Disusun Oleh:
1113103000024
Pembimbing:
2018
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirrohim
Assalamualaikum Wr Wb
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat, rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah presentasi
kasus ini yang berjudul “Diare Persisten ec Alergi Susu Sapi”. Makalah presentasi
kasus ini disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian/ SMF
Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati. Pada kesempatan ini,
penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Arie
Sulistyowati, M.Sc., SpA, selaku pembimbing presentasi kasus ini dan semua pihak
yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan kepada
penulis.
Wassalamualaikum Wr Wb
Penulis
1.1 DIARE PERSISTEN
2.0.1 Definisi
Diare persisten atau diare persisten adalah diare akut dengan atau
tanpa disertai darah dan berlanjut selama 14 hari atau lebih. Jika
terdapat dehidrasi sedang atau berat maka diare persisten diklasifikasin
sebagai “berat”. Diare persisten adalah bagian dari diare kronik yang
disebabkan oleh berbagai penyebab. 1,2
2.0.2 Epidemiologi
Angka kejadian diare persisten pada beberapa negara berkembang
berkisar antara 3-23%. Di Indoneisa, kejadian diare persisten belum
banyak dilaporkan karena kejadian diare persisten sering bersamaan
dengan penyakit lainnya seperti otitis media akut, infeksi saluran
kemih, pneumonia dan gizi buruk. 3
Menurut WHO pada program CDC tahun 1991 melaporkan kejadian
diare persisten di Indonesia pada bayi sekitar 4%. Estimasi dari diare
persisten merupakan 10% dari kejadian diare dengan kematian 35%
pada anak di bawah 5 tahun. Diare akut dapat berlanjut menjadi diare
persisten dengan angka kematian 23-62%. 3
2.0.3 Etiologi
Banyak faktor yang dapat menyebabkan diare akut berlanjut
menjadi diare persisten seperti umur di bawah satu taun, keadaan
malnutrisi, penyakit gangguan kekebalan tubuh, riwayat diare
sebelumnya, dan infeksi usus seperti parasit. Diare dapat menyebabkan
malnutrisi, dan berengaruh terhadap lamanya penyembuhan. 3
Pada malnutrisi menyebabkan gangguan protektir dari host sendiri,
hipokloridia, gangguan motilitas, gangguan imunitas selular sehingga
memudahkan kolonisasi bakteri patigen. Pada anak dengan malnutrisi
juga terdapat menurunan pergantian sel mukosa usus setelah infeksi
sehingga memperlambat penyembuhan. 3
Walker-Smith memakai istilah enteropati pasca enteritis untuk diare
akut yang perjalanannya melebihi waktu 2 minggu yang menyebabkan
kerusakan usus halus menetap. Enteropati ini dapat terjadi karena
infeksi persisten oleh patogen yang sama, reinfeksi dengan patogen
laindan senstisasi oleh antigen makanan khususnya terhadap susu sapi,
pada beberapa ada kesembuhan yang tertunda yang dapat terjadi akibat
intoeransi terhadap susu sapi. Enteropasti akibat sensitivitas teradap
susu sapi dapat tumpang tindih dengan enteropati infekstif karena
keduanya dapat terjadi pada saat yang bersamaan. 3
Diare persisten sering bersamaan dengan intoleransi laktosa atau
protein susu sapi. Namun intoleransi laktosa dan protein susu sapi dapat
terjadi secara terpisah. Keadaan intoleransi laktosa dan alergi susu sapi
dapat terjadi secara sekunder terhadap kerusakan mukosa karena
infeksi, malnutrisi atau reaksi alergi susu sapi atau protein lain. 3
Pada penelitian di Indoa dan brazil didapatkan 28-64% bayi dengan
gizi buruk dan diare persisten dilaporkan mengalami intoleransi
laktosa, dan 7-35% mengalami alergi susu sapi. 3
2.0.4 Patogenesis
a. Sekretorik
b. Osmotik
Diare jenis ini terjadi saat terjadi malfungsi dari proses penyerapan
maupun pencernaan nutrient dalam usus. Kegagalan proses tersebut
dalam usus akan mengakibatkan zat-zat makanan yang terdapat di
dalam usus akan masuk ke dalam colon tanpa proses penyerapan dalam
usus halus, hal ini nantinya akan membuat peningkatan tekanan osmotic
ke dalam lumen usus, sehingga banyaknya cairan yang akan tertarik ke
dalam lumen, sehingga akan membuat waktu transit usus
berubah,sehingga akan menyebabkan gangguan absorbs nutrient.
Contoh kasus tersering adalah intoleransi laktosa, dimana tidak adanya
enzim lactase meyebabkan banyaknya laktosa tertumpuk di usus besar
yang nantinya akan di fermentasi oleh flora normal usus. Hal ini
nantinya akan menyebabkan perubahan pH pada feses bersifat asam
4
dengan pH <5.0.
2.0.5 Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium
2.0.6 Tatalaksana
Lima pilar penatalaksanaan diare, yaitu:
- Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru
Oralit baru adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Berperan
dalam menurunkan kebutuhan suplemenasi intravena dan mampu
mengurangi pengeluaran tinja hingga 20% serta mengurangikejadian
muntah hingga 30%. Komposisi oralit baru : 4
Natrium : 75 Mmol/liter
Klorida : 65 Mmol/liter
Glukosa : 75 Mmol/liter
Kalium : 20 Mmol/liter
Sitrat : 10 Mmol/liter
Total Osmolalitas: 245 Mmol/liter
Satu bungkus oralit baru dilarutkan dalam satu liter air matang untuk
persediaan selama 24 jam. Oralit diberikan setiap kali buang air besar.
Pada anak < 2 tahun: berikan 50-100 mL tiap kali BAB, anak 2 tahun
4
atau lebih diberikan 100-200 mL tiap BAB.
- Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
Pengobatan zinc dalam diare akut berperan dalam proses perbaikan
epitel saluran cerna selama diare, meningkatkan absorbsi air dan
elektrolit usus halus, meningkatkan kecepatan regenerasi epitel usus,
meningkatkan jumblah brush border apical, dan meningkatkan respon
imun yang mempercepat pembersihan patogen dari usus. Dosis yang
diberikan pada anak dibawah 6 bulan yaitu 10 mg/hari, sedangkan pada
anak di atas 6 bulan diberikan 20 mg/hari. 1, 2, 4
Pada diare persisten perlu diberi suplemen multivitamin dan mineral
setiap hari selama dua minggu. Hal ini berfungi untuk mencukupi
vitamin dan mineral yang cukup, termasuk minimal dua RDAs
(recommended Daily Allowance) folat, vitamin A, magnesium dan
copper. Sebagai panduan, satu RDA untuk anak umur 1 tahun adalah
folat 50 microgram, zinc 10 mg, vitamin A 400 microgram, zat beso 10
1, 2, 4
mh, tembaga (copper) 1 mg, magnesium 80 mg. (bsk)
- ASI dan makanan tetap diteruskan
Pemberian makanan diteruskan sesuai dengan menu yang sama pada
waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta
penggganti nutrisi yang hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan
berkurang. Adanya peningkatan nafsu makan menandakan fase
kesembuhan. 2
Pengobata yang berhasil dengan diet dicirikan dengan asupan
makanan yang cukup, pertambahan berat badan setidaknya selama tiga
hari berturut-turut, diare yang berkurang, tidak adanya demam. 2
- Antibiotik selektif
Pemberian antibiotik dilakukan sesuai dengan indikasi misalnya
diare berdarah atau kolera. Pemberian yang tidak sesuai indikasi akan
menggangggu keseimbangan flora usus sehingga diare sulit
disembuhkan. 4
Pada diare persisten yang disertai darah dalam tinja dianjurkan untuk
diobati sebagai shigellosis dan diberikan antibiotik oral yang efektif
untuk shigella yaitu kotrimoksazol. Pengobatan antibiotik yang paling
baik didasarkan pada hasil pemeriksaan tinja rutin, apakah terdapat
amuba vegetatif. Jika positif diberikan metronidazol dengan dosis 50
mgkgBB dibagi tiga osis selama 5 hari. Jika tidak ada amuba, maka
dapat diberikan pengobatan untuk sigella. 2
Beri pengobatan antibiotik oral selama 5 hari, yang senstif sebagian
besar strain shigella. Contoh antibiotik yang sensitif terhadap strain
shigella di Indonesia adalah siprofloxain, sefiksim dan asan nalidiksat. 2
- Nasihat kepada orangtua
Kembali segera jika demam, tinja berdarah, berulang, makan atau
minum sedikit, sangat haus, diare semakin sering, atau membaik dalam
4
3 hari.
Bila penderita tidak dapat diberikan oralit secara peroral, maka oralit
dapat diberikan melalui nasogastrik dengan volume yang sama dengan
kecepatan 20 mL/kgBB/jam. Setelah 3 jam, keadaan pasien dievaluas.
Bila keadaan membaik dan dehidrasi teratasi pengobatan dilanjutkan
dirumah dengan pemberian oralitdan makanan pada diare tanpa
dehidrasi. Bila memburuk dan penderita jatuh dalam keadaan dehidrasi
berat, penderita tetap dirawat di sarana kesehatan dan pengobatan untuk
diberikan cairan parenteral. 1,4
2.1.2 Epidemiologi
2.1.3 Patofisiologi
Alergi susu sapi merupakan respons imun spesifik alergen susu
sapi yang secara predominan diperantarai IgE (IgE mediated immune
response) dan/atau tidak diperantarai IgE atau seluler (cellular immune
response).8
Protein susu dibagi 2 fraksi utama yaitu fraksi kasein dan whey
dengan rasio 80:20. Penelitian yang dilakukan oleh Shek dkk,
melaporkan bahwa kasein merupakan alergen predominan yang
menyebabkan ASS.9
Komposisi susu sapi dan susu ibu (ASI), selain mempunyai
beberapa persamaan terdapat pula perbedaan yang nyata dalam tipe
protein dan homolognya yang memberi kemungkinan bagi sebagian
besar protein susu untuk dikenali sebagai asing oleh sistem imun
manusia. Pada sebagian besar individu, sistem imun dapat mengenali dan
bertoleransi dengan protein susu sapi. Namun, pada individu yang
mempunyai bakat alergi, sistem imun akan tersensitisasi dan bereaksi
terhadap protein susu sehingga menyebabkan respons imun yang
merugikan.5
Alergi Saluran
Pemeriksaan
Cerna (non IgE Gejala Komplikasi Evolusi Tatalaksana
penunjang
mediated/mixed)
Food% milk colitis Perdarahan Anemia diet eliminasi Resolusi Diet eliminasi diikuti
rektum dengan (jarang) (u/ibu) atau eHF dalam 6-12 dengan pengenalan
lendir pada bayi Biopsi kolon bulan kembali susu sapi 6
bln yang akan datang
Eosinophilic Regurgitasi, Failure to Endoskopi, biopsi, Berlangsun Diet eliminasi,
oesophagitis refluks, thrive, tes kulit, diet AAF< g lama steroid sistemik atau
anoreksia, penurunan uji provokasi oral oral
disfagia, BB, striktur
penilakan esofagus
makanan,
muntah, nyeri
lambung
Food protein Muntan Leukositosis, Anamnesis yang Anak: Diet eliminasi diikuti
induced intraktabel & syok mendukung tes resolusi dengan pengenalan
enteroclolitis atau diare (2-4 hipovolemi, kulit &/uji dalam 2-5 kembali susu sapi
syndrome jam) susudah asidosis provokasi oral tahun.
minum susu sapi metabolik, Dewasa:
hipotensi
resolusi/m
enetap
Food protein Gejala yang Hipereosinofil Endoskopi, biopsi, Resolisi Diet eliminasi dan ui
induced enteropaty mendadak, rasa ia, skin prick test, uji dalam 1-2 provokasi
tidak nyaman di hematemensis provokasi oral tahun DBPCPT(double
perut, disfagia, , perdarahan blind placebo
penurunan BB, rektum, ADB, controlled
muntah, diare hipoalbumine provocation test)
mia, FTT
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Alergi susu saspi harus dibedakan dengan
penyakit lainnya seperti intoleransi susu sapi, infeksi, penyakit
seliak, IBS, iksemik usus, ISK, insufisiensi pakreas. 5
Reaksi yang diperantarai IgE memiliki onset yang cepat,
sedangkan yang tidak diperantarai IgE onset lebih lambat.double
blind placebo controlled food challenge merupakan gold standar
untuk penegakan diagnosis ASS, tetapi risiko dapat terjadi dalam
uji ini. Pemeriksaan lain yang lebih efisien adalah skin prick tests
pengurukran kadar IgE terhadap antigen spesifik memiliki nilai
duga positif sekitar 95% dan patch test dapat mendiagnosis ASS
yang tidak diperantarai oleh IgE. 5
2.1.6 Tatalaksana
Prinsip utama penanganan ASS adalah mengindrai alergen
(diet eliminasi protein susu sapi). Pemerbian ASI tetap dilanjutkan
dan ibu menghindari makanan yang mengandung susu sapi dan
protein dari sapi. 8
Pemberian susu formula yang dihidrplisis secara menyeluruh
(extensuvely hydrolyzed formulas, eHF) terbukti efektis sehingga
sering dipakai sebagai pengganti formula susu sapi pada ASS.
formula ini mengandung campuran asam amino dan peptida yang
diproduksi dari kasein atau whey sapi yang telah dicerna
sebelumnya dan dapat ditoleransi oleh 95% pasien ASS. 11
Jika pemberian eHF tidak berhasil dalam 2-4 minggu, maka
dapat diganti dengan formula asam aminu (AAF). Namun jika
terdapat kendala karna harga eHF dan AAF yang cukup mahal
8,11
maka dapat digunakan soy formula sebagai pengganti.
Pada bayi dengan ASI ekslusif, dapat dilakukan eliminasi
protein susu sapi pada diet ibu selama 2-4 minggu. Jika gejala
mengilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein
susu sapi. Bula gejala mincul maka diagnosis ASS dapat
ditegaknan. Jika gejala tidak muncul maka pikirkan diagnosis lain.
Pemberian ASI diteruskan dan ibu menghindari susu sapi serta
produk turunannya pada makanan sehari-hari sampai 9012 bulan
atau minimal 6 bulan. Setelah itu, uji provokasi dapat diulang
kembali, bila tidak ada gejala berarti anak sudah toleran. Begitu
juga pada bayi yang mengkonsumsi susu formula dapat diberikan
eHF dan AAF. 11
2.1.7 Pencegahan
2.1.8 Prognosis
ASS biasanya berlangsung sementara, beberapa anak akan
mengalami toleransi alamiah. ASS non IgE mediated mempunya
angka kesembuhan yang lebih tinggi. Sedangkan pada ASS yang
diperantarai dengan IgE memounyai risiko timbulnya alergi
terhadap makanan lain, asma, rhinitis alergi sebelum usia 10 tahun.
Sebanyak 86% mengalami perbaikan pada usia 5 tahun, dengan
demimian pada anak usia 6 tahun atau kuran yang masih menderita
ASS IgE mediated kecil kemungkinan untuk sembuh.5
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Saku Petugas Kesehatan: Lintas Diare Lima Langkah Tuntaskan
Diare. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan. 2011.
2. WHO. Buku saku : Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Pedoman
Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta:
WHO Indonesia. 2008. P146-52
3. Putra DS, Kadim M, Pramita, Hegar B, Boediharso A, Firmansyah A. Diare
Persisten: Karakteristik Pasien, Klinis, Laboratorium, dan Penyakit
Penyerta. Sari Pediatri. 2008. 10(2): 94-99
4. Gastoenterologi dan Hepatologi. IDAI. 2012
5. Crittenden RG, Bennett LE. Cow’s milk allergy: a complex disorder. J Am
Coll Nutr. 2005;24:582s-91s.
6. Mansueto P, Montalto G, Pacor ML, Pellitteri ME, Ditta V, Bianco CL,
dkk. Food allergy in gastroenterologic diseases: review of literature.
World J Gastroenterol 2006;12:7744-52.
7. Dias A, Santos A, Pinheiro JA. Persistence of cow’s milk allergy beyond
two years of age. J allergy. 2009;7:5-9.
8. Benhamou AH, Michela G, Dominique C, Eigenmann PA. An overview of
cow’s milk allergy in children. Pediatr in rev. 2009;139:300-7.
9. Shek LPC, Bardina L, Castro R, Sampson HA, Beyer K. Humoral and
cellular responses to cow milk proteins in patients with milk-induced IgE
mediated and non-IgE mediated disorders. Original Art Allergy.
2005;60:912-9.
10. Bonéa J, Clavera A, Guallara I, Plazab AM. Allergic proctocolitis, food-
induced enterocolitis: immune mechanisms, diagnosis and treatment.
Allergo et Immunopathol. 2009;37(1):36-42.
11. Vandenplas Y, Brueton M, Dupont C. Guidelines for the diagnosis and
management of cow’s milk protein allergy in infants. Arch Dis Child.
2007;92:902-8.