Anda di halaman 1dari 30

Laporan Kasus

OSTEOARTRITIS GENU

Disusun Oleh :
Gloria Benthamy Siamiloy
Pembimbing :
Dr. Arsanto, Sp,OT

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Rumah Sakit Umum Daerah Koja Jakarta Utara
Periode 26 Juni 2018 – 01 September 2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny.H
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Jl. Raya Pelabuhan 4/6 RT 01/05 Koja
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal Periksa : 129 Juli 2018
No.RM : 01-36-88-87

B. Keluhan Utama
Nyeri pada saat berlutut

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak ± 2 bulan yang lalu os mulai merasakan nyeri pada lutut sebelah kiri.

Nyeri terlokalisasi di lutut, tidak menjalar, dan terasa seperti ditusuk-tusuk. Nyeri di

lutut disertai kekakuan terutama saat bangun di pagi hari ± 5-10 menit, kemudian

hilang dengan sendirinya. Nyeri terutama dirasakan pada saat os sedang melakukan

aktivitas dan hilang ketika beristirahat, serta nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri

bertambah berat ketika melakukan aktivitas seperti berjongkok lama, berdiri lama,

menaiki tangga, saat sholat, duduk bersila dan terdapat bunyi “krek-krek” saat lutut

digerakkan. Sejak dua minggu terakhir, os merasa nyeri bertambah berat setelah

berjongkok lama, dan kesulitan dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya terutama

dalam hal beribadah (sholat) dan berkebun. Riwayat jatuh disangkal.

3
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat operasi : disangkal

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat sakit serupa : kakak kedua dan keempat pasien
Riwayat hipertensi : ayah pasien
Riwayat DM : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal

F. Riwayat Pekerjaan
Os hanya lulusan SMA dan hanya berjualan kopi di kompleks rumahnya
setiap hari. Os juga sering mengangkat barang-barang yang cukup berat tetapi hanya
sesekali saja.

G. Riwayat Sosial Ekonomi


Os sudah menikah 1x sampai sekarang, saat ini tinggal dengan istri, kedua
anak dan menantu, serta kedua cucunya. Os tinggal di rumah permanen, 2 lantai,
lantai ubin, ada 10 anak tangga, sumber penerangan dari Perusahaan Listrik Negara,
sumber air dari Perusahaan Air Minum, WC jenis duduk, berjarak 6 m dari kamar
tidur, dan tidak ada pegangan tangan di dalam kamar mandi. Rumah cukup dekat
dengan jalan raya, pasar, dan rumah sakit. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
tempat pelayanan tersebut (pasar dan rumah sakit) ± 10 menit dengan menggunakan
angkutan umum.

2.2 PEMERIKSAAN FISIK


1. Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Baik

4
Kesadaran : Kompos Mentis (GCS: E4M6V5 = 15)
Tinggi Badan/Berat Badan : 168 cm/87 kg (BMI: 30,82 kg/m2 / Obesitas derajat 1)
Cara Berjalan/Gait : Normal
Bahasa/Bicara : Komunikasi verbal : Normal
Komunikasi nonverbal : Normal
Tanda Vital : Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 78 x/menit, reguler, isi
cukup
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,7°C
Kulit : Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-),
hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-)
Status Psikis : Sikap : Kooperatif
Ekspresi wajah : Eutimik
Orientasi : Normal
Perhatian : Normal
Kepala : Bentuk kepala normochepal, kedudukan kepala
simetris, luka (-), rambut hitam, tidak mudah rontok,
tidak mudah dicabut, atrofi otot (-), wajah simetris.
Mata : Konjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks
cahaya langsung dan tak langsung (+/+), pupil isokor
(3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-),
sekret (-/-)
Telinga : Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah
simetris, lidah tremor (+), stomatitis (-), mukosa pucat
(-), gusi berdarah (-).
Leher : Simetris, trakea di tengah, JVP normal(5-2 cmH2O),
kelenjar getah bening tidak membesar, nyeri tekan (-),
benjolan (-)
Thorax
 Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
5
Palpasi : Ictus Cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,
murmur (-), gallop (-)
 Paru
Inspeksi : Saat statis dan dinamis, pengembangan dada kanan =
kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri, krepitasi (-), Nyeri tekan(-)
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Vesikuler (+/+), normal, suara tambahan (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, tidak tampak massa, venektasi (-), scar (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), lemas, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Tympani, pekak beralih (-)
Trunkus
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-),
gibbus (-), hairy spot (-)
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), oedem (-)
Perkusi : nyeri ketok kostovertebrae (-)
Tes Provokasi : Tidak dilakukan

Ektremitas
Oedem Akral dingin
- - - -

- - - -

Status Lokalis (Genu Dextra et Sinistra)


Inspeksi : deformitas (-/-), peradangan (-/-), varises (-/-)
Palpasi : nyeri tekan (+/+), krepitasi (+/+)
Movement : nyeri gerak aktif (+/+ minimal)

Visual Analogue Scale (VAS) genu dekstra

6
1 Juli 2016

0 6 10

Visual Analogue Scale (VAS) genu sinistra


1 Juli 2016

0 4 10

II. Status Neurologis

Kesadaran : GCS E4V5M6

Fungsi Luhur : dalam batas normal

Fungsi Vegetatif : dalam batas normal

Nervus Cranialis : dalam batas normal

Fungsi Sensorik

- Rasa Eksteroseptik : suhu, nyeri, dan raba dalam batas normal

- Rasa Propioseptik : getar, posisi, dan tekan dalam batas normal

- Rasa Kortikal : stereognosis, barognosis dalam batas normal

Fungsi Motorik dan Reflek

Kekuatan Tonus R.Fisiologis R.patologis

5 5 N N +2 +2 - -

5 5 N N +2 +2 - -

III. Range of Motion

NECK
ROM Pasif ROM Aktif

Fleksi 0 - 70º 0 - 70º

7
Ekstensi 0 - 40º 0 - 40º

Lateral bending kanan 0 - 60º 0 - 60º

Lateral bending kiri 0 - 60º 0 - 60º

Rotasi kanan 0 - 90º 0 - 90º

Rotasi kiri 0 - 90º 0 - 90º

ROM Pasif ROM Aktif


Ektremitas Superior
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra

Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º

Ektensi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50º

Abduksi 0-180º 0-180º 0-180º 0-180º


Shoulder
Adduksi 0-75º 0-75º 0-75º 0-75º

Eksternal Rotasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º

Internal Rotasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º

Fleksi 0-150º 0-150º 0-150º 0-150º

Ekstensi 0º 0º 0º 0º
Elbow
Pronasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º

Supinasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º

Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º

Ekstensi 0-70º 0-70º 0-70º 0-70º


Wrist
Ulnar Deviasi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º

Radius deviasi 0-20º 0-20º 0-20º 0-20º

Finger MCP I Fleksi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50º

MCP II-IV fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º

DIP II-V fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º

8
PIP II-V fleksi 0-100º 0-100º 0-100º 0-100º

MCP I Ekstensi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º

Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º

Ekstensi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º

Right Lateral 0-35º 0-35º 0-35º 0-35º


Trunk
Bending

Left Lateral 0-35º 0-35º 0-35º 0-35º


Bending

ROM Pasif ROM Aktif


Ektremitas Inferior
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra

Fleksi 0-100º 0-120º 0-120º 0-120º

Ektensi 0-20º 0-20º 0-20º 0-20º

Abduksi 0-45º 0-45º 0-45º 0-45º


Hip
Adduksi 0-45º 0-45º 0-45º 0-45º

Eksorotasi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º

Endorotasi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º

Fleksi 0-70º 0-1000 0-90º 0-120º


Knee
Ekstensi 0º 0º 0º 0º

Dorsofleksi 0-15º 0-15º 0-15º 0-15º

Plantarfleksi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º


Ankle
Eversi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50º

Inversi 0-40º 0-40º 0-40º 0-40º

IV. Manual Muscle Testing (MMT)

NECK

9
Fleksor M. Sternocleidomastoideus 5

Ekstensor M. Sternocleidomastoideus 5

TRUNK

Fleksor M. Rectus Abdominis 5

Thoracic group 5
Ektensor
Lumbal group 5

Rotator M. Obliquus Eksternus Abdominis 5

Pelvic Elevation M. Quadratus Lumbaris 5

Ektremitas Superior Dekstra Sinistra

M. Deltoideus anterior 5 5
Fleksor
M. Biseps anterior 5 5

M. Deltoideus 5 5
Ekstensor
M. Teres Mayor 5 5

M. Deltoideus 5 5
Abduktor
M. Biseps 5 5
Shoulder
M. Latissimus dorsi 5 5
Adduktor
M. Pectoralis mayor 5 5

M. Latissimus dorsi 5 5
Internal Rotasi
M. Pectoralis mayor 5 5

Eksternal M. Teres mayor 5 5


Rotasi M. Infra supinatus 5 5

M. Biseps 5 5
Elbow Fleksor
M. Brachilais 5 5

10
Eksternsor M. Triseps 5 5

Supinator M. Supinatus 5 5

Pronator M. Pronator teres 5 5

Fleksor M. Fleksor carpi radialis 5 5

Ekstensor M. Ekstensor digitorum 5 5


Wrist
Abduktor M. Ekstensor carpi radialis 5 5

Adduktor M. Ekstensor carpi ulnaris 5 5

Fleksor M. Fleksor digitorum 5 5


Finger
Ekstensor M. Ekstensor digitorum 5 5

Ektremitas Inferior Dekstra Sinistra

Hip Fleksor M. Psoas mayor 5 5

Ekstensor M. Gluteus maksimus 5 5

Abduktor M. Gluteus medius 5 5

Adduktor M. Adduktor longus 5 5

Knee Hamstring muscle 5 5


Fleksor (disertai
nyeri)

Ekstensor Quadriceps femoris 5 5

Ankle Fleksor M. Tibialis 5 5

Ekstensor M. Soleus 5 5

V. Tes Provokasi

Pemeriksaan Dekstra Sinistra

Anterior drawer test - -

11
Posterior drawer test - -

McMurray’s test - -

Apley grinding test - -

Apley distraction test - -

2.3 Resume
Perempuan, 48 tahun datang ke poliklinik Bedah RSUD Koja tanggal 1 Juli 2016
dengan keluhan utama nyeri pada saat jongkok. Morning stiffness (+), bunyi “krek-krek”
saat lutut digerakkan (+), bengkak (-), kemerahan (-). Pada pemeriksaan fisik didapatkan
tekanan darah 120/80mmHg dan indeks massa tubuh 30,82 kg/m2 (obesitas grade I). Pada
status lokalis regio genu ditemukan deformitas (-), nyeri gerak aktif dan pasif pada
ekstremitas inferior dextra dan sinistra (+), dan krepitasi genu bilateral (+). VAS pada
genu dextra 6 dan VAS genu sinistra 4. Terdapat keterbatasan LGS genu bilateral karena
nyeri.

2.4 Evaluasi

NO Level ICF Kondisi saat ini Sasaran

1 Struktur dan fungsi tubuh Nyeri regio genu dekstra dan Nyeri berkurang dan
sinistra, dan keterbatasan LGS mempertahankan performa
genu dekstra dan sinistra otot dan LGS sendi lutut
bilateral maksimal

2 Aktivitas Gangguan aktivitas sehari- Dapat mekukan aktivitas


hari yaitu jongkok dan berdiri sehari-hari seperti berkebun
dalam waktu cukup lama (saat dalam durasi yang cukup
berkebun), kesulitan dalam lama, beribadah dengan
menaiki tangga, perpindahan nyaman, dan kesulitan
posisi dari duduk ke berdiri berkurang dalam menaiki

12
dan dari berdiri ke duduk (saat tangga.
ibadah sholat)

3 Partisipasi - -

Diagnosis klinik: Osteoartritis Genu Bilateral

2.5 Tatalaksana
A. Medikamentosa
Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (Meloxicam 7,5 mg 2x1)
B. Program Rehabilitasi Medik
Fisioterapi
Terapi panas :IRR, parafin, MWD
Terapi dingin :-
Stimulasi listrik :-
Terapi latihan : Latihan ROM (aktif dan pasif)

Okupasi terapi
ROM excercise : Latihan dilakukan setiap hari sebanyak 3-4x/minggu. Setiap
gerakan diulang sebanyak 4-10 repetisi (pada fase akut, sendi
lutut tidak boleh diregangkan hingga nyeri timbul, setiap
gerakan harus didalam lingkup gerak sendi tanpa nyeri, dan
pada fase kronis, sendi harus diregangkan hingga LGS penuh)
ADL excercise : Edukasi siap tubuh yang ergonomis dengan prinsip
mengurangi beban pada sendi lutut (penyesuaian saat ibadah
sholat dengan posisi duduk dikursi menghadap ke meja, dan
meminimalkan jongkok agar dapat mengurangi beban sendi
lutut).

Ortotik prostetik
Ortotic : (-)
Prostetic : (-)
Alat bantu ambulasi : (-)

Terapi wicara

13
Afasia : (-)
Dysartria : (-)
Dysfagia : (-)

Sosial medik : Motivasi dan edukasi keluarga untuk membantu dan merawat
penderita di rumah dan memberikan beberapa penyesuaian di
rumah

Edukasi :

 Mengurangi aktivitas yang berdampak besar pada lutut seperti naik turun
tangga, berjongkok lama, berjalan lama, serta berdiri dalam waktu yang lama.
 Posisi kaki lebih banyak diluruskan saat duduk (jangan ditekuk).
 Kompres air hangat pada lutut untuk menghilangkan nyeri.
 Kontrol ke poli rehabilitasi medik secara rutin
 Kontrol ke poli gizi untuk perencanaan diet

2.6 Prognosa

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Regio Lutut


Sendi lutut dibentuk oleh epiphysis distalis tulang femur, epiphysis proxsimalis, tulang
tibia dan tulang patella, serta mempunyai beberapa sendi yang terbentuk dari tulang
yang berhubungan, yaitu antar tulang femur dan patella disebut articulatio patella
femoral, antara tulang tibia dengan tulang femur disebut articulatio tibio femoral dan
antara tulang tibia dengan tulang fibula proximal disebut articulatio tibio fibular
proxsimal.1
Tulang

14
Tulang-tulang yang membentuk sendi lutut diantaranya adalah tulang femur distal,
tulang tibia proksimal, tulang fibula dan tulang patella yaitu:
a. Tulang Femur
Tulang femur atau tulang paha merupakan tulang panjang terbesar pada manusia. Tulang
femur bersendi ke atas dengan pelvis dan ke bawah dengan tulang tibia. Tulang femur
terdiri dari epiphysis proksimal, diaphysis dan epiphysis distalis. Pada tulang femur ini
yang berfungsi dalam persendian lutut adalah epiphysis distalis. Epiphysis distalis
merupakan bulatan sepanjang yang disebut condylus femoralis lateralis dan medialis. Di
bagian proksimal tonjolan tersebut terdapat sebuah bulatan kecil yang disebut
epicondylus lateralis dan medialis. Pandangan dari depan, terdapat dataran sendi yang
melebar ke lateral yang disebut facies patellaris yang nantinya bersendi dengan tulang
patella. Dan pandangan dari belakang, diantara condylus lateralis dan medialis terdapat
cekungan yang disebut fossa intercondyloidea. 1

b. Tulang Patella
Tulang patella merupakan tulang dengan bentuk segitiga pipih dengan apeks menghadap
ke arah distal. Pada permukaan depan kasar sedangkan permukaan dalam atau dorsal
memiliki permukaan sendi yaitu facies articularis medialis yang sempit. 1

c. Tulang Tibia
Tulang tibia terdiri dari epiphysis proxsimalis, diaphysis, epiphysis diatalis. Epiphysis
proxsimalis pada tulang tibia terdiri dari dua bulatan yang disebut condylus lateralis dan
condylus medialis yang atasnya terdapat dataran sendi yang disebut facies artikularis
lateralis dan medialis yang dipisahkan oleh ementio intercondyolidea. Lutut merupakan
sendi yang bentuknya dapat dikatakan tidak ada kesusaian bentuk, kedua condylus dari
femur secara bersama-sama membentuk sejenis katrol (troclea), sebaliknya dataran tibia
tidak rata permukaannya, ketidaksesuaian ini dikompensasikan oleh bentuk meniscus. 1

d. Tulang Fibula
Tulang fibula ini berbentuk kecil panjang, terletak di sebelah lateral dari tibia juga terdiri
dari tiga bagian yaitu: epiphysis proximal, diaphysis, dan epiphysis distalis. Epiphysis
proximalis membulat disebut capitulum fibula yang ke proximal meruncing menjadi
apex capitulis fibula. Pada capitulum terdapat dua dataran yang disebut facies articularis
capituli fibula untuk bersendi dengan tibia. Diaphysis mempunyai empat crista lateralis,

15
crista medialis, crista lateralis dan facies posterior. Epiphysis distalis ke arah lateral
membulat disebut malleolus lateralis (mata kaki luar). 1

Gambar 1. Tulang penyusun sendi lutut

Ligamentum

Ligamentum mempunyai sifat ekstensibilitas dan kekuatan yang cukup kuat (tensile
strength) yang berfungsi sebagai pembatas gerakan dan stabilisator sendi. Ada
beberapa ligamen sendi lutut yaitu:

1. Ligamentum cruciatum anterior yang berjalan dari depan culimintio


intercondyloidea ke permukaan medial condyler lateralis femur yang
berfungsi menahan hiperekstensi dan menahan bergesernya tibia ke depan.

16
2. Ligamentum cruciatum posterior berjalan dari facies lateralis condylus
medialis femoris menuju ke fossa intercondylodea tibia, berfungsi menahan
bergesernya tibia ke arah belakang.
3. Ligamentum collateral lateral yang berjalan dari epicondylus lateralis ke
capitulum fibula yang berfungsi menahan gerakan varus atau samping luar.
4. Ligamentum collateral mediale berjalan dari epicondylus medial ke
permukaan medial tibia (epicondylus medialis tibia) berfungsi menahan
gerakan valgus atau samping dalam eksorotasi. Namun secara bersamaan
fungsi – fungsi ligament collaterall menahan bergesernya tibia ke depan pada
fleksi lutut 90˚. 1

Gambar 2. Ligamen penyusun sendi lutut

Kapsul Sendi

Tulang-tulang pembentuk sendi dihubungkan satu dengan lainnya oleh selubung yang
disebut kapsula artikularis sebagai pembungkus yang mengelilingi permukaan-
permukaan sendi dan membungkus rapat ruang sendi yang terdapat diantara tulang-
tulang tersebut. Lapisan luar kapsula arikularis (lamina fibrosa) merupakan salah satu
struktur penting yang mengikat tulang-tulang pembentuk sendi. Lamina fibrosa dapat
menahan regangan yang kuat. Lapisan dalam kapsula artikularis (lamina synovial)

17
dibentuk oleh membrane synovial yang mensekresikan cairan sinovial (synovia) ke
dalam ruang sendi ujung artikular tulang masanya membesar dan mempunyai lapisan
luar tulang yang tipis tetapi padat (kompakta), disebelah dalamnya terdapat anyaman
tulang spongiosa. Kapsul sendi lutut ini termasuk jaringan fibrosus yang avascular
sehingga jika cedera sulit proses penyembuhan.1

Gambar 3. Sendi lutut

3.2 Osteoarthritis
3.2.1 Definisi
Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif dengan etiologi dan patogenesis yang
belum jelas serta mengenai populasi luas. Pada umumnya penderita OA berusia di atas 40
tahun dan populasi bertambah berdasarkan peningkatan usia. Osteoartritis merupakan
gangguan yang disebabkan oleh multifaktorial antara lain usia, mekanik, genetik, humoral
dan faktor kebudayaan.2 Osteoarthritis merupakan suatu penyakit dengan perkembangan slow
progressive, ditandai adanya perubahan metabolik, biokimia, struktur rawan sendi serta
jaringan sekitarnya, sehingga menyebabkan gangguan fungsi sendi.3 Kelainan utama pada
OA adalah kerusakan rawan sendi yang dapat diikuti dengan penebalan tulang subkondral,
pertumbuhan osteofit, kerusakan ligamen dan peradangan ringan pada sinovium, sehingga
sendi yang bersangkutan membentuk efusi.4 Osteoartritis diklasifikasikan menjadi 2
kelompok, yaitu OA primer dan OA sekunder. Osteoartritis primer disebut idiopatik,
disebabkan faktor genetik, yaitu adanya abnormalitas kolagen sehingga mudah rusak.
Sedangkan OA sekunder adalah OA yang didasari kelainan endokrin, inflamasi, metabolik,
18
pertumbuhan, mikrodan makro trauma, imobilitas yang terlalu lama serta faktor
risikolainnya, seperti obesitas dan sebagainya.5

3.3. Epidemiologi
Osteoartritis merupakan salah satu kondisi yang paling sering menyebabkan
disabilitas terutama pada populasi lansia. OA adalah penyakit sendi yang paling umum di
negara maju dan penyebab utama dari disabilitas kronik, sebagian besar karena OA lutut dan
atau panggul. Prevalensi OA lutut lebih tinggi dibandingkan OA lainnya. Sekitar 13% wanita
dan 10% pria yang berusia 60 tahun ke atas memiliki OA lutut yang simtomatik. Proporsi
penduduk yang mengalami OA lutut kemungkinan akan terus meningkat seiring dengan
peningkatan penduduk usia lanjut dan tingginya kejadian obesitas ataupun berat badan
berlebih pada populasi umum. Perempuan terutama yang berusia ≥55 tahun cenderung
mengalami OA yang lebih berat di lutut namun tidak di daerah lainnya. Prevalensi
radiographic knee OA pada 2282 pasien lansia di Jepang menunjukkan pada wanita semakin
tinggi usia, semakin tinggi pula angka kejadiannya. Symptomatic knee OA lebih umum pada
masyarakat pedesaan disbanding masyarakat perkotaan. Orang Afrika-Amerika memiliki
prevalensi OA lebih tinggi dibandingkan orang Kaukasia.6

3.4. Etiologi
OA memiliki etiologi yang multifactorial, yang terjadi karena interaksi antara faktor
sistemik dan local. OA dapat terjadi pada orang dengan usia apa saja. Beberapa gen
dihubungkan dengan terjadinya penyakit ini. Olahraga, cedera pada sendi, obesitas, dan
kerentanan genetic merupakan faktor prediskposisi untuk atlet remaja mengalami OA.
Riwayat trauma pada lutut meningkatkan risiko OA lutut 3.86 kali lebih tinggi. Usia tua, jenis
kelamin perempuan, kelebihan berat badan dan obesitas, penggunaan sendi yang berulang-
ulang, cedera lutut, kepadatan tulang, kelemahan otot, semua memainkan peranan dari
terjadinya OA.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya OA antara lain:

a. Usia
Proses penuaan dianggap sebagai penyebab peningkatankelemahan di sekitar sendi,
penurunan kelenturan sendi, kalsifikasi tulang rawan dan menurunkan fungsi
kondrosit, yang semuanya mendukung terjadinya OA. Studi Framingham
menunjukkan bahwa 27% orang berusia 63 –70 tahun memiliki bukti radiografik
menderita OA lutut, yang meningkat mencapai 40% pada usia 80 tahun atau lebih.7

19
Studi lain membuktikan bahwa risiko seseorang mengalami gejala timbulnya OA lutut
adalah mulai usia 50 tahun.8 Studi mengenai kelenturan pada OA telah menemukan
bahwa terjadi penurunan kelenturan pada pasien usia tuadengan OA lutut.9

b. Ras
Prevalensi OA lutut pada penderita di negara Eropa dan Amerika tidak berbeda,
sedangkan suatu penelitian membuktikan bahwa ras Afrika – Amerika memiliki risiko
menderita OA lutut 2 kali lebih besar dibandingkan ras Kaukasia. Penduduk Asia juga
memiliki risiko menderita OA lutut lebih tinggi dibandingkan Kaukasia.10,12 Suatu
studi lain menyimpulkan bahwa populasi kulit berwarna lebih banyak terserang OA
dibandingkan kulit putih.4

c. Jenis Kelamin
Prevalensi OA pada laki-laki sebelum usia 50 tahun lebih tinggi dibandingkan
perempuan, tetapi setelah usia lebihdari 50 tahun prevalensi perempuan lebih tinggi
menderita OA dibandingkan laki-laki. Perbedaan tersebut menjadi semakin berkurang
setelah menginjak usia 80 tahun. Hal tersebut diperkirakan karena pada masa usia 50
– 80 tahun wanita mengalami pengurangan hormon estrogen yang signifikan.10

d. Faktor Herediter
Faktor herediter juga berpengaruh terhadap kejadian osteoartritis, misalnya pada
seorang ibu dengan osteoartritis pada sendi lutut, maka kemungkinan anaknya
berpeluang 3 kali lebih sering untuk terkena penyakit yang sama.14

e. Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko terkuat yang dapat dimodifikasi. Selama berjalan,
setengah berat badan bertumpu pada sendi lutut. Peningkatan berat badan akan
melipatgandakan beban sendi lutut saat berjalan. Studi di Chingford menunjukkan
bahwa untuk setiap peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) sebesar 2 unit (kira-kira
5 kg berat badan), rasio odds untuk menderita OA lutut secarara diografik meningkat
sebesar 1,36 poin.15 Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa semakin berat tubuh
akan meningkatkan risiko menderita OA lutut. Kehilangan 5 kg berat badan akan
mengurangi risiko OA lutut secara simtomatik pada wanita sebesar 50%. Demikian

20
juga peningkatan risiko mengalami OA lutut yang progresif tampak pada orang-orang
yang kelebihan berat badan dengan penyakit pada bagian tubuh tertentu.16

f. Trauma dan Aktivitas


Trauma lutut yang akut termasuk robekan pada ligamentum krusiatum dan meniskus
merupakan faktor risiko timbulnya OAlutut.17 Studi Framingham menemukan bahwa
orang dengan riwayat trauma lutut memiliki risiko 5 – 6 kali lipat lebih tinggi untuk
menderita OA lutut. Hal tersebut biasanya terjadi pada kelompok usia yang lebih
muda serta dapat menyebabkan kecacatan yang lama dan pengangguran. 7
Aktivitas fisik berat seperti berdiri lama (2 jam atau lebih setiap hari), berjalan jarak
jauh (2 jam atau lebih setiap hari), mengangkat barang berat (10 kg – 50 kg selama 10
kali atau lebih setiap minggu), mendorong objek yang berat (10 kg – 50 kg selama 10
kali atau lebih setiap minggu), naik turun tangga setiap hari merupakan faktor risiko
OA lutut.17,19
Osteoartritis banyak ditemukan pada pekerja fisik berat, terutama yang banyak
menggunakan kekuatan yang bertumpu pada lutut. Prevalensi lebih tinggi menderita
OA lutut ditemukan pada kuli pelabuhan, petani dan penambang dibandingkan pada
pekerja yang tidak banyak menggunakan kekuatan lutut sepertipekerja
administrasi.17,20 Terdapat hubungan signifikan antarapekerjaan yang menggunakan
kekuatan lutut dan kejadian OAlutut.17
Atlit olah raga yang sering mengalami benturan keras dan membebani lutut seperti
sepak bola, lari maraton dan kung fu, memiliki peningkatan risiko untuk menderita
OA lutut. Kelemahan otot kuadrisep primer merupakan faktor risiko bagi terjadinya
OA karena terjadi penurunan stabilitas sendi.12 Tetapi, di sisi lain seseorang yang
memiliki aktivitas minim sehari-hari juga berisiko mengalami OA lutut. Ketika
seseorang tidak melakukan gerakan, aliran cairan sendi akan berkurang dan berakibat
aliran makanan yang masuk ke sendi juga berkurang. Hal tersebut akan
mengakibatkan proses degeneratif menjadi berlebihan.23

3.5. Manifestasi Klinis


Nyeri dirasakan disekitar sendi dan dapat menjalar keatas di bagian anteriorpaha atau
menjalar kebawah di pergelangan kaki. Spasme otot umumnya terjadi pada otot
hamstring.Deformitas terbentuk dari adanya spasme otot hamstring dalam waktu lama
dengan posisifleksi lutut dimana deformitas yang terjadi adalah deformasi tibia yang disertai

21
dengandeformitas valgus. Sendi nampak membesar dan terjadi atropi otot quadriceps
khususnyaotot vastus medialis. Nampak pasien berjalan pincang akibat nyeri dan
kecenderungansendi untuk jatuh khususnya selama melangkah turun.24

3.6. Patofisiologi
Osteoarthritis timbul karena adanya kerusakan kartilago sendi, yang biasa disebut
dengan “wear and tear”. Pada kerusakan kartilago, terjadi pelepasan material daripermukaan
solid oleh karena adanya aksi mekanikal. Kerusakan permukaan kartilago dapat diobservasi
pada in vitro. Jika terjadikerusakan ultrastruktural dan atau hilangnya masa permukaan, maka
lapisanpermukaan kartilago menjadi lebih lunak dan lebih permeabel. Dalam keadaan
ini,tahanan terhadap gerakan cairan akan berkurang, yang memungkinkan cairan bocorkeluar
dari fluid film melalui permukaan kartilago sehingga terpecah di ataspermukaan. Hilangnya
cairan akan meningkatkan kemungkinan kontak yang tajampada permukaan solid kartilago
dan akhirnya dapat lebih memperberat terjadinyaproses abrasi.25
Kerusakan juga dapat terjadi pada permukaan tumpuan yang baiklubrikasinya. Kerusakan ini
terjadi akibat adanya deformasi yang berulang secara periodik. Kerusakan ini terjadi karena
adanya akumulasi dari kerusakan materialsecara mikroskopik ketika terjadi stress secara
berulang-kali. Meskipun besarnyastress yang terjadi jauh labih kecil daripada kekuatan
material, tetapi pada akhirnyakerusakan akan terjadi jika cukup sering mengalami stress.
Pada sendi sinovial,adanya gerakan rotasi dan geser dapat menyebabkan area permukaan
sendi bergerak kedalam dan keluar dari area kontak. Proses ini menyebabkan stress yang
berulang padakartilago dan dapat terjadi selama aktivitas fisiologis manusia. Ketika kartilago
terbebani, beban akan disangga oleh matriks collagen/proteoglycan dan disangga pula oleh
adanya tahanan (resisten) dari gerakan cairan yang melewati kartilago.24
Dengan demikian, beban yang berulang dan gerakan sendi dapat menyebabkan stress yang
berulang pada solid matriks serta terjadi exudasi dan inhibisi yang berulang dari cairan
interstitial jaringan. Kerusakan struktural pada kartilago dapat diobservasi melalui foto X-ray.
Bagian vertikal dari kartilago yang memperlihatkan keretakan disebut dengan fibrillasi, yang
akhirnya dapat meluas melewati lapisan kartilago yang sangat dalam. Kadang-kadang,
lapisan kartilago mengalami lebih banyak erosi daripada retak. Sekali terjadi kerusakan
mikrostruktur pada kartilago, maka mekanisme kerusakan yang bersifat mekanikal akan
terjadi secara progresif; terjadi pengeluaran molekul proteoglycan oleh gerakan cairan yang
keras dan kemampuan self lubrikasi dari kartilago mengalami kerusakan. Proses ini
mempercepat kerusakan interfasial dan terjadi kelelahan kartilago yang telah merusak matriks

22
collagen/proteoglycan. Akibat kerusakan kartilago, maka ujung tulang tidak terlindungi lagi
sehingga adanya kontak langsung atau gesekan saat bergerak akan menimbulkan nyeri hebat
dan akhirnya timbul inflamasi sendi yang dikenal sebagai osteoarthritis.26

3.7. Diagnosis
Secara radiologik didapatkan penyempitan celah sendi, pembentukan osteofit,
sklerosis subkondral dan pada keadaan yang berat akan tampak kista subkondral. Bila
dicurigai terdapat robekan meniskus atau ligamen, dapat dilakukan pemeriksaan MRI yang
akan menunjukkan gambaran tersebut lebih jelas. Walaupun demikian, MRI bukan alat
diagnostic yang rutin, karena mahal dan seringkali tidak merubah rancangan terapi.
Gambaran laboratorium umumnya normal. Bila dilakukan analisis cairan sendi juga
didapatkan gambaran cairan sendi yang normal. Bila didapatkan peninggian jumlah leukosit,
perlu dipikirkan kemungkinan artropati kristal atau artritis inflamasi atau artritis septik.4, 27
The American College of Rheumatology menyusun kriteria diagnosis OA lutut
idiopatik berdasarkan pemeriksaan klinis dan radiologi sebagai berikut:28

Klinis dan
Klinis dan Laboratorium radiologi Klinis

Nyeri lutut + minimal 5 dari 9 Nyeri lutut + Nyeri lutut + minimal 3


berikut : minimal 1 dari 3 dari 6 berikut :
 Umur > 50 tahun berikut:  umur> 50 tahun
 stiffness < 30 menit  umur> 50 tahun  stiffness < 30 menit
 krepitasi  stiffness < 30  krepitasi
 nyeri pada tulang menit  nyeri pada tulang
 pelebaran tulang  krepitasi +  pelebaran tulang
 tidak hangat pada perabaan osteofit  tidak hangat pada
 LED < 40mm/jam perabaan
 Rheumatoid factor <1:40
 Cairan sinovial : jernih,
viscous, leukosit <2000/mm3

Derajat kerusakan sendi berdasarkan gambaran radiologis:

23
(A) (B)

(C) (D)
Gambar 10. Kriteri Kellgren and Lawrence
(A) Derajat 1. (B) Derajat 2. (C) Derejat 3. (D ) Derajat 4

1. Derajat 0 : radiologi normal.


2. Derajat 1 : penyempitan celah sendi meragukan.
3. Derajat 2 : osteofit dan penyempitan celah sendi yang jelas.
4. Derajat 3 : osteofit sedang dan multipel, penyempitan celah sendi, sklerosis
sedang dan kemungkinan deformitas kontur tulang.
5. Derajat 4 : osteofit yang besar, penyempitan celah sendi yang nyata, sklerosis
yang berat dan deformitas kontur tulang yang nyata.22,29

Adapun grade osteoarthritis antara lain sebagai berikut:


a. Grade 0 : Normal
b. Grade 1 : Terdapat pertumbuhan tulang kecil (taji), belum terdapatnyeri.
c. Grade 2 : Nyeri terutama berlutut/membungkuk, kekakuan sendi.Dimana tulang
sudah tumbuh lebih besar dan cairansinovial sudah mulai berkurang.
d. Grade 3 : Nyeri saat berjalan, kekakuan sendi, edem. Dimana padafase ini
kerusakan tulang rawan tampak nyata & ruangantar tulang menyempit.

24
e. Grade 4 : Nyeri hebat saat sendi di gerakkan. Kerena ruang antartulang sudah
sempit bahkan hampir rusak, terjadi kekakuan sendi.29

3.8. Penatalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan pasien yang mengalami OA adalah untuk mengedukasi
pasien, pengendalian rasa sakit, memperbaiki fungsi sendi yang terserang dan menghambat
progresivitas penyakit. Penatalaksanaan OA terdiri dari terapi non obat (edukasi, penurunan
berat badan, terapi fisik dan terapi kerja), terapi obat, terapi lokal dan tindakan bedah.21
1. Terapi non obat
a. Terapi panas superfisial
Terapi panas superfisial yaitu panas hanya mengenai kutis atau jaringan sub kutis
saja (Hot pack, infra merah, kompres air hangat, paraffin bath). Sedangkan terapi
panas dalam, yaitu panas dapat menembus sampai ke jaringan yang lebih dalam
yang sampai ke otot, tulang, dan sendi Diatermi gelombang mikro (MWD),
Diatermi gelombang pendek (SWD), Diatermi gelombang suara ultra (USD). Pada
kasus OA digunakan SWD (short wave diathermi) dan USD (ultra sound
diathermi).18
b. Terapi dingin
Terapi dingin digunakan untuk melancarkan sirkulasi darah, mengurangi
peradangan, mengurangi spasme otot dan kekakuan sendi sehingga dapat
mengurangi nyeri. Dapat juga menggunakan es yang dikompreskan pada sendi
yang nyeri. Terapi dingin dapat berupa cryotherapy, kompres es dan masase es.18

c. Terapi listrik
Yang digunakan adalah TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation). TENS
merupakan modalitas yang digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri
melalui peningkatan ambang rangsang nyeri.18
d. Hidroterapi
Hidroterapi bermanfaat untuk memberi latihan. Daya apung air akan membuat
ringan bagian atau ekstermitas yang direndam sehingga sendi lebih mudah
digerakan. Suhu air yang hangat akan membantu mengurangi nyeri, relaksasi otot
dan memberi rasa nyaman.18
e. Latihan penguatan otot

25
Latihan diketahui dapat meningkatkan dan mempertahankan pergerakan sendi,
menguatkan otot, meningkatkan ketahanan statik dan dinamik dan meningkatkan
fungsi yang menyeluruh.Latihan terdiri dari latihan pasif, aktif, ketahanan,
peregangan dan rekreasi.16
f. Ortotik Prostetik
Digunakan untuk mengembalikan fungsi, mencegah dan mengoreksi kecacatan,
menyangga berat badan dan menunjang anggota tubuh yang sakit. Pada penderita
OA biasa dilakukan rencana penggunaan knee brace atau knee support.16
g. Terapi okupasi
Terapi okupasi meliputi latihan koordinasi aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS)
untuk memberikan latihan pengembalian fungsi sehingga penderita bisa melakukan
kembali kegiatan/perkerjaan normalnya.16
h. Psikologi
Terapi psikologi diperlukan untuk pemberian motivasi dan penanaman sugesti
positif terhadap pasien agar mendapatkan kepercayaan dirinya kembali untuk
melakukan kegiatan sehari-hari.16
i. Sosial medik
Tujuannya adalah menyelesaikan/memecahkan masalah sosial yang berkaitan
dengan penyakit penderita, seperti masalah penderita dalam keluarga maupun
lingkungan masyarakat.16

2. Terapi obat
Parasetamol merupakan analgesic lini pertama yang diberikan pada penderita OA
dengan dosis 1 gram 4 kali sehari, karena cenderung aman dan dapat ditoleransi dengan
baik, terutama pada pasien dengan usia tua. Kombinasi parasetamol/opiat seperti
coproxamol bisa digunakan jika parasetamol saja tidak mampu mengurangi nyeri.
Tetapi jika dimungkinkan, penggunaan opiat yang lebih kuat hendaknya dihindari.21
Kelompok obat yang banyak digunakan untuk menghilangkan nyeri penderita OA
adalah obat anti inflamasi non steroid (OAINS). OAINS bekerja dengan cara
menghambat jalur siklooksigenase (COX) pada kaskade inflamasi. Terdapat 2 macam
enzim COX, yaitu COX-1 (bersifat fisiologik, terdapat pada lambung, ginjal dan
trombosit) dan COX-2 (berperan pada proses inflamasi). OAINS tradisional bekerja
dengan cara menghambat COX-1 dan COX-2, sehingga dapat mengakibatkan
perdarahan lambung, gangguan fungsi ginjal, retensi cairan dan hiperkalemia. OAINS

26
yang bersifat inhibitor COX-2 selektif akan memberikan efek gastrointestinal yang
lebih kecil dibandingkan penggunaan OAINS yang tradisional. 3,4,12

3. Terapi lokal
Terapi lokal meliputi pemberian injeksi intra artikular steroid atau hialuronan
(merupakan molekul glikosaminoglikan besar dan berfungsi sebagai viskosuplemen)
dan pemberian terapi topikal, seperti krem OAINS, krem salisilat atau krem
capsaicin. Injeksi steroid intra artikular diberikan bila didapatkan infeksi lokal atau
efusi sendi.12

4. Operasi
Bagi penderita dengan OA yang sudah parah, maka operasi merupakan tindakan yang
efektif. Operasi yang dapat dilakukan antara lain arthroscopic debridement, joint
debridement, dekompresi tulang, osteotomi dan artroplasti. Walaupun tindakan operatif
dapat menghilangkan nyeri pada sendi OA, tetapi kadang-kadang fungsi sendi tersebut
tidak dapat diperbaiki secara adekuat, sehingga terapi fisik pre dan pasca operatif harus
dipersiapkan dengan baik.11,12

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Secara umum, pada pasien ini penegakan diagnosis, alur tatalaksana sudah sesuai
dengan literatur yang ada. Prognosis pada pasien ini berdasarkan perjalanan penyakit dan
penatalaksanaan yang telah didapatkan adalah bonam.

4.2 Saran

27
Agar diagnosis pada pasien dapat ditegakan secara cepat dan tepat, maka
dibutuhkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang sesuai,
sehingga keputusan untuk penatalaksanaan dapat dilakukan secara tepat pula. Edukasi
pasien merupakan hal yang sangat penting. Pasien harus diedukasi dengan baik agar
pasien dapat menjalankan program pengobatan dengan teratur.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aswin, S. 1989. Struktur Sendi dan Patofisiologi. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.
2. Poole, A.R. 2001. Arthritis and Allied Conditions. Text Book of Rheumatology (edisi
ke-14). Lippincot Williams & Wilkins, Philadelphia, Amerika Serikat, hal. 226 – 284
3. Palletier, J.M. dan Palletier J.P. 1997. Effect of Aceclogenac and Diclofenac on
Inflamatory in Human Osteoarthritis. Clinical Drugs Investigation, 14 (3): 326 – 332

28
4. Bambang, S. 2003. Osteoartritis Selayang Pandang. Dalam Temu Ilmiah
Reumatologi. Jakarta: 27 – 31
5. Altman, R.D. 1997. Criteria for the Classification of Osteoarthritis. Journal of
Rheumatology, 27 (suppl): 10 – 12
6. Behzad, H. 2011. Knee osteoarthritis prevalence, risk factors, pathogenesis and
features: Part I. Caspian J Intern Med, 2(2):205-212.
7. Felson, D.T., Zhang Y., Hannan M.T., et al. 1995. The Incidence and Natural History
of Knee Osteoarthritis in the Elderly: The FraminghamOsteoarthritis Study. Arthritis
Rheumatology, 38: 1500 – 1505.
8. Kraus V.B. Pathogenesis and Treatment of Osteoarthritis. Med Clin North Am, 81: 85
– 112
9. Pay Y.C., Rymer W.Z., Chang R.W., et al. 1990. Effect of Age andOsteoarthritis on
Knee Proprioception. Arthritis Rheumatology, 40: 2260 – 2265
10. Felson D.T., ZhangY. 1998. An Update on the Epidemiology of Knee and Hip
Osteoarthritis with a View to Prevention. Arthritis Rheumatology, 41: 1343 – 1355
11. Dieppe Paul A., Lohmander L.S. 2005. Pathogenesis and Management of Pain in
Osteoarthritis. The Lancet,365: 965 – 973.
12. Klippel, J.H., Dieppe P.A., Brooks P., et al. 1994. Rheumatology: Osteoarthritis.
Mosby – Year Book Europe Limited, Inggris, hal 21 – 106.
13. Data Keadaan Morbiditas Pasien Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang. Form RL2.
Tahun 2004 – 2006
14. Braunwald, E., Fauci A.S., et al. 2002.Harrison’s Manual of Medicine: Degenerative
Joint Disease. McGraw-Hill, Boston, Amerika Serikat, hal. 748-749.
15. Felson, D.T. 2000. Osteoarthritis New Insights. Part 1 : The Disease and Its Risk
Factors. Ann Intern Med,133: 637 – 639.
16. Tulaar, A.B.M. 2006. Peran Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik
padaTatalaksana Osteoartritis. Semijurnal Farmasi dan Kedokteran Ethical Digest
hal. 46-54
17. Maetzel, A., Makela M., Hawker G., et al. 1997. Osteoarthritis of the Hip and Knee
and Mechanical Occupational Exposure: A Systematic Overview of the Evidence,
1997; 24: 599 – 607.
18. Reni, H.M. 2005. Rehabilitasi Nyeri pada Sendi Degeneratif. Surabaya: FK UNAIR.

29
19. Lau E.C., Cooper C., Lam D., et al. 2000.Factors Associated with Osteoarthritis of the
Hip and Knee in HongKong Chinese: Obesity, Joint Injury, and Occupational
Activities.American Journal Epidemiology, 152: 855 – 862.
20. Hunter D.J., March L., Sambrook P.N. 2002. Knee Osteoarthritis: The Influence of
Environmental Factors. Clinical Exp Rheumatology, 20: 93 – 100.
21. Haq I., Murphy E., dan Dacre J. 2003. Osteoarthritis Review. Postgrad Med J, 79: 377
– 383.
22. Sengkey, L.S. 2010. Kumpulan Kuliah Rehabilitasi Medik. FK UNSRAT, Manado,
Indonesia.
23. Oliveria S.A., Felson D.T., Reed J.L., et al. 1995. Incidence of Symptomatic Hand,
Hip and Knee Osteoarthritis among Patients in a HealthMaintenance Organization.
Arthritis Rheum,38: 1134 – 1141.
24. Karen A. 2000. Phyisotherapy in Orthopaedics A Problem-Solving Approach.
Churchill Livingstone, Edinburgh.
25. Callavaro, G. dan Kenda S.F., 2009. Pathology Implication for the Physical Therapist
Elsevier, St.Louis, Amerika Serikat.
26. Kisner, C. dan Colby, L.A. 2007. Therapeutic Exercise Foundations and Technique
(edisi ke-3). F.A. Davis Company,Philadelphia, Amerika Serikat, hal. 69-87.
27. Price, S.A. dan Wilson L.M. 1995. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. EGC, Jakarta, Indonesia, hal. 1218 - 1222.
28. Altman, R.D. 1991. Criteria for the Classification of Osteoarthritis. Journal of
Rheumatology, 27 (suppl): 10 – 12.
29. Erwinanti, E. 2000. Perbandingan Terapi Osteoartritis Lutut Menggunakan SWD
dengan atau tanpa Latihan di RSUP Dr. Kariadi Semarang [skripsi]. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
30. Sylvia dan Lorrine. 2002. Pathology Implication for the physical theraphy. Elsevier,
St. Louis.
31. Ahmed, H. I., Anwer A. S.,dan Alghadir, A. 2015. Effect of modified hold-relax
stretching and static stretching on hamstring muscle flexibility. J. Phys. Ther. Sci,27
(2).
32. Warma, H.2011. Pengaruh Mobilisasi Sendi dan hold relax terhadap Problematika
Penderita Osteoartritis Lutut. Universitas Surakarta, Malang.
33. Departemen Kesehatan RI. 2000.Indonesia Sehat 2010, Visi Baru, Misi Kebijakan
dan Strategi Pembangunan Kesehatan. Jakarta, hal. 4.

30

Anda mungkin juga menyukai