Anda di halaman 1dari 16

1

© 2004 Setia Mangunsong Posted: 29 December, 2004


Makalah Pribadi / TKL-Khusus
Falsafah Sains (PPS 702)
Sekolah Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
HARMONISASI SISTEM PENGAWASAN MUTU HASIL
PERIKANAN SEBAGAI SALAH SATU STRATEGI UNTUK
MENANGGULANGI MASALAH EKSPOR IKAN TUNA KE UNI
EROPA
Oleh:
Setia Mangunsong
C561030164
setiamm@yahoo.com
===============================================
I. Pendahuluan
Perdangangan internasional produk perikanan dewasa ini tidak lagi hanya
dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran, tetapi juga sangat ditentukan
oleh hasil-hasil konvensi dan perjanjian internasional perikanan. Perjanjian
internasonal yang berpengaruh langsung bahkan cenderung mengatur mekanisme
perdagangan komoditi perikanan dipasar internasional antara lain; a). perjanjian
internasional yang bernuansa menjaga kelestarian sumberdaya perikanan, seperti
Code of Conduct for Responsible Fisheries, International Convention for the
Concervation of Atlantic Tuna (ICCAT), Indian Ocean Tuna Comisión dan Agreement
on Straddling Stocks. b). perlindungan internasional terhadap satwa yang terancam
punah seperti Convention on Interntional Trade of Endangered Species (CITES) dan
c). perjanjian internasional tentang perdagangan seperti GATT/WTO, termasuk
didalamnya perjanjian Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) dan Agreement on
Technical Barriers to Trade Termasuk didalamnya bidang pengawasan dan
2
penghendalian mutu hasil petrikanan
Dengan adanya perjanjian ini dan dalam upaya meningkatkan perekonomian
nasional serta pemulihan ekonomi, sektor kelautan dan perikanan memiliki peranan
penting khususnya dalam menyerap lapangan kerja serta penghasil devisa,
Uni Eropa yang dulu terdiri hanya 15 negara ,sekarang sudah menjadi 25 negara
mengimpor produk hasil perikanan lebih dari 40 % total kebutuhan ikannya,
merupkan salah satu pasar ekspor hasil perikanan dan kelautan dari Indonesia.
Dengan adanya ketergantungan terhadap produk perikanan dari negara ketiga,
maka peluang ini harus dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin, dengan upaya
meningkatkan kualitas dan kuantitas produk perikanan dan kelautan dipasar Uni
Eropa. Bagi UE, Indonesia merupakan mitra dagang yang sangat potensial untuk
produk perikanan dan kelautan hal ini dapat di lihat dari jumlah Approval Number
perusahaan pengolah perikanan di Indonesia yang melakukan ekspor produk hasil
perikanan ke UE. Beberapa jenis komodi utama hasil perikanan di pasar UE, antara
lain : Swordfish, Ikan Marlin, Tuna (Segar, loin maupun dalam bentuk tuna kaleng),
Oil fish, Udang (black tiger shrimps maupun black pink shrimps serta frog legs.
Permasalahan utama produk perikanan Indonesia ke UE adalah kualitas
atau jaminan mutu yang umumnya tidak sesuai dengan standard yang
diberlakukan oleh Uni Eropa. Komisi UE sejak pertengahan tahun 2003
sampai awal tahun 2004 telah memasukan sejumlah eksportir perusahaan
pengolah perikanan (establishment) Indonesia dalam daftar Rapid Alert
System for Food and Feed (RASFF) dan frekuensi ini cenderung meningkat,
karena masih banyaknya eksportir Indonesia memenuhi standard yang
berlaku. Penyebab Rapid Alert System ( RAS) adalah karena ditemukannya
beberapa jenis komoditi ikan yang miliki kandungan histamine yang sangat
tinggi (tuna), swordfish yang tercemar oleh logam berat (cadmium dan
mercury),
3
II . HAMBATAN EKSPOR PRODUK PERIKANAN
2.1. Hambatan Tarif
Permintaan terhadap produk perikanan baik untuk pasar domestik maupun
internasional terhadap produk tuna akan terus meningkat seiring dengan
meningkatnya laju pertambahan penduduk, kenaikan pendapatan (income),
terjadinya pergeseran selera consumen dari “Red Meat menjadi White Meat” serta
menurunya konsumsi daging sebagai akibat dari merebaknya berbagai penyakit
ternak seperti BSE (bovine spongiform encephalopaty) dan penyakit mulut dan
kuku. Disamping itu, akhir – akhir ini juga terlihat meningkat permintaan “organic
food” termasuk “organic fish” khususnya dinegara-negara maju.
Sementara itu kebijakan UE dibidang perikanan yang diatur secara khusus dalam
Common Fisheries Policy (CFP) masih tetap didominasi oleh upaya pemantapan
terhadap pengaturan sistem penangkapan dalam rangka pemanfaatan dan
pengolahan sumberdaya perikanan (laut) secara lestari. Adapun program-program
yang dicanangkan meliputi : pengaturan penangkapan ikan diwilayah pantai (6 –
12 mile), pengaturan sistem pemberian quota dan TAC (Total allowable cacth),
penanggulangan pencemaran laut, peningkatan kemampuan MCS (Monitoring
Control and Surveillance), pengaturan sistem subsidi perikanan dan
pengembangan kemitraan penangkapan ikan dengan negara ketiga. Disamping itu,
dalam mengkonsolidasikan berbagai peraturan perundangan, UE terus
mengupayakan untuk menjaga adanya konsistensi dari setiap kebijaksanaan
pembangunan dengan upaya pelestarian lingkungan. Dalam perdagangan
internasional dikenal adanya hambatan tarif dan hambatan non tariff . Untuk
melindungi daya saing sektor perikanan, Uni Eropa juga memberlakukan sistem
quota dan tarif bea masuk yang tinggi, selain ketentuan anti - dumping serta
countervailling measures. Tarif bea masuk yang dikenakan sangat berfariasi dari
negara – negara dan dari species ke species. Sedang anti – dumping dan
countervailling duty, sampai saat ini hanya diberlakukan oleh Uni Eropa terhadap
ikan salmon yang diimpor dari Norwegia yaitu sebesar 10,8% dan 3,6%.
Safeguard measures juga hanya dipakai oleh Uni Eropa untuk melindungi industri
domestik budidaya ikan salmon terhadap harga salmon yang sangat rendah dari
4
Norwegia. Sampai saat ini peraturan tersebut belum pernah digunakan terhadap
negara – negara berkembang.
Dengan tingginya tarif bea masuk impor produk perikanan ke UE, maka daya saing
komoditi perikanan Indonesia khususnya ikan tuna kaleng menjadi sangat lemah.
Hal ini disebabkan karena tarif bea masuk ikan tuna yang diberlakukan adalah
sebesar 24%, padahal ikan tuna kaleng merupakan komoditi andalan ekspor dari
beberapa negara anggota ACP dengan tarif bea masuk nol persen. Oleh karena itu
dalam beberapa tahun terakhir ini telah terjadi pergeseran dalam dominasi
ekspor ikan tuna kalengan dari negara-negara ASEAN ke negara-negara anggota
ACP khususnya di Afrika.
2.2 Hambatan Non Tarif .
Uni Eropa memberlakukan berbagai hambatan non – tarif khususnya standard
mutu dan sanitasi serta isu lingkungan. Hambatan non – tarif untuk sektor
perikanan terutama : ( a) Harmonisasi sistem pengawasan mutu ; sesuai
dengan Council Directive No. 97/296/EC, hanya unit pengolahan/eksportir
“terdaftar” (mempunyai Approval Number) dari negara-negara yang mempunyai
sistem pembinaan mutu yang equivalent (harmonized countries) dengan sistem
yang berlaku di Uni Eropa yang diizinkan untuk mengekspor produk perikanan ke
negara-negara Uni Eropa. (b) Sertifikat Ekspor – Setiap ekspor produk
perikanan diwajibkan untuk dilengkapi dengan sertifikat mutu ( quality certificate)
dan sertifikat kesehatan (health certificate). Namun untuk ekspor ke Uni Eropa,
maka bahasa yang dipergunakan dalam sertifikat harus sesuai dengan bahasa
nasional negara tujuan. Disamping itu, sertifikat hanya boleh ditanda tanggani
oleh inspektur yang telah ter – akreditasi dengan menggunakan tinta yang
warnanya sesuai. Apabila persyaratan ini tidak dipenuhi, maka ekspor produk
perikanan tersebut akan ditahan.(c) Standard Sanitasi – Sesuai dengan
Council directive No. 93/99/EEC dan No. 2000/207/EEC, maka semua
produk makanan termasuk hasil perikanan yang dikespor ke Uni Eropa mutu
sanitasinya harus sesuai dengan standar yang diberlakukan oleh Uni Eropa. Akan
tetapi, dalam kenyataan standar sanitasi ini sering diberlakukan secara tidak
transparan atau diskriminatif (menggunakan standar ganda). Misalnya : dalam
5
peraturan Uni Eropa tidak ada persyaratan yang menyebutkan bahwa udang beku
(kecuali udang rebus beku) harus bebas dari bakteri salmonella. Namun dalam
peraturan nasional yang dipakai negara – negara anggota Uni Eropa dengan tegas
mempersyaratkan bahwa semua ekspor udang beku harus bebas dari bakteri
pathogen.(d) Standard mutu – walaupun standar mutu yang dipakai relatif lebih
lunak dibandingkan dengan standar sanitasi, namun pengujian mutu secara
organoleptik masih merupakan cara konvensional yang dulunya lazim dipakai
untuk menentukan kualitas dan penerimaan produk perikanan impor di pelabuhan
masuk namun dewasa ini diterapkan pula pengujian mikrobiologi dan kimia secara
ketat dan akan dikenakan sanksi atau embargo, apabila mutu produk yang
diekspor dinyatakan tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan.
III. Stándar Mutu yang merupakan Hambatan Non Tarif
Untuk mengawasi standar sanitasi dan mutu produk perikanan impor, akhir
akhir ini Uni Eropa mengadakan pengujian laboratorium secara acak
(random sampling) yang dikenal dengan Rapid Alert System (RAS) produk
hasil perikanan disetiap pelabuhan masuk utamaya untuk Ikan Tuna segar
Apabila produk perikanan yang diekspor ke Uni Eropa oleh suatu
perusahaan mutunya dianggap ‘meragukan’ maka seluruh pelabuhan
masuk dan pejabat verteriner di negara anggota Uni Eropa akan ‘
diingatkan’ untuk mewaspadai (menguji kembali) terhadap produk yang
mencurigakan tersebut. Pengujian Ikan Tuna terutama dilakukan untuk
Histamin dan Logam berat ,karena kedua duanya harus dicegah agar tidak
membahayakan konsumen
3.1 Histamin
Upaya Pencegahan perkembangan histamin pada produk tuna dalam semua
tahapan penanganan dan pengolahan di kapal, pembongkaran dan transportasi ke
perusahaan untuk kegiatan ekspor harus menerapkan Good Handling Practices
(GHP) dan Good Manufacturing Practices (GMP). Penerapan GHP dan GMP ini
dengan persyaratan antara lain : (a) Semua kapal penangkap tuna harus di
6
monitor suhu penyimpanan dan pendinginan setiap jam selama proses
penangkapan berlangsung, agar suhu tuna dapat dipertahankan dibawah 4.4 0C.
Penekanan suhu ini disebabkan oleh karena formasi histamin dari histidina
decarboxilation yang dapat memperkecil suhu dibawah 4.4 0C. Untuk produk tuna
beku di kapal suhu maksimum yang harus dipertahankan adalah - 18 0C. (b)
Setelah proses penangkapan, tuna harus dimatikan dengan segera diiukuti oleh
pendarahan, dan apabila ada tuna yang mati di tempat pendaratan, maka harus
dilakukan uji organoleptik dan hanya tuna yang bermutu baik yang memenuhi
stadard UE yang dipergunakan untuk proses selanjutnya.
Kondisi minimum produk tuna adalah sebagai berikut :
􀀹 Penampakan : Bersih, cerah dan bersisik dan Tidak ada indikasi yang
berpengaruh terhadap kerusakan fisik dan lendir pada permukaan tuna.
􀀹 Mata : Cembung dan cerah serta bening
􀀹 Insang : Merah, berbau segar dan tertutp lendir bening
􀀹 Tekstur : Kompak dan solid (jika ditekan dengan tangan/jari)
Pengawas mutu di perusahaan dan laboratoirum harus mencek record keeping suhu
tuna ketika didaratkan di tempat pendaratan, diiukiti dengan contoh, paling sedikit 9
sampel per bacth untuk di lakukan uji oraganoleptik dan histamin. Selama tidak
ditempat pendaratan dan transporatasi ke perusahaan, tuna harus disimpan pada
kondisi yang dingin dengan mempergunakan “Slurry ice” atau Chilled Sea Water”
dalam cold box yang berinsulasi. Tindakan pencegahan segera di lakukan terhadap
perubahan suhu (temperatura abuse) dan matahari selama pengangkutan ke
perusahaan.
Selama penanganan dan proses di persuhaan, sistem rantai dingin harus di
pertahankan (maximum of core temperatura 4.40C) dan diikuti dengan pengecekan
setiap jam dalam semua tahapan proses.
Health Certificate (HC) merupakan permasalahan jika suhu setiap proses mengikuti
standar UE dan sekaligus hasil uji organoleptik terhadap kadar histamine mengacu
pada standar UE. Dari Sembilan (9) sampel yang diuji persyaratan yang di ikuti
sebagai berikut; (a) Nilai harus tidak lebih dari 100 ppm (b) Dua sampel harus
7
mempunyai nilai lebih dari 100 ppm; tetapi tidak kurang dari 200 ppm (c) Tidak ada
sampel yang mempunyai nilai lebih dari 200 ppm.
3.2 Logam Berat
Bahan Kimia berupa logam berat atau logam lainnya yang Keberadaannya
pada batas tertentu dalam produk pangan, air dan udara tidak dikehendaki.
Bahan ini mungkin ada dalam produk pangan sebagai akibat dari berbagai
_ ían_ dalam : proses produksi,pengemasan,transportasi atau dari
kontaminasi lingkungan.
Kehadiran logam-logam berat yang terdapat disuatu perairan laut dapat
berasal dari dua (2) sumber, yaitu dapat terjadi secara alamiah (Natural) dan
terjadi sebagai akibat dari aktivitas manusia (Anthropogenic), contohnya pada
kegiatan pertambangan.
Cemaran kimia ini disebabkan oleh elemen kimia metalik yang memiliki berat
atom dan densitas yang tinggi, dan jika konsentrasi pada eleven ini Sangay
rendah, maka dapat bersifat racun bagi makluk hidup.
Ada beberapa unsur yang terdapat pada logam berat antara _ ían : Mercuri
(Hg), Cadmium (Cd), Plumbum (Pb), Arsen (As) dll.
􀂾 Mercuri (Hg) – _ ían_ a salah satu logam berat yang berbahaya dan
dapat terjadi secara alamiah dilingkungan, sekaligus merupakan hasil
perombakan mineral dialam melalui proses cuaca dan iklim dari air dan
angin serta berupa logam cair berwarna putih Keperakan, mengkilat dan
tidak berbau dapat ditemukan di udara, tanah dan air dekat tempattempat
kotor dan berbahaya
􀂾 Dapat berikatan dengan senyawa _ ían seperti klorin, sulfur atau oksigen
membentuk senyawa atau merkuri dan secara alamiah merkuri dapat
terjadi dalam beberapa bentuk dilingkugan/alam. Bisanya secara alamiah
pula ditemukan/berada pada ikan laut atau kekerangan. ± 1,0 ppm.
Merkuri dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui penyerapan udara
yang dapat mengandung bau/upa metalik merkuri atau ketika
mengkonsumsi makanan yang tercemar merkuri. Ketika menyerap uap
merkuri, 80 % merkuri akan masuk ke dalam darah secara langsung dari
8
paru-paru dan secara cepat menyebar kebagian tubuh lain seperti otak
dan ginjal.
􀂾 Batas penggunaan merkuri di Indonesia (SK DIRJEN POM, 1989) dan
dinegara asia tenggara lainnya seperti Malaysia yang membatasi cemaran
merkuri dalam produk pangan berkisar antara 0,003 – 0,5 mg/kg (ppm).
CAC membatasi cemaran produk merkuri hanya dalam produk ikan
sebesar 0,5 – 1,0 ppm dan air 0,001 mg/l. Sementara untuk negaranegara
di Uni Eropa dan Australia hanya dalam produk ikan sebesar 0,5 –
1,0 ppm dan Amerika melalui NATIONAL PRIMARY DRINKING WATER
REGULATIONS menetapkan batas cemaran merkuri dalam air sebesar
0,002 ppb. Jenis produk perikanan yang mengandung mercury (Hg)
adalah jenis kerang (bivalve) khususnya pada kerang darah, kerang hijau
dan jenis ikan lainnya seperti tongkol, kakap merah dan ikan bawal hitam .
􀂾 Kadmium (Cd) – merupakan logam berat yang ditemukan secara alami
dan dalam kerak bumi, sebagai mineral yang terkait dengan unsur lain
seperti oksigen, kolrin atau sulfur. Kadmium ini dapat berupa logam lunak
yang berwarna putih perak dan tidak memiliki rasa ataupun aromah serta
dapat digunakan di industri sebagai bahan untuk pembuatan baterai,
pigmen, pelapisan logam dan plastik kadmium. Senyawa yang terdapat
pada kadmium ini dapat bersifat Karsinogenik dan bersifat racun
kumulatif, serta apabila dalam kondisi asam lemah, maka sat ini akan
mudah teraborsi ke da;am organisme.
􀂾 Sebanyak 5% kadmium iserap melalui saluran pencernaan, dan dapat
terakumulasi dalam liver dan ginjal. Selain laluran pencernaan dan paruparu,
organ yang paling parah akibat pencemaran kadmium adalah Ginjal.
Gejala keracunan kronis adalah terjadinya ekskresi β-Mikro-Globulin dalam
urin akibat kerusakan fungsi ginjal. Juga dapat menyebabkan terjadinya
deformasi tulang
􀂾 Indonesia (Sk Dirjen Pom, 1989), CAC, Australia, Eropa, Jerman dan
Malaysia membatasi Ccemaran Kadmium dalam berbagai produk pangan
berkisar antara 0,003 – 0,25 ppm. Di Indonesia terdapat kajian dosis
kadmium dalam beras coklat (beras pecah Kulit) 0,04 – 0,39 Ppm (1993).
9
Untuk perikanan biasanya kadmium ini terdapat pada Jenis produk
kerang-kerangan.
􀂾 Timbal (Pb) – Merupakan logam berat yang tidak berbau dan tidak
berasa, sangat beracun terutama terhadap anak-anak. Secara alami
ditemukan pada tanah. Timbal dapat bereaksi dengan senyawa-senyawa
lain membentuk berbagai senyawa-senyawa timbal, baik senyawa organik
seperti timbal Oksida (Pbo), Timbal Klorida (Pbcl2), Dll. Sumber-sumber
timbal antara lain cat usang, debu, udara, air, makanan, tanah yang
terkontaminasi dan bahan bakar bertimbal.
􀂾 Penggunaan senyawa-senyawa timbal antara lain membuatan gelas,
penstabil pada senyawa-senyawa PVC, cat berbasis minyak, zat
pengoksidasi dan bahan bakar. Di dalam tubuh, timbal diperlakukan
seperti halnya kalsium. Tempat penyerapan pertama adalah plasma dan
membran jaringan lunak. Selanjutnya, didistribusikan Ke bagian-bagian
dimana kalsium memegang peranan penting seperti gigi pada anak-anak
dan tulang pada semua umur.
􀂾 Sekitar 90% timbal yang masuk dalam tubuh orang dewasa dapat
diekselresilam setelah beberapa minggu. Sedang untuk anak-anak hanyaa
32% yang dapat diekskresikan. Timbal dapat masuk kedalam tubuh
melalui pernafasan dan makanan. Bila dikonsumsi dalam jumlah banyak
secara langsung menyebabkan kerusakan jaringan mukosal. Pada bayi
dan anak-anak, paparan timbal berlebihan dapat menyebabkan kerusakan
otak, penghambatan pertumbuhan anak, kerusakan ginjal, gangguan
pendengaran, mual, sakit kepala dan kehilangan nafsu makan.
􀂾 Pada orang dewasa, timbal dapat menyebabkab peningkatan tekanan
darah dan ganguan pencernaan, kerusakan ginjal, kerusakan syaraf, sulit
tidur, sakit otak dan sendi, perubahan. Di Indonesia telah dikeluarkan Sk
Dirjen Pom, CAC, Usa/CFR, Malaysia, EC Membatasi. Regulasi EPA melalui
National Primary Drinking Water Regulations, dan USA yang menetapkan
batas timbal untuk air minum sebesar 0,015 Mg/L (15 Ppb). Hitam. Untuk
produk perikanan Kadmium (Pb dapat terakumulasi pada bagian kulit
(sotong, dan cumi-cumi).
10
IV HARMONISASI SISTEM MUTU SEBAGAI SALAH SATU STRATEGI
MENANGGULANGI HAMBATAN EKSPOR IKAN TUNA
4.1 PERANAN HARMONISASI SISTEM PENGAWASAN MUTU HASIL PERIKANAN
UNTUK MENINGKATKAN EKSPOR DI ERA GLOBALISASI
Dampak era globalisasi terhadap komoditas perikanan adalah semakin
ketatnya persaingan dalam perdagangaan internasional baik dari segi
harga, kualitas, “delivery time” maupun pelayanan. Kendala utama yang
dihadapi dalam perkembangan ekspor komoditi perikanan adalah
munculnya berbagai hambatan Non Tarif yang seringkali juga
diperlakukan secara tidak transparan dan diskriminatif, Salah satu upaya
dan strategi untuk menghadapi kendala tersebut adalah memantapkan
SISTEM PENGAWASAN MUTU HASIL PERIKANAN termasuk
sistem sertifikasi dan pengendalaian mutu hasil perikanan pada semua lini
agar dapat mempunyai kesamaan /equvalensi dan mendapat pengakuan
dari Negara tujuan ekspor .
Suatu negara , dapat diakui mempunyai harmonisasi system oleh negara
tujuan ekspor apabila telah dipenuhi beberapa persyaratan sebagai
berikut ;
1. Pemerintah dari negara tersebut mempunyai unit organisasi yang
khusus menangani pembinaan dan pengawasan mutu hasil perikanan
2. Mempunyai system pembinaan dan pengawasan mutu hasil perikanan
berdasarkan konsepsi HACCP yang didukung dengan peraturan
pelaksanaan yang sesuai dengan peraturan internasional
3. Mempunyai sarana dan prasarana seperti Laboratorium penguji dan
Laboratorium acuan dan sumberdaya manusia yang cukup dan
memenuhi persyaratan untuk melaksanakan sertifikasi system mutu
11
{validasi,auditing,verifikasi audit } ,sertifikasi personil , sertifikasi
/pengujian produk dan mempunyai standar , dan persyaratan lainnya
4. Mempunyai system jaringan kerja secara nasional dan internasional
5. Mampu melaksanakan kegiatan pembinaan dan pengawasan secara
mandiri dan professional sesuai dengan peraturan dan lain-lain
Pengakuan adanya Harmonisasi system ini pada umumnya diwujudkan
dalam bentuk Mutual Recognation Arragement (MRA ) atau Memorandum
of Understanding (MOU).Pada umumnya MRA ini terdiri dari 2 (dua )
macam yaitu MRA 1 (satu )arah dan MRA dua(2) arah.
Adapun langkah-langkah yang penting yang ditempuh untuk
mendapatkan pengakuan harmonisasi sistem sertifikasi dan pengawasan
mutu hasil perikanan dari Negara tujuan ekspor secara garis besarnya
adalah :
a. Peningkatan system pembinaan dan pengawasan mutu yang mengacu
kepada standar internasional khususnya pola HACCP yang secara resmi
telah disetujui oleh Codex Committe on fish and Fishery Products
FAO/WHO untuk dimasukkan dalam setiap rancangan standar
perikanan Codex.
b. Berpartisipasi aktif dalam berbagai perjanjian internasional baik yang
berkaitan dengan masalah perdagangan khususnya GATT/WTO
maupun konvensi perikanan international dan regional untuk masalah
konservasi sumberdaya perkanan, serta konvensi menyangkut isu
lingkungan, mengingat isi perjanjian dan konvensi internasional
tersebut pada umumnya bersifat mengikat (binding) dan berpotensi
menghambat ekspor produk perikanan dari Indonesia.
c. Menghindari penggunaan bahan makanan yang berasal dari GMO
dalam industri pengolahan ikan khususnya yang akan diekspor ke Uni
12
Eropa. Meningkatkan efisiensi mulai dari budidaya sampai pemasaran
agar harganya di pasaran Internasional kompetitif.
d. Meningkatkan kemampuan dalam pemasaran ekspor dari system FOB
menjadi C & F sehingga nilai keuntungan yang diraih menjadi lebih
optimal.
e. Ekspor komoditi perikanan yang diirradiasi khususnya paha kodok dan
udang rebus ke Eropa seyogyanya dikirim melalui perancis, Belgia atau
Belanda mengingat anggota Uni Eropa yang lain masih menentang
masuknya produk makanan impor yang diirradiasi.
f. Untuk menangkal meningkatnya kampanye anti udang tambak. Maka
setiap upaya pengembangan tambak untuk budidaya udang/bandeng
sebaiknya selalu memperhatikan aspek kelestarian lingkungan
khususnya konservasi hutan bakau
g. Peningkatan pengendalian dan pemantauan penggunaan antibiotik,
hormon dan obat-obatan terkait dalam budidaya udang dan ikan,
mengingat negara pengimpor semakin meningkatkan system
pengawasan terhadap residu senyawa-senyawa tersebut.
h. Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait guna memecahkan
masalah “Automatic detention” yang dikenakan terhadap ekspor
komoditi perikanan dari Indonesia di Amerika Serikat
i. Menyiapkan perangkat peraturan yang berkaitan dengan program
sanitasi agar izin ekspor kekerangan ke Uni Eropa dapat segera
diperoleh kembali, mengingat ekspor kekerangan ke Uni Eropa
berpotensi menghasilkan devisa lebih dari 1 juta dollar per tahun
j. Meningkatkan system pengendalian dan pengawasan dalam pemberian
sertifikat mutu dan Hygiene, khususnya bagi komoditi perikanan yang
akan segera diekspor ke UE mengingat :
􀂃 Bahasa yang digunakan harus sesuai dengan bahasa nasional di
pelabuhan masuk, kalau tidak maka produk perikanan yang
diekspor akan ditolak walaupun mutu dan sanitasinya prima
13
􀂃 Izin ekspor hanya berlaku bagi unit pengolah yang mempunyai
”Approval Number” dari Komisi Eropa.
􀂃 Ekspor produk perikanan yang mengandung telur khususnya
kerupuk ikan/udang seringkali harus disertai sertifikat tambahan
untuk mutu telur yang digunakan (bebas dioxin, bebas residu
hormon, antibiotik, dsb)
􀂃 Adanya tuduhan bahwa Indonesia melanggar perjanjian CITES
karena ukuran pada kodok dan bekicot yang diekspor ke UE
ukurannya semakin kecil
4.2 LANGKAH-LANGKAH YANG DILAKUKAN DALAM RANGKA
MEMANTAPKAN HARMONISASI SISTEM PENGAWASAN MUTU HASIL
PERIKANAN
Untuk mengantisipasi hambatan ekspor DJPT (DKP) segera melakukan
harmonisasi system pengewasan mutu dengan melakukan berbagai kegiatan
strategis yang meliputi ;
􀂙 Penyesuaian peraturan melalui SK Menteri Kelautan dan Perikanan No.
21/MEN/2004 tertanggal 9 Juni 2004 tentang “Sistem Pengawasan dan
Pengendalian Mutu Hasil Perikanan Untuk Pasar Uni Eropa” dan SK Dirjen
Perikanan Tangkap No. 3511/DPT.0/PI.320.S4/VII/2004 tanggal 2 Juli 2004
tentang “Persyaratan Higiene Di Kapal Penangkap Ikan Yang Hasil
Tangkapannya Untuk Pasar Uni Eropa” yang mengadopsi CD 91/493/EEC
dan CD 92/48/EC.
􀂙 Menyusun Plan Of Action penanggulangan masalah Hiostamin dan Logam
berat serta mengirimkannya ke Komisi Uni Eropa .Plan of Action tersebut
oleh pihak “Health and Consumer Protection EC”, karena masih dianggap
sebagai penyelesaian jangka menengah dan panjang, sehingga mereka
meminta Competent Authority (CA) Indonesia untuk mengambil langkahlangkah
penyelesaian jangka pendek dan meminta CA melakukan
“DELISTING” terhadap perusahaan yang terkena RAS.
14
􀂙 Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DKP) merespons ke UE melalui
surat tertanggal 15 Juni 2004 dan surat tertanggal 8 Juli 2004 untuk tidak
melakukan “DELISTING” terhadap perusahaan yang terkena RAS, tetapi
hanya “Temporary Suspension”, dimana masa berlakunya suspension
tersebut terhitung tanggal 1 Juli 2004 berdasarkan tanggal dikeluarkan
“Health Certificate. Komisi Eropa juga mempermasalahkan banyaknya unit
pengolahan yang diberi Approval Number tetapi tidak aktif ekspor ke UE
dan untuk menunjukan keseriusan Competent Authority Indonesia, maka
beberapa perusahaan pemegang Aproval Number yang tidak melakukan
aktifitas ekspor ke UE diajukan untuk “DELISTING”.
􀂙 Usulan Indonesia untuk mensuspens ke 16 (enam belas) perusahaan yang
terkena RAS tersebut direspons kembali oleh UE melalui surat tertanggal 13
Juli 2004 yang kembali meminta Competent Authority Indonesia untuk
tidak hanya mengenakan “suspensions” terhadap ke 16 (enam belas)
perusahaan tersebut, tapi “DELISTING” dan memberi batas waktu sebelum
tanggal 15 Juli 2004 untuk memberikan jawaban.Disamping itu, pihak UE
juga memberi batas waktu untuk melakukan Re-Inspeksi terhadap semua
pemegang Approval Number (termasuk kapal penangkap) dan melaporkan
hasilnya pada akhir Oktober 2004, dimana perusahaan yang tidak mengerti
dan tidak menerapkan persyaratan UE serta perusahaan yang terkena RAS
untuk “DELISTING”.
􀂙 Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) merespons melalui surat
tertanggal 14 Juli 2004 dimana kembali meminta pengertian Pihak UE
untuk tidak menggunakan tindakan “DELISTING”, tapi memberi waktu
untuk perusahaan tersebut melakukan perbaikan dan Competent Authority
(CA) akan melakukan inspeksi sampai dengan akhir Juli 2004.
􀂙 Usulan Indonesia untuk tidak “DELISTING” tetapi cukup dikenakan
“SUSPENSION” terhadap 16 perusahaan tersebut DISETUJUI oleh UE
melalui surat tertanggal 20 Juli 2004 dengan catatan (a) Pencabutan
status “SUSPENSION” harus mendapat persetujuan dari Komisi UE (Prior
15
Agreement of the Commission) dan (b) diminta audit report dan tindakan
koreksi terhadap 16 perusahaan tersebut dikirim ke komisi UE .
Berdasarkan pembinaan dan inspeksi yang dilakukan, Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap (DJPT) pada tanggal 31 Juli 2004 telah mengirim surat ke UE
yang isinya :
􀂙 Pemberitahuan pencabutan “SUSPENSION” terhadap 5 (lima) perusahaan
dengan pertimbangan telah mengikuti persyaratan UE dan hanya terkena
1(satu) kasus RAS tahun 2003 dan tidak lagi terkena RAS tahun 2004.
􀂙 4 (empat) perusahaan yang hanya terkena RAS 1(satu) kali sebelum
kedatangan Tim Inspeksi UE dan perusahaan tersebut sudah menerapkan
sesuai dengan persyaratan UE diajukan untuk diberikan waktu untuk
dievaluasi kembali pertengahan Agustus tahun 2004.
􀂙 7 (tujuh) perusahaan lainnya diajukan untuk tetap dikenakan suspensión
(tidak DELISTING), mengingat perusahaan tersebut masih terkena RAS
berulang pada tahun 2004, sampai dapat memberikan jaminan dalam
memproduksi produk yang bermutu baik sesuai dengan persyaratan UE.
Pada tanggal 18 Agustus 2004, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap kembali
memberitahukan ke UE bahwa dari 11 perusahaan yang terkena “SUSPENSION”,
4 perusahaan sudah memenuhi persyaratan UE dan di cabut dari “SUSPENSION”,
sedangkan 7 perusahaan masih diperpanjang status “SUSPENSION”.
Disamping itu data lengkap hasil inspeksi 16 perusahaan tersebut telah dikirim
melalui surat tertanggal 3 September 2004.
Pembertahuan pencabutan status suspension 7 perusahaan tersebut dilanjutkan
dengan surat tertanggal 8 Oktober 2004, terhadap 5 perusahaan yang sudah
memenuhi persyaratan, sehingga sampai saat ini hanya tersisa 2 perusahaan
yang masih terkena “SUSPENSION”.
Surat dari Komisi UE tertanggal 6 Oktober 2004 antara lain menekankan kembali
bahwasanya pncabutan status “SUSPENSION” dapat dilakukan oleh competent
Authority Indonesia (DJPT), dengan pemberitahuan terlebih dahulu ke Komisi UE
(Prior Knowledge of The Commnission).
16
Dengan langkah-langkah seperti tersebut diatas ,diperoleh informasi bahwa
beberapa perusahaan yang telah diberitahukan pencabutan “SUSPENSION”,
sudah melakukan ekspor ke UE dan ternyata tidak lagi mengalami hambatan .
oleh karena itu untuk kelangsungan ekspor ikan Tuna ke UE , maka ke-14
perusahaan yang bersangkutan dapat diijinkan melakukan ekspor ke UE dengan
ketentuan (catatan) sebagai berikut :
􀂃 pihak perusahaan harus tetap menjaga mutu ikannya supaya terjamin agar
tidak lagi terkena RAS di UE
􀂃 Hasil pengujian/monitoring mutu produk harus memenuhi persyaratan UE.
􀂃 Pihak importir (buyer) menjamin tidak mendapat hambatan yang berkaitan
dengan status tersebut.
􀂃 Apabila terjadi penahanan oleh Komisi UE, maka menjadi tanggung jawab
perusahaan yang bersangkutan.
V. KESIMPULAN
1. Pedangangan internasional komoditi perikanan tidak hanya dipengaruhi
oleh faktor permintaan dan penawaran, tetapi juga sangat ditentukan oleh
hasil-hasil konvensi dan perjanjian internasional di bidang perikanan.
Perjanjian internasonal yang berpengaruh langsung bahkan cenderung
mengatur mekanisme perdagangan komoditi perikanan dipasar
internasional antara lain; a). perjanjian internasional yang bernuansa
menjaga kelestarian sumberdaya perikanan, seperti Code of Conduct for
Responsible Fisheries, International Convention for the Concervation of
Atlantic Tuna (ICCAT), Indian Ocean Tuna Comisión dan Agreement on
Straddling Stocks. b). perlindungan internasional terhadap satwa yang
terancam punah seperti Convention on Interntional Trade of Endangered
Species (CITES) dan c). perjanjian internasional tentang perdagangan
17
seperti GATT/WTO, termasuk didalamnya perjanjian Sanitary and
Phytosanitary Measures (SPS) dan Agreement on Technical Barriers to
Trade.
2. Permintaan terhadap produk perikanan baik untuk pasar domestik
maupun internasional terhadap produk tuna akan terus meningkat seiring
dengan meningkatnya laju pertambahan penduduk, kenaikan pendapatan
(income), terjadinya pergeseran selera consumen dari “Red Meat menjadi
White Meat” serta menurunya konsumsi daging sebagai akibat dari
merebaknya berbagai penyakit ternak seperti BSE (bovine spongiform
encephalopaty) dan penyakit mulut dan kuku. Disamping itu, akhir – akhir
ini juga terlihat meningkat permintaan “organic food” termasuk “organic
fish” khususnya dinegara-negara maju. Sementara itu kebijakan UE
dibidang perikanan yang diatur secara khusus dalam Common Fisheries
Policy (CFP) masih tetap didominasi oleh upaya pemantapan terhadap
pengaturan sistem penangkapan dalam rangka pemanfaatan dan
pengolahan sumberdaya perikanan (laut) secara lestari. Adapun
programprogram
yang dicanangkan meliputi : pengaturan penangkapan ikan
diwilayah pantai (6 – 12 mile), pengaturan sistem pemberian quota dan
TAC (Total allowable cacth), penanggulangan pencemaran laut,
peningkatan kemampuan MCS (Monitoring Control and Surveillance),
pengaturan sistem subsidi perikanan dan pengembangan kemitraan
penangkapan ikan dengan negara ketiga. Disamping itu, dalam
mengkonsolidasikan berbagai peraturan perundangan, UE terus
mengupayakan untuk menjaga adanya konsistensi dari setiap
kebijaksanaan pembangunan dengan upaya pelestarian lingkungan.
3. Kehadiran logam-logam berat yang terdapat disuatu perairan laut dapat
berasal dari dua (2) sumber, yaitu dapat terjadi secara alamiah (Natural)
dan terjadi sebagai akibat dari aktivitas manusia (Anthropogenic),
contohnya pada kegiatan pertambangan. Cemaran kimia ini disebabkan
18
oleh elemen kimia metalik yang memiliki berat atom dan densitas yang
tinggi, dan jika konsentrasi pada eleven ini sangat rendah, maka dapat
bersifat racun bagi makluk hidup. Ada beberapa unsur yang terdapat pada
logam berat antara lain : Mercuri (Hg), Cadmium (Cd), Plumbum (Pb),
Arsen (As) dll.
Lebih 250 Perusahaan Perikanan Dicabut Izin Ekpornya ke UE
Selama 2007 pemerintah telah mencabut izin ekspor ke Uni Eropa (UE) kepada lebih dari 250
perusahaan perikanan karena tidak memenuhi standar kualitas yang ditentukan.
Direktur Pemasaran Luar Negeri Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP)
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Saut P Hutagalung di Jakarta, Selasa mengatakan,
dari sekitar 400 perusahaan perikanan saat ini yang bisa melakukan ekspor ke UE tinggal 133
perusahaan. "Perusahaan yang tidak mampu memenuhi standar kualitas tersebut umumnya
perusahaan yang kecil-kecil," katanya ketika ditanyakan nama-nama perusahaan yang dicabut
izin ekspornya ke UE itu.
Bahkan, tambahnya, diantara perusahaan-perusahaan tersebut hanya sesekali muncul untuk
mengekspor produk perikanan ke UE namun kemudian menghilang lagi. Sedangkan untuk
perusahaan-perusahaan besar yang sudah ada selama ini umumnya selalu memperhatikan
standar mutu yang ditetapkan sehingga mereka tetap bisa melakukan ekspor hasil perikanan ke
UE.
Oleh karena itu, meskipun saat ini tinggal 133 perusahaan yang bisa melakukan ekspor ke UE
namun pihaknya tetap optimis hal itu tidak berdampak pada target perolehan devisa dari ekspor
hasil perikanan nasional. Saut mengatakan, pemerintah memproyeksikan target ekspor hasil
perikanan naik sebesar 300 juta dollar AS menjadi 2,6 miliar dollar AS tahun ini.

"Dalam tiga tahun terakhir rata-rata ekspor hasil perikanan nasional meningkat sekitar 200 juta
dollar AS per tahun.Melihat kondisi tersebut kami optimis target ekspor 2,6 miliar dollar AS
terpenuhi," katanya.
Menurut dia, meskipun berbagai hambatan terhadap ekspor produk perikanan Indonesia mulai
berkurang, pemerintah tetap melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki mutu komoditas
perikanan yang akan diekspor. Berbagai upaya, kata dia, telah dilakukan untuk membantu
ekspor komoditas perikanan antara lain dengan meningkatkan kemampuan laboratorium uji
mutu baik peralatan maupun petugasnya, serta perbaikan sistem aturan standar mutu produk
perikanan.

Berdasarkan catatan DKP, ekspor komoditas perikanan pada 2005 mencapai 1,9 miliar dollar
AS, kemudian naik menjadi 2,1 miliar dollar AS pada 2006 dan tahun lalu kembali meningkat
menjadi 2,3 miliar dollar AS. Begitu juga dari segi volume, selama 2005 hingga 2007 juga
terjadi peningkatan dari 857.922 ton menjadi 926.478 ton, dan turun menjadi 857.783 ton pada
2007, namun nilainya tetap naik.
Menurut dia, pasar utama ekspor hasil perikanan Indonesia masih ditujukan ke Jepang, Uni
Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) dengan pangsa pasar masing-masing sebesar 26 persen,
14 persen dan 34 persen.
Udang dan tuna, lanjutnya, masih mendominasi ekspor hasil perikanan Indonesia dengan jumlah
masing-masing ekspor sebesar 153.906 ton dan 91.631 ton pada 2005, atau senilai masing-
masing 948,13 juta dollar AS dan 246,3 juta dollar AS. Pada 2006 ekspor udang mencapai
169.329 ton dengan senilai 1,1 juta dollar AS dan tuna sebanyak 91.822 ton dengan senilai 250,5
juta dollar AS.
Sementara pada 2007 udang ekspor udang mencapai 160.797 ton dengan nilai 1,04 miliar dollar
AS dan tuna 110.034 ton dengan senilai 280,8 juta dollar AS. (ANT). Kompas.com

kirim ke teman | versi cetak

Berita Pengolahan dan Pemasaran Lainnya


RINGKASAN
FATMAWATI. NIT. 06.4.02.676 Pengawasan Mutu Yang Dititik Beratkan Pada Titik Kritis Pada
Proses Pembekuan Ikan Kakap Merah (Lutjanus sanguineus) Bentuk Fillet Di PT. Varia Niaga
Nusantara Pasuruan Jawa Timur. Di Bawah Bimbingan Ir. Dahri Dahar Selaku Dosen
Pembimbing I dan Drs. R. Sugeng Rahardjo, MMA Selaku Dosen Pembimbing II.
Era globalisasi ekonomi menuntut suatu unit pengolahan hasil perikanan mempunyai
suatu manajemen pengawasan mutu hasil perikanan untuk meminimalkan bahkan
menghilangkan bahaya pada produk yang dihasilkan sehingga konsumen menjadi merasa
aman untuk mengkonsumsi ikan. salah satu diantaranya jenis ikan kakap merah dari keluarga
Lutjanidae, yang dalam dunia dagang dikenal dengan ”Snapper” (Pardjoko, 2001). Atas
pertimbangan tersebut diatas maka dikembangkan sistem yang dapat mencegah dan
mendeteksi secara dini masalah-masalah yang didapat selama proses produksi. Secara teknis
pengawasan mutu dilakukan terhadap titik kritis selama proses produksi mulai dari tahap awal
sampai siap dikonsumsi.
Maksud dari pelaksanaan Kerja Praktek Akhir ini adalah mempelajari tentang alur
proses pembekuan fillet kakap merah dan memahami tentang pengawasan mutu yang dititik
beratkan pada titik kritis pada proses pembekuan fillet kakap merah dengan tujuan memperoleh
pengetahuan, keterampilan dan wawasan dalam pengawasan mutu yang dititik beratkan pada
titik kritis pada alur proses pembekuan ikan kakap merah bentuk fillet dari penerimaan bahan
baku sampai produk akhir.
PT. Vaninus adalah perusahaan yang bergerak dibidang perikanan khususnya dibidang
pembekuan ikan bentuk fillet yang berdiri pada tahun 1986. keseluruhan rata-rata produksi
perusahaan ini adalah ± 20 ton perhari sedangkan untuk kakap merah ± 7 ton atau tergantung
dari permintaan buyer. Lokasi pabrik PT. Vaninus terletak di Pasuruan Jawa Timur.
Pada proses produksi terjadi penyimpangan–penyimpangan atau tidak, bagaimana
cara mengoreksinya atau tindakan yang perlu diambil maka selama proses pembekuan fillet
ikan kakap merah banyak titik–titik kritis yang perlu diawasi secara periodik. Persyaratan
penanganan dan pengolahan mencakup persyaratan kualitas ikan, waktu, suhu, karyawan,
peralatan yang digunakan, teknik pengolahan, pengemasan, pelabelan dan penyimpanan.
Titik kritis pada proses penerimaan bahan baku tersebut adalah suhu bahan baku saat
tiba dilokasi pabrik dengan ketentuan suhu yang diterima yaitu 1,1 0C sampai dengan 4,40C
serta kondisi fisik setelah dilakukan pengecekan secara organoleptik maupun pengecekan
terhadap mikrobiologi. Jika bahan baku yang datang sudah memenuhi syarat perusahaan maka
dilakukan proses selanjutnya yaitu sortasi. Pada proses sortasi ini dilakukan secara cepat, tepat
dan cermat serta tetap mempertahankan rantai dingin agar tidak terjadi pertumbuhan bakteri
kemudian hasil sortasi tersebut ditimbang. Ikan yang telah disortir dan ditimbang, kemudian
dimasukan ke dalam ruang proses melalui pintu tikus berbentuk bak panjang yang terbuat dari
stainless steel yang didalamnya diisi air dan es sehingga suhu air mencapai 5 0C. Hal ini sesuai
dengan pendapat BSN (2006), pencucian dilakukan dengan tetap menjaga suhu pusat produk
maksimal 50C. Suhu yang ditetapkan tersebut untuk menghindari titik kritis yang terjadi pada
saat pencucian. Setelah ikan dicuci dilakukan penimbangan dengan menggunakan timbangan
digital tetapi sebelum dilakukan penimbangan maka alat timbang tersebut dikalibrasi terlebih
dahulu untuk mendapatkan hasil penimbangan yang akurat dan tepat sehingga titik kritis pada
kesalahan dalam penimbangan tidak terjadi. Proses selnjutnya yaitu penyisikan yang dilakukan
secara manual tapi perlu ketelitian dalam melakukan proses tersebut untuk menghindari titik
kritis yang terjadi berupa kerusakan fisik ikan dan tetap menjaga suhu maksimal 5 0C. Kemudian
selanjutnya proses pembuangan isi perut, titik kritis yang dapat terjadi yaitu masih adanya isi
perut yang masih tersisa karena dapat menimbulkan pertumbuhan bakteri. Jika hal tersebut
terjadi maka dilakukan pembersihan ulang. Kamudian Ikan dicuci dengan mencelupkan ikan
kedalam bak yang sudah terisi air dengan suhu maksimal 5 0C. Suhu tersebut harus
dipertahankan karena bisa menyebabkan terjadinya titik kritis.
Proses selanjutnya yaitu fillet dilakukan dengan mengambil daging ikan pada bagian
sisi-sisi ikan tanpa tulang dan kepala ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Suseno (2008)
bahwa fillet dilakukan untuk mengambil ikan pada sisi-sisi ikan dengan membuang tulang,
kepala dan isi perut. Perlakuan selanjutnya yaitu pencabutan duri dilakukan secara cermat,
cepat dan tepat agar tidak menimbulkan titik kritis. Pengawasan yang dilakukan pada tahap ini
adalah pengecekan atau pengontrolan tahap proses pencabutan duri meliputi : kerapihan
daging, karena pada saat pencabutan duri, kenampakan daging ikan harus diperhatikan dan
dikontrol agar tidak terjadi kerusakan daging dan tekstur daging tetap rapi. Setelah difillet
daging ikan dilakukan perapihan. Untuk menghindari titik kritis yang terjadi maka dilakukan
pengawasan terhadap kebersihan daging ikan. Pencucian III ini dilakukan bertujuan untuk
membersihkan sisa-sisa kotoran yang masih menempel pada tubuh ikan setelah proses
perapihan. Pengawasan yang dilakukan pada penimbangan ini lebih ditekankan pada
ketepatan dan keakuratan dari alat timbang yang digunakan karena hal tersebut merupakan titik
kritis dari proses penimbangan tersebut agar tidak terjadi kesalahan dalam penimbangan.
Pengawasan yang dilakukan pada proses pembungkusan yaitu cara melipat dengan benar
karena merupakan bentuk akhir dari produk serta plastik yang digunakan dalam keadaan bersih
karena produk tersebut bersentuhan langsung dengan plastik sehingga perlu pengawasan yang
baik dari QC agar tidak terjadi titik kritis kemudian disusun didalam long pan. Pengawasan yang
dilakukan pada proses penyusunan yaitu cara penataan harus tepat dan teratur dan suhu harus
dipertahankan selama penataan dalam long pan dengan suhu maksimal 50C dengan cara
penambahan es curai serta long pan yang dipakai harus benar-benar bersih agar produk tidak
terkontaminasi.
Proses pembekuan dilakukan dengan menggunakan CPF berlangsung selama 7-8 jam
dengan suhu -350C. Pengontrolan terhadap mesin pembekuan sebelum produk dibekukan,
pengecekan terhadap suhu mesin pembekuan selama proses pembekuan dan mengecek hasil
produk yang telah dibekukan dan bila mendapat produk yang kurang sesuai maka dilakukan
pembekuan ulang. Pengawasan yang dilakukan pada tahapan pengecekan yaitu melakukan
pengecekan berat fillet tiap potong, pengecekan lebih ditekankan pada ukuran fillet termasuk
kenampakan warna daging dan bau. Hal ini bertujuan untuk menghindari titik kritis yang terjadi
serta produk sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Pengecekan dan pemisahan
ukuran harus dilakukan dengan cepat dan bersih. Kemudian Pengecekan terhadap alat timbang
agar tidak terjadi kekeliruan dan jika terjadi kekeliruan maka upaya yang dilakukan yaitu
perbaikan alat timbang atau dilakukan pergantian alat timbang yang sudah terlebih dahulu
dikalibrasi. Pada proses glazing ini menggunakan air dingin dengan suhu <50C sampai seluruh
permukaan produk terlapisi dengan es yang disimpan didalam bak fiber dan kebersihan
keranjang harus selalu diperhatikan. Kemudian dilakukan penimbangan ulang untuk
mengetahui penambahan berat apakah sesuai dengan permintaan atau tidak dan jika tidak
memenuhi maka dilakukan glazing ulang sampai berat yang diinginkan kemudian daging fillet
tersebut dimasukkan dalam plastik jenis PE yang berkapasitas 10 kg dan ada juga yang
berkapasitas 20 kg kemudian dilewatkan pada mesin metal detector. Jika produk tersebut aman
setelah dilewatkan pada mesin metal detector maka dilakukan proses pengemasan yang
dilakukan didalam ruangan yang bersuhu 160C. Titik kritis pada proses ini yaitu terjadinya
kesalahan label dan label yang digunakan rusak. Label harus benar dengan ukuran, berat
bersih, tanggal produksi dan tujuan ekspor serta lengkap dengan tanggal kadaluarsa kemudian
produk tersebut disimpan diruang penyimpanan. Pengawasan yang perlu diperhatikan pada
proses penyimpanan ini lebih ditekankan pada suhu didalam ruang penyimpanan agar tetap
stabil pada suhu – 220C dengan fluktuasi suhu ± 20C. Kemudian proses selanjutnya yaitu
pengiriman atau ekspor, container harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum pemuatan dan
pemuatan di container dilakukan dengan hati-hati dan cepat dan disusun dengan rapi agar
tetap mendapat sirkulasi udara dengan baik. Untuk standar pengujian sebelum dilakukan
ekspor yaitu TPC 5,0 x 105/koloni, E.Coli harus negatif begitupun juga dengan salmonella.
Kesimpulan yang dapat diambil yaitu setiap proses pembekuan fillet tersebut terdapat
titik kritis yang harus diminimalkan sehingga saran saya untuk menghindari perlu pengawasan
mutu produk yang baik.
Key words : Pengawasan mutu, titik kritis, pengujian produk akhir, sanitasi dan hygiene.

Anda mungkin juga menyukai