Perlawan Taman Siswa terhadap ordonansi sekolah liar merupakan masa gemilang
bagi sejarahnya, yang juga berarti mempertahankan hak menentukan diri sendiri
bagi bangsa Indonesia. Sesudah itu Taman Siswa akan mengadakan lagi
perlawanan terhadap peraturan pemerintah kolonial yang dapat dianggap
merugikan rakyat. Pada tahun 1935 Taman Siswa mempunyai 175 cabang yang
tersebar di sekolahnnya ada 200 buah, dari mulai sekolah rendah hingga sekolah
menengah.
D.SIKAP TAMAN SISWA PADA REVOLUSI DAN INDONESIA
MERDEKA
Pada saat setelah Indonesia merdeka Taman Siswa mengadakan Rapat Besar
(Konferensi) yang ke-9 di Yogyakarta. Tapi pada masa kemerdekaan ini tidak
semua guru Taman Siswa menyadari akan datang juga masa baru untuk Perguruan
nasional mereka. Dalam Rapat besar itu terdapat tiga pendapat dikalangan Taman
Siswa dalam menghadapi kemerdekaan.
Pertama, pendapat bahwa tugas Taman Siswa telah selesai dengan tercapainya
Indonesia merdeka. Karena menurut pendukung pendapat ini, peran taman siswa
sebagai penggugah keinsafan nasional sudah habis, dan faktor melawan
pemerintah jajahan tidak ada lagi.
Kedua, Taman Siswa masih perlu ada, sebelum pemerintah Republik dapat
mengadakan sekolah-sekolah yang mencukupi keperluan rakyat. Lagi pula isi
sekolah-sekolah negeri pun belum dapat diubah sekaligus sebagai warisan sistem
pengajaran yang lampau.
Perbedaan pendapat dikalang Taman Siswa membawa dampak yang tidak bisa
dielakan, para pendukung pendapat pertama banyak yang meninggalkan Taman
Siswa. Taman Siswa banyak ditinggalkan oleh pendukung akatif yang tahan uji.
Namun hal ini tidak mengherankan karena sebenarnya orang-orang Taman Siswa
hanya berpindah tempat mengisi kemerdekaan. Misal saja bapak Taman Siswa
sendiri, Ki Hajar Dewantara, pada awal kemerdekaan menjadi Mentri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama didalam pemerintahan. Bagi Taman
Siswa sendiri yang terpenting ialah pembentukan panitia yang berkewajiban
meninjau kembalinya peraturan Taman Siswa dengan segala isinya. Panitia ini
diketuai oleh S. Manggoensarkoro dan kesimpiulan panitia ini diterima dalam
Rapat Besar Umum (Kongres) V di Yogyakarta pada bulan Desember 1947.
Pada masa itu, Belanda sudah memulai aksi militernya yang pertama pada 21 Juli
1947, sehingga Rapat Besar Umum, membahas tentang kedudukan cabang-cabang
di daerah pendudukan. Di daerah pendudukan Belanda muncul sebutan “sekolah
liar” tapi tidak hanya sekolah partikelir saja tapi sekolah republik pun dinyatakan
“sekolah liar” ketika sekolah di Jakarta ditutup, maka gedung Taman Siswa di
jalan Garuda 25 dibanjiri oleh murid-murid. Semangat yang luar biasa ditunjukan
oleh sekolah Taman Siswa yang berada di daerah pendudukan, mereka berusaha
mempertahankan sekolah mereka meski Majelis Luhur di Yogyakarta tidak
menyetujui diteruskanya sekolah di daerah pendudukan. Tapi akhirnya majelis
Luhur mengizinkan untuk membuka terus cabang-cabang Taman Siswa di daerah
pendudukan.
Di kalangan para pemimpin sedikitnya tedapat dua aliran. Yang pertama aliran
yang memnginginkan Taman Siswa terlepas dari sistem pendidikan pemerintah,
merupakan lembaga pendidikan yang independen, hidup dalam cita-citanya sendiri
dan terus berusaha agar sebagian masyarakat menerima konsep pendidikan
nasional. Caranya ialah dengan tetap mempertahankan sistem pondok yang relatif
terasing dari masyarakat sekitarnya. Aliran pemikiran yang kedua ialah mereka
yang berpendapat bahwa perkembangan masyarakat Indonesia baru sangat berbeda
dengan keadaan zaman kolonial, oleh karena perubahan perlu dihadapi dengan
pemikiran baru. Taman Siswa dapat menyumbangkan pengalaman dan keahlian
untuk Menteri Pendidikan dalam usahanya mengembangkan kebijaksanaan politik
pendidikan nasional.