Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Virus merupakan elemen genetik yang mengandung salah satu DNA atau RNA
yang dapat berada dalam dua kondisi yang berbeda, yaitu secara intraseluler dan
ekstrseluler. Virus dalam keadaan ekstraseluler merupakan partikel mikroskopis yang
terdiri dari asam nukleat yang dikelilingi oleh protein dan pada beberapa virus
dikelilingi oleh komponen makromolekuler. Kondisi ekstraseluler ini, partikel virus
yang juga dikenal dengan nama virion. Virion tidak melakukan aktivitas biosinteis atau
respirasi. Genom virus saat memasuki sel baru, kondisi intraseluler dimulai. Keadaan
intraseluler terjadi reproduksi virus, genom virus dihasilkan dan komponen-komponen
pembentuk mantel virus disintesis. Proses pada saat genom virus memasuki sel dan
bereproduksi dinamakan sebagai infeksi. Sel yang dapat diinfeksi oleh virus dan virus
tersebut dapat bereproduksi di dalamnya dinamakan sebagai inang. Virus tersebut
kemudian mengambil alih mesin dan fungsi metabolik inang untuk menghasilkan
komponen-komponen pembentuk virus (Soedarno, 2014).
Virus dapat bertindak sebagai agen penyakit dan agen pewaris sifat. Sebagai
agen penyakit, virus memasuki sel dan menyebabkan perubahan-perubahan yang
membahayakan bagi sel, yang akhirnya dapat merusak atau bahkan menyebabkan
kematian pada sel yang diinfeksinya. Sebagai agen pewaris sifat, virus memasuki sel
dan tinggal di dalam sel tersebut secara permanen. Perubahan yang diakibatkannya
tidak membahayakan bagi sel atau bahkan bersifat menguntungkan. Sejumlah kasus,
apakah virus tersebut bertindak sebagai agen penyakit atau sebagai agen pewaris sifat
tergantung dari sel-sel inangnya dan kondisi lingkungan (Soedarno, 2014).
Kanker nasofaring adalahtumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan
predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan
tumor daerah kepala dan leher yang banyak di temukan di Indonesia.Karsinoma
Nasofaring (KNF) berasal dari sel epitel yang melapisi nasofaring, tidak termasuk
tumor kelenjar atau limfoma. Anatomi nasofaring adalah berbentuk kuboid dengan
bagian anteriornya dibentuk oleh posterior koana dari nasal kavitas. Atapnya terbentuk
dari basisfenoid dan basisoksiput dengan bagian dinding posterior dibentuk oleh
cervical I vertebra. Faktor penyebab terjadinya KNF antara lain: virus, genetik dan
faktor lingkungan yang didalamnya termasuk faktor makanan, merokok dan faktor
terpajan oleh karena pekerjaan(Nuryadin, 2012).

1
1.2.Rumusan masalah
a) Apa yang dimaksud dengan Virus Epstein-Barr?
b) Bagaimana sejarah adanya Virus Epstein-Barr?
c) Bagaimana etiologi Virus Epstein-Barr?
d) Bagaiman klasifikasi Virus Epstein-Barr?
e) Bagaimana struktur Virus Epstein-Barr?
f) Bagaimana infeksi Virus Epstein-Barr?
g) Apa biologi molecular Virus Epstein-Barr?
h) Bagaimana pathogenesis dari Virus Epstein-Barr?
i) Bagaimana manifestasi klinis Virus Epstein-Barr?
j) Bagaimana komplikasi Virus Epstein-Barr?
k) Bagaimana diagnosis banding Virus Epstein-Barr?
l) Bagaimana penegakkan diagnosis Virus Epstein-Barr?
m) Bagaimana penatalaksanaan Virus Epstein-Barr?
n) Bagaimana pencegahan Virus Epstein-Barr?
o) Bagaimana prognosis Virus Epstein-Barr?

1.3.Tujuan

a) Mengetahui sejarah, etiologi, klasifikasi, struktur, infeksi, biologi


molekular, patogenesis, manifestasi, komplikasi, diagnosis, penengakkan
diagnosis, penatalaksanaan, pencegahan, serta prognosis Virus Epstein-
Barr.

1.4.Manfaat

a) Mahasiswa Mengetahui sejarah, etiologi, klasifikasi, struktur, infeksi,


biologi molekular, patogenesis, manifestasi, komplikasi, diagnosis,
penengakkan diagnosis, penatalaksanaan, pencegahan, serta prognosis
Virus Epstein-Barr.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Sejarah ditemukannya Virus Epstein-Barr (EBV)

Tahun1950, Denis Burkitt mendeskripsikan keberadaan B-cell lymphomas pada


anak-anak Afrika berumur 2-14 tahun dari area endemic malaria. Tahun 1964, sel
limfosit-B (seldarah putih yang bertanggung jawab terhadap pembentukan antibodi)
yang merupakan turunan dari tumor yang secara spontan melepaskan herpes virus,
ditemukan oleh Epstein dan Barr. Getrud danWerner Henle yang mendemonstrasikan
bahwa Epstein-Barr virus (EBV) terdapat dimana-mana pada populasi manusia yang
dapat menyebabkan infeksi mononukleosis(Anonim1, 2009). Tahun 1968: EBV
didemonstrasikan sebagai agen infeksi dari mononukleosis. Tahun 1969: EBV tidak
dapat mati (immortal) pada kultur limfosit. EBV dapat immortal pada sel marmoset
(sejenismonyet) dan menyebabkan tumor pada primate non-manusia (Anonim, 2009).
Penemuan atas virus Epstein-Barr diperkenalkan oleh ahli bedah asal Inggris,
Denise Burkitt, selama perjalanan tentang pelayanan kesehatan di Uganda. Burkitt
pertama kalinya menjabarkan tentang adanya pembesaran limfoma pada anak-anak di
rahang bawah, yang sekarang terkenal sebagai . Burkitt juga
melaporkan bahwa limfoma Burkitt distribusinya tergantung faktor iklim seperti suhu
dan musim hujan. Epidemiologi tentang limfoma Burkitt menarik perhatian Anthony
Epstein dengan postulasinya bahwa penyebabnya berasal dari virus onkogen dan
kemudian dimulailah penelitian terhadap jaringan tumor limfoma Burkitt. Akhirnya
virus Epstein-Barr diidentifikasi dari turunan galur sel limfoma Burkitt menggunakan
mikroskop elektron. Menariknya galur sel tersebut diproduksi dari luar pertumbuhan sel
limfosit B (Johanson,2007).

2.2.Etiologi Virus Epstein-Barr (EBV)


EBV(Epstein-Barr Virus) anggota herpesviridae tipe gamma pada manusiav
(parasit pada manusia), menyebabkan lebih dari 90% kasus mononucleosis infeksiosa.
Adapun 5-10% penyakit seperti mononucleosis infeksiosa disebabkan oleh CMV,
Toxoplasma gondii, adenovirus, hepatitis virus, HIV, dan mungkinvirus rubella.1Virus
EBV ini juga berperan dalam tumor limfositB tertentu pada penderita gangguan sistem
kekebalan (Ex: penerima organ cangkokan atau penderita AIDS) dan pada beberapa
kanker hidung dan tenggorokan.

3
Umumnya virus ini tidak aktif dan tetap dalam tubuh seumur hidup tanpa menunjukkan
gejala banyak, tetapi dalam beberapa kasus penyakit menyebabkan infeksi kronis yang
parah.

2.3.Klasifikasi Virus Epstein-Barr (EBV)

Grup : Grup I (dsDNA)

Famili : Herpesviridae

Genus : Lymphocryptovirus

Spesies : Human herpesvirus 4 (HHV-4)

Gambar virus ebstain barr

2.4.Struktur Virus Epstein-Barr (EBV)


Secara morfologis EBV sulit dibedakan dari virus Herpes yang biasa menyerang
manusia. EBV mempunyai inti DNA utas ganda yang dikelilingi oleh kapsid yang
mengandung 162 kapsomer. Nukleokapsid ini diluarnya dikelilingi oleh suatu
pembungkus (envelope virus) yang mempunyai ukuran diameter 120-200nm. Dengan
perkembangan teknik dibidang analisis DNA dan teknik biologi molekuler lain, struktur
genetic dan siklus replikasi EBV dapat diidentifikasi.2

4
2.5.Epidemiologi Virus Epstein-Barr(EBV)
Epidemiologi mononucleosis infeksiosa dihubungkan dengan epidemiologi dan
umur mendapat infeksi EBV. EBV menginfeksi smpai diatas 95% populasi dunia. Ia
ditularkan dalam sekresi oral dengan kontak erat seperti berciuman atau pertukaran
ludah dari anak ke anak, seperti terjadi antara anak-anak pada perawatan anak diluar
rumah. Kontak yang tidak intim, sumber-sumber lingkungan, atau benda-benda tidak
turut menyebarkan EBV.
EBV dilepaskan pada sekresi oral selama 6 bulan atau lebih sesudah infeksi akut
dan kemudian secara sebentar-sebentar selama hidup. Imunosupresi memungkinkan
reaktivasi EBV laten; sekitar 60% penderita imunosupresi, seropositif melepaskan
virusnya. EBV juga terdapat dalam saluran genital wanita dan mungkin dapat tersebar
dengan kontak seksual.
Infeksi EBV di Negara yang sedang berkembang dan pada populasi Negara
maju yang secara sosioekonomi tidak menguntungkan bisanya terjadi selama masa bayi
dan masa anak awal. Pada populasi yang lebih makmur di Negara-negara industri,
infeksi selama masa anak masih paling sering, tetapi sekitar sepertiga kasus terjadi
selama remaja dan masa dwasa muda. Infeksi primer EBV pada remaja dan dewasa
nampak pada 50% kasus atau lebih dengan 3 serangkai klasik: kelelahan, faringitis, dan
limfadenopati menyeluruh yang merupakan manifestasi klinis major mononucleosis
infeksiosa.1

2.6.Biologi molekular Virus Epstein-Barr(EBV)


Virus Epstein -Barr merupakan herpesvirus dengan panjang 184 -kbp, untaian
ganda genom DNA yang mengkode >85 gen. Genom virus terdiri dari 0,5 kb terminal
dengan pengulangan pada tiap akhir dan interna untaian, yang membagi genom menjadi
urutan domain pendek dan panjang dari kapasitas kode (Peh, 2003; Thompson, 2004).
Virus Epstein -Barr juga disebut sebagai ly mphoc ryptov irus, karena virus ini
menghasilkan (Human Herpes Virus/HHV -4 Immortalized Lymphoblastoid Cell Lines).
Virus Epstein-Barr mengekspresikan enam protein inti: EBV nuclear antigen (EBNA) -
1,2,3A,3B,3C dan leader protein (EBNA-LP) ;tiga latent membrane protein (LMP)-
1,2A,2B; dan dua jenis small untranslated RNA yang dikenal EBV encoded RNA
(EBER) -1 dan 2(Peh, 2003). LMP-1 adalah protein trans membran dengan 63 kDa
fosfoprotein yang terdiri dari 3 domain, yang dibutuhkan untuk mentransformasi Rat-1
fibroblas. Virus Epstein-Barr seringkali dihubungkan dengan transformasi sel ganas,

5
melalui aksi onkoprotein LMP-1, yang timbul selama infeksi virus (Gonzales, 2002).
LMP dan EBNA 2 mengaktifasi sekresi dari molekul adhesi dari LFA-1, LFA-3 dan
ICAM 1 dan CD23 FCR11 dan reseptor transferin pada sel limfoblastoid.
EBV-1 dan EBV-2 berbeda secara biologis dan distribusi geografis, walaupun
tidak ditemukan perbedaan nyata dari penyakit yang ditimbulkan. Seseorang dapat
terinfeksi oleh lebih dari satu jenis virus Epstein-Barr. EBV-1 ditemukan lebih sering
pada sebagian besar populasi. EBV-2 ditemukan dalam jumlah yang hampir sama
dengan EBV-1 di negara New Guinea. Penyebaran limfoma Burkitt dan malaria
holoendemic umumnya terjadi di Afrika. Hampir separuh tumor limfoma Burkitt di
Afrika mengandung EBV-2. Sedangkan 85% karsinoma nasofaringeal di Taiwan
mengandung EBV-1 . Pasien dengan defisiensi imun mengalami infeksi dari kedua
subtipe virus Epstein-Barr. Kondisi defisiensi imun yang telah

2.7.Infeksi virus Epstein-Barr(EBV)


Infeksi virus Epstein-Barr pada limfosit B diduga terjadi pada organ limfoid
orofaring, dan pada carrier yang normal, virus tersebut menetap pada sel memori
limfosit B yang beredar di sirkulasi. Secara alami limfotropik B yang terinfeksi virus
Epstein-Barr mempunyai kemampuan membuat limfosit B yang normal menjadi
immortal secara in vitro dan mengubahnya secara permanen menjadi galur sel
limfoblastoid. Virus menyebar ke dalam saliva secara terus-menerus selama infeksi
primer, dan kondisi ini dapat terjadi bertahun-tahun. Sekali virus sudah berkoloni di
kompartemen limfosit B, reaktivasi dapat terjadi di mukosa manapun yang mengandung
limfosit B.
Infeksi virus Epstein-Barr pada sel epitel merangsang aktifasi siklus litik dan
replikasi virus. Pada sel B, virus Epstein-Barr tidak bereplikasi dan bahkan menunggu
selesainya infeksi laten (Thorley-Lawson, 2005). Selama infeksi laten gen virus
Epstein-Barr terekspresi yaitu, 6 buah antigen nukleus virus Epstein-Barr (EBNA 1-6)
dan 3 buah latent membran protein (LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B) dan juga dua buah
non-polyadenylated RNA virus Epstein-Barr (EBERs) (Kieff & Rickinson,2001). Pada
infeksi laten seluruh gen virus Epstein-Barr yang terekspresi membuat sel B
terproliferasi. Aktifnya sel B oleh virus Epstein-Barr melalui reaksi germinal centre
(GC) dimana beberapa gen saja yang terlibat (Babcock & Thorley Lawson, 2000). Pada
reaksi germinal centre (GC) sel B mengalami penukaran isotop dan mutasi gen
immunoglobulin. Berdasarkan afinitas ikatan antig terhadap permukaan sel B dan sinyal

6
dari sel T-helper, maka beberapa sel normal B mengalami reaksi GC akan menjadi sel
B biasa sedangkan yang lain menjadi sel B memori.

Gambar Infeksi virus Epstein-Barr (dikutip dari Fleisch dan Warren, 2003)
Masuknya virus Epstein-Barr pada epitel kolon kemungkinan terjadi setelah fase
latens akhir virus Epstein-Barr pada limfosit B .Sel limfosit B yang immortal dan
mengandung banyak partikel virus Epstein-Barr akan segera lisis, melepaskan partikel
virus Epstein-Barr dan mengadakan reinfeksi ke sel epitel kolon melalui berbagai jalur.
Kehadiran virus Epstein-Barr pada epitel kolon bersama-sama dengan faktor-faktor lain
akan bersama- sama memunculkan fenotipe malignan (Budiani et.al, 2005).
Kemampuan virus onkogenik ini dalam menginfeksi sel-sel epitel pada fase
litiknya, tidak hanya terbatas pada epitel orofaring, tetapi juga pada epitel kolorektal
(Budiani et.al, 2005). Hal ini disebabkan epitel kolorektal memiliki reseptor khusus
yang memungkinkan virus Epstein-Barr dapat berinteraksi dan selanjutnya mampu
menginfeksi sel epitel mukosa kolorektal. Budiani et al, (2005) dalam penelitiannya
tingkat ekspresi LMP-1 berhubungan dengan stadium klinik a,b,dan c pada karsinoma
kolorektal menunjukkan bahwa sebanyak 15 sampel atau 100% mengekspresikan LMP-
1 dengan makna positif sedang dan juga didapatkan tingkat ekspresi LMP-1 dengan
nilai tampilan kuantitatif berbeda secara signifikan antar stadium Duke A, B dan C.
sebelumnya ( HIV atau malaria) berperan pentingbagi kemampuan
EBV-2 untuk menginfeksi limfosit B dan menyebabkan transformasi.
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa hemophilia yang terinfeksi HIV memiliki
tingkat infeksi EBV-2 lebih rendah dibandingkan homoseksual HIV. Hal ini
menunjukkan adanya superinfeksi EBV-2 berkaitandengan defisiensi imun pada
pasien tersebut (Thompson, 2004).

7
2.8.Patogenesis Virus Epstein-Barr(EBV)
EBV mempunyai sifat khas yaitu hanya menyerang sel tertentu yaitu sel limfosit
B. akhir-akhir ini EBV dapat diisolasi dari secret nasofaring, diduga virus ini dapat
menimbulkan infeksi pada epitel saluran nafas. EBV akan memasuki sel limfosit B,
didalam sitoplasma envelop virus akan dilepaskan kemudian virus masuk ke dalam inti
sel sehingga dengan demikian akan mempengaruhi sifat genetik sel tersebut.
Setelah masa inkubasi yang berkisar antara 2-7 minggu, pada umumnya sekitar
1% dari sel limfosit B telah terinfeksi oleh EBV. Proliferasi ringan dari limfosit B
terjadi pada minggu pertama dan kedua masa sakit, selanjutnya hal tersebut akan
menghilang dan diganti oleh respon imun seluler berupa peningkatan aktivitas natural
killer cell, sel-T sitotoksik dan sel T supresor. Sel limfosit T yang merupakan respon
terhadap adanya infeksi EBV. Melalui peningkatan aktivitas imunitas seluler iniakan
terjadi pengurrangan jumlah virus yg bersirkulasi.
Pada kasus gangguan imunitas baik bawaan maupun di dapat respon imunologi
terhadap infeksi primer atau infeksi kronik oleh EBV mungkin tidak akan ade kuat
dengan akibat terjadinya proliferasi sel limfosit B yang tidak terkontrol. Secara
histologist proliferasi ini bias bersifat pleomorfik yang di kenal sebagai bentuk penyakit
limfoproliferatif, atau bisa mempunyai gambaran yang hamper seragam yang di sebut
gambaran limfoma.

2.9.Manifestasi Klinis Virus Epstein-Barr(EBV)


Masa inkubasi mononucleosis infeksiosa pada remaja adalah 30-50 hari. Pada
anak masa inkubasi ini mungkin lebih pendek. Sebagian besar kasus infeksi EBV
primer pada bayi dan anak muda secara klinis tenang. Pada penderita yang lebih tua,

8
mulainya penyakit biasanya diam-diam dan samar-samar. Penderita mungkin mengeluh
malaise, mual, nyeri perut dan mialgia. Masa prodromal ini berakhir 1-2 minggu.
Keluhan nyeri tenggorok dan demam sedikit demi sedikit bertambah sampai penderita
mencari perawatan medic. Pembesaran limfa mungkin cukup cepat untuk menyebabkan
rasa tidak enak dan nyeri perut kuadran atas kiri, yang dapat menimbulkan keluhan.
Pemeriksaan fisik ditandai dengan limfadenopati menyeluruh (90%),
splenomegali (50%), dan hepatomegali (10%). Limfadenopati terjadi paling sering pada
limfonodi servikal anterior dan posterior, limfonodi submandibula, serta kurang sering
limfonodi aksilaris dan inguinalis. Limfadenopati epitrokhanter terutama member kesan
mononucleosis infeksiosa. Hepatitis bergejala atau ikterus tidak lazim. Splenomegali
sampai 2-3 cm dibawah arkus kosta adalah khas; pembesaran masif tidak lazim.
Nyeri tenggorok sering disertai oleh faringitis sedang sampai berat dengan
pembesaran tonsil yang mencolok, kadang-kadang dengan eksudat. Ptechie pada
persambungan palatum lunak (molle) dan keras (durum) sering ditemukan. Faringitis
menyerupai radang yang disebabkan oleh infeksi streptokokus. Penemuan klinis lain
dapat meliputi ruam dan edema kelopak mata, ruam biasanya makulopapuler.1

2.10.Komplikasi Virus Epstein-Barr(EBV)


Pada lebih dari 50% penderita, terjadi pembesaran limpa. Hati bisa sedikit
membesar. Sakit kuning dan pembengkakan di sekitar mata agak jarang terjadi.
Ruam di kulit jarang ditemukan, tetapi pada suatu penelitian, penderita yang
mendapatkan ampisilin akan membentuk ruam. Komplikasi lainnya adalah peradangan
otak (ensefalitis), kejang, kelainan saraf, peradangan selaput otak (meningitis) dan
kelainan tingkah laku. Limpa bisa terluka dan pecah. Jika hal ini terjadi perlu dilakukan
pembedahan darurat untuk mengangkat limpa. Walalupun jarang, kelenjar getah bening
leher yang membesar bisa menekan saluran pernafasan. Bisa terjadi penyumbatan paru-
paru, tetapi sering tanpa gejala.3

2.11.Diagnosis Banding Virus Epstein-Barr(EBV)


Faringitis streptokokus dapat menyebabkan nyeri tenggorok dan limfadenopati
servikal yang tidak dapat dibedakan dengan limfadenopati mononucleosis infeksiosa
tetapi tidak disertai dengan hepatosplenomegali. Cytomegalovirus (CMV)
Mononucleosis:Kasus lebih tua, febris & malaise lebih berat daripada MI E-B, Heterofil
negative.

9
2.12.Penegakan Diagnosis Virus Epstein-Barr(EBV)
Karena spectrum manifestasi klinis yang disebakan oleh infeksi EBV sangat
luas, maka diagnosisnya ditegakkan atas dasar pemeriksaan laboratorium yaitu :
a. Pemeriksaan jumlah dan morfologi leukosit
Penderita mononucleosis infeksiosa pada umumnya menunjukkan adanya
limfositosis absolute (>50% limfosit) pada >80% kasus dan ditemukan
banyak limfosit atipik 20 – 24% serta Leukocytosis SDP 10,000-20,000 /mL
pada 40-70% kasus.

b. Pemeriksaan antibody heterofil


Yang di maksud dengan antibody heterofil adalah antibody yang
mempunyai kemampuan untuk bereaksi dengan antigen lain yang berbeda
dengan antigen spesifik yang menyebabkan produksi antibody tersebut. 60–
90% positif pada minggu ke 2–3.

Fig 3.1. Schematic representation of the evolution of antibodies to various


Epstein-Barr virus antigens in patients with infectious mononucleosis.
Reprinted with permission from American Society for Microbiology.
Manual of Clinical Laboratory Immunology. Rose NR, de Macario EC,
Folds JD, eds. Washington, DC: American Society for Microbiology;
1997:Fig 165–73

c. Pemeriksaan antibody terhadap antigen EBV


Penegakkan diagnosis infeksi EBV dengan pemriksaan serologic ini hanya
dilakukan pada penderita dengan manifestasi klinis yang atipik, penyakit

10
dengan gangguan limfo proliferative, penyakit berat dengan antibody
heterofil yang negative dan penyakit berkepanjangan. Antibody terhadap
antigen kapsid virus terdiri dari Ig M anti VCA dan Ig G anti VCA.
Antibody terhadap antigen nucleus virus (anti EBNA = anti Eipstein Barr
nuclear antigen)dibentuk pada masa konvalesens dan bertahan lama di
dalam tubuh2.

Table 3.4. Serum Epstein-Barr Virus (EBV) Antibodies in EBV Infection

Infection VCA IgG VCA IgM EA (D) EBNA

No previous infection
Acute infection + + +/
Recent infection + +/ +/ +/
Past infection + +/ +

VCA IgG indicates immunoglobulin (Ig) G class antibody to viral capsid antigen;
VCA IgM, IgM class antibody to VCA; EA (D), early antigen diffuse staining; and
EBNA, EBV nuclear antigen. 3

2.13. Penatalaksanaan Virus Epstein-Barr(EBV)


Tidak ada pengobatan spesifik untuk mononucleosis infeksiosa. Terapi dengan
dosis tinggi asiklovir intravena menurunkan replikasi virus dan pelepasan orofaring
selama masa pemberian tetapi tidak mempengaruhi keparahan gejala atau perjalanan
klinis akhirnya. Asiklovir diberikan 800 mg PO 5kali/hari untuk 10 hari, 10
mg/kg/dose IV q8h untuk 7-10 hari.5 Terapi istirahat dan simtomatik merupakan dasar
manajemen. Tirah baring diperlukan hanya bila penderita menderita kelelahan yang
melemahkan.
Pemberian kortikosteroid singkat (kurang dari 2 minggu) dapat membantu untuk
komplikasi mononucleosis infeksiosa, tetapi penggunaannya belum dievaluasi secara
kritis. Beberapa indikasi yang tepat termasuk obstruksi jalan nafas yang baru mulai,
trombositopeni dengan perdarahan, anemia hemolitik autoimun, dan kejang-kejang
serta meningitis. Dosis prednison yang dianjurkan adalah 1 mg/kg/24jam (maksimum
60mg/24jam) atau ekuivalen selama 7 hari dan dikurangi perlahan-lahan selama 7 hari
berikutnya. Tidak ada data terkontrol yang menunjukkan kemajuran kortikosteroid pada
setiap keadaan ini. Mengingat kemungkinan dan bahaya imunosupresi yang tidak

11
diketahui pada infeksi virus dengan komplikasi inkogen, kortikosteroid tidak boleh
digunakan pada kasus mononucleosis biasa.1
2.14.Pencegahan Virus Epstein-Barr(EBV)
Meskipun kebersihan seseorang itu baik, khususnya di antara anak belasan
tahun, virus Epstein-Barr di mana-mana, dan kontak ke itu secara menyeluruh tidak bisa
dihindari. Orang dengan mononukleosis tidak perlu diisolasikan dari orang lain. Vaksin
untuk melawan EBV sekarang ini tidak ada. 4
2.15.Prognosis Virus Epstein-Barr(EBV)
Secara umum Mononukleus infeksiosa merupakan penyakit yang dapat sembuh
sendiri dan infeksi biasanya menghilang di dua sampai empat minggu. Prognosis untuk
penyembuhan sempurna sangat baik jika tidak terjadi komplikasi selama penyakit akut.
Serangan kedua monokleosis infeksiosa yang disebabkan EBV belum terdokumentasi.
Kelelahan, malaise dan beberapa kecacatan yang mungkin bertambah besar dan
menyusut selama beberapa bulan merupakan keluhan biasa bahkan pada kasus lain
yang tidak luar biasa. Kadang kelelahan menetap selama beberapa tahun sesudah
mononucleosis infeksiosa juga ada.

12
BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
EBV(Epstein-Barr Virus) anggota herpesviridae tipe gamma pada
manusiav (parasit pada manusia), menyebabkan lebih dari 90% kasus mononucleosis
infeksiosa. Adapun 5-10% penyakit seperti mononucleosis infeksiosa disebabkan oleh
CMV, Toxoplasma gondii, adenovirus, hepatitis virus, HIV, dan mungkinvirus rubella.
Virus ini menyerang sel limfosit B. pemeriksaan untuk Virus Epstein Barr(EBV) adalah
Pemeriksaan jumlah dan morfologi leukosit, antibody terhadap antigen EBV dan
antibody heterofil. Meskipun kebersihan seseorang itu baik, khususnya di antara anak
belasan tahun, virus Epstein-Barr di mana-mana, dan kontak ke itu secara menyeluruh
tidak bisa dihindari. Orang dengan mononukleosis tidak perlu diisolasikan dari orang
lain. Vaksin untuk melawan EBV sekarang ini tidak ada.

13
DAFTAR PUSTAKA

 Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu Kesehatn Anak. Jakarta. EGC. 1996.


 Brook, Geo F. ,dkk, 2005, Mikrobiologi Kedokteran jilid 2, Jakarta: Salemba Medika, p.
103-108
 Budhy S. , Theresia Indah, 2005, Ekspresi Produk Gen Laten Virus Epstein-Barr pada
Karsinoma Sel Skuamosa Mulut, http:// www.journal.unair.ac.id, akses 2 Februari 2008
 Budiyanto, Moch. Agus Krisno, 2002, Mikrobiologi Terapan, Malang: UMM Press, p.
139-143
 Soedarmo S, Gama Herry, Hadinegoro S. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan
Penyakit Tropis. Jakarta. Balai Penerbit FK UI. 2010.

14

Anda mungkin juga menyukai

  • QC Dapus
    QC Dapus
    Dokumen15 halaman
    QC Dapus
    Nadzar Canggih Hendro
    Belum ada peringkat
  • Lampiran 9
    Lampiran 9
    Dokumen5 halaman
    Lampiran 9
    Nadzar Canggih Hendro
    Belum ada peringkat
  • Vibrio SP 9
    Vibrio SP 9
    Dokumen30 halaman
    Vibrio SP 9
    Nadzar Canggih Hendro
    Belum ada peringkat
  • Vibrio SP 9
    Vibrio SP 9
    Dokumen30 halaman
    Vibrio SP 9
    Nadzar Canggih Hendro
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen17 halaman
    Cover
    Nadzar Canggih Hendro
    Belum ada peringkat