Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)/


CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE
(COPD)

Disusun Oleh:
Agung triatmojo I4061152066
Asjat gapur I4061162033
Wenni juniarni T I4061171013
Josep andrianu L I11112050

Pembimbing:

dr. HANDRIYANI, Sp. P

SMF ILMU PULMONOLOGI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

RSUD ADE MUHAMMAD DJOEN

SINTANG

PERIODE 7 MEI 2018- 2 MEI 2018


BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara yang bersifat progresif nonrefersibel atau
refersibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya.1

Penyakit PPOK ini dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti riwayat
merokok, polusi udara di dalam ruangan atau di luar ruangan, terpapar zat gas di
lingkungan kerja, faktor genetik, umur dan usia, riwayat pertumbuhan dan
perkembangan paru, status sosial ekonomi, riwayat asma dan hiperreaktifitas,
bronkitis kronik, dan adanya infeksi.2

Berdasarkan BOLD dan penelitian epidemiologi skala besar lainnya,


diperkirakan bahwa jumlah kasus COPD adalah 384 juta pada tahun 2010 .Secara
global, ada sekitar tiga juta kematian setiap tahunnya. Dengan meningkatnya
prevalensi merokok di negara berkembang, dan populasi yang menua di negara-
negara berpenghasilan tinggi, prevalensi COPD diperkirakan akan meningkat
selama 30 tahun ke depan dan pada tahun 2030 mungkin ada lebih dari 4,5 juta
kematian setiap tahun dari COPD dan kondisi terkait.2

Di Asia jumlah pasien PPOK sedang hingga berat pada tahun 2006
mencapai 56,6 juta pasien dengan prevalensi 6,3%, seperti di Cina yang memiliki
angka kejadian mencapai 38.160 juta jiwa, Jepang sebanyak 5.014 juta jiwa dan
Vietnam sebanyak 2.068 juta jiwa. Di indonesia sendiri di perkirakan terdapat 4,8
juta pasien dengan prevalensi 5,6 %.1

Dari survei penyakit tidak menular oleh direktorat jendral PPM dan PL di
lima rumah sakit provinsi di indonesia menunjukkan bahwa PPOK menempati
urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%) diikuti oleh asma bronkial
33% dan kanker paru 30% dan yang lainnya 2%.1
Angka ini bisa meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok karena
90% pasisen PPOK adalah perokok atau mantan perokok, selain itu semakin
bartambahnya jumlah kendaraan dan jumlah industri serta kejadian kebakaran
hutan dapat meningkatkan kejadian PPOK karena semakin meningkatnya polisi
udara yang disebabkan oleh hal hal tersebut.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik


yang ditandai oleh hambatan aliran udara yang bersifat progresif
nonrefersibel atau refersibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik merupakan kelainan
saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan
dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak
disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema adalah suatu kelainan
anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Kelainan PPOK ini secara
signifikan disebabkan oleh paparan partikel atau gas yang berbahaya.1,2

B. EPIDEMIOLOGI

Tinjauan sistematis dan meta-analisis, termasuk penelitian yang


dilakukan di 28 negara antara tahun 1990 dan 2004, memberikan bukti bahwa
prevalensi PPOK secara bermakna lebih tinggi pada perokok dan mantan
perokok dibandingkan dengan bukan perokok, pada mereka ≥ 40 tahun
dibandingkan dengan yang <40, dan pada pria dibandingkan dengan wanita.
Proyek Amerika Latin untuk Investigasi Penyakit Paru Obstruktif
(PLATINO) meneliti prevalensi pembatasan aliran udara pasca-bronkodilator
di antara orang> 40 tahun di satu kota besar dari masing-masing dari lima
negara Amerika Latin - Brasil, Chili, Meksiko, Uruguay, dan Venezuela. Di
setiap negara, prevalensi PPOK meningkat tajam seiring bertambahnya usia,
dengan prevalensi tertinggi di antara mereka > 60 tahun. Prevalensi dalam
total populasi berkisar dari yang terendah 7,8% di Mexico City, Meksiko,
hingga tertinggi 19,7% di Montevideo, Uruguay. Di seluruh lima kota,
prevalensinya jauh lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita, yang
kontras dengan temuan dari kota-kota Eropa seperti Salzburg, Austria.2
The Burden of Obstructive Lung Diseases (BOLD) program juga telah
menggunakan metodologi standar yang terdiri dari kuesioner dan spirometri
pra dan pasca bronkodilator untuk menilai prevalensi dan faktor risiko untuk
PPOK pada orang berusia 40 dan lebih di seluruh dunia. Survei telah
diselesaikan di 29 negara. BOLD lebih lanjut melaporkan fungsi paru-paru
lebih buruk daripada studi sebelumnya, dengan prevalensi PPOK grade 2 atau
lebih tinggi dari 10,1% (SE 4,8) secara keseluruhan, 11,8% (SE 7.9) untuk
pria, dan 8.5% (SE 5.8) untuk wanita 20 dan prevalensi PPOK sebesar 3-11%
di antara yang tidak pernah merokok.20 BOLD juga memeriksa prevalensi
COPD di Afrika utara dan sub-Sahara dan Arab Saudi dan menemukan hasil
serupa.2

Berdasarkan BOLD dan penelitian epidemiologi skala besar lainnya,


diperkirakan bahwa jumlah kasus COPD adalah 384 juta pada tahun 2010,
ada sekitar tiga juta kematian setiap tahunnya. Dengan meningkatnya
prevalensi merokok di negara berkembang, dan populasi yang menua di
negara-negara berpenghasilan tinggi, prevalensi COPD diperkirakan akan
meningkat selama 30 tahun ke depan dan pada tahun 2030 mungkin ada lebih
dari 4,5 juta kematian setiap tahun dari COPD dan kondisi terkait.2

Di Asia jumlah pasien PPOK sedang hingga berat pada tahun 2006
mencapai 56,6 juta pasien dengan prevalensi 6,3%, seperti di Cina yang
memiliki angka kejadian mencapai 38.160 juta jiwa, Jepang sebanyak 5.014
juta jiwa dan Vietnam sebanyak 2.068 juta jiwa. Di indonesia sendiri di
perkirakan terdapat 4,8 juta pasien dengan prevalensi 5,6 %. 1

Dari survei penyakit tidak menular oleh direktorat jendral PPM dan PL
di lima rumah sakit provinsi di indonesia menunjukkan bahwa PPOK
menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%) diikuti oleh
asma bronkial 33% dan kanker paru 30% dan yang lainnya 2%.1
C. FAKTOR RESIKO

1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang


terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam
pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan1 :

a. Riwayat merokok

 Perokok aktif

 Perokok pasif

 Bekas perokok

b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian


jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun :

 Ringan : 0-200

 Sedang : 200-600

 Berat : >600

2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja

3. Hipereaktiviti bronkus

4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang

5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesi

Selain itu berdasarkan GOLD 2018 yang menjadi faktor resiko terjadinya
PPOK adalah sebagai berikut.2

1. Rokok tembakau

Perokok atau mantan perokok merukapan salah satu faktor resiko


tersering terjadinya PPOK
2. Polusi udara

Polusi udara yang berasal dari penggunaan bahan taman untuk memasak
dan pemanas yang memiliki ventiloasi yang buruk dapat meningkatkan
kejadian PPOK pada wanita di negara berkembang

3. Terpapar bahan di lingkungan kerja

Terhirup debu organik maupun anorganik, bahan kimia dan asap dapat
menjadi faktor resiko PPOK

4. Faktor genetik

Kelaianan yang sangat jarang yaitu defisiensi dari alpha 1 antitrypsin


(AATD)

5. Usia dan jenis kelamin

Penuaan dan jenis kelamin perempuan meningkatkan faktor resiko PPOK

6. Pertumbuhan dan perkembangan paru

Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan paru dari sejak masa


kehamilan sampai masa anak anak seperti berat badan lahir rendah dan
infeksi paru maka akan menjadi faktor resiko yang potensial untuk
terjadinya PPOK

7. Status sosioekonomi

Ada bukti kuat bahwa kejadian COPD berbanding terbalik dengan status
sosioekonomi seseorang. Tidak jelas bagaimana pola ini terjadi, hal ini
dikaitkan dengan paparan polutan di dalam dan luar ruangan, gizi buruk
dan kejadian infeksi dan faktor yang lain yang sering terjadi pada
masyarakat dengan status sosioekonomi rendah

8. Asma dan hiperreaktifitas saluran nafas

Asma dapat menjadi faktor resiko yang memberatkan hambatan aliran


udara dan PPOK
9. Bronkitis kronik

Dapat meningkatkan jumlah dan keparahan eksaserbasi

10. Infeksi

Riwayat infeksi parah pada masa anak anak akan berhubungan dengan
pengurangan fungsi paru dan meningkatkan gejala pernafasan pada masa
dewasa

D. PATOGENESIS

Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan


inflamasi di saluran nafas dan paru seperti yang terlihat pada pasien PPOK.
Respon inflamasi abnormal ini menyebabkan kerusakan jaringan parenkim
yang mengakibatkan emfisema dan mengganggu aktifitas pertahanan yang
mengakibatkan fibrosis saluran nafas kecil. Perubahan patologis
menyebabkan udara terperangkap dan keterbatasan aliran udara yang bersifat
progresif.1

Inflamasi saluran nafas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari


respon inflamasi normal akibat iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme
untuk amplifikasi ini belum diketahui kemungkinan disebabkan oleh faktor
genetik. Pada pasien PPOK yang tidak mempunyai riwayat merokok,
penyebab respon inflamasi belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh
stres oksidatif dan kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah
pada karakteristik perubahan patologis PPOK.1

Perubahan patologis karakteristik PPOK ditemukan di saluran nafas


proksimal, saluran nafas perifer, parenkim dan vaskular paru. Perubahan
patologis akibat inflamasi terjadi karena peningkatan sel inflamasi di berbagai
bagian paru yang menimbulkan kerusakan dan perubahan struktural akibat
cedera dan perbaikan berulang. Secara umum, perubahan inflamsi dan
struktural saluran nafas akan tetap berlangsung sesuai dengan beratnya
penyakit walaupun sudah berhenti merokok.1

Berikut beberapa patofisiologi pada pasien PPOK.1

1. Keterbatasan aliran udara dan air trapping

Tingkat perdangan, fibrosis, dan eksudat di lumen saluran nafas


kecil berkorelasi dengan penurunan VEP1 merukan gejala yang khas pada
PPOK. Obstruksi jalan nafas perifer ini menyebabkan udara terperangkap
dan mengakibatkan hiperinflasi.1

Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan


kapasitas residual fungsional. Hiperinflasi yang berkembang pada awal
penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya sesak nafas pada
aktivitas. Bronkodilator yang berkerja pada saluran nafas perifer
menurangi air trapping segingga mengurangi volume residu dan gejala
serta meningkatkan kapasitas latihan.1
2. Mekanisme pertukaran gas

Ketidak seimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan


hipoksemia dan hiperkapnia yang terjadi karena beberapa mekanisme.
Secara umum pertukaran gas memburuk selama penyakit berlangsung.
Tingkat keparahan emfisema berkorelasi dengan PO2 arteri dan tanda lain
dari ketidak seimbangan ventilasi perfusi (VA/Q).1

3. Hipersekresi

Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi mukus


melalui aktifitas reseptor faktor EGFR.1

4. Gambaran sistemik

Kakeksia umumnya terlihat pada pasien dengan PPOK berat.


Disebabkan oleh hilangnya massa otot rangka dan kelemahan otot sebagai
akibat dari apoptosis yang meningkat dan atau tidak digunakannya otot
otot tersebut. pasien PPOK juga mengalami peningkatan proses
osteoporosis, depresi, dan anemia kronik dan peningkatan resiko penyakit
kardiovaskular yang seiring dengan peningkatan protein C-reaktif (CRP).1

5. Eksaserbasi

Eksaserbasi merupakan peningkatan lebih lanjut respon inflamasi


dalam saluran nafas pasien PPOK. Keadaan ini dapat di picu infeksi
bakteri dan virus atau polusi lingkungan. Selama eksaserbasi terjadi
peningkatan hiperinflasi dan terperangkapnya udara, dengan pengurangan
aliran ekspirasi sehingga terjadi peningkatan sesak nafas. Terjadi juga
perburukan abnormalitas VA/Q yang mengakibatkan hipoksemia berat.1
E. DIAGNOSIS

Gejala Keterangan

Sesak  Progresif setiap waktu


 Di perburuk dengan aktifitas fisik
 Persisten
Batuk kronik  dapat terjadi intermiten dan
mungkin tidak berdahak
 wheezing berulang
Batuk kronik berdahak  setiap batuk kronik berdahak
dapat mengindikasikan PPOK
Riwayat terpajan faktor resiko  faktor host (seperti kongenital /
abnormalitas pertumbuhan)
 merokok
 asap rumah tangga dari memasak
atau pemanas ruangan
 debu, gas, asap atau bahan kimia
lain di lingkungan kerja,
Riwayat keluarga PPOK dan / atau  seperti bayi berat badan lahir
rendah, riwayat infeksi
faktor masa kecil
pernafasan pada masa kecil
1. Gambaran klinis

a. Anamnesis1

Dari anamnesis ada beberapa hal yang harus diketahui seperti


keluhan, riwayat penyakit dan faktor predisposisi. Adapun yang biasa
ditemui dari anamnesis pada pasien PPOK adalah sebagai berikut

 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala


pernapasan.

 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.

 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.

 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat


badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara.

 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak.

 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.

b. Pemeriksaan fisik

1) Inspeksi

 Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)


adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu
dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang
terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.1

 Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal


sebanding)1,3
 Penggunaan otot bantu napas

 Hipertropi otot bantu napas

 Pelebaran sela iga

 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena


jugularis i leher dan edema tungkai

 Penampilan pink puffer yaitu gambaran yang khas pada


emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan
pursed – lips breathing atau blue bloater yaitu gambaran khas
pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral
dan perifer
2) Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

3) Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah

4) Auskultasi

 Suara napas vesikuler normal, atau melemah

 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa

 Ekspirasi memanjang

 Bunyi jantung terdengar jauh

2. Pemeriksaan penunjang1

a. Pemeriksaan rutin

1. Faal paru
 Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)

o Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%)


dan atau VEP1/KVP (%).
o Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80%
VEP1% (VEP1/KVP) < 75%
o VEP1 % merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau
perjalanan penyakit
o Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat
dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variability harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
 Uji bronkodilator

o Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak


ada gunakan APE meter.
o Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, 15-20 menit kemudian dilihat perubahan
nilai
o VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE <20%
nilai awal dan <200 ml
o Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Laboratorum darah

a. Hemoglobin, Hematokrit, Trombosit, Leukosit


b. Analisis Gas Darah
3. Radiologi

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit


paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :

 Hiperinflasi
 Hiperlusen
 Ruang retrosternal melebar
 Diafragma mendatar
 Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop / eye
drop
 appearance)
Pada bronkitis kronik :
 Normal
 Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus
b. Pemeriksaan khusus

1. Uji faal paru lengkap

 Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF),


Kapasiti Paru Total (KRT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
 DLCO menurun pada emfisema
 Raw meningkat pada bronkitis kronik
 Sgaw meningkat
 Variabiliti Harian APE kurang dari 20%
2. Uji latih kardiopulmoner

 Sepeda statis (ergocycle)


 Jentera (treadmill)
 Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus

Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian kecil


PPOK terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan
4. Analisis gas darah

Terutama untuk menilai :


 Gagal napas kronik stabil
 Gagal napas akut pada gagal napas kronik
5. Radiologi

 CT-Scan resolusi tinggi


 Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat
emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks
polos
 Scan ventilasi perfusi
 Mengetahui fungsi respirasi paru
6. EKG

Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh P


pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan
7. Ekokardiografi

Menilai fungsi jantung kanan


8. Bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur


resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita
PPOK di Indonesia
9. Kadar α-1 antitripsin

Kadar antitripsin α-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema


pada usia muda), defisiensi antitripsin α-1 jarang ditemukan di
Indonesia.
F. DIAGNOSA BANDING1

Diagnosa Ciri ciri utama

COPD  Usia pertengahan


 Gejala progresif perlahan
 Riwayat merokok atau terpapar zat
yang serupa lainnya
Asma  Onset di awal kehidupan (anak anak)
 Gejala berubah dari hari ke hari
 Gejala lebih parah pada malam atau
pagi hari
 Dapat disertai dengan alergi, rhinitis,
dan/atau eksema
 Riwayat keluarga asma
 Diperberat dengan obesitas
CHF  Foto thoraks memperlihatkan
perbesaran jantung dan edem
pulmonal
 Tes fungsi pulmonal menunjukkan
adanya restriksi volume
Bronkietaksis  Volume yang besar dari sputum yang
purulen
 Biasanya disertai dengan infeksi
bakteri
 X-ray dan CT Scan menunjukkan
adanya dilatasi bronkial, dinding
bronkial menebal
TBC  Onset pada semua usia
 Rontgen dada menunjukkan adanya
infiltrat pada paru
 Konfirmasi mikrobiologi
 Daerah yang banyak terkena TBC
Obliterative bronkiolitis  Onset pada usia muda, tidak merokok
 Mungkin memiliki riwayat reumatoid
artritis atau terpapar asap yang akut
 Terdapat setelah transplantasi paru
atau tulang belakang
 CT-Scan saat ekspirasi menunjukkan
daerah hipodens
Difuse panbronkiolitis  Umumnya pada keturunan Asia
 Sebagian besar pasien laki laki dan
tidak merokok
 Hampir semua pasien memiliki
kronik sinusitis
 X-ray dan HRCT menunjukkan
daerah opak berbentuk nodular pada
sentrilobular yang kecil dan tersebar
serta terdapat hiperinflasi

G. KLASIFIKASI

Klasifikasi keparahan pembatasan aliran udara diCOPD ditunjukkan pada


tabel. Titik potong spirometri spesifik untuk tujuan kesederhanaan.
Spirometri harus dilakukan setelah pemberian dosis yang adekuat setidaknya
satu bronkodilator inhalasi kerja singkat untuk meminimalkan variabilitas.2

Klasifikasi berdasarkan keparahan pembatasan aliran udara pada COPD

Pasien dengan FEV1/FVC < 0,70

GOLD 1 Ringan FEV1 ≥ 80% prediksi

GOLD 2 Sedang 50% ≤ FEV1 < 80% prediksi

GOLD 3 Berat 30% ≤ FEV1 < 50 % prediksi

GOLD 4 Sangat berat FEV1 < 30% prediksi


Perlu dicatat bahwa hanya ada korelasi lemah antara FEV1. simptom
gangguan status kesehatan pasien. untuk alasan ini, penilaian gejala formal
diperlukan.2

Modified British Medical Research Council (mMRC) questionnaire.2


Centang kotak yang sesuai dengan kondisi pasien (hanya 1 kotak saja)

mMRC Grade 0. Saya hanya susah bernapas jika aktivitas berat

mMRC Grade 1. Napas saya menjadi pendek jika naik tangga dengan
bergegas atau berjalan ke tanjakan
mMRC Grade 2. Saya berjalan lebih lambat dibandingkan teman sebaya
karena susah bernapas, atau saya harus berhenti untuk mengambil
napas ketika berjalan di tangga
mMRC Grade 3. Setelah berjalan 100 meter atau beberapa menit di
tangga, saya harus berhenti untuk mengambil napas
mMRC Grade 4. Saya tidak bisa keluar rumah karena susah bernapas
atau tidak bisa mengganti baju karena susah bernapas

COPD Assessment Test (CATTM)2


Untuk kepentingan tata laksana maka PPOK dibagi menjadi 4 grup yaitu.2
≥2 kali eksaserbasi
≥1 kali di rawat di C D
RS
0-1 kali eksaserbasi,
tidak pernah di A B
rawat di RS
mMRC0-1 mMRC ≥2
CAT <10 CAT ≥ 10

H. TATA LAKSANA

Penatalaksanaan PPOK secara umum.1

Farmakologis2

Terapi farmakologis untuk PPOK digunakan untuk mengurangi gejala,


frekuensi dan keparahan eksaserbasi, dan meningkatkan toleransi latihan serta
status kesehatan. Sampai saat ini, tidak ada bukti uji klinis yang konklusif
bahwa setiap obat yang ada untuk PPOK memodifikasi penurunan jangka
panjang pada fungsi paru-paru.

Kelas obat yang biasa digunakan untuk mengobati COPD

1. Bronkodilator
Bronkodilator adalah obat yang meningkatkan FEV1 dan / atau
mengubah variabel spirometri lainnya.
 Obat bronkodilator pada PPOK paling sering diberikan secara teratur
untuk mencegah atau mengurangi gejala.
 Toksisitas juga berhubungan dengan dosis.
 Penggunaan bronkodilator kerja singkat secara teratur umumnya tidak
dianjurkan.
a. Beta2-agonis
 Kerja utama dari beta2-agonis adalah untuk melemeaskan otot
polos saluran napas dengan merangsang reseptor beta-
adrenergik, yang meningkatkan AMP siklik dan menghasilkan
antagonisme fungsional terhadap bronkokonstriksi.
 short-acting (SABA) dan long-acting (LABA) beta2-agonists.
 Formoterol dan salmeterol adalah LABA dua kali sehari yang
secara signifikan meningkatkan FEV1 dan volume paru-paru,
dyspnea, status kesehatan, tingkat eksaserbasi dan jumlah
rawat inap, tetapi tidak berpengaruh pada mortalitas atau
tingkat penurunan fungsi paru-paru.
 Indacaterol adalah LABA sekali sehari yang meningkatkan
sesak napas, status kesehatan dan tingkat eksaserbasi.
 Oladaterol dan vilanterol merupakan tambahan sekali sehari
LABA yang memperbaiki fungsi dan gejala paru-paru.
 Dampak buruk. Stimulasi reseptor beta2-adrenergik dapat
menghasilkan sinus takikardia dan memiliki potensi untuk
memicu gangguan irama jantung pada pasien yang rentan.
Getaran somatik yang berlebihan dapat menyulitkan pada
beberapa pasien yang lebih tua yang diobati dengan dosis
beta2 agonis yang lebih tinggi, terlepas dari rute pemberian.
b. Obat antimuskarinik
 Obat antimuskarinik memblok efek bronkokonstriktor
asetilkolin pada reseptor muskarinik M3 yang diekspresikan
dalam otot polos saluran napas.
 Antimuskarinosis short-acting (SAMAs), yaitu ipratropium,
oxitropium dan antagonisarinik antagonis yang bersifat long-
acting (LAMAs), seperti tiotropium, aclidinium,
glycopyrronium bromide dan umeclidinium bekerja pada
reseptor dengan cara yang berbeda.
 Sebuah tinjauan sistematis dari RCT menemukan bahwa
ipratropium sendiri memberikan manfaat kecil dibandingkan
beta-agonis short-acting dalam hal fungsi paru-paru, status
kesehatan dan kebutuhan untuk steroid oral.
 Uji klinis menunjukkan efek yang lebih besar pada tingkat
eksaserbasi untuk pengobatan LAMA (tiotropium)
dibandingkan dengan terapi LABA.
 Dampak buruknya adalah obat antikolinergik inhalasi tidak
diserap dengan baik yang membatasi efek sistemik yang
mengganggu yang diamati dengan atropin. Penggunaan secara
luas dari golongan ini dalam berbagai dosis dan pengaturan
klinis telah menunjukkan bahwa sangat aman. Efek samping
utamanya adalah mulut kering.
c. Methylxanthines
 Masih ada kontroversi tentang efek pasti dari turunan xanthine.
 Teofilin, metilxantin yang paling umum digunakan,
dimetabolisme oleh oksidase campuran fungsi sitokrom P450.
klirens obat menurun seiring bertambahnya usia.
 Terdapat bukti efek bronkodilator sederhana dibandingkan
dengan plasebo pada COPD stabil.
 Penambahan teofilin ke salmeterol menghasilkan peningkatan
yang lebih besar pada FEV1 dan sesak napas daripada
salmeterol saja.
 Terdapat bukti terbatas dan kontradiktif mengenai efek teofilin
dosis rendah pada tingkat eksaserbasi.
 Dampak buruk. Toksisitas terkait dengan dosis, yang
merupakan masalah khusus dengan derivatif xanthine karena
rasio terapeutiknya kecil dan sebagian besar manfaatnya hanya
terjadi ketika dosis yang mendekati racun diberikan.
d. Terapi kombinasi bronkodilator
 Menggabungkan bronkodilator dengan mekanisme dan durasi
kerja yang berbeda dapat meningkatkan tingkat bronkodilatasi
dengan risiko efek samping yang lebih rendah dibandingkan
dengan peningkatan dosis bronkodilator tunggal.
 Kombinasi SABA dan SAMA lebih unggul dibandingkan
dengan satu obat saja dalam meningkatkan FEV1dan gejala.
 Perawatan dengan formoterol dan tiotropium pada inhaler
terpisah memiliki dampak yang lebih besar pada FEV1
daripada hanya komponen saja.
 Ada banyak kombinasi LABA dan LAMA dalam satu inhaler
yang tersedia
 Dosis rendah, rejimen dua kali sehari untuk kombinasi LABA /
LAMA juga telah terbukti memperbaiki gejala dan status
kesehatan pada pasien PPOK.
Berikut contoh sediaan obat bronkodilator

2. Agen anti inflamasi

Hingga saat ini, eksaserbasi (misalnya, tingkat eksaserbasi, pasien dengan


setidaknya satu eksaserbasi, eksaserbasi waktu pertama) merupakan titik
akhir penting yang relevan secara klinis yang digunakan untuk penilaian
efikasi obat dengan efek anti-inflamasi.
3. Kortikosteroid inhalasi (ICS)
a. ICS dalam kombinasi dengan terapi bronkodilator kerja panjang. Pada
pasien dengan PPOK dan eksaserbasi sedang hingga sangat berat, ICS
yang dikombinasikan dengan LABA lebih efektif daripada hanya
komponen saja dalam meningkatkan fungsi paru-paru, status
kesehatan dan mengurangi eksaserbasi.
b. Dampak buruk. Ada bukti kualitas tinggi dari uji acak terkontrol
(RCT) yang digunakan ICS dikaitkan dengan prevalensi candidiasis
oral, suara serak, kulit memar, dan pneumonia yang lebih tinggi.
c. Penarikan ICS. Hasil dari studi penarikan memberikan hasil samar-
samar mengenai konsekuensi penarikan pada fungsi paru-paru, gejala
dan eksaserbasi. Perbedaan antara studi mungkin berhubungan dengan
perbedaan dalam metodologi, termasuk penggunaan obat
bronkodilator long-acting yang dapat meminimalkan efek apapun
penarikan ICS.
d. Terapi inhalasi tiga kali
 Peningkatan pengobatan inhalasi ke LABA plus LAMA plus ICS
(terapi tiga) dapat terjadi dengan berbagai pendekatan.
 Ini dapat meningkatkan fungsi paru dan pasien melaporkan hasil.
 Menambahkan LAMA ke LABA / ICS yang ada meningkatkan
fungsi paru-paru dan hasil yang dilaporkan pasien, khususnya
risiko eksaserbasi.
 RCT tidak menunjukkan manfaat menambahkan ICS ke LABA
plus LAMA pada eksaserbasi.
 Kelompok double-blind, paralel, RCT melaporkan bahwa
pengobatan dengan terapi tiga tetap extrafine memiliki manfaat
klinis yang lebih besar dibandingkan dengan tiotropium pada
pasien dengan COPD simptomatik, FEV1<50%, dan riwayat
eksaserbasi. RCT double-blind lain melaporkan manfaat terapi
tiga-inhalasi tunggal dibandingkan dengan terapi ICS / LABA
pada pasien dengan PPOK lanjutan.
4. Glukokortikoid oral
a. Glukokortikoid oral memiliki banyak efek samping, termasuk miopati
steroid yang dapat menyebabkan kelemahan otot, penurunan fungsi,
dan gagal napas pada subjek dengan PPOK yang sangat berat.
b. Sementara glukokortikoid oral memainkan peran dalam manajemen
akut eksaserbasi, mereka tidak memiliki peran dalam pengobatan
harian kronis pada PPOK karena kurangnya manfaat yang seimbang
terhadap tingkat komplikasi sistemik yang tinggi.
5. Phosphodiesterase-4 (PDE4) inhibitor
a. Roflumilast mengurangi eksaserbasi sedang dan berat yang diobati
dengan kortikosteroid sistemik pada pasien dengan bronkitis kronis,
PPOK berat hingga sangat berat, dan riwayat eksaserbasi.
b. Efek menguntungkan dari roflumilast telah dilaporkan lebih besar
pada pasien dengan riwayat rawat inap sebelumnya untuk eksaserbasi
akut. Tidak ada penelitian yang langsung membandingkan roflumilast
dengan kortikosteroid inhalasi.
c. Efek yang merugikan. Inhibitor PDE4 memiliki efek yang lebih buruk
daripada obat yang dihirup untuk PPOK. Yang paling sering adalah
mual, nafsu makan berkurang, penurunan berat badan, sakit perut,
diare, gangguan tidur, dan sakit kepala.
6. Antibiotik
a. Penelitian yang lebih baru telah menunjukkan bahwa penggunaan
antibiotik macrolide secara teratur dapat mengurangi tingkat
eksaserbasi.
b. Azitromisin (250 mg / hari atau 500 mg tiga kali per minggu) atau
eritromisin (500 mg dua kali per hari) selama satu tahun pada pasien
yang rentan eksaserbasi mengurangi risiko eksaserbasi dibandingkan
dengan perawatan biasa. Penggunaan azitromisin dikaitkan dengan
peningkatan insidensi resistensi bakteri dan gangguan tes
pendengaran. Analisis post-hoc menunjukkan manfaat yang lebih
rendah pada perokok aktif.
c. Tidak ada data yang menunjukkan efikasi atau keamanan pengobatan
azitromisin kronis untuk mencegah eksaserbasi PPOK setelah satu
tahun pengobatan.
7. Mukolitik (mucokinetik, mucoregulator) dan agen antioksidan (NAC,
carbocysteine)
Pada pasien PPOK yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi,
pengobatan reguler dengan mukolitik seperti carbocysteine dan N-
acetylcysteine dapat mengurangi eksaserbasi dan sedikit meningkatkan
status kesehatan.
Penatalaksanaan berdasarkan grup ABC dan D.2

Grup A

 Semua pasien Grup A harus diberikan perawatan bronkodilator


berdasarkan efeknya pada sesak napas. Ini bisa berupa bronkodilator
jangka pendek atau panjang.
 harus dilanjutkan jika manfaat simptomatik didokumentasikan.

Grup B
 Terapi awal harus terdiri dari bronkodilator kerja panjang. Bronkodilator
inhalasi kerja panjang lebih baik dibandingkan bronkodilator kerja
pendek yang diperlukan sesuai kebutuhan, pro re nata (prn) dan karena
itu direkomendasikan.
 Tidak ada bukti untuk merekomendasikan satu kelas bronkodilator long-
acting di atas yang lain untuk meredakan gejala awal pada kelompok
pasien ini. Pada masing-masing pasien, pilihan harus bergantung pada
persepsi pasien tentang meredakan gejala.
 Untuk pasien dengan sesak napas persisten pada monoterapi, penggunaan
dua bronkodilator dianjurkan.
 Untuk pasien dengan terapi awal sesak napas yang berat dengan dua
bronkodilator mungkin ditoleransi.
 Jika penambahan bronkodilator kedua tidak memperbaiki gejala, kami
menyarankan perawatan dapat diturunkan lagi ke bronkodilator tunggal.
 Pasien Grup B cenderung memiliki komorbiditas yang dapat menambah
gejala mereka dan mempengaruhi prognosis mereka, dan kemungkinan
ini harus diselidiki.
Grup C

 Terapi awal harus terdiri dari bronkodilator kerja panjang tunggal. Dalam
dua perbandingan head-to-head, LAMA (long-acting muskarinik
antagonis) yang diuji lebih unggul daripada LABA ( long-acting beta 2
agonis) mengenai pencegahan eksaserbasi, oleh karena itu
direkomendasikan memulai terapi dengan LAMA dalam kelompok ini.
 Pasien dengan eksaserbasi persisten dapat mengambil manfaat dari
penambahan bronkodilator kerja panjang kedua (LABA / LAMA) atau
menggunakan kombinasi beta2-agonis kerja panjang dan kortikosteroid
inhalasi (LABA / ICS). Karena ICS meningkatkan risiko untuk
mengembangkan pneumonia pada beberapa pasien, pilihan utama adalah
LABA / LAMA.
Grup D
 Pada grup D direkomendasikan memulai terapi dengan kombinasi LABA
/ LAMA karena:
1. Dalam studi dengan hasil yang dilaporkan pasien sebagai kombinasi
titik akhir utama LABA / LAMA menunjukkan hasil yang unggul
dibandingkan dengan zat tunggal. Jika bronkodilator tunggal dipilih
sebagai pengobatan awal, LAMA lebih disukai untuk pencegahan
eksaserbasi berdasarkan perbandingan dengan LABA.
2. Kombinasi LABA / LAMA lebih unggul dibandingkan kombinasi
LABA / ICS dalam mencegah eksaserbasi dan hasil lain yang
dilaporkan pasien pada pasien Grup D.
3. Pasien Grup D memiliki risiko lebih tinggi terkena pneumonia saat
menerima pengobatan dengan ICS.
 Pada beberapa pasien terapi awal dengan LABA / ICS mungkin
merupakan pilihan pertama. Pasien-pasien ini mungkin memiliki riwayat
dan / atau temuan sugestif asma-COPD tumpang tindih. Jumlah eosinofil
darah tinggi juga dapat dianggap sebagai parameter untuk mendukung
penggunaan ICS, meskipun ini masih diperdebatkan.
 Pada pasien yang mengembangkan eksaserbasi lebih lanjut pada terapi
LABA / LAMA, kami menyarankan dua jalur alternatif:
1. Eskalasi ke LABA / LAMA / ICS. Studi sedang berlangsung
membandingkan efek LABA / LAMA vs LABA / LAMA / ICS
untuk pencegahan eksaserbasi.
2. Beralih ke LABA / ICS. Namun, tidak ada bukti bahwa beralih dari
LABA / LAMA ke LABA / ICS menghasilkan pencegahan
eksaserbasi yang lebih baik. Jika terapi LABA / ICS tidak
berdampak positif terhadap eksaserbasi / gejala, LAMA dapat
ditambahkan.
 Jika pasien yang diobati dengan LABA / LAMA / ICS masih memiliki
eksaserbasi opsi berikut dapat dipertimbangkan:
1. Tambahkan roflumilast. Ini dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan FEV1 <50% diprediksi dan bronkitis kronis, terutama jika
mereka telah mengalami setidaknya satu rawat inap untuk
eksaserbasi pada tahun sebelumnya.
2. Tambahkan macrolide. Bukti tersedia terbaik untuk penggunaan
azitromisin. Pertimbangan untuk pengembangan organisme resisten
harus diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.
3. Menghentikan ICS. Kurangnya keberhasilam yang dilaporkan,
peningkatan risiko efek samping (termasuk pneumonia) dan bukti
yang menunjukkan tidak ada bahaya yang signifikan dari penarikan
mendukung rekomendasi ini.
Non farmakologi

Edukasi

Berdasarkan GOLD , desain yang dipersonalisasi dapat meliputi:


a. Kelompok A, B, C & D
mengatasi faktor-faktor risiko perilaku, termasuk berhenti merokok,
mempertahankan atau meningkatkan aktivitas fisik, dan memastikan tidur
yang cukup dan diet yang sehat.2
b. Grup B & C
belajar mengelola nafas sendiri, teknik pelestarian energi, dan
strategi manajemen stres.2
c. Kelompok C & D
menghindari faktor-faktor yang memberatkan, memantau dan
mengelola gejala yang memburuk, memiliki rencana aksi tertulis dan
mempertahankan kontak / komunikasi rutin dengan profesional perawatan
kesehatan.2
d. Kelompok D
berdiskusi dengan penyedia perawatan kesehatan mereka tentang
strategi paliatif dan arahan perawatan lanjutan.2
aktivitas fisik
Terdapat bukti bahwa aktivitas fisik menurun pada pasien PPOK. Hal
ini menyebabkan spiral tidak aktif yang mempengaruhi pasien untuk
mengurangi kualitas hidup, peningkatan tingkat rawat inap dan kematian.
Dengan demikian, ada minat yang luar biasa dalam mengimplementasikan
intervensi yang ditargetkan perilaku dengan tujuan meningkatkan aktivitas
fisik dan ini harus didorong. Namun, sebagian besar penelitian yang
dipublikasikan hingga saat ini memberikan sedikit bimbingan, tidak konsisten
dalam teknik, dan tidak memiliki perincian yang diperlukan ( misalnya, jenis,
kuantitas, waktu dan metode pengiriman, alat yang digunakan, metode
jaminan kualitas) untuk mereplikasi penelitian atau menyesuaikan intervensi
untuk perawatan klinis.2
Program rehabilitasi paru
Pasien dengan beban gejala tinggi dan risiko eksaserbasi (Grup B, C
dan D), harus didorong untuk mengambil bagian dalam program rehabilitasi
penuh yang mencakup menetapkan tujuan pasien, dirancang dan disampaikan
secara terstruktur, dengan mempertimbangkan karakteristik PPOK individu
dan komorbiditas.2
Komponen rehabilitasi paru dapat bervariasi tetapi praktik terbaik
berbasis bukti untuk pengiriman program meliputi: pelatihan olahraga yang
terstruktur dan diawasi, berhenti merokok, konseling nutrisi, dan pendidikan
manajemen diri.2
Pelatihan latihan

Kombinasi pelatihan beban konstan atau interval dengan latihan


kekuatan memberikan hasil yang lebih baik daripada hanya satu metode saja.2

Jika memungkinkan, pelatihan olahraga daya tahan hingga 60-80% dari


kerja maksimum atau tingkat detak jantung terbatas yang dibatasi lebih
disukai, dispnea atau skor kelelahan Borg-nilai 4 hingga 6 (sedang sampai
berat) .2

Pelatihan ketahanan dapat dicapai melalui program latihan yang baik


terus menerus atau interval. Yang terakhir melibatkan pasien melakukan
pekerjaan total yang sama tetapi dibagi ke periode singkat latihan intensitas
tinggi, strategi yang berguna ketika kinerja dibatasi oleh komorbiditas
lainnya.2

Penilaian dan tindak lanjut. Penilaian awal dan hasil dari setiap peserta
dalam program rehabilitasi paru harus dilakukan untuk menentukan perilaku
maladaptif individu (termasuk motivasi), hambatan kesehatan fisik dan
mental untuk pelatihan, tujuan, hambatan dan kemampuan dan untuk
mengukur keuntungan dan untuk menargetkan area untuk perbaikan.2

Penilaian harus termasuk:2


1. Riwayat detail dan pemeriksaan fisik.
2. Pengukuran spirometri pasca-bronkodilator.
3. Penilaian kapasitas latihan.
4. Pengukuran status kesehatan dan dampak sesak napas.
5. Penilaian kekuatan otot inspirasi dan ekspirasi dan kekuatan ekstremitas
bawah pada pasien yang menderita pengecilan otot.
6. Diskusi tentang tujuan dan harapan pasien individual
Pendidikan manajemen mandiri
Dasar memungkinkan pasien untuk menjadi mitra aktif dalam
perawatan berkelanjutan mereka adalah untuk membangun pengetahuan dan
keterampilan. Topik yang dianggap sesuai untuk program pendidikan
meliputi: berhenti merokok; informasi dasar tentang COPD; pendekatan
umum untuk terapi dan aspek-aspek tertentu dari perawatan medis (obat-
obatan pernapasan dan perangkat inhalasi); strategi untuk membantu
meminimalkan dyspnea; saran tentang kapan harus mencari bantuan;
pengambilan keputusan selama eksaserbasi; dan memajukan arahan dan
masalah akhir-hidup.2
End of life and palliative care

Tujuan perawatan paliatif adalah untuk meringankan penderitaan pasien


dan keluarga mereka dengan penilaian komprehensif dan perawatan gejala
fisik, psikososial, dan spiritual yang dialami pasien.2
Dukungan nutrisi
Untuk pasien malnutrisi dianjurkan untuk diberikan suplementasi
nutrisi COPD. Hal ini didasarkan pada temuan tinjauan sistematis efek positif
pada berat badan, massa lemak dan massa bebas lemak ketika suplementasi
gizi diberikan sendiri untuk pasien PPOK (terutama jika kekurangan gizi) dan
ketika digunakan sebagai tambahan untuk latihan. Jumlah optimal dan durasi
suplementasi tidak jelas. Pasien yang menerima suplementasi nutrisi
menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan baseline
untuk tes berjalan 6 menit, kekuatan otot pernafasan dan status kesehatan
(hanya pada pasien malnutrisi).2
Terapi oksigen
Terapi oksigen jangka panjang diindikasikan untuk pasien stabil yang
memiliki:2
 PaO2 pada atau di bawah 7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 pada atau di
bawah 88%, dengan atau tanpa hypercapnia dikonfirmasi dua kali selama
periode tiga minggu; atau
 PaO2 antara 7,3 kPa (55 mmHg) dan 8,0 kPa (60 mmHg), atau SaO2 88%,
jika ada bukti hipertensi pulmonal, edema perifer menunjukkan gagal
jantung kongestif, atau polycythemia (hematokrit> 55%).
Setelah ditempatkan pada terapi oksigen jangka panjang (LTOT) pasien
harus dievaluasi kembali setelah 60 hingga 90 hari dengan pengulangan gas
darah arteri (AGD) atau saturasi oksigen sambil menginspirasi tingkat
oksigen atau udara ruangan yang sama untuk menentukan apakah oksigen
bersifat terapeutik. dan masih ditunjukkan, masing-masing.2
Dukungan ventilasi
NIV kadang-kadang digunakan pada pasien dengan COPD stabil yang
sangat berat. NIV dapat dianggap sebagai beberapa penggunaan dalam
kelompok pasien tertentu, terutama pada mereka yang mengalami
hiperkapnea siang hari dan rawat inap baru-baru ini, meskipun tinjauan
sistematis tidak dapat mendukung atau membantah ini.Namun, pada pasien
dengan COPD dan Obstructive sleep apnea ada indikasi yang jelas untuk
tekanan saluran napas positif terus menerus.2
PPOK Eksaserbasi didefinisikan sebagai akut atau memburuknya gejala
pernapasan yang mengharuskan pasien mendapatkan terapi tambahan.2
PPOK eksasebasi diklasifikasikan sebagai:2
1. Ringan (diobati dengan bronkodilator kerja singkat saja, SABA)
2. Sedang (diobati dengan SABA plus antibiotik dan / atau kortikosteroid
oral) atau
3. Berat (pasien memerlukan rawat inap atau mengunjungi ruang gawat
darurat). Eksaserbasi yang berat juga bisa berhubungan dengan gagal
napas akut.
Pengaturan Perawatan
Tujuan pengobatan untuk eksaserbasi PPOK adalah untuk
meminimalkan dampak negatif dari eksaserbasi saat ini dan mencegah
perkembangan gejala selanjutnya. Tergantung pada tingkat keparahan
eksaserbasi dan / atau tingkat keparahan penyakit yang mendasarinya,
eksaserbasi dapat dikelola dengan baik. pengaturan rawat jalan atau rawat
inap. Lebih dari 80% eksaserbasi dikelola secara rawat jalan dengan terapi
farmakologis termasuk bronkodilator, kortikosteroid, dan antibiotik.2
Klasifikasi pasien PPOK eksaserbasi
1. Tidak ada gagal pernafasan
Tingkat pernapasan: 20-30 napas per menit; tidak menggunakan otot
pernafasan aksesori; tidak ada perubahan dalam status mental; hipoksemia
ditingkatkan dengan oksigen tambahan yang diberikan melalui Venturi
mask 28-35% oksigen inspirasi (FiO2); tidak ada peningkatan PaCO2.2
2. Kegagalan pernafasan akut - tidak mengancam nyawa
Tingkat pernapasan:> 30 napas per menit; menggunakan otot
pernafasan aksesori; tidak ada perubahan dalam status mental; hipoksemia
ditingkatkan dengan oksigen tambahan melalui Venturi mask 25-30%
FiO2; hypercarbia i.e., PaCO2 meningkat dibandingkan dengan baseline
atau peningkatan 50-60 mmHg.2
3. Kegagalan pernafasan akut - mengancam jiwa
Tingkat pernapasan:> 30 napas per menit; menggunakan otot
pernafasan aksesori; perubahan akut dalam status mental; hipoksemia
tidak membaik dengan oksigen tambahan melalui masker Venturi atau
membutuhkan FiO2> 40%; hypercarbia i.e., PaCO2 meningkat
dibandingkan dengan baseline atau peningkatan> 60 mmHg atau adanya
asidosis (pH <7,25).2

manajemen eksaserbasi yang berat tetapi tidak mengancam jiwa

1 Menilai tingkat keparahan gejala, gas darah, rontgen dada.

2 Berikan terapi oksigen tambahan, dapatkan gas darah arteri seri, gas darah
vena dan pengukuran oksimeter denyut.

3 Bronkodilator:

a. meningkatkan dosis dan / atau frekuensi bronkodilator short-acting.


b. menggabungkan SABA dan antikolinergik.
c. pertimbangkan penggunaan brononilator yang panjang aktif ketika
pasien menjadi stabil.
d. gunakan spacer atau nebulizers yang digerakkan oleh udara bila perlu.
4 Pertimbangkan kortikosteroid oral

5 Pertimbangkan antibiotik (oral) ketika tanda-tanda infeksi bakteri

6 Pertimbangkan ventilasi mekanis noninvasif

7 selalu :

a. pantau keseimbangan cairan.


b. pertimbangkan subkutaneus heparin atau heparin berat molekul rendah
untuk profilaksis tromboembolisme.
c. mengidentifikasi dan mengobati kondisi terkait.
I. KOMPLIKASI1

1. Gagal nafas

a. Gagal nafas kronik

Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 >60 mmHg dan PH
normal, penatalaksanaan

 Jaga keseimbangan Po2 dan Pco2

 Bronkodilator adekuat

 Terapi oksigen yang adekuat terutama saat aktifitas atau waktu


tidur

 Antioksidan

 Latihan pernafasan dengan pursed lips breathing

b. Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik

Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik di tandai oleh

 Sesak nafas dengan atau tanpa sianosis

 Sputum bertambah dan purulen

 Demam

 Kesadaran menurun

2. Infeksi berulang

Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan


terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang,
pada kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan
menurunnya kadar limfosit darah

3. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai
gagal jantung kanan

J. PENCEGAHAN1

1. Mencegah terjadinya PPOK

 Hindari asap rokok

 Hindari polusi udara

 Hindari infeksi saluran napas berulang

2. Mencegah perburukan PPOK

 Berhenti merokok

 Gunakan obat-obatan adekuat

 Mencegah eksaserbasi berulang

K. KRITERIA RUJUKAN1

PPOK yang memerlukan pelayanan bidang spesialisai adalah :

 PPOK derajat klasifikasi berat

 Timbul pada usia muda

 Sering mengalami eksaserbasi

 Memerlukan terapi oksigen

 Memerlukan terapi bedah paru

 Sebagai persiapan terapi pembedahan

 PPOK dengan komplikasi


BAB III

KESIMPULAN

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara yang bersifat progresif nonrefersibel atau
refersibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya.

Penyakit PPOK ini dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti riwayat
merokok, polusi udara di dalam ruangan atau di luar ruangan, terpapar zat gas di
lingkungan kerja, faktor genetik, umur dan usia, riwayat pertumbuhan dan
perkembangan paru, status sosial ekonomi, riwayat asma dan hiperreaktifitas,
bronkitis kronik, dan adanya infeksi.

Untuk klasifikasi PPOK dapat dibagi menjadi ringan, sedang, berat dan
sangat berat dibagi berdasarkan hasil VEP1 dan pengobatan untuk PPOK
diberikan berdasarkan derajat. Untuk kepentingan tata laksana pasien PPOK
dibagi mejandi grup A,B,C, dan D pembagian klasifikasi ini untuk menentukan
terapi farmakologi pada pasien PPOK selain terapi farmakologi pada pasien
PPOK penting untuk di sampaikan tentang terapi non farmakologis dan cara
menghindari faktor resiko.
Daftar Pustaka

1. Antariksa B, djajalaksana S, pradjnapramita, dkk. PPOK (penyakit paru


obstruktif kronik) Diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia; 2011.

2. Gold Reports 2018. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease -
GOLD.

3. Bickley L S, Szilagyi P G. BATES buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat


kesehatan. 11 ed. Jakarta: EGC; 2015.

Anda mungkin juga menyukai