Anda di halaman 1dari 3

Resume Sajian Kasus Berbasis Bukti

Sindrom Nefrotik Resisten Steroid Fase Relaps, Edema Paru, Hipertensi Stadium I,
Perawakan Pendek

Perbedaan Sindrom Nefrotik dengan Sindrom Nefritik:


Sindrom Nefrotik Sindrom Nefritik
1. Proteinuria (massif) 1. Hematuria
2. Hipoalbuminemia 2. Hipertensi
3. Edem 3. Insufisiensi ginjal yang ditandai
4. Hiperkolesterolemia (kompensasi
dengan oligouria, azotemia,
akibat hipoalbumin)
peningkatan serum kreatinin

Edema adalah kenaikan abnormal volume cairan ekstraseluler yang tampak secara
klinis. Patofisiologi terjadinya edema berdasarkan teori underfill dan overfill. Pada teori
underfill terjadi pergeseran cairan menyebabkan penurunan volume plasma total dan volume
darah arteri dalam peredaran darah (intravaskuler) (hipovolemia). Kondisi hipovolemia
menstimulasi renin dan hormone antidiuretik aldosteron sehingga terjadi retensi air dan
natrium (kompensasi tubuh untuk meningkatkan volume intravaskuler). Retensi cairan
tersebut menyebabkan edema. Pada teori overfill terjadi kerusakan glomerulus menyebabkan
retensi natrium dan air pada renal (dimana menurut teori ini mekanismenya murni terjadi
intrarenal secara primer, tidak dipengaruhi oleh stimulasi sistemik perifer  tidak melalui
stimulasi renin aldosteron). Retensi natrium dan air menyebabkan volume plasma
meninggkat sehingga terjadi edema.
Indikasi pemberian sikoflosfamid yaitu pada pasien dengan sindrom nefrotik resisten
steroid. Sindrom nefrotik resisten steroid adalah pasien yang tidak terjadi terjadi remisi pada
pengobatan prednisone dosis penuh selama 4 minggu.
Terapi imunosupresan lini pertama pada sindrom nefrotik resisten steroid pada anak
masih dalam tahap diskusi. Agen siklofosfamid dan siklosporin digunakan untuk mengurangi
tingkat relaps sindrom nefrotik frekuen relaps dan juga untuk mengurangi efek samping
kortikosteroid. Namun, efektivitas dalam mempertahankan remisi masih kontroversial.
Penggunaanya masih tergantung pada ketersediaan dan referensi pasien dan dokter. Sebagian
besar penelitian sebelumnya telah menunjukkan hasil yang berbeda untuk kedua obat ini.
Podracka dkk dalam penelitian retrospektif menunjukkan bahwa terapi siklofosfamid lebih
efektif dalam mempertahankan remisi jangka panjang daripada pengobatan siklosporin.
Dalam sebuah penelitian prospektif, penelitan Ponticelli melaporkan bahwa kedua perlakuan
tersebut efektif dan dapat ditoleransi dengan baik namun pasien yang diberi siklofosfamid
memiliki remisi yang lebih stabil. Baik siklofosfamid dan siklosforin juga memiliki efek
samping. Siklofosfamid berpotensi terjadi infeksi, keganasan, dan penurunan fertilitas pada
pria. Efek samping siklosforin yang signifikan antara lain hipertensi, hipertrofi gusi,
penurunan fungsi ginjal, dan hirsutisme.
Tingkat imunosupresi akibat penyakit, jumlah dan periode pemakaian kortikosteroid
mempengaruhi predisposisi terhadap infeksi dan respon terhadap vaksin. Dosis steroid
(prednisolon atau ekuivalen) lebih dari 2 mg/hari atau pengobatan steroid dengan dosis lebih
dari 20 mg dan dengan jangka waktu lebih dari 14 hari pada anak dengan berat lebih dari 10
kg menyebabkan kondisi imunosupresi. Vaksin hidup tidak boleh diberikan pada pasien ini
sampai setidaknya 6 minggu setelah penghentian steroid. Dosis yang lebih rendah dengan
periode yang lebih pendek daripada yang disebutkan di atas, penggunaan steroid topikal,
lokal atau aerosol bukanlah kontraindikasi untuk vaksin hidup selama periode pengobatan.
Jika obat imunosupresif lain digunakan bersamaan, vaksin hidup harus dberikan setelah
penghentian terapi ini (minimal 3 bulan).
Perawakan pendek adalah salah satu komplikasi utama adanya insufisiensi ginjal
kronis dan pengobatannya. Tinggi maksimum mungkin kurang dari persentil ketiga pada 50%
anak-anak yang memasuki tahap akhir gagal ginjal. Anak-anak dengan riwayat insufisiensi
ginjal yang menerima steroid dapat tumbuh lebih lambat karena memiliki status mineralisasi
tulang yang lebih buruk. Penggunaan steroid yang berkepanjangan juga terkait dengan
kegagalan pertumbuhan dan kepadatan mineral tulang yang berkurang pada penyakit ginjal
kronis masa kecil, hipokalsemia, metabolit serum vitamin D yang berkurang, gangguan
penyerapan kalsium pada usus, dan peningkatan kadar hormone paratiroid (PTH). Ini
disebabkan oleh hilangnya berbagai protein plasma dan mineral dalam urin serta terapi
steroid. Akibatnya, anak-anak dengan sindrom nefrotik idiopatik berisiko terkena penyakit
tulang metabolik seperti menurunnya Bone mineral density (BMD) dan histologi tulang yang
tidak normal, termasuk osteomalacia serta resorpsi tulang yang berlebihan yang menyerupai
hiperparatiroidime sekunder.
Potensi efek samping kekurangan kalsium dan vitamin D pada kerangka dan sistem
organ lain dari pasien sindrom nefrotik, terutama di kalangan anak-anak yang sedang tumbuh,
skrining untuk kekurangan vitamin D atau suplemen vitamin D rutin harus dipertimbangkan.
Penelitian Septiarini dkk menunjukkan pemberian kalsium elemental 800 mg dan vitamin D
400 IU selama 8 minggu efektif meningkatkan 25 (OH)D dan BMD pasien sindrom nefrotik.
Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor merupakan obat antihipertensi yang
juga memiliki pengaruh rerhadap hemodinamik ginjal yang dapat mengurangi tekanan
hidrolik glomerulus. ACE inhibitor dapat menurunkan hipertensi glomerular dan proteinuria
dengan memodifikasi tekanan kapiler.

Notulen
Ni Putu Wirantari

Mengetahui,

dr. GAP Nilawati, Sp.A (K), MARS

Anda mungkin juga menyukai