Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

ALERGI SUSU SAPI

Disusun Oleh:

Hafiz Muhammad Ikhsan

1113103000024

Pembimbing:

dr. Arie Sulistyowati, M.Sc., SpA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2018
KATA PENGANTAR

Bismillahirohmanirrohim

Assalamualaikum Wr Wb

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat, rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah presentasi
kasus ini yang berjudul “Diare Persisten ec Alergi Susu Sapi”. Makalah presentasi
kasus ini disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian/ SMF
Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati. Pada kesempatan ini,
penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Arie
Sulistyowati, M.Sc., SpA, selaku pembimbing presentasi kasus ini dan semua pihak
yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan kepada
penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah presentasi kasus ini


masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah presentasi kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan
pengetahuan khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan
praktek sehari-hari. Terima kasih.

Wassalamualaikum Wr Wb

Jakarta, Juli 2018

Penulis
1.1 DIARE PERSISTEN
2.0.1 Definisi
Diare persisten atau diare persisten adalah diare akut dengan atau
tanpa disertai darah dan berlanjut selama 14 hari atau lebih. Jika
terdapat dehidrasi sedang atau berat maka diare persisten diklasifikasin
sebagai “berat”. Diare persisten adalah bagian dari diare kronik yang
disebabkan oleh berbagai penyebab. 1,2
2.0.2 Epidemiologi
Angka kejadian diare persisten pada beberapa negara berkembang
berkisar antara 3-23%. Di Indoneisa, kejadian diare persisten belum
banyak dilaporkan karena kejadian diare persisten sering bersamaan
dengan penyakit lainnya seperti otitis media akut, infeksi saluran
kemih, pneumonia dan gizi buruk. 3
Menurut WHO pada program CDC tahun 1991 melaporkan kejadian
diare persisten di Indonesia pada bayi sekitar 4%. Estimasi dari diare
persisten merupakan 10% dari kejadian diare dengan kematian 35%
pada anak di bawah 5 tahun. Diare akut dapat berlanjut menjadi diare
persisten dengan angka kematian 23-62%. 3
2.0.3 Etiologi
Banyak faktor yang dapat menyebabkan diare akut berlanjut
menjadi diare persisten seperti umur di bawah satu taun, keadaan
malnutrisi, penyakit gangguan kekebalan tubuh, riwayat diare
sebelumnya, dan infeksi usus seperti parasit. Diare dapat menyebabkan
malnutrisi, dan berengaruh terhadap lamanya penyembuhan. 3
Pada malnutrisi menyebabkan gangguan protektir dari host sendiri,
hipokloridia, gangguan motilitas, gangguan imunitas selular sehingga
memudahkan kolonisasi bakteri patigen. Pada anak dengan malnutrisi
juga terdapat menurunan pergantian sel mukosa usus setelah infeksi
sehingga memperlambat penyembuhan. 3
Walker-Smith memakai istilah enteropati pasca enteritis untuk diare
akut yang perjalanannya melebihi waktu 2 minggu yang menyebabkan
kerusakan usus halus menetap. Enteropati ini dapat terjadi karena
infeksi persisten oleh patogen yang sama, reinfeksi dengan patogen
laindan senstisasi oleh antigen makanan khususnya terhadap susu sapi,
pada beberapa ada kesembuhan yang tertunda yang dapat terjadi akibat
intoeransi terhadap susu sapi. Enteropasti akibat sensitivitas teradap
susu sapi dapat tumpang tindih dengan enteropati infekstif karena
keduanya dapat terjadi pada saat yang bersamaan. 3
Diare persisten sering bersamaan dengan intoleransi laktosa atau
protein susu sapi. Namun intoleransi laktosa dan protein susu sapi dapat
terjadi secara terpisah. Keadaan intoleransi laktosa dan alergi susu sapi
dapat terjadi secara sekunder terhadap kerusakan mukosa karena
infeksi, malnutrisi atau reaksi alergi susu sapi atau protein lain. 3
Pada penelitian di Indoa dan brazil didapatkan 28-64% bayi dengan
gizi buruk dan diare persisten dilaporkan mengalami intoleransi
laktosa, dan 7-35% mengalami alergi susu sapi. 3

Sesuai dengan definisi dari diare persisten, maka etiologi utama


berupa infeksi. Walaupun diare berkepanjangan dapat disebabkan oleh
berbagai macam faktor, seperti malnutrisi. Di banyak Negara maju
sendiri, sudah membahas beberapa penyebab lain non-infeksi yang
dapat menyebabkan diare persisten. Namun, fokus dari klinis berawal
dari diare akut akibat infeksi saluran cerna. Berikut ini merupakan
berbagai macam etiologi menurut IDAI, yaitu : 4

Kelainan pancreas Perubahan integritas


-Fibrous kistik -Infeksi bakteri,fungal dan viral
-Sindrom Schwman-Diamond -Infeksi parasite
-Pankreatitis kronik -Intoleransi protein sapi dan kedelai
-Sindrom pearson -Inflamatory bowel disease
-Defisiensi enzim pancreas terisolasi
Kelainan asam empedu Perubahan fungsi imunologis
-Kolestasis kronik -Enteropati autoimun
-Reseksi ileum terminal -AIDS
-Overgrowth bacteria -Immunodeficiency
-Malabsorbsi asam empedu primer -Gastroenteropathy eosinofilik
Kelainan usus halus Perubahan fungsi
-Osmolaritas intraluminar -Defek asam empedu
-Malabsorpsi karbohidrat -Defisiensi folat selektif
-Defisensi sukrase
-Malabsorpsi monosakarida congenital
-Asupan berlebih minuman karbonisasi
Perubahan fungsi pencernaan Perubahan area permukaan
-Defisiensi enterokinase -Sindrom post gastroenteritis
-Defisiensi glukoamilase -Short bowel syndrome
-Penyakit inklusi mikrovilus
-Penyakit solvak
Tabel 1 Etiologi Diare Persisten
Sumber: Gastroenterologi dan Hepatologi IDAI. 2012 4

2.0.4 Patogenesis

Patofisiologi diare persisten menurut Ghishan dibagi menjadi 5

a. Sekretorik

Dikeluarkannya ion Cl pada saat diare sekretorik menyebabkan


tidak terjadinya perangkaian ion Na dan Cl pada usus, yang
mengakibatkan banyaknya cairan yang tidak terserap oleh tubuh, dan
banyak terdapat pada intralumen. Secara klinis, akan terjadi perubahan
konsistensi tinja menjadi cair, dengan volume cairan yang keluar
banyak sekitar >200 ml/24 jam. 4

b. Osmotik
Diare jenis ini terjadi saat terjadi malfungsi dari proses penyerapan
maupun pencernaan nutrient dalam usus. Kegagalan proses tersebut
dalam usus akan mengakibatkan zat-zat makanan yang terdapat di
dalam usus akan masuk ke dalam colon tanpa proses penyerapan dalam
usus halus, hal ini nantinya akan membuat peningkatan tekanan osmotic
ke dalam lumen usus, sehingga banyaknya cairan yang akan tertarik ke
dalam lumen, sehingga akan membuat waktu transit usus
berubah,sehingga akan menyebabkan gangguan absorbs nutrient.
Contoh kasus tersering adalah intoleransi laktosa, dimana tidak adanya
enzim lactase meyebabkan banyaknya laktosa tertumpuk di usus besar
yang nantinya akan di fermentasi oleh flora normal usus. Hal ini
nantinya akan menyebabkan perubahan pH pada feses bersifat asam
4
dengan pH <5.0.

c. Mutasi protein transpor

Terdapat mutasi protein CLD yang berfungsi mengatur pertukaran


ion Cl dan HCO3 pada brush border. Hal ini akan membuat kegagalan
dalam absorpsi ion Cl, dan kegagalan dalam mengekskresikan HCO3.
Pada kondisi alkalosis metabolic, hal ini akan berlanjut, sehingga
nantinya ion Na akan terganggu. Meningkatnya ion Cl dan Na akan
menyebabkan terjadinya diare osmotic. 4

d. Pengurangan luas anatomi usus

Kondisi tertentu yang dapat membuat luas permukaan usus


menurun, dapat mengakibatkan diare. Klinis yang dapat kita jumpai
pada pasien biasanya adalah gangguan elektrolit yang hebat, serta
adanya malabsorpsi zat nutrient dan baik makronutrien maupun
mikronutrien. 4

e. Perubahan pada gerakan usus

Hipomotilitas pada berbagai kasus juga dapat menyebabkan diare.


Hal ini terjadi akibat semakin banyaknya proses fermentasi oleh bakteri
flora normal dalam usus yang dapat membuat proses dekonjugasi
garam empedu yang berdampak meningkatnya siklik cAMP
intraseluler, sama seperti pada diare sekretorik. 4

2.0.5 Diagnosis
Anamnesis

Proses anamnesis merupakan hal yang krusial, dimana 70-80%


dapat menegakan diagnosis. Menanyakan riwayat diare berlangsung,
disertai dengan frekuensi, warna feses, bau feses, menanyakan factor
risiko yang dapat mencetuskan diare,adanya darah dalam feses anak,
riwaya pemberian obat,riwayat penurunan berat badan yang signifikan,
riwayat penyakit keluarga,riwayat operasi sebelumnya, riwayat
penyakit gastrointestinal lainnya,seperti kelainan pancreas, riwayat
penggunaan antibiotic,serta riwayat penyakit sistemik. 3,4

Dari anamnesis juga dapat ditermukan gejala demam, mual,


munah, tinja berlendir atau berdarah. Penyakit lain yang bersamaan
dengan diare persisten dapat berupa gizi buruk, alergi susu sapi,
infeksi saluran kencing, dan HIV. 3

Pemeriksaan fisik

Yang menjadi perhatian khusus adalah penilaian status dehidrasi,


status gizi,serta status perkembangan anak. Pemeriksaan bias dimulai
dari pemeriksaan tanda vital seperti nadi, frekuensi napas, suhu. Pada
pemeriksaan abdomen, bias didapatkan adanya distensi usus, nyeri
terlokalisir atau merata, terdapatnya hepatomegali atau massa, serta
adanya bising usus yang meingkat. 4

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan yang bias dilakukan pertama kali adalah pemeriksaan


darah lengkap, elektrolit, ureum dan kreatinin darah, fungsi hepar,
kadar feritin, LED, vitamin B12, folat, kalsium, fungsi tiroid, serta C
reaktif protein. Sementara beberapa referensi juga menyarankan adanya
pemeriksaan serologi untuk penyakit Celiac menggunakan IgA
antiendomysium antibody atau anti retikulin antibody. 3,4

Pemeriksaan tinja meliputi tes enzim pancreas, pH tinja, kultur tinja.


pH tinja yang asam dapat membantu adanya penegakan diagnosis kea
rah intoleransi laktosa. 3,4

2.0.6 Tatalaksana
Lima pilar penatalaksanaan diare, yaitu:
- Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru
Oralit baru adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Berperan
dalam menurunkan kebutuhan suplemenasi intravena dan mampu
mengurangi pengeluaran tinja hingga 20% serta mengurangikejadian
muntah hingga 30%. Komposisi oralit baru : 4
Natrium : 75 Mmol/liter
Klorida : 65 Mmol/liter
Glukosa : 75 Mmol/liter
Kalium : 20 Mmol/liter
Sitrat : 10 Mmol/liter
Total Osmolalitas: 245 Mmol/liter
Satu bungkus oralit baru dilarutkan dalam satu liter air matang untuk
persediaan selama 24 jam. Oralit diberikan setiap kali buang air besar.
Pada anak < 2 tahun: berikan 50-100 mL tiap kali BAB, anak 2 tahun
4
atau lebih diberikan 100-200 mL tiap BAB.
- Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
Pengobatan zinc dalam diare akut berperan dalam proses perbaikan
epitel saluran cerna selama diare, meningkatkan absorbsi air dan
elektrolit usus halus, meningkatkan kecepatan regenerasi epitel usus,
meningkatkan jumblah brush border apical, dan meningkatkan respon
imun yang mempercepat pembersihan patogen dari usus. Dosis yang
diberikan pada anak dibawah 6 bulan yaitu 10 mg/hari, sedangkan pada
anak di atas 6 bulan diberikan 20 mg/hari. 1, 2, 4
Pada diare persisten perlu diberi suplemen multivitamin dan mineral
setiap hari selama dua minggu. Hal ini berfungi untuk mencukupi
vitamin dan mineral yang cukup, termasuk minimal dua RDAs
(recommended Daily Allowance) folat, vitamin A, magnesium dan
copper. Sebagai panduan, satu RDA untuk anak umur 1 tahun adalah
folat 50 microgram, zinc 10 mg, vitamin A 400 microgram, zat beso 10
1, 2, 4
mh, tembaga (copper) 1 mg, magnesium 80 mg. (bsk)
- ASI dan makanan tetap diteruskan
Pemberian makanan diteruskan sesuai dengan menu yang sama pada
waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta
penggganti nutrisi yang hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan
berkurang. Adanya peningkatan nafsu makan menandakan fase
kesembuhan. 2
Pengobata yang berhasil dengan diet dicirikan dengan asupan
makanan yang cukup, pertambahan berat badan setidaknya selama tiga
hari berturut-turut, diare yang berkurang, tidak adanya demam. 2
- Antibiotik selektif
Pemberian antibiotik dilakukan sesuai dengan indikasi misalnya
diare berdarah atau kolera. Pemberian yang tidak sesuai indikasi akan
menggangggu keseimbangan flora usus sehingga diare sulit
disembuhkan. 4
Pada diare persisten yang disertai darah dalam tinja dianjurkan untuk
diobati sebagai shigellosis dan diberikan antibiotik oral yang efektif
untuk shigella yaitu kotrimoksazol. Pengobatan antibiotik yang paling
baik didasarkan pada hasil pemeriksaan tinja rutin, apakah terdapat
amuba vegetatif. Jika positif diberikan metronidazol dengan dosis 50
mgkgBB dibagi tiga osis selama 5 hari. Jika tidak ada amuba, maka
dapat diberikan pengobatan untuk sigella. 2
Beri pengobatan antibiotik oral selama 5 hari, yang senstif sebagian
besar strain shigella. Contoh antibiotik yang sensitif terhadap strain
shigella di Indonesia adalah siprofloxain, sefiksim dan asan nalidiksat. 2
- Nasihat kepada orangtua
Kembali segera jika demam, tinja berdarah, berulang, makan atau
minum sedikit, sangat haus, diare semakin sering, atau membaik dalam
4
3 hari.

Pengobatan diare tanpa dehidrasi

Penderita diare tanpa dehidrasi diberikan cairan untuk mencegah


dehidrasi seperti air tajin, oralit, kuah sayur-sayuran, dan sebagainya.
Pengobatan dapat dilakukan di rumah oleh keluarga. Jumlah cairan yang
diberikan adalah 10 mg/kgbb atau untuk anak <1 tahun adalah 50-100
mL, 1-5 tahun adalah 100-200 mL, 5-12 tahun adalah 200-300 mL dan
dewasa adalah 300-400 mL setiap BAB. 4

Pengobatan diare dehidrasi ringan sedang

Pengobatan pada diare dehidrasi ringan sedang harus dirawat dan


segera diberikan terapi rehidrasi oral dengan oralit. Jumlah oralit yag
diberikan 3 jam pertama adalah 75 mL/kgbb atau untuk umur <1 tahun
adalah 300 mL, 1-5 yahun adalah 600 mL, dan > 5 tahun adalah 1200
mL, dan dewasa adalah 2400 mL. 1,4

Bila penderita tidak dapat diberikan oralit secara peroral, maka oralit
dapat diberikan melalui nasogastrik dengan volume yang sama dengan
kecepatan 20 mL/kgBB/jam. Setelah 3 jam, keadaan pasien dievaluas.
Bila keadaan membaik dan dehidrasi teratasi pengobatan dilanjutkan
dirumah dengan pemberian oralitdan makanan pada diare tanpa
dehidrasi. Bila memburuk dan penderita jatuh dalam keadaan dehidrasi
berat, penderita tetap dirawat di sarana kesehatan dan pengobatan untuk
diberikan cairan parenteral. 1,4

Pengobatan diare dehidrasi berat

Pasien pada diare dehidrasi berat harus dirawat. Untuk rehidrasi


diberikan ringer laktat dengan dosis 100 mL/kgBB. Cara pemberianya
untuk anak usia <1 tahun 1 jam pertama 30 cc/kgBB, dilanjutkan 5 jam
berikutnya 70 cc/kgBB. Pasien di atas 1 tahun diberikan ½ jam pertama 30
cc/kgBB, dilanjutkan 2 ½ jam berikutnya 70 cc/kgBB. 1,4

Evaluasi dilakukan setiap jam. Bila hidrasi tidak membaik maka


tetesan dipercepat. Setelah 6 jam pada bayi atau 3 jam pada anak yang lebih
besar dievaluasi kembali. 1,4

2.1 ALERGI SUSU SAPI


2.1.1 Definisi
Alergi susu sapi (ASS) adalah suatu reaksi yang tidak diinginkan
akibat protein susu sapi, yang diperantarai oleh reaksi imunologi melalui
IgE mediated dan non IgE mediated. Reaksi pada ASS ini bisa terjadi
akibat reaksi hipersensitivitas tipe I atau IV. 5,6

ASS harus dibedakan dari intoleransi susu sapi, yang juga


merupakan reaksi simpang terhadap susu sapi. Intoleransi susu sapi
disebabkan karena sesuatu komponen spesifik dari susu sapi atau karena
karakteristik pejamu (seperti intoleransi laktosa, defisiensi laktase).
Sedangkan alergi susu sapi merupakan respons imun yang abnormal
terhadap susu sapi yang hanya terjadi pada pejamu yang sensitif.
Respons imun dapat diperantarai oleh antibodi (IgE) atau diperantarai
sel (cell mediated/non IgE mediated) atau gabungan keduanya (mixed
IgE mediated-cell mediated). 5

Bagan 1 Alergi Susu Sapi & Intoleransi Susu Sapi termasuk


dalam Reaksi Simpang terhadap susu Sapi
Sumber: Crittenden, 2005.

2.1.2 Epidemiologi

Alergi susu sapi merupakan kelainan yang sering ditemukan.


Susu sapi merupakan salah satu dari “the big-8 alergens”, yang terdiri
dari: telur, kedelai, gandum, kacang-kacangan, kenari, ikan, dan kerang-
kerangan.Susu sapi merupakan alergen yang paling sering menimbulkan
alergi pada masa bayi, hal ini dikarenakan sistem imun yang masih
imatur. Insidens ASS bervariasi menurut usia. Angka kejadian ASS pada
anak usia berusia di bawah 3 tahun sekitar 2%-3%.Pada bayi yang
mendapat ASI eksklusif ditemukan sekitar 0,5% menunjukkan gejala
ASS ringan sampai sedang.7
ASS biasanya bersifat sementara dan toleransi dilaporkan hampir
80% terjadi pada usia 2 tahun. Anak dengan ASS yang tidak diperantarai
IgE bahkan mengalami toleransi lebih dini. Dias dkk melaporkan adanya
ASS yang menetap sampai usia 10 tahun.7

Tabel di bawah ini memperlihatkan perbedaan antara intoleransi


susu sapi, alergi susu sapi yang diperantarai IgE dan yang tidak
diperantarai IgE.

Intoleransi Laktase ASS yang ASS yang tidak


diperantarai IgE diperantarai IgE
Prevalensi Tinggi Rendah Rendah
Variasi Ras Tinggi Rendah Tidak diketahui
Usia Rata- Remaja/dewasa Bayi Bayi dan dewasa
Rata
Yang Laktosa Protein ssu Protein susu, atau
berperan komponen lain
Mekanisme Gangguan Imunologi imuniilogiL cell
metabolik diperantarai IgE mediated dan
defisiensi laktase kompleks imum
usus
Gejala Gastrointestinal Satu atau lebih Terutama GI dan
gejala GI, kulit, atau pernafasan
pernafasan,
anafilaksis
Onset 0,5-2 jam <1 jam >1 jam-beberapa
hari
Diagnostik Lactose tolerance Skin prick tests, Tidk ada tes yang
test, breath tests, RAST sederhana
stool acidity tests DBPCFC
Pencegahan - ASI, menghindari Tidak diketahui
primer protwiin susu pada
usia 0-6 bulan
Pencegahan Menghindari Menghindari Menghindari
Sekunder laktosa protein susu intak protein susu intak
Pilihan susu Hidrolisis laktosa Menghilangkan Menghilangkan
atau epitop alergenik, epitop alergenik
chromatographic hidrolisus protein
lactosa removal susu

Tabel 2 perbedaan Reaksi Simpang Susu Sapi


Sumber Crittenden, 2005

2.1.3 Patofisiologi
Alergi susu sapi merupakan respons imun spesifik alergen susu
sapi yang secara predominan diperantarai IgE (IgE mediated immune
response) dan/atau tidak diperantarai IgE atau seluler (cellular immune
response).8

Protein susu dibagi 2 fraksi utama yaitu fraksi kasein dan whey
dengan rasio 80:20. Penelitian yang dilakukan oleh Shek dkk,
melaporkan bahwa kasein merupakan alergen predominan yang
menyebabkan ASS.9
Komposisi susu sapi dan susu ibu (ASI), selain mempunyai
beberapa persamaan terdapat pula perbedaan yang nyata dalam tipe
protein dan homolognya yang memberi kemungkinan bagi sebagian
besar protein susu untuk dikenali sebagai asing oleh sistem imun
manusia. Pada sebagian besar individu, sistem imun dapat mengenali dan
bertoleransi dengan protein susu sapi. Namun, pada individu yang
mempunyai bakat alergi, sistem imun akan tersensitisasi dan bereaksi
terhadap protein susu sehingga menyebabkan respons imun yang
merugikan.5

Protein ASI (mg/mL) Susu sapi (mg/mL)


a – laktalbumin 2.2 1,2
a – s1 kasein 0 11,6
a – s2 kasein 0 3,0
þ – kasein 2,2 9,6
n – kasein 0,4 3,6
y – kasein 0 1,6
Imunoglobulin 0,8 0,6
Laktoferin 1,4 0,3
þ – laktoglobulin 0 3,0
Lisozim 0,5 Trace
Serum albumin 0,4 0,4
Lain-lain 0,8 0,6

Tabel 3 Komposisi Protein Utama ASI dan Susu Sapi


Sumber: Crittenden, 2005. 5

Protein susu dipinositosis oleh antigen presenting cell (APC) dan


epitop peptida dipresentasikan kepada sel T. Pada alergi yang
diperantarai IgE, sel Th2 efektor berinteraksi dengan sel B melalui IL-4
untuk alih produksi kelas IgE yang spesifik untuk protein susu yang
kemudian berikatan pada permukaan mastosit (sensitisasi). Pada kontak
berikutnya, protein susu yang berikatan silang dengan IgE pada
permukaan mastosit menyebabkan sel tersebut berdegranulasi dan terjadi
pelepasan mediator dengan segera (aktivasi). Pengetahuan tentang
mekanisme yang diperantarai non IgE masih kurang. Mungkin
melibatkan aktivasi sel inflamator melalui interferon-gamma (IFN- y).
Toleransi oral dicapai melalui anergi sel T atau aktivasi sel T regulator
(T-reg) yang menekan kerja sel T efektor (Th1 dan Th2) melalui
interleukin-10 (IL-10), transƒorming growth ƒactor-beta (TGF-þ) atau
kontak antar sel.5
Gambar 1. Mekanisme Reaksi Alergi Susu Sapi
Sumber: Crittenden, 2005.5

Manifestasi gastrointestinal pada alergi susu sapi terutama


disebabkan oleh mekanisme reaksi alergi yang tidak diperantarai IgE.
Pada beberapa kasus juga dapat disebabkan oleh gabungan reaksi alergi
yang diperantarai IgE dan yang tidak diperantarai IgE (mixed IgE and
non IgE-mediated allergy).8

2.1.4 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis ASS dibagi berdasarkan mekanisme


patogenesis yang berperan, yaitu reaksi alergi IgE mediated dan non-IgE
mediated. Reaksi karena mekanisme IgE mediated lebih sering
menyerang kulit dan timbul dengan onset yang cepat, yaitu dalam
beberapa menit sampai 1 jam setelah paparan dengan alergen. Reaksi
alergi karena IgE mediated ini sering disebut dengan “immediate
hypersensitivity”. Pada reaksi alergi non-IgE mediated lebih sering
menyerang saluran gastrointestinal dan cenderung timbul lebih lambat,
dengan onset yang timbul mulai dari 1 jam sampai beberapa hari setelah
meminum protein susu sapi. Keadaan ini disebut “delayed
hypersensitivity”.5
Food and cow’s milk colitis
Gejala yang muncul adalah perdarahan rektum ringan disertai
lendir yang biasanya terjadi pada beberapa jam pertama kehidupan
(apabila terjadi sensitisasi in utero) atau sebelum 3-6 bulan pertama
kehidupan. Kondisi umum tetap baik dan gejala bersifat selƒ-limiting.
Biopsi rektal memperlihatkan inflamasi eosinofilik tipikal disertai erosi
epitel, mikroabses atau fibrosis.5
Gejala dapat dicetuskan oleh pemberian susu formula tetapi dapat
pula terjadi pada bayi yang diberikan ASI eksklusif dan ibu tetap
mengkonsumsi protein susu sapi. Sebagian besar bayi biasanya hanya
alergi terhadap susu sapi, namun sekitar 20% dapat beraksi terhadap telur
atau protein makanan yang lain. Perbaikan klinis biasanya sangat baik
dengan hilangnya gejala dalam 5 hari setelah ibu berpantang
makanan/minuman yang mengandung susu sapi atau mengganti susu
formula dengan preparat susu yang dihidrolisis. Bentuk alergi ini
biasanya menghilang dalam beberapa bulan dan pengenalan kembali
susu sapi dapat dilakukan antara usia 6 dan 12 bulan.mansueto
Eosinophilic oesophagitis
Kelainan ini menunjukkan peningkatan angka kejadian dalam 15
tahun terakhir. Biasanya terjadi pada dewasa pria pada usia 20-30 tahun
namun akhir-akhir ini terdapat peningkatan angka kejadian pada anak.
Kelainan ini didefinisikan sebagai infiltrasi eosinofil pada esophagus dan
berkaitan dengan refluks yang resisten terhadap terapi proton pump
inhibitor.6
Gejala yang dikeluhkan adalah perasaan tidak nyaman di
kerongkongan, disfagia dan sulit/menghindari makan makanan yang
kering atau berserat. Anak biasanya memperlihatkan gejala nyeri perut,
muntah atau regurgitasi dan mual yang dapat berakibat terjadinya
gangguan pertumbuhan. Endoskopi dapat memperlihatkan gambaran
normal, plak keputihan atau area kemerahan, kadang disertai adanya
striktur esophagus. Biopsi memperlihatkan infiltrasi eosinofil yang padat
(>15-20/lapang pandang) pada dinding esophagus. Komplikasi esofagitis
ini dapat berupa stenosis esophageal dan impaksi makanan.10
Eosinophilic oesophagitis biasanya disebabkan oleh mekanisme reaksi
alergi gabungan IgE dan non IgE-mediated. 6
Identifikasi alergi harus dikonsultasikan pada ahli alergi-
imunologi oleh karena berbagai antigen dapat menjadi penyebab. Diet
eliminasi dengan formula elemental (asam amino) atau semi- elemental
memberikan perbaikan gejala pada 30-70% pasien). Penggunaan steroid
topikal atau sistemik seringkali diperlukan terutama jika peradangan
berlangsung lama.8, 10
Food protein-induced enterocolitis
Kondisi alergi ini ditandai dengan muntah intraktabel
dengan/atau diare berat yang disertai lendir dan darah sehingga dapat
menyebabkan syok hipovolemik dan letargi. Gejala timbul dengan onset
akut, terjadi 1-3 jam setelah minum susu sapi. Anak dengan kelainan ini
sering di-work up sebagai sepsis. Laboratorium selama episode akut
seringkali memperlihatkan reaksi leukositosis dengan peningkatan
jumlah bentuk leukosit imatur (non-segmented neutrophils). Mekanisme
yang terjadi adalah non-IgE mediated sehingga IgE spesifik tidak dapat
dideteksi dalam serum. Biopsi kolon menunjukkan abses kriptik dengan
infiltrasi peradangan difus. Alergi ini dapat disebabkan oleh protein lain
selain susu seperti kedelai, beras, kentang dan ayam. 8,10
Milk protein-induced enterocolitis mengalami perbaikan setelah
dilakukan diet eliminasi selama 2-3 tahun, sedangkan pada kasus yang
disebabkan oleh solid ƒood protein-induced enterocolitis mengalami
perbaikan yang lebih lama. Pasien dengan gambaran klinik yang tidak
jelas membutuhkan endoskopi atau biopsi untuk menyingkirkan adanya
infiltrasi eosinofil sebagai etiologi. 8

Food protein-induced enteropathy


Bentuk alergi ini muncul setelah beberapa hari atau minggu setelah
pemberian susu sapi., ditandai dengan kembung, diare, muntah, penurunan
berat badan sampai ƒailure to thrive. Diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan klinis dan eliminasi/uji provokasi. Biopsi saluran cerna
diperlukan untuk mengidentifikasi pasti kelainan pada level jaringan dan
untuk menyingkirkan kelainan yang lain. Biopsi jaringan usus halus
memperlihatkan gambaran atrofi vilus parsial berbentuk plak dan
hiperplasia kripta disetai peningkatan jumlah limfosit intraepitelial. Adanya
kehilangan protein dan darah ke lumen usus menyebabkan
hipoalbuminemia dan anemia. Kondisi ini biasanya terjadi pada bayi di
bulan pertama kehidupan dan memberikan respons dengan baik dengan
eliminasi susu sapi.8

Alergi Saluran
Pemeriksaan
Cerna (non IgE Gejala Komplikasi Evolusi Tatalaksana
penunjang
mediated/mixed)
Food% milk colitis Perdarahan Anemia diet eliminasi Resolusi Diet eliminasi diikuti
rektum dengan (jarang) (u/ibu) atau eHF dalam 6-12 dengan pengenalan
lendir pada bayi Biopsi kolon bulan kembali susu sapi 6
bln yang akan datang
Eosinophilic Regurgitasi, Failure to Endoskopi, biopsi, Berlangsun Diet eliminasi,
oesophagitis refluks, thrive, tes kulit, diet AAF< g lama steroid sistemik atau
anoreksia, penurunan uji provokasi oral oral
disfagia, BB, striktur
penilakan esofagus
makanan,
muntah, nyeri
lambung
Food protein Muntan Leukositosis, Anamnesis yang Anak: Diet eliminasi diikuti
induced intraktabel & syok mendukung tes resolusi dengan pengenalan
enteroclolitis atau diare (2-4 hipovolemi, kulit &/uji dalam 2-5 kembali susu sapi
syndrome jam) susudah asidosis provokasi oral tahun.
minum susu sapi metabolik, Dewasa:
hipotensi
resolusi/m
enetap
Food protein Gejala yang Hipereosinofil Endoskopi, biopsi, Resolisi Diet eliminasi dan ui
induced enteropaty mendadak, rasa ia, skin prick test, uji dalam 1-2 provokasi
tidak nyaman di hematemensis provokasi oral tahun DBPCPT(double
perut, disfagia, , perdarahan blind placebo
penurunan BB, rektum, ADB, controlled
muntah, diare hipoalbumine provocation test)
mia, FTT

Tabel 3 manifestasi klinis gastrointestinal alergi susu sapi


Sumber Benhamou, 20098

2.1.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Alergi susu saspi harus dibedakan dengan
penyakit lainnya seperti intoleransi susu sapi, infeksi, penyakit
seliak, IBS, iksemik usus, ISK, insufisiensi pakreas. 5
Reaksi yang diperantarai IgE memiliki onset yang cepat,
sedangkan yang tidak diperantarai IgE onset lebih lambat.double
blind placebo controlled food challenge merupakan gold standar
untuk penegakan diagnosis ASS, tetapi risiko dapat terjadi dalam
uji ini. Pemeriksaan lain yang lebih efisien adalah skin prick tests
pengurukran kadar IgE terhadap antigen spesifik memiliki nilai
duga positif sekitar 95% dan patch test dapat mendiagnosis ASS
yang tidak diperantarai oleh IgE. 5

2.1.6 Tatalaksana
Prinsip utama penanganan ASS adalah mengindrai alergen
(diet eliminasi protein susu sapi). Pemerbian ASI tetap dilanjutkan
dan ibu menghindari makanan yang mengandung susu sapi dan
protein dari sapi. 8
Pemberian susu formula yang dihidrplisis secara menyeluruh
(extensuvely hydrolyzed formulas, eHF) terbukti efektis sehingga
sering dipakai sebagai pengganti formula susu sapi pada ASS.
formula ini mengandung campuran asam amino dan peptida yang
diproduksi dari kasein atau whey sapi yang telah dicerna
sebelumnya dan dapat ditoleransi oleh 95% pasien ASS. 11
Jika pemberian eHF tidak berhasil dalam 2-4 minggu, maka
dapat diganti dengan formula asam aminu (AAF). Namun jika
terdapat kendala karna harga eHF dan AAF yang cukup mahal
8,11
maka dapat digunakan soy formula sebagai pengganti.
Pada bayi dengan ASI ekslusif, dapat dilakukan eliminasi
protein susu sapi pada diet ibu selama 2-4 minggu. Jika gejala
mengilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein
susu sapi. Bula gejala mincul maka diagnosis ASS dapat
ditegaknan. Jika gejala tidak muncul maka pikirkan diagnosis lain.
Pemberian ASI diteruskan dan ibu menghindari susu sapi serta
produk turunannya pada makanan sehari-hari sampai 9012 bulan
atau minimal 6 bulan. Setelah itu, uji provokasi dapat diulang
kembali, bila tidak ada gejala berarti anak sudah toleran. Begitu
juga pada bayi yang mengkonsumsi susu formula dapat diberikan
eHF dan AAF. 11
2.1.7 Pencegahan

Riwayat atopi pada keluarga merupakan faktor risiko


terjadinya ASS. Pemberian ASI selama 4-6 bulan merupakan
strategi perlindungan yang sangat penting untuk mencegah ASS,
terutama pada bayi dengan risiko. Sejumlah kecil protein susu
sapi yang diminum oleh ibu dapat ditansfer kepada bayinya
melalui ASI, sehingga ASI eksklusif tidak menjamin bayi
tersebut terbebas dari ASS. Pada bayi yang berisiko timbul ASS,
ibu dianjurkan untuk menghindari makanan yang mengandung
protein susu sapi selama masa menyusui.5

2.1.8 Prognosis
ASS biasanya berlangsung sementara, beberapa anak akan
mengalami toleransi alamiah. ASS non IgE mediated mempunya
angka kesembuhan yang lebih tinggi. Sedangkan pada ASS yang
diperantarai dengan IgE memounyai risiko timbulnya alergi
terhadap makanan lain, asma, rhinitis alergi sebelum usia 10 tahun.
Sebanyak 86% mengalami perbaikan pada usia 5 tahun, dengan
demimian pada anak usia 6 tahun atau kuran yang masih menderita
ASS IgE mediated kecil kemungkinan untuk sembuh.5

DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Saku Petugas Kesehatan: Lintas Diare Lima Langkah Tuntaskan
Diare. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan. 2011.
2. WHO. Buku saku : Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Pedoman
Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta:
WHO Indonesia. 2008. P146-52
3. Putra DS, Kadim M, Pramita, Hegar B, Boediharso A, Firmansyah A. Diare
Persisten: Karakteristik Pasien, Klinis, Laboratorium, dan Penyakit
Penyerta. Sari Pediatri. 2008. 10(2): 94-99
4. Gastoenterologi dan Hepatologi. IDAI. 2012
5. Crittenden RG, Bennett LE. Cow’s milk allergy: a complex disorder. J Am
Coll Nutr. 2005;24:582s-91s.
6. Mansueto P, Montalto G, Pacor ML, Pellitteri ME, Ditta V, Bianco CL,
dkk. Food allergy in gastroenterologic diseases: review of literature.
World J Gastroenterol 2006;12:7744-52.
7. Dias A, Santos A, Pinheiro JA. Persistence of cow’s milk allergy beyond
two years of age. J allergy. 2009;7:5-9.
8. Benhamou AH, Michela G, Dominique C, Eigenmann PA. An overview of
cow’s milk allergy in children. Pediatr in rev. 2009;139:300-7.
9. Shek LPC, Bardina L, Castro R, Sampson HA, Beyer K. Humoral and
cellular responses to cow milk proteins in patients with milk-induced IgE
mediated and non-IgE mediated disorders. Original Art Allergy.
2005;60:912-9.
10. Bonéa J, Clavera A, Guallara I, Plazab AM. Allergic proctocolitis, food-
induced enterocolitis: immune mechanisms, diagnosis and treatment.
Allergo et Immunopathol. 2009;37(1):36-42.
11. Vandenplas Y, Brueton M, Dupont C. Guidelines for the diagnosis and
management of cow’s milk protein allergy in infants. Arch Dis Child.
2007;92:902-8.

Anda mungkin juga menyukai