Anda di halaman 1dari 13

ASKEP GBS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Syndrome Guillain-Barre adalah suatu syndrome klinis berupa gangguan neuron
motorik bagian bawah dalam saraf perifer, di mana proses penyakitnya mencakup
demielinasi polineuropati akut (Price & Wilson, 2006). Penyebab dari GBS masih belum
ditemukan, tetapi banyak ahli yang berpendapat bahwa infeksi virus menyebabkan
terjadinya reaksi autoimun yang kemudian menyerang mielin saraf perifer (Smeltzer,
2002). Akan tetapi, tidak ada jenis virus yang dapat diisolasi sejauh ini.Paling banyak
pasien yang terkena sindrom ini bermula dari infeksi pernapasan atau gastrointestinal 1-4
minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologis (Muttaqin, 2008). Selain itu,
imunisasi, pembedahan, penyakit Hodgkin atau limfoma lain dan lupus eritematosus
merupakan keadaan dan jenis penyakit yang mendahului sindrom tersebut (Price & Wilson,
2006).
Patofisiologi Dimulai dari adanya faktor-faktor predisposisi yang terjadi 1-4
minggu sebelum onset, yaitu infeksi pernapasan atau gastrointestinal (virus atau inflamasi)
merubah sel dalam system saraf, sehingga system imun mengenali sel tersebut
sebagaiselasing. Sesudah itu Limfosit T yang tersensitisasi dan makrofag akan menyerang
myelin.Selain itu, limfosit T menginduksi limfosit B untuk menghasilkan antibodi yang
menyerang bagian tertentu dari selubung myelin, dan menyebabkan kerusakan myelin
(NINDS, 2000 dalam Price, 2006). Akibat yang ditimbulkan adalah cedera demielinasi
ringan hingga berat yang mengganggu konduksi impuls dalam saraf perifer yang terserang.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Teori dari Syndrome Guillain-Barre?
2. Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan Syndrome Guillain-Barre?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Mengetahui Konsep Teori dan Asuhan Keperawatan Syndrome Guillain-Barre
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui Konsep Teori dari Syndrome Guillain-Barre?
b. Mengetahui Konsep Asuhan Keperawatan Syndrome Guillain-Barre?

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
SYNDROME GUILLAIN-BARRE

A. Definisi
Guillain Barre Syndrome adalah sindroma yang memiliki karakteristik berupa
paralisis asenden simetris yang berkembang secara cepat, biasanya mengikuti infeksi
virus. Adanya riwayat flu saluran pernapasan atas atau gastrik, infeksi mononukleus, atau
hepatitis merupakan hal yang umum. Pemulihan biasanya sempurna, namun dapat di alami
klien sampai 18 bulan, jika derajat yang dipengaruhi cukup luas. Pemulihan motorik
dimulai lebih kurang 10-14 hari setelah serangan dari gejala-gejala tersebut (Widagdo,W
dkk, 2008).
Syndrome Guillain-Barre adalah suatu syndrome klinis berupa gangguan neuron
motorik bagian bawah dalam saraf perifer, di mana proses penyakitnya mencakup
demielinasi polineuropati akut. Syndrome Guillain-Barre (GBS) merupakan sindrom klinis
yang ditunjukan oleh onset (awitan) akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf tepi dan
kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput mielin dari saraf
tepi kranial (Price & Wilson, 2006).
GBS adalah sindrom kronik yang menyangkut saraf perifer dan kranial, yang
penyebabnya tidak diketahui(Smeltzer, 2002).GBS yaitu sindrom idiopatik dengan
karakteristik jenis infeksi yang bertanggung jawab tidak dapat ditentukan (Sidartha, P,
1985 dalam Muttaqin, 2008).
GBS adalah gangguan kelemahan neuromuscular akut yang memburuk secara
progresif yang dapat mengarah kepada kelumpuhan total, tetapi biasanya paralisis
sementara(Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2012).
Guillain Bare Syndrom merupakan sindrom klinik yang penyebabnya tidak diketahui
yang menyangkut saraf tepi dan kranial (Suzanne C.S, & Brenda G.,2002).
B. Etiologi
Penyebab dari GBS masih belum ditemukan, tetapi banyak ahli yang berpendapat
bahwa infeksi virus menyebabkan terjadinya reaksi autoimun yang kemudian menyerang
mielin saraf perifer(Smeltzer, 2002). Akan tetapi, tidak ada jenis virus yang dapat diisolasi
sejauh ini.Paling banyak pasien yang terkena sindrom ini bermula dari infeksi pernapasan
atau gastrointestinal 1-4 minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologis(Muttaqin,
2008). Selain itu, imunisasi, pembedahan, penyakit Hodgkin atau limfoma lain dan lupus
eritematosus merupakan keadaan dan jenis penyakit yang mendahului sindrom
tersebut (Price & Wilson, 2006).
Penyebab spesifik sampai sekarang belum diketahui. Ada dua teori mengenai
penyebab dari guillain barre syndrome. Teori pertama mengatakan bahwa guillain barre
disebabkan karena infiltrasi virus ke spinal dan kadang-kadang ke akar-akar saraf kranial.
Teori kedua mengatakan bahwa sindroma ini sebagai akibat dari respon autoimmun dari
tubuh yang mana di timbulkan oleh toksin atau agent infeksi yang menimbulkan
dimielintasi segmen dari saraf-saraf perifer atau kranial. Penyakit ini umumnya menyerang
seseorang yang berusia 30-50 tahun, baik itu pria maupun wanita (Widagdo W, Suharyanto
T, & Aryani R, 2008).

C. Manifestasi Klinik
Menurut Smeltzer tahun 2002, terdapat variasi dalam bentuk awitannya. Gejala
awal yang timbul yaitu:
a. Parestesia (kesemutan dan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke
ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah.
b. Dari kelemahan otot kemudian dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap,
kesulitan berjalan.
c. Saraf kranial yang paling sering terserang, yang menunjukkan adanya paralisis pada
ocular, wajah, dan otot orofaring dan juga menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah
dan menelan.

d. Gangguan frekwensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah (hipertensi transien,
hipotensi ortostatik dan atau takikardi) akibat terjadinya disfungsi autonom yang
memperlihatkan reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya system saraf simpatis dan
parasimpatis, penekanan atau kegagalan pernapasan : dispnea, menurunnya suara napas,
menurunnya volume tidal/atau kapasitas paru.
e. Nyeri berat dan menetap pada punggung dan bagian kaki
f. Kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti keterbatasan atau tidak adanya
reflex tendon dalam.
g. Oftalmoplegia (tingkat kesadaran, fungsi serebral, dan /atau tanda pupil yang tidak
dipengaruhi).

D. Patofisiologi
Dimulai dari adanya faktor-faktor predisposisi yang terjadi 1-4 minggu sebelum
onset, yaitu infeksi pernapasan atau gastrointestinal (virus atau inflamasi) merubah sel
dalam system saraf, sehingga system imun mengenali sel tersebut sebagaiselasing. Sesudah
itu Limfosit T yang tersensitisasi dan makrofag akan menyerang myelin.Selain itu, limfosit
T menginduksi limfosit B untuk menghasilkan antibodi yang menyerang bagian tertentu
dari selubung myelin, dan menyebabkan kerusakan myelin (NINDS, 2000 dalam Price,
2006). Akibat yang ditimbulkan adalah cedera demielinasi ringan hingga berat yang
mengganggu konduksi impuls dalam saraf perifer yang terserang.
Virus dan antibodi menyebabkan suatu respon peradangan awal dengan ditandai
adanya edema yang mengakibatkan (1) kompresi akar-akar saraf, (2) segmental
demielination, dan wallerian degeneration. Kompresi dari serabut saraf secara dramatis
akan mengurangi konduksi saraf sehingga menimbulkan paratesisi ekstremitas bawah pada
awal dan akhirnya menyebar pada persendian. Konduksi saraf di halangi oleh segmental
demielinated mengakibatkan paralisis flaccid assenden secara cepat dengan hilangnya
sensorik. Bila saraf tersebut berhubungan dengan otot-otot interkostal dan diafragma yang
mengalami kompresi dan segmental demielination. Maka sangat potensial sekali untuk
terjadinya disfungsi pernapasan. Saraf-saraf kranial yang paling umum dipengaruhi adalah
Nervus VII, IX, X, XI dan XII (Widagdo W, Suharyanto T, & Aryani R, 2008).
E. Pemeriksaan Diagnostik
- Pemeriksaan cairan spinal untuk memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi
protein dengan menghitung jumlah sel normal.
- Pengujian elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju konduksi saraf
(Smeltzer C, et. all, 2001).
Sedang Diagnostik GBS (Muttaqin A, 2008) sangat bergantung pada :
- Riwayat penyakit dan perkembangan gejala-gejala klinik
- Tidak ada satu pemeriksaan pun yang dapat memastikan GBS; pemeriksaan tersebut
hanya menyingkirkan gangguan
- Lumbal fungsi dapat menunjukkan kadar protein normal pada awalnya dengan kenaikan
pada minggu ke 4 sampai ke 6. Cairan spinal memperlihatkan adanya peningkatan
kosentrasi protein dengan menghitung jumlah sel normal
- Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibodi baik terhadap
citomegalovirus atau virus Epstein-Barr.Telah ditunjukkan bahwa suatu perubahan respons
imun pada antigen saraf tepi dapat menunjang perkembangan gangguan
- Uji fungsi plumonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga dapat ditetapkan nilai
dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan penyakit. Penurunan kapasitas fungsi
pulmonal dapat menunjukkan kebutuhan akan ventilasi mekanik.

F. Penatalaksanaan
- GBS dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis sehingga pasien diatasi di ruang
intensif
- Ventilator diberikan pada pasien GBS dengan masalah pernapasan
- Pemantauan EKG kontinyu untuk kemungkinan perubahan kecepatan atau ritme
jantung
- Plasmaferesis (perubahan plasma) digunakan pada serangan berat dan membatasi
keadaan yang memburuk pada pasien dan demielinisasi
- Propranolol untuk mencegah takikardi dan hipertensi oleh disritmia jantung akibat
keadaan abnormal autonom
- Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode bradikardia selama pengisapan
endotrakeal dan terapi fisik. (Smeltzer C, et. all, 2001).
G. PROSES KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering muncul adalah adanya kelemahan, baik kelemahan fisik secara
umum ataupun lokalis seperti kelemahan otot-otot pernapasan sehingga dapat
mengakibatkan gangguan pernapasan.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Melemahnya otot pernapasan membuat klien berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi
dan infeksi pernapasan berulang.Disfagia juga dapat timbul yang dapat mengarah kepada
aspirasi.Selain itu, kelemahan pada ekstremitas atas dan bawah, kelainan dari fungsi
kardiovaskuler yang dapat menyebabkan disritmia jantung atau perubahan drastis yang
dapat mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
3. Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit lain yang pernah dialami klien yang memungkinkan hubungan atau menjadi
predisposisi keluhan sekarang meliputi riwayat ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan
bedah saraf. Selain itu obat-obatan yang dikonsumsi klien juga dikaji seperti pemakaian
obat kortikosteroid, antibiotik dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian
antibiotik).
4. Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian ini dilakukan untuk memperoleh persepsi yang jelas tentang status emosi,
kognitif, dan perilaku klien.Mekanisme koping klien juga penting dikaji untuk menilai
respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik
dalam lingkungan keluarga ataupun masyarakat, dan apakah klien dapat mendiskusikan
masalah kesehatan saat ini. Apakah klien merasa cemas dan timbul ketakutan akan
kecacatan, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan timbul
pandangan terhadap dirinya yang salah.Selain itu, perlu juga dikaji dampak perawatan
terhadap status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana
yang tidak sedikit.

5. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi 6B dengan fokus pemeriksaan pada B3 (Brain)
yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan klien.
- B1 (Breathing)
Klien batuk, produksi sputum meningkat, sesak napas, penggunaan otot bantu napas,
takipnue (karena infeksi pernapasan), bradipnue (karena melemahnya otot-otot
pernapasan). Terdapat bunyi napas tambahan seperti ronkhi akibat akumulasi secret dari
infeksi saluran napas.
- B2 (Blood)
Gejala yang dapat diitemukan adalah bradikardi akibat penurunan perfusi perifer.Tekanan
darah didapatkan ortostatik hipotensi atau tekanan darah meningkat (hipertensi transien)
yang berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
- B3 (Brain)
a. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran pada klien GBS biasanya yaitu komposmentis.Tetapi dapat pula terjadi
penurunan kesadaran, dan penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran
klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan keperawatan.
b. Fungsi serebri
Yang dikaji yaitu status mental klien, yaitu bagaimana penampilan klien dan tingkah
lakunya, gaya bicara dan ekspresi wajah klien, serta aktivitas motorik klien dimana pada
tahap lanjut dapat disertai penurunan tingkat kesadaran. Biasanya status mental klien
mengalami perubahan.

c. Pemeriksaan saraf kranial


· Saraf I : Biasanya tidak ada kelainan dan fungsi penciuman normal.
· Saraf II : Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
· Saraf III, IV, dan VI : Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata,
paralisis ocular
· Saraf V : terdapat paralisis pada otot wajah sehingga mengganggu proses mengunyah
· Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya
paralisis unilateral
· Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
· Saraf IX dan X : terdapat paralisis pada otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah
dan menelan, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral
· Saraf XI : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius, kemampuan
mobilisasi leher baik
· Saraf XII : lidah asimetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, indra
pengecapan normal.
d. Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, pada klien GBS tahap lanjut dapat terjadi perubahan control
keseimbangan dan koordinasi. Klien mengalami kelemahan motorick secara umum
sehingga mengganggu mobilitas fisik.
e. Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat
refleks pada respon normal.
f. Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, TIK, dan dystonia

g. Sistem sensorik
Gejala yang ditemukan yaitu parestesia dan kelemahan otot kaki, dapat berkembang ke
ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah.Klien mengalami penurunan kemampuan
penilaian sensorik raba, nyeri dan suhu.
- B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem kandung kemih biasanya didapatkan berkurangnya volume
haluaran urine
- B5 (Bowel)
Gejala yang biasa didapatkan yaitu mual muntah akibat peningkatan asam lambung.
Anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan
menyebabkan terjadinya penurunan pemenuhan nutrisi
- B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien
secara umum.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot
pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan
batuk menurun
3. Risiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama,
dan konduksi listrik jantung
4. Gangguan menelan berberhubungan dengan paralisis serebri
5. Risiko gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan
mengunyah dan menelan makanan
6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neoromuskular, penurunan
kekuatan otot, dan penurunan kesadaran
7. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan penerima rangsang sensorik,
transmisi, dan/atau integrasi sensori serta ketikmampuan berkomunikasi atau berespons.
8. Koping individu dan keluarga tidak efektif berhubungan dengan prognosis penyakit,
perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, dan ketidakberdayaa
9. Cemas berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk.

C. Rencana/intervensi keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot-otot pernapasan (Muttaqin,
2008)
§ Kriteria hasil: tidak ada sesak napas, tidak menggunakan otot bantu pernapasan, gerakan
dada normal
§ Intervensi
1) Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, perubahan irama dan kedalaman,
penggunaan otot-otot aksesori
R/ Menjadi bahan parameter monitoring serangan gagal napas dan menjadi data dasar
intervensi selanjutnya
2) Evaluasi keluhan sesak napas baik secara verbal maupun nonverbal
R/ Tanda dan gejala meliputi adanya kesukaran bernapas saat bicara, pernapasan dangkal
dan irregular, menggunakan otot-otot aksesoris, takikardi dan perubahan pola napas
3) Lakukan pemeriksaan kapasitas vital pernapasan
R/ Kapasitas vital klien dipantau lebih sering dan dengan interval yang teratur dalam
penambahan kecepatan pernapasan dan kualitas pernapasan, sehingga pernapasan yang
tidak efektif dapat diantisipasi. Penurunan kapasitas vital dapat dihubungkan dengan
kelemahan otot-otot yang digunakan saat menelan, sehingga hal ini menyebabkan
kesukaran saat batuk dan menelan, dan adanya indikasi memburuknya fungsi pernapasan
4) Beri ventilasi mekanik
R/ Ventilasi mekanik digunakan jika pengkajian sesuai kapasitas vital, klien
memperlihatkan perkembangan kea rah kemunduran, yang mengindikasikan kea rah
memburuknya kekuatan otot-otot pernapasan
5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian humidifikasi oksigen 3 l/mnt
R/ Membantu pemenuhan oksigen yang sangat diperlukan tubuh dengan kondisi laju
metabolisme sedang meningkat
2. Ketidakefektifan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan batuk
menurun (Muttaqin, 2008)
§ Kriteria hasil: tidak ada sesak napas, tidak menggunakan otot bantu napas, tidak ada retraksi,
tidak ada bunyi napas tambahan, dan dapat mendemonstrasikan batuk efektif
§ Intervensi
1) Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, perubahan irama dan kedalaman,
penggunaan otot-otot aksesori, warna dan kekentalan sputum
R/ Memantau dan mengatasi komplikasi potensial. Pengkajian fungsi pernapasan dengan
interval yang teratur adalah penting karena pernapasan yang tidak efektif dan adanya
kegagalan, karena adanya kelemahan atau paralisis pada otot-otot interkostal dan
diafragma yang berkembang dengan cepat
2) Atur posisi semifowler
R/ Peninggian kepala tempat tidur dapat mempermudah pernapasan, meningkatkan
ekspansi dada, dan meningkatkan batuk efektif
3) Ajarkan cara batu efektif
R/ Batuk efektif untuk membersihkan jalan napas sehingga menghindari risiko aspirasi
saliva yang mencetuskan gagal napas akut

4) Lakukan fisioterapi dada: vibrasi dada


R/ Terapi fisik dada membantu meningkatkan batuk lebih efektif
5) Penuhi hidrasi cairan melalui oral seperti minum air putih dan pertahankan intake cairan
2500 cc/hari
R/ Pemenuhan cairan dapat mengencerkan mukus yang kental
6) Lakukan pengisapan lendir di jalan napas
R/ Pengisapan mungkin diperlukan untuk mempertahankan kepatenan jalan napas menjadi
bersih
3. Risiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekwensi, irama,
dan konduksi listrik jantung (Muttaqin, 2008)
§ Kriteria hasil: stabilitas hemodinamik baik (tekanan darah dalam batas normal, curah
jantung kembali meningkat, tidak menunjukkan tanda-tanda disritmia)
§ Intervensi
1) Periksa tekanan darah, bandingkan kedua lengan, ukur dalam keadaan berbaring, duduk,
atau berdiri bila memungkinkan
R/ Hipotensi dapat terjadi sampai dengan disfungsi ventrikel, hipertensi juga fenomena
umum karena nyeri, cemas, pengeluaran katekolamin
2) Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi
R/ Penurunan curah jantung mengakibatkan menurunnya kekuatan nadi
3) Catat murmur
R/ Menunjukkan gangguan aliran darah dalam jantung (kelainan katup, kerusakan septum,
atau vibrasi otot papilar)
4) Pantau frekwensi jantung dan irama
R/ Perubahan frekwensi dan irama jantung menunjukkan komplikasi disritmia
5) Kolaborasi dalam pemberian O2, tambahan sesuai indikasi
R/ Oksigen yang dihirup akan langsung meningkatkan saturasi oksigen darah.
4. Gangguan menelan berhubungan dengan paralisis serebri (Carpenito, 2010)
§ Kriteria hasil: klien dapat makan tanpa tersedak, tidak ada kerusakan otot tenggorokan atau
fasial dan tidak ada refleks muntah
§ Intervensi (Wilkinson, 2007)
1) Pantau kemampuan menelan, refleks batuk, dan refleks muntah
2) Ajarkan klien untuk menggapai makanan di bibir atau di pipi dengan menggunakan lidah
3) Posisikan kepala tegak lurus 900
4) Beri makanan dengan porsi sedikit dan potong makanan kecil-kecil
5) Berikan perawatan mulut
6) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang makanan yang dapat mudah ditelan
7) Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain (ahli terapi okupasi, ahli patologi wicara, dan
ahli gizi) untuk memberikan kontinuitas perencanaan rehabilitasi klien
5. Risiko gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan
mengunyah dan menelan makanan (Muttaqin, 2008)
§ Kriteria hasil: tidak terjadi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dan komplikasi
akibat penurunan asupan nutrisi
§ Intervensi
1) Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan nutrisi oral
R/ Perhatian yang diberikan untuk nutrisi yang adekuat dan pencegahan kelemahan otot
karena kurang nutrisi
2) Monitor komplikasi akibat paralisis akibat insufisiensi aktivitas parasimpatis
R/ Ileus paralisis dapat disebabkan oleh insufisiensi aktivitas parasimpatis. Dalam kejadian
ini, makanan melalui intravena dipertimbangkan, dan perawat memantau bising usus
sampai terdengar
3) Berikan nutrisi melalui NGT
R/ Jika klien tidak mampu menelan, makanan diberikan melalui selang lambung untuk
tetap memenuhi kebutuhan tubuh akan nutrisi
4) Berikan nutrisi melalui oral bila paralisis menelan berkurang
R/ Bila klien dapat menelan, makanan melalui oral diberikan perlahan-lahan dan sangat
hati-hati.
6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neoromuskular, penurunan
kekuatan otot, dan penurunan kesadaran (Muttaqin, 2008)
§ Kriteria hasil: peningkatan kemampuan mobilitas fisik dan tidak terjadi komplikasi akibat
paralisis yaitu thrombosis vena profunda, emboli paru, dan dekubitus.
§ Intervensi:
1) Kaji tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas fisik
R/ Merupakan data dasar dalam melakukan intervensi selanjutnya
2) Dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan klien dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari
R/ Bila pemulihan mulai untuk dilakukan, klien dapat mengalami hipotensi ortostatik (dari
disfungsi otonom) dan kemungkinan membutuhkan meja tempat tidur untuk menolong
mereka mengambil posisi duduk tegak
3) Hindari faktor yang memungkinkan terjadinya trauma pada saat klien melakukan
mobilisasi
R/ Individu paralisis mempunyai kemungkinan mengalami kompresi neuropati, paling
sering saraf ulnar dan peritoneal. Bantalan dapat ditempatkan di siku dan kepala fibula utuk
mencegah terjadinya masalah ini
4) Sokong ekstremitas yang mengalami paralisis
R/ Ekstremitas paralisis disokong dengan posisi fungsional dan memberikan latihan
rentang gerak secara pasif paling sedikit dua kali sehari
5) Monitor komplikasi gangguan mobilitas fisik
R/ Deteksi awal thrombosis vena profunda dan decubitus sehingga dengan penemuan yang
cepat penanganan lebih mudah dilaksanakan
6) Kolaborasi dengan tim fisioterapis
R/ Untuk mencegah deformitas kontraktrur dengan menggunakan pengubahan posisi yang
hati-hati dan latihan rentang gerak
7. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi, transmisi, dan/atau
integrasi sensori(Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2012)
§ Kriteria hasil: klien dapat mempertahankan mental/orientasi umum dan mengungkapkan
kesadaran tentang defisit sensori
§ Intervensi
1) Pantau status neurologis secara periodik (seperti kemampuan berbicara, kemampuan
berespon pada perintah yang sederhana dan terhadap stimulus nyeri; kesadaran akan
keadaan panas/dingin, tumpul/tajam). Laporkan semua penemuan dalam tatanan yang
teratur dan sistematik
R/ Perkembangan dan munculnya kembali tanda dan gejala mungkin sangat
bervariasi.Perkembangan tersebut seringkali cukup cepat dan mungkin memuncak dalam
beberapa hari/minggu. Proses penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah proses
perkembangan penyakit berakhir dan kebanyakan secara perlahan. Catatan yang teratur
sangat membantu dalam perawatan untuk menemukan adanya komplikasi yang
memerlukan intervensi/evaluasi secepatnya.
2) Berikan alternatif cara untuk berkomunikasi jika pasien tidak dapat berbicara, seperti
“metode kedipan” (cara nonverbal), dengan papan bergambar atau dengan huruf-huruf.
R/ Jika gejala tersebut berkembang dengan lambat, klien dapat membantu untuk
menciptakan metode komunikasi alternatif.
3) Berikan lingkungan yang aman (penghalang tempat tidur, proteksi terhadap trauma
termal)
R/ Kehilangan sensasi dan kontrol motorik menjadikan pasien perhatian utama dari
pemberi asuhan yang harus mempertahankan lingkungan terapeutik dan mencegah trauma.
4) Berikan kesempatan untuk istirahat pada daerah yang tidak mengalami gangguan dan
berikan aktivitas lain yang sesuai dengan batas kemampuan klien
R/ Menurunkan stimulus berlebihan yang dapat meningkatkan kecemasan dan
meminimalkan kemampuan koping
5) Orientasikan klien pada lingkungan dan staf sesuai kebutuhan
R/ Sangat bermanfaat jika terjadi gangguan penglihatan
6) Berikan stimulasi sensori yang sesuai, meliputi suara music yang lembut; jam (waktu);
televise (berita/pertunjukan); bercakap-cakap santai
R/ Pasien biasanya sadar jika ia merasa terisolasi total karena terjadi paralisis dan selama
fase penyembuhan
7) Rujuk ke berbagai sumber penolong untuk membantu, seperti terapi fisik/terapi
okupasi/terapi wicara, ahli agama, pelayanan social, departemen rehabilitasi
R/ Semua pelayanan mengkordinasikan usaha untuk meningkatkan proses
penyembuhan/meminimalkan gejala sisa penurunan neurologis.
8. Koping individu dan keluarga tidak efektif berhubungan dengan prognosis penyakit,
perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, dan ketidakberdayaan(Muttaqin,
2008)
§ Mampu menyatakan dan mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan
perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi,
mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri dengan cara yang akurat
tanpa harga diri yang negative.
§ Intervensi
1) Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan
R/ Menentukan bantuan untuk individu dalam menyusun rencana perawatan atau pemilihan
intervensi.
2) Identifikasi arti dari kehilangan atau disfungsi pada klien
R/ Beberapa klien dapat menerima dan mengatur perubahan fungsi secara efektif dengan
sedikit penyesuaian diri, sementara klien yang lain mempunyai kesulitan mengenal dan
mengatur kekurangan.
3) Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan termasuk permusuhan dan kemarahan
R/ Menunjukkan penerimaan, membantu klien untuk mengenali dan mulai menyesuaikan
dengan perasaan tersebut
4) Catat ketika klien menyatakan pernyataan pengakuan terhadap penolakan tubuh, seperti
sekarat atau mengingkari dan menyatakan ingin mati
R/ Mendukung penolakan terhadap bagian tubuh atau perasaan negative terhadap
gambaran tubuh dan kemampuan yang menunjukkan kebutuhan dan intervensi serta
dukungan emosional
5) Ingatkan kembali fakta kejadian tentang realitas bahwa masih dapat menggunakan sisi
yang sakit dan belajar mengontrol sisi yang sehat
R/ Membantu klkien untuk melihat bahwa perawat menerima kedua bagian sebagai bagian
dari seluruh tubuh.Membiarkan klien untuk merasakan adanya harapan dan mulai
menerima situasi baru.
6) Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki kebiasaan
R/ Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan mengendalikan lebih dari satu area
kehidupan.
7) Anjurkan orang yang terdekat untuk mengijinkan klien melakukan sebanyak-
banyaknya hal-hal untuk dirinya
R/ Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan membantu perkembangan harga diri
serta mempengaruhi proses rehabilitasi
8) Dukung perilaku atau usaha seperti peningkatan minat atau partisipasi dalam aktivitas
rehabilitasi
R/ Klien dapat beradaptasi terhadap perubahan dan pengertian tentang peran individu masa
mendatang
9) Kolaborasi dengan ahli neuropsikologi dan konseling bila ada indikasi
R/ Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting untuk perkembangan perasaan
9. Cemas berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk (Muttaqin,
2008)
§ Kriteria hasil: klien dapat mengenal perasaannya, mengidentifikasi faktor atau penyebab
yang mempengaruhinya, dan menyatakan cemas berkurang
§ Intervensi
1) Bantu klien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan dan takut
R/ Cemas berkelanjutan memberikan dampak serangan jantung selanjutnya
2) Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan, damping klien, dan lakukan tindakan bila
menunjukkan perilaku merusak
R/ Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah, dan gelisah
3) Hindari konfrontasi
R/ Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan mungkin
memperlambat penyembuhan
4) Lakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan
suasana penuh istirahat
R/ Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu
5) Tingkatkan kontrol sensasi klien
R/ Kontrol sensasi klien (dan dalam menurunkan ketakutan) dengan cara memberikan
informasi tentang keadaan klien, menekankan penghargaan terhadap sumber-sumber
koping (pertahanan diri) yang positif, membantu latihan relaksasi, dan tekhnik-tekhnik
pengalihan dan memberikan respon balik yang positif.
6) Berikan kesempatan untuk mengungkapkan kecemasan
R/ Dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan.
7) Berikan privasi pada klien dan orang terdekat
R/ Memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan cemas, dan
membentuk perilaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien
melayani aktivitas dan pengalihan (misalnya membaca) akan menurunkan perasaan
terisolasi.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L. J. (2010). Buku saku diagnosis keperawatan edisi 13.Jakarta: EGC.


Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2012).Rencana asuhan keperawatan
pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. (2008). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persarafan. Jakarta:
Salemba Medika.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta:
EGC.
Smeltzer, S. C. (2001). Buku ajar keperawatan medikal-bedah vol 3.Jakarta: EGC.
Wilkinson, J. M. (2007). Buku saku diagnosis keperawatan dengan intervensi NIC dan kriteria
hasil NOC. Jakarta: EGC.
Widagdo, W., Suharyanto, T., & Aryanti, S. (2008). Asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem persarafan. Jakarta: TIM.

Anda mungkin juga menyukai