Penda Hulu An
Penda Hulu An
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Virus merupakan elemen genetik yang mengandung salah satu DNA atau RNA
yang dapat berada dalam dua kondisi yang berbeda, yaitu secara intraseluler dan
ekstrseluler. Virus dalam keadaan ekstraseluler merupakan partikel mikroskopis yang
terdiri dari asam nukleat yang dikelilingi oleh protein dan pada beberapa virus
dikelilingi oleh komponen makromolekuler. Kondisi ekstraseluler ini, partikel virus
yang juga dikenal dengan nama virion. Virion tidak melakukan aktivitas biosinteis atau
respirasi. Genom virus saat memasuki sel baru, kondisi intraseluler dimulai. Keadaan
intraseluler terjadi reproduksi virus, genom virus dihasilkan dan komponen-komponen
pembentuk mantel virus disintesis. Proses pada saat genom virus memasuki sel dan
bereproduksi dinamakan sebagai infeksi. Sel yang dapat diinfeksi oleh virus dan virus
tersebut dapat bereproduksi di dalamnya dinamakan sebagai inang. Virus tersebut
kemudian mengambil alih mesin dan fungsi metabolik inang untuk menghasilkan
komponen-komponen pembentuk virus (Soedarno, 2014).
Virus dapat bertindak sebagai agen penyakit dan agen pewaris sifat. Sebagai
agen penyakit, virus memasuki sel dan menyebabkan perubahan-perubahan yang
membahayakan bagi sel, yang akhirnya dapat merusak atau bahkan menyebabkan
kematian pada sel yang diinfeksinya. Sebagai agen pewaris sifat, virus memasuki sel
dan tinggal di dalam sel tersebut secara permanen. Perubahan yang diakibatkannya
tidak membahayakan bagi sel atau bahkan bersifat menguntungkan. Sejumlah kasus,
apakah virus tersebut bertindak sebagai agen penyakit atau sebagai agen pewaris sifat
tergantung dari sel-sel inangnya dan kondisi lingkungan (Soedarno, 2014).
Kanker nasofaring adalahtumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan
predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan
tumor daerah kepala dan leher yang banyak di temukan di Indonesia.Karsinoma
Nasofaring (KNF) berasal dari sel epitel yang melapisi nasofaring, tidak termasuk
tumor kelenjar atau limfoma. Anatomi nasofaring adalah berbentuk kuboid dengan
bagian anteriornya dibentuk oleh posterior koana dari nasal kavitas. Atapnya terbentuk
dari basisfenoid dan basisoksiput dengan bagian dinding posterior dibentuk oleh
cervical I vertebra. Faktor penyebab terjadinya KNF antara lain: virus, genetik dan
faktor lingkungan yang didalamnya termasuk faktor makanan, merokok dan faktor
terpajan oleh karena pekerjaan(Nuryadin, 2012).
1
1.2.Rumusan masalah
a) Apa yang dimaksud dengan Virus Epstein-Barr?
b) Bagaimana sejarah adanya Virus Epstein-Barr?
c) Bagaimana etiologi Virus Epstein-Barr?
d) Bagaiman klasifikasi Virus Epstein-Barr?
e) Bagaimana struktur Virus Epstein-Barr?
f) Bagaimana infeksi Virus Epstein-Barr?
g) Apa biologi molecular Virus Epstein-Barr?
h) Bagaimana pathogenesis dari Virus Epstein-Barr?
i) Bagaimana manifestasi klinis Virus Epstein-Barr?
j) Bagaimana komplikasi Virus Epstein-Barr?
k) Bagaimana diagnosis banding Virus Epstein-Barr?
l) Bagaimana penegakkan diagnosis Virus Epstein-Barr?
m) Bagaimana penatalaksanaan Virus Epstein-Barr?
n) Bagaimana pencegahan Virus Epstein-Barr?
o) Bagaimana prognosis Virus Epstein-Barr?
1.3.Tujuan
1.4.Manfaat
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Umumnya virus ini tidak aktif dan tetap dalam tubuh seumur hidup tanpa menunjukkan
gejala banyak, tetapi dalam beberapa kasus penyakit menyebabkan infeksi kronis yang
parah.
Famili : Herpesviridae
Genus : Lymphocryptovirus
4
2.5.Epidemiologi Virus Epstein-Barr(EBV)
Epidemiologi mononucleosis infeksiosa dihubungkan dengan epidemiologi dan
umur mendapat infeksi EBV. EBV menginfeksi smpai diatas 95% populasi dunia. Ia
ditularkan dalam sekresi oral dengan kontak erat seperti berciuman atau pertukaran
ludah dari anak ke anak, seperti terjadi antara anak-anak pada perawatan anak diluar
rumah. Kontak yang tidak intim, sumber-sumber lingkungan, atau benda-benda tidak
turut menyebarkan EBV.
EBV dilepaskan pada sekresi oral selama 6 bulan atau lebih sesudah infeksi akut
dan kemudian secara sebentar-sebentar selama hidup. Imunosupresi memungkinkan
reaktivasi EBV laten; sekitar 60% penderita imunosupresi, seropositif melepaskan
virusnya. EBV juga terdapat dalam saluran genital wanita dan mungkin dapat tersebar
dengan kontak seksual.
Infeksi EBV di Negara yang sedang berkembang dan pada populasi Negara
maju yang secara sosioekonomi tidak menguntungkan bisanya terjadi selama masa bayi
dan masa anak awal. Pada populasi yang lebih makmur di Negara-negara industri,
infeksi selama masa anak masih paling sering, tetapi sekitar sepertiga kasus terjadi
selama remaja dan masa dwasa muda. Infeksi primer EBV pada remaja dan dewasa
nampak pada 50% kasus atau lebih dengan 3 serangkai klasik: kelelahan, faringitis, dan
limfadenopati menyeluruh yang merupakan manifestasi klinis major mononucleosis
infeksiosa.1
5
melalui aksi onkoprotein LMP-1, yang timbul selama infeksi virus (Gonzales, 2002).
LMP dan EBNA 2 mengaktifasi sekresi dari molekul adhesi dari LFA-1, LFA-3 dan
ICAM 1 dan CD23 FCR11 dan reseptor transferin pada sel limfoblastoid.
EBV-1 dan EBV-2 berbeda secara biologis dan distribusi geografis, walaupun
tidak ditemukan perbedaan nyata dari penyakit yang ditimbulkan. Seseorang dapat
terinfeksi oleh lebih dari satu jenis virus Epstein-Barr. EBV-1 ditemukan lebih sering
pada sebagian besar populasi. EBV-2 ditemukan dalam jumlah yang hampir sama
dengan EBV-1 di negara New Guinea. Penyebaran limfoma Burkitt dan malaria
holoendemic umumnya terjadi di Afrika. Hampir separuh tumor limfoma Burkitt di
Afrika mengandung EBV-2. Sedangkan 85% karsinoma nasofaringeal di Taiwan
mengandung EBV-1 . Pasien dengan defisiensi imun mengalami infeksi dari kedua
subtipe virus Epstein-Barr. Kondisi defisiensi imun yang telah
6
dari sel T-helper, maka beberapa sel normal B mengalami reaksi GC akan menjadi sel
B biasa sedangkan yang lain menjadi sel B memori.
Gambar Infeksi virus Epstein-Barr (dikutip dari Fleisch dan Warren, 2003)
Masuknya virus Epstein-Barr pada epitel kolon kemungkinan terjadi setelah fase
latens akhir virus Epstein-Barr pada limfosit B .Sel limfosit B yang immortal dan
mengandung banyak partikel virus Epstein-Barr akan segera lisis, melepaskan partikel
virus Epstein-Barr dan mengadakan reinfeksi ke sel epitel kolon melalui berbagai jalur.
Kehadiran virus Epstein-Barr pada epitel kolon bersama-sama dengan faktor-faktor lain
akan bersama- sama memunculkan fenotipe malignan (Budiani et.al, 2005).
Kemampuan virus onkogenik ini dalam menginfeksi sel-sel epitel pada fase
litiknya, tidak hanya terbatas pada epitel orofaring, tetapi juga pada epitel kolorektal
(Budiani et.al, 2005). Hal ini disebabkan epitel kolorektal memiliki reseptor khusus
yang memungkinkan virus Epstein-Barr dapat berinteraksi dan selanjutnya mampu
menginfeksi sel epitel mukosa kolorektal. Budiani et al, (2005) dalam penelitiannya
tingkat ekspresi LMP-1 berhubungan dengan stadium klinik a,b,dan c pada karsinoma
kolorektal menunjukkan bahwa sebanyak 15 sampel atau 100% mengekspresikan LMP-
1 dengan makna positif sedang dan juga didapatkan tingkat ekspresi LMP-1 dengan
nilai tampilan kuantitatif berbeda secara signifikan antar stadium Duke A, B dan C.
sebelumnya ( HIV atau malaria) berperan pentingbagi kemampuan
EBV-2 untuk menginfeksi limfosit B dan menyebabkan transformasi.
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa hemophilia yang terinfeksi HIV memiliki
tingkat infeksi EBV-2 lebih rendah dibandingkan homoseksual HIV. Hal ini
menunjukkan adanya superinfeksi EBV-2 berkaitandengan defisiensi imun pada
pasien tersebut (Thompson, 2004).
7
2.8.Patogenesis Virus Epstein-Barr(EBV)
EBV mempunyai sifat khas yaitu hanya menyerang sel tertentu yaitu sel limfosit
B. akhir-akhir ini EBV dapat diisolasi dari secret nasofaring, diduga virus ini dapat
menimbulkan infeksi pada epitel saluran nafas. EBV akan memasuki sel limfosit B,
didalam sitoplasma envelop virus akan dilepaskan kemudian virus masuk ke dalam inti
sel sehingga dengan demikian akan mempengaruhi sifat genetik sel tersebut.
Setelah masa inkubasi yang berkisar antara 2-7 minggu, pada umumnya sekitar
1% dari sel limfosit B telah terinfeksi oleh EBV. Proliferasi ringan dari limfosit B
terjadi pada minggu pertama dan kedua masa sakit, selanjutnya hal tersebut akan
menghilang dan diganti oleh respon imun seluler berupa peningkatan aktivitas natural
killer cell, sel-T sitotoksik dan sel T supresor. Sel limfosit T yang merupakan respon
terhadap adanya infeksi EBV. Melalui peningkatan aktivitas imunitas seluler iniakan
terjadi pengurrangan jumlah virus yg bersirkulasi.
Pada kasus gangguan imunitas baik bawaan maupun di dapat respon imunologi
terhadap infeksi primer atau infeksi kronik oleh EBV mungkin tidak akan ade kuat
dengan akibat terjadinya proliferasi sel limfosit B yang tidak terkontrol. Secara
histologist proliferasi ini bias bersifat pleomorfik yang di kenal sebagai bentuk penyakit
limfoproliferatif, atau bisa mempunyai gambaran yang hamper seragam yang di sebut
gambaran limfoma.
8
mulainya penyakit biasanya diam-diam dan samar-samar. Penderita mungkin mengeluh
malaise, mual, nyeri perut dan mialgia. Masa prodromal ini berakhir 1-2 minggu.
Keluhan nyeri tenggorok dan demam sedikit demi sedikit bertambah sampai penderita
mencari perawatan medic. Pembesaran limfa mungkin cukup cepat untuk menyebabkan
rasa tidak enak dan nyeri perut kuadran atas kiri, yang dapat menimbulkan keluhan.
Pemeriksaan fisik ditandai dengan limfadenopati menyeluruh (90%),
splenomegali (50%), dan hepatomegali (10%). Limfadenopati terjadi paling sering pada
limfonodi servikal anterior dan posterior, limfonodi submandibula, serta kurang sering
limfonodi aksilaris dan inguinalis. Limfadenopati epitrokhanter terutama member kesan
mononucleosis infeksiosa. Hepatitis bergejala atau ikterus tidak lazim. Splenomegali
sampai 2-3 cm dibawah arkus kosta adalah khas; pembesaran masif tidak lazim.
Nyeri tenggorok sering disertai oleh faringitis sedang sampai berat dengan
pembesaran tonsil yang mencolok, kadang-kadang dengan eksudat. Ptechie pada
persambungan palatum lunak (molle) dan keras (durum) sering ditemukan. Faringitis
menyerupai radang yang disebabkan oleh infeksi streptokokus. Penemuan klinis lain
dapat meliputi ruam dan edema kelopak mata, ruam biasanya makulopapuler.1
9
2.12.Penegakan Diagnosis Virus Epstein-Barr(EBV)
Karena spectrum manifestasi klinis yang disebakan oleh infeksi EBV sangat
luas, maka diagnosisnya ditegakkan atas dasar pemeriksaan laboratorium yaitu :
a. Pemeriksaan jumlah dan morfologi leukosit
Penderita mononucleosis infeksiosa pada umumnya menunjukkan adanya
limfositosis absolute (>50% limfosit) pada >80% kasus dan ditemukan
banyak limfosit atipik 20 – 24% serta Leukocytosis SDP 10,000-20,000 /mL
pada 40-70% kasus.
10
dengan gangguan limfo proliferative, penyakit berat dengan antibody
heterofil yang negative dan penyakit berkepanjangan. Antibody terhadap
antigen kapsid virus terdiri dari Ig M anti VCA dan Ig G anti VCA.
Antibody terhadap antigen nucleus virus (anti EBNA = anti Eipstein Barr
nuclear antigen)dibentuk pada masa konvalesens dan bertahan lama di
dalam tubuh2.
No previous infection
Acute infection + + +/
Recent infection + +/ +/ +/
Past infection + +/ +
VCA IgG indicates immunoglobulin (Ig) G class antibody to viral capsid antigen;
VCA IgM, IgM class antibody to VCA; EA (D), early antigen diffuse staining; and
EBNA, EBV nuclear antigen. 3
11
diketahui pada infeksi virus dengan komplikasi inkogen, kortikosteroid tidak boleh
digunakan pada kasus mononucleosis biasa.1
2.14.Pencegahan Virus Epstein-Barr(EBV)
Meskipun kebersihan seseorang itu baik, khususnya di antara anak belasan
tahun, virus Epstein-Barr di mana-mana, dan kontak ke itu secara menyeluruh tidak bisa
dihindari. Orang dengan mononukleosis tidak perlu diisolasikan dari orang lain. Vaksin
untuk melawan EBV sekarang ini tidak ada. 4
2.15.Prognosis Virus Epstein-Barr(EBV)
Secara umum Mononukleus infeksiosa merupakan penyakit yang dapat sembuh
sendiri dan infeksi biasanya menghilang di dua sampai empat minggu. Prognosis untuk
penyembuhan sempurna sangat baik jika tidak terjadi komplikasi selama penyakit akut.
Serangan kedua monokleosis infeksiosa yang disebabkan EBV belum terdokumentasi.
Kelelahan, malaise dan beberapa kecacatan yang mungkin bertambah besar dan
menyusut selama beberapa bulan merupakan keluhan biasa bahkan pada kasus lain
yang tidak luar biasa. Kadang kelelahan menetap selama beberapa tahun sesudah
mononucleosis infeksiosa juga ada.
12
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
EBV(Epstein-Barr Virus) anggota herpesviridae tipe gamma pada
manusiav (parasit pada manusia), menyebabkan lebih dari 90% kasus mononucleosis
infeksiosa. Adapun 5-10% penyakit seperti mononucleosis infeksiosa disebabkan oleh
CMV, Toxoplasma gondii, adenovirus, hepatitis virus, HIV, dan mungkinvirus rubella.
Virus ini menyerang sel limfosit B. pemeriksaan untuk Virus Epstein Barr(EBV) adalah
Pemeriksaan jumlah dan morfologi leukosit, antibody terhadap antigen EBV dan
antibody heterofil. Meskipun kebersihan seseorang itu baik, khususnya di antara anak
belasan tahun, virus Epstein-Barr di mana-mana, dan kontak ke itu secara menyeluruh
tidak bisa dihindari. Orang dengan mononukleosis tidak perlu diisolasikan dari orang
lain. Vaksin untuk melawan EBV sekarang ini tidak ada.
13
DAFTAR PUSTAKA
14