Anda di halaman 1dari 18

A.

Diglosia dalam perspeptif umum

Istilah diglosia ini pertama kali digunakan dalam bahasa Perancis diglossie yang diserap dari
bahasa Yunani διγλωσσία, 'dwibahasa') oleh bahasawan Yunani Ioannis Psycharis. Ahli bahasa
Arab William Marçais lalu juga menggunakannya pada tahun 1930 untuk menuliskan situasi
bahasa di dunia Arab.

Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi
bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Yang dimaksud ialah bahwa terdapat
perbedaan antara ragam formal atau resmi dan tidak resmi atau non-formal. Contohnya misalkan
di Indonesia terdapat perbedaan antara bahasa tulis dan bahasa lisan.

Akan tetapi, istilah diglosia tersebut menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan
oleh C.A. Ferguson, seorang sarjana dari Stanford University pada tahun 1958 dalam sebuah
symposium tentang “Urbanisasi dan Bahasa-bahasa Standar” yang diselenggarakan oleh
American Antropological Association di Washington DC.

Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana
terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing punya
peranan tertentu. Ferguson membahas diglosia ini dengan mengemukakan sembilan topic, yaitu
fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standarisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan
fonologi.

Fungsi merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurutnya, dalam masyarakat diglosis
terdapat dua variasi dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T),
dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R). dalam bahasa Arab dialek T-nya
adalah bahasa arab klasik, bahasa al-Qur’an yang disebut al-Fusha. Dialek R-nya adalah berbagai
bentuk bahasa Arab yang digunakn oleh bangsa Arab yang lazim disebut ad-Darij.

Pristise. Dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menganggap bahwa dialek T lebih
bergengsi, lebih superior, lebih terpandang dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek
R dianggap inferior, malah ada yang menolak keberadaannya.
Pemerolehan dialek T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan
dialek atau ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman. Dan karena
ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standarisasi
dilakukan terhadap ragam T tersebt melalui kodifikasi formal. Kamus, tata bahasa, petunjuk
lafal, dan buku-buku kaidah untuk penggunaan yang benar ditulis untuk ragam T. Stabilitas
dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama dimana ada sebuah variasi bahasa
yang dipaertahankan eksistensinya dalam masnyarakat itu.

A. Diglosia menurut pandangan Ferguson

Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana
terdapat dua variasi dari suatu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai
peranan tertentu. Rumusan asli Ferguson tentang diglosia adalah :

1. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat
sejumlah dialek-dialek-dialek utama (lebih tepat:ragam-ragam utama) dari satu bahasa,
terdapat juga sebuah ragam lain.

2. Dialek-dialek utama itu, di antaranya bisa berupa sebuah dialek standar, atau sevuah
standar regional.

3. Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri

- Sudah sangat terkodifikasi

- Gramatikalnya lebih kompleks

- Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati

- Dipelajari melalui pendidikan formal

- Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal

- Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari


Ferguson membicarakan diglosia itu dengan mengambil contoh empat buah masyarakat tutur
dengan bahasa mereka. Keempat masyarakat tutur itu adalah masyarakat tutur bahasa Arab,
Yunani modern, Jerman Swiss, dan Kreol Haiti.Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan
mengetengahkan sembilan topik, yaitu fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standarisasi,
stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi. Berikut kita bicarakan secara singkat

Fungsi merupakan kriteria diaglossa yang sangat penting. Menurut ferguson dalam masyarakat
diglosis terdapat dua variasi dari suatu bahasa, Variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat
dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R atau Ragam
R). Dalam bahasa Arab dialek T-nya adalah bahasa Arab klasik, bahasa Al5uran yang lazim
disebut al-fusha, dialek R-nya adalah berbagai bentuk bahasa Arab yang digunakan oleh bangsa
Arab, yang lazim disebut addarij. Dalam bahasa Yunani dialek T-nya disebut Katharevusa, yaitu
bahasa Yunani murni dengan ciri-ciri linguistik Yunani klasik: Sedangkan dialek R-nya disebut
dhimotiki, yakni bahasa Yunani Lisan. Dalam bahasa jerman-Swiss dialek T-nya adalah Jerman
Standar, dan dialek R-nya adalah berbagai dialek bahasa Jerman. Di Haiti, yang menjadi dialek
T-nya adalah bahasa Francis, sedangkan bahasa R-nya adalah bahasa Kreol-Haiti, yang dibuat
berdasarkan bahasa Prancis.

Penggunaan dialek T atau R yang tidak cocok dengan situasinya menyebabkan si penutur bisa
disoroti, mungkin menimbulkan ejekan, cemoohan, atau tertawaan orang lain. Sastra dan puisi
rakyat memang menggunakan dialek R, tetapi banyak anggota masyarakat yang beranggapan
bahwa hanya sastra/puisi dalam dialek T-lah yang sebenarnya karya sastra suatu bangsa. Dalam
pendidikan formal dialek T harus digunakan sebagai bahasa pengantar, namun seringkali sarana
kebahasaan menggunakan dialek R. Di Indonesia juga ada perbedaan ragam T dan ragam R
bahasa Indonesia, ragam T digunakan dalam situasi formal seperti di dalam pendidikan;
sedangkan ragam R digunakan dalam sistuasi nonformal seperti dalam pembicaraan dengan
teman karib, dan sebagainya.

Prestise. Dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menggunakan dialek T lebih
bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek
R dianggap inferiror; malah ada yang menolak keberadaannya. Menurut Ferguson banyak orang
Arab dan Haiti terpelajar menganjurkan agar dialek R tidak perlu digunakan, meskipun dalam
percakapan sehari-hari mereka menggunakan dialek R itu. Anjuran golongan terpelajar Arab dan
Haiti itu tentu merupakan kekeliruan, sebab dialek T dan dialek R mempunyai fungsinya masing-
masing, yang tidak dapat dipertukarkan. Dalam masyarakat Indonesia pun ragam bahasa
Indonesia baku dianggap lebih bergengsi daripada ragam bahasa Indonesia nonbaku. Dalam
masyarakat Melayu/Indonesia beberapa puluh tahun yang lalu juga ada pembedaan bahasa
Melayu T dan bahasa Melayu R, di mana yang pertama menjadi bahasa sekolah, dan yang kedua
menjadi bahasa pasar.

Warisan kesusastraan. Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh
terdapat kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa
tersebut. Kalau ada juga karya sastra kontemporer dengan menggunakan ragam T , maka
dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni bahwa karya sastra harus dalam ragam T.
Tradisi kesusastraan yang selalu dalam ragam T ini (setidaknya dalam empat contoh diatas)
menyebabkan kesusastraan itu menjadi asing dari masyarakat umum. Namun, kesusastraan itu
menjadi asing dari masyarakat umum. Namun, kesusastraan itu tetap berakar, baik di negara-
negara berbahasa Arab, bahasa Yunani, bahasa Prancis di Haiti, dan Bahasa Jerman di Swiss
yang berbahasa Jerman.

Pemerolehan. Ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan


ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan. Oleh karena
itu, mereka yang tidak pernah memasuki dunia pendidikan formal tidak akan mengenal ragam T
sama sekali. Mereka yang mengenal ragam T hampir tidak pernah menguasai dengan lancar,
selancar penguasaannya terhadap ragam R. Alasannya, ragam T tidak selalu digunakan, dan
dalam mempelajarinya selalu terkendali dengan berbagai kaidah dan aturan tata bahasa;
sedangkan ragam R digunakan secara reguler dan terus menerus di dalam pergaulan sehari-hari.
Dalam masyarakat diglosis banyak orang terpelajar menguasai dengan baik kaidah-kaidah ragam
T, tetapi tidak lancar menggunakan ragam tersebut. Sebaliknya, mereka tidak tahu atau tidak
pernah memperhatikan kaidah-kaidah tata bahasa ragam R, teapi dengan lancar mereka dapat
menggunakan ragam tersebut. Dalam beberapa masyarakat diglosis malah banyak penutur yang
mengatakan bahwa ragam R tidak punya tata bahasa.
Standarisasi. Karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak
mengherankan kalau standarisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal.
Kamus, tata bahasa, petunjuk lafal, dan buku-buku kaidah untuk penggunaan yang benar ditulis
untuk ragam T. Sebaliknya, ragam R tidak pernah diurus dan diperhatikan. Jarang ada kajian
yang menyinggung adanya ragam R, atau kajian khusus mengenai ragam R tersebut. Kalau pun
ada biasanya dilakukan oleh peneliti dari masyarakat bahasa lain, dan ditulis dalam bahasa lain.
Sebagai ragam yang dipilih, yang distandarisasikan, maka ragam T jelas akan menjadi ragam
yang lebih bergengsi dan dihormati.

Stabilitas. Kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlansung lama di mana ada
sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu. Pertentangan atau
perbedaan antara ragam T dan ragam R dalam masyarakat diglosis selalu ditonjolkan karena
adanya perkembangan dalam bentuk-bentuk campuran yang memiliki ciri-ciri ragam T dan
ragam R. Peminjaman unsur leksikal ragam T ke dalam ragam R bersifat biasa; tetapi
penggunaan unsur leksikal ragam R dalam ragam T kurang begitu biasa, sebab baru digunakan
kalau sangat vterpaksa.

Gramatika. Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalam diglosia merupakan
bentuk-bentuk dari bahasa yang sama; namun, di dalam gramatika ternyata banyak perbedaan.
Umpamanya, dalam bahasa Jerman standar kita dapati empat kasus nomina dan dua tenses
indikatif sederhana; sedangkan dalam bahasa Jerman Swiss hanya terdapat tiga kasus nomina,
dan satu tenses sederhana. Nomina bahasa Prancis menunjukan agreement dalam jumlah dan
jenis (gender), sedangkan nomina Kreol-Haiti tidak memiliki hal iyu. Dalam ragam T adanya
kalimat-kalimat kompleks dengan sejumlah konstruksi subordinasi adalah hal yang biasa, tetapi
dalam ragam R dianggap artifisial.

Leksikon. Sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada
kosakata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya, ada kosakata
pada ragam R yang tidak ada pasangannya pada ragam T. Ciri yang paling menonjol pada
diglosia adalah adanya kosakata yang berpasangan, satu untuk ragam T dan satu untuk ragam R,
yang biasanya untuk konsep=konsep yang sangat umum. Umpamanya, dalam bahasa Yunani
“rumah” untuk ragam T adalah ikos dan untuk ragam R adalah spiti. Dalam bahasa Arab “Apa”
untuk ragam T adalah ma dan untuk ragam R adalah eh. Menurut Ferguson dalam masyarakat
diglosis hanya kosakata ragam T yang bisa ditulis secara formal; dan hanya ragam R yang hanya
diharapkan dalam percakapan sehari-hari. Dalam bahasa Indonesia kita pun dapat mendaftarkan
sejumlah kosakata yang berpasangan sebagai kata baku dan tidak baku. Antara lain, uang dan
duit, buruk dan jelek, istri dan bini.

Fonologi. Dalam bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan ragam R.
Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga jauh. Ferguson menyatakan sistem bunyi ragam T dan
ragam R sebenarnya merupakan sistem tunggal; namun, fonologi T merupakan sistem dasar,
sedangkan fonologi R, yang beragam-ragam, merupakan subsistem atau parasistem. Fonologi T
lebih dekat dengan bentuk umum yang mendasari dalam bahasa secara keseluruhan. Fonologi R
lebih jauh dari bentuk-bentuk yang mendasar.

B. Hubungan Bilingualisme dengan Diglosia

Ketika diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa dan
bilingualisme sebagai adanya penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka
Fishman menggambarkan hubungan diglosia sebagai berikut:

a.Bilingualisme dan diglosia

Di dalam masyarakat yang dikarekterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan


diglosia, hamper setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. kedua
ragam atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing, yang tidak dapat
dipertukarkan.

b.Bilingaulisme tanpa diglosia

Dalam masyarakat yang bilingualis tetapi tidak diglosis terdapat sejumlah individu yang
bilingual, namun mereka tidak membatasi penggunaan bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang
lain untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka dapat menggunakan bahasa yang manapun untuk
situasi dan tujuan apapun.

c.Diglosia tanpa bilingualisme


Di dalam masyarakat yang berdiri diglosia, tapi tanpa bilingualisre terdapat dua kelompok
penutur. Kelompok pertama yang biasanya lebih kecil, merupakan kelompok ruling group yang
hanya bicara dalam bahasa T. sedangkan kelompok kedua yang biasanya lebih besar, tidak
memiliki kekuasaan dalam masyarakat, hanya berbicara bahasa R. siatasi diglosia tanpa
bilingualisme banyak kita jumpai di Eropa sebelum perang dunia pertama.

d.Tidak bilingualisme dan tidak diglosia

Masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa
variasi serta dapat digunakan untuk segala tujuan. Keadaan ini hanya mungkin ada dalam
masyarakat primitive atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sukar ditemukan. Masyarakat
yang tidak diglosia dan bilingual ini akan mencair apabila telah bersentuhan dengan masyarakat
lain

Pemerolehan
Ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan
ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan. Oleh karena
itu, mereka yang tidak pernah memasuki dunia pendidikan formal tidak akan mengenal ragam T
sama sekali. Begitu juga mereka yang keluar dari pendidikan Formal kelas-kelas awal. Mereka
yang mempelajari ragam T hampir tidak pernah menguasainya dengan lancar, selancar
penguasaannya terhadap ragam R. Di Indonesia pun banyak orang merasa sukar untuk
mengunakan bahasa Indonesia ragam baku, baik lisan maupun tulis. Betapa banyak kritik
dilontarkan orang mengenai kesalahan untuk berbahasa Indonesia “yang baik dan benar”. Ini
menunjukkan bahwa menggunakan bahasa ragam T memang tidak semudah menggunakan
ragam R. Untuk menguasai ragam T, kita harus belajar secara formal, tetapi untuk menguasai
ragam R, kemungkinan tidak perlu.
e. Standardisasi
Menanggapi ragam T yang dipandang sebagai ragam bergengsi, maka tidak
mengherankan kalau standarisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal.
Kamus, tata bahasa, petunjuk lafal, dan buku-buku kaidah untuk penggunaan yang benar ditulis
untuk ragam T. Sebaliknya ragam R tidak pernah diurus dan diperhatikan. Jarang ada kajian
yang menyingung adanya ragam R, atau kajian khusus mengenai ragam R tersebut. Kalaupun
ada, biasanya dilakukan oleh peneliti dari masyarakat bahasa lain, dan ditulis dalam bahasa lain.
Sebagai ragam yang dipilih, yang distandardisasikan, maka ragam T jelas akan menjadi ragam
yang lebih bergengsi dan dihormati.
f. Stabilitas
Kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama dimana ada
sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu. Pertentangan atau
perbedaan antara ragam T dan R dalam masyarakat diglosis selalu ditonjolkan karena adanya
perkembangan dalam bentuk-bentuk campuran yang memiliki ciri-ciri ragam T dan R.
Peminjaman unsur leksikal ragam T kedalam ragam R bersifat biasa, tetapi penggunaan unsur
leksikal ragam R dalam ragam T kurang begitu biasa, sebab baru digunakan kalau sangat
terpaksa.
g. Gramatika
Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan R dalam diglosis merupakan bentuk-
bentuk dan bahasa yang sama. Namun, di dalam gramatika ternyata terdapat perbedaan.
Umpamanya, dalam bahasa Jerman standar kita dapati empat kasus nomina dan dua tenses
indikatif sederhana, sedangkan dalam bahasa Jerman Swiss hanya terdapat tiga kasus nomina,
dan dua tenses sederhana. Nomina bahasa Prancis menunjukan agreement dalam jumlah dan
jenis (gender) , sedangkan nomina Kreol Haiti tidak memiliki hal itu. Dalam ragam T adanya
kalimat-kalimat kompleks dengan sejumlah konstruksi subordinasi adalah hal yang biasa, tetapi
dalam ragam R dianggap artifisial.
h. Leksikon
Sebagian besar kosa kata pada ragam T dan R adalah sama. Namun, ada kosa kata pada
ragam T yang tidak ada pasanganya pada ragam R atau sebaliknya, ada kosa kata pada ragam R
yang tidak ada pasanganya pada ragam T. Ciri yang paling menonjol pada diglosia adalah
adanya kosa kata yang berpasangan, satu untuk ragam T dan satu untuk ragam R, yang biasanya
untuk konsep-konsep yang sangat umum. Umpamanya dalam bahasa Indonesia kita dapat
mendaftarkan sejumlah kosa kata yang berpasangan sebagai baku dan tidak baku. Antara lain,
uang dan duit, buruk dan jelek.
i. Fonologi
Dalam bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan R. Perbedaan
tersebut bisa dekat bisa juga jauh. Ferguson sistem bunyi ragam R dan T sebenarnya merupakan
sistem tunggal, namun fonologi, T merupakan sistem dasar sedangkan fonologi R yang beragam-
ragam, merupakan subsistem atau parasistem. Fonologi T lebih dekat dengan bentuk umum yang
mendasari dalam bahasa secara keseluruhan. Fonologi R lebih jauh dari bentuk-bentuk yang
mendasar.
Ferguson mengatakan bahwa suatu masyarakat diaglosis bisa bertahan/stabil waktu
yang cukup lama meskipun terdapat “tekanan–tekanan” yang dapat melunturkannya. Tekanan-
tekanan itu antara lain, (1) meningkatnya kemampuan keaksaraan dan meluasnya komunikasi
verbal pada suatu Negara. (2) meningkatnya penggunaan bahasa tulis. (3) perkembangan
nasionalisme dengan keinginan adanya sebuah bahasa nasional sebagai lambang kenasionalan
suatu bangsa.
Konsep Ferguson mengenai diglosia, bahwa didalam masyarakat diglosia ada perbedaan
ragam bahasa T dan R dengan fungsinya masing-masing dimodifikasi dan diperluas oleh
Fishman (1972:92). Menurut Fishman diglosia tidak hanya berlaku pada adanya pembedaan
ragam T dan ragam R pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun , atau pada dua bahasa yang
berlainan. Jadi, yang menjadi tekanan bagi Fishman adalah adanya perbedaan fungsi kedua
bahasa atau variasi bahasa yang bersangkutan.
Kalau Feguson melihat diglosia hanya sebagai adanya perbedaan fungsi ragam T dan R
dalam sebuah bahasa, maka fishman melihat diglosia sebagai adanya perbedaan fungsi, mulai
dari perbedaan stilistik dari sebuah bahasa sampai adanya perbedaan fungsi dari dua bahasa yang
berbeda. Jadi, didalamnya termasuk perbedaan yang terdapat antara dialek , register, atau variasi
bahasa fungsional (Fishman ,1972)
C. Hubungan Bilingualisme dengan Diglosia
Ketika diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa dan
bilingualisme sebagai adanya penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka
Fishman menggambarkan hubungan diglosia sebagai berikut:
a.Bilingualisme dan diglosia
Di dalam masyarakat yang dikarekterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan
diglosia, hampir setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. Kedua
ragam atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing, yang tidak dapat
dipertukarkan.
b.Bilingualisme tanpa diglosia
Dalam masyarakat yang bilingualis tetapi tidak diglosis terdapat sejumlah individu yang
bilingual, namun mereka tidak membatasi penggunaan bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang
lain untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka dapat menggunakan bahasa yang manapun untuk
situasi dan tujuan apapun.
c.Diglosia tanpa bilingualisme

Untuk memahami pengertian diglosia.

Untuk memahami macam-macam variasi bahasa.

BAB II

PEMBAHASAN

Diglosia

Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh marcais, seorang
linguis prancis, tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh
sarjana dari Stanford University, yaitu C.A. Ferguson tahun 1958 dalam suatu simposium
tentang “Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American
Anthropological Association di Washinghton DC. Kemudian Ferguson menjadikan lebih
terkenal lagi istilah tersebut dengan sebuah artikelnya yang berjudul “diglosia” yang dimuat di
dalam majalah Word tahun 1959. Hingga kini artikel ferguson itu dipandang sebagai referensi
klasik mengenai diglosia, meskipun Fishman(1967) dan Fasold(1984) ada membicarakannya
juga. Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan suatu masyarakat dimana
terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai
peranan tertentu

Definisi menurut Ferguson (1959) memberi pengertian:

diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, dimana selain terdapat sejumlah
dialek-dialek utama (lebih tepat ragam-ragam utama) dari satu bahasa, terdapat juga sebuah
ragam lain.

dialek-dialek utama itu diantaranya bisa berupa sebuah dialek standar atau sebuah standar
regional.

ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri:

sudah (sangat) terkodifikasi

gramatikalnya lebih kompleks

merupakan wahana kesusasteraan tertulis yang sangat luas dan dihormati


dipelajari melalui pendidikan formal

digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal

tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari.

Ferguson membahas diglosia ini dengan mengemukakan sembilan topik, yaitu fungsi, prestise,
warisan kesusastraan, pemerolehan, standarisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi.

Fungsi

Merupakan kriteria diglosia yang sangat penting Menurut Ferguson (dalam Chaer dan Leonie
Agustina, 1995:123) masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa : variasi pertama
disebut dialek tinggi ( disingkat dialek T atau ragam T) dan yang kedua disebut dialek rendah
(disingkat dialek R atau ragam R). Distribusi fungsional dialek T dan dialek R mempunyai arti
bahwa terdapat situasi dimana hanya dialek T yang sesuai untuk digunakan dan dalam situasi
lain hanya dialek R yang bisa digunakan. Fungsi T hanya pada situasi resmi atau formal
sedangkan fungsi R hanya pada situasi informal dan santai.

Penggunaan dialek T atau R yang tidak cocok dengan situasinya menyebabkan sipenutur bisa
disoroti, mungkin menimbulkan ejekan , cemoohan atau tertawaan orang lain. Dalam pendidikan
formal dialek T harus digunakan sebagai bahasa pengantar namun sering kali sarana kebahasaan
dialek T tidak mencukuoi. Oleh karna itu dibantu dengan menggunakan dialek R

Prestise

Dalam masyarakat diglosis para penutur menganggap dialek T lebih bergengsi, lebih superior,
lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inferior,
malah ada yang menolak keberadaannya.

Warisan kesusasteran

Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan ferguson sebagai contoh terdapat kesusasteraan
dimana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut. Tradisi
kesusasteraan yang selalu dalam ragam T ini menyebabkan kesusasteraan itu menjadi asing dari
masyarakat umum.

Pemerolehan

Ragam T diperoleh dengan mempelajarai dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R


diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan. Oleh karena itu mereka
yang tidak pernah memasuki dunia pendidikan formal tidak akan mengenal ragam T sama
sekali. Dalam masyarakat diglosis banyak orang terpelajar menguasai dengan baik kaidah-kaidah
ragam T, tetapi tidak lancar menggunakan ragam tersebut. Dalam beberapa masyarakat diglosis
malah banyak penutur yang mengatakan bahwa ragam R tidak punya kata bahasa.
Stadardisasi
Karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau
standardisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal. Sebaliknya ragam
R tidak pernah diurus dan diperhatikan.

Stabilitas

Kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama dimana ada sebuah
variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu. Pertentangan atau
perbedaan antara ragam T dan ragam R dalam masyarakat diglosis selalu ditonjolkan karena
adanya perkembangan dalam bentuk-bentuk campuran yang memiliki ciri-ciri ragam T dan
ragam R.

Gramatika

Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalam diglosis merupakan bentuk-bentuk
dari bahasa yang sama, namun didalam gramatika ternyata terdapat perbedaan. Dalam ragam T
adanya kalimat-kalimat kompleks dengan sejumlah konstruksi subordinasi adalah hal yang biasa
tetapi dalam ragam R dianggap artifisial.

Leksikon

Ciri yang paling menonjol pada diglosia adalah adanya kosa kata yang berpasangan, satu untuk
ragam T dan satu untuk ragam R , yang biasanya untuk konsep-konsep yang sangat umum.
Dalam bahasa indonesia kitapun dapat mendaftarkan sejumlah kosakata yang berpasangan
sebagai baku dan tidak baku.

Fonologi

Dalam bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan ragam R. Perbedaan tersebut
bisa dekat bisa juga jauh. Ferguson menyatakan sistem bunyi ragam T dan ragam R sebenarnya
merupakan sistem tunggal namun, fonologi merupakan sistem dasar sedangkan fonologi R yang
beragam-ragam.

Variasi Bahasa

Sebagai sebuah langue, sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama
oleh semua penutur bahasa itu. Namun, karena penutur bahasa tersebut, meski berada dalam
masyarakat tutur, tidak merupakan kumpulan manusia yang homogen, maka wujud bahasa yang
konkret, yang disebut parole, menjadi tidak seragam. Bahasa itu menjadi beragam dan bervariasi.
Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya
yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat
beragam. Setiap kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman bahasa itu.
Keragaman ini akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang
sangat banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas. Misalnya bahasa Inggris yang digunakan
hampir di seluruh dunia; bahasa Arab yang luas wilayahnya dari Jabal Thariq di Afrika Utara
sampai ke perbatasan Iran (dan juga sebagai bahasa agama Islam dikenal hampir di seluruh
dunia); dan bahasa Indonesia yang wilayah penyebarannya dari Sabang sampai Merauke.

Dalam hal variasi atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa
itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi
bahasa itu. Jadi variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial
dan keragaman fungsi bahasa. Andaikata penutur bahasa itu adalah kelompok yang homogen,
baik etnis, status sosial maupun lapangan pekerjaannya, maka variasi atau keragaman itu tidak
akan ada; artinya, bahasa itu menjadi seragam. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada
untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka
ragam. Kedua pandangan ini dapat saja diterima atau pun ditolak. Yang jelas, variasi atau ragam
bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan di
dalam masyarakat sosial.

Variasi bahasa dibedakan berdasarkan penutur dan penggunaanya. Berdasarkan penutur berarti
siapa yang menggunakan bahasa itu, di mana tinggalnya, bagaimana kedudukan sosialnya di
dalam masyarakat, apa jenis kelaminnya, dan kapan bahasa itu digunakannya. Berdasarkan
penggunaannya, berarti bahasa itu digunakan untuk apa, dalam bidang apa, apa jalur dan alatnya,
dan bagaimana situasi keformalannya.

Variasi dari Segi Penutur

Variasi bahasa pertama yang kita lihat berdasarkan penuturnya adalah variasi bahasa yang
disebut idiolek, yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut konsep idiolek, setiap
orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya masing-masing. Variasi idiolek ini
berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya.
Namun yang paling dominan adalah “warna” suara itu, sehingga jika kita cukup akrab dengan
seseorang, hanya dengan mendengar suara bicaranya tanpa melihat orangnya, kita dapat
mengenalinya. Mengenali idiolek seseorang dari bicaranya memang lebih mudah daripada
melalui karya tulisnya. Namun kalau kita sering membaca karya Hamka, Alisyahbana, atau
Shakespeare, maka pada suatu waktu kelak bila kita menemui selembar karya mereka, meskipun
tidak dicantumkan nama mereka, maka kita dapat mengenali lembaran itu karya siapa.

Variasi bahasa kedua berdasarkan penuturnya adalah yang disebut dialek, yakni variasi bahasa
dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau
area tertentu. Karena dialek ini didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka
dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional atau dialek geografi. Para penutur dalam
suatu dialek, meskipun mereka mempunyai idioleknya masing-masing, memiliki kesamaan ciri
yang menandai bahwa mereka berada pada satu dialek, yang berbeda dengan kelompok penutur
lain, yang berada dalam dialeknya sendiri dengan ciri lain yang menandai dialeknya juga.

Variasi ketiga berdasarkan penutur adalah yang disebut kronolek atau dialek temporal, yakni
variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Umpamanya, variasi
bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi yang digunakan tahun lima puluhan, dan
variasi yang digunakan pada masa kini.
Variasi bahasa keempat berdasarkan penuturnya adalah apa yang disebut sosiolek atau dialek
sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para
penuturnya.

Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial
para penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek,
vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken. Ada juga yang menambahkan dengan yang
disebut bahasa prokem.

Yang dimaksud dengan akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih
bergengsi daripada variasi sosial lainnya. Sebagai contoh akrolek ini adalah yang disebut bahasa
bagongan, yaitu variasi bahasa Jawa yang khusus digunakan oleh para bangsawan kraton Jawa.

Yang dimaksud dengan basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi, atau
bahkan dianggap paling rendah. Bahasa Inggris yang digunakan oleh para cowboy dan kuli
tambang dapat dikatakan sebagai basilek.

Yang dimaksud dengan vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pemakaian bahasa
oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari kalangan mereka yang tidak berpendidikan. Pada
zaman Romawi sampai zaman pertengahan, bahasa-bahasa di Eropa dianggap sebagai bahasa
vulgar, sebab pada waktu itu para golongan intelek menggunakan bahasa Latin dalam segala
kegiatan mereka.

Yang dimaksud dengan slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya,
variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh
kalangan di luar kelompok itu. Oleh karena itu, kosa kata yang digunakan dalam slang ini selalu
berubah-ubah.

Yang dimaksud dengan kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam percakapan sehari-
hari. Jadi, kolokial berarti bahasa percakapan, bukan bahasa tulis.

Yang dimaksud dengan jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh
kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan seringkali tidak dapat dipahami
oleh masyarakat umum atau masyarakat di luar kelompoknya. Namun, ungkapan-ungkapan
tersebut tidak bersifat rahasia.

Yang dimaksud dengan argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi-
profesi tertentu dan bersifat rahasia. Letak kekhususan argot adalah pada kosakata.

Yang dimaksud dengan ken (Inggris = cant) adalah variasi sosial tertentu yang bernada
“memelas”, dibuat merengek-rengek, penuh dengan kepura-puraan. Biasanya digunakan oleh
para pengemis.

Variasi dari Segi Pemakaian


Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaanya, pemakaianya, atau fungsinya disebut
fungsiolek (Nababan 1984), ragam, atau register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan
bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi bahasa
berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan
atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian,
perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan. Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini
yang paling tampak cirinya adalah dalam bidang kosakata. Setiap bidang kegiatan ini biasanya
mempunyai sejumlah kosakata khusus atau tertentu yang tidak digunakan dalam bidang lain.
Namun demikian, variasi berdasarkan bidang kegiatan ini tampak pula dalam tataran morfologi
dan sintaksis. Variasi bahasa atau ragam bahasa sastra biasanya menekankan penggunaan bahasa
dari segi estetis, sehingga dipilihlah dan digunkanlah kosakata secara estetis memiliki ciri eufoni
serta daya ungkap yang paling tepat. Struktur morfologi dan sintaksis yang normatif dikorbankan
dan dihindarkan untuk mencapai efek keeufonian dan kedayaungkapan yang tepat yang paling
tepat. Begitu juga kalau dalam bahasa umum orang mengungkapkan sesuatu secara lugas dan
polos, tetapi dalam ragam bahasa sastra akan diungkapkan secara estetistis. Dalam bahasa umum
orang, misalnya, akan mengatakan, “saya sudah tua”, tetapi dalam bahasa sastra Ali Hasjmi,
seorang penyair Indonesia, mengatakan dalam bentuk puisi.
Pagiku hilang sudah melayang

Hari mudaku sudah pergi

Sekarang petang datang membayang

Batang usiaku sudah tinggi.

Ragam bahasa jurnalistik juga mempunyai ciri tertentu, yakni bersifat sederhana, komunikatif
dan ringkas. Sederhana karena harus dipahami dengan mudah; komunikatif, karena jurnalistik
harus menyampaikan berita secara tepat; dan ringkas karena keterbatasan ruang (dalam media
cetak), dan keterbatasan waktu (dalam media elektronika). Dalam bahasa Indonesia ragam
jurnalistik ini dikenal dengan sering ditanggalkannya awalan me- atau berawalan ber- yang di
dalam ragam bahasa baku harus digunakan umpamanya kalimat, “gubernur tinjau daerah banjir”
(dalam bahasa baku berbunyi, kalimat “gubernur meninjau daerah banjir”). Contoh lain, “
anaknya sekolah di bandung’’ (dalam bahasa baku adalah, “anaknya bersekolah di Bandung”).

Ragam bahasa militer dikenal dengan cirinya yang ringkas dan bersifat tegas, sesuai dengan
tugas dan kehidupan kemiliteran yang penuh dengan disiplin dan instruksi. Ragam militer di
Indonesia dikenal dengan cirinya yang memerlukan keringkasan dan ketegasan yang dipenuhi
dengan berbagai akronim itu memang sering kali sukar dipahami, tetapi bagi kalangan miiliter
itu sendiri tidak menjadi persoalan.

Ragam bahasa ilmiah yang juga dikenal dengan cirinya yang lugas, jelas, dan bebas dari
keambiguan, serta segala macam-macam metafora dan idiom. Bebas dari segala keambiguan
karena bahasa ilmiah harus memberikan informasi keilmuan secara jelas, tanpa keraguan akan
makna, dan terbebas dari kemungkinan tafsiran makna yang berbeda. Oleh karena itulah juga,
bahasa ilmiah tidak menggunakan segala macam metafora dan idiom.
Varasi bahasa berdasarkan fungsi ini lazim disebut register. Dalam pembicaraan tentang register
ini biasanya dikaitkan dengan dialek. Kalau dialek berkenaan dengan bahasa itu digunakan oleh
siapa, dimana, dan kapan, maka register berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk
kegiatan apa. Dalam kegiatannya mungkin saja seseorang hanya hidup dengan satu dialek
misalnya, seorang penduduk desa terpencil di lereng gunung atau di tepi hutan. Tetapi, dia pasti
tidak hidup hanya dengan satu register, sebab dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat,
bidang kegiatan yang harus dilakukan pasti lebih dari satu. Dalam kehidupan modern pun ada
kemungkinan adanya seseorang yang hanya mengenal satu dialek; namun, pada umumnya dalam
masyarakat modern orang hidup lebih dari satu dialek (regional maupun sosial) dan menggeluti
sejumlah register, sebab dalam masyarakat modern orang sudah pasti berurusan dengan sejumlah
kegiatan yang berbeda.

Variasi dari Segi Keformalan

Berdasarkan tingkatan keformalannya, Martin Joos (1967) dalam bukunya The Five Clock
membagi variasi bahasa atas lima macam gaya (Inggris:Style), yaitu gaya atau ragam beku
(frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsultatif), gaya atau ragam
santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate). Dalam pembicaraan selanjutnya kita sebut
saja ragam.

Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalam situasi-situasi
khidmat, dan upacara-upacara resmi. Misalnya, dalam upacara kenegaraan, khotbah di masjid,
tata cara pengambilan sumpah; kitab undang-undang, akta notaries, dan surat-surat keputusan
disebut ragam beku karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap, tidak boleh
diubah. Dalam bentuk tertulis, ragam beku ini kita dapati dalam dokumen-dokumen bersejarah,
seperti undang-undang dasar, akte notaris, naskah-naskah perjanjian, jual beli, atau sewa
menyewa. Perhatikan contoh berikut yang diangkat dari naskah Undang-Undang dasar 1945.

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh karena itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.

Kalimat yang dimulai dengan kata bahwa, maka, hatta, dan sesungguhnya menandai ragam beku
dari variasi bahasa tersebut. Susunan-susunan kalimat dalam ragam beku biasanya panjang-
panjang, bersifat kaku; kata-katanya lengkap. Dengan demikian, para penutur dan pendengar
ragam beku dituntut keseriusan dan perhatian yang penuh.

Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenengaraan, rapat
dinas, surat menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya. Pola dan
kaidah ragam resmi sudah ditetapkan secara matang sebagai suatu standar. Ragam resmi ini pada
dasarnya sama dengan ragam bahasa baku atau standar yang hanya digunakan dalam situasi
resmi, dan tidak dalam situasi yang tidak resmi. Jadi, percakapan antar teman yang sudah karib
atau percakapan dalam keluarga tidak menggunakan ragam resmi ini. Tetapi pembicaraan dalam
acara peminangan, pembicaraan dengan seorang dekan di kantornya, atau diskusi dalam ruang
kuliah adalah menggunakan ragam resmi ini.
Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim digunakan dalam
pembicaraan biasa di sekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil
atau produksi. Jadi dapat dikatakan ragam usaha ini adalah ragam bahasa yang paling
operasional. Wujud ragam bahasa ini berada di antara ragam formal dan ragam informal atau
ragam santai.

Ragam santai atau ragam casual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi
untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu beristirahat,
berolahraga, berekreasi, dan sebagainya. Ragam santai ini dapat menggunakan bentuk alegro,
yakni bentuk kata atau ujaran yang dipendekkan. Kosakatanya banyak dipenuhi unsur-unsur
leksikal dialek dan unsur bahasa daerah. Demikian juga dengan struktur morfologi dan
sintaksisnya. Seringkali struktur morfologi yang normatif tidak digunakan.

Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur
yang hubungannya sudah akrab, seperti antar anggota keluarga, dan atau antar teman yang sudah
karib itu. Ragam ini ditandai dengan penggunaan bahasa yangt tidak lengkap, pendek-pendek,
dan dengan artikulasi yang tidak jelas. Hal ini terjadi karena di antara partisipan sudah ada saling
pengertian dan memiliki pengetahuan yang sama. Perhatikan ketiga kalimat contoh berikut:

(a) Saudara boleh mengambil buku-buku ini yang saudara sukai

(b) Ambillah yang kamu sukai!

(c) Kalau mau ambil aja!

Tingkat keformalan kalimat (a) lebih tinggi daripada kalimat (b); dan kalimat (b) lebih tinggi
daripada kalimat (c). Kalimat (a) termasuk ragam usaha, sebab kurang lebih bentuk kalimat
seperti itulah yang biasa kita gunakan. Kalimat (b) termasuk ragam santai; sedangkan kalimat (c)
termasuk dalam ragam akrab, sebab hanya kepada teman kariblah bentuk ujaran seperti itu yang
kita gunakan.

Variasi dari Segi Sarana

Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini dapat
disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis, atau juga ragam dalam berbahasa dengan
menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni, misalnya, dalam bertelepon dan bertelegraf.
Adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa
lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama. Adanya ketidaksamaan wujud
struktur ini adalah karena dalam berbahasa lisan atau dalam menyampaikan informasi secara
lisan, kita dibantu oleh unsur-unsur nonsegmental atau unsur nonlinguistik yang berupa nada
suara, gerak-gerik tangan, gelengan kepala, dan sejumlah gejala-gejala fisik lainnya. Padahal di
dalam ragam bahasa tulis, hal-hal yang disebutkan itu tidak ada. Lalu, sebagai gantinya harus
dieksplisitkan secara verbal. Umpamanya kalau kita menyuruh seseorang memindahkan sebuah
kursi yang ada di hadapan kita, maka secara lisan sambil menunjuk atau mengarahkan
pandangan pada kursi itu kita cukup mengatakan, “Tolong pindahkan ini”. Tetapi dalam bahasa
tulis karena tiadanya unsur penunjuk atau pengarahan pandangan pada kursi itu, maka kita harus
mengatakan, “Tolong pindahkan kursi itu!”, jadi, dengan secara eksplisit menyebutkan kata kursi
itu.

Dari contoh tersebut dapat pula ditarik kesimpulan bahwa dalam berbahasa tulis kita harus lebih
menaruh perhatian agar kalimat-kalimat yang kita susun bisa dapat dipahami pembaca dengan
baik. Kesalahan atau kesalahpengertian dalam berbahasa lisan dapat segera diperbaiki atau
diralat, tetapi dalam berbahasa tulis kesalahan atau kesalahpengertian baru kemudian bisa
diperbaiki.

https://jamilaimaniblog.wordpress.com/2016/11/22/diglosia-dan-variasi-bahasa

ferdinan01.blogspot.com › Linguistik

Anda mungkin juga menyukai