Anda di halaman 1dari 4

Analisis Kritis :

Tindak pidana korupsi (Tipikor) kini telah menjadi salah satu tindak pidana
luar biasa (extra Ordinari Crime) dan kejahatan kaum intelektual/birokrat ( white
colar crime) dengan berbagai modus operandi nya yang memerlukan kecermatan
dalam pengumpulan bukti hukum dan proses pembuktian di pengadilan. Tindak
Pidana korupsi mencakup empat komponen/delik hukum utama, yaitu pertama,
seseorang atau bersama-sama, kedua, memperkaya diri sendiri,orang lain, golongan
atau korporasi, ketiga melakukan tindakan melawan hukum, dan keempat,
mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Untuk dapat membuktikan keempat delik tipikor diatas, diperlukan bukti-bukti
hukum yang sah dan meyakinkan, Salah satunya berupa Laporan Hasil Perhitungan
Kerugian Keuangan Negara (LHPKKN) yang dikeluarkan oleh auditor negara yaitu
BPK dan BPKP. LHPKKN biasanya merupakan hasil kegiatan audit untuk melengkapi
dan memperkuat penyidik dan Jaksa Penuntut umum dalam mempertimbangkan
berat/ringan tuntutan, besar/kecil uang penggantian serta khusus untuk kasus
perdatanya untuk menentukan besaran Tuntutan Ganti Rugi/TGR nya.
LHPKKN merupakan hasil proses audit yang dimulai dari pengumpulan bukti
sampai dengan kesimpulan nilai kerugian negara yang biasanya merupakan tindak
lanjut dari hasil audit investigasi. Dalam pengumpulan bukti audit, auditor harus
memperoleh bukti yang cukup, relevan dan kompeten. Bukti yang cukup baik secara
kualitas dan kuantitas dalam mendukung temuan pemeriksaan. Bukti audit juga
harus relevan, yaitu mampu memberi gambaran/rangkaian yang utuh dalam
pembuktian tindak pidana, sedangkan bukti yang kompeten, yaitu berdasarkan
aspek sumber bukti (asli/tidaknya) dan pihak kompeten/berwenang yang
mengeluarkan bukti tersebut. Proses audit ini juga harus didasarkan pada pedoman
standar audit yang telah ditetapkan yaitu Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
(SPKN) pada BPK dan SOP audit pada BPKP.
Untuk membuktikan Tindak Pidana Korupsi, diperlukan bukti-bukti hukum
yang sah dan meyakinkan menurut KUHAP yang selanjutnya akan diuji di
pengadilan. Bukti-bukti hukum yang sah diatur pada ayat (1) pasal 184 KUHAP,
yaitu alat bukti yang sah ialah: Keterangan saksi; Keterangan ahli; Surat; Petunjuk;
Keterangan terdakwa. Dalam upaya pembuktian tindak pidana korupsi, terdapat
kondisi dimana tidak semua bukti audit dapat langsung dijadikan bukti hukum yang
sah di persidangan, karena bukti audit merupakan bagian tidak terpisahkan dari
LHPKKN yang dalam klasifikasi bukti hukum menurut KUHAP merupakan kategori
bukti “Surat”. Namun bukti audit dapat diubah/dimodifikasi oleh penyidik untuk
dijadikan bukti hukum yang sah, baik berupa bukti petunjuk, keterangan saksi,
keterangan ahli maupun bukti Surat. Alasan kondisi lain yang menyebabkan bukti
audit tidak dapat dijadikan langsung bukti hukum yang sah dipersidangan adalah
perlu waktu yang lama untuk mengubah bukti audit menjadi bukti hukum (KUHAP),
sulitnya menghadirkan orang yang diduga terlibat untuk diperiksa penyidik dan
dituangkan dalam BAP, seseorang dapat dijadikan saksi beberapa tersangka dan
berputar terus berikutnya nantinya jadi tersangka saksinya orang lain (splitcing),
sehingga perlu waktu lama untuk menyidik suatu kasus, dan bukti audit yang
dituangkan dalam LHAI sulit ditemukan lagi pada waktu penyidikan, karena selang
waktu lama antara audit investigatif dan penyidikan.
Oleh karena itu auditor APIP dalam mengumpulkan bukti audit investigatif agar
dapat diubah menjadi bukti menurut hukum oleh penyidik yaitu dengan cara sebagai
berikut:
1. Auditor investigatif harus memberikan kesempatan kepada berbagai pihak untuk
menyampaikan pendapat mereka berkenaan dengan peristiwa yang sebenarnya
sesuai dengan versi masing-masing, dimana dan mengapa terjadi, sehingga ada
kesempatan untuk membenarkan atau menolak semua tuduhan, pengaduan,
dugaan, atau pelanggaran tersebut.
2. Auditor investigatif harus melakukan penelusuran yang mengarah pada upaya
menemukan fakta. Penelusuran dapat berdasarkan pada dugaan, pengaduan,
kecurigaan, dan fakta-fakta, yang selanjutnya dianalisa untuk membuktikan
kebenaran adanya penyimpangan. Audit ini dapat berkenaan dengan tindakan
kriminal, perdata, pelanggaran prosedur atau disiplin.
3. Auditor investigatif harus menerapkan pendekatan analitik yang fleksibel dengan
memperhatikan berbagai pola yang dipakai dan berusaha menemukan alasan,
kesempatan, dan rasionalisasi serta fakta. Oleh karena itu auditor perlu
memahami berbagai istilah yang digunakan dalam lingkungan forensik.
4. Auditor investigatif dalam melaksanakan audit. atas kasus penyimpangan yang
berindikasi merugikan keuangan negara sangat tergantung pada situasi, kondisi
dan hasil pengembangan temuan di lapangan. Oleh karena itu, auditor dituntut
untuk mengembangkan kreativitasnya dan menerapkan prosedur serta teknik-
teknik audit investigatif secara tepat.
5. Dalam pelaksanaan audit investigatif, perlu ditelaah lebih dalam mengenai
ketentuan/peraturan perundang-undangan dan pengendalian internal pada
kasus yang merugikan keuangan negara.
6. Apabila dalam pelaksanaan audit investigatif dijumpai adanya indikasi
penyimpangan lainnya diluar ruang lingkup penugasan maka perlu dilakukan
pendalaman lebih lanjut atas peraturan perundang-undangan dan pengendalian
internal.
7. Auditor investigatif harus mempunyai pemahaman bukti-bukti yang dapat
diterima menurut hukum meliputi jenis-jenis bukti, sumber-sumber bukti,
kuantitas dan kualitas bukti, dan metode perolehan bukti.

Hasil LHPKKN yang mengindikasikan adanya kerugian negara, tidak serta merta
dapat dijadikan dasar untuk vonis Tipikor. Hal ini terjadi karena beberapa hal:
a. Adanya perbedaan perspektif antara auditor yang memiliki back ground dan
treatment akuntansi dan audit dengan Penyidik, Jaksa dan hakim yang
mengedepankan perspektif hukum dalam pemahaman tentang bukti, perolehan
bukti dan klasifikasi bukti untuk tindak pidana tipikor. Hal ini berpengaruh
terhadap kecukupan dan keandalan bukti dalam proses pengujian di
persidangan. Selain itu, penggunaan standar yang berbeda dalam proses audit
Tipikor yang dipakai auditor dengan penggunaan SAP dan SPAP sedangkan
Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim yang menggunakan dasar undang-undang
dan peraturan hukum (KUHAPS, dst) akan menimbulkan cara pandang yang
berbeda terkait aspek kehandalan & validitas terhadap bukti dan hasil dalam
LHPKKN dalam pengambilan keputusan tindak pidana korupsi.
b. Bukti audit sebagai bagian tak terpisahkan dari LHPKKN hanya merupakan salah
satu bukti sah hukum dipersidangan, dan bukan satu-satunya mempengaruhi
pertimbangan hakim dalam menentukan vonis Tipikor. Dalam persidangan dan
perspektif hukum acara pidana, untuk memastikan tindak pidana Tipikor benar-
benar terjadi apabila terdapat bukti yang sah dan meyakinkan terdakwa
pelakunya dengan memperhatikan faktor pengujian bukti di persidangan dan
faktor pertimbangan kepentingan masyarakat, keadilan dan hati nurani hakim
dalam pengambilan keputusan/vonis pada kasus Tindak Pidana Korupsi.
Untuk menjembatani kondisi tersebut, maka perlu dipertimbangkan alternatif
solusi yang mampu mendukung peranan hasil audit terutama LHPKKN dalam
pembuktian Tindak Pidana Korupsi, antara lain:
a. Dalam proses audit dalam penentuan Kerugian keuangan negara, auditor harus
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang KUHAP khususnya pasal
mengenai alat bukti hukum, agar dalam mengumpulkan bukti audit tidak salah
arah atau atau salah tafsir. Auditor juga diharapkan telah memahami bahwa
bukti dan hasil auditnya akan dijadikan bukti hukum oleh penyidik, sehingga
lebih berhati-hati dan konsisten dalam proses pengumpulan bukti dan proses
auditnya.
b. Dalam proses pengumpulan bukti dan proses audit, auditor harus benar-benar
memenuhi syarat bukti yaitu: relevan, kompeten dan cukup dan mematuhi
standar audit yang telah ditentukan sehingga bukti dan hasil audit dapat akurat,
handal, valid dan mampu memperkuat penuntutan saat pengujian dalam sidang
pengadilan.
c. Auditor juga harus memahami benar tentang tingkatan bukti audit yang akan
digunakan untuk pembuktian yaitu: bukti utama (primary evidence), bukti tambahan
(secondary evidence), bukti langsung (direct evidence), bukti tak langsung
(circumstansial evidence), bukti perbandingan (comparative evidence) dan bukti statistik
(statistical evidence) agar bukti-bukti yang dikumpulkan dapat digunakan sebagai dasar
penyusunan LHAI yang akurat dan dapat digunakan dalam proses penyidikan oleh
aparat penegak hukum.
d. Perlu adanya kesamaan pandangan/persepsi tentang praktik tindak pidana korupsi
antara auditor, penyidik, penuntut umum dan hakim baik aspek bukti, proses audit, dan
pertimbangan profesional auditor dalam LHPKKN sehingga dapat dijadikan
pertimbangan hakim dalam pengambilan keputusan tindak pidana korupsi.
e. Perlu sinergi antara penyidik dengan auditor dalam proses pengumpulan bukti, proses
audit dan pendalaman bukti audit terutama dalam perubahan/modifikasi bukti audit
untuk dijadikan sebagai bukti hukum sah, sehingga LHPKKN dan bukti pendukung audit
dapat memperkuat posisi dalam penuntutan perkara Tipikor yang selanjutnya dapat
meyakinkan hakim dalam pengambilan keputusan dalam sidang TIPIKOR.

Anda mungkin juga menyukai