Anda di halaman 1dari 26

BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI

A. Anatomi 7,8,9

a. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat
sepasang (masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan
posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah
(kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati
yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas
iga 11 (vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi
bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah
processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka)
sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari
batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih
rendah dibandingkan ginjal kiri.

3
Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:
 Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari
korpus renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus
kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis.
 Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus
rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus colligent).
 Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal
 Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah
korteks
 Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut
saraf atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.
 Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus
pengumpul dan calix minor.
 Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.
 Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
 Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan
antara calix major dan ureter.
 Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.

Gambar 2.3 Anatomi Ginjal

4
Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus
renalis/ Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus
kontortus proksimal, lengkung Henle, tubulus kontortus distal yang
bermuara pada tubulus pengumpul. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut
terdapat pembuluh kapiler,yaitu arteriol (yang membawa darah dari dan
menuju glomerulus) serta kapiler peritubulus (yang memperdarahi
jaringan ginjal) Berdasarkan letakya nefron dapat dibagi menjadi: (1)
nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks
yang relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung
Henle yang terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu
nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi medula, memiliki
lengkung Henle yang terbenam jauh ke dalam medula dan pembuluh-
pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut sebagai vasa rekta.
Ginjal diperdarahi oleh a/v renalis. A. renalis merupakan
percabangan dari aorta abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara
pada vena cava inferior. Setelah memasuki ginjal melalui hilus, a.renalis
akan bercabang menjadi arteri sublobaris yang akan memperdarahi
segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen superior, anterior-
superior, anterior-inferior, inferior serta posterior.
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan
simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus
major, n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk
vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui
n.vagus.

b. Ureter
Ureter merupakan saluran sepanjang 25-30 cm yang membawa
hasil penyaringan ginjal (filtrasi, reabsorpsi, sekresi) dari pelvis renalis
menuju vesica urinaria. Terdapat sepasang ureter yang terletak
retroperitoneal, masing-masing satu untuk setiap ginjal.
Ureter setelah keluar dari ginjal (melalui pelvis) akan turun di
depan m.psoas major, lalu menyilangi pintu atas panggul dengan

5
a.iliaca communis. Ureter berjalan secara postero-inferior di dinding
lateral pelvis, lalu melengkung secara ventro-medial untuk mencapai
vesica urinaria. Adanya katup uretero-vesical mencegah aliran balik
urine setelah memasuki kandung kemih. Terdapat beberapa tempat di
mana ureter mengalami penyempitan yaitu peralihan pelvis renalis-
ureter, fleksura marginalis serta muara ureter ke dalam vesica urinaria.
Tempat-tempat seperti ini sering terbentuk batu/kalkulus.
Ureter diperdarahi oleh cabang dari a.renalis, aorta abdominalis, a.iliaca
communis, a.testicularis/ovarica serta a.vesicalis inferior. Sedangkan
persarafan ureter melalui segmen T10-L1 atau L2 melalui pleksus
renalis, pleksus aorticus, serta pleksus hipogastricus superior dan
inferior.

c. Vesica urinaria

Gambar 2.2 Anatomi Vesica Urinaria

Vesica urinaria, sering juga disebut kandung kemih atau buli-buli,


merupakan tempat untuk menampung urine yang berasal dari ginjal
melalui ureter, untuk selanjutnya diteruskan ke uretra dan lingkungan
eksternal tubuh melalui mekanisme relaksasi sphincter. Vesica urinaria
terletak di lantai pelvis (pelvic floor), bersama-sama dengan organ lain
seperti rektum, organ reproduksi, bagian usus halus, serta pembuluh-
pembuluh darah, limfatik dan saraf.

6
Dalam keadaan kosong vesica urinaria berbentuk tetrahedral yang
terdiri atas tiga bagian yaitu apex, fundus/basis dan collum. Serta
mempunyai tiga permukaan (superior dan inferolateral dextra dan
sinistra) serta empat tepi (anterior, posterior, dan lateral dextra dan
sinistra). Dinding vesica urinaria terdiri dari otot m.detrusor (otot spiral,
longitudinal, sirkular). Terdapat trigonum vesicae pada bagian
posteroinferior dan collum vesicae. Trigonum vesicae merupakan suatu
bagian berbentuk mirip-segitiga yang terdiri dari orifisium kedua ureter
dan collum vesicae, bagian ini berwarna lebih pucat dan tidak memiliki
rugae walaupun dalam keadaan kosong.
Vesicae urinaria diperdarahi oleh a.vesicalis superior dan inferior.
Namun pada perempuan, a.vesicalis inferior digantikan oleh a.vaginalis.
Sedangkan persarafan pada vesica urinaria terdiri atas persarafan
simpatis dan parasimpatis. Persarafan simpatis melalui n.splanchnicus
minor, n.splanchnicus imus, dan n.splanchnicus lumbalis L1-L2.
Adapun persarafan parasimpatis melalui n.splanchnicus pelvicus S2-S4,
yang berperan sebagai sensorik dan motorik.

d. Uretra
Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari vesica
urinaria menuju lingkungan luar. Terdapat beberapa perbedaan uretra
pada pria dan wanita. Uretra pada pria memiliki panjang sekitar 20 cm
dan juga berfungsi sebagai organ seksual (berhubungan dengan kelenjar
prostat), sedangkan uretra pada wanita panjangnya sekitar 3.5 cm.
selain itu, Pria memiliki dua otot sphincter yaitu m.sphincter interna
(otot polos terusan dari m.detrusor dan bersifat involunter) dan
m.sphincter externa (di uretra pars membranosa, bersifat volunter),
sedangkan pada wanita hanya memiliki m.sphincter externa (distal
inferior dari kandung kemih dan bersifat volunter).
Pada pria, uretra dapat dibagi atas pars pre-prostatika, pars
prostatika, pars membranosa dan pars spongiosa.

7
 Pars pre-prostatika (1-1.5 cm), merupakan bagian dari collum
vesicae dan aspek superior kelenjar prostat. Pars pre-prostatika
dikelilingi otot m. sphincter urethrae internal yang berlanjut dengan
kapsul kelenjar prostat. Bagian ini disuplai oleh persarafan
simpatis.
 Pars prostatika (3-4 cm), merupakan bagian yang
melewati/menembus kelenjar prostat. Bagian ini dapat lebih dapat
berdilatasi/melebar dibanding bagian lainnya.
 Pars membranosa (12-19 mm), merupakan bagian yang terpendek
dan tersempit. Bagian ini menghubungkan dari prostat menuju
bulbus penis melintasi diafragma urogenital. Diliputi otot polos dan
di luarnya oleh m.sphincter urethrae eksternal yang berada di
bawah kendali volunter (somatis).
 Pars spongiosa (15 cm), merupakan bagian uretra paling panjang,
membentang dari pars membranosa sampai orifisium di ujung
kelenjar penis. Bagian ini dilapisi oleh korpus spongiosum di
bagian luarnya.

Gambar 2.3 Anatomi Vesica Urinaria – Uretra Laki-laki

Sedangkan uretra pada wanita berukuran lebih pendek (3.5 cm)


dibanding uretra pada pria. Setelah melewati diafragma urogenital,

8
uretra akan bermuara pada orifisiumnya di antara klitoris dan vagina
(vagina opening). Terdapat m. spchinter urethrae yang bersifat volunter
di bawah kendali somatis, namun tidak seperti uretra pria, uretra pada
wanita tidak memiliki fungsi reproduktif.

Gambar 2.4 Anatomi Vesica Urinaria – Uretra Peremuan

B. Fisiologi 10,11
Fungsi ginjal selain mengatur keseimbangan biokimia tubuh dengan
cara mengatur keseimbangan air, konsentrasi garam dalam darah dan asam
basa ginjal juga berperan dalam produksi hormon seperti:
 Eritropoietin: menstimulasi produksi eritrosit di sumsum tulang.
Eritropoietin disekresikan saat ginjal mengalami hipoksia. Hampir semua
hormon eritropoietin yang terdapat dalam darah disekresi oleh ginjal.
 1,25-Dihydroxyvitamin D3 (calcitriol): merupakan bahan aktif dari vitamin
D. Prekursor vitamin D terhidroksilasi di ginjal. Calcitriol adalah vitamin
esensial untuk meregulasi kalsium deposisi pada tulang dan kalsium
reabsorbsi dalam traktus digestivus. Calcitriol juga mempunyai peran
penting dalam refulasi kalsium dan fosfat.
 Renin: berfungsi sebagai regulator tekanan arteri jangka pendek. Renin
bekerja pada jalur angiotensin untuk meningkatkan tekanan vaskuler dan
produksi aldosteron.
 Prostaglandin: berfungsi sebagai vasokonstriktor dan regulasi garam dan
air.

9
3 tahap pembentukan urin: 12,13

1) Filtrasi glomerular

Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus,


seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glomerulus secara relatif bersifat
impermeabel terhadap protein plasma yang besar dan cukup permeabel
terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino,
glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow)
adalah sekitar 22% dari curah jantung atau sekitar 1100 ml/menit. Sekitar
seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus
ke kapsul Bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR =
Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut
filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara
kapiler glomerulus dan kapsula bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam
kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh
tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowman’s serta tekanan osmotik
koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan
koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler

2) Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit,
elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-
zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi.Hasil sisa metabolisme
seperti urea, kreatinin, asam urat sedikit di reabsorbsi pada tubulus ginjal.
Sebaliknya elektrolit seperti natrium, klorida dan bikarbonat terreabsorbsi
dalam jumlah banyak, hingga kadar elektrolit dalam urin akan rendah.
Beberapa zat hasil filtrasi akan direabsorpsi sepenuhnya, seperti asam amino
dan glukosa. Reabsorbsi terjadi dalam tubulus kontortus proksimal, lengkung
henle dan tubulus kontortus distal.

10
3) Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transport aktif molekul-molekul dari aliran
darah melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak
terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara
alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion
hidrogen.
Pada tubulus kontortus distal, transport aktif natrium sistem carier yang
juga telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam
hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular,
cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular “perjalanannya
kembali” jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium
harus disekresi dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi tergantung
pada konsentrasi cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan
kalium). Pengetahuan tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini
membantu kita memahami beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan
lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat
menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi
penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara teurapeutik.

Gambar 2.5 Mekanisme Pembentukan Urine(1)


Sumber : Sherwood, L. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Ed. 6.

11
BAB III

Urolithiasis

A. Definisi
Urolitiasis atau dikenal dengan penyakit batu saluran kemih
yang selanjutnya disingkat BSK adalah terbentuknya batu yang
disebabkan oleh pengendapan substansi yang terdapat dalam air kemih
yang jumlahnya berlebihan atau karena faktor lain yang mempengaruhi
daya larut substansi.1

Gambar 3.1 Contoh Urolithiasis

B. Etiologi 6,14
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan
gangguan aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih,
dehidrasi, dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap
(idiopatik). Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang
mempermudah terjadinya batu saluran kemih pada seseorang. Faktor-
faktor itu adalah faktor intrinsik yaitu keadaan yang berasal dari tubuh
seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh yang berasal dari
lingkungan sekitarnya.

12
a) Faktor intrinsik itu antara lain adalah :
1. Herediter (keturunan)
Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
2. Umur
Penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun.
3. Jenis kelamin
Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan
pasien perempuan.

Gambar 3.2 Kejadian Urolithiasis Berdasarkan Usia dan Jenis


Kelamin

b) Faktor ekstrinsik diantaranya adalah:


1. Geografi
Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran
kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal

13
sebagi daerah stone belt (sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di
Afrika Selatan hampir tidak dijumpai penyakit batu saluran kemih.
2. Iklim dan temperatur
3. Asupan air
Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air
yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.
4. Diet
Diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya
penyakit batu saluran kemih.
5. Pekerjaan
Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak
duduk atau kurang aktivitas atau sedentary life.

C. Epidemiologi 2,3,4
Urolithiasis merupakan penyakit tersering ketiga di bidang urologi
di samping infeksi saluran kemih dan pembesaran prostat benigna.
Kejadian pada pria empat kali lebih tinggi daripada wanita, kecuali untuk
batu amonium magnesium fosfat (struvit), lebih sering terdapat di
wanita dan usia rata-rata BSK terjadi pada usia 30 sampai 50 tahun.
Angka kejadian BSK di Indonesia tahun 2002 berdasarkan data yang
dikumpulkan dari rumah sakit di seluruh Indonesia adalah 37.636 kasus
baru, dengan jumlah kunjungan 58.959 penderita. Sedangkan jumlah
pasien yang dirawat adalah 19.018 penderita, dengan jumlah kematian 378
penderita.

D. Klasifikasi
Urolithiasis dapat di klasifikasikan berdasarkan lokasi batu,
karakteristik x-ray, etiologi proses pembuatan batu dan komposisi batu.
Klasifikasi ini penting dalam menatalakasanakan pasien karena daoat
mempengaruhi terapi dan juga prognosis.15

14
1) Lokasi batu 16,17
 Nefrolithiasis : Batu yang terbentuk pada pielum, tubuli
hingga calyx ginjal.
 Ureterolithiasis : Batu yang terdapat pada ureter.
 Cystolithiasis : Batu yang terdapat pada vasika urinaria.
 Urethrolithiasis : Batu pada saluran uretra

2) Karakteristik radiologi 15
 Radiopaque : kalsium oksalat dihidrat, kalsium oksalat
monohidrat, kalsium fosfat.
 Poor radiopaque : magnesium ammonium fosfat, apatit,
sistein.
 Radiolucent : usam urat, ammonium urat, xantin, 2,8
dihidroxy-adenine.

3) Etiologi 15
 Non-infeksi : kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat.
 Infeksi : magnesium ammonium fosfat, apatit,
ammonium urat.
 Genetik : sistein, xantin, 2,8 dihidroksiadenin.

4) Komposisi 18
Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur kalsium
oksalat atau kalsium fosfat 75%, asam urat %, magnesium-
amonium-fosfat 15%, sistin, silikat dan senyawa lain 1%.

15
Gambar 3.3 Gambaran bentuk batu kalsium oksalat

Gambar 3.4 Gambaran bentuk batu struvit

Gambar 3.5 Gambaran bentuk batu asam urat

Gambar 3.6 Gambaran bentuk batu sistin

16
E. Patofisiologi
Penyebab pasti pembentukan batu saluran kemih (BSK) belum
diketahui, oleh karena banyak faktor yang dilibatkannya, sampai sekarang
banyak teori dan faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan BSK
yaitu : 4
1. Teori Fisiko Kimiawi
Prinsip dari teori ini adalah terbentuknya BSK karena adanya proses
kimia, fisika maupun gabungan fisiko kimiawi. Dari hal tersebut
diketahui bahwa terjadinya batu sangat dipengaruhi oleh konsentrasi
bahan pembentuk batu di saluran kemih. Berdasarkan faktor fisiko
kimiawi dikenal teori pembentukan batu, yaitu:
2. Teori Supersaturasi
Supersaturasi air kemih dengan garam-garam pembentuk batu
merupakan dasar terpenting dan merupakan syarat terjadinya
pengendapan. Apabila kelarutan suatu produk tinggi dibandingkan
titik endapannya maka terjadi supersaturasi sehingga menimbulkan
terbentuknya kristal dan pada akhirnya akan terbentuk batu.
Supersaturasi dan kristalisasi dapat terjadi apabila ada penambahan
suatu bahan yang dapat mengkristal di dalam air dengan pH dan suhu
tertentu yang suatu saat akan terjadi kejenuhan dan terbentuklah
kristal. Tingkat saturasi dalam air kemih tidak hanya dipengaruhi oleh
jumlah bahan pembentuk BSK yang larut, tetapi juga oleh kekuatan
ion, pembentukan kompleks dan pH air kemih.

3. Teori Matrik
Di dalam air kemih terdapat protein yang berasal dari pemecahan
mitokondria sel tubulus renalis yang berbentuk laba-laba. Kristal batu
oksalat maupun kalsium fosfat akan menempel pada anyaman tersebut
dan berada di sela-sela anyaman sehingga terbentuk batu. Benang
seperti labalaba terdiri dari protein 65%, heksana 10%, heksosamin 2-
5% sisanya air. Pada benang menempel kristal batu yang seiring

17
waktu batu akan semakin membesar. Matriks tersebut merupakan
bahan yang merangsang timbulnya batu.

4. Teori Tidak Adanya Inhibitor


Dikenal 2 jenis inhibitor yaitu organik dan anorganik. Pada inhibitor
organik terdapat bahan yang sering terdapat dalam proses penghambat
terjadinya batu yaitu asam sitrat, nefrokalsin, dan tamma-horsefall
glikoprotein sedangkan yang jarang terdapat adalah gliko-samin
glikans dan uropontin. Pada inhibitor anorganik terdapat bahan
pirofosfat dan Zinc. Inhibitor yang paling kuat adalah sitrat, karena
sitrat akan bereaksi dengan kalsium membentuk kalsium sitrat yang
dapat larut dalam air. Inhibitor mencegah terbentuknya kristal kalsium
oksalat dan mencegah perlengketan kristal kalsium oksalat pada
membaran tubulus. Sitrat terdapat pada hampir semua buah-buahan
tetapi kadar tertinggi pada jeruk. Hal tersebut yang dapat menjelaskan
mengapa pada sebagian individu terjadi pembentukan BSK,
sedangkan pada individu lain tidak, meskipun sama-sama terjadi
supersanturasi.

5. Teori Epitaksi
Pada teori ini dikatakan bahwa kristal dapat menempel pada kristal
lain yang berbeda sehingga akan cepat membesar dan menjadi batu
campuran. Keadaan ini disebut nukleasi heterogen dan merupakan
kasus yang paling sering yaitu kristal kalsium oksalat yang menempel
pada kristal asam urat yang ada

6. Teori Kombinasi
Banyak ahli berpendapat bahwa BSK terbentuk berdasarkan campuran
dari beberapa teori yang ada.

18
7. Teori Infeksi
Teori terbentuknya BSK juga dapat terjadi karena adanya infeksi dari
kuman tertentu. Pengaruh infeksi pada pembentukan BSK adalah teori
terbentuknya batu survit dipengaruhi oleh pH air kemih > 7 dan
terjadinya reaksi sintesis ammonium dengan molekul magnesium dan
fosfat sehingga terbentuk magnesium ammonium fosfat (batu survit)
misalnya saja pada bakteri pemecah urea yang menghasilkan urease.
Bakteri yang menghasilkan urease yaitu Proteus spp, Klebsiella,
Serratia, Enterobakter, Pseudomonas, dan Staphiloccocus. Teori
pengaruh infeksi lainnya adalah teori nano bakteria dimana penyebab
pembentukan BSK adalah bakteri berukuran kecil dengan diameter
50-200 nanometer yang hidup dalam darah, ginjal dan air kemih.
Bakteri ini tergolong gram negatif dan sensitif terhadap tetrasiklin.
Dimana dinding pada bakteri tersebut dapat mengeras membentuk
cangkang kalsium kristal karbonat apatit dan membentuk inti batu,
kemudian kristal kalsium oksalat akan menempel yang lama kelamaan
akan membesar. Dilaporkan bahwa 90% penderita BSK mengandung
nano bakteria.

F. Gejala klinis 21
Gejala klinis pada batu ginjal berbeda tergantung lokasi batu, ukuran dan
penyulit yang telah terjadi:
Nefrolithiasis : Nyeri pinggang non kolik akibat peregangan kapsul
ginjal karena hidronefrosis ataupun infeksi pada ginjal. Pemeriksaan
ketuk CVA positif. Jika ginjal telah mengalami hidronefrosis maka
ginjal akan teraba pada pemeriksaan ballottement. Jika ginjal
mengalami infeksi pasien, demam dapat ditemukan.
Ureterolithiasis : Nyeri kolik pada pinggang yang dilewati batu.
Nyeri kolik ini disebabkan karena peningkatan tekanan intralumen
karena usaha gerakan peristaltik ureter ataupun sistem kalises. Dapat
terjadi hematuria karena trauma pada mukosa saluran kemih yang
disebabkan oleh batu.

19
Cystolithiasis : Kesulitan memulai BAK jika batu menutupi
sphincter, BAK yang tersendat dan lancar jika mengubah posisi
badan, dapat terjadi hematuria. Penderita juga dapat merasakan
sensasi keluarnya pasir saat berkemih. Pasien juga dapat merasakan
perasaan tidak enak saat BAK, frekuensi BAK yang meningkat karena
pengecilan ruangan vesika, pada anak dapat ditemukan enuresis
nokturna, dan sering menarik penis ataupun menggosok vulva.
Jika terjadi komplikasi seperti hidronefrosis ataupun infeksi
maka gejala obstruksi saluran kemih bagian atas seperti demam dan
mual muntahpun dapat dirasakan oleh pasien.

G. Diagnosis 18,22
3.1 Anamnesis
Pasien dengan BSK mempunyai keluhan yang bervariasi mulai dari
tanpa keluhan, sakit pinggang ringan sampai dengan kolik, disuria,
hematuria,retensio urine, anuria. Keluhan ini dapat disertai dengan
penyulit seperti demam, dan tanda-tanda gagal ginjal. Setalah itu,
menggali penyakit terdahulu yang dapat menjadi faktor pencetus
terbentuknya batu seperti riwayat ISK dengan batu saluran kemih,
kelainan anatomi, renal insuffciency,dan lain-lain.

3.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik pasien dengan BSK dapat bervariasi mulai dari
tanpa kelainan fisik sampai tanda-tanda sakit berat, tergantung pada
letak batu dan penyulit yang ditimbulkan. Pada pemeriksaan fiisk
khusus urologi dapat dijumpai :
 Sudut kosto vertebra : Nyeri tekan, nyeri ketok dan
pembesaran ginjal
 Supra simfisis : nyeria tekan, teraba batu, buli-buli penuh
 Genitalia eksterna : teraba batu di uretra
 Colok dubur : teraba batu pada buli-buli pada saan melakukan
palpasi bimanual

20
3.3 Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukannya pemeriksaan urin rutin untuk melihat adanya
eritrosuria, leukosituria, bakteriuria, pH urin dan kultur urin. Pada
pemeriksaan darah dilakukan untuk melihat hemoglobin, leukosit,
ureum dan kreatinin. Pada hasil urinalisis bila pH >7,5 : lithiasis
disebabkan oleh infeksi dan bila pH <5,5 : lithiasis karena asam urat.

3.4 Pencitraan
Diagnosis klinis sebaiknya didukung dengan prosedur pencitraan
yang tepat. Pemeriksaan rutin yang dilakukan yaitu foto polos perut
dengan pemeriksaan ultrasonografi atau dengan intavenous
pyelography atau spiral CT.
Pada pemeriksaan IVP tidak boleh dilakukan pada pasien-pasien
berikut ini:
 Dengan alergi kontras
 Dengan level kreatinin serum >200 mmol/L atau >2 mg/dl
 Dengan pengobatan metformin
 Dengan myelomatosis

Gambar 3.7 Temuan Radiologi Pada Urolithiasis

21
H. Diagnosis Banding
 Abdomen akut : appendiksitis akut
 Kehamilan ektopik
 Kehamilan yang tidak terdeteksi.
 Kelainan patologi pada ovarium : kista ovarium terpuntir
 Penyakit divertikulum
 Obstruksi usus
 Batu kantung empedu dengan atau tanpa obstruksi
 Ulkus peptik
 Acute renal artery embolism
 Abdominal aortic aneurism

I. Penatalaksanaan 21
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih
secepatnya harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyakit lebih
parah. Batu dapat dikeluarkan dengan cara medikamentosa dan non
medikamentosa:
 Medikamentosa:
o Terapi ini ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5
mm diharapkan dapat keluar dengan spontan dengan tujuan
untuk mengurangi nyeri saat proses pengeluaran batu dengan
cara miksi. Pemberian diuretik dapat digunakan untuk
memperlancar aliran urin. Edukasi pasien untuk minum banyak
juga dapat dilakukan untuk memperlancar aliran urin.
o Oral alkanizing agents seperti natrium atau kalium bikarbonat
dapat mendisolusikan batu yang bersifat asam. Kontraindikasi
obat ini adalah pasien dengan riwayat gagal jantung atau gagal
ginjal.

22
 Non Medikamentosa
o ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy) : alat ini
dapat memecah batu ginjal, ureter proksimal atau buli buli
tanpa melalui tindakan invasive dan tanpa pembiusan.
Menggunakan shockwave batu dapat dipecahkan. Pasien dapat
merasa nyeri kolik pada proses pemecahan batu. Kontraindikasi
pemecahan batu menggunakan ESWL adalah pasien hamil,
infeksi saluran kemih dan batu sistein.
o PNL (Percutaneus Nephro Litholapaxy): menggunakan alat
endoskopi ke sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu
kemudian dipecah menjadi ukuran yang lebih kecil.
o Litotripsi: menggunakan alat litotriptor dengan akses dari
uretra, batu dapat dipecahkan menjadi fragmen kecil. Pecahan
batu dapat dikeluarkan dengan evakuator Ellik.
o Ureteroskopi: dengan memasukkan alat ureteroskopi per
uretram guna melihat keadaan ureter atau sistem pielokaliks
ginjal.
o Bedah laparoskopi: cara ini banyak dipakai untuk mengambil
batu ureter.
o Bedah terbuka : terbagi atas :
 Nefrolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil
batu yang berada di dalam ginjal
 Ureterolitotomi merupakan operasi terbuka untuk
mengambil batu yang berada di ureter
 Vesikolitomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil
batu yang berada di vesica urinaria
 Uretrolitotomi merupakan operasi terbuka untuk
mengambil batu yang berada di uretra.

23
Algoritme penatalaksanaan non medika mentosa pada urolithiasis

Sumber : Dion et al., Can Urol Assoc J, 2016

J. Pencegahan
Pencegahan urolithiasis dapat dilakukan dan dibedakan bergantung
pada komposisi batu:
 Batu asam urat: pengaturan diet rendah purin dan pemberian
allopurinol sebagai pengontrol kadar asam urat dalam darah
 Batu kalsium fosfat: melakukan pemeriksaan ekskresi kalsium dalam
urin dan nilai kalsium darah. Nilai yang melebihi normal dapat
menandakan etiologi primer seperti hiperparatiroidisme
 Batu kalsium oksalat: sumbernya dapat berasal dari eksogen maupun
endogen. Makanan yang banyak mengandung oksalat adalah bayam, teh,
kopi dan coklat. Selain itu, hiperkalsemia dan hiperkalsiuria dapat
disebabkan penyakit lain, seperti hiperparatiroidisme dan kelebihan
vitamin D.
Pada umumnya pembentukan batu juga dapat dihindarkan dengan
cara asupan cairan yang mencukupi, aktivitas yang cukup dan mengontrol
beberapa kadar zat dalam urin. Pada keadaan infeksi, pencegahan
pembentukkan batu dapat dilakukan dengan cara mengobati infeksi yang
ada dengan antibiotic dan asupan cairan yang banyak.

24
K. Komplikasi 2
Batu yang menyumbat pada saluran kemih dapat menyebabkan
komplikasi terhadap organ superior terhadap penyumbatan. Beberapa
komplikasi urolithiasis adalah obstruksi ureter yang dapat menyebabkan
hidroureter hingga hidronefrosis. Urin yang statis karena penyumbatan
ginjalpun dapat menjadi media yang baik untuk berkembangnya bakteri
hingga dapat menyebabkan infeksi hingga urosepsis. Pada keadaan
tertentu pyonefrosis juga dapat terjadi pada batu saluran kemih bagian
atas. Perjalan pengeluaran batu juga dapat menimbulkan trauma pada
ureter hingga dapat membetuk striktur ureter.Dalam jangka waktu yang
lama batu dapat mengiritasi mukosa vesika urinaria secara kronis, hingga
dapat menyebabkan komplikasi karsinoma sel skuamosa.

L. Prognosis 19
Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu,
letak batu, dan adanya infeksi serta obstruksi. Makin besar ukuran suatu
batu, makin buruk prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan
obstruksi dapat mempermudah terjadinya infeksi.
Pada pasien dengan batu yang ditangani dengan ESWL, 60%
dinyatakan bebas dari batu, sisanya masih memerlukan perawatan ulang
karena masih ada sisa fragmen batu dalam saluran kemihnya. Pada pasien
yang ditangani dengan PNL, 80% dinyatakan bebas dari batu, namun hasil
yang baik ditentukan pula oleh pengalaman operator.

25
BAB IV

KESIMPULAN

Urolithiasis adalah keadaan dimana adanya batu pada saluran kemih


dimulai dari ginjal, ureter, vesika urinaria hingga uretra. Penyakit batu saluran
kemih menempati posisi ke dua paling sering ditemukan pada urologi dengan
seiringnya waktu karena perubahan pola hidup dan diet masyarakat. Ada beberapa
jenis batu yang dapat terakumulasi pada saluran kemih, batu kalsium oksalat,
kalsium fosfat, batu urat, batu struvit dan batu campuran. Gejala yang ditimbulkan
pada penyakit ini bergantung pada lokasi ataupun obstruksi yang ditimbulkan oleh
batu tersebut.
Komplikasi batu saluran kemih yang sering tejadi adalah penyumbatan
total dari saluran sehingga menyebabkan flow back pada urin. Efek dari flow back
dari urin adalah dapat terjadinya hidroureter hingga hidronefrosis. Pada kasus
tertentu urosepsis dapat terjadi pada pasien. Gejala yang terdapat pada urolithiasis
adalah antara lain Obstructive Lower Urinary Track Syndrome, mual muntah,
demam, nyeri kolik pada pinggang, hematuria dan sensasi keluarnya pasir saat
berkemih.
Penatalaksanaan urolithiasis antara lain adalah dengan medika mentosa
ataupun intervensi bedah. Tindakan bedah yang dilakukan dapat bersifat invasive
dan non invasiv. Tindakan invasiv seperti litotripsi, PNL, bedah laparoskopi.
Tindakan non-invasiv antara lain ESWL. Pasien dapat mencegah terjadinya batu
dengan cara mengatasi infeksi saluran kemih yang dialaminya, mengontrol kadar
zat dalam darahnya dan hidrasi yang cukup.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Menon M, R., Martin I. Urinary Lithiasis, Etiologi and Endourologi, in:


Chambell's Urology, 8 th. W.B. Saunder Company, Philadelphia, 2002.
Vol 14: p. 3230-3292
2. Purnomo B. Dasar-dasar Urologi. Edisi Ketiga. Jakarta : Sagung Satu,
2014. Hal : 87- 101.
3. Rahayu Heni.2011. “Karakteristik Penderita Batu Saluran Kemih Rawat
Inap di RS Tembakau Deli PTP Nusantara II Medan Tahun 2006-2010”.
Diakses pada tanggal 13 mei 2016.
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:yoa7Jy8hpcQJ:re
pository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30750/5/Chapter%2520I.pdf+&cd
=1&hl=id&ct=clnk&gl=id
4. Smith RD., Urinary Stones in General Urology,. California, Lange
Medical Publications, Los Altes. 94022(10 th ed,): p. 222–31.
5. Ferri FF., Urolithiasis in Clinical Advisor Instant Diagnosis and
Treatment, Rhode Island. Department of Community Health Brown
Medical School Providence, 2004: p. 893–95.
6. Soeparman, dkk. 2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Hlmn 378. Balai
Penerbit FKUI : Jakarta
7. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 4th ed. US: Saunders; 2006.
8. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. US:
FA Davis Company; 2007.
9. Van de Graaf KM. Human anatomy. 6th ed. US: The McGraw-Hill
Companies; 2001.
10. Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi II.
EGC: Jakarta
11. Ganong. W.F., editor Widjajakusumah D.H.M.Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran., edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: EGC. 2001
12. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. US:
FA Davis Company; 2007.

27
13. Sherwood, L. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Ed. 6. Jakarta: EGC;
2011
14. Purnomo, Basuki 2007. Dasar-dasar Urologi. edisi kedua. Sagung seto:
Jakarta
15. Turk C, Knoll T, Petrik A, Sarica K, Seitz C, Straub M. Guidelines on
Urolithiasis. European Association of Urology; 2011. P.289-293.
16. Sorensen, C. M., & Chandhoke, P. S. (2002). Hyperuricosuric calcium
nephrolithiasis. Endocrinology and metabolism clinics of North America,
31(4), 915-925
17. Takahashi, Naoki, Akira Kawashima, Randy D. Ernst, Illya C. Boridy,
Stanford M. Goldman, George S. Benson, and Carl M. Sandler.
"Ureterolithiasis: can clinical outcome be predicted with unenhanced
helical CT?." Radiology 208, no. 1 (1998): 97-102.
18. Shires, Schwartz. Intisari prinsip – prinsip ilmu bedah. ed-6. EGC :
Jakarta. 588-589
19. Knoll T. Epidemioloy, Pathogenesis and Pathophysiology of Urolithiasis.
European Urology Supplements 9 (2010). Department of Urology,
Sindelfingen-Boeblingen Medical Center, Germany. P.802-806.
20. Wein, Kavoussi, Novick, Partin, Peters. Campbell-Walsh Urology. Tenth
Edition. Philadelphia; 2012.
21. Tanagho E, McAninch J. Smith’s General Urology. 17th edition. The
McGraw-Hill companies; 2008. P.246
22. Pearle, S. Margaret. Urolithiasis Medical and Surgical Management. USA:
Imforma healthcare ;2009.p.1-6
23. Dion M, Ankawi G, Chew B, et al. CUA guideline on the evaluation and
medical management of the kidney stone patient – 2016 update. Can Urol
Assoc J 2016;10(11-12):E347-58.

28

Anda mungkin juga menyukai