat jalan.
Pada wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan, penting
diketahui mengenai penggantian medikasi anti hipertensi yang telah diketahui
aman digunakan selama kehamilan, seperti metildopa atau beta bloker.
Penghambat ACE dan ARB jangan dilanjutkan sebelum terjadinya konsepsi atau
segera setelah kehamilan terjadi.
Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan pada wanita dengan hipertensi
berat, terutama apabila terdapat hipertensi yang persisten atau bertambah berat
atau munculnya proteinuria. Evaluasi secara sistematis meliputi :
 Pemeriksaan detil diikuti pemeriksaan harian terhadap gejala klinis seperti
sakit kepala, pandangan kabur, nyeri epigastrium, dan penambahan berat
badan secara cepat.
 Penimbangan berat badan saat masuk rumah sakit dan setiap hari
setelahnya.

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 19


 Analisis proteinuria saat masuk rumah sakit dan setiap 2 hari.
 Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk setiap 4 jam kecuali saat
pertengahan tengah malam dengan pagi hari.
 Pengukuran serum kreatinin, hematokrit, trombosit, dan serum enzim hati,
frekuensi pemeriksaan tergantung beratnya penyakit.
 Evaluasi berkala tentang ukuran janin dan cairan amnion secara klinis dan
dengan menggunakan ultrasonografi (Brooks, 2004).

Selain itu, pasien juga dianjurkan mengurangi aktivitas sehari-harinya


yang berlebihan. Tirah baring total tidak diperlukan, begitu pula dengan
pemberian sedatif. Diet harus mengandung protein dan kalori dalam jumlah yang
cukup. Pembatasan garam tidak diperlukan asal tidak berlebihan (Cunningham,
2005).

1. Pengobatan Hipertensi Kronis


Wanita dengan hipertensi tingkat I memiliki risiko rendah untuk komplikasi
kardiovaskular selama kehamilan dan hanya menjalani terapi perubahan gaya
hidup karena tidak ada bukti bahwa terapi farmakologis meningkatkan prognosis
neonatal. Lebih lanjut lagi, tekanan darah biasanya menurun pada awal kehamilan,
disamping itu hipertensi mudah di kontrol dengan atau tanpa medikasi. Modifikasi
gaya hidup, latihan aerobik ringan harus dibatasi berdasarkan teori yang
menyatakan bahwa aliran darah plasenta yang inadekuat dapat meningkatkan
risiko preeklampsia. Walaupun data pada wanita hamil bervariasi, banyak ahli
yang merekomendasikan restriksi intake garam sebesar 2,4 gram. Penggunaan
alkohol dan rokok harus dihentikan (Gibson dan Carson, 2007).
Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi sebelum kehamilan
sehingga obat-obat yang memiliki efek berbahaya terhadap janin dapat diganti
dengan obat lain seperti metildopa dan labetalol. Metil dopa merupakan obat anti
hipertensi yang umum digunakan dan tetap menjadi obat pilihan karena tingkat
keamanan dan efektivitasnya yang baik. Banyak wanita yang diterapi dengan
diuretika, akan tetapi apakah terapi diuretik dilanjutkan selama kehamilan masih

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 20


menjadi bahan perdebatan. Terapi diuretik berguna pada wanita dengan hipertensi
sensitif garam atau disfungsi diastolik ventrikel. Akan tetapi diuretik harus
dihentikan apabila terjadi preeklamsi atau tanda-tanda pertumbuhan janin
terhambat.
Keputusan untuk memulai terapi anti hipertensi pada hipertensi kronis
tergantung dari beratnya hipertensi, ada tidaknya penyakit kardiovaskular yang
mendasari, dan potensi kerusakan target organ. Obat lini pertama yang biasanya
dipergunakan adalah metil dopa. Bila terdapat kontra indikasi (menginduksi
kerusakan hepar) maka obat lain seperti nifedipin atau labetalol dapat digunakan
(Cunningham, 2005).

Tabel(3) 2.1.7. Pilihan obat pada hipertensi gestasional dan hipertensi kronis
dalam kehamilan

Obat (resiko FDA) Dosis Keterangan


Agen yang umum 0.5- 3.0 gram/hari Pilihan obat berdasar NHBEP,
diberikan: tercatat aman pada trimester awal
Methyldopa
Lini kedua
Labetalol 200-1200 mg/hari Dapat dikaitkan dengan fetal
growth restriction
Nifedipin 30-120 mg/hari Dapat menghambat persalinan
dengan preparat dan memiliki efek sinergis dengan
lepas lambat MgSO4 untuk menurunkan
tekanan darah
Hydralazin 20-300 mg/hari Dapat digunakan bersama agen
dibagi dalam 2-4 simpatolitik, dapat menyebabkan
dosis pemberian trombositopenia neonates
Β-Blocker Tergantung pada Menurunkan tekanan darah
agen yang dipilih uretroplasenta, menyebabkan
stress hipoksia janin, resiko
growth restriction pada trimester

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 21


I-II (atenolol), dosis terlalu tinggi
menyebabkan hipoglikemi
neonates
Hidrochlortiazid 12.5 – 25 mg/hari Menyebabkan gangguan
elektrolit, dapat digunakan
sebagai kombinasi dengan
metildopa dan vasodilator untuk
mengurangi retensi cairan.
Kontraindikasi ACE- Menyebabkan fetal death,
inhibitor dan ARB gangguan jantung, fetophaty,
tipe I oligohidramnion, growth
restriction, renal agenesis dan
neonatal anuric renal failure

Tidak ada agen antihipertensi yang aman digunakan pada trimester


pertama. Terapi dengan obat diindikasikan pada hipertensi kronis tanpa
komplikasi dan saat tekanan diastolic ≥100mmHg. Tatalaksana dengan
dosis yang lebih rendah diberikan pada pasien dengan diabetes mellitus,
gagal ginjal, atau kerusakan organ target.

2. Pilihan obat anti hipertensi pada Preeklampsia dan Eklamsia


Prinsip pengobatan antihipertensi pada pasien dengan preeklamsia dan
eklamsia adalah untuk mencegah hipertensi meningkat secara progresif,
mempertahankan tekanan darah pada level yang memiliki resiko terendah
terhadap gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular pada ibu (Abalos et.al,
2007).
Pada keadaan hipertensi yang berat dalam kehamilan, didefinisikan sebagai
tekanan darah > 160/110mmHg, keadaan ini membutuhkan pengobatan karena
pada keadaan ini terjadi peningkatan resiko terjadinya perdarahaan cerebral, terapi
pada keadaan ini untuk mencegah kematian ibu. Target pengobatan terhadap
kedaruratan hipertensi berat dalam kehamilan adalah penurunan tekanan diastolic
menjadi 90-100mmHg.

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 22


Tabel(4) 2.1.7. Pilihan obat dalam control kedaruratan pada Hipertensi
Berat dalam kehamilan
Obat (resiko FDA) Dosis dan pemberian Keterangan
Labetalol 10-20 mg IV, dilanjutkan Insidensi hipotensi maternal
20-80 mg setiap 20-30 lebih rendah dan efek
menit. Maksimal 300mg, samping, penggunaan
dengan infuse kecepatan 1- labetalol saat ini
2mg/menit menggantikan hydralazin,
tidak diperbolehkan pada
wanita dengan asma dan
CHF.
Hydralazin 5 mg, IV atau IM, Merupakan pilihan obat dari
dilanjutkan 5-10 mb tiap NHBEP, telah lama
20-40 menit. Evaluasi diketahui keamanan dan
tekanan darah setiap 3 jam. efikasinya
Kecepatan infuse 0.5-
10mg/jam, bila tidak
berhasil diturunkan dengan
20 mg IV atau 30mg IM,
diganti obat lain
Nifedipin Hanya direkomendasi Lebih disarankan preparat
dengan tablet, diberikan 10- yang long acting, akan
30mg per oral, diulang tetapi pada bidang obstetric
setiap 45 menit bila perlu lebih banyak disukai
preparat short acting
Diazoxide 30-50mg IV setiap 5-15 Jarang digunakan,
menit menyebabkan berhentinya
persalinan, hiperglikemia
Kontraindikasi Drip 0.25-5 ug/kgBB/menit Dapat menyebabkan
relatif nitroprusid keracunan sianoda bila
digunakan >4 jam

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 23


Pada keadaan hipertensi ensefalopati, perdarahan, atau eklamsia
membutuhkan terapi antihipertensi parenteral untuk menurunkan mean arterial
pressure. Wanita dengan preeklamsia,perlu pertimbangan dalam memberikan
terapi hipertensi berat yang akut. Diberikan dosis yang lebih rendah karena pada
pasien ini terjadi deplesi volume intravascular dan meningkatnya resiko terjadi
hipotensi.

3. Pengelolaan hipertensi pasca melahirkan


Pada masa post partum, wanita hamil yang sebelumnya normotensive
mengalami peningkatan tekanan darah, maksimum pada hari kelima post partum,
dan pada 1 penelitian 12% pasien mencapai tekanan diastolik yang melebihi 100
mmHg. Hal ini diduga konsekuensi dari ekspansi volume fisiologis dan
pergerakan cairan pada periode post partum.
Periode pemulihan tekanan darah secara alamiah dalam hipertensi
gestational dan preeklamsia tidak diketahui. Tidak ada literature yang pasti
mengenai obat antihipertensi pada periode post partum. Tan dan de Swiet (2002)
menyarankan bahwa obat-obatan antihipertensi diberikan jika tekanan darah
sistolik melebihi 150 mmHg atau tekanan darah diastolic melebihi 100 mmHg
dalam 4 hari pertama periode post partum. Pilihan agen antihipertensi pada
periode post partum dipengaruhi juga dengan keadaan menyusui, tetapi pada
umumnya agen yang digunakan dalam periode antepartum dilanjutkan hingga
post partum (tabel 2.3). Medikasi dihentikan ketika tekanan darah berangsur
normal. Hal ini dapat terjadi dalam hari bahkan hingga beberapa minggu pasca
melahirkan (Beardmore dan Morris, 2002).
Dalam suatu kasus wanita dengan preeklamsia berat, tampak beberapa
manfaat pemberian diuresik furosemide pada periode pasca melahirkan,
khususnya untuk pasien dengan hipertensi disertai gejala edema paru dan edema
perifer.

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 24


4. Penggunaan antihipertensi masa menyusui
Belum ada penelitian yang dirancang dengan baik untuk menilai efek
neonatal dari obat antihipertensi yang dikonsumsi ibu dan kemudian dikeluarkan
melalui ASI.
Pengaruh obat yang ditelan oleh bayi menyusu tergantung pada volume
yang ditelan, interval antara minum obat dan menyusui, oral bioavailability, dan
kapasitas bayi untuk mengekskresi obat. Neonatus yang terpapar methyldopa saat
menyusu masih dalam batas aman dan biasanya kemungkinannya kecil (tabel 2.5).
Atenolol dan metoprolol yang terkonsentrasi di ASI, dapat mencapai
konsentrasi yang memiliki efek terhadap bayi. Sebaliknya, paparan labetalol dan
propranolol konsentrasinya rendah.
Meskipun konsentrasi diuretik dalam susu rendah dan dianggap aman,
agen ini dapat secara signifikan mengurangi produksi susu. Terdapat laporan
bahwa Calsium channel blocker dapat masuk ke dalam air susu ibu, akan tetapi
tanpa efek samping.
Terdapat cukup data yang memaparkan keamanan 2 obat dari golongan
ACEinhibitor, yakni captopril dan enalapril; konsentrasi captopril adalah 1% dari
yang ditemukan dalam darah, dengan konsentrasi yang diterima bayi 0.03% dari
dosis reguler (Shannon et.al, 2000). Kadar enalapril tidak signifikan berada di
ASI, Berdasarkan penelitian ini, American Academy of Pediatrics menganggap
obat ini dapat diterima pada masa menyusui.
Saat ini tidak cukup data pada penelitian terhadap angiotensin II receptor
blocker; variasi kadar obat dalam ASI hewan coba sangat tinggi dan sebagai
rekomendasi keamanan, obat jenis ini tidak diberikan (Tiina dan Phyllis, 2008).

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 25


Tabel(5) 2.1.7. Pengobatan antihipertensi ibu yang dapat digunakan
saat masa menyusui
Captopril Minoxidil
Diltiazem Nadolol
Enalapril Nifedipine
Hydralazine Oxprenolol
Hydrochlorothiazide Propranolol
Labetalol Spironolactone
Methyldopa Timolol
Verapamil
Diuretik (furosemid, hidrochlortiazid, dan spironolacton) dapat
menurunkan produksi ASI. Metroprolol dapat digunakan pada masa
menyusui meskipun terkonsentrasi dalamASI. Acebutolol dan atenolol
tidak boleh digunakan.

A. Pilihan Obat Anti hipertensi Dalam Kehamilan


Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan adalah
menurunkan risiko maternal, tetapi pemilihan obat anti hipertensi lebih
memperhatikan keselamatan janin. Terapi lini I yang banyak disukai adalah metil
dopa, berdasarkan laporan tentang stabilnya aliran darah uteroplasental dan
hemodinamika janin dan ketiadaan efek samping yang buruk pada pertumbuhan
anak yang terpapar metil dopa saat dalam kandungan (Abalos, 2007).
Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal. Seleksi
obat anti hipertensi dan rute pemberian tergantung pada antisipasi waktu
persalinan. Jika persalinan terjadi lebih dari 48 jam kemudian, metil dopa oral
lebih disukai karena keamanannya. Alternatif lain seperti labetalol oral dan beta
bloker serta antagonis kalsium juga dapat dipergunakan.
Jika persalinan sudah akan terjadi, pemberian antihipertensi parenteral lebih
praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum induksi persalinan pada
tekanan darah diastol 105-110 mmHg atau lebih dengan tujuan menurunkannya

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 26


sampai 95-105 mmHg (Cunningham, 2005).Jenis-jenis obat yang dipergunakan
dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan :
1. Metildopa
Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya
obat anti hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk
janin dan ibu. Obat ini menurunkan resistensi total perifer tanpa
menyebabkan perubahan pada laju jantung dan cardiac output. Obat ini
menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi reseptor sentral α-2
lewat α-metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil dopa.
Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat α-2 perifer lewat
efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan sendiri, sering
terjadi retensi cairan dan efek anti hipertensi yang berkurang. Oleh
karena itu, metil dopa biasanya dikombinasikan dengan diuretik untuk
terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis awal 250 mg 3 kali sehari dan
ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi 2-3 jam setelah
pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dlam 4-6 jam
setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek samping yang
sering dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-12
bulan) dengan obat ini dapat menyebabkan anemia hemolitik dan
merupakan indikasi untuk memberhentikan obat ini (Cunningham, 2005).
2. Hidralazin
Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara
langsung yang dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan cardiac
output akibat hasil respon simpatis sekunder yang dimediasi oleh
baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac output penting karena dapat
meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin dimetabolisme oleh hepar.
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan
diastol mencapai 110 mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai
lebih dari 160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval
15-20 menit sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan darah
diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat penurunan

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 27


perfusi plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan lama kerja
4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan angina.
Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian perdarahan
serebral dan efektif dalam menurunkan tekanan darah dalam 95% kasus
preeklamsi (Cunningham, 2005).
3. Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan
penghambat α1-adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk oral
maupun intra vena.
Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok β 1 dan
non selektif β, dan digunakan juga untuk mengobati hipertensi akut pada
kehamilan. Pada sebuah penelitian yang membandingkan labetalol
dengan hidralazine menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan
darah lebih cepat dan efek takikardi minimal, tetapi hidralazine
menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih efektif. Protokol pemberian
adalah 10 mg intravena. Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit,
maka diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg,
selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai dosis maksimal
kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan darah sudah terkontrol. Onset
kerja adalah 5 menit, efek puncak 10-20 menit, dan durasi kerja 45
menit-6 jam. Pemberian labetalol secara intra vena tidak mempengaruhi
aliran darah uteroplasenter. Pengalaman membuktikan bahwa labetalol
dapat ditoleransi baik oleh ibu maupun janin. Menurut NHBPEP,
pemberian labetalol tidak melebihi 220 mg tiap episode pengobatan
(Reynold et.al, 2003).
4. Klonidin
Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai
dengan dosis 0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara incremental
0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Tekanan darah menurun 30-60
mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8 jam. Aliran darah
ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi cardiac output

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 28


menurun namun tetap berespon terhadap latihan fisik. Efek samping
adalah xerostomia dan sedasi. Penghentian klonidin dapat menyebabkan
krisis hipertensi yang dapat diatasi dengan pemberian kembali klonidin.
Sampai sekarang belum ada penelitian besar yang mempelajari klonidin
seperti metil dopa (Reynold, 2003).
5. Prazosin
Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor α1-adrenergik.
Obat ini dapat menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas
pembuluh darah sehingga menurunkan preload dan afterload. Prazosin
menurunkan tekanan darah tanpa menurunkan laju jantung, curah
jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi glomerulus. Obat ini
dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90% ekskresi obat
melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan, absorbsi
menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang. Dalam sebuah
penelitian, kadar puncak tercapai dalam 165 menit pada wanita hamil.
Prazosin dapat menyebabkan hipotensi mendadak dalam 30-90 menit
setelah pemberian. Hal ini dapat dihindari dengan pemberian sebelum
tidur. Percobaan binatang menunjukkan tidak ada efek teratogenik.
Prazosin bukan merupakan obat yang kuat sehingga sering
dikombinasikan dengan beta bloker (Reynold, 2003).
6. Diuretik
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga
curah jantung dan tekanan darah menurun, juga menurunkan resistensi
vaskular akibat konsentrasi sodium interselular pada sel otot polos.
Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi
plasenta karena efek segera meliputi pengurangan volume intravaskular,
dimana volume tersebut sudah berkurang akibat preeklamsi dibandingkan
dengan keadaan normal. Oleh karena itu, diuretik tidak lagi digunakan
untuk menurunkan tekanan darah karena dapat meningkatkan
hemokonsentrasi darah ibu dan menyebabkan efek samping terhadap ibu
dan janin. Pemakaian furosemid saat ante partum dibatasi pada kasus

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 29


khusus dimana terdapat edema pulmonal. Obat diuretika seperti
triamterene dihindari karena merupakan antagonis asam folat dan dapat
meningkatkan risiko defek janin (Reynold, 2003).
7. ACE-inhibitor
Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim
yang mengkonversi angiotensi 1 menjadi angiotensin 2 (vasokonstriktor
poten), tanpa penurunan curah jantung. Sebagai tambahan, obat ini juga
meningkatkan sintesis prostaglandin vasodilatasi dan menurunkan
inaktivasi bradikinin (vasodilator poten). Contoh obat ini seperti
captopril, enalapril, dam lisinopril (National Heart, Lung, and Blood
Institute, 2004).
8. Obat anti hipertensi lain
NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker).
Obat ini menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ECS ke
sitoplasma kemudian memblok eksitasi dan kontraksi coupling di
jaringan otot polos dan menyebabkan vasodilatasi dan penurunan
resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis 10
mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin merupakan
vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah utama
hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub lingual, menurut penelitian
yang dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan, menunjukkan bahwa
dapat terjadi penurunan tekanan darah yang cepat sehingga dapat
menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini, nifedipin tidak digunakan
pada pasien dengan IUGR atau denyut jantung janin abnormal.
Walaupun nifedipin tampak lebih potensial, obat ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut untuk digunakan dalam kehamilan (Reynold,
2003).
Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat infus
5-10 mg per jam dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-rata sebesar
20%. Obat lain seperti nimodipin dapat digunakan baik secara oral
maupun infus dan terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada wanita

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 30


penderita preeklamsi berat. Hal ini dinyatakan pada penelitian yang
dilakukan oleh Belforts dan kawan-kawan. Pemakaian ketanserin secara
intra vena juga memberikan hasil yang baik menurut penelitian Bolte dan
kawan-kawan. Nitroprusid tidak direkomendasikan lagi oleh NHBPEP
kecuali tidak ada respon terhadap pemberian hidralazin, labetalol atau
nifedipin. Sodium nitroprussid dapat menyebabkan vasodilatasi arteri dan
vena tanpa efek terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-
2 menit, puncak kerja terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja 3-5 menit.
Obat ini sangat efektif dalam mengontrol tekanan darah dalam hitungan
menit di ICU. Rekomendasi penggunaan obat secara intra vena tidak
lebih dari 30 menit pada ibu non parturien karena efek samping toksisitas
sianida dan tiosianat pada janin. Trimethaphan merupakan pemblok
ganglionik yang digunakan oleh ahli anestesi dalam menurunkan tekanan
darah sebelum laringoskopi dan intubasi untuk anestesi umum. Efek
samping terhadap janin adalah ileus mekonium. Nitrogliserin diberikan
secara intra vena sebagai vasodilator vena yang tampak aman bagi janin.
Obat ini merupakan anti hipertensi potensi sedang (Cunningham, 2005).

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 31


BAB III
LAPORAN KASUS

STATUS IBU HAMIL


Anamnesa Pribadi
No. RM : 00.99.65.43
Nama : Ria Depi Sari
Umur : 31 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Lumban Pasir Tanbangan, Mandailing Natal
Pendidikan terakhir : SLTA
Agama : Islam
Suku : Mandailing
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : G4P3A0
Tanggal masuk : 03 Mei 2016
Jam : 07.47 WIB
Tanggal Keluar : 07 Mei 2016

Anamnesa Penyakit
Seorang pasien Ny. R umur 31 tahun, G4P3A0 , Mandailing, Islam, SLTA,
ibu rumah tangga, i/d Tn. M, umur 41 tahun, Batak, Islam ,SLTA , Wiraswasta ,
Os datang dengan keluhan:
Keluhan utama : Mules-mules mau melahirkan
Telaah : Hal ini dialami sejak tanggal 03 Mei 2016 pukul 03.00 WIB.
riwayat keluar lendir darah (-) riwayat keluar air-air dari
kemaluan (-), riwayat tekanan darah tinggi sebelumnya (-),
riwayat sering keringat dingin (+), riwayat jantung berdebar-
debar (+), riwayat pandangan kabur (-) , riwayat sakit kepala
(-), riwayat mual muntah (-), riwayat nyeri ulu hati (-),
BAK (+) Normal , BAB (+) Normal

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 32


RPT : Hipertiroid
RPO : propiliourasil (PTU)

RIWAYAT HAID
HPHT :01 – Agustus – 2015
TTP :08 – Mei – 2016
ANC : Sp.OG 3x

RIWAYAT PERSALINAN
1. Perempuan, Aterm, 3100 gr, PSP, Dokter, 12 tahun, sehat
2. Perempuan, Aterm, 3200 gr, PSP , Bidan, 9 tahun, sehat
3. Laki-laki, Aterm, 3100 gr , SC, Dokter, Meninggal
4. Hamil ini

PEMERIKSAAN FISIK

A. STATUS PRESENS
Sens : compos mentis Anemis :-
TD : 180/100 mmHg Ikterik :-
HR : 80x/i Sianosis :-
RR : 20x/i Dyspnoe :-
T : 37,0 0C Oedema :-

STATUS LOKALISATA
Kepala : Konjungtiva Palpebra pucat (-/-). Sklera ikterik (-/-), mata
kanan eksoftalmus (+) dan mata kiri (-)
Leher : TVJ R-2 cmH2o, Pembesaran KGB (-)
Thoraks
Inspeksi : Simetris Fusiformis
Palpasi : Stem fremitus kiri= kanan
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 33


Auskultasi
Suara pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan : Tidak ditemukan
Abdomen : Membesar Asimetris
Genitalia : Dalam Batas Normal
Ekstremitas : Dalam Batas Normal

B. STATUS OBSTETRIKUS
Abdomen : Membesar asimetris
Tinggi Fundus Uteri : 3 jari dibawah proc. Xyphoideus (32 CM)
Teregang : Kanan
Terbawah : Kepala
Gerak :+
His :-
DJJ : 138 x/i, reguler (+)
Taksiran Berat Badan Janin : 3000-3200 gr

C. STATUS GINEKOLOGIS
Pemeriksaan Genitalia : Genitalia eksterna tidak terdapat pembesaran
kelenjar Bartholine, OUE dalam keadaan normal
dan tidak terlihat adanya sekret yang keluar
Inspekulo : Dinding vagina ditemukan vagina tidak ada keluar
cairan
Vagina Toucher : Tidak dilakukan pemeriksaan
Sarung Tangan : Tidak dilakukan pemeriksaan

USG TAS
 Janin Tunggal, Persentasi Kepala, Anak Hidup
 Fetal Movement (+), Fetal Heart Rate (+)
 Biparietal Diameter : 94,3 mm
 Femur Length : 74,4 mm

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 34


 Abdomen Cavitty : 33,8 mm
 Air Ketuban : cukup.
 Plasenta : Corpus Posterior grade III
 Kesan : IUP (37-38)minggu + Anak Hidup

D. LABORATORIUM
03 Mei 2016
DR
Hb :13,1 gr/dl
Ht : 36,5 %
Leukosit : 11.42 /mm3
Eritrosit : 4,40 x 106 mm3
Trombosit : 260.000/mm3
MCV : 83,00 fL
MCH : 29,80 pg
MCHC : 35,90 g/dl
LFT
SGOT : 55 u/l
SGPT : 11 u/l
Alkaline Phospatase : 111,00 u/l
Total Bilirubin : 1,11 mg/dl
Direct Bilirubin : o,30
RFT
Ureum :14,00 mg/dl
Creatinin :0,52 mg/dl
Urid acid :5,70 mg/dl
LDH :773 u/l
Albumin : 3,80 g/dl
KGD Adr : 72,00 mg/dl
Elektrolit
NA : 135 mmol/l

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 35


K : 4,10 mmol/l
CL : 120,00 mmol/l
Urin Rutin
Warna : Kuning
Kekeruhan : Keruh
Protein : +1
Reduksi :-
HST
Fibrinogen :207 mg/dl
D-dimer :570 mg/dl
Imunologi
T3 :1,25 ng/ml
T4 :7,47 ug/dl
TSH : < 0,05 ng/ml
HBsAg :-

E. DIAGNOSA SEMENTARA
MG + KDR (37-38) minggu + PK + AH + inpartu + Hipertensi Gestasional

F. TERAPI
- IVFD RL 20 gtt/i

G. RENCANA
SectioCesarea

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 36


Laporan Sectio Cesarea

Tanggal SC : 03 Mei 2016, pukul 17.59 WIB

Uraian
- Ibu dibaringkan diatas meja operasi dengan infus dan kateter terpasang baik.
- Dilakukan spinal anastesi, dilakukan tindakan aseptic dengan betadine dan
alkohol 70 % pada dinding abdomen, lalu ditutup dengan doek steril kecuali
lapangan operasi.
- Dilakukan insisi fanensteil mulai dari kutis, subkutis, sepanjang 10 cm
dengan menyisipkan pinset anatomis dibawahnya, fascia digunting kekiri
dan kanan
- Otot dikuakkan secara tumpul, peritoneum digunting ke atas dan kebawah
tempat uterus gravidae sesuai usia kehamilan, identifikasi segmen bawah
rahim
- Dilakukan insisi konkaf sampai subendometrium ditembus dikuatkan sesuai
arah sayatan, selaput ketuban ditembus dengan meluksir kepala, lahirlah
bayi perempuan 3370 gr, PB 49 cm, A/S 9/10, anus (+)
- Tali pusat diklem pada 2 tempat digunting diantaranya, plasenta dilahirkan
secara peregangan talipusat terkendali kesan : lengkap, uterus dijahit
continen interlocking, cavum abdomen dibersihkan, dinding perut dijahit,
mulai dari peritoneum, otot, fascia, kutis, kulit.
- Keadaan umum ibu post Sc : baik

TERAPI

- Bed rest
- IVFD RL + drip Oxitosin 10-10-5-5 IU  20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
- Inj. Asam transamin 500 mg/ 8 jam

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 37


RENCANA
- Cek darah rutin 2 jam Post Sc
- Awasi perdarahan pervaginam, Observasi vital sign, kontraksi uterus

PEMANTAUAN KALA IV
Jam ( WIB ) 20.15 20.30 20.45 21.00 21.30 22.00
Nadi/menit 96 98 92 88 96 92
TD ( mmHg ) 140/80 140/80 130/80 130/80 120/80 120/80
Pernafasan/menit 24 22 20 22 22 22
Perdarahan 5 cc 5 cc 5cc 10 cc 10 10 cc
Kontraksi Kuat Kuat Kuat Kuat Kuat Kuat

LABORATORIUM 2 JAM POST SC (03 MEI 2016)

Hb : 10,3 gr/dl N: 12-14 gr/dl


Leukocyte : 30,25 x 103/ul N: 4000-11000 /uL
Hematocrit : 28,4 % N: 36,0-42,0 %
Trombocyte : 309 x 103/ul N: 150.000-400.000 /uL
Eritrosit : 3,40 x 106/ul N: 4,00-5,40/ ul

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Page 38


FOLLOW UP PASIEN

4 Mei 2016
S Lemah
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :+
TD : 140/60 mmHg Dyspnoe :-
HR : 120 x/i Oedem :-
RR : 25 x/i Ikterik :-
T : 36,5 oC Sianosis :-

Status Lokalisata :
Kepala : Normocephal
Mata : palpebral inferior anemis +/+
T/H/M : dbn/nasal kanul terpasang/dbn
Thorax : SP: vesikuler, ST: (-)
Abdomen : Lihat status obstetri
Ekstremitas : Akral Hangat, CRT <3dt ,Oedem pretibial (-)

Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel ,Peristaltik (+) N
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
L/O :-
P/V : (+) lochia (+) rubra
BAK : (+) via kateter, UOP ± 45 cc/jam, protein uria:(++)
BAB : (-) flatus (+)
A Post SC a/i hipertensi gestasional + hipertiroid
P Th/
 IVDF RL 20 gtt/i
 Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
 Inj. Ketorolac 30 mg/8jam.
 Inj. Asam transenamt 500mg/8 jam
 PTU

R/
 Awasi Vital Sign, Kontraksi, Urin out put
Hasil Laboratorium
WBC : 30,250 x 103
Hb : 10,3
Ht : 28,4
PLT : 309.000

5 April 2016
S Nyeri luka bekas operasi
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :+
TD : 140 / 60 mmHg Dyspnoe :-
HR : 88 x/i Oedem :-
RR : 24 x/i Ikterik :-
T : 36,8 oC Sianosis :-

Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel ,Peristaltik (+) N
TFU : 1 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
L/O : tertutup verban, kesan: kering
P/V : (-) lochia (+) rubra
BAK : (+) via kateter + 60cc/jam, kuning jernih, protein uria : (+)
BAB : (-) flatus (+)
A Post SC a/I hipertensi gestasional + hipertiroid terkontrol + NH1

2
P Th/
 IVDF RL20 gtt/i
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
 Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
 Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
 Inj. Transamin 500 mg/8 jam
 PTU
R/ - Cek darah rutin ulang
- Pindah ruangan
Hasil Laboratorium
Hb : 6,3 gr/dl
Ht : 18,6 %
Leukosit : 15.25 x 103 /mm3
Eritrosit : 2,90 x 106 mm3
Trombosit : 238.000/mm3

6 MEI 2016

S Nyeri bekas luka operasi


O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :+
TD : 140 / 80 mmHg Dyspnoe :-
HR : 94 x/i Oedem :-
RR : 22 x/i Ikterik :-
T : 36,5 oC Sianosis :-

Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel ,Peristaltik (+) N

3
TFU : 1 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
L/O : tertutup verban, kesan: kering
P/V : (-) lochia (+) rubra
BAK : (+) via kateter + 60cc/jam, kuning jernih
A Post SC a/I hipertensi gestasional + hipertiroid + NH2
P - IVFD RL 20 gtt/I
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
- PTU

7 MEI 2016

S -
O Status Present :
Sensorium : Compos Mentis Anemis :-
TD : 140 / 70 mmHg Dyspnoe :-
HR : 92 x/i Oedem :-
RR : 22 x/i Ikterik :-
T : 36,5 oC Sianosis :-

Status Obstetrikus :
Abdomen : Soepel ,Peristaltik (+) N
TFU : 1 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
L/O : tertutup verban, kesan: kering
P/V : (-) lochia (+) rubra
BAK : (+) via kateter + 60cc/jam, kuning jernih

A Post SC a/I hipertensi gestasional + hipertiroid + NH3


P - Cefadroxil 2 x 500 mg
- Asam mefenamat 3x 500 mg

4
- Vit. B complex 2 x 1

R/ - Aff kateter
- PBJ

5
BAB IV
ANALISA KASUS

Seorang wanita, Ny.R, usia 31 tahun, datang ke RSUPM dengan keluhan


mulas-mulas mau melahirkan. Hal ini dialami os sejak tanggal 03 mei 2016 pukul
03.00 WIB. Riwayat keluar lendir darah (-), riwayat keluar air-air dari kemaluan
(-), riwayat tekanan darah tinggi sebelum kehamilan (-), riwayat tekanan darah
tinggi selama kehamilan (-),riwayat sering keringat dingin (+), riwayat jantung
berdebar-debar (+), riwayat kejang (-), riwayat pandangan mata kabur (-) ,
riwayat sakit kepala (-), riwayat mual muntah (-), riwayat nyeri ulu hati (-), BAK
(+) N, BAB (+) N.
Pasien datang ke IGD dengan tekanan darah 180/100mmHg. Setelah
dilakukan SC, lahir bayi perempuan, BB 3370 gr, PB 49 cm, A/S: 9/10, anus (+).

DISKUSI KASUS
TEORI KASUS
 Hipertensi Gestasional adalah  Pada kasus ini ditemukan
Didapatkan tekanan darah ≥ tekanan darah pasien saat masuk
140/90 mmHg untuk pertama yaitu 180/100 mmHg dengan
kalinya pada kehamilan, tidak proteinuria (-).
disertai dengan proteinuria dan  Pada pasien keluhan pandangan
tekanan darah kembali normal < kabur, sakit kepala, serta nyeri
12 minggu pasca persalinan. ulu hati tidak dijumpai.
 Pada pasien ini didapati bahwa
pasien sebelum nya pernah
menderita hipertiroid dan
mengkonsumsi PTU sampai
sekarang
 Pada pasien ini setelah dilakukan
sectiocaeseria tekanan darah

6
kembali normal

PERMASALAHAN
1) Perlukah sebenarnya dilakukan SC pada pasien dengan hipertensi dalam
kehamilan?
2) Sebagai dokter umum di level puskesmas, apabila menemukan kasus seperti
ini apa yang harus dilakukan?

7
BAB V
PENUTUP

Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the


NHBPEP (2000) dibagi menjadi 5 tipe, yaitu hipertensi gestasional, preeklamsi,
eklamsi, preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis, dan hipertensi kronis.
Faktor risiko pada preeklamsi dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu faktor
risiko maternal, faktor risiko medikal maternal, dan faktor risiko plasental atau
fetal.
Sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab preeklamsi adalah invasi
trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus, intoleransi imunologis antara
jaringan plasenta ibu dan janin, maladaptasi maternal pada perubahan
kardiovaskular atau inflamasi dari kehamilan normal, faktor nutrisi, dan pengaruh
genetik.
Anti hipertensi diberikan bila tekanan diastol mencapai 110 mmHg.
Tujuan utama pemberian obat anti hipertensi adalah menurunkan tekanan
diastolik menjadi 90-100 mmHg.
Penggunaan antihypertensive agen di kehamilan untuk mengendalikan
hipertensi ringan-sedang atau untuk mengendalikan hipertensi parah diringkas
dalam tabel 2 dan 3. Saat ini, ada sedikit bukti untuk mendukung konsep bahwa
BP kontrol pada wanita hamil dengan hipertensi kronis akan mencegah terjadinya
berikutnya Preeklamsia, itu sendiri penyebab untuk hasil yang paling merugikan
pada pasien ini. Seperti BP jatuh di awal kehamilan, mengurangi atau bahkan
menghentikan obat dan pemantauan sering mungkin pada wanita dengan
hipertensi ringan atau sedang.
Mengakui keterbatasan dalam terbukti berbasis data dan lainnya masalah
yang dibahas di atas mengenai usia kehamilan, sebaiknya ambang batas untuk
pengobatan paling hipertensi hamil 140-150 mm Hg sistolik, dan/atau 95 hingga
100 mm Hg diastolik untuk mencegah memburuknya hipertensi ibu. Agen dapat
diterima termasuk methyldopa, labetalol, dan nifedipine dalam dosis stan-dard.

8
Penggunaan Atenolol mungkin harus dihindari dalam kehamilan, karena
telah dikaitkan dengan sedikit lebih rendah beban kelahiran. ACE-adalah dan
angiotensin reseptor blocker harus dihindari di semua trimesters; Ketika diberikan
dalam trimesters kedua dan ketiga, mereka berhubungan dengan karakteristik
fetopathy, neonatal gagal ginjal, dan kematian, dan dengan demikian,
kontraindikasi. Data terbaru menunjukkan bahwa mereka seharusnya juga
dihindari di trimester pertama. Akhirnya, mengendalikan hipertensi parah telah
belajar di hari meta-anal-ysis, dan ini menunjukkan bahwa labetalol intravena atau
oral nifedipine adalah sebagai efektif sebagai intravena hydralazine, dengan efek
samping yang lebih sedikit.
Banyak pertanyaan penelitian yang mengelilingi hipertensi dalam
kehamilan dan Preeklamsia tetap tak terjawab. Advance-ment pengetahuan klinis
memerlukan studi yang besar, kolaboratif, dan multicentered. Misalnya, untuk
lebih memahami perlunya antihypertensive terapi ringan-sedang kronis hipertensi,
sebuah studi yang dirancang untuk mendeteksi penurunan risiko relatif moderat
(20%) di Preeklamsia atau pembatasan intrauterine pertumbuhan akan
memerlukan uji coba secara acak dengan pendaftaran 1000 atau 3000 wanita
dengan hipertensi kronis.
Pengelolaan prasangka hipertensi, kebutuhan untuk antihypertensive agen,
agen obat tertentu, perbedaan ras, BP tingkat inisiasi terapi, dan perawatan target
semua tetap harus ditentukan. Current pedoman hanya mengandalkan bukti dari
kecil, sebagian besar di bawah - powered cobaan dan pendapat ahli. Akhirnya,
studi obat antihy-pertensive di kehamilan sering mengevaluasi geografis di-
tiveness obat tanpa memeriksa hasil janin yang terkait dengan harm105; Studi
masa depan harus mencakup rinci hasil risiko dan manfaat bagi ibu dan bayi.
Sistem surveilans yang lebih baik untuk rutin memantau peristiwa-peristiwa buruk
dan jumlah perempuan yang terpapar dengan agen tertentu diperlukan untuk
memandu kemanjuran pengobatan, memajukan kami pengalaman-tepi drug
safety, dan pada akhirnya meningkatkan pilihan pengobatan.

9
10
DAFTAR PUSTAKA

Abalos E, Duley L, Steyn D, dan Henderson-Smart D. 2007. Antihypertensive


drug therapy for mild to moderate hypertension during pregnancy. http:
//hyper.ahajournals.org/content/51/4/960. (3 Januari 2013)

August P. 2009. Management of Hypertension in Pregnancy. http


://www.uptodate.com/patients/content/topic. (29 Desember 2012)

Beardmore KS dan Morris JM. 2002. Excretion of antihypertensive medication


into human breast milk: a systematic review. Hypertensi Pregnancy.

Brooks M. 2005. Pregnancy and Preeclampsia. http : //www.emedicine.com.


(1 Januari 2013).

Cunningham FG. 2005. Obstetri William Edisi 21. Jakarta: EGC.

Davis GK, Mackenzie C, Brown MA, Homer CS, Holt J, dan McHugh MG. 2007.
Predicting transformation from gestational hypertension preeclampsia in clinical
practice: a possible role for 24 hour ambulat blood pressure monitoring.
Hypertens Pregnancy.

Gibson P dan Carson M. 2009. Hypertension and Pregnancy. http :


//emedicine.medscape.com/article/261435. (3 Januari 2013)

Levine RJ, Maynard SE, Qian C, Lim KH, England LJ, Yu KF, Schisterman EF,
Thadhani R, Sachs BP, Epstein FH, Sibai BM, Sukhatme VP, dan Karumanchi
SA. 2004. Circulating angiogenic factors and the risk of preeclampsia. N Engl J
Med. 350: 97-110.

11
National Heart, Lung, and Blood Institute, Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure. 2004. The Seventh Report of the Joint
National Committee. NIH publication,.

Purwanto B. 2009. Pathogenesis, Etiology, and Management of Hypertension and


Nefrotoxic Agents. Disampaikan pada Half Day Simposium: Renal Disease
Induced by Nefrotoxic Agents. Surakarta

Roeshadi RH. 2004. Hipertensi dalam Kehamilan. In: Hariadi R. Ilmu kedokteran
fetomaternal. Surabaya: Himpunan Kedokteran fetomaternal POGI.

AJOG. 2000. Working group on high blood pressure in keywords: Eclampsia,


hypertension, preeclampsia, pregnancy, treatment. American Journal of Obstetrics
and Gynecology. 183(1).

Shannon ME, Malecha SE, dan Cha AJ. 2000. Angiotensin converting enzyme
inhibitors (ACEIs) and angiotensin II receptor blockers (ARBs) and lactation: an
update. J Hum Lact. 16:152–155.

Suhardjono. 2007. Hipertensi pada Kehamilan. In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar
Ilmu Peyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 614-15.

Tan LK dan de Swiet M. 2002.The management of postpartum hypertension.


Bjog. 109:733–736.

Tiina P dan August P. 2008. Update on the Use of Antihypertensive Drugs in


Pregnancy. http://hyper.ahajournals.org/. (26 Desember 2012)

Reynolds C, Mabie W, dan Sibai B. 2003. Hypertensive States of Pregnancy. In:


Current Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Treatment, edisi ke-9. New
York : McGraw-Hill, pp: 338-353 .

12

Anda mungkin juga menyukai