Anda di halaman 1dari 7

PERATURAN QANUN JINAYAH MELAWAN HUKUM PIDANA INDONESIA

I. Pendahuluan
I.1. Latar Belakang
Hukum adalah sistem aturan yang diberlakukan melalui lembaga atau pihak
yang berwenang untuk mengatur perilaku manusia serta memiliki kekuatan memaksa
dan mengikat. Hukum dibuat oleh lembaga legislatif Negara dan melahirkan sebuah
ketetapan, selain itu dapat dibuat oleh eksekutif melalui keputusan dan peraturan, atau
oleh hakim melalui yurisprudensi ataupun preseden, dan lembaga berwenang lainnya.
Pembentukan Undang-Undang itu sendiri mungkin dipengaruhi oleh sebuah konstitusi,
tertulis atau tidak tertulis, dan hak-hak yang dikodekan di dalamnya. Hukum tersebut
membentuk politik, ekonomi, sejarah dan masyarakat dengan berbagai cara dan
berfungsi sebagai mediator hubungan antar manusia.1
Istilah 'masyarakat' berasal dari kata Latin societas, yang digunakan untuk
menggambarkan ikatan atau interaksi antara pihak-pihak. Istilah tersebut dapat
merujuk pada keseluruhan kemanusiaan (juga: 'masyarakat pada umumnya',
'masyarakat luas', dan lain-lain), walaupun mereka yang tidak bersahabat atau tidak
beradab dengan masyarakat lainnya, dalam pengertian ini dapat dianggap menjadi
'antisosial'.
Tujuan hukum di masyarakat adalah untuk memberikan pedoman bagi
manusia dalam hidup bersama dengan masyarakat lainnya. Dalam pemerintahan
konstitusional, pemerintah mengendalikan masyarakat melalui pemberlakuan undang-
undang untuk mempertahankan hak-hak rakyat dan untuk memastikan bahwa
pemerintah dapat mengaturnya. Secara teori, paling tidak, pemerintah memerintah dan
memerintah masyarakat melalui undang-undang. Hukum melindungi hak-hak warga
negara serta mengatur perilaku masyarakat yang dianggap seperti perilaku kriminal.
Nanggroe Aceh Darusalaam, yang merupakan satu dari 3 (tiga) provinsi
istimewa di Indonesia, memiliki Peraturan tersendiri. Nanggroe Aceh Darussalaam

1
Robertson, Crimes against humanity, 90.
(NAD) menggunakan 'Syariat Islam' sebagai Kode Etik mereka. Aceh bisa
menerapkan syariah islam karena pemerintah indonesia memberikan hak istimewa
kepada mereka karena Aceh yang ingin memisahkan diri dari indonesia dan menjadi
negara bebas.
Syariat Islam adalah sistem hukum agama yang mengatur tatanan hidup
masyarakat yang berasal dari ajaran agama Islam, khususnya Quran dan Hadiz. Istilah
syariah berasal dari bahasa Arab sharī'ah, yang berarti hukum moral dan agama yang
berasal dari nubuat religius, dan berlawanan dengan peraturan perundang-undangan
manusia.2 Syariat Islam memiliki kedudukan yang sama dengan peraturan daerah.
Namun, dalam menjalankan penegakan terhadap Qanun Jinayah, terdapat beberapa hal
yang menurut kami sangat bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku di
Indonesia. Secara khusus, dalam hal ini kami membahasnya berdasarkan sudut
pandang seorang Jaksa yang dalam hal ini berperan aktif dalam penjatuhan hukuman
cambuk kepada terdakwa yang melanggar ketentuan yang terdapat di dalam Qanun
Jinayah. Selain itu dikatikan dengan hak asasi manusia dan penjatuhan hukumannya
terhadap para terdakwa yang dianggap melanggar ketentuan yang terdapat di dalam
qanun jinayah.

I.2. Peraturan Perundang-Undangan

2
British & World English: sharia". Oxford: Oxford University Press. Retrieved 4 December2015

Ritter, Robert M.; Brown, Lesley (22 September 2005). New Oxford Dictionary for Writers and Editors:
The Essential A-Z Guide to the Written Word. Oxford: Oxford University Press. p. 349. ISBN 978-0-19-
861040-3.
Calder, Norman; Hooker, Michael Barry (2007). "Sharīʿa". In P. Bearman, Th. Bianquis, C.E. Bosworth,
E. van Donzel, W.P. Heinrichs. Encyclopaedia of Islam (Second ed.). Brill. ISBN 9789004161214.
Rehman, J. (2007), The Sharia, Islamic Family Laws and International Human Rights Law: Examining
the Theory and Practice of Polygamy and Talaq, International Journal of Law, Policy and the Family,
21(1), pp 108-127.
A. Qanun Aceh Nomo 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat
B. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
C. Undang – Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia

II. Pembahasan
Menurut Pasal 4 ayat 4 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum
Jinayat mengatakan bahwa hal utama dalam penegakan hukum syariah adalah Uqubat
Ta'zir sebagaimana tercantum dalam ayat 3 huruf a yang terdiri dari: panji-panji, denda,
penjara, denda (Resitusi), yang kami khawatirkan disini adalah hukuman tentang
pencambukan (hukum cambuk). Pencambukan dilarang di Indonesia. Karena hal
tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang mengatakan bahwa, 'Hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak atas kebebasan, pikiran, dan hati nurani, hak
untuk memiliki agama, hak untuk tidak menjadi budak, hak sebagai orang yang sama
di mata Hukum, hak untuk tidak menuntut jika tidak ada peraturan, dan hak asasi
manusia tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau siapa pun”.

Di sisi lain, Hukum Jinayat (UU Pidana Aceh) memiliki sanksi sendiri untuk
menghukum seorang terdakwa. Jadi bisa kita lihat di sini bahwa, hukum pidana di
Aceh melanggar hak asasi manusia. Hukum Pidana Aceh juga melanggar Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik. ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi HAM)
menyatakan bahwa sanksi cambuk tersebut merupakan langkah yang mengarah pada
kemunduran dari mempertahankan hak asasi manusia di Indonesia. Sanksi pelarangan
dikategorikan sebagai tindakan jahat, dan juga mempermalukan hak asasi manusia.
Undang-undang nasional dan konvensi internasional melarang sanksi tersebut.

Pasal 7 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik mengatakan “Tidak


seorang pun akan mengalami penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Secara khusus, tidak ada
yang akan dikenakan tanpa persetujuan bebasnya untuk eksperimen medis atau
ilmiah”. Hal ini jelas dinyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa disiksa di
alam semesta ini. Juga Pasal 26 menyatakan “Semua orang sama di hadapan hukum
dan diberi hak tanpa diskriminasi terhadap perlindungan hukum yang sama. Dalam hal
ini, undang-undang harus melarang diskriminasi dan jaminan kepada semua orang
sama dan efektif terhadap diskriminasi terhadap hal-hal seperti ras, warna kulit, agama,
politik, atau pendapat, asal usul nasional atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status
lainnya”.

Jaksa merupakan pihak yang terlibat aktif dalam menjalankan hukum formil
peraturan Qanun Jinayah. Jaksa merupakan pihak eksekutor dalam menentukan
banyaknya jumlah cambukan yang harus diterima oleh seorang terdakwa yang
dijatuhi hukuman tersebut. Berdasarkan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana disebutkan bahwa Pidana terdiri dari:

a. Pidana Pokok:

1. Pidana Mati;
2. Pidana Penjara;
3. Kurungan;
4. Denda.

b. Pidana Tambahan :

1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu;


2. Penyitaan
3. Putusan Hakim.

Jelas tidak ada diatur penjatuhan hukuman melalui pencambukan. Qanun Aceh
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat jelas bertentangan dengan Hukum
Pidana nasional Indonesia.

Perlu diketahui bahwa dalam menjalankan dan menegakkan peraturan


Qanun Jinayah berupa hukuman cambuk, Jaksa adalah pihak yang berperan aktif
dalam melakukan eksekusi terhadap terdakwa. Dikaitkan dengan Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, bahwa Penuntut Umum
memiliki tugas sebagai pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, maupun yang tercantum di dalam peraturan perundang-
undangan lain yang mengatur. Berdasarkan doktrin Tri Krama Adhyaksa, yaitu
Satya, Adhi dan Wicaksana yang memiliki makna tata pikir, tata tutur dan tata laku
yang menghasilkan seorang jaksa yang mandiri dan mumpuni. Jabatan jaksa
merupakan jabatan profesi yang diharuskan memiliki kemampuan yang kofnitif
dan efektif dalam pekerjaannya. Sebagai pihak yang berperan aktif, tentunya kami
melihat bahwa hal tersebut sangatlah tidak sesuai dengan penegakan hukum pidana
sebagaiman sudah kami uraikan diatas. Meskipun sebagai daerah istimewa, namun
menurut kami hal ini sangatlah bertentangan dengan kode etik, wewenang kami
sebagai seorang jaksa dalam menjatuhkan hukuman kepada seorang terdakwa.
Lagi-lagi, tentunya hal ini sangatlah bertentangan dengan hukum pidana yang
berlaku di Indonesia juga mencedireai hak asasi manusia.

Dalam khasanah pembentukan peraturan perundang-undangan, hak asasi


manusia merupakan hal yang haruslah diperhatikan. Penjatuhan hukuman kepada
pelaku kejahatan janganlah sampai menciderai hak tersebut. Selain itu,
pembentukan peraturan daerah juga seharusnya disesuaikan dengan Undang-
Undang yang berkedudukan lebih tinggi, supaya menghindari konflik antar
peraturan perundang-undangan. Indonesia adalah Negara yang menjunjung tinggi
hak asasi manusia, namun dengan semakin banyaknya jumlah eksekusi tersebut,
menurut kami ini adalah sebuah kemunduran dalam penegakkan hak asasi manusia
di Indonesia.

Melihat semakin maraknya keikutsertaan seorang Jaksa dalam proses


eksekusi hukuman cambuk bagi seorang terdakwa, kami melihat sudah seharusnya
dilakukan penyadaran kembali akan tugas, pokok dan fungsi serta kode etik Jaksa
sebagai aparatur penegak hukum di Indonesia yang sudah seharusnya menjalankan
ketentuan pelaksanaan pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan amandemen terhadap
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Tujuannya adalah
sebagai salah bentuk legitimasi yang secara yuridis menjelaskan boleh atau
tidaknya seorang Jaksa berperan serta dalam penjatuhan hukuman cambuk bagi
terdakwa yang melanggar ketentuan yang terdapat di dalam Qanun Jinayah.

Menurut pendapat kami, hukuman penyambukan ini bukanlah cara


sempurna untuk menghukum pelaku kriminal. Cambuk hanya membuat luka tapi
tidak menyesali. Selain itu melanggar hak asasi manusia. Cara terbaik untuk
menghukum pelaku kriminal dengan memberi mereka hukuman berdasarkan
Hukum Pidana Indonesia. Hukum Pidana Indonesia sudah memiliki semuanya.
Bagaimana menghukum mereka dengan baik dengan tidak melanggar hak asasi
manusia.

III. Kesimpulan

Pasal 4 ayat 4 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat
mengatakan bahwa hal utama dalam penegakan hukum syariah adalah Uqubat Ta'zir
sebagaimana tercantum dalam ayat 3 huruf a yang terdiri dari: panji-panji, denda,
penjara, denda (Resitusi), yang kami khawatirkan disini adalah hukuman tentang
pencambukan (hukum cambuk). Pencambukan dilarang di Indonesia. Karena hal
tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Undang-undang nasional
dan konvensi internasional melarang sanksi tersebut.

Perlu diketahui bahwa dalam menjalankan dan menegakkan peraturan Qanun


Jinayah berupa hukuman cambuk, Jaksa adalah pihak yang berperan aktif dalam
melakukan eksekusi terhadap terdakwa. Sebagai pihak yang berperan aktif, tentunya
kami melihat bahwa hal tersebut sangatlah tidak sesuai dengan penegakan hukum
pidana sebagaiman sudah kami uraikan diatas. Meskipun sebagai daerah istimewa,
namun menurut kami hal ini sangatlah bertentangan dengan kode etik, wewenang kami
sebagai seorang jaksa dalam menjatuhkan hukuman kepada seorang terdakwa.

Perlu diketahui bahwa dalam menjalankan dan menegakkan peraturan Qanun


Jinayah berupa hukuman cambuk, Jaksa adalah pihak yang berperan aktif dalam
melakukan eksekusi terhadap terdakwa. Dikaitkan dengan Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, bahwa Penuntut Umum memiliki tugas
sebagai pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
maupun yang tercantum di dalam peraturan perundang-undangan lain yang mengatur.
Berdasarkan doktrin Tri Krama Adhyaksa, yaitu Satya, Adhi dan Wicaksana yang
memiliki makna tata pikir, tata tutur dan tata laku yang menghasilkan seorang jaksa
yang mandiri dan mumpuni. Jabatan jaksa merupakan jabatan profesi yang diharuskan
memiliki kemampuan yang kofnitif dan efektif dalam pekerjaannya.

Melihat semakin maraknya keikutsertaan seorang Jaksa dalam proses


eksekusi hukuman cambuk bagi seorang terdakwa, kami melihat sudah seharusnya
dilakukan penyadaran kembali akan tugas, pokok dan fungsi serta kode etik Jaksa
sebagai aparatur penegak hukum di Indonesia yang sudah seharusnya menjalankan
ketentuan pelaksanaan pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan amandemen terhadap
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Tujuannya adalah
sebagai salah bentuk legitimasi yang secara yuridis menjelaskan boleh atau
tidaknya seorang Jaksa berperan serta dalam penjatuhan hukuman cambuk bagi
terdakwa yang melanggar ketentuan yang terdapat di dalam Qanun Jinayah.

Anda mungkin juga menyukai