Manusia selalu mengalami proses belajar di sepanjang rentang hidupnya.
Proses belajar dapat diperoleh mandiri secara tiba-tiba atau melalui sebuah proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran inilah terdapat dua aspek penting yakni belajar dan mengajar. Proses belajar adalah proses untuk menerima dan memahami pengetahuan baru yang diberikan, sedangkan proses mengajar adalah salah satu faktor penunjang seseorang dalam pengajarannya. Mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moral yang cukup berat. Berhasilnya pendidikan pada orang yang diajar sangat bergantung pada pertanggungjawaban orang yang mengajar dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, pengajar perlu tahu mengenai teori-teori mengajar dan konsep megajar. Hal tersebut sangat penting diketahui, agar proses pembelajaran menjadi lebih efektif dan lancar. Ada banyak teori yang berkembang dan mempengaruhi proses mengajar, antara lain teori assosiasi (teori tanggapan), teori Gesalt, dan teori kognitif. Teori Assosiasi (dikemukakan oleh Herbart) mengajar adalah memberikan tanggapan atau pengetahuan seluas-luasnya kepada anak. Tujuannya adalah berfikir, yaitu membuat hubungan antara tanggapan dengan pengetahuan baru ( bahan yang akan diajarkan), dan agar pengajaran dapat diterima maka pengajaran harus tahap demi tahap. Langkah mengajar dengan teori ini, sebagai berikut (1) persiapan; (2) presentasi (penyajian); (3) mengadakan perbandingan dan asosiasi bahan; (4) perumusan/ penyimpulan; (5) aplikasi/penerapan. Teori gestalt atau lebih dikenal dengan teori totalitas berpandangan bahwa manusia menghayati sesuatu perangsang ditanggapi secara keseluruhan, bukan bagian-bagian dari perangsang itu. Mengajar berdasar teori ini adalah memperjelas dan memperinci perangsang totalitas menjadi jelas bagian-bagiannya dan ikatan bagian-bagian itu. Dengan begitu sistematik pengajaran menurut teori ini ialah dari hal yang spesifik menuju pengetahuan yang menyeluruh. Teori kognitif pembelajaran menurut teori belajar kognitif adalah cara guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berfikir agar dapat mengenal dan memahami apa yang sedang dipelajari. Ini sesuai dengan pengertian belajar menurut aliran kognitif yang menekankan pada kemampuan mengenal pada individu yang belajar. Pada umumnya teori ini diterapkan dengan eksperimen/percobaan langsung terhadap hal-hal yang sedang dipelajari. Teori Daya, menurut teori ini jiwa manusia terdiri atas berbagai macam daya, yaitu daya mengenal, merasa., menghayal, mengamati, menyimpan, mereproduksi, mengasosiasikan tanggapan, berkehendak, mengingat dan berfikir. Daya yang dimaksud disini adalah kemampuan di dalan diri individu. Tiap daya dapat dididik dan dilatih sendiri-sendiri secara terpisah. Karenanya menurut teori ini bahan /tugas/ latihan apa saja yang diberikan tidak menjadi problem, maka mengajar berdasarkan teori ini orientasinya memberikan bahan/tugas/latihan sebanyak-banyaknya. Tujuan latihan-latihan itu diberikan sebagai faktor yang mendukung berkembangnya kemampuan yang dimiliki seseorang dalam hidupnya. Teori Behaviorik (Teori Tingkah Laku), menekankan bahwa pembelajaran adalah usaha guru membentuk tingkah laku yang diinginkan dengan menyediakan lingkungan (stimulus). Mengajar juga merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan secara langsung dan teratur yang dilaksanakan agar tercipta kondisi belajar (Billings&Halstead, 1998). Lingkungan yang mendukung dalam proses belajar dapat mengubah pola kebiasaan orang itu dalam belajarnya (Rankin&Stallings, 2001). Sebagai contoh, pengajar menciptakan situasi belajar diskusi (stimulus) agar murid dapat menyelesaikan masalah dengan berbagai sudut pandang (respon yang diinginkan). Teori Vygotsky, menekankan pada hakekat sosiokultural dari pembelajaran. Vygotsky menyatakan bahwa pembelajaran terjadi apabila peserta didik bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun masih berada dalam jangkauan kemampuan (zone of proximal development). Daerah ini terletak antara tingkat perkembangan anak saat ini yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Oleh karenanya, teori ini juga disebut teori perancahan (scaffolding). Tidak hanya mendapatkan bantuan dari orang yang lebih tua, atau teman sebaya, namun diharapkan murid mendapatkan kemampuan bertanggung jawab untuk melakukan tugasnya sendiri melalui proses belajar (Kozier, 1995).
Selain teori-teori mengajar yang disebutkan diatas, dikenal juga konsep
mengajar. Biggs, seorang ahli psikologi membagi konsep mengajar menjadi tiga pengertian. Pertama, pengertian kuantitatif atau transmission of knowledge. Dalam hal ini pengajar memiliki dua tugas utama yaitu memahami materi kemudian menyampaikan kepada peserta didik. Sedangkan keberhasilan dan pemahaman peserta didik bukanlah tanggung jawab dari pengajar. Kedua, pengertian institusional atau the efficient orchestration of teaching skills yakni, penataan segala kemampuan mengajar. Pengajar dalam hal ini dituntut untuk selalu siap mengadaptasikan berbagai teknik mengajar terhadap peserta didik yang memiliki berbagai macam tipe belajar serta berbeda bakat, kemampuan dan kebutuhannya. Ketiga, pengertian kualitatif (the facilitation of learning) yakni upaya membantu memudahkan kegiatan belajar siswa mencari makna dan pemahamannya sendiri. Dalam hal ini pengajar sebagai fasilitator yang membantu dan mendorong peserta didik untuk membuka fenomena-fenomena yang dipelajari serta menemukan makna yang dipelajari sendiri. Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa mengajar bukanlah hal yang mudah untuk mentranmisikan materi pembelajaran kepada peserta didik yang memiliki bakat, kemampuan serta kebutuhan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pendidik dituntut untuk memiliki kemampuan untu mencari jalan keluar yang tepat agar peserta didik dapat memhami apa yang sedang dipelajarinya. Dengan begitu, proses pembelajaran menjadi lebih efektif.
Referensi:
Adrian. (2004). Metode mengajar berdasarkan tipologi belajar siswa. [Online]