Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius.


Hampir sekitar 72 juta orang di USA dan 1 miliar orang di dunia menderita
hipertensi. Sekitar 1-2% dari penderita hipertensi akan mengalami peningkatan
tekanan darah secara mendadak dalam waktu tertentu. Peningkatan secara
mendadak tekanan darah sistolik ≥ 180 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 120
mmHg dinamakan krisis hipertensi. JNC 7 membagi krisis hipertensi berdasarkan
ada atau tidaknya kerusakan organ sasaran yang progresif, yaitu hipertensi
emergensi dan hipertensi urgensi.1,2 Kerusakan organ yang dimaksud antara lain
ensefalopati hipertensi, infark miokard akut, gagal jantung kiri disertai edema paru,
diseksi aneurisma aorta, dan eklamsia. Tujuan utama pada penangangan krisis
hipertensi adalah menurunkan tekanan darah. Upaya penurunan tekanan darah pada
kasus hipertensi emergensi harus dilakukan segera (<1 jam) sedangkan kasus
hipertensi urgensi dapat dilakukan dalam kurun waktu beberapa jam hingga hari.
Penanganan pertama yang dilakukan pada hipertensi emergensi ialah memberikan
obat antihipertensi kerja cepat secara intravena, sedangkan pada hipertensi urgensi
cukup dengan pemberian obat antihipertensi secara oral. Selain itu, pasien dengan
hipertensi emergensi sebaiknya dirawat di ICU (Intensive Care Unit) demi
pemantauan secara ketat atas pemberian obat antihipertensi intravena. Oleh karena
itu, prinsip penatalaksanaan krisis hipertensi sangat penting untuk diketahui
mengingat semakin tingginya angka morbiditas serta mortalitas pada pasien-pasien
hipertensi yang tidak ditangani dengan baik. 1,2

Universitas Tarumanagara 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KRISIS HIPERTENSI


2.1.1 Definisi
Krisis hipertensi adalah suatu keadaan peningkatan tekanan darah yang
mendadak sistolik ≥ 180 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥ 120 mmHg,
pada penderita hipertensi, yang membutuhkan penanggulangan segera. Krisis
hipertensi dibagi menjadi dua kategori, yaitu hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi. Hipertensi emergensi adalah peningkatan secara mendadak tekanan darah
sistolik ≥ 180 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 120 mmHg disertai dengan
adanya kerusakan target organ akut atau progresif sehingga membutuhkan
penurunan tekanan darah segera. Hipertensi urgensi adalah peningkatan secara
mendadak tekanan darah sistolik ≥ 180 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 120
mmHg tanpa gejala yang berat atau kerusakan target organ progresif dimana
kondisi ini membutuhkan penurunan tekanan darah dalam beberapa jam. 2

2.1.2 Epidemiologi
Hipertensi merupakan masalah klinis yang sangat umum di negara barat.
Hipertensi mengenai sekitar 72 juta orang di USA dan sekitar 1 miliar orang di
dunia. Kebanyakan dari mereka merupakan hipertensi primer dan sekitar 30% nya
tidak terdiagnosis. Selanjutnya, hanya sekitar 14% - 29% pasien di Amerika dengan
hipertensi memiliki tekanan darah yang terkontrol. Insiden dari hipertensi
meningkat sesuai umur. Pada studi Framingham angka kejadian hipertensi pada
pria meningkat dari 3,3% di usia 30-39 tahun menjadi 6,2% di usia 70-79 tahun.
Selain itu, insidensi hipertensi lebih tinggi pada ras Afrika-Amerika dibandingkan
mereka yang berkulit putih. Prevalensi dan insidensi hipertensi di Mexico-Amerika
sama atau lebih rendah dibandingkan dengan kulit putih non-Hispanik. 1
Di Indonesia masalah hipertensi cenderung meningkat. Hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa 8,3%
penduduk menderita hipertensi dan meningkat menjadi 27,5% pada tahun 2004.

Universitas Tarumanagara 2
Menurut Pusat Penelitian Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian Kesehatan
Departemen Kesehatan R.I tahun 2009, prevalensi hipertensi di Indonesia
meningkat mencapai 32,2%. Dari kasus hipertensi yang terjadi di Indonesia,
mereka yang memiliki riwayat minum obat hanya 7,8% atau hanya 24,2% dari
kasus hipertensi di masyarakat. Hal ini menunjukkan 75,8% kasus hipertensi di
Indonesia belum terdiagnosis dan terjangkau oleh pelayanan kesehatan. 1
Semakin meningkatnya kasus hipertensi yang terjadi di dunia dapat
menyebabkan semakin seringnya terjadi komplikasi lebih lanjut yang dapat
mengancam jiwa. Diperkirakan sekitar 1 % dari pasien hipertensi akan mengalami
krisis hipertensi. Sebelum adanya terapi antihipertensi, komplikasi ini mencapai
angka 7% dari populasi kejadian hipertensi. Secara epidemiologis, kejadian krisis
hipertensi paralel dengan distribusi hipertensi primer dalam komunitas, dan lebih
tinggi pada mereka orang African-American dan usia lebih tua, dimana pria terkena
2 kali lebih sering dibandingkan wanita. Kebanyakan dari pasien yang mengalami
krisis hipertensi ialah mereka yang sudah terdiagnosis memiliki hipertensi primer
dan banyak diantaranya sudah diberikan terapi antihipertensi dengan kontrol
tekanan darah yang tidak adekuat. Pada beberapa penelitian yang ada menunjukkan
bahwa pasien dengan krisis hipertensi memiliki peluang yang lebih besar untuk
menderita gangguan somatoform,stroke serta penyakit jantung hipertensi dan atau
penyakit jantung koroner. Kurangnya tenaga dokter, kegagalan untuk memberikan
terapi antihipertensi lebih awal, serta ketidaksesuaian dalam memberikan terapi
antihipertensi menjadi faktor resiko yang cukup besar untuk terjadinya hipertensi
emergensi. Hal inilah yang menyebabkan semakin tingginya kejadian krisis
hipertensi yang terjadi pada pasien-pasien hipertensi. 1,2

2.1.3. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya krisis hipertensi masih belum begitu jelas, namun
demikian ada dua peran penting yang menjelaskan patofisiologi tersebut yaitu :
1. Peran langsung dari peningkatan tekanan darah
2. Peran mediator endokrin dan parakrin

Universitas Tarumanagara 3
a. Peran peningkatan Tekanan Darah
Peningkatan mendadak tekanan darah yang berat maka akan terjadi
gangguan autoregulasi disertai peningkatan mendadak resistensi vaskuler sistemik
yang menimbulkan kerusakan organ target dengan sangat cepat. Gangguan
terhadap sistem autoregulasi secara terus-menerus akan memperburuk keadaan
pasien selanjutnya. Pada keadaan tersebut terjadi keadaan kerusakan endovaskuler
(endothelium pembuluh darah) yang terus-menerus disertai nekrosis fibrinoid di
arteriolus. Keadaan tersebut merupakan suatu siklus (vicious circle) dimana akan
terjadi iskemia, pengendapan platelet dan pelepasan beberapa vasoaktif. Trigernya
tidak diketahui dan bervariasi tergantung dari proses hipertensi yang
mendasarinya.3,4
Bila stress peningkatan tiba-tiba tekanan darah ini berlangsung terus-
menerus maka sel endothelial pembuluh darah menganggapnya suatu ancaman dan
selanjutnya melakukan vasokontriksi diikuti dengan hipertropi pembuluh darah.
Usaha ini dilakukan agar tidak terjadi penjalaran kenaikan tekanan darah ditingkat
sel yang akan menganggu hemostasis sel. Akibat dari kontraksi otot polos yang
lama, akhirnya akan menyebabkan disfungsi endotelial pembuluh darah disertai
berkurangnya pelepasan nitric oxide (NO). Selanjutnya disfungsi endotelial akan
ditriger oleh peradangan dan melepaskan zat-zat inflamasi lainnya seperti sitokin,
endhotelial adhesion molecule dan endhoteli-1.3
Mekanisme ditingkat sel ini akan meningkatkan permeabilitas dari sel
endotelial, menghambat fibrinolisis dan mengaktifkan sistem koagulasi. Sistem
koagulasi yang teraktifasi ini bersama-sama dengan adhesi platelet dan agregasi
akan mengendapkan materi fibrinoid pada lumen pembuluh darah yang sudah kecil
dan sempit sehingga makin meningkatkan tekanan darah. Siklus ini berlangsung
terus dan menyebabkan kerusakan endotelial pembuluh darah yang makin parah
dan meluas.3

Universitas Tarumanagara 4
Gambar 2.1. Patofisiologi Hipertensi Emergensi 3

b. Peranan Mediator Endokrin dan Parakrin


Sistem renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA) memegang peran penting
dalam patofisiologi terjadinya krisis hipertensi. Peningkatan renin dalam darah
akan meningkatkan vasokonstriktor kuat angiotensin II, dan akan pula
meningkatkan hormon aldosteron yang berperan dalam meretensi air dan garam
sehingga volume intravaskuler akan meningkat pula. Keadaan tersebut diatas
bersamaan pula dengan terjadinya peningkatan resistensi perifer pembuluh darah
yang akan meningkatkan tekanan darah. Apabila tekanan darah meningkat terus
maka akan terjadi natriuresis sehingga seolah-olah terjadi hipovolemia dan akan
Universitas Tarumanagara 5
merangsang renin kembali untuk membentuk vasokonstriktor angiotensin II
sehingga terjadi iskemia pembuluh darah dan menimbulkan hipertensi berat atau
krisis hipertensi.3,4

2.1.4 Faktor Presipitasi


Keadaan-keadaan klinis yang sering mempresipitasi timbulnya krisis
hipertensi antara lain ialah 4,5:
 Kenaikan tekanan darah tiba-tiba pada penderita hipertensi kronis
primer
 Hipertensi renovaskular
 Glomerulusnefritis akut
 Sindroma withdrawal anti hipertensi
 Cedera kepala dan ruda paksa pada susunan saraf pusat
 Renin-sekretin tumor
 Pemakaian prekusor katekolamin pada pasien yang mendapat MAO
Inhibitor
 Penyakit parenkim ginjal
 Pengaruh obat : kontrasepsi oral, anti depresan trisiklik,
simpatomimetik (pil diet sejenis amfetamin), kortikosteroid,
NSAID
 Luka bakar
 Progresif sistematik sklerosis, SLE

2.1.5 Faktor Resiko


 Penderita hipertensi yang tidak meminum obat atau minum obat
anti hipertensi tidak teratur
 Kehamilan
 Penggunaan NAPZA
 Penderita dengan rangsangan simpatis yang tinggi seperti, luka
bakar berat, feokromositoma, penyakit kolagen, penyakit vaskuler,
dan trauma kepala.

Universitas Tarumanagara 6
2.6 Diagnosis
Hipertensi ini memerlukan penurunan tekanan darah segera meskipun tidak
perlu menjadi normal, untuk membatasi atau mencegah terjadinya kerusakan organ
sasaran. Perburukan cepat artinya jika tidak diberikan terapi secara efektif dalam
waktu tertentu, terdapat kemungkinan terjadinya kegawatdaruratan. Krisis
hipertensi adalah keadaan hipertensi yang memerlukan penurunan tekanan darah
segera karena akan mempengaruhi keadaan pasien selanjutnya. Tingginya tekanan
darah bervariasi, yang terpenting adalah cepat naiknya tekanan darah. 5,6
Pada hipertensi emergensi, situasi di mana diperlukan penurunan tekanan
darah yang segera dengan obat antihipertensi parenteral karena adanya kerusakan
organ target akut atau progresif. Kerusakan yang dapat terjadi antara lain. 3,4 :
1. Neurologik : Encephalopati hipertensi, stroke hemoragik (intraserebral atau
subdural) atau iskemik, papil edema.
2. Kardiovaskuler : Unstable angina, infark miokardium akut, gagal jantung
dengan edema peru, diseksi aorta.
3. Renal : Proteinuria, hamaturia, gagal ginjal akut, krisis ginjal scleroderma.
4. Mikroangiopati : anemia hemolitik.
5. Preeklampsia dan eklampsia.

Gambar 2.2 Kerusakan Target Organ Pada Hipertensi Emergensi2

Universitas Tarumanagara 7
Riwayat penyakit ditujukan pada system neurologis dan kardiovaskular,
medikasi dan penggunaan obat. Keluhan neurologi mungkin dramatik, tetapi sering
kali berupa gejala yang tidak spesifik seperti nyeri kepala, malaise, dan persepsi
yang samar-samar tentang kemampuan mental, dan merupakan satu-satunya tanda
dekompensasi sistem saraf pusat (SSP) akut. Riwayat penyakit SSP atau
serebrovaskular sebelumnya harus dicari, karena komplikasi terapetik lebih sering
terjadi pada pasien dengan riwayat penyakit tersebut. .4,5
Pada hipertensi urgensi, situasi di mana terdapat peningkatan tekanan darah
yang bermakna (ada yang menyebut tekanan darah sistolik > 220 mmHg atau
tekanan darah diastolik > 125 mmHg) tanpa adanya gejala berat atau kerusakan
target organ progresif dan tekanan darah perlu diturunkan dalam beberapa jam. 4,5
Prinsip-prinsip penegakan diagnosis hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi tidak berbeda dengan penyakit lainnya 3,5 ;
1. Anamnesis
Riwayat hipertensi dan terapinya, kepatuhan minum obat, tekanan darah
rata-rata, riwayat pemakaian obat-obat simpatomimetik dan steroid,
kelainan hormonal, riwayat penyakit kronik lain, gejala-gejala serebral,
jantung dan gangguan penglihatan.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran tekanan darah pada kedua lengan, perabaan denyut nadi
perifer (raba nadi radialis kedua lengan dan kemungkinan adanya
selisih dengan nadi femoral, radial-femoral pulse leg ),
b. Mata ; Lihat adanya papil edema, pendarahan dan eksudat,
penyempitan yang hebat arteriol.
c. Jantung ; Palpasi adanya pergeseran apeks, dengarkan adanya bunyi
jantung S3 dan S4 serta adanya murmur.
d. Paru ; perhatikan adanya ronki basal yang mengindikasikan CHF.
e. Status neurologik ; pendekatan pada status mental dan perhatikan
adanya defisit neurologik fokal. Periksa tingkat kesadarannya dan
refleks fisiologis dan patologis.

Universitas Tarumanagara 8
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan dilakukan dengan memperhatikan penyakit dasarnya,
penyakit penyerta, dan kerusakan target organ. Yang sering dilakukan
antara lain; pemeriksaan elektrolit, BUN, glukosa darah, kreatinin,
urinalisis, hitung jenis komponen darah dan SADT. Pemeriksaan lainnya
antara lain foto rontgen toraks, EKG dan CT-Scan.

Gambar 2.3 Kategori Diagnostik dan Evidence Kerusakan Organ Target 5

Universitas Tarumanagara 9
2.1.7 Tatalaksana
a. Dasar-dasar penatalaksanaan krisis hipertensi
Tekanan darah yang sedemikian tinggi haruslah diturunkan karena
penundaan akan memperburuk penyakit yang akan timbul baik cepat maupun
lambat. Tetapi di pihak lain, penurunan yang terlalu agresif juga dapat
menimbulkan berkurangnya perfusi dan aliran darah ke organ vital terutama otak,
jantung, dan ginjal. Untuk menurunkan tekanan darah sampai ke tingkat yang
diharapkan perlu diperhatikan berbagai faktor antara lain tekanan darah perlu
diturunkan segera atau bertahap, pengamatan yang menyertai krisis hipertensi,
perubahan aliran darah dan autoregulasi tekanan darah pada organ vital, pemilihan
obat anti hipertensi efektif untuk krisis hipertensi, dan monitoring efek samping
obat. .3,4,5

b. Autoregulasi
Autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan
dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran
darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontriksi/dilatasi pembuluh darah.
Dengan pengetahuan autoregulasi dalam menurunkan tekanan darah secara
mendadak dimaksudkan untuk melindungi organ vital agar tidak terjadi iskemi.
Bila tekanan darah turun, terjadi vasodilatasi, jika tekanan darah naik timbul
vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada
fluktuasi mean arterial pressure (MAP) 70-105 mmHg. Rumus perhitungan MAP
ialah :

MAP = Sistolik + 2 x Diastolik


3
Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan memakai
oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang
berkurang. Bila mekanisme ini gagal, maka dapat terjadi iskemi otak dengan
manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkope. Autoregulasi otak
ini kemungkinan disebabkan oleh mekanisme miogenik yang disebabkan oleh
stretch reseptor pada otot polos arteriol otak, walaupun hipoksia mempunyai
peranan dalam perubahan metabolisme di otak. Pada orang normal dengan
Universitas Tarumanagara 10
normotensi, autoregulasi aliran darah ke otak dipertahankan pada MAP antara 60-
120-140 mmHg sehingga penurunan tekanan darah yang cepat sampai batas
hipertensi, masih dapat ditoleransi. Pada penderita hipertensi kronis, penyakit
serebrovaskular dan usia tua, batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan
bergeser ke kanan pada kurva dimana dipertahankan pada MAP tinggi yaitu 120-
160-180 mmHgsehingga pengurangan aliran darah terjadi pada tekanan darah yang
lebih tinggi.3,4,5

Gambar 2.4 Autoregulasi aliran darah otak pada individu normotensi dan
hipertensi 6

Pada orang yang normotensi maupun hipertensi batas terendah dari


autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah resting MAP. Oleh karena itu
dalam pengobatan krisis hipertensi, pengurangan MAP sebanyak 20–25% dalam
beberapa menit/jam, tergantung dari apakah emergensi atau urgensi, misalnya
penurunan tekanan darah pada penderita aorta diseksi akut ataupun edema paru
akibat gagal jantung kiri dilakukan dalam tempo 15–30 menit dan bisa lebih rendah
lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainnya. Penderita hipertensi ensefalopati,
penurunan tekanan darah 25% dalam 2–3 jam. Untuk pasien dengan infark serebri
akut ataupun pendarahan intrakranial, pengurangan tekanan darah dilakukan lebih

Universitas Tarumanagara 11
lambat (6 – 12 jam) dan harus dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari
170–180/100 mmHg. 3,4,5

c. Hipertensi Emergensi
Pada hipertensi emergensi, tujuan pengobatan ialah memperkecil kerusakan
organ target akibat tingginya tekanan darah dan menghindari pengaruh buruk akibat
pengobatan. Berdasarkan prinsip ini maka obat antihipertensi pilihan adalah yang
bekerja cepat, efek penurunan tekanan darah dapat dikontrol dan dengan sedikit
efek samping. Bila diagnosis krisis hipertensi telah ditegakkan, langkah-langkah
yang harus dilakukan ialah 4,5,6:
1. Rawat di ICU. Bila ada indikasi, pasang femoral intraarterial line dan
pulminari arterial kateter untuk menentukan fungsi kardiopulmoner dan
status volume intravaskuler.
2. Anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik, dengan menentukan :
 Penyebab krisis hipertensi
 Penyakit lain yang menyerupai krisis hipertensi disingkirkan
 Adanya kerusakan organ target
3. Tentukan tekanan darah yang diinginkan didasari dari lama tingginya
tekanan darah sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi,
masalah klinis yang menyertai serta usia pasien.
 Menurunkan tekanan arteri rata-rata (MAP) sebanyak 25%
atau mencapai tekanan darah diastolik 100 – 110 mmHg
dalam waktu beberapa menit sampai satu atau dua jam.
Kemudian tekanan darah diturunkan menjadi 160/100 mmHg
dalam 2 sampai 6 jam. Tekanan darah diukur setiap 15 sampai
30 menit.
 Pada stroke, penurunan tekanan darah hanya boleh 20% dan
khusus pada stroke iskemik penurunan tekanan darah secara
bertahap bila tekanan darah > 220/130 mmHg.
 Penurunan tekanan darah yang terlalu cepat dapat
menyebabkan iskemia renal, serebral dan miokardium.

Universitas Tarumanagara 12
Pada hipertensi emergensi, pemberian obat antihipertensi melalui intravena
(IV). Berikut ini merupakan obat antihipertensi parenteral yang digunakan, antara
lain :

Gambar 2.5 Obat Antihipertensi Intravena pada Hipertensi Emergensi 3

Universitas Tarumanagara 13
Berdasarkan kerusakan organ target, obat antihipertensi yang diberikan ialah :

Gambar 2.6 Pilhan Obat Antihipertensi Sesuai Kerusakan Organ Target 3

d. Hipertensi Urgensi
Pada hipertensi urgensi, tujuan pengobatan ialah penurunan tekanan darah
sama seperti hipertensi emergensi, hanya saja dalam waktu 24 sampai 48 jam.
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit.
Sebaiknya penderita ditempatkan di ruangan yang tenang, tidak terang, dan diukur
kembali dalam 30 menit. Bila tekanan darah masih sangat meningkat, maka dapat
dimulai pengobatan. Umumnya digunakan obat-obat oral antihipertensi dalam
menanggulangi hipertensi urgensi. Berikut ini ialah obat antihipertensi oral yang
diberikan, antara lain 5,6,7:
Universitas Tarumanagara 14
 Nifedipine
o Pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit), bukal (onset
5–10 menit), oral (onset 15-20 menit), durasi kerja 5 – 15 menit
secara sublingual/ buccal. Efek samping: sakit kepala, takikardi,
hipotensi, flushing, oyong.
 Clonidine
o Pemberian secara oral dengan onset 30–60 menit, durasi kerja 8-12
jam. Dosis: 0,1-0,2 mg, dilanjutkan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai
dengan 0,7 mg. Efek samping: sedasi, mulut kering. Hindari
pemakaian pada AV blok derajat 2 dan 3, bradikardi, sick sinus
syndrome. Over dosis dapat diobati dengan tolazoline.
 Captopril
o Pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25 mg dan dapat diulang
setiap 30 menit sesuai kebutuhan. Efek samping: angioneurotik
edema, rash, gagal ginjal akut pada penderita bilateral renal arteri
stenosis.
 Prazosin
o Pemberian secara oral dengan dosis 1-2 mg dan diulang per jam bila
perlu. Efek samping: sinkop, hipotensi ortostatik, palpitasi,
takikardi, sakit kepala.

Dengan pemberian nifedipine ataupun clonidine oral dicapai penurunan


MAP sebanyak 20% ataupun tekanan darah <120 mmHg. Demikian juga captopril,
prazosin terutama digunakan pada penderita hipertensi urgensi akibat dari
peningkatan katekolamin. Perlu diingat bahwa pemberian obat anti hipertensi
oral/sublingual dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang cepat dan
berlebihan bahkan sampai ke batas hipotensi, walaupun hal ini jarang sekali terjadi.
5,6,7

Selain itu, reaksi hipotensi akibat pemberian oral nifedipine dapat


menyebabkan timbulnya infark miokard dan stroke. Dengan pengaturan titrasi dosis
nifedipine ataupun clonidin biasanya tekanan darah dapat diturunkan bertahap dan

Universitas Tarumanagara 15
mencapai batas aman dari MAP. Penderita yang telah mendapat pengobatan
antihipertensi cenderung lebih sensitif terhadap penambahan terapi. Untuk
penderita hipertensi dengan riwayat penyakit serebrovaskular dan koroner, pasien
umur tua serta pasien dengan volume depletion maka dosis obat nifedipine dan
clonidine harus dikurangi. Seluruh penderita diobservasi paling sedikit selama 6
jam setelah tekanan darah turun untuk mengetahui efek terapi dan juga
kemungkinan timbulnya hipotensi ortostatil. Bila tekanan darah penderita yang
diobati tidak berkurang maka sebaiknya penderita dirawat dirumah sakit. 5,6,8

c. Krisis Hipertensi pada Keadaan Khusus


i. Krisis Hipertensi pada Gangguan Otak
 Stroke
Stroke Non Hemoragik
 Infark : aterotrombotik, kardioembolik, lakunar.
 Tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan diastolik > 120 mmHg,
dimana pengukuran dilakukan dua kali dalam jangka waktu 30
menit.
 Obat anti hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur dengan
batas penurunan maksimal tekanan darah 20-25% dari MAP.
 Jika tekanan darah sistolik 180-220 mmHg dan tekanan
diastolik 105-120 mmHg dilakukan penatalaksanaan seperti
terapi pada hipertensi urgensi.
Stroke Hemoragik
 Perdarahan : perdarahan intraserebral, perdarahan
subarachnoid, pecahnya Arteriovenous Malformation (AVM)
 Tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan diastolik > 120 mmHg,
dimana pengukuran dilakukan dua kali dalam jangka waktu 30
menit.
 Obat anti hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur dengan
batas penurunan maksimal tekanan darah 20-25% dari MAP.
 Target tekanan darah adalah sistolik 160 mmHg dan diastolik
90 mmHg.
Universitas Tarumanagara 16
Catatan :
 The American Stroke Association merekomendasikan
penurunan tekanan darah sebesar 10-15% bila tekanan darah
sistolik > 220 mmHg atau diastolik > 120 mmHg.
 Nifedipin dapat mengakibatkan stroke non-hemoragic dan
infark miokard bila tekanan darah terlalu cepat diturunkan.
 Candexartan cilexetil per oral pada stroke akut memberikan
perbaikan kualitas hidup dalam 1 tahun pertama dengan tidak
menurunkan tekanan darah yang berlebihan.

 Ensefalopati Hipertensi
 Tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan diastolik > 120 mmHg,
dimana pengukuran dilakukan dua kali dalam jangka waktu 30
menit.
 Terdapat gangguan kesadaran, retinopati dengan papiledema,
peningkatan tekanan intrakranial sampai kejang.
 Obat anti hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur
penatalaksanaan krisis hipertensi dengan batas penurunan
tekanan darah 20-25% dari MAP.

 Cedera Kepala dan Tumor Intrakranial


 Pada kasus cedera kepala, tumor intrakranial terdapat gejala
tekanan intrakranial yang meningkat, seperti : sakit kepala
hebat, muntah proyektil/tanpa penyebab gastrointestinal,
papiledema, kesadaran menurun/berubah
 Tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan diastolik > 120 mmHg,
dimana pengukuran dilakukan dua kali dalam jangka waktu 30
menit.
 Obat anti hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur
penatalaksanaan krisis hipertensi dengan batas penurunan
tekanan darah 20-25% dari MAP.

Universitas Tarumanagara 17
 Khusus untuk tumor intrakranial hipofisis perlu dilakukan
pemeriksaan hormonal dan penatalaksanaan sesuai dengan
krisis hipertensi dengan gangguan endokrin.

ii. Krisis Hipertensi pada Penyakit Jantung


 Diseksi Aorta Akut
Definisi
Suatu kondisi akibat robekan pada dinding aorta sehingga
lapisan dinding aorta terpisah dan darah dapat masuk ke sela-sela
lapisan dinding pembuluh darah aorta. 9

Manifestasi klinis
Keluhan dapat bervariasi :
 Nyeri khas aorta : onset mendadak, nyeri teriris sudah maksimal
dirasakan saat awal, lokasi nyeri sesuai lokasi dimana robekan
aorta terjadi.
 Rasa nyeri dada seperti nyeri dada khas infark miokard, bila
proses diseksi menjalar ke ostium arteria koronaria.
 Rasa nyeri di leher disertai pandangan kabur, bila proses diseksi
ekstensi ke arteri karotis.
 Sinkope merupakan petanda komplikasi yang fatal, seperti
tamponade jantung, hipoperfusi serebri.

Diagnosis
Kecurigaan diagnosis diseksi aorta berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik cukup untuk menatalaksana sebagai diseksi
aorta. Diagnosis pasti dengan pencitraan dengan : ekokardiografi
transesofageal (TEE), CT-Scan kontras, MRI. 9

Universitas Tarumanagara 18
Prinsip tatalaksana dan sasaran tekanan darah
 Atasi rasa nyeri dengan morfin intravena. Kemudia,
menurunkan tekanan darah sistolik segera dalam 10-20 menit
dengan target tekanan darah sistolik 110-120 mmHg dan
frekuensi nadi 60 x/menit.
 B-blocker merupakan obat pilihan utama untuk mengurangi
shear stress dan mengontrol tekanan darah.
 Terapi medikamentosa dapat dilakukan pada diseksi aorta
desenden tanpa komplikasi ke organ lain, yakni hipoperfusi
ginjal, ekstremitas dan mesenterika.
 Setelah pasien stabil, idealnya 24-48 jam, obat intravena diganti
dengan oral.

 Edema Paru
Definisi
Suatu keadaan timbulnya tanda dan gejala jantung yang
disertai dengan peningkatan tekanan darah dan gambaran rontgen
thoraks sesuai dengan edema paru. 9

Manifestasi klinis
Keluhan/gejala : sesak napas, orthopnoe, dyspneu on effort

Pemeriksaan fisik
 Tekanan darah sesuai definisi krisis hipertensi
 Frekuensi pernapasan meningkat
 Pada pemeriksaan jantung ditemukan S3 dan/atau S4 gallop
 Pada pemeriksaan paru ditemukan suara napas ekspirasi
memanjang disertai ronki basah halus di seluruh lapangan paru
 Peningkatan tekanan vena jugularis

Universitas Tarumanagara 19
Diagnosis
 Peningkatan tekanan darah sesuai krisis hipertensi
 Gejala dan tanda gagal jantung
 Edema paru pada foto thorak

Prinsip tatalaksana dan sasaran tekanan darah


Terapi diberikan dengan urutan sebagai berikut :
1. O2 dengan target saturasi O2 perifer > 95%, bila perlu dapat
digunakan CPAP atau ventilasi mekanik non-invasif bahkan
ventilasi mekanik invasif
2. Pemberian nitroglycerin sublingual, bila perlu dilanjutkan
dengan pemberiaan drip
3. Pemberiaan diuretik loop intravena (furosemid)
4. Pemberiaan obat anti-hipertensi intravena atau sublingual
5. Bila tidak ada kontra indikasi morfin IV dapat dipertimbangkan
Target penurunan tekanan darah sistolik atau diastolik
sebesar 30 mmHg dalam beberapa menit. Sasaran akhir tekanan
darah sistolik < 130 mmHg dan tekanan darah diastolik < 80 mmHg
sebaiknya dicapai dalam 3 jam .9

 Sindrom Koroner Akut


Definisi
Sindrom koroner akut terdiri dari angina pektoris tidak
stabil, infark miokard non-ST elevasi dan infark miokard dengan ST
elevasi. 9

Manifestasi klinis
Keluhan : nyeri dada dengan penjalaran ke leher atau lengan
kiri dengan durasi lebih dari 20 menit dan dapat disertai dengan
gejala sistemik berupa keringat dingin, mual dan muntah dan
pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda gagal jantung. 9

Universitas Tarumanagara 20
Pemeriksaan fisik : dapat normal atau tanda-tanda gagal jantung.
Diagnosis
1. Anamnesis
2. EKG
3. Enzim petanda kerusakan otot jantung (CKMB, Troponin T)

Prinsip tatalaksan dan sasaran tekanan darah


Penyekat beta dan nitrogliserin merupakan anjuran utama.
Bila tidak terkontrol dapat diberikan golongan golongan kalsium
antagonis parenteral, nicardipin dan diltiazem bila tidak ada
kontraindikasi. Sasaran tekanan darah sistolik adalah < 130 mmHg
dan tekanan darah diastolik < 80 mmHg. Penurunan tekanan darah
harus dilakukan secara bertahap. Penurunan tekanan darah perlu
pemantauan ketat agar tekanan darah diastolik tidak lebih rendah
dari 60 mmHg karena dapat mengakibatkan iskemia miokard
bertambah berat. 9

iii. Krisis Hipertensi pada Penyakit Ginjal


Gagal ginjal akut dapat disebabkan oleh krisis hipertensi. Gagal
ginjal akut dapat ditandai dengan proteinuria, mikroskopik hematuria,
oligouria dan/atau anuria. Penatalaksanan terbaik untuk gagal ginjal akut
akibat krisis hipertensi masih kontroversial. Walaupun nitroprusside sering
digunakan, namun dapat menyebabkan keracunan cyanida atau thiocyanida.
Fenoldopam mesylate (a dopamine-1 receptor agonis) telah menunjukkan
hasil yang menjanjikan dan keamanan yang dapat dijamin. Pemberian
fenoldopam menghindari terjadinya potensi keracunan cyanida atau
thiocyanida akibat nitroprusside untuk gagal ginjal akut dan memiliki efek
meningkatkan fungsi ginjal yang dapat diukur melalui kreatinin klirens. 9

iv. Krisis Hipertensi pada Gangguan Endokrin


Pasien dengan peningkatan katekolamin, seperti pada
feokromositoma, overdosis kokain atau amfetamin, MAO (Monoamin
Universitas Tarumanagara 21
Oksidase) Inhibitor, atau clonidine withdrwal syndrome dapat
menyebabkan krisis hipertensi. Feokromositoma ialah keganasan pada
kelenjar adrenomedular. Feokromositoma dapat menyebabkan terjadinya
krisis hipertensi karena kelebihan produksi epinefrin dan nor-epinefrin yang
dilepaskan ke dalam peredaran darah. Selain itu, stimulasi beta-reseptor
ginjal oleh kadar katekolamin yang tinggi menyebabkan dilepaskannya
renin yang pada akhirnya meningkatkan tekanan arteri. Diagnosis
feokromositoma ditegakkan dengan pemeriksaan katekolamin plasma.
Katekolamin urine dan/atau metabolitnya dalam urine 24 jam (seperti
metanefrin dan vanil mandelic acid). Feokromositoma jarang ditemukan
namun merupakan penyebab yang penting pada krisis hipertensi. Pada
feokromositoma, kontrol awal tekanan darah dapat diberikan sodium
nitroprusside atau phentolamine IV. Beta blockers dapat ditambahkan untuk
meningkatkan kontrol tekanan darah tetapi jangan diberikan sendiri sampai
alfa-blokade dapat dibuktikan merupakan hipertensi paradoksial.
Benzodiapine dapat menjadi salah satu obat anti hipertensi yang utama
untuk intoksikasi kokain. Obat ini menurunkan denyut nadi dan tekanan
darah melalui efek anxiolitik dan oleh karena itu direkomendasikan untuk
pasien keracunan kokain. 9

v. Krisis Hipertensi pada Kehamilan


Pada kehamilan keadaan yang menyertai krisis hipertensi adalah
preeklampsia, dimana dapat ditemukan gangguan penglihatan, sakit kepala
hebat, nyeri abdomen kuadran atas, gagal jantung kongestif dan oliguri
sampai gangguan serebrovaskuler. Bila terjadi kejang penderita masuk
stadium eklampsia. Krisis hipertensi hanya dapat diakhiri dengan proses
persalinan dan penanggulangan dilakukan sesuai penanggulangan krisis
hipertensi dengan perhatian khusus pada kehamilan. Keputusan untuk
melakukan terminasi kehamilan/proses persalinan dilakukan oleh ahli
medis dibidang kebidanan.9

Universitas Tarumanagara 22
BAB III
KESIMPULAN

Krisis hipertensi adalah suatu keadaan peningkatan tekanan darah yang


mendadak sistolik ≥ 180 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥ 120 mmHg,
pada penderita hipertensi, yang membutuhkan penanggulangan segera.
Semakin meningkatnya kasus hipertensi yang terjadi di dunia dapat
menyebabkan semakin seringnya terjadi komplikasi lebih lanjut yang dapat
mengancam jiwa. Diperkirakan sekitar 1 % dari pasien hipertensi akan mengalami
krisis hipertensi
Patofisiologi terjadinya krisis hipertensi masih belum begitu jelas, namun
demikian ada dua peran penting yang menjelaskan patofisiologi tersebut,yaitu :
peran langsung dari peningkatan tekanan darah dan peran mediator endokrin dan
parakrin.
Faktor resiko terbanyak yang sering menyebabkan krisis hipertensi ialah
penderita hipertensi yang tidak meminum obat atau minum obat anti hipertensi
tidak teratur.
Penegakkan diagnosis krisis hipertensi berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Tujuan utama pada penangangan krisis hipertensi adalah menurunkan
tekanan darah. Upaya penurunan tekanan darah pada kasus hipertensi emergensi
harus dilakukan segera (<1 jam) sedangkan kasus hipertensi urgensi dapat
dilakukan dalam kurun waktu beberapa jam hingga hari. Penanganan pertama yang
dilakukan pada hipertensi emergensi ialah memberikan obat antihipertensi kerja
cepat secara intravena, sedangkan pada hipertensi urgensi cukup dengan pemberian
obat antihipertensi secara oral. Selain itu, pasien dengan hipertensi emergensi
sebaiknya dirawat di ICU (Intensive Care Unit) demi pemantauan secara ketat atas
pemberian obat antihipertensi intravena.
Krisis hipertensi pada keadaan khusus memiliki prinsip-prinsip
penatalaksanaan tersendiri dalam menangani kegawatdaruratannya.

Universitas Tarumanagara 23
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahajeng E, Tuminah S. Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di Indonesia. Maj


Kedokteran Indonesia 2009, 59:580-587.
2. Varon J, Marik P.E. Clinical Review: The Management of Hypertensive Crisis. Critical
Care 2003,7:374-384.
3. Vaidta C.K, Ouellette J.R. Hyperntensive Urgency and Emergency. Hospital Physician
2004,1:43-50.
4. Tulman D.B, Stawicki S, Papadimos T.J, Murphy C, Bergese S.D. Advances in
Management of Acute Hypertension: A Concise Review. Discov Med 2012, 12:375-
383
5. Cline D.M, Amin A. Drug Treatment For Hypertensive Emergencies. EMCREG 2008,
1:1-11.
6. Lubis L. Penatalaksanaan Terkini Krisis Hipertensi Preoperatif. CDK-209 2013,
10:733-737.
7. 2013 ESH/ESC Guidelines For The Management of Arterial Hypertension. Journal of
Hypertension 2013, 31:1281-1357.
8. 2014 Evidence Based Guidelines For The Management of High Blood Pressure in
Adults. Report From The Panel Members Appointed to The Eighth Joint National
Comitte
(JNC 8). JAMA 2013, 10:284-427.
9. Konsensus Hipertensi InaSH 2013. Available: www.drivehq.com/folder/p10733490/
11314349336.aspx. Accesed on 7 Jun 2017.

Universitas Tarumanagara 24

Anda mungkin juga menyukai