Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Anemia hemolitik adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai normal akibat kerusakan sel
eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya. penghancuran
sel eritrosit yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya hiperplasi sumsum tulang sehingga
produksi sel eritrosit akan meningkat dari normal. Hal ini terjadi bila umur eritrosit kurang dari
120 hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan anemia. Namun bila sumsum tulang tidak mampu
mengatasi keadaan tersebut maka akan terjadi anemia.

Anemia terjadi bila serangan hemolysis yang akut tidak diikuti dengan kemampuan yang
cukup dari sumsum tulang untuk memproduksi sel eritrosit sebagai kompensasi, bila sumsum
tulang mampu mengatasi keadaan tersebut diatas sehingga tidak terjadi anemia, keadaan ini
disebut dengan istilah anemia hemolitik kompensata.

Anemia sendiri merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh
dunia. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik yang mempunyai dampak besar terhadap
kesejahteraan social, ekonomi, serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian
sering, anemia terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para
dokter klinik. Maka dari itu perlu dilakukan penanganan yang cepat untuk mengoreksi keadaan
anemia.

Anemia hemolitik berdasarkan etiologinya salah satunya dapat disebabkan oleh defisiensi
G6PD. Pada defisiensi G6PD, maka membran eritrosit akan lebih rentan terhadap stres oksidan
dan akan lebih mudah menimbulkan kerapuhan dikarenakan tidak kuatnya membran dari eritrosit
tersebut. Hemolisis berbeda dengan proses penuaan (senescence), yaitu pemecahan eritrosit karena
memang sudah cukup umurnya. Hemolisis dapat terjadi dalam pembuluh darah (intravaskular)
atau di luar pembuluh darah (ekstravaskular) yang membawa konsekuensi patofisiologik yang
berbeda. Penanganan yang dilakukan juga harus menyesuaikan sumber terjadinya kelainan
patologik tersebut.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Anemia hemolitik adalah suatu keadaan anemia yang terjadi oleh karena meningkatnya
penghancuran dari sel eritrosit yang diikut dengan ketidakmampuan sum-sum tulang dalam
memproduksi sel eritrosit untuk mememenuhi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel
eritrosit.
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses hemolisis. Hemolisis adalah
pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya (sebelum masa hidup rata-rata
eritrosit yaitu 120 hari). Hemolisis berbeda dengan proses penuaan (senescence), yaitu pemecahan
eritrosit karena memang sudah cukup umurnya. Hemolisis dapat terjadi dalam pembuluh darah
(intravaskular) atau di luar pembuluh darah (ekstravaskular) yang membawa konsekuensi
patofisiologik yang berbeda.
Pada orang dengan sumsum tulang yang normal, hemolisis pada darah tepi akan direspon
oleh tubuh dengan peningkatan eritropoiesis dalam sumsum tulang. Kemampuan maksimum
sumsum tulang untuk meningkatkan eritropoiesis adalah 6-8 kali normal. Apabila derajat
hemolisis tidak terlalu berat (pemendekan masa hidup eritrosit sekitar 50 hari) maka sumsum
tulang masih mampu melakukan kompensasi sehingga tidak timbul anemia. Keadaan ini disebut
sebagai keadaan hemolisis terkompensasi (compensated hemolytic state). Akan tetapi, jika
kemampuan kompensasi sumsum tulang dilampaui makan akan terjadi anemia yang kita kenal
sebagai anemia hemolitik.

2.2 Etiologi

Pada prinsipnya anemia hemolitik dapat terjadi karena:


1. Defek molecular: hemoglobinopati atau enzimopati;
2. Abnormalitas struktur dan fungsi membrane-membran;
3. Faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi.

2
Anemia hemolitik dapat disebabkan oleh 2 faktor yang berbeda yaitu faktor intrinsik &
faktor ekstrinsik:
1. Faktor Intrinsik: kelainan yang terjadi pada sel eritrosit. Kelainan karena faktor ini
dibagi menjadi tiga macam yaitu:
a. Karena kekurangan bahan baku pembuat eritrosit
b. Karena kelainan eritrosit yang bersifat kongenital contohnya thalasemia &
sferosis kongenital
c. Abnormalitas dari enzim dalam eritrosit
2. Faktor Ekstrinsik: kelainan yang terjadi karena hal-hal diluar eritrosit.
a. Akibat reaksi non imumitas: karena bahan kimia / obat
b. Akibat reaksi imunitas: karena eritrosit yang dibunuh oleh antibodi yang
dibentuk oleh tubuh sendiri.

2.3 Klasifikasi

Berdasarkan ketahanan hidupnya dalam sirkulasi darah resipien, anemia hemolitik


dapat dikelompokkan menjadi:
1. Anemia hemolisis intrakorpuskular.
- Sel eritrosit pasien tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang
kompatibel, sedangkan sel eritrosit kompatibel normal dapat bertahan hidup di sirkulasi
darah pasien.
- Intracorpuscular Defects:
Herediter Didapat
Hemoglobinopati
Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria
Enzimopati
(PNH)
Defek membrane-sitoskeletal

2. Anemia hemolysis ekstrakorpuskular


- Sel eritrosit pasien dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibel,
tetapi sel eritrosit kompatible normal tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah
pasien.

3
- Extracorpuscular Factors:
Herediter Didapat
Mikroangiopati
Agen toksik
Familial (Atypical) hemolytic-uremic
Obat-obatan
syndrome
Infeksi
Autoimun

2.4 Patofisiologi, Manifestasi Klinis, dan Diagnosis Berdasarkan Klasifikasi Anemia


Hemolitik Non-Imun

Hemolisis dapat terjadi intravascular dan ekstravaskular. Hal ini tergantung pada patologi
yang mendasari suatu penyakit. Pada hemolisis intravaskular, destruksi eritrosit terjadi langsung
di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik, fiksasi komplemen dan aktivasi sel permukaan
atau infeksi yang langsung mendegradasi dan mendestruksi membran sel eritrosit. hemolisis
intravaskular jarang terjadi.
Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskular. Pada hemolisis
ekstravaskular destrusi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena sel ertrosit yang
telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga
difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.

2.4.1 Gangguan Intrakorpuskuler


Anemia hemolitik karena faktor di dalam eritrosit sendiri (intrakorpuskuler), yang sebagian
besar bersifat herediter-familier
A. Herediter-Familier
1. Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
a. Sferositosis Herediter
o Merupakan anemia hemolitik herediter diturunkan secara autosom dominan,
disebabkan cacat protein struktural dari membran sel darah merah/ defek
membran. Sumsum tulang membuat sel darah merah normal yang bikonkaf

4
tetapi sel darah kehilangan membrannya saat beredar melalui limpa dan sistem
RES.
o Gambaran eritrosit bulat seperti donat dengan fragilitas osmotik yang
meningkat. Ratio permukaan sel terhadap volume berkurang dan sel menjadi
lebih sferis sehingga kurang elastic melalui mikrosirkulasi dimana sferosit
pecah lebih dini.
o Gejala klinis: anemia, splenomegali, ikterus, batu empedu berpigmen,
hiperplasia sel eritroid sumsum tulang, eritroposiesis ekstra meduler di
paravertebral, MCV normal/sedikit menurun, MCHC meningkat (350-400 g/dl)
o Pemeriksaan Uji Coombs untuk membedakan sferositosis dengan sel sferosit
pada anemia hemolitik autoimun
o Laboratorium: Fragilitas osmotik meningkat, autohemolitik meningkat,
Coomb’s direst test negatif, Cr51 destruksi oleh limpa terbanyak
o Gambaran mikroskopik Sferositosis

b. Elipsitosis Herediter
o Terjadi karena kelemahan secara mekanis yang berakibat meningkatnya
fragilitas osmotik membran eritrosit. Kelainan ini diturunkan secara autosomal
dominan.
o Gejala klinis bervariasi, dari tanpa gejala sampai anemia berat. Hemolisis yang
terjadi dipicu adanya infeksi, hipersplenisme, defisiensi vit B12 atau adanya
KID.
o Gambaran eritrosit bentuk elips menyerupai puntung rokok. Dapat pula
dijumpai bentuk oval, spherosit, stomasit dan fragmen.

5
o Gambaran mikroskopik Elliptocytosis

2. Gangguan metabolism/enzim eritrosit (enzimopati)


a. Defek pada jalur heksosa monofosfat
o Defisiensi G-6PD (glucose-6 phosphate dehydrogenase) & Defisiensi glutation
reduktase
o Defisiensi G6PD diturunkan secara sex-linked, mengenai laki – laki dan
didapatkan pada wanita yang memperlihatkan kadar G6PD sel darah merahnya
setengah normal.
o Merupakan hemolisis intravaskuler yang berkembang cepat dengan faktor
pencetus infeksi dan penyakit akut lain, obat-obatan dan kacang fava. Defisiensi
enzim dideteksi dengan tes penyaring pemeriksaan enzim G6PD pada sel darah
merah.
o G6PD normal disebut tipe B. G6PD yang bermakna secara klinik adalah tipe
A-, dimana massa eritrosit menurun hanya 25-30%.
o Gambaran darah tepi saat krisis: sel krenasi, sel fragmen, sel gigitan/bite, dan
sel lepuh/blister. Heinz Bodies/hemoglobin teroksidasi terdenaturasi tampak
pada retrikulosit, terutama pada saat splenektomi.

6
b. Defek jalur Embden-Meyerhoff
o Enzim yang terganggu pada jalur ini adalah piruvat kinase (95%), glukosa
fosfat isomerase (4%) dan fosfogliserat kinase.
o Defek enzim glikolisis ini biasanya diturunkan secara resesif otosomal
homozigot. Sel darah merah lisis karena pembentukan ATP berkurang. Anemia
ringan dengan hemoglobin 4-10g/dl disebabkan pergeseran kurva disosiasi O2
ke kanan akibat kenaikan 2,3 DPG dalam sel.
o Anemia pada pasien ini berupa anemia normositik (makrositik ringan)
normokrom dengan retikulosit. Pada defisiensi piruvat kinase dapat ditemukan
eritrosit bizar diantaranya sel prickle terutama setelah splenektomi
o Pemeriksaan Laboratorium: Autohemolisis meningkat. Diagnosis pasti dengan
pemeriksaan jumlah enzim PK.

3. Gangguan pembentukan hemoglobin (hemoglobinopati)


a. Hemoglobinopati structural (kelainan struktur asam amino pada rantai alfa atau
beta: HbC, HbD, HbE, HbS, unstable Hb, dll
b. Sindrom Thalassemia (gangguan sintesis rantai alfa atau beta), Thalasemia alfa,
beta, dll
c. Heterosigot ganda hemoglobinopati dan thalassemia Thalassemia-HbE, dll

B. Didapat
1. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH)
o PNH adalah anemia hemolitik yang jarang terjadi, yang menyebabkan serangan
mendadak dan berulang dari penghancuran sel darah merah oleh sistem
kekebalan. Penghancuran sejumlah besar sel darah merah yang terjadi secara
mendadak (paroksismal), bisa terjadi kapan saja, tidak hanya pada malam hari
(nokturnal), menyebabkan hemoglobin tumpah ke dalam darah
(hemoglobinemia). Ginjal menyaring hemoglobin, sehingga air kemih berwarna
gelap (hemoglobinuria).

7
o Penyebabnya adalah defisiensi enzim PIG-A (phosphatidylinositol glycon class
A) yang diperlukan untuk sintesis protein pengikat sel, sehingga memudahkan
penghancuran sel darah.
o Manifestasi yang sering terjadi adalah anemia hemolitik, trombosis vena dan
gangguan hematopoiesis yang ditandai dengan granulositopenia dan
trombositopenia. Penyakit ini bisa menyebabkan kram perut atau nyeri punggung
yang hebat dan pembentukan bekuan darah dalam vena besar dari perut dan
tungkai. Peningkatan LDH juga dapat ditemukan.

2.4.2 Gangguan Ekstrakorpuskuler


Anemia hemolitik karena factor di luar eritrosit (ekstrakorpuskuler), yang bersifat herediter
dan sebagian besar bersifat didapat (acquired)

A. Herediter-Familier
1. Familial Hemolytic Uremic Syndrome
o Defisiensi atau defek faktor komplemen H yang bertugas mencegah kerusakan
sel melalui jalur alternatif komplemen, dikarenakan adanya mutasi pada gen
faktor H yang dapat diturunkan secara reserif dan dominan.
o Manisfestasi klinis: Lesi arteriol pada ginjal, anemia hemolitik, trombositopenia
purpura, gagal ginjat akut oligurik, hemoglobinuria atau anuria

B. Didapat
1. Mikroangipatik
Terjadi kerusakan membran sel eritrosit secara mekanik dalam sirkulasi darah
karena adanya fibrin atau mikrotombi trombosit yang tertimbun di arteriol. Sel
eritrosit terperangkap dalam jala-jala fibrin dan mengakibatkan terfragmentasinya
sel eritrosit.
a. Mikroangiopati Trombotik
o Sumbatan mikrovaskular yang terjadi karena agregasi trombosit sistemik atau
intrarenal, disertai adanya trombositopenia dan trauma mekanik sel eritrosit.

8
o Perbedaan tipe mikroangiopati trombotik:

Tipe Sebab Presentasi Klinis


Trombus trombosit Kegagalan degradasi Thrombotic
sistemik faktor von Wilebrand Trombocytopenia
multimer besar yang Purpura
tidak biasa
Trombus trombosit- Pajanan dengan toksin Klasik, kanak-kanak
fibrin predominan di Shiga atau Hemolytic Uremic
ginjal Syndrome yang
berhubungan dengan E.
Coli
Defek faktor H plasma Hemolytic Uremic
Syndrome Familial
(atau rekuren)
Trombus renal atau Transplantasi atau Hemolytic Uremic
sistemik obat (mytomicin, Syndrome atau
cyclosporin, Thrombotic
tacrolimus, quinine) Trombocytopenia
Purpura

i. Thrombotic Trombocytopenia Purpura (TTP)


 Ditandai dengan agregasi trombosit pada arteriol berbagai organ yang
mengakibatkan trombositopenia dan memicu kerusakan sel eritrosit yang
mengalami fragmentasi (schistocytes atau sel helmet). Eritrosit yang
mengalami fragmentasi terjadi karena adanya aliran darah melalui area
turbulen dan mikrosirkulasi mengalami oklusi parsial karena agregasi
trombosit.
 Manifestasi Pentad TTP: anemia hemolitik dengan fragmentasi eritrosit,
trombositopenia, kelainan neurologik fokal atau difus, penurunan fungsi

9
ginjal dan demam. Disertai skistositosis dan peningkatan LDH. Proteinuria
dan peningkatan BUN bila terjadi gagal ginjal.
 Terdapat TTP Familial dan Idiopatik
ii. Hemolytic Uremic Syndrome (HUS)
 Diare berdarah ± 1 minggu yang disebabkan oleh E. coli yang menghasilkan
toksin Shiga 1 & 2 dan Shigela dysentriae yang menghasilkan toksin Shiga,
yang sering mengkontaminasi daging, susu, dan keju yang tidak dimasak
dengan matang.
 Manisfestasi klinis: Lesi arteriol pada ginjal, anemia hemolitik,
trombositopenia purpura, gagal ginjat akut oligurik, hemoglobinuria atau
anuria
b. Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID)
o Terjadi karena aktivasi sistem koagulasi yang tidak sesuai yang dipicu
deposisi fibrin pada dinding pembuluh darah kecil yang dapat menyebabkan
fragmentasi eritrosit pada seperempat pasien KID.
2. Bahan kimia dan fisik
a. Obat
b. Bahan kimia dan rumah tangga
c. Luka bakar luas
3. Infeksi mikroorganisme
Mikroosrganisme memiliki mekanisme yang bermacam-macam saat
menginfeksi eritrosit. Ada yang secara langsung menyerang eritrosit seperti malaria,
babesiosis dan bartonellosis; melalui pengeluaran toksin hemolisis oleh Clostridium
perfringens, pembentukan antibodi atau otoantibodi terhadap eritrosit; dapat pula
dengan deposit antigen mikroba atau reaksi kompleks imun pada eritrosit.
a. Malaria
i. Penghancuran eritrosit pada infeksi malaria disebabkan lisisnya
eritrosit akibat infeksi langsung, peningkatan proses penghancuran
eritrosit yang mengandung parasit dan proses autoimun. Proses
penghancuran sel darah merah sebagian besar berlangsung di limpa

10
ii. Laboratorium: temuan parasit pada pulasan darah tebal atau sekuens
parasit malaria pada analisis DNA.
b. Bartonellosis
i. Infeksi yang disebabkan oleh Bartonella baciliformis yang melekat
pada permukaan sel eritrosit. Eritrosit yang terinfeksi mengalami
indentasi, invaginasi serta terbentuknya saluran, dan dengan cepata
dihancurkan oleh hati dan limpa. Anemia hemolitik akut terjadi pada
saat demam “Oroya” dimana dengan cepat jumlah eritrosit
mengalami penurunan sampai 750.000/uL
ii. Laboratorium: temuan B. baciliformis pada sel eritrosit dengan
pewarnaan Giemsa, berbentuk batang berwarna merah jingga
c. Babesiosis
i. Babesia merupakan protozoa intra eritrosit, yang ditularkan melalui
gigitan kutu rambut, yang dapat menginfeksi hewan ternak maupun
hewan liar. Pada manusia ditularkan melalui gigitan kuku dan
transfusi darah.
ii. Laboratorium: temuan parasit Babesia pada pulasan darah tebal
dengan pewarnaan Giemsa. Uji serologi dengan antibodi terhadap
Babesia serta uji PCR dapat membantu penegakkan diagnosis.
4. Hipersplenisme
Proses penghancuran sel darah yang berlebihan oleh limpa. Hal ini terjadi
ketika ukuran limpa mengalami peningkatan baik sel maupun jaringan atau desakan
pembuluh darah. Keadaan ini meningkatkan peran fungsi penyaring, sehingga sel darah
normal pun akan mengalami perlabatan serta proses penghancuran sementara.
Hiperslenisme mumnya dihubungkan dengan keadaan splenomegali, menyebabkan
terjadinya sitopenia yang berakibat terjadinya kompensasi hiperplasi sumsum tulang.

11
2.5 Patofisiologi, Manifestasi Klinis, dan Diagnosis dan Prognosis Berdasarkan
Klasifikasi Anemia Hemolitik Autoimun (AIHA)

Anemia hemolitik autoimun (AIHA) terjadi ketika terdapat autoantibodi yang berikatan
dengan eritrosit, sehingga menghancurkan sel darah merah dan berujung pada manifestasi anemia.
Anemia hemolitik autoimun menandakan adanya kegagalan dalam mekanisme pengenalan antigen
diri.
Mekanisme spesifik dari AIHA sendiri belum jelas sampai saat ini. Sindrom AIHA secara
umum dibagi berdasarkan hubungan antara aktivitas antibodi dan suhu. Antibodi tipe hangat yaitu
molekul IgG mempunyai afinitas maksimal pada eritrosit di suhu tubuh. Sedangkan antibodi tipe
dingin yaitu molekul IgM, mempunyai afinitas maksimal pada eritrosit di suhu rendah.
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibody ini terjadi melalui:
1. Aktivasi sistem komplemen.
Secara keseluruhan aktifasi system komplemen akan menyebabkan hancurnya
membrane sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler yang ditandai dengan
hemoglobinemia dan hemoglobinuri.
System komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternative.
antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1,
IgG2, IgG3, IgM disebut sebagai agglutinin tipe dingin, sebab antibody ini berikatan
dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah pada suhu dibawah suhu tubuh.
Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel
eritrosit pada suhu tubuh.
a. Aktivasi komplemen jalur klasik.
Reaksi diawali dengan aktivasi C1 suatu protein yang dikenal sebagai
recognition unit. C1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibody danj
menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen
C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b, 2b (dikenal sebagai
C3-convertase). C4b, 2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b
mengalami perubahan konformational sehingga mampu berikatan secara kovalen
dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel
antibody). C3 juga akan membelah menjadi C3d, g, dan C3c. C3c dan C3g akan

12
tetap berikatan pada membrane sel darah merah dan merupakan produk final
aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b3b2b (C5
konvertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b
yang berperan dalam kompleks penghancur membrane. Kompleks penghancur
membrane terdiri dari molekul C5b, C6, C7, C8, dan beberapa molekul C9.
kompleks ini akan menyisip ke dalam membrane sel sebagai suatu aluran
transmembran sehingga permeabilitas membrane normal akan terganggu.air dan
ion akan masuk kedalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur.
b. Aktifasi komplemen jalur alternative.
Aktivator jalur alternative akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan
berikatan dengan membrane sel darah merah. Factor B kemudian akan melekat
pada C3b, dan oleh D faktor B dipecah menjadi Bad an Bb. Bb meruipakan suatu
protease serin, dan tetap melekat pada pada C3b. Ikatan C3Bb selanjutnya akan
memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b
dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5b berperan dalam
penghancuran membrane.

2. Aktivasi seluler yang menyebabkan hemolisis ekstravaskuler.


Jika sel darah disensitasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen atau
berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih
lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihanmcurkan oleh sel-sel retikuloendotelial.
proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai
sel immunoadherence, terutama diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.

2.5.1 Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat

Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi bereaksi secara
optimal pada suhu 37°C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai penyakit lain.
Eritrosit biasanya dilapisi oleh immunoglobulin (IgG) saja atau dengan komplemen, dan karena
itu, diambil oleh makrofag retikuloendotelial yang mempunyai reseptor untuk fragmen Fc IgG.
Bagian dari membran yang terlapis hilang sehingga sel menjadi makin sferis secara progresif untuk

13
mempertahankan volume yang sama dan akhirnya dihancurkan secara prematur, terutama di limpa.
Jika sel dilapisi IgG dan komplemen (C3d, fragmen C3 yang terdegradasi) atau komplemen saja,
destruksi eritrosit menjadi lebih banyak dalam sistem retikuloendotelial.
a) Gejala Klinis:
Penyakit ini dapat terjadi pada semua usia dan semua jenis kelamin, timbul sebagai
anemia hemolitik dengan keparahan yang bervariasi. Limpa seringkali membesar. Penyakit
ini cenderung mengalami remisi dan relaps; dapat timbul sendiri atau disertai penyakit lain,
atau muncul pada beberapa pasien akibat terapi metildopa.
Awitan penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan
demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri
abdomen, dan anemia berat. Urin berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuria. Ikterik
terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik splenomegali terjadi pada 50-60%,
Hepatomegali terjadi pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25%
pasien tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi.
b) Laboratorium:
Pada pemeriksaan dan biokimia dapat ditemukan sifat khas pada anemia hemolitik
ekstravaskular dengan sferositosis yang menonjol dalam darah tepi. Hemoglobin sering
dijumpai di bawah 7 g/dl. Pemeriksaan Coomb direk biasanya positif. Autoantibodi tipe
hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel eritrosit.
Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan semua sel eritrosit normal.
Autoantibodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien
sendiri, biasanya antigen Rh.
c) Prognosis:
Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar
memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik, namun terkendali. Survival 10
tahun berkisar 70%. Anemia, DVT, emboli paru, infark limpa, dan kejadian kardiovaskular
lain 14ias terjadi selama periode penyakit aktif. Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar 15-
25%. Prognosis pada AIHA sekunder tergantung penyakit yang mendasari.

14
2.5.2 Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Dingin

Pada tipe ini, autoantibodi, baik monoklonal (seperti pada sindrom hemaglutinin dingin
idiopatik atau yang terkait dengan penyakit limfoproliferatif) atau poliklonal (seperti sesudah
infeksi) melekat pada eritrosit terutama di sirkulasi perifer dengan suhu darah yang mendingin.
Antibodi biasanya adalah IgM dan paling baik berikatan dengan eritrosit pada suhu 4°C. Antibodi
IgM sangat efisien dalam memfiksasi komplemen dan dapat terjadi hemolisis intrvaskular dan
ekstravaskular. Komplemen sendiri biasanya terdeteksi pada eritrosit, antibodinya telah
mengalami elusi dari sel pada bagian sirkulasi yang lebih hangat. Pada hampir semua tipe ini,
antibodi ditujukan pada antigen „I‟ di permukaan eritrosit.
a) Gejala Klinis:
Gambarin klinis dapat dilihat pada pasien anemia hemolitik kronik yang diperburuk
oleh dingin dan seringkali disertai dengan hemolisis intravascular. Dapat terjadi ikterus
ringan dan splenomegali. Pasien dapat menderita akrosianosis di ujung hidung, telinga,
jari-jari tangan dan kaki yang disebabkan oleh aglutinasi eritrosit dalam pembuluh darah
kecil. Hemolisis berjalan kronik. Anemia biasanya ringan dengan Hb 9-12 g/dl.
b) Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya Anemia ringan, sferositosis,
polikromatosia. Tes Coombs langsung memperlihatkan komplemen (C3d) saja pada
permukaan eritrosit, dan gambaran eritrosit yang beraglutinasi dalam suhu dingin.
c) Prognosis
Pasien dengan sindrom kronik akan memiliki survival yang baik dan cukup stabil.

2.5.3 Anemia Hemolitik Imun Diinduksi Obat

Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat yaitu:


hapten/penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan kompleks ternary
(mekanisme kompleks imun tipe innocent bystander), induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap
eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin. Penyerapan/absorbsi protein non-
imunologis terkait obat akan menyebabkan tes coombs positif tanpa kerusakan eritrosit.

15
Pada mekanisme hapten/absorbsi obat, obat akan melapisi eritrosit dengan kuat. Antibodi
terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat pada permukaan eritrosit. Eritrosit yang
teropsonisasi oleh obat tersebut akan dirusak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrosit
hanya bereaksi dengan reagen yang mengandung eritrosit berlapis obat yang sama (misal
penisilin).
Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau metabolit obat, tempat
ikatan obat permukaan sel target, antibodi, dan aktivasi komplemen. Antibodi melekat pada
neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah, dan
antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat ataupun membrane eritrosit. Beberapa
antibodi itu memiliki spesifisitas terhadap antigen golongan darah tertentu. Pemeriksaan coombs
biasanya positif. Setelah aktivasi komplemen terjadi hemolisis intravaskular, hemoglobinemia,
dan hemoglobinuria. Mekanisme ini terjadi pada hemolisis akibat obat kinin, kuinidin,
sulfonamide, sulfonylurea, dan tiazid.
Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit autolog, seperti
contoh metildopa. Metildopa yang bersirkulasi dalam plasma akan menginduksi autoantibodi
spesifik terhadap antigen Rh pada permukaan sel darah merah. Jadi yang melekat pada permukaan
sel darah merah adalah autoantibodi, sedangkan obat tidak melekat. Mekanisme bagaimana
induksi formasi autoantibodi ini tidak diketahui.
Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh karena hemoglobin mengikat
oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat oksidatif. Eritrosit
yang tua makin mudah mengalami trauma oksidatif. Tanda hemolisis karena proses oksidasi
adalah dengan ditemukannya methemoglobin, sulfhemoglobin, dan Heinz bodies, blister cell, bites
cell dan eccentrocytes. Contoh obat yang menyebabkan hemolisis oksidatif ini adalah
nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid. Pasien yang mendapat terapi sefalosporin
biasanya tes coombs positif karena absorbsi non-imunologis, immunoglobulin, komplemen,
albumin, fibrinogen, dan plasma protein lain pada membran eritrosit.
a) Gambaran klinis
Adanya riwayat pemakaian obat tertentu. Pasien yang timbul hemolisis melalui mekanisme
hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi sebagai hemolisis ringan sampai sedang. Bila
kompleks ternary yang berperan maka hemolisis akan terjadi secara berat, mendadak, dan

16
disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah
dapat terjadi pada pemajanan dengan dosis tunggal.
b) Laboratorium:
Anemia, retikulositosis, MCV tinggi, tes coombs positif, leukopenia, trombositopenia,
hemoglobinemia, hemoglobinuria sering terjadi pada hemolisis yang diperantarai kompleks
ternary.

2.5.4 Anemia Hemolitik Aloimun karena Transfusi

Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi transfusi akut yang disebabkan karena
ketidaksesuaian ABO eritrosit (sebagai contoh transfusi PRC golongan A pada pasien golongan
darah O yang memiliki antibodi IgM Anti-A pada serum) yang akan memicu aktivasi komplemen
dan terjadi hemolisis intravaskular yang akan menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa
menit pasien akan sesak nafas, demam, nyeri pinggang, menggigil, mual, muntah, dan syok.
Reaksi transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah transfusi, biasanya disebabkan karena adanya
antibodi dalam kadar rendah terhadap antigen minor eritrosit. Setelah terpapar dengan sel-sel
antigenik, antibodi tersebut meningkat pesat kadarnya dan menyebabkan hemolisis ekstravaskular.

2.6 Diagnosis Anemia Hemolitik

Untuk menegakkan diagnostik anemia hemolitik dan penyebabnya maka kita harus
berpatokan pada dua keadaan yang berbeda yaitu:
1. Menentukan ada tidaknya anemia hemolitik, yaitu:
a. Adanya tanda-tanda penghancuran serta pembentukan sel eritrosit yang berlebihan
pada waktu yang sama.
b. Terjadi anemia yang persisten yang diikuti dengan hipereaktivitas dari sistem
eritropoesis.
c. Terjadi penurunan kadar hemoglobin dengan sangat cepat tanpa bisa diimbangi
dengan eritropoesis normal.
d. Adanya tanda-tanda hemoglobinuria atau penghancuran eritrosit intravaskular.

17
2. Menentukan penyebab spesifik dari anemia hemolitik, yaitu dengan mendapatkan
informasi dari anamnesa yang tepat dan cermat terhadap pasien serta dari basil
pemeriksaan sediaan apus darah tepi Clan Antiglobulin Test (Coomb’s Test), dari data ini
dapat kita bedakan lima grup pasien yaitu:
a. Anemia hemolitik yang disebabkan oleh adanya exposure terhadap infeksi, zat
kimia dan kontak fisik
b. Hasil pemeriksaan Coomb’s Test positif menunjukan Anemia Hemolitik Autoimune
(AlHA)
c. Hasil pemeriksaan Coomb’s Test negatif kemungkinan adanya anemia hemolitik
spherositik yaitu pada hereditary spherositosis
d. Kelainan morfologi sel eritrosit yang spesifik: elliptositosis dan sickle sel anemi
e. Golongan pasien dengan Coomb’s test negatif dan tidak adanya kelainan morfologi
eritrosit yang spesifik, hal ini perlu pemeriksaan tambahan yaitu Hemoglobin
elektroforese dan heat denaturation test untuk unstable hemoglobin diseases. Bila
hasil pemeriksaan laboratorium tersebut diatas menunjukan hasil normal maka
diagnosis anemi hemolitik menjadi sulit, kelainan enzym-enzym eritrosit
merupakan penyakit yang sangat jarang kali dijumpai, namun perlu dilakukan
pemeriksaan enzym eritrosit tersebut diantaranya yaitu enzim Glukose 6- phosphat
dehydrogenase dengan pemeriksaan secara enzimatik.

2.7 Temuan Laboratorium pada Anemia Hemolitik

Secara garis besar kemungkinan anemia hemolitik dapat kita pertimbangkan bila pada
pemeriksaan laboratorium dijumpai adanya beberapa kelainan seperti tersebut dibawah ini yaitu:
1. Adanya tanda-tanda peningkatan proses penghancuran dan pembentukan sel eritrosit
yang berlebihan.
2. Kelainan laboratorium yang hubungannya dengan meningkatnya kompensasi dalam
proses eritropoesis.
3. Adanya beberapa variasi yang penting terutama dalam membuat diagnosis banding dari
anemia hemolitik. Kelainan laboratorium yang menunjukkan adanya tanda-tanda

18
meningkatnya proses penghancuran dan pembentukan sel eritrosit yang berlebihan
dapat kita lihat berupa:
a. Berkurangnya umur sel eritrosit. Umur eritrosit dapat diukur dengan
menggunakan Cr-Labeled eritrosit, pada anemia hemolitik umur eritrosit dapat
berkurang sampai 20 hari. Meningkatnya penghancuran eritrosit dapat kita lihat
dari tingkat anemia, ikterus dan retikulositosis yang terjadi, oleh sebab itu
pemeriksaan umur eritrosit ini bukan merupakan prosedur pemeriksaan rutin
untuk menegakkan diagnosis anemia hemolitik.
b. Meningkatnya proses pemecahan heme, ditandai dengan adanya:
i. Meningkatnya kadar billirubin indirek darah.
ii. Meningkatnya pembentukan CO yang endogen
iii. Meningkatnya kadar billirubin darah (hiperbillirubinemia)
iv. Meningkatnya ekskresi urobillinogen dalam urin, urin kuning pekat
v. Strekobilinogen feses meningkat, pigmen feses menghitam
c. Peningkatan produksi eritrosit ditandai dengan:
i. retikulositosis, mikroskopis pewarnaan supravital
ii. hiperplasia eritropoesis sum-sum tulang
4. Meningkatnya kadar enzim Lactat Dehydrogenase (LDH) serum
a. Enzim LDH banyak dijumpai pada sel hati, otot jantung, otak dan sel eritrosit,
kadar LDH dapat mencapai 1200 U/ml.
b. Isoenzim LDH-2 lebih dominan pada anemia hemolitik sedang isoenzim LDH-
1 akan meninggi pada anemia megaloblastik.
5. Adanya tanda-tanda hemolisis intravaskular diantaranya yaitu:
a. Hemoglobinemia (meningkatnya kadar Hb plasma).
b. Tidak adanya/rendahnya kadar haptoglobulin darah.
c. Hemoglobinuria (meningkatnya Hb urin).
d. Hemosiderinuria (meningkatnya hemosiderin urin).
e. Methemoglobinemia.
f. Berkurangnya kadar hemopexin serum

19
Kelainan laboratorium yang selalu dijumpai sebagai akibat meningkatnya proses
eritropoesis dalam sumsum tulang diantaranya yaitu:
1. Pada darah tepi bisa dijumpai adanya:
a. Retikulositosis (polikromatopilik, stipling)
Sel retikulosit merupakan sel eritrosit yang masih mengandung ribosom,
pemeriksaannya dilakukan dengan menggunakan pengecatan Brelian Cresiel
Blue (BCB), nilai normal berkisar antara 0,8–2,5 % pada pria dan 0,8–4,1 %
pada wanita, jumlah retikulosit ini harus dikoreksi dengan rasio
hemoglobin/hematokrit (Hb/0.45) sedang jumlah retikulosit absolut dapat
dihitung dengan mengkalikan jumlah retikulosit dengan jumlah eritrosit. Perlu
juga dihitung Retikulosit Production Index (RPI) yaitu:

𝑅𝑒𝑡. % 𝐻𝑡. 𝑃𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛


𝑅𝑃𝐼 = ×
𝑅𝑒𝑡. 𝑀𝑎𝑡𝑢𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑇𝑖𝑚𝑒 0,45

b. Makrositosis
c. Sel eritrosit dengan ukuran lebih besar dari normal, yaitu dengan nilai Mean
Corpuscular Volume (MCV) > 96 fl.
d. Eritroblastosis
e. Leukositosis dan trombositosis
2. Pada sumsum tulang dijumpai adanya eritroid hiperplasia
3. Ferrokinetik:
a. Meningkatnya Plasma Iron Turnover ( PIT )
b. Meningkatnya Eritrosit Iron Turnover ( EIT )
4. Biokimiawi darah:
a. Meningkatnya kreatin eritrosit
b. Meningkatnya aktivitas dari enzim eritrosit tertentu diantaranya yaitu:
urophorphyrin syntese, hexokinase, SGOT.

Tanda-tanda laboratorium lain yang digunakan untuk membuat diagnosis banding


diantaranya yaitu:

20
1. Kelainan bentuk sel eritrosit pada pemeriksaan sediaan apus darah tepi yang sering kita
lihat adalah bentuk:
a. Sel Spherosit: biasanya pada hereditary spherositosis immunohemolitik anemia
didapat, thermalinjury, hypophosphatemia, keracunan zat kimia tertentu.
b. Sel Akantosit, kelainan pada komposisi zat lemak sel eritrosit yaitu pada
abetalipoproteinemia.
c. Sel Spur biasanya ditemukan pada keadaan sirosis hati.
d. Sel Stomatosit, ada hubungannya dengan kation eritrosit jarang pada keadaan
penyakit hemolitik yang diturunkan biasa terjadi pada keracunan alcohol.
e. Sel Target, spesifik untuk: penyakit thalassemia, LCAT defisiensi dan post-
splenektomi.
f. Elliptocyte bentuk eritrositnya oval.
g. Sickle Cell.
h. Schistocyte, Helmet Bel dan fragmentosit sel, biasanya ada hubungannya
dengan trauma pada sel eritrosit.
2. Eritrophagositosis, merupakan kelainan yang jarang yaitu adanya fagositik sel yang
mengandung eritrosit hal ini memberi kesan adanya kerusakan pada permukaan sel
eritrosit terutama oleh adanya induced komplement fixing antibody, protozoa, infeksi
bakteri dan keracunan zat kimia tertentu.
3. Autoaglutinasi, hal ini merupakan karakteristik utama dari adanya penyakit cold
aglutinin immunohemolitik, autoaglunatinasi harus dibedakan dengan rouleaux
formation yang sering kita jumpai pada multiple mieloma dan hal ini sering diikuti
dengan peningkatan laju endap darah (LED)
4. Osmotic Fragility Test yaitu mengukur ketahanan sel eritrosit untuk menjadi lisis oleh
proses osmotik dengan menggunakan larutan saline hipotonik dengan konsentrasi
berbeda-beda. Pada keadaan normal lisis mulai terjadi pada konsentrasi saline 0745-
0,50 gr/l dan lisis sempurna terjadi pada konsentrasi 0730-0,33 gr/l. Median
Corpuscular Fragility (MCF) yang meninggi akan menyebabkan terjadinya pergeseran
kurva ke kiri hal ini ada hubungannya dengan spherositosis, sebaliknya nilai MCF yang
menurun (fragilitas menurun atau osmotik resisten yang meningkat) maka kurva akan
bergeser ke kanan, hal ini sering kita temui pada thalassemia, sickle cell anemia,

21
leptositosis, sel target, dengan kata lain osmotik fragiliti sitosis penting dalam
menentukan adanya kelainan morfologi eritrosit.
Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibody pada eritrosit:
1. Direct Antiglobulin Test (direct Coomb’s test)
Sel eritrosit pasien dicuci dari protein-protein yang melekat dan direaksikan
dengan antiserum atau antibody monoclonal terhadap berbagai immunoglobulin
dan fraksi komplemen, terutama IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat
salah satu atau kedua IgG dan C3d bmaka akan terjadi aglutinasi.
2. Indirect antiglobulin test (indirect Coomb’s test)
Untuk memdeteksi autoantibody yang terdapat pada serum. Serum pasien
direaksikan dengan sel-sel reagen. Immunoglobulin yang beredar pada serum akan
melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan
terjadinya aglutinasi.

2.8. Penatalaksanaan Terkini

Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya. Tujuan pengobatan


anemia hemolitik meliputi:
1. Menurunkan atau menghentikan penghancuran sel darah merah.
2. Meningkatkan jumlah sel darah merah
3. Mengobati penyebab yang mendasari penyakit.
Pada hemolisis akut dimana terjadi syok dan gagal ginjal akut, maka untuk mengatasi hal
tersebut harus mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, serta memperbaiki fungsi
ginjal. Jika terjadi syok berat maka tidak ada pilihan selain transfusi.
Indikasi transfusi darah untuk :
1. Perdarahan akut dan masif (yang mengancam jiwa penderita) atau tidak ada respon
sebelumnya dengan pemberian cairan koloid/kristaloid.
2. Penyebab anemia kongenital yang memerlukan transfusi darah secara periodik.
3. Setiap anemia dengan tanda-tanda anoksia akut dan berat yang mengancam jiwa penderita.

22
Penatalaksanaan berdasarkan penyebab:
1. Gangguan Intrakorpuskuler
a. Herediter
i. Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
o Sferositosis Herediter
Splenektomi pada pasien anemia hemolitik sedang dan berat. Pada
kasus berat, perlu diberikan preparat asam folat 1 mg/hari sebagai
profilaksis
o Elipsitosis Herediter
Jarang dibutuhkan pengobatan. Pada beberapa kasus yang jarang dapat
diperlukan pemberian tranfusi sel darah merah. Pada kasus berat,
splenektomi merupakan pengobatan paliatif mencegah kerusakan dan
destruksi eritrosit yang berlebih. Pasien kronik perlu diberikan asam
folat sebagai profilaksis
ii. Gangguan metabolism/enzim eritrosit (enzimopati)
o Defek jalur Heksosa Monofosfat
Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-, hemolisis terjadi self-
limited sehingga tidak perlu terapi khusus kecuali terapi untuk infeksi
yang mendasari dan hindari obat-obatan atau zat yang mempresipitasi
hemolisis serta mempertahankan aliran ginjal yang adekuat karena
adanya hemoglobinuria saat hemolisis akut.
Pada hemolisis berat, yang bisa terjadi pada varian Mediteranian,
mungkin diperlukan transfusi darah.
Pencegahan episode hemolisis dengan cara mengobati infeksi dengan
segera dan memperhatikan risiko penggunaan obat-obatan, zat oksidan
dan fava beans.
o Defek jalur Embden Meyerhof
Sebagian besar pasien tidak membutuhkan terapi kecuali pasien dengan
hemolisis berat harus diberikan asam folat 1 mg/hari. Transfusi darah
diperlukan ketika krisis hipoplastik.

23
Splenektomi: pada pasien dengan defisiensi piruvat kinase dan glukosa
fosfat isomerase, dapat membuat retikulosit di sirkulasi meningkat.

b. Didapat
i. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH)
o Transfusi sel darah merah merupakan terapi terbaik. Tidak hanya
meningkatkan kadar Hb, tetapi juga menekan produksi sel darah merah
di sumsum tulang selama keadaan hemoglobinuria. Sel darah merah
cuci dianjurkan untuk mencegah peningkatan hemolisis.
Pemberian hormon androgen kadang dapat meningkatkan Hb.
Pemberian preparat glukokortikoid (prednison 60mg/hari) dapat
menurunkan kecepatan hemolisis
2. Gangguan Ekstrakorpuskuler
a. Herediter
i. Familial Hemolytic Uremic Syndrome
o Pada anak-anak dengan oligoanuria <24 jam, pemberian cairan dan
elektrolit cukup. Pada dewasa sering terjadi gagal ginjal akut sehingga
membutuhkan dialisis. Lakukan plasmaferesis dan tranfusi

b. Didapat
i. Mikroangiopati
o Mikroangiopati Trombotik
TTP Familial: pemberian fresh frozen plasma yang mengandung
sedikit trombosit, plasma yang mengandung sedikit kriopresipitat
(cryosupernatant) atau plasma yang dicampur dengan pelarut dan
detergen yang berisi metaloprotease aktif yang diberikan tiap 3 minggu.
Tidak perlu plasmaferesis
TTP Idiopatik Didapat: Setiap hari dilakukan plasma exchange (tukar
plasma) yaitu kombinasi plasmaferesis dengan infus FFP atau
cryosupernatant. Jika membaik (trombosit meningkat dan LDH
menurun) frekuensi dapat dikurangi.

24
Keadaan titer autoantibodi ADAMTS 13 tinggi diberikan vincristine,
siklofosfamid, atau dilakukan splenektomi.
Transfusi trombosit tidak boleh diberikan karena dapat mempresipitasi
kejadian trombosis kecuali terbukti adanya ancaman perdarahan
intrakranial.
Aspirin dapat memprovokasi perdarahan pada pasien dengan
trombositopenia berat
Hemolytic Uremic Syndrome: pada anak-anak dengan oligoanuria
<24 jam, pemberian cairan dan elektrolit cukup. Pada dewasa sering
terjadi gagal ginjal akut sehingga membutuhkan dialisis. Lakukan
plasmaferesis dan tranfusi
o Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID)
ii. Infeksi Mikroorganisme
o Malaria
Terapi anemia pada infeksi malaria pada dasarnya dengan
mengeradikasi parasit penyebab. Transfusi darah segera, sangat
dianjurkan pada pasien dewasa dengan Hb < 7 g/dl. Preparat asam folat
sering diberikan pada pasien. Pemberian besi sebaiknya ditunda sampai
terbukti adanya defisiensi besi
o Bartonellosis
Pengobatan: Penisilin, Streptomisin, Kloramfenikol dan Tetrasiklin
o Babesiosis
Pengobatan: Klindamisin dan Kuinin
iii. Hipersplenisme
o Kelainan ini harus dikoreksi dengan splenektomi

3. Anemia Hemolitik Autoimun (AIHA)


a. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat
i. Kortikosteroid:
1-1.5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan menunjukkan
respon klinis baik (Ht meningkat, retikulosit menurun, tes coombs direk

25
positif lemah, tes comb indirek negatif). Nilai normal dan stabil akan
dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda respon terhadap
steroid, dosis diturunkan tiap minggu 10-20 mg/hari. Terapi steroid dosis
<30 mg/hari diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan
memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah, namun bila dosis
perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar Ht, maka perlu
segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain.
ii. Splenektomi.
Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tapering dosis
selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi
akan menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah.
Hemolisis masih bisa terus berlangsung setelah splenektomi, namun akan
dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh
lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi
komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%, namun tidak bersifat
permanen. Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan setelah
splenektomi.
iii. Imunosupresi.
Azatioprin 50-200 mg/hari, siklofosfamid 50-150 mg/hari.
iv. Terapi lain:
Danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama steroid.
Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol
diturunkan menjadi 200-400 mg/hari.
Siklofosfamid dosis tinggi dilaporkan berhasil pada serial kasus-kasus
dengan AIHA yang refrakter dengan 3 atau lebih terapi. Dosis yang
diberikan adalah 50 mg/kgBB/hari selama 4 hari.
Terapi immunoglobulin (400 mg/kgBB per hari selama 5 hari)
menunjukkan perbaikan pada beberapa pasien, namun dilaporkan terapi ini
juga tidak efektif pada beberapa pasien lain. Jadi terapi ini diberikan
bersama terapi lain dan responnya hanya bersifat sementara.

26
Mycophenolate mofetil 500 mg/hari sampai 1000 mg/hari dilaporkan
memberikan hasil yang bagus pada AIHA refrakter. Terapi plasmafaresis
masih kontroversial.
v. Terapi transfusi.
Terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak. Pada kondisi
yang mengancam jiwa (misal Hb < 3 g/dl) transfusi dapat diberikan, sambil
menunggu efek steroid dan immunoglobulin.

b. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Dingin


i. Menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis, prednisone dan
splenektomi tidak banyak membantu.
ii. Klorambusil 2-4 mg/hari
iii. Plasmaferesis untuk mengurangi antibodi IgM secara teoritis bisa
mengurangi hemolisis, namun secara praktik hal ini sukar dilakukan.

c. Anemia Hemolitik Imun Diinduksi Obat


i. Dengan menghentikan pemakaian obat yang menjadi pemicu, hemolisis
dapat dikurangi. Kortikosteroid dan tranfusi darah dapat diberikan pada
kondisi berat.

27
BAB 3
KESIMPULAN

Anemia hemolitik adalah anemia yang terjadi karena pemecahan yang berlebihan dari sel
eritrosit (hemolisis) tanpa diikuti oleh kemampuan yang cukup dari sumsum tulang untuk
memproduksi sel eritrosit dalam mengatasi hemolisis yang berlebihan tersebut, sumsum tulang
akan mengalami hiperplasia.
Ada dua faktor yang mempengaruhi hemolisis yaitu: a) Faktor Instrinsik (intra
korpuskuler), kelainan terutama pada sel eritrosit, sering merupakan kelainan bawaan, kelainan
terutama pada enzim eritrosit; b) Faktor Ekstrinsik (ekstra korpuskuler) kelainan umumnya didapat
(acquired) dan biasanya merupakan kelainan imunologi.
Pemeriksaan laboratorium yang penting diantaranya yaitu: a) Hitung sel darah secara
lengkap; b) Osmotic Fragility Test; c) Pemeriksaan biokimiawi dan d) Pemeriksaan imunologi.
Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya. Tujuan pengobatan
anemia hemolitik meliputi: a) Menurunkan atau menghentikan penghancuran sel darah merah; b)
Meningkatkan jumlah sel darah merah; c) Mengobati penyebab yang mendasari penyakit.
Pengobatan terkini yang dilakukan harus didasari oleh masing-masing penyebab, karena adanya
perbedaan sistem hemolisis.
Dengan pengobatan yang adekuat, anemia hemolitik dapat dikoreksi dengan tuntas.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Taroeno-Hariadi K, Pardjono E. Anemia Hemolitik Imun. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi 6. Interna Publishing. Jakarta. 2014
2. Rinaldi I, Sudoyo A. Anemia Hemolitik Non Imun. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
6. Interna Publishing. Jakarta. 2014
3. Luzzatto L. Hemolytic Anemia and Anemia Due to Acute Blood Loss. Harrison’s Principles
of Internal Medicine. McGraw-Hill Companies. 2015
4. Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC.
hal 98-125.
5. Charles H. Packman, John P. Leddy. Aquired Hemolytic Anemi dueto Warm-Reacting
Autoantibodies; in Williams Hematology, Editors Ernest Beutler, Marshall A. Lichtman,
Barry S. Coller, Thomas J. Kipps, Mcgraw-Hill. Inc. Health Professions Devision, Fifth
Edition, 1995, hal. 677-684.
6. Ernest Beutler. Hemolytic Anemi Due to Chemical and Physical Agents; in Williams
Hematology, Editors; Ernest Beutler, Marshall A. Lichtman, Barry S. Coller, Thomas J.
Kipps 7 McGraw-Hill. Inc. Health Professions Division, Fifth Edition, 1995, hal. 670 -673.
7. Ernest Beutler. Hemolytic Anemi due to Infection with Microorganisms; in Williams
Hematology, Editors: Ernest Beutler, Marshall A. Lichtman, Barry S. Coller, Thomas J.
Kipps, McGraw-Hill. Inc. Health Professions Devision, Fifth Edition, 1995, hal.674-676.
8. G. C. de Gruchy. Clinical Haematology in Medical Practice, The English Language Book
Society and Blackwell Scientific Publication, Fourth Edition, 1978, hal 125-144.
9. Made IB., 2006. Hematologi Klinik Dasar. Jakarta: Buku kedokteran EGC.

10. Hemolytic Anemia. Diunduh dari www.nlm.nih.gov/medlineplus, tanggal 5 Juni 2018


11. Pendekatan Diagnosis dan Terapi Terhadap Penderita Anemia. Diunduh dari
http://ejournal.iikmpbali.ac.id/index.php/BHJ, tanggal 7 Juni 2018

29

Anda mungkin juga menyukai