PENDAHULUAN
Universitas Tarumanagara 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Hipertensi merupakan masalah klinis yang sangat umum di negara barat.
Hipertensi mengenai sekitar 72 juta orang di USA dan sekitar 1 miliar orang di
dunia. Kebanyakan dari mereka merupakan hipertensi primer dan sekitar 30% nya
tidak terdiagnosis. Selanjutnya, hanya sekitar 14% - 29% pasien di Amerika dengan
hipertensi memiliki tekanan darah yang terkontrol. Insiden dari hipertensi
meningkat sesuai umur. Pada studi Framingham angka kejadian hipertensi pada
pria meningkat dari 3,3% di usia 30-39 tahun menjadi 6,2% di usia 70-79 tahun.
Selain itu, insidensi hipertensi lebih tinggi pada ras Afrika-Amerika dibandingkan
mereka yang berkulit putih. Prevalensi dan insidensi hipertensi di Mexico-Amerika
sama atau lebih rendah dibandingkan dengan kulit putih non-Hispanik. 1
Di Indonesia masalah hipertensi cenderung meningkat. Hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa 8,3%
penduduk menderita hipertensi dan meningkat menjadi 27,5% pada tahun 2004.
Universitas Tarumanagara 2
Menurut Pusat Penelitian Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian Kesehatan
Departemen Kesehatan R.I tahun 2009, prevalensi hipertensi di Indonesia
meningkat mencapai 32,2%. Dari kasus hipertensi yang terjadi di Indonesia,
mereka yang memiliki riwayat minum obat hanya 7,8% atau hanya 24,2% dari
kasus hipertensi di masyarakat. Hal ini menunjukkan 75,8% kasus hipertensi di
Indonesia belum terdiagnosis dan terjangkau oleh pelayanan kesehatan. 1
Semakin meningkatnya kasus hipertensi yang terjadi di dunia dapat
menyebabkan semakin seringnya terjadi komplikasi lebih lanjut yang dapat
mengancam jiwa. Diperkirakan sekitar 1 % dari pasien hipertensi akan mengalami
krisis hipertensi. Sebelum adanya terapi antihipertensi, komplikasi ini mencapai
angka 7% dari populasi kejadian hipertensi. Secara epidemiologis, kejadian krisis
hipertensi paralel dengan distribusi hipertensi primer dalam komunitas, dan lebih
tinggi pada mereka orang African-American dan usia lebih tua, dimana pria terkena
2 kali lebih sering dibandingkan wanita. Kebanyakan dari pasien yang mengalami
krisis hipertensi ialah mereka yang sudah terdiagnosis memiliki hipertensi primer
dan banyak diantaranya sudah diberikan terapi antihipertensi dengan kontrol
tekanan darah yang tidak adekuat. Pada beberapa penelitian yang ada menunjukkan
bahwa pasien dengan krisis hipertensi memiliki peluang yang lebih besar untuk
menderita gangguan somatoform,stroke serta penyakit jantung hipertensi dan atau
penyakit jantung koroner. Kurangnya tenaga dokter, kegagalan untuk memberikan
terapi antihipertensi lebih awal, serta ketidaksesuaian dalam memberikan terapi
antihipertensi menjadi faktor resiko yang cukup besar untuk terjadinya hipertensi
emergensi. Hal inilah yang menyebabkan semakin tingginya kejadian krisis
hipertensi yang terjadi pada pasien-pasien hipertensi. 1,2
2.1.3. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya krisis hipertensi masih belum begitu jelas, namun
demikian ada dua peran penting yang menjelaskan patofisiologi tersebut yaitu :
1. Peran langsung dari peningkatan tekanan darah
2. Peran mediator endokrin dan parakrin
Universitas Tarumanagara 3
a. Peran peningkatan Tekanan Darah
Peningkatan mendadak tekanan darah yang berat maka akan terjadi
gangguan autoregulasi disertai peningkatan mendadak resistensi vaskuler sistemik
yang menimbulkan kerusakan organ target dengan sangat cepat. Gangguan
terhadap sistem autoregulasi secara terus-menerus akan memperburuk keadaan
pasien selanjutnya. Pada keadaan tersebut terjadi keadaan kerusakan endovaskuler
(endothelium pembuluh darah) yang terus-menerus disertai nekrosis fibrinoid di
arteriolus. Keadaan tersebut merupakan suatu siklus (vicious circle) dimana akan
terjadi iskemia, pengendapan platelet dan pelepasan beberapa vasoaktif. Trigernya
tidak diketahui dan bervariasi tergantung dari proses hipertensi yang
mendasarinya.3,4
Bila stress peningkatan tiba-tiba tekanan darah ini berlangsung terus-
menerus maka sel endothelial pembuluh darah menganggapnya suatu ancaman dan
selanjutnya melakukan vasokontriksi diikuti dengan hipertropi pembuluh darah.
Usaha ini dilakukan agar tidak terjadi penjalaran kenaikan tekanan darah ditingkat
sel yang akan menganggu hemostasis sel. Akibat dari kontraksi otot polos yang
lama, akhirnya akan menyebabkan disfungsi endotelial pembuluh darah disertai
berkurangnya pelepasan nitric oxide (NO). Selanjutnya disfungsi endotelial akan
ditriger oleh peradangan dan melepaskan zat-zat inflamasi lainnya seperti sitokin,
endhotelial adhesion molecule dan endhoteli-1.3
Mekanisme ditingkat sel ini akan meningkatkan permeabilitas dari sel
endotelial, menghambat fibrinolisis dan mengaktifkan sistem koagulasi. Sistem
koagulasi yang teraktifasi ini bersama-sama dengan adhesi platelet dan agregasi
akan mengendapkan materi fibrinoid pada lumen pembuluh darah yang sudah kecil
dan sempit sehingga makin meningkatkan tekanan darah. Siklus ini berlangsung
terus dan menyebabkan kerusakan endotelial pembuluh darah yang makin parah
dan meluas.3
Universitas Tarumanagara 4
Gambar 2.1. Patofisiologi Hipertensi Emergensi 3
Universitas Tarumanagara 6
2.6 Diagnosis
Hipertensi ini memerlukan penurunan tekanan darah segera meskipun tidak
perlu menjadi normal, untuk membatasi atau mencegah terjadinya kerusakan organ
sasaran. Perburukan cepat artinya jika tidak diberikan terapi secara efektif dalam
waktu tertentu, terdapat kemungkinan terjadinya kegawatdaruratan. Krisis
hipertensi adalah keadaan hipertensi yang memerlukan penurunan tekanan darah
segera karena akan mempengaruhi keadaan pasien selanjutnya. Tingginya tekanan
darah bervariasi, yang terpenting adalah cepat naiknya tekanan darah. 5,6
Pada hipertensi emergensi, situasi di mana diperlukan penurunan tekanan
darah yang segera dengan obat antihipertensi parenteral karena adanya kerusakan
organ target akut atau progresif. Kerusakan yang dapat terjadi antara lain. 3,4 :
1. Neurologik : Encephalopati hipertensi, stroke hemoragik (intraserebral atau
subdural) atau iskemik, papil edema.
2. Kardiovaskuler : Unstable angina, infark miokardium akut, gagal jantung
dengan edema peru, diseksi aorta.
3. Renal : Proteinuria, hamaturia, gagal ginjal akut, krisis ginjal scleroderma.
4. Mikroangiopati : anemia hemolitik.
5. Preeklampsia dan eklampsia.
Universitas Tarumanagara 7
Riwayat penyakit ditujukan pada system neurologis dan kardiovaskular,
medikasi dan penggunaan obat. Keluhan neurologi mungkin dramatik, tetapi sering
kali berupa gejala yang tidak spesifik seperti nyeri kepala, malaise, dan persepsi
yang samar-samar tentang kemampuan mental, dan merupakan satu-satunya tanda
dekompensasi sistem saraf pusat (SSP) akut. Riwayat penyakit SSP atau
serebrovaskular sebelumnya harus dicari, karena komplikasi terapetik lebih sering
terjadi pada pasien dengan riwayat penyakit tersebut. .4,5
Pada hipertensi urgensi, situasi di mana terdapat peningkatan tekanan darah
yang bermakna (ada yang menyebut tekanan darah sistolik > 220 mmHg atau
tekanan darah diastolik > 125 mmHg) tanpa adanya gejala berat atau kerusakan
target organ progresif dan tekanan darah perlu diturunkan dalam beberapa jam. 4,5
Prinsip-prinsip penegakan diagnosis hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi tidak berbeda dengan penyakit lainnya 3,5 ;
1. Anamnesis
Riwayat hipertensi dan terapinya, kepatuhan minum obat, tekanan darah
rata-rata, riwayat pemakaian obat-obat simpatomimetik dan steroid,
kelainan hormonal, riwayat penyakit kronik lain, gejala-gejala serebral,
jantung dan gangguan penglihatan.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran tekanan darah pada kedua lengan, perabaan denyut nadi
perifer (raba nadi radialis kedua lengan dan kemungkinan adanya
selisih dengan nadi femoral, radial-femoral pulse leg ),
b. Mata ; Lihat adanya papil edema, pendarahan dan eksudat,
penyempitan yang hebat arteriol.
c. Jantung ; Palpasi adanya pergeseran apeks, dengarkan adanya bunyi
jantung S3 dan S4 serta adanya murmur.
d. Paru ; perhatikan adanya ronki basal yang mengindikasikan CHF.
e. Status neurologik ; pendekatan pada status mental dan perhatikan
adanya defisit neurologik fokal. Periksa tingkat kesadarannya dan
refleks fisiologis dan patologis.
Universitas Tarumanagara 8
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan dilakukan dengan memperhatikan penyakit dasarnya,
penyakit penyerta, dan kerusakan target organ. Yang sering dilakukan
antara lain; pemeriksaan elektrolit, BUN, glukosa darah, kreatinin,
urinalisis, hitung jenis komponen darah dan SADT. Pemeriksaan lainnya
antara lain foto rontgen toraks, EKG dan CT-Scan.
Universitas Tarumanagara 9
2.1.7 Tatalaksana
a. Dasar-dasar penatalaksanaan krisis hipertensi
Tekanan darah yang sedemikian tinggi haruslah diturunkan karena
penundaan akan memperburuk penyakit yang akan timbul baik cepat maupun
lambat. Tetapi di pihak lain, penurunan yang terlalu agresif juga dapat
menimbulkan berkurangnya perfusi dan aliran darah ke organ vital terutama otak,
jantung, dan ginjal. Untuk menurunkan tekanan darah sampai ke tingkat yang
diharapkan perlu diperhatikan berbagai faktor antara lain tekanan darah perlu
diturunkan segera atau bertahap, pengamatan yang menyertai krisis hipertensi,
perubahan aliran darah dan autoregulasi tekanan darah pada organ vital, pemilihan
obat anti hipertensi efektif untuk krisis hipertensi, dan monitoring efek samping
obat. .3,4,5
b. Autoregulasi
Autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan
dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran
darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontriksi/dilatasi pembuluh darah.
Dengan pengetahuan autoregulasi dalam menurunkan tekanan darah secara
mendadak dimaksudkan untuk melindungi organ vital agar tidak terjadi iskemi.
Bila tekanan darah turun, terjadi vasodilatasi, jika tekanan darah naik timbul
vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada
fluktuasi mean arterial pressure (MAP) 70-105 mmHg. Rumus perhitungan MAP
ialah :
Gambar 2.4 Autoregulasi aliran darah otak pada individu normotensi dan
hipertensi 6
Universitas Tarumanagara 11
lambat (6 – 12 jam) dan harus dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari
170–180/100 mmHg. 3,4,5
c. Hipertensi Emergensi
Pada hipertensi emergensi, tujuan pengobatan ialah memperkecil kerusakan
organ target akibat tingginya tekanan darah dan menghindari pengaruh buruk akibat
pengobatan. Berdasarkan prinsip ini maka obat antihipertensi pilihan adalah yang
bekerja cepat, efek penurunan tekanan darah dapat dikontrol dan dengan sedikit
efek samping. Bila diagnosis krisis hipertensi telah ditegakkan, langkah-langkah
yang harus dilakukan ialah 4,5,6:
1. Rawat di ICU. Bila ada indikasi, pasang femoral intraarterial line dan
pulminari arterial kateter untuk menentukan fungsi kardiopulmoner dan
status volume intravaskuler.
2. Anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik, dengan menentukan :
Penyebab krisis hipertensi
Penyakit lain yang menyerupai krisis hipertensi disingkirkan
Adanya kerusakan organ target
3. Tentukan tekanan darah yang diinginkan didasari dari lama tingginya
tekanan darah sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi,
masalah klinis yang menyertai serta usia pasien.
Menurunkan tekanan arteri rata-rata (MAP) sebanyak 25%
atau mencapai tekanan darah diastolik 100 – 110 mmHg
dalam waktu beberapa menit sampai satu atau dua jam.
Kemudian tekanan darah diturunkan menjadi 160/100 mmHg
dalam 2 sampai 6 jam. Tekanan darah diukur setiap 15 sampai
30 menit.
Pada stroke, penurunan tekanan darah hanya boleh 20% dan
khusus pada stroke iskemik penurunan tekanan darah secara
bertahap bila tekanan darah > 220/130 mmHg.
Penurunan tekanan darah yang terlalu cepat dapat
menyebabkan iskemia renal, serebral dan miokardium.
Universitas Tarumanagara 12
Pada hipertensi emergensi, pemberian obat antihipertensi melalui intravena
(IV). Berikut ini merupakan obat antihipertensi parenteral yang digunakan, antara
lain :
Universitas Tarumanagara 13
Berdasarkan kerusakan organ target, obat antihipertensi yang diberikan ialah :
d. Hipertensi Urgensi
Pada hipertensi urgensi, tujuan pengobatan ialah penurunan tekanan darah
sama seperti hipertensi emergensi, hanya saja dalam waktu 24 sampai 48 jam.
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit.
Sebaiknya penderita ditempatkan di ruangan yang tenang, tidak terang, dan diukur
kembali dalam 30 menit. Bila tekanan darah masih sangat meningkat, maka dapat
dimulai pengobatan. Umumnya digunakan obat-obat oral antihipertensi dalam
menanggulangi hipertensi urgensi. Berikut ini ialah obat antihipertensi oral yang
diberikan, antara lain 5,6,7:
Universitas Tarumanagara 14
Nifedipine
o Pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit), bukal (onset
5–10 menit), oral (onset 15-20 menit), durasi kerja 5 – 15 menit
secara sublingual/ buccal. Efek samping: sakit kepala, takikardi,
hipotensi, flushing, oyong.
Clonidine
o Pemberian secara oral dengan onset 30–60 menit, durasi kerja 8-12
jam. Dosis: 0,1-0,2 mg, dilanjutkan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai
dengan 0,7 mg. Efek samping: sedasi, mulut kering. Hindari
pemakaian pada AV blok derajat 2 dan 3, bradikardi, sick sinus
syndrome. Over dosis dapat diobati dengan tolazoline.
Captopril
o Pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25 mg dan dapat diulang
setiap 30 menit sesuai kebutuhan. Efek samping: angioneurotik
edema, rash, gagal ginjal akut pada penderita bilateral renal arteri
stenosis.
Prazosin
o Pemberian secara oral dengan dosis 1-2 mg dan diulang per jam bila
perlu. Efek samping: sinkop, hipotensi ortostatik, palpitasi,
takikardi, sakit kepala.
Universitas Tarumanagara 15
mencapai batas aman dari MAP. Penderita yang telah mendapat pengobatan
antihipertensi cenderung lebih sensitif terhadap penambahan terapi. Untuk
penderita hipertensi dengan riwayat penyakit serebrovaskular dan koroner, pasien
umur tua serta pasien dengan volume depletion maka dosis obat nifedipine dan
clonidine harus dikurangi. Seluruh penderita diobservasi paling sedikit selama 6
jam setelah tekanan darah turun untuk mengetahui efek terapi dan juga
kemungkinan timbulnya hipotensi ortostatil. Bila tekanan darah penderita yang
diobati tidak berkurang maka sebaiknya penderita dirawat dirumah sakit. 5,6,8
Ensefalopati Hipertensi
Tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan diastolik > 120 mmHg,
dimana pengukuran dilakukan dua kali dalam jangka waktu 30
menit.
Terdapat gangguan kesadaran, retinopati dengan papiledema,
peningkatan tekanan intrakranial sampai kejang.
Obat anti hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur
penatalaksanaan krisis hipertensi dengan batas penurunan
tekanan darah 20-25% dari MAP.
Universitas Tarumanagara 17
Khusus untuk tumor intrakranial hipofisis perlu dilakukan
pemeriksaan hormonal dan penatalaksanaan sesuai dengan
krisis hipertensi dengan gangguan endokrin.
Manifestasi klinis
Keluhan dapat bervariasi :
Nyeri khas aorta : onset mendadak, nyeri teriris sudah maksimal
dirasakan saat awal, lokasi nyeri sesuai lokasi dimana robekan
aorta terjadi.
Rasa nyeri dada seperti nyeri dada khas infark miokard, bila
proses diseksi menjalar ke ostium arteria koronaria.
Rasa nyeri di leher disertai pandangan kabur, bila proses diseksi
ekstensi ke arteri karotis.
Sinkope merupakan petanda komplikasi yang fatal, seperti
tamponade jantung, hipoperfusi serebri.
Diagnosis
Kecurigaan diagnosis diseksi aorta berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik cukup untuk menatalaksana sebagai diseksi
aorta. Diagnosis pasti dengan pencitraan dengan : ekokardiografi
transesofageal (TEE), CT-Scan kontras, MRI. 9
Universitas Tarumanagara 18
Prinsip tatalaksana dan sasaran tekanan darah
Atasi rasa nyeri dengan morfin intravena. Kemudia,
menurunkan tekanan darah sistolik segera dalam 10-20 menit
dengan target tekanan darah sistolik 110-120 mmHg dan
frekuensi nadi 60 x/menit.
B-blocker merupakan obat pilihan utama untuk mengurangi
shear stress dan mengontrol tekanan darah.
Terapi medikamentosa dapat dilakukan pada diseksi aorta
desenden tanpa komplikasi ke organ lain, yakni hipoperfusi
ginjal, ekstremitas dan mesenterika.
Setelah pasien stabil, idealnya 24-48 jam, obat intravena diganti
dengan oral.
Edema Paru
Definisi
Suatu keadaan timbulnya tanda dan gejala jantung yang
disertai dengan peningkatan tekanan darah dan gambaran rontgen
thoraks sesuai dengan edema paru. 9
Manifestasi klinis
Keluhan/gejala : sesak napas, orthopnoe, dyspneu on effort
Pemeriksaan fisik
Tekanan darah sesuai definisi krisis hipertensi
Frekuensi pernapasan meningkat
Pada pemeriksaan jantung ditemukan S3 dan/atau S4 gallop
Pada pemeriksaan paru ditemukan suara napas ekspirasi
memanjang disertai ronki basah halus di seluruh lapangan paru
Peningkatan tekanan vena jugularis
Universitas Tarumanagara 19
Diagnosis
Peningkatan tekanan darah sesuai krisis hipertensi
Gejala dan tanda gagal jantung
Edema paru pada foto thorak
Manifestasi klinis
Keluhan : nyeri dada dengan penjalaran ke leher atau lengan
kiri dengan durasi lebih dari 20 menit dan dapat disertai dengan
gejala sistemik berupa keringat dingin, mual dan muntah dan
pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda gagal jantung. 9
Universitas Tarumanagara 20
Pemeriksaan fisik : dapat normal atau tanda-tanda gagal jantung.
Diagnosis
1. Anamnesis
2. EKG
3. Enzim petanda kerusakan otot jantung (CKMB, Troponin T)
Universitas Tarumanagara 22
BAB III
KESIMPULAN
Universitas Tarumanagara 23
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Tarumanagara 24