BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syndrome Guillain-Barre adalah suatu syndrome klinis berupa gangguan neuron
motorik bagian bawah dalam saraf perifer, di mana proses penyakitnya mencakup
demielinasi polineuropati akut (Price & Wilson, 2006). Penyebab dari GBS masih belum
ditemukan, tetapi banyak ahli yang berpendapat bahwa infeksi virus menyebabkan
terjadinya reaksi autoimun yang kemudian menyerang mielin saraf perifer (Smeltzer,
2002). Akan tetapi, tidak ada jenis virus yang dapat diisolasi sejauh ini.Paling banyak
pasien yang terkena sindrom ini bermula dari infeksi pernapasan atau gastrointestinal 1-4
minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologis (Muttaqin, 2008). Selain itu,
imunisasi, pembedahan, penyakit Hodgkin atau limfoma lain dan lupus eritematosus
merupakan keadaan dan jenis penyakit yang mendahului sindrom tersebut (Price & Wilson,
2006).
Patofisiologi Dimulai dari adanya faktor-faktor predisposisi yang terjadi 1-4
minggu sebelum onset, yaitu infeksi pernapasan atau gastrointestinal (virus atau inflamasi)
merubah sel dalam system saraf, sehingga system imun mengenali sel tersebut
sebagaiselasing. Sesudah itu Limfosit T yang tersensitisasi dan makrofag akan menyerang
myelin.Selain itu, limfosit T menginduksi limfosit B untuk menghasilkan antibodi yang
menyerang bagian tertentu dari selubung myelin, dan menyebabkan kerusakan myelin
(NINDS, 2000 dalam Price, 2006). Akibat yang ditimbulkan adalah cedera demielinasi
ringan hingga berat yang mengganggu konduksi impuls dalam saraf perifer yang terserang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Teori dari Syndrome Guillain-Barre?
2. Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan Syndrome Guillain-Barre?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Mengetahui Konsep Teori dan Asuhan Keperawatan Syndrome Guillain-Barre
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui Konsep Teori dari Syndrome Guillain-Barre?
b. Mengetahui Konsep Asuhan Keperawatan Syndrome Guillain-Barre?
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
SYNDROME GUILLAIN-BARRE
A. Definisi
Guillain Barre Syndrome adalah sindroma yang memiliki karakteristik berupa
paralisis asenden simetris yang berkembang secara cepat, biasanya mengikuti infeksi
virus. Adanya riwayat flu saluran pernapasan atas atau gastrik, infeksi mononukleus, atau
hepatitis merupakan hal yang umum. Pemulihan biasanya sempurna, namun dapat di alami
klien sampai 18 bulan, jika derajat yang dipengaruhi cukup luas. Pemulihan motorik
dimulai lebih kurang 10-14 hari setelah serangan dari gejala-gejala tersebut (Widagdo,W
dkk, 2008).
Syndrome Guillain-Barre adalah suatu syndrome klinis berupa gangguan neuron
motorik bagian bawah dalam saraf perifer, di mana proses penyakitnya mencakup
demielinasi polineuropati akut. Syndrome Guillain-Barre (GBS) merupakan sindrom klinis
yang ditunjukan oleh onset (awitan) akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf tepi dan
kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput mielin dari saraf
tepi kranial (Price & Wilson, 2006).
GBS adalah sindrom kronik yang menyangkut saraf perifer dan kranial, yang
penyebabnya tidak diketahui(Smeltzer, 2002).GBS yaitu sindrom idiopatik dengan
karakteristik jenis infeksi yang bertanggung jawab tidak dapat ditentukan (Sidartha, P,
1985 dalam Muttaqin, 2008).
GBS adalah gangguan kelemahan neuromuscular akut yang memburuk secara
progresif yang dapat mengarah kepada kelumpuhan total, tetapi biasanya paralisis
sementara(Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2012).
Guillain Bare Syndrom merupakan sindrom klinik yang penyebabnya tidak diketahui
yang menyangkut saraf tepi dan kranial (Suzanne C.S, & Brenda G.,2002).
B. Etiologi
Penyebab dari GBS masih belum ditemukan, tetapi banyak ahli yang berpendapat
bahwa infeksi virus menyebabkan terjadinya reaksi autoimun yang kemudian menyerang
mielin saraf perifer(Smeltzer, 2002). Akan tetapi, tidak ada jenis virus yang dapat diisolasi
sejauh ini.Paling banyak pasien yang terkena sindrom ini bermula dari infeksi pernapasan
atau gastrointestinal 1-4 minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologis(Muttaqin,
2008). Selain itu, imunisasi, pembedahan, penyakit Hodgkin atau limfoma lain dan lupus
eritematosus merupakan keadaan dan jenis penyakit yang mendahului sindrom
tersebut (Price & Wilson, 2006).
Penyebab spesifik sampai sekarang belum diketahui. Ada dua teori mengenai
penyebab dari guillain barre syndrome. Teori pertama mengatakan bahwa guillain barre
disebabkan karena infiltrasi virus ke spinal dan kadang-kadang ke akar-akar saraf kranial.
Teori kedua mengatakan bahwa sindroma ini sebagai akibat dari respon autoimmun dari
tubuh yang mana di timbulkan oleh toksin atau agent infeksi yang menimbulkan
dimielintasi segmen dari saraf-saraf perifer atau kranial. Penyakit ini umumnya menyerang
seseorang yang berusia 30-50 tahun, baik itu pria maupun wanita (Widagdo W, Suharyanto
T, & Aryani R, 2008).
C. Manifestasi Klinik
Menurut Smeltzer tahun 2002, terdapat variasi dalam bentuk awitannya. Gejala
awal yang timbul yaitu:
a. Parestesia (kesemutan dan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke
ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah.
b. Dari kelemahan otot kemudian dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap,
kesulitan berjalan.
c. Saraf kranial yang paling sering terserang, yang menunjukkan adanya paralisis pada
ocular, wajah, dan otot orofaring dan juga menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah
dan menelan.
d. Gangguan frekwensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah (hipertensi transien,
hipotensi ortostatik dan atau takikardi) akibat terjadinya disfungsi autonom yang
memperlihatkan reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya system saraf simpatis dan
parasimpatis, penekanan atau kegagalan pernapasan : dispnea, menurunnya suara napas,
menurunnya volume tidal/atau kapasitas paru.
e. Nyeri berat dan menetap pada punggung dan bagian kaki
f. Kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti keterbatasan atau tidak adanya
reflex tendon dalam.
g. Oftalmoplegia (tingkat kesadaran, fungsi serebral, dan /atau tanda pupil yang tidak
dipengaruhi).
D. Patofisiologi
Dimulai dari adanya faktor-faktor predisposisi yang terjadi 1-4 minggu sebelum
onset, yaitu infeksi pernapasan atau gastrointestinal (virus atau inflamasi) merubah sel
dalam system saraf, sehingga system imun mengenali sel tersebut sebagaiselasing. Sesudah
itu Limfosit T yang tersensitisasi dan makrofag akan menyerang myelin.Selain itu, limfosit
T menginduksi limfosit B untuk menghasilkan antibodi yang menyerang bagian tertentu
dari selubung myelin, dan menyebabkan kerusakan myelin (NINDS, 2000 dalam Price,
2006). Akibat yang ditimbulkan adalah cedera demielinasi ringan hingga berat yang
mengganggu konduksi impuls dalam saraf perifer yang terserang.
Virus dan antibodi menyebabkan suatu respon peradangan awal dengan ditandai
adanya edema yang mengakibatkan (1) kompresi akar-akar saraf, (2) segmental
demielination, dan wallerian degeneration. Kompresi dari serabut saraf secara dramatis
akan mengurangi konduksi saraf sehingga menimbulkan paratesisi ekstremitas bawah pada
awal dan akhirnya menyebar pada persendian. Konduksi saraf di halangi oleh segmental
demielinated mengakibatkan paralisis flaccid assenden secara cepat dengan hilangnya
sensorik. Bila saraf tersebut berhubungan dengan otot-otot interkostal dan diafragma yang
mengalami kompresi dan segmental demielination. Maka sangat potensial sekali untuk
terjadinya disfungsi pernapasan. Saraf-saraf kranial yang paling umum dipengaruhi adalah
Nervus VII, IX, X, XI dan XII (Widagdo W, Suharyanto T, & Aryani R, 2008).
E. Pemeriksaan Diagnostik
- Pemeriksaan cairan spinal untuk memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi
protein dengan menghitung jumlah sel normal.
- Pengujian elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju konduksi saraf
(Smeltzer C, et. all, 2001).
Sedang Diagnostik GBS (Muttaqin A, 2008) sangat bergantung pada :
- Riwayat penyakit dan perkembangan gejala-gejala klinik
- Tidak ada satu pemeriksaan pun yang dapat memastikan GBS; pemeriksaan tersebut
hanya menyingkirkan gangguan
- Lumbal fungsi dapat menunjukkan kadar protein normal pada awalnya dengan kenaikan
pada minggu ke 4 sampai ke 6. Cairan spinal memperlihatkan adanya peningkatan
kosentrasi protein dengan menghitung jumlah sel normal
- Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibodi baik terhadap
citomegalovirus atau virus Epstein-Barr.Telah ditunjukkan bahwa suatu perubahan respons
imun pada antigen saraf tepi dapat menunjang perkembangan gangguan
- Uji fungsi plumonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga dapat ditetapkan nilai
dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan penyakit. Penurunan kapasitas fungsi
pulmonal dapat menunjukkan kebutuhan akan ventilasi mekanik.
F. Penatalaksanaan
- GBS dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis sehingga pasien diatasi di ruang
intensif
- Ventilator diberikan pada pasien GBS dengan masalah pernapasan
- Pemantauan EKG kontinyu untuk kemungkinan perubahan kecepatan atau ritme
jantung
- Plasmaferesis (perubahan plasma) digunakan pada serangan berat dan membatasi
keadaan yang memburuk pada pasien dan demielinisasi
- Propranolol untuk mencegah takikardi dan hipertensi oleh disritmia jantung akibat
keadaan abnormal autonom
- Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode bradikardia selama pengisapan
endotrakeal dan terapi fisik. (Smeltzer C, et. all, 2001).
G. PROSES KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering muncul adalah adanya kelemahan, baik kelemahan fisik secara
umum ataupun lokalis seperti kelemahan otot-otot pernapasan sehingga dapat
mengakibatkan gangguan pernapasan.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Melemahnya otot pernapasan membuat klien berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi
dan infeksi pernapasan berulang.Disfagia juga dapat timbul yang dapat mengarah kepada
aspirasi.Selain itu, kelemahan pada ekstremitas atas dan bawah, kelainan dari fungsi
kardiovaskuler yang dapat menyebabkan disritmia jantung atau perubahan drastis yang
dapat mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
3. Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit lain yang pernah dialami klien yang memungkinkan hubungan atau menjadi
predisposisi keluhan sekarang meliputi riwayat ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan
bedah saraf. Selain itu obat-obatan yang dikonsumsi klien juga dikaji seperti pemakaian
obat kortikosteroid, antibiotik dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian
antibiotik).
4. Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian ini dilakukan untuk memperoleh persepsi yang jelas tentang status emosi,
kognitif, dan perilaku klien.Mekanisme koping klien juga penting dikaji untuk menilai
respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik
dalam lingkungan keluarga ataupun masyarakat, dan apakah klien dapat mendiskusikan
masalah kesehatan saat ini. Apakah klien merasa cemas dan timbul ketakutan akan
kecacatan, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan timbul
pandangan terhadap dirinya yang salah.Selain itu, perlu juga dikaji dampak perawatan
terhadap status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana
yang tidak sedikit.
5. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi 6B dengan fokus pemeriksaan pada B3 (Brain)
yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan klien.
- B1 (Breathing)
Klien batuk, produksi sputum meningkat, sesak napas, penggunaan otot bantu napas,
takipnue (karena infeksi pernapasan), bradipnue (karena melemahnya otot-otot
pernapasan). Terdapat bunyi napas tambahan seperti ronkhi akibat akumulasi secret dari
infeksi saluran napas.
- B2 (Blood)
Gejala yang dapat diitemukan adalah bradikardi akibat penurunan perfusi perifer.Tekanan
darah didapatkan ortostatik hipotensi atau tekanan darah meningkat (hipertensi transien)
yang berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
- B3 (Brain)
a. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran pada klien GBS biasanya yaitu komposmentis.Tetapi dapat pula terjadi
penurunan kesadaran, dan penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran
klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan keperawatan.
b. Fungsi serebri
Yang dikaji yaitu status mental klien, yaitu bagaimana penampilan klien dan tingkah
lakunya, gaya bicara dan ekspresi wajah klien, serta aktivitas motorik klien dimana pada
tahap lanjut dapat disertai penurunan tingkat kesadaran. Biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
g. Sistem sensorik
Gejala yang ditemukan yaitu parestesia dan kelemahan otot kaki, dapat berkembang ke
ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah.Klien mengalami penurunan kemampuan
penilaian sensorik raba, nyeri dan suhu.
- B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem kandung kemih biasanya didapatkan berkurangnya volume
haluaran urine
- B5 (Bowel)
Gejala yang biasa didapatkan yaitu mual muntah akibat peningkatan asam lambung.
Anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan
menyebabkan terjadinya penurunan pemenuhan nutrisi
- B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien
secara umum.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot
pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan
batuk menurun
3. Risiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama,
dan konduksi listrik jantung
4. Gangguan menelan berberhubungan dengan paralisis serebri
5. Risiko gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan
mengunyah dan menelan makanan
6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neoromuskular, penurunan
kekuatan otot, dan penurunan kesadaran
7. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan penerima rangsang sensorik,
transmisi, dan/atau integrasi sensori serta ketikmampuan berkomunikasi atau berespons.
8. Koping individu dan keluarga tidak efektif berhubungan dengan prognosis penyakit,
perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, dan ketidakberdayaa
9. Cemas berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk.
C. Rencana/intervensi keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot-otot pernapasan (Muttaqin,
2008)
§ Kriteria hasil: tidak ada sesak napas, tidak menggunakan otot bantu pernapasan, gerakan
dada normal
§ Intervensi
1) Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, perubahan irama dan kedalaman,
penggunaan otot-otot aksesori
R/ Menjadi bahan parameter monitoring serangan gagal napas dan menjadi data dasar
intervensi selanjutnya
2) Evaluasi keluhan sesak napas baik secara verbal maupun nonverbal
R/ Tanda dan gejala meliputi adanya kesukaran bernapas saat bicara, pernapasan dangkal
dan irregular, menggunakan otot-otot aksesoris, takikardi dan perubahan pola napas
3) Lakukan pemeriksaan kapasitas vital pernapasan
R/ Kapasitas vital klien dipantau lebih sering dan dengan interval yang teratur dalam
penambahan kecepatan pernapasan dan kualitas pernapasan, sehingga pernapasan yang
tidak efektif dapat diantisipasi. Penurunan kapasitas vital dapat dihubungkan dengan
kelemahan otot-otot yang digunakan saat menelan, sehingga hal ini menyebabkan
kesukaran saat batuk dan menelan, dan adanya indikasi memburuknya fungsi pernapasan
4) Beri ventilasi mekanik
R/ Ventilasi mekanik digunakan jika pengkajian sesuai kapasitas vital, klien
memperlihatkan perkembangan kea rah kemunduran, yang mengindikasikan kea rah
memburuknya kekuatan otot-otot pernapasan
5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian humidifikasi oksigen 3 l/mnt
R/ Membantu pemenuhan oksigen yang sangat diperlukan tubuh dengan kondisi laju
metabolisme sedang meningkat
2. Ketidakefektifan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan batuk
menurun (Muttaqin, 2008)
§ Kriteria hasil: tidak ada sesak napas, tidak menggunakan otot bantu napas, tidak ada retraksi,
tidak ada bunyi napas tambahan, dan dapat mendemonstrasikan batuk efektif
§ Intervensi
1) Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, perubahan irama dan kedalaman,
penggunaan otot-otot aksesori, warna dan kekentalan sputum
R/ Memantau dan mengatasi komplikasi potensial. Pengkajian fungsi pernapasan dengan
interval yang teratur adalah penting karena pernapasan yang tidak efektif dan adanya
kegagalan, karena adanya kelemahan atau paralisis pada otot-otot interkostal dan
diafragma yang berkembang dengan cepat
2) Atur posisi semifowler
R/ Peninggian kepala tempat tidur dapat mempermudah pernapasan, meningkatkan
ekspansi dada, dan meningkatkan batuk efektif
3) Ajarkan cara batu efektif
R/ Batuk efektif untuk membersihkan jalan napas sehingga menghindari risiko aspirasi
saliva yang mencetuskan gagal napas akut
DAFTAR PUSTAKA