Anda di halaman 1dari 26

LATAR BELAKANG

Ilmu kesehatan masyarakat menurut Winslow (1920) bahwa Kesehatan Masyarakat (Public
Health) adalah Ilmu dan Seni : mencegah penyakit, memperpanjang hidup, dan meningkatkan
kesehatan, melalui “Usaha-usaha Pengorganisasian masyarakat “ untuk :
a. Perbaikan sanitasi lingkungan
b. Pemberantasan penyakit-penyakit menular
c. Pendidikan untuk kebersihan perorangan
d. Pengorganisasian pelayanan-pelayanan medis dan perawatan untuk diagnosis dini
dan pengobatan.
e. Pengembangan rekayasa sosial untuk menjamin setiap orang terpenuhi kebutuhan
hidup yang layak dalam memelihara kesehatannya.
Menurut Ikatan Dokter Amerika (1948) Kesehatan Masyarakat adalah ilmu dan seni memelihara,
melindungi dan meningkatkan kesehatan masyarakat melalui usaha-usaha pengorganisasian
masyarakat.
Dari batasan kedua di atas, dapat disimpulkan bahwa kesehatan masyarakat itu meluas
dari hanya berurusan sanitasi, teknik sanitasi, ilmu kedokteran kuratif, ilmu kedokteran
pencegahan sampai dengan ilmu sosial, dan itulah cakupan ilmu kesehatan masyarakat.
Masalah Kesehatan Masyarakat adalah multikausal, maka pemecahanya harus secara
multidisiplin. Oleh karena itu, kesehatan masyarakat sebagai seni atau prakteknya mempunyai
bentangan yang luas. Semua kegiatan baik langsung maupun tidak untuk mencegah penyakit
(preventif), meningkatkan kesehatan (promotif), terapi (terapi fisik, mental, dan sosial) atau
kuratif, maupun pemulihan (rehabilitatif) kesehatan (fisik, mental, sosial) adalah upaya
kesehatan masyarakat.

1
ISI

 Case Finding
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan
klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam
kegiatan program penanggulangan Tuberkulosis (TB). Penemuan dan penyembuhan pasien TB
menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan
TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling
efektif di masyarakat.
Strategi penemuan :1
• Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka
pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik
oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka
pasien TB.
• Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga
anak yang menderita TB yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
• Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak efektif secara biaya
.
Gejala klinis pasien TB
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas,
badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di
Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut
diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung.

Gejala umum TB anak :2

2
- Demam lama ( > 2 minggu) dan atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang dapat disertai
dengan keringat malam dan umumnya demam tidak tinggi
- Batuk lama (>3 minngu) dan sebab lain telah disingkirkan
- Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tdak naik dalam 1 bulan dengan
penanganan gizi adekuat
- Nafsu makan tidak ada ( anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat adan tidak naik
dengan adekuat ( failure to thrive)
- Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare

Manifestasi juga dapat tergantung dari lokasi yang terkena :


a. Kelenjar limfe superfisialis
Terbanyak di regio koli, tidak nyeri dan saling melekat
b. Susunan saraf pusat
Meningitis TB atau tuberkuloma
c. Sistem skeletal
Tulang punggung ( spondilitis) , tulang panggul ( koksitis), tulang lutut ( gonitis), tulang
kaki dan tangan.
d. Kulit  Skrofuloderma
e. Mata  konjungtivitis fliktenularis dan tuberkel koroid
f. Bagian lain  peritonitis TB, TB ginjal

Pemeriksaan penunjang untuk mengetahui diagnosis TB :1,2


1. Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis
dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS),
• S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada
saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari
kedua.

3
• P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot
dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Puskesmas.
• S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

2. Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya untuk
mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan.
Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes
resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi:
1. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis
2. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.
3. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.

3 Pemeriksaan Tes Resistensi


Tes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu melaksanakan
biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar internasional, dan telah
mendapatkan pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh laboratorium supranasional TB. Hal ini
bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut memberikan simpulan yang benar sehinggga
kemungkinan kesalahan dalam pengobatan MDR dapat di cegah.

4. Uji tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik yang
kuat. Jika disuntikkan kepada orang yang telah terinfeksi TB ( telah ada kompleks primer dalam
tubuhnya dan telah terbentuk imunitas selular terhadap TB), maka akan terjadi reaksi berupa
indurasi di lokasi suntikan. Hal ini terjadi karena vasodilatasi lokal, odema, endapan fibrin dan
terakumulasi sel inflamasi. Besarnya tidak menunjukkan aktivitas penyakit.
Uji tuberkulin merupakan alat diagnostik TB yang sudah sangat lama dikenal dan
keefektifan tinggi terutama pada anak. Uji tuberkulin dilakukan secara intrakutan di bagian volar
bawah. Pengukuran berdasar indurasi, bukan eritemanya. Yang dinilai positif ialah indurasi yang
lebih dari 10 mm. Hasil positif dapat disebabkan oleh infeksi TB alamiah maupun imunisasi
BCG ( hanya pada anak sampai 5 tahun) atau infeksi TB atipik.

4
Hasil : negatif ( 0-4mm), positif meragukan ( 5-9mm). sedangkan pada keadaaan
imunosupresi lebih dari 5 mm sudah menunjukkan hasil positif. Uji tuberkulin positif dapat
berupa infeksi tanpa sakit, infeksi dan sakit maupun Tb yang telah sembuh.
5. Radiologi
Foto toraks saja tidak dapat dijadikan bahan diagnosis untuk TB kecuali TB milier. Foto
toraks dibuat antero posterior (AP) dan lateral. Karena poto lateral memperlihatkan
keadaan hilus lebih jelas. Gambaran radiologis yang diduga TB ialah :
- Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan atau tanpa infiltrat
- Konsolidasi segmental/ lobar
- Milier
- Kalsifikasi dengan infiltrat
- Ateletaksis
- Kavitas
- Efusi pleura
- Tuberkuloma
Indikasi pemeriksaan foto toraks :
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu
pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:
• Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan
foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis ‘TB paru BTA positif
• Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT
• Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan
penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau
efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan
bronkiektasis atau aspergiloma).

6. Patologi anatomi

5
Meskipun nilainya tidak seefektif mikrobilologi, tetapi pemeriksaan histopatologi
memberikan gambaran yang khas yaitu granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk dari
agregasi sel epiteloid yang dikelilingi limfosit. Granuloma tersebut mempunyai ciri
perkijuan atau nekrosis kaseosa di tengahnya. Gambaran khas lain ialah multinucleated
giant cell atau sel datia langhans. Kendalanya ialah pada pengambilan spesimen. Yang
termudah ialah di regio kolli dengan cara biopsi jarum halus.

Penegakan diagnosis
Diagnosis kerja TB anak dibuat berdasarkan adanya terutama kontak terutama dengan pasien TB
dewasa aktif / baru, kumpulan gejala dan tanda klinis, uji klinis dan gambaran sugestif pada foto
toraks. Meskipun demikian, sumber penuaran/kontak tidak selalu dapat terindentifikasi sehingga
analisis yang seksama terhadap semua dara klinis sangat diperlukan. Diagnosis pasti ditentukan
dengan ditekuman kuman TB pada pemeriksaann apusan langsung dan atau biakan yang
merupakan standar emas. Akan tetapi terjadi kesulitan pada penegakan diagnosis ini karena
jumlah yang sedikit pada TB anak ( paucibacllary) dan lokasi kuman di daerah parenkim yang
jauh dari bronkus.
System scoring pada tuberculosis anak :2
parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tdk jelas Laporan keluarga BTA +
(BTA- /tdk jelas)
Uji tuberculin negatif Positif
Berat badan/gizi BB/TB < 90% Klinik gizi buruk
BB/U < 80% atau BB/TB <
70%, BB/U <
60%
Demam yang tdk  2 mng
diket penyebab
Batuk kronik  3 mng
Pembesaran  1 cm, > 1
kelenjar tdk nyeri
Pembengakan Ada bengkak

6
tulang,sendi
Foto toraks Normal/tdk Gamabran
terlihat jelas sugestif TB
Diagnosis kerja ditegakkan apabila jumlah skor > 6 dari nilai total maksimal 14.
 Epidemiologi3
Tuberculosis merupakan masalah yang timbul tidak hanya di Negara berkembang, tetapi juga
di Negara maju. Tuberculosis tetap merupakan salah satu penyebab tnggunya angka
morbiditas dan mortalitas, baik di Negara berkembang maupun Negara maju. Ada 3 hal yang
mempengaruhi epidemiologi TB yaitu :
- Perubahan strategi pengendalian
- Infeksi HIV
- Pertumbuhan populasi yang cepat
A. Morbiditas dan mortalitas
Laporan kasus TB anak jarang didapatkan, diperkirakan 5-6 % dari total kasus
TB. Berdasarkan laporan dari tahun 1985, dari 1261 kasus TB anak < 15 tahun, 63 %
diantaranya berusia < 5 tahun. Angka yang bervariasi didapatkan di Negara-negara lain.
Di Negara berkembang TB usia anak < 15 tahun ialah 15 % sedankan di Negara maju
lebih baik yaitu 5-7 %. WHO memperkirakan akan terjadi peningkatan kasus TB pada
anak setiap tahunnya.
Total insiden TB selama 10 tahun dari tahun 1990-1999, diperkirakan sebanyak
88,2 juta penyandang TB, 8 juta diantaranya berhubungan dengan HIV. Pada tahun 2000
terdapat 1,8 juta kematian akibat TB dan 226.000 diantaranya berhubungan dengan HIV.
Selama tahun 1985-1992, peningkatan TB terbanyak pada usia 15-44 tahun (54,5%),
diikuti oleh usia 0-4 tahun (36,1%) dan 5-12 thun (38,1%). Di AS dan Kanada,
peningkatan TB pada anak 0-4 tahun ialah 19 %, sedangkan pada 5-15 tahun adalah 40
%. Di Asia Tenggara, selama 10 tahun, diperkirakan kaus ari ialaj 35,1 juta dan 8 %
dinataranta ialah infeksi HIV. Menurut WHO, Indoneisa menduduki peringkat ketiga
dalam jumlah kasus baru TB ( 0,4juta) setelah India (2,1juta) dan China (1,1juta).
Peningkatan kasus TB di berbagai tempat pada saat ini diduga karena berbagai
hal, yaitu :
- Diagnosis tidak tepat

7
- Pengobatan tidak adekuat
- Program penanggulangan dilaksanakan tidak tepat
- Infeksi endemic HIV
- Migrasi penduduk
- Mengobati sendiri
- Meningkatnya kemiskinan
- Fasilitas kesehatan kurang memadai
Tuberculosis anak merupakan faktor penting di negara berkembang karena jumlah
anak usia < 15 tahun adalah 40-50 % dari seluruh populasi. Menurut WHO pada tahun
1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia ialah 583000 orang per tahun dan menyebabkan
kematian sekitar 140000 per tahun. WHO memperkirakan bahwa TB merupakan
penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan dewasa.
Kematian akibat TB lebih banyak daripada akibat malaria dan AIDS. Pada wanita,
kematian akibat TB lebih banyak dari kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.

B. Faktor resiko
- Risiko penularan
o Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien
TB paru dengan BTA negatif. Resiko transmisi dari dewasa ke anak meningkat jika
pasien dewasa tersebut BTA sputum positif, infiltrat luas atau kavitas di lobus atas,
produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat serta lingkungan yang
kurang sehat.
o Pasien TB anak jarang menularkan kuman ke anak lain atau orang dewasa sekitar. Hal
ini dikarenaan kuman TB sangat jarang ada di dalam sekret endobronkial. Jumlah
kuman pada TB anak basanya sedkit (pauybacilary), tetapi karena imunitas anak masih
lemah, jumlah yang sedikit itu mampu menimbulkan manifestasi penyakit. Lokasi
infeksi rpimer yang kemudian berkembang jadi sakit biasanya di daerah parenkim yang
jauh dari bronkus sehingga tidak ada produksi sputum. Tidak ada atau sedikitnya
produksi sputum dan tidak terdapat reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan
jarangnya gejala batuk pada anak.

8
o Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu
tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi
setiap tahun.
o ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
o Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.

- Risiko menjadi sakit TB


o Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
O Faktor penyebab infeksi TB menjadi sakit TB :
a. Usia  < 5 tahun beresiko lebih tinggi karena imunitas seluler belum berkembang
sempurna. Resiko ini akan menurun sesuai dengan usia. Anak usia < 5 tahun lebih
beresiko tinggi terkena TB diseminta (TB milier dan meningitis TB) dengan angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Resiko tertinggi terjadinya progresivitas dan
infeksi menjadi sakit TB adalah selama 1 tahun pertama setelah infeksi
b. Konversi uji tuberkulin ( dari negatif menjadi positif)
c. Malnutrisi
d. Imunokompromais  HIV, keganasan, transplantasi
e. Diabetes melitus dan gagal ginjal kronik
o Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun.
Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
o Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya
tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
o HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit
TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler
(cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah
pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan
meningkat pula.

9
transmisi
Risiko menjadi TB bila
Jumlah kasus TB BTA+
dengan HIV:
Faktor lingkungan :
• 5-10% setiap tahun
Ventilasi
• >30% lifetime
Kepadatan
Dalam ruangan
Faktor Perilaku HIV (+)
sembuh

terpajan infeksi TB mati


10 %

- Konsentrasi Kuman - Keterlambatan


- Lama kontak diagnosis dan
- Malnutrisi pengobatan
- Penyakit DM, - Tatalaksana tak
- immuno-supresan memadai
- Kondisi kesehatan

 Etiologi4
agent

host environment

Penyebab terjadinya penyakit tuberculosis dipengaruhi oleh 3 komponen yaitu agent ( sumber
penyakit), host ( penderita) dan environment.
1. Agent
Penyebab dari penyakit tuberculosis ialah Mycobacterium tuberculosis. Di samping itu
ada beberapa jenis mycobacterium lain yang menyebabkan tuberculosis atipik. M
tuberculosis ialah sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/ um dan
tebal 0,3-0,6 /um. Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak kemudia
10
peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan
terhadap asam ( asam alcohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga
lebih tahan terhadao gannguan kimia dan fisis. Kuman dapat hidup di udara kering
maupun dingin. Hal ini dikarenakan kuman hidup bersifat dormant. Sifat dormant pada
kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberculosis menjadi aktif
kembali. Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselulare. Ia tinggal pada
sitoplasma makrofag. Makrofag yang awalnya bertugas memfagositasi malah disenangi
sebagai tempat tinggal karena mengandung banyak lipid. Sifat lain yang dimiliki oleh
kuman ini ialah bersifat aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi
tempat yang mengandung banyak oksigen. Oleh karena itu, tuberculosis lebih banyak
terjadi pada bagian apical karena disana tekanan oksigen lebih tinggi daripada bagian
lain.
Sifat yang dimiliki M. tuberculosis yang meningkatkan virulensi :
- Sifat tahan asam
- Dapat bersifat dormant
- Memparasiti makrofag
2. Host
Selain penyebab langsung yaitu Mycobacterium tuberculosa, faktor pejamu yaitu pasien
juga memberikan peranan penting bagi terjadinya suatu penyakit. Daya tahan tubuh yang
baik akan memberi proteksi tubuh yang baik. Adanya keadaan imunosupresi akan
mempermudah kejadian penyakit tuberculosis.
3. Environment
Faktor lingkungan juga tidak kalah meberikan kontribusi terhadap penyebab terjadinya
tuberculosis pada penderita. Karena kuman tuberkulosa ini termasuk kuman yang dapat
hidup di segala kondisi, maka lingkungan juga berperan penting. Lingkungan berperan
dalam proses penularan. Penyakit ini ditularkan melalui proses inhalasi melalui droplet.
Kuman yang keluar melalui droplet akan tetap hidup di lingkungan sampai akhirnya
terinhalasi oleh orang lain.

 Pola transmisi1
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.

11
o Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak.
o Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa
jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
o Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular
pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Hal ini
disebabkan ukurannya yang sangat kecil, kuman TB terdapat dalam droplet yang terhirup
dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, apabila keadaann daya tahan tubuh yang
baik, maka kuman TB akan dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis
nonspesifik, sehingga tidak terjad respon imunologis spesifik. Akan tetapi, pada banyak
kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang
sebagian besar telah dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman yang tidak dapat
dihancurkan ini akan terus berkembang biak dalam makrofag dan setelah beberpa
minggu, banyak makrofag yang mati membentuk tuberkel dengan nekrosis kaseosa di
bagian sentral. Dibagian pinggirnya dikelilingi oleh makrofag dan limfosit. Setelah
keadaan ini didapatkan 2 keadaan yaitu dormant ataupun di beberapa individu terbentuk
tuberkel yang matur. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di lokasi tersebut yang
disebut focus primer Ghon. Apabila tuberkel ini lisis, maka kuman akan menyebar ke
organ lain melalui jalur limfogen dan hematogen
Dari focus primer dapat terbentuk kompleks primer apabila kuman TB menyebar
melalui saluran limfe rmenuju kelenjar limfe regional. Kompleks primer ialah gabungan
focus primern limfangitis dan limfadenitis. Waktu antara masuknya kuman dan terbentuk

12
kompleks primer ialah waktu inkubasi yaitu berkisar 2-12 minggu. Apabila sudah
terbentuk kompleks TB maka infeksi TB sudah terjadi. Imunitas tubuh terhadap TB
terbentuk yaitu adanya hipersensitivitas trehadap tuberkuloprotein yaitu uji tuberculin
positif. Apabila imunitas seluler pada seseorang baik, maka focus primer mengalami
resolusi membentuk fibrosis atau kalsifikasi.5
Pola penyebaran di dalam tubuh melalui darah didapatkan melalui 3 jalan yaitu :
- Occult hematogenic spread
Kuman menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak timbulkan
gejala klinis. Kuman mencapai organ tubuh yang mempunyai vaskularisasi baik.
- Acute generalized hematogenic spread
Banyak kuman TB yang masuk ke peredaran darah sehingga menimbulkan gejala klinis
secara akut yang disebut TB diseminata.
- Protacted hematogenic spread
Kuman masuk ke peredaran darah apabila suatu proses perkujuan di dinding vascular
pecah.

 Pemberantasan Tuberkulosis1
Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi
penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-
course) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif
(cost-efective). Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba klinik (clinical trials),
pengalaman-pengalaman terbaik (best practices), dan hasil implementasi program
penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan strategi DOTS secara baik,
disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya MDR-TB (
multiple drug resistance).
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan
kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan
demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien
merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan
TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi

13
kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan
demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan oleh WHO di
Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang
digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB, akan menghemat sebesar US$ 55
selama 20 tahun.
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci6
1) Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana
2) Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus
yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan (pengawasan menelan obat).
4) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.

Kelima komponen DOTS diatas terutama untuk apsien TB dewasa khusunya butir 2 dan
5. Pada butir 2 pada anak, diganti dengan uji tuberkulin karena pada anak sulit diakukan
pengumpulan dahak. Pada butir ke 5 pencatatan yang ada untuk usia lebih dari 15 tahun,
sedangkan untuk yang di bawahh 15 tahun belum ada. Salah satu program DOTS adalah
pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang
tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan. Hal ini berarti mengharuskan ada seseorang
yang bertanggung jawab mengawasi pasien menelan obat disebut PMO. Syarat menjadi PMO
ialah dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, serta
disegani dan dihormati pasien, bersedia dilatih dan sukarela. Tugas dari PMO ialah mengawasi
pasien agar menelan obat secara teratur, memberi dorongan agar mau berobat secara teratur,
mengingatkan pasien untuk memeriksa sputum ( dewasa) dan memberikan penyuluhan pada
anggota keluarga pasien yang mempunyai gejala tersangka TB untuk memeriksakan diri. Hal
yang wajib diberitahu dari PMO ialah TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau
kutukan, TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur, cara penularan TB, gejala-gejala yang
mencurigakan dan cara pencegahannya , cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan
lanjutan) , pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur, dan kemungkinan
terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK.7

14
Strategi DOTS di atas telah dikembangkan oleh Kemitraan global dalam
penanggulangan TB (stop TB partnership) dengan memperluas strategi dots sebagai berikut :
1) Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
2) Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
3) Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4)Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
5) Memberdayakan pasien dan masyarakat
6) Melaksanakan dan mengembangkan riset

Kerangka kerja :
a. Tatalaksana Pasien TB:
- Penemuan tersangka TB
- Diagnosis
- Pengobatan
b. Manajemen Program:
- Perencanaan
- Pelaksanaan
- Pencatatan dan Pelaporan
- Pelatihan
- Bimbingan teknis
- Pemantapan mutu laboratorium
- Pengelolaan logistik
- Pemantauan dan Evaluasi
c. Kegiatan penunjang:
- Promosi
- Kemitraan
- Penelitian
d. Kolaborasi TB/HIV di Indonesia, meliputi:
- Membentuk mekanisme kolaborasi,
- Menurunkan beban TB pada ODHA dan
- Menurunkan beban HIV pada pasien TB.

15
Alur tatalaksana tuberkulosis anak di puskesmas:

Skor > 6

Beri OAT 2 bulan terapi

evalausi

Respon + Respon –

Terapi diteruskan Terapi diteruskan,


Rujuk ke RS
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat. Setelah
pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi
klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila
dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan
perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.
Pengobatan TB dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif ( 2 bulan pertama) dan fase
lanjutan pada sisanya. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat pada fase
intensif dan 2 macam obat diberikan dalam fasae lanjutan. OAT pada anak diberikan setiap hari,
baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan
anak. Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk emncegah terjadinya resistensi obat dan untuk
membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Sedangkan pemberian obat jangka panjang
bertujuan untuk membunuh kuman dan mengurangi kemungkinan terjadinya relaps. OAT
diebrikan setiap hari dan bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan.7
Susunan paduan OAT pada anak ialah 2RHZ/4RH yaitu fase intensif ialah rifampisin,
isoniazid dan pyrazinamid yang dberikan tiap hari selama 2 bulan dan fase lanjutan rifampisin
dan pirazinamid selama 4 bulan.
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan kepatuhan minum obat,
paduan OAT disedikan dalam bentuk paket kombipak. Satu paket kombipak dibuat untuk 1
pasien untuk 1 masa pengobatan. Dosis untuk rifampisin ialah 75 mg, isoniazid 50 mg dan
pirazinamid 150 mg.

16
Pada sarana kesehatan yang lebih memadai, untuk meningktkan keteraturan pasien dalam
menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak, dibuat suatu FDC
(fixed dose combination) yaitu kombinasi berberapa OAT dalam 1 tablet. Dosis yang diberikan
sama dengan kombipak.
Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon
dikatakan baik apabila gejala klinis berkurag, nafsu makan meningkat, BB meningkat, demam
menghilang dan batuk berkurang. Apabila termasuk dalam respon baik, maka OAT dilanjutkan
sampai 6 bulan, apabila respon kurang baik, maka obat tetap dilanjutkan dan dirujuk ke sarana
yang lebih lengkap. Setelah memberi obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentukan dengan
melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks.
Meskipun gambar radiolohis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila perbaikan
klinis nyata, maka pengobatan dapat dihentikan.
Dalam pemberian OAT, juga harus diperhatikan efek samping yang dapat ditimbulkan.
Efek samping tersebut dapat berupa efek ringan maupun berat.
 Efek samping ringan :
Efek samping Penyebab Tatalaksana
Tidak ada nafsu makan, mual, rifampisin Semua OAT diberikan
sakit perut sebelum tidur
Nyeri sendi pirazinamid aspirin
Kesemutan smp rasa terbakar isoniazid Beri piridoxin (B6) 100 mg
di kaki
Warna kemerahan pada urin rifampisin Beri penjelasan

 Efek samping berat :


Efek samping penyebab Tata laksana
Gatal dan kemerahan pada Semua jenis OAT Singkirkan dulu penyebab lain dan berikan
anti-histamin & OAT diteruskan dengan
kulit
pengawasan ketat. Sebagian pasien hilang
gatalnya, namun sebagian pasien terjadi
suatu kemerahan kulit. Bila keadaan
seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu
sampai kemerahan kulit tersebut hilang.

17
Jika gejala efek samping ini bertambah
berat, pasien perlu dirujuk
Tuli Streptomisin Hentikan, ganti etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Hentikan, ganti etambutol
Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua jenis OAT Hentikan sampai ikterus hilang
Bingung, muntah Hampir semua jenis OAT Hentikan semua OAT dan cek
(permulaan ikterus) fungsi hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
Purpuran dan renjatan Rifampisin Hentikan rifampisin
(syok)

Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
• Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali OAT
harus dengan cara “drug challenging” dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan
untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
• Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan
dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai
dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai
dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena
reakasi hipersensitivitas.
• Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya pirasinamid atau
etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat
tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin
perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh.
• Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap Isoniasid atau
Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat
utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi
hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat
dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif
sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat.

18
 Preventif
Kegiatan pencegahan dikelompokkan menjadi 2 yaitu preventif primer, sekunder dan tersier.
Kegiatan preventif primer merupakan promosi kesehatan dan proteksi spesifik. Sedangkan
kegiatan preventif sekunder ialah diagnosis dini dan pengobatan segera. Pada preventif tersier
adalah pembatasan kecacatan.8
a. Preventif primer
Dilakukan dengan pemberian penyuluhan kesehatan tentang perilaku hidup bersih
dan sehat, bahaya tuberculosis dan sebagainya. Juga diebrlakukannya program imunisasi
wajib BCG dalam proteksi spesifik terhadap tuberculosis
BCG Bacille Calmette Guerin ialah vaksin hidup yang dibuat dari M. bovis yang dibiak
berulang slema 1-2 tahun sehingga didapatkan kuman tidak virulen tetapi masih
mempunyai imunogenitas. Diberikan secara intradermal 0,1 ml untuk bayi dan anak, 0,05
pada nenonatus. Penyuntikan harus dilakukan perlahan-lahan sehingga terbentuk suatu
benjolan yang berwarna lebih pucat dari sekitarnya. Pemberian BCG direkomendasikan
pada bayi < 2 bulan. Bayi yang mempunyai kontakk erar dengan pasien TB aktif atai
imuniasi > 3 bulan sebaiknya dites tuberculin dahulu. Vaksin BCG tidak memerlukan
booster walau tidak terbentuk jaringan parut.
Hingga sekarang ini, pemberian imunisasi BCG masih menjadi strategi WHO dalam
menanggulangi masalah TB terutama di Negara berkembang. BCG dimasukkan ke dalam
program pengembangan imunisasi ( PPI) yang wajib diberikan kepada bayi di Indonesia.
Dilakukan pula penyuluhan mengenai tuberculosis secara berkala, sehingga terjadi
peningkatan pengetahuan dari masyarakat sehingga dapat menjadi kebersihan serta
pencegahan apabila terdapat pasien TB aktif di lingkungan sekitarnya. Penyuluhannya
dapat berupa pengenalan gejala-gejala awal TB, apa yang harus dilakukan bila mendapati
keadaan tersebut.
b. Preventif sekunder
Yang termasuk ke dalam preventif sekunder ialah diagnosis dini dan pengobatan segera.
Dokter harus memiliki kompetensi untuk mendiagnosis secara dini dan tepat apabila
terdapat keluhan pada pasien. Jangan sampai akibat kesalahan dokter dalam
mendiagnosis, menjadikan kuman TB telah berkembang biak dan menyebar ke bagian
lain yang mengakibatkan keadaan menjadi lebih parah. Diagnosis harus dilakukan secara

19
cepat dan tepat. Ketersediaan OAT dalam klinik juga harus terjamin dalam memberikan
pengobatan yang segera dan tepat. Dokter harus mengetahui faktor resiko dari pasien dan
riwayat pasien.
c. Preventif tersier
Yang termasuk ke dalam preventif tersier ialah pembatasan kecacatan yang telah terjadi.

 Pengetahuan, sikap dan perilaku9


Komponen pengetahuan tentang penyakit TB paru menjadi penting untuk diketahui
oleh masyarakat awam. Hal ini disebabkan dengan adanya pengetahuan yang baik dan
cukup, maka sikap dan perilaku dalam menyikapi penyakit tersebut akan membaik.
Beberapa pegetahuan mengenai penyakit TB yang perlu diketahui oleh masyarakat ialah:
a. Tanda dan gejala TB paru
b. Penyebab TB
c. Cara penularan serta hal yang mempengaruhi penularan
d. Proses pengobatan
Pada penelitian yang dilakukan Bambang Sukana, et al di Tangerang pada tahun
1999, didapatkan data:
Pengetahuan penderita sebelum dilakukan penyuluhan adalah sebagai berikut :
- Hampir seluruh penderita mengetahui tanda dan gejala TB paru (94,05%), tetapi lebih
dari 75% penderita tidak mengetahui penyebabTB paru (78,57%).
- Pengetahuan mengenai cara penularan TB paru, sebagian besar penderita tidak
mengetahuinya (88,09%).
- Pengetahuan tentang hal yang mempengaruhi penularan TB paru yang terbanyak tidak
tahu (53,57%)
- Pengetahuan tentang hal-hal yang membantu pengobatan sebagian besar sudah tahu
(60,05%).
Pengetahuan penderita setelah dilakukan penyuluhan adalah sebagai berikut:
- Hampir sebagian besar penderita mengetahui tanda dan gejala TB paru (92,9%),
demikian pula dengan penyebab TB paru hampir seluruhnya mengetahui (90,5%)
- Hal-hal yang membantu pengobatan sebagian besar mengetahui (88,01 %)

20
Pemberantasan TB paru merupaka suatu usaha yang banyak dipengaruhi beberapa
faktor antara lain sikap petugas kesehatan dalam menangani pasien, ketersediaan obat dan
faktor penderita sendiri. Apabila ditinjau dari segi pelayanan kesehatan yang sudah
memadai tetapi keerhasilan penanggulangan pemberantasan tuberculosis belum
sepenuhnya berhasil, maka terdapat juga peranan dari masyarakat. Berdasarkan hal
tersebut di atas, maka faktor perilaku penderita ikut menentukan dalam keberhasilan
pemberantasan TB paru. Salah satu faktor yang menentukan penderita untuk taat berobat
dan taat minum obat secara teratur dan tuntas antara lain faktor pengetahuan tentang
pencegahan dan pengobatan TB paru. Jadi semua bermula dengan adanya pengetahuan.
Apabila pengetahuan baik, maka akan membentuk sikap masyarakat maupunn pasien
proaktif dalam kesembuhannya dengan cara berperilaku sesuai dengan pedoman hidup
sehat.
Untuk meningkatkan pengetahuan penderita TB paru tentang pengobatan TB paru
yang intensif dan benar telah dilakukan pemberian informasi (penyuluhan) dengan
metode dua arah kepada penderita TB paru, dengan harapan akan terjadi peningkatan
pengetahuan penderita TB paru. Dari hasil studi yang dijelaskan diatas, diperoleh hasil
yang berbeda bermakna setelah penderita TB paru diberikan penyuluhan, dimana
pengetahuan penderita TB paru setelah diberikan penyuluhan lebih baik 3,05 kali
dibandingkan dengan pengetahuan penderita TB paru sebelum mendapat penyuluhan.
Menurut Sujudi (1996), dalam pemberantasan TB paru peran penyuluhan yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan kepada setiap penderita/keluarga yang berobat sangat penting agar
terjadi kete-raturan berobat yang optimal/tinggi. Manaf (1995) mengatakan bahwa perlu
untuk melengkapi penderita dengan informasi-informasi/penyuluhan kesehatan yang
cukup jelas mengenai penyakitnya yang dapat disembuhkan serta memberikan semangat
agar dapat memenuhi seluruh jadwal pengobatan. Untuk keberhasilan
pengobatan/keteraturan minum obat, maka penyuluhan kesehatan itu sangat penting.
Dilihat dari segi pendidikan, ternyata pendidikan tidak berpengaruh terhadap
ketaatan berobat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Sui iha (1991),
dimana proporsi penderita yang pendidikannya tinggi (61,11 %) ternyata tidak patuh
berobat. Peningkatan pengetahuan penderita tentang pengobatan TB paru yang didapat
dari studi ini ternyata berpengaruh terhadap ketaatan penderita minum obat. Dari hasil

21
studi ini menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan pengetahuan dapat
meningkatkan angka kesembuhan.

 Fasilitas kesehatan10
Fasilitas kesehatan menjadi penting dalam pengendalian penyakit TB. Diperlukan kerja
sama dari segenap aparat yang terlibat dalam melakukan tanggung jawab masing-masing
sehingga terciptanya keadaan yang kondusif bagi terlaksananya kegiatan pelayanann
kesehatan yang memadai. Baik dari segi system, alat, logistic dan pelayanan oleh
paramedic.
1. Logistic
Logistik penanggulangan tuberkulosis terdiri dari 2 bagian besar yaitu logistik Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) dan logistik lainnya.
a. Logistik OAT.
Program menyediakan paket OAT dewasa dan anak, untuk paket OAT dewasa
terdapat 2 macam jenis dan kemasan yaitu :
• OAT dalam bentuk obat kombinasi dosis tetap (KDT) / Fixed Dose Combination
(FDC) terdiri dari paket Kategori 1, kategori 2 dan sisipan yang dikemas dalam
blister, dan tiap blister berisi 28 tablet.
• OAT dalam bentuk Kombipak terdiri dari paket Kategori 1, kategori 2, dan
sisipan, yang dikemas dalam blister untuk satu dosis, kombipak ini disediakan
khusus untuk pengatasi efek samping KDT.
b. Logistik non OAT
• Alat Laboratorium terdiri dari : Mikroskop, slide box, pot sputum, kaca sediaan,
rak pewarna dan pengering, lampu spiritus, ose, botol plastik bercorong pipet, kertas
pembersih lensa mikroskop, kertas saring, dan lain lain.
• Bahan diagnostik terdiri dari : Reagensia Ziehl Neelsen, eter alkohol, minyak
imersi, lysol, tuberkulin PPD RT 23 dan lain lain.
• Barang cetakan seperti buku pedoman, formulir pencatatan dan pelaporan serta
bahan KIE.

Pengelolaan OAT meliputi :

22
1. Perencanaan
Rencana kebutuhan Obat Anti Tuberkulosis dilaksanakan dengan pendekatan
perencanaan dari bawah (bottom up planning). Perencanaan kebutuhan OAT dilakukan
terpadu dengan perencanaan obat program lainnya yang berpedoman pada :
• Jumlah penemuan pasien pada tahun sebelumnya,
• Perkiraan jumlah penemuan pasien yang direncanakan,
• Buffer-stock (tiap kategori OAT),
• Sisa stock OAT yang ada,
• Perkiraan waktu perencanaan dan waktu distribusi (untuk mengetahui estimasi
kebutuhan dalam kurun waktu perencanaan)
Tingkatan perencanaan : UPK  tingkat kabupaten/kota  tingkat propinsi  PUSAT
2. Pengadaan
Kabupaten/Kota maupun Propinsi yang akan mengadakan OAT perlu
berkoordinasi dengan pusat (Dirjen PPM dan PL Depkes RI) sesuai dengan peraturan
yang berlaku. Pengadaan OAT menjadi tanggungjawab pusat mengingat OAT
merupakan Obat yang sangat-sangat esensial (SSE).
3. Penyimpanan dan pendistribusian OAT
OAT yang telah diadakan, dikirim langsung oleh pusat sesuai dengan rencana
kebutuhan masing-masing daerah, penerimaan OAT dilakukan oleh Panitia Penerima
Obat tingkat kabupaten/ kota maupun tingkat propinsi. OAT disimpan di IFK maupun
Gudang Obat Propinsi sesuai persyaratan penyimpanan obat. Penyimpanan obat harus
disusun berdasarkan FEFO (First Expired First Out), artinya, obat yang kadaluarsanya
lebih awal harus diletakkan didepan agar dapat didistribusikan lebih awal.
Pendistribusian buffer stock OAT yang tersisa di propinsi dilakukan untuk menjamin
berjalannya system distribusi yang baik. Distribusi OAT dari IFK ke UPK dilakukan
sesuai permintaan yang telah disetujui oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pengiriman OAT disertai dengan dokumen yang memuat jenis, jumlah, kemasan,
nomor batch dan bulan serta tahun kadaluarsa.
4. Monitoring dan Evaluasi
Pemantauan OAT dilakukan dengan menggunakan Laporan Pemakaian dan
Lembar Permintaan Obat (LPLPO) yang berfungsi ganda, untuk menggambarkan

23
dinamika logistik dan merupakan alat pencatatan / pelaporan. Dinas Kesehatan
kabupaten/kota bersama IFK mencatat persediaan OAT yang ada dan melaporkannya ke
propinsi setiap triwulan dengan menggunakan formulir TB-13. Pengelola program
bersama Farmakmin Propinsi, melaporkan stock yang ada di Propinsi termasuk yang ada
di gudang IFK ke pusat setiap triwulan.

5. Sumber daya manusia


Pengembangan SDM adalah suatu proses yang sistematis dalam memenuhi
kebutuhan ketenagaan yang cukup dan bermutu sesuai kebutuhan. Proses ini meliputi
kegiatan penyediaan tenaga, pembinaan (pelatihan, supervisi, kalakarya/on the job
training), dan kesinambungan (sustainability). Tujuan Pengembangan Sumber Daya
Manusia dalam program TB adalah tersedianya tenaga pelaksana yang memiliki
keterampilan, pengetahuan dan sikap yang diperlukan dalam pelaksanaan program
TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang
tepat sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional.
Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan
keterampilan petugas dalam rangka meningkatkan mutu dan kinerja petugas.
Konsep pelatihan :
a. Pendidikan/pelatihan sebelum bertugas (pre service training)
Dengan memasukkan materi program penanggulangan tuberkulosis strategi
DOTS`dalam pembelajaran/kurikulum Institusi pendidikan tenaga kesehatan. (Fakultas
Kedokteran, Fakultas Keperawatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Farmasi
dan lain-lain)
b. Pelatihan dalam tugas (in service training)
Dapat berupa aspek klinis maupun aspek manajemen program
1) Pelatihan dasar program TB (initial training in basic DOTS implementation)
- Pelatihan penuh, seluruh materi diberikan
- Pelatihan ulangan (retraining), yaitu pelatihan formal yang dilakukan terhadap peserta
yang telah mengikuti pelatihan sebelumnya tetapi masih ditemukan banyak masalah
dalam kinerjanya, dan tidak cukup hanya dilakukan melalui supervisi. Materi yang

24
diberikan disesuikan dengan inkompetensi yang ditemukan, tidak seluruh materi
diberikan seperti pada pelatihan penuh.
- Pelatihan penyegaran, yaitu pelatihan formal yang dilakukan terhadap peserta yang
telah mengikuti pelatihan sebelumnya minimal 5 tahun atau ada up-date materi, seperti:
pelatihan manajemen OAT, pelatihan advokasi, pelatihan TB-HIV, pelatihan DOTS plus,
surveilans.
- On the job training (pelatihan ditempat tugas/refresher): telah mengikuti pelatihan
sebelumnya tetapi masih ditemukan masalah dalam kinerjanya, dan cukup diatasi hanya
dengan dilakukan supervisi.
2) Pelatihan lanjutan (continued training/advanced training): pelatihan untuk mendapatkan
pengetahuan dan keterampilan program yang lebih tinggi. Materi berbeda dengan
pelatihan dasar.
Materi pelatihan dan metode pembelajaran.
Apa yang akan dipelajari dalam pelatihan harus disesuaikan dengan kebutuhan program dan
tugas peserta latih. Tidak semua harus dipelajari, tetapi yang terkait secara langsung tugas pokok
peserta dalam program. Metode pembelajaran harus mampu melibatkan partisipasi aktif peserta
dan mampu membangkitkan motivasi peserta. Baik materi pelatihan maupun metode
pembelajaran tersebut dapat dikemas dalam bentuk modular .
Evaluasi adalah penilaian secara sistematis untuk menentukan apakah tujuan pelatihan
telah tercapai atau tidak. Menentukan mutu pelatihan yang dilaksanakan dan untuk
meningkatkan mutu pelatihan yang akan mendatang. Demikian pentingnya evaluasi pelatihan
maka pelaksanaannya harus terintegrasi dengan proses pelatihan
Supervisi adalah kegiatan yang sistematis untuk meningkatkan kinerja petugas dengan
mempertahankan kompetensi dan motivasi petugas yang dilakukan secara langsung.
Kegiatan yang dilakukan selama supervisi adalah :
• Observasi
• Diskusi
• Bantuan teknis
• Bersama-sama mendiskusikan permasalahan yang ditemukan
• Mencari pemecahan permasalahan bersama-sama
• Memberikan laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi dan saran perbaikan.

25
Supervisi merupakan salah satu kegiatan pokok dari manajemen. Kegiatan supervisi ini
erat hubungannya dengan kegiatan monitoring dan evaluasi. Supervisi selain merupakan
monitoring langsung, juga merupakan kegiatan lanjutan pelatihan. Melalui supervisi dapat
diketahui bagaimana petugas yang sudah dilatih tersebut menerapkan semua pengetahuan dan
ketrampilannya. Selain itu supervisi dapat juga berupa suatu proses pendidikan dan pelatihan
berkelanjutan dalam bentuk on the job training.

26

Anda mungkin juga menyukai