Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mata adalah jendela dunia. Segala yang terpapar di dunia akan bisa kita nikmati
bila mata kita sehat. Mata dikatakan sehat apabila fungsinya sempurna sebagai indera
penglihatan. Tak terbayangkan apa yang terjadi jika Tuhan tidak menganugerahkan
mata kepada kita. Dunia tentu akan gelap gulita. Meski memiliki fungsi yang sangat
vital, namun tidak semua orang bisa menjaga organ matanya agar tetap sehat. Disadari
atau tidak, banyak hal yang menyebabkan mata terganggu. Hal ini bisa disebabkan
oleh faktor pekerjaan, kondisi lingkungan maupun kebiasaan.1
Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Dr. Sri Astuti
Soeparmanto, MSc.PH mengatakan, sekitar 3,1 juta (1.5%) penduduk Indonesia saat
ini mengalami kebutaan. Penyebab kebutaan yang terbesar adalah karena katarak
(0,78%), glaucoma (0,20%), kelainan refraksi (0,14%), gangguan retina (0,13%) dan
kelainan kornea (0,10%). Data tersebut berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 1993-1996 walaupun sudah 10 tahun tetapi data tersebut masih valid. 2
Berdasarkan data 2006, menurut Ketua Komnas Penanggulangan Gangguan
Penglihatan dan Kebutaan (PGPK) Tjahjono D. Gondhowiardjo, Indonesia menempati
peringkat tertinggi di Asia dalam angka kebutaan. Salah satu penyebab kebutaan
khususnya pada anak-anak adalah seringnya bermain game di TV.2
Survei morbiditas (angka perbandingan orang sakit) yang dilakukan
Departemen Kesehatan 2002 menunjukkan, kelainan refraksi termasuk gangguan
paling menonjol diantara deretan 10 penyakit mata utama. Demikian juga di kalangan
anak-anak berdasarkan survei mata pada 100 SD di wilayah Jakarta yang
diselenggarakan Dinas Kesehatan DKI bekerja sama dengan Perdami Jaya 2002-2005.
Hasilnya 11,67 % murid SD menderita kelainan refraksi.3
Berdasarkan hasil penelitian poliklinik bagian mata Rumah Sakit Sardjito
bermain komputer adalah penyebab utama gangguan rabun jauh (miopia) yang diderita
oleh anak usia sekolah dasar. Penelitian yang dilakukan selama enam bulan pada 2006
lalu menyebutkan angka prevalensi gangguan rabun jauh atau miopia pada anak SD (7-
13 tahun) mencapai 8,29 persen. Penelitian dilakukan kepada 2.268 siswa SD dari 23

1
sekolah di DIJ. Sebanyak 12 SD dari perkotaan dan 11 SD dari pedesaan. Selain itu
juga dihasilkan prevalensi di SD perkotaan 9,49 persen dan prevalensi di SD pedesaan
6,87 persen. Dari keseluruhan penderita miopia, sebanyak lima persennya tergolong
penderita parah (ukuran kacamata lebih dari lima dioptri).
Menurut Kepala Poliklinik Bagian Mata Rumah Sakit Sardjito dr Agus Supartoto
sebagian besar penderita miopia adalah anak-anak di daerah perkotaan. Selain itu, 30
persen penderita miopia berasal dari keluarga mampu atau kelas ekonomi menengah ke
atas.4
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Pendidikan Profesi
Dokter Umum FKUI, Jakarta yang sedang menjalani kepaniteraan Ilmu Kedokteran
Komunitas Bidang Pediatri Sosial di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pada
Februari 2006 tentang prevalensi (kejadian) miopia pada 127 siswa kelas V dan VI SD
di Manggarai, Jakarta Selatan, didapatkan dari 127 anak, hanya 31 persen anak yang
memiliki tajam penglihatan normal 6/6 atau lebih (artinya dengan jarak lihat 6 meter
dapat membaca huruf pada Snellen chart yang seharusnya dapat dibaca pada jarak 6
meter atau kurang). Enam puluh anak (47 persen) menderita miopia dan sisanya (22
persen) mengalami kelainan refraksi nonmiopia maupun kelainan organik yang
memang tidak dinilai pada penelitian ini.5
Prevalensi 47 persen ini hampir serupa dengan penelitian lain pada 37 siswa
kelas VI SD di daerah Menteng (Julie DB, 2004) dengan prevalensi miopia 49 persen.
Pada penelitian pendahuluan yang dilakukan pada 36 siswa SD kelas V dan VI di
daerah Paseban, Jakarta, juga mendapatkan hasil mirip, yakni 44,4 persen anak
mengalami miopia, meskipun anak dengan tajam penglihatan normal sedikit lebih
tinggi, yaitu 41 persen. Ketiga hasil prevalensi yang lebih kurang sama (44 persen-49
persen) dari tiga daerah yang berbeda itu saling menguatkan tingginya prevalensi
miopia pada anak sekolah di Jakarta. 5
Pada penelitian tersebut, hampir seluruh murid (94,5 persen) memiliki televisi.
Hanya 39,4 persen anak memiliki videogame, tetapi sebagian besar memiliki akses
terhadap rental videogame (70, 1 persen). Meskipun hanya sedikit anak yang memiliki
komputer (15, 7 persen), akses terhadap rental komputer cukup tinggi (56,7 persen).
Tingginya akses terhadap media visual ini apabila tidak diimbangi dengan pengawasan
terhadap perilaku buruk, seperti jarak lihat yang terlalu dekat serta istirahat yang
kurang, tentunya dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya miopia.5

2
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dan tingginya akses media elektronik
visual pada anak usia sekolah serta efek yang ditimbulkannya maka peneliti
tertarik untuk membuat penelitian mengenai ada tidaknya hubungan antara
penggunaan media elektronik visual terhadap timbulnya miopia.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1.3.1 Apakah ada hubungan penggunaan media elektronik visual terhadap
timbulnya miopia pada siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh.
1.3.2 Seberapa besar kemungkinan penggunaan media elektronik visual
secara benar dapat mengurangi timbulnya miopia pada siswa SMA
Negeri 4 Banda Aceh yang menggunakan media elektronik visual.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan penggunaan media elektronik visual
terhadap timbulnya miopia pada siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh.
1.4.2 Tujuan Khusus
Untuk mengetahui Odd Ratio miopia pada siswa SMA Negeri 4 Banda
Aceh yang tidak sering menggunakan media elektronik visual.
1.5 Hipotesis
Terdapat hubungan antara penggunaan media elektronik visual terhadap
kejadian timbulnya miopia.

1.6 Manfaat Penelitian


1.6.2 Sebagai informasi kepada semua kalangan yang membaca penelitian ini
tentang ada tidaknya efek miopia yang ditimbulkan akibat penggunaan
media elektronik visual.
1.6.3 Memberikan sumbangan pemikiran dan bahan masukan bagi penelitian
lebih lanjut.

1.7 Ruang Lingkup


Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 4 Banda Aceh dengan mengambil data
primer dari siswa sejak tanggal 23 – 30 April 2007.

3
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Miopia
2.1.1 Definisi Miopia
Merupakan keadaan refraksi mata, dimana sinar sejajar yang datang dari jarak
tak terhingga, oleh mata dalam keadaan istirahat , dibiaskan di depan retina, sehingga
pada retina didapatkan lingkaran difus dan bayangan kabur. Cahaya yang datang dari
jarak yang lebih dekat, mungkin dibiaskan tepat di retina, tanpa akomodasi.6

2.1.2 Epidemiologi
Miopia tidak sering pada bayi dan anak prasekolah. Insiden miopia meningkat
selama selama tahun-tahun sekolah, terutama sebelum dan pada usia sepuluhan.
Tingkat miopia semakin tua juga cenderung meningkat selama tahun-tahun
pertumbuhan.7
Pada anak, kelainan refraksi (pembiasan cahaya) merupakan penyebab utama
gangguan tajam penglihatan, yang sekitar 90 persennya merupakan miopia (rabun
jauh).5
Prevalensi penderita gangguan refraksi di seluruh dunia berkisar 800 juta
hingga 2,3 milyar orang. Di beberapa negara seperti Jepang, Singapura dan RRC, 44%
dari populasi penduduk usia dewasa mengalami miopia.8
Di Australia, prevalensi miopia diperkirakan mencapai 17 %. Dari penelitian
didapatkan 1 dari 10 penduduk Australia yang berusia antara 4 hingga 12 tahun telah
mengalami miopia lebih dari – 0,5 D.8
Berdasarkan penelitian tahun 2005 di Brazil, didapatkan bahwa 6,4 %
penduduk Brazil yang berusia antara 12 hingga 59 tahun mengalami miopia -1,00 D
atau lebih. Serta didapatkan 1 dari 8 pelajarnya mengalami miopia.8
Di Perancis, prevalensi miopia pada pelajar usia 15 – 18 tahun didapatkan
mencapai 36,8 %. Sementara di Amerika Serikat, prevalensi miopia didapatkan
sebanyak 20 %, dimana 1 dari 10 penduduk Amerika yang berusia 5 hingga 17 tahun
mengalami miopia.8
2.1.3 Pembagian Miopia 6
Menurut penyebabnya dibedakan :

4
a. Miopia Aksial
Disebabkan jarak anterior posterior terlalu panjang. Dapat merupakan
kelainan kongenital ataupun akwisita, juga ada faktor herediter. Yang
kongenital didapatkan pada makrofthalmus.
Sedangkan yang akwisita terjadi bila :
- Anak membaca terlalu dekat, maka ia harus berkonvergensi
berlebihan. M.rektus internus berkontraksi berlebihan, bola mata
terjepit, oleh otot-otot mata luar, yang menyebabkan polus posterior
mata memanjang.
- Muka yang lebar juga menyebabkan konvergensi berlebihan, bila
hendak mengerjakan pekerjaan dekat, sehingga menimbulkan hal
yang sama seperti di atas.
- Bendungan, peradangan atau kelemahan dari lapisan yang
mengelilingi bola mata disertai dengan tekanan yang tinggi,
disebabkan penuhnya vena dari kepala, akibat membungkuk, dapat
menyebabkan tekanan pula pada bola mata, sehingga polus
posterior menjadi memanjang.
b. Miopia Pembiasan
Penyebabnya dapat terdapat pada:
- Kornea : kongenital, keratokonus dan keratoglobus.
- Lensa : Lensa terlepas dari Zonula Zinni, pada luksasi lensa
atau subluksasi lensa, oleh kekenyalannya sendiri
lensa menjadi lebih cembung. Pada katarak imatur,
akibat masuknya humor akueus, lensa menjadi
cembung.
- Cairan mata : Pada penderita diabetes mellitus yang tak diobati,
kadar gula dari humor akueus meninggi, menyebabkan
daya biasnya meninggi pula.

2.1.4 Tanda-Tanda Miopia


Tanda Objektif 6

5
Oleh karena orang miopia jarang melakukan akomodasi, maka jarang miosis,
jadi pupilnya midriasis. Mm. Siliarisnya pun menjadi atrofi, menyebabkan iris
letaknya lebih ke dalam, sehingga bilik mata depan menjadi lebih dalam.
Pada miopia tinggi didapatkan :
a. Bola mata lebih menonjol
b. Bilik mata depan yang dalam
c. Pupil relatif lebih lebar
d. Iris tremulans yang menyertai mencairnya badan kaca
e. Kekeruhan badan kaca (obscurasio corpori vitrei)
f. Kekeruhan di polus posterior lensa
g. Stafiloma posterior, fundus trigoid di polus posterior retina
h. Atrofi koroid berupa fresen miopía atau anular match, di sekitar papil,
berwarna putih dengan pigmentasi di pinggirnya.
i. Perdarahan, terutama di daerah makula, yang mungkin masuk ke dalam badan
kaca.
j. Proliferasi sel epitel pigmen di daerah makula (Forster Fuchs black spot)
k. Predisposisi untuk ablasi retina
Pada miopia simplek didapatkan :
a. Mata lebih menonjol
b. Bilik mata depan yang dalam
c. Pupil yang relatif lebar tetapi tidak disertai kelainan di bagian posterior mata.
d. Dapat terlihat kresen miopia yang tampak putih di sebelah temporal papil,
sedikit atrofi dari koroid yang superfisial, sehingga pembuluh darah koroid
yang lebih besar tampak lebih jelas membayang.

Tanda Subjektif 6
Penderita senang melakukan pekerjaan-pekerjaan dekat, tetapi mengeluh
tentang penglihatan jauh yang kabur. Pada miopia tinggi, terutama bila disertai dengan
astigmatisme, penderita tak saja mengeluh pada penglihatan jauh, tetapi juga pada
penglihatan dekat, oleh karena harus melakukan konvergensi berlebihan, sebab
pungtum remotum, yaitu titik terjauh yang dapat dilihat tanpa akomodasi, letaknya
dekat sekali, pada miopia S(-)6D, titik ini terletak pada jarak 100/6 = 16 cm. Pada titik
ini ia tidak berakomodasi, tetapi berkonvergensi kuat sekali, sehingga pada mata

6
timbul astenovergens dengan keluhan : lekas capai, pusing, silau, mengantuk, melihat
kilatan cahaya. Pada miopia tinggi, disertai mata menonjol, bilik mata yang dalam dan
pupil yang lebar, penderita mencoba menutup sebagian kelopak matanya, untuk
mengurangi cahaya yang masuk, sehingga penderita tak mencobanya lagi, dengan
mengakibatkan strabismus divergens. Strabismus divergens dapat pula timbul akibat
penderita sedikit melakukan akomodasi, sehingga kurang pula melakukan konvergensi.

2.1.5 Prognosis :

Miopia simpleks, dengan koreksi yang baik, disertai dengan pemeliharaan


kesehatan mata dan badan yang baik, prognosisnya baik. Miopia progresif, yang
disertai penyulit yang gawat, kadang-kadang membutuhkan pengurangan bahkan
penghentian dari pekerjaan dekat. Miopia maligna prognosisnya buruk. 6

2.1.6 Koreksi :

Dilakukan dengan pemberian lensa sferis negative (S-) sekecil-kecilnya (K),


yang memberikan perbaikan visus yang maksimal (M).6

Pada umumnya, untuk miopia ringan atau sedang, diberikan koreksi penuh
yang harus dipakai terus menerus baik untuk penglihatan jauh maupun dekat.
Dengan demikian mata dalam keadaan yang normal baik visus maupun
akomodasinya. Untuk orang dewasa, dimana kekuatan miopianya kira-kira sama
dengan derajat presbiopnya, mungkin dapat membaca, dengan menanggalkan
kacamatanya. Pada miopia tinggi, mungkin untuk jauh diberikan pengurangan

7
sedikit dari koreksi penuh, untuk dekat 2/3 dari koreksi penuh, untuk mengurangi
efek prisma dari lensa yang tebal. 6

2.2. Metode Refraksi

Penentuan koreksi refraktif seorang pasien dapat diperoleh dengan cara


objektif atau subjektif dan paling baik apabila dicapai melalui kombinasi kedua
metode tersebut.

a. Refraksi Objektif 9

Refraksi objektif dilakukan dengan retinoskopi. Seberkas cahaya, yang


dikenal sebagai intercept, diproyeksikan ke mata pasien untuk menghasilkan
pantulan berbentuk sama, reflek retinoskopik, di pupil. Kesejajaran antara intercept
dan reflek retiskopik menandakan adanya hanya kesalahan sferis, atau kesalahan
silindris tambahan dengan intercept bersesuaian dengan salah satu meridian utama.
Rotasi berkas yang diproyeksikan akan menentukan yang mana yang berlaku dan
letak meridian utama lainnya pada kasus kesalahan silindris.

Intercept kemudian disapukan melintasi pupil pasien dan efek pada reflek
retinoskopik dicatat. Apabila efek tersebut begerak dalam arah yang sama (bersama
gerakan), maka ditempatkan lensa plus di depan mata pasien; dan apabila efek
tersebut bergerak dalam arah yang berlawanan (melawan gerakan), maka
ditambahkan lensa minus sampai reflek pupil mengisi seluruh apertura pupil dan
tidak lagi terdeteksi adanya gerakan (titik netralisasi). Apabila titik netralisasi telah
tercapai, maka kesalahan refraktif pasien telah dikoreksi dengan suatu koreksi
tambahan yang berkaitan dengan jarak anatara pasien dan pemeriksa (jarak kerja).
Daya sferis yang setara dengan kebalikan dari jarak kerja (diukur dalam meter)
dikurangi untuk mengkompensasi koreksi tambahan ini dan memperoleh koreksi
reraktif pasien. Jarak kerja biasanya 2/3 m, dan dengan demikian koreksi yang harus
dikurangi untuk jarak kerja biasanya 1,5 D

Tersedia refraktor otomatis yang dapat dengan cepat menentukan refraksi


objektif, tetapi alat ini kurang bermanfaat pada anak atau pada orang dewasa dengan
penyakit segmen anterior yang cukup berat.

8
b. Refraksi Subjektif 10
Kira-kira pada tahun 1854 orang telah mulai menyelidiki ketajaman
penglihatan (visus) dengan menggunakan huruf-huruf dari berbagai ukuran. Pada
tahun 1862 Snellen telah membuat “Optotype” (model huruf) yang didasarkan pada
pendapat Donders, bahwa suatu mata masih dapat terlihat dalam sudut sekurang-
kurangnya 10 (sudut penglihatan minimal). Dengan menggunakan Snellen Chart
maka dapat dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan sebagai berikut:
1. Ketajaman penglihatan ini diperiksa untuk masing-masing mata. Salah satu
mata ditutup dengan sebuah penutup yang dipasang pada gagang (frame)
kacamata. Kemudian orang yang akan diperiksa duduk pada suatu jarak
tertentu (d) dari lembaran huruf Snellen Chart.
2. Dilakukan pemeriksaan barisan-barisan huruf yang masih dapat dikenal
sampai pada barisan huruf yang terkecil
3. Dilakukan pencatatan ketajaman penglihatan (visus) dari mata itu. Ketajaman
penglihatan ini dinyatakan dengan rumus Snellen :
V=d/D
dimana, V = visus (ketajaman penglihatan)
d = Jarak mata orang yang diperiksa dari Snell Chart (meter)
D = Ukuran jarak dimana mata normal masih dapat mengenal
barisan huruf pada Snellen Chart (ukurannya dicantumkan pada
pinggir masing-masing barisan huruf)
Biasanya dipilih jarak d = 6, sebab objek yang terlihat oleh mata dan
berjarak 6 m atau lebih dari mata akan difokuskan di retina mata olehmedia
refrakta tanpa akomodasi.
Untuk menilai daya refraksi (pembiasan cahaya) dari mata maka
dapat dipergunakan lensa percobaan (berbagai ukuran) dengan cara :
1. Pemeriksaan refraksi untuk masing-masing mata. Orang pemeriksaan
didudukkan pada jarak 6 m dari Optotype (Snellen Chart). Dipasangkan
gagang kacamata. Sebelah mata yang tidak diperiksa ditutup dengan
penutupnya.
2. Orang percobaan diperintahkan untuk membaca barisan huruf pada Snellen
Chart sampai pada barisan terkecil yang masih dapat dibaca dan dicatat
hasilnya.

9
3. Bila orang percobaan dapat mengenal barisan huruf sampai ukuran terkecil
(ukuran 6 m) maka visusnya adalah 6/6. Dilakukan pengujian apakah mata
tersebut benar-benar emetrop dengan pemasangan lensa sferis + 0,25 D
4. Jika visusnya (tanpa lensa) sekurang-kurangnya sudah 6/6, maka praktis tidak
mungkin Miopia (M) dan mata tersebut adalah Emetrop (E) tanpa akomodasi.
Oleh karena itu pemeriksaan refraksi ini kita mulai dengan sebuah lensa
sferis + 0,25 D. Dengan lensa ini mata E akan menjadi miop (miop buatan)
dan visusnya menjadi lebih kecil. Tetapi mata hipermetrop akan tertolong
dengan lensa ini dan akan kurang berakomodasi sebesar + 0,25 D. Bila
dengan lensa + 0,25 D mata tersebut mempunyai visus yang sama, ini
menunjukkan bahwa mata tersebut sekurang-kurangnya adalah H – 0,25 D.
5. Percobaan ini diulang dengan lensa sferis + 0,5 D dan selanjutnya berturut-
turut dengan lensa yang lebih kuat (tiap kali dinaikkan 0,25 D). Lensa positif
terkuat yang didapatkan dimana visusnya maksimal adalah ukuran kekuatan
lensa untuk hipermetrop.
6. Bila visus tanpa lensa tadi kurang dari 6/6, maka mata itu biasanya adalah
Miopia. Maka dimulai mengkoreksi visusnya dengan menggunakan lensa
sferis negatif terkecil yang secara perlahan-lahan dinaikkan sebesar – 0,25 D
sampai tercapai visus terbaik. Nilai miopia ditentukan oleh lensa negatif yang
terlemah dimana diperoleh visus terbaik.

c. Refraksi Siklopegik 9
Dalam penentuan koreksi refraktif hiperopik penuh, baik dalam pelaksanaan
esotropia anak atau penilaian kelelahan mata pada hiperopia dewasa, akomodasi
perlu diatasi. Pada dewasa, hal ini biasanya dicapai dengan teknik kabut (fogging)
yang menggunakan lensa-lensa plus untuk mengatasi usaha akomodasi. Apabila
tidak, dan selalu pada anak, akomodasi harus dilemahkan dengan pemberian obat
siklopegik. Siklopentolat 1 %, 1 tetes diberikan dua kali 30 menit sebelum refraksi,
mungkin cukup, tetapi pada anak dengan iris hitam dan pada penilaian awal
esotropia akomodatif mungkin diperlukan salep atropin 0,5 % atau 1 % diberikan
dua kali sehari selama 3 hari. Orang tua harus diberitahu gejala-gejala toksisitas
atropin (demam wajah kemerahan, dan peningkatan denyut nadi) dan perlunya
penghentian segera pengobatan, pendinginan dengan mandi dan pada kasus yang
parah membawa anak segera berobat.

10
2.3. Penggunaan Media Elektronik Visual
Ilmu pengetahuan yang terus mengalami perkembangan akan senantiasa
menghasilkan produk-produk teknologi terbaru. Kemajuan teknologi akan senantiasa
diikuti oleh dampak terhadap kehidupan manusia, ada dampak positif dan ada pula
dampak negatif. 11
Media massa elektronik adalah alat atau sarana penyampaian
informasi dan pesan-pesan secara audio dan /atau visual kepada
masyarakat luas antara lain berupa radio, televisi, film, internet.12
Demikian pula halnya dengan komputer. Jika sebelum era milenium ini
komputer merupakan barang mewah, maka sekarang komputer sudah mulai
memasyarakat. Bahkan anak Taman Kanak-Kanak pun sudah mulai diajar
mengoperasikan komputer. Jika sebelum ini komputer hanya digunakan dalam
pengolahan data saja, maka sekarang berkirim surat kita hanya perlu waktu dibawah
satu menit untuk tujuan seluruh dunia dengan komputer.11

2.3.1 Komputer
Jika dulu aplikasi komputer terbatas maka sekarang aplikasinya sudah semakin
luas. Dan hal lain yang lebih menarik adalah orang sudah biasa berlama-lama berada di
depan monitor atau layar komputer. Orang tidak merasa jenuh atau bosan karena
aplikasi yang semakin luas dari komputer itu menjadikannya sebagai bahan yang
sangat menarik. Layar ataupun monitor komputer yang sering kita pandang dapat
mempunyai dampak negatif bagi kesehatan. Lelah mata mungkin merupakan hal yang
biasa, tetapi lelah yang terlalu lama akan menyebabkan mata menjadi merah dan
berair. Jika hal ini juga dianggap biasa maka gangguan syaraf akan terjadi yang bisa
saja membuat mata menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Mata merah bukan
hanya disebabkan kelelahan saja, akan tetapi ada lagi penyebab lain yang mungkin
terjadi pada layar atau monitor komputer yang kita gunakan yakni apa yang disebut
sebagai radiasi.11
Monitor komputer juga berpengaruh terhadap kesehatan penglihatan.
Disebabkan oleh dekatnya jarak antara mata dengan layar monitor komputer, dapat
dikatakan bahwa bahaya radiasi terhadap mata lebih besar jika dibandingkan dengan
layar televisi. Hal ini dapat dimengerti karena pada umumnya jarak mata dengan layar
televisi biasanya lebih jauh jika dibandingkan dengan jarak mata seorang yang bekerja
dengan layar monitor komputer.11

11
Salah satu usaha untuk mengurangi bahaya radiasi ini adalah dengan
menempatkan filter atau lebih terkenal dengan sebutan screen filter. Akan tetapi
pemakaian filter aini belum memuaskan. Maka perusahaan pembuat komputer
meluncurkan produk layar monitor yang disebut sebagai monitor low radiation.11
Sekarang ini monitor yang terbaru bukan saja untuk menampilkan output dari
komputer, akan tetapi dapat pula difungsikan menjadi pesawat televisi yang dapat pula
dipakai sebagai penyiaran saluran televisi, dan penayangan video. Dalam upaya
menjadikan monitor sebagai multi fungsi tentu saja ada komponen atau peralatan
khusus yang dipasang pada komputer tersebut, diantaranya internal speaker, video
receiver board dan video cassette recorder. Walaupun perkembangan komputer dan
monitornya sudah sangat canggih, kita tetap perlu waspada terhadap dampak yang
ditimbulkan oleh monitor tersebut terhadap kesehatan.11
Beberapa gangguan kesehatan dicurigai dari radiasi monitor diantaranya:
katarak, epilepsi, cacat bawaan bahkan sampai gangguan seksual. Jika kita telaah
ternyata katarak disebabkan oleh proses menua dan sinar ultraviolet. Sementara nyeri
pada mata ataupun mata berair maupun mata kabur bukanlah disebabkan oleh mata
lelah. Walaupun demikian mata lelah dapat disebabkan oleh terlalu lama berada di
depan layar monitor komputer. Untuk itu kepada para pemakai komputer disarankan
mangatur jarak antara mata dengan layar monitor supaya jangan terlalu dekat (minimal
0,5 meter) dan jangan terlalu berlama-lama mengoperasikan komputer. Jika terpaksa
harus bekerja dalam waktu yang lama, maka disarankan untuk mengambil waktu jeda
supaya membolehkan mata melakukan istirahat, misalnya dengan melihat pepohonan
hijau. 11
2.3.2 Televisi
Televisi mengenalkan sistem multimedia dalam bentuk yang lebih maju.
Televisi mengenalkan kita atas dunia suara dan dunia gerak, warna dan gambar.
Kehadirannya tidak pernah lepas dari akibat-akibat sampingan.13
Berbagai tulisan, kertas kerja, dan penelitian bahkan seminar-seminar,
lokakarya, symposium yang ditulis dan dibicarakan oleh para pakar dan para ahli
dibidangnya memperdebatkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh media televisi
yang sebenarnya sudah merebak sejak kelahirannya pada era tahun 1950. 14
Hardiono D Pusponegoro memaparkan, sebuah penelitian terhadap anak di
bawah 3 tahun dan 3 - 5 tahun yang menonton televisi. Dalam penelitian itu, anak di

12
bawah 3 tahun melihat layar kaca itu rata-rata 2 jam sehari dan anak 3 - 5 tahun rata-
rata 3 jam sehari.14
Acara televisi memiliki daya informasi yang luar biasa kuat kepada anak-anak,
karena hampir 90% waktu anak dihabiskan di rumah dan menonton televisi. Sebanyak
1.523 anak di Jepang dilaporkan mengalami mual-mual, muntah, pusing, dan mata
pedih akibat terlalu banyak menonton tokoh kartun yang tengah booming kala itu,
Pokemon edisi Computer Warrior Porigon produksi 1997. Menurut tim medis yang
memeriksa kasus ini, gejala itu akibat efek dari sinar warna merah yang menyilaukan
yang terpancar dari mata tokoh Pikachu.15
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Karnadi (staf Bidang
Pengembangan Model dan Sistem Pembelajaran) dan Sutisno (peneliti pada
Pustekkom Depdiknas), yang mengambil sampel pada siswa SMA dan mahasiswa, dari
jawaban yang berhasil dijaring dari pertanyaan lama menonton adalah sebanyak 540
dari 548 responden. Jawaban responden terhadap lama tonton televisi adalah cukup
merata. Sebanyak 112 responden (20,73%) mengaku menonton hanya kurang dari satu
jam setiap harinya. Ada 99 responden (18,4%) mengatakan menonton televisi setiap
hari rata-rata 2 jam. Sementara itu ada 125 responden (23,14%) menonton televisi
rata-rata tiga jam, 126 responden lain (23,33%) menonton empat jam. Sedangkan 78
responden (14,4%) mengaku menonton lebih dari lima jam.16

2.4 Penggunaan Media elektronik Visual berisiko


Gaya hidup modern, seperti main game, nonton televisi dengan kebiasaan
melihat dari jarak dekat, termasuk saat membaca, tanpa banyak disadari menjadi
ancaman kesehatan mata anak-anak sekolah. Menurut Suhardjo, gaya hidup modern
perkotaan, menjadi salah satu penyebab tingginya gangguan refraksi mata pada anak-
anak usia sekolah. Gangguan refraksi membuat kemampuan mata melihat sebuah
obyek secara jelas terganggu. Menonton televisi, bermain game, dan membaca lama
dalam jarak dekat akan memaksa mata bekerja keras. Dalam jangka waktu lama akan
bisa merusak kemampuan mata.4
Terdapat teori yang menyatakan bahwa faktor gaya hidup, yaitu aktivitas
melihat dekat yang terlalu banyak, seperti membaca buku, melihat layar komputer,
bermain videogame, menonton televisi, dapat menyebabkan melemahnya otot siliaris
mata sehingga mengakibatkan gangguan otot untuk melihat jauh. Daerah perkotaan
yang padat juga mengakibatkan sempitnya ruang bermain sehingga anak cenderung

13
melakukan aktivitas bermain indoor (di dalam ruang) yang jarang menggunakan
penglihatan jauh. Faktor gaya hidup ini didukung tingginya akses anak terhadap media
aktivitas visual. 5
Menurut Bambang Triwiyono kumpulan gejala atau sindroma pada mata
diakibatkan oleh penggunaan komputer secara terus-menerus, lebih dari empat jam
sehari. Lamanya penggunaan komputer merupakan faktor yang menentukan.
Penggunaan komputer yang dianjurkan adalah tidak lebih dari empat jam sehari. Bila
lebih dari waktu tersebut, mata cenderung mengalami refraksi. Seandainya penggunaan
dalam tempo lebih dari empat jam itu tak bisa dihindari, frekuensi istirahatnya harus
lebih sering.17
Mata juga mudah rusak jika menonton TV dari jarak yang terlalu dekat. Jarak
nonton TV paling tidak 3 m, atau 5 kali lipat lebar diagonal layar kaca, karena sinar
pada televisi bisa merusak lensa mata.18

2.5 Penggunaan Media elektronik Visual Kurang berisiko


Kelainan/gangguan penglihatan juga berpengaruh pada hubungan sosial. Secara
keseluruhan gangguan penglihatan ini menurunkan kualitas SDM. Sri Astuti
Soeparmanto menjelaskan bahwa untuk mengurangi risiko mengalami kebutaan atau
gangguan penglihatan, harus dilakukan tiga hal. Pertama pencegahan primer, yaitu
pencegahan terjadinya penyakit penyebab kebutaan, antara lain dengan memberikan
gizi yang baik dan seimbang untuk mencegah katarak dan kekurangan Vitamin A,
mengatur jarak menonton TV dan jarak baca pada anak-anak untuk mencegah kelainan
refraksi dan mengontrol tekanan bola mata secara teratur pada usia di atas 40 tahun.
Kedua pencegahan sekunder, yaitu pencegahan hilangnya ketajaman penglihatan
akibat penyakit yang sedang diderita, misalnya dengan cara menjalani operasi bagi
penderita katarak, dan memakai kacamata koreksi bagi penderita kelainan refraksi, dan
ketiga pencegahan tersier yaitu pemulihan penglihatan pada orang yang buta.3
Untuk mencegah terjadinya kelainan refraksi pada anak hendaknya
diperhatikan hal-hal berikut : 19
- Duduk dengan posisi tegak ketika menulis.
- Istirahatkan mata setiap 30 menit setelah membaca, menulis atau menonton TV.
- Atur jarak baca yang tepat (30 cm).
- Gunakan penerangan yang cukup.
- Tidak membaca dengan posisi tidur atau tengkurap.

14
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep


Sesuai dengan judul penelitian yaitu hubungan penggunaan media elektronik
visual terhadap timbulnya miopia pada siswa SMA negeri 4 Banda Aceh, maka
disusun kerangka konsepsional yang berfokus pada dua faktor yang berhubungan
dengan timbulnya miopia pada siswa SMA negeri 4 Banda Aceh yaitu: penggunaan
media elektronika visual berisiko dan penggunaan media elektronika visual yang
kurang berisiko.

Penggunaan media
elektronika visual Retrospektif
yang berisiko Miopia (+)

Penggunaan media
elektronika visual
yang kurang berisiko

Penggunaan media
elektronika visual Retrospektif
yang berisiko Miopia (-)

Penggunaan media
elektronika visual
yang kurang berisiko

15
3.2. Definisi Operasional
Variabel Dependent
No Variabel Definisi Alat Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional ukur Ukur
1. Kasus Siswa SMA Snellen Pemeriksaan - miopia (+) Nominal
Negeri 4 Banda chart, refraksi
Aceh kelas 1 dan lensa secara
2yang menderita koreksi subjektif
miopia, yaitu sferis (-)
ganguan pada dan (+).
tajam penglihatan
yang diakibatkan
sinar sejajar yang
datang dibiaskan
didepan retina
pada mata dalam
keadaan
istirahat/tidak
berakomodasi.
2. Kontrol Siswa SMA Snellen Pemeriksaan - miopia (-) Nominal
Negeri 4 Banda chart, refraksi
Aceh kelas 1 dan lensa secara
kelas 2 yang koreksi subjektif
tidak menderita sferis (-)
menderita miopia dan (+).

Variabel Independent
No Variabel Definisi Alat ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur
1. Penggunaan Paparan mata Kuisioner Wawancara - Penggunaan berisiko Nominal
Media terhadap media
Elektronika eletronika visual - Penggunaan kurang
visual berupa komputer berisiko
dan televisi
(termasuk
playstation)
terhadap mata
menurut jarak
pandang, dan
durasi
penggunaan.

16
3.3 Cara Pengukuran Variabel
3.3.1. Variabel Dependent
Miopia pada siswa SMA
- Kasus : Siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh kelas 1 dan 2 yang menderita
miopia
- Kontrol : Siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh kelas 1 dan 2 yang tidak
menderita miopia

Miopia ditentukan melalui pemeriksaan visus secara subjektif dengan


menggunakan Snellen Chart.
- Responden membaca huruf pada Snellen Chart pada masing-masing mata
dari jarak 6 M atau 20 kaki, dinilai ketajaman visus masing-masing mata
tersebut..
- Lalu dilakukan uji refraksi dengan koreksi lensa sferis positif, lensa sferis
negatif untuk mengetahui adanya gangguan miopia ataupun gangguan
refraksi lainnya.
- Responden yang mengalami perbaikan visus pada salah satu atau kedua
mata dengan koreksi lensa sferis negatif adalah responden dengan ganguan
miopia.
3.3.2. Variabel Independent
Penggunaan media elektronika visual
1. Penggunaan yang berisiko : Penggunaan media televisi (termasuk
playstation) atau komputer yang memenuhi kedua kriteria berikut :
a. Jarak Pandang : - Komputer : < 50 cm
- Televisi / playstation : < 5 kali diagonal TV
 Televisi 14 inch : < 1,75 M
 Televisi 21 inch : < 3 M
 Televisi 29 inch : < 4 M
b. Durasi : Lebih dari 4 jam secara terus menerus atau tanpa diselingi
istirahat ±15 menit
2. Penggunaan yang kurang berisiko : Penggunaan media televisi (termasuk
playstation) atau komputer yang tidak memenuhi salah satu atau kedua
kriteria diatas.

17
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional yang dilakukan
secara case control, yaitu untuk mengetahui besarnya risiko relatif pada pengguna
media elektronika televisi dan komputer terhadap timbulnya miopia pada siswa SMA
Negeri 4 Banda Aceh melalui cara observasi klinik non randomize dari Siswa SMA
Negeri 4 Banda Aceh.

4.2 Lokasi dan waktu Penelitian


4.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 4 Banda Aceh
4.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan sejak tanggal 12 Maret 2007 sampai 05 Mei
2007. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 23 s/d 30 April 2007
4.3 Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah seluruh siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh

4.4 Responden Penelitian


Responden penelitian adalah kelompok kasus yang mengalami miopia dan
kelompok kontrol yang tidak mengalami miopia.

4.5 Sampel Penelitian


4.5.1 Kriteria Sampel
Pada penelitian ini kriteria sampel adalah kasus yaitu siswa SMA negeri
4 Banda Aceh kelas 1 dan 2 yang menderita miopia dan kontrol yaitu
siswa SMA negeri 4 Banda Aceh kelas 1 dan 2 yang tidak menderita
miopia, dengan pemilihan kelompok control tanpa melakukan
pencocokan (unmatching)
4.5.2 Besar Sampel
Jumlah sampel yang diambil ditentukan berdasarkan rumus :
Z / 2 + Zβ √ PQ 2

n= (P-1/2)
P = OR/ [1+OR]

Q = 1-P

18
Z adalah nilai baku normal yang besarnya tergantung pada nilai 
yang ditentukan.Untuk  = 0,05, maka Z adalah 1,96.
Zβ adalah nilai baku normal yang besarnya tergantung pada nilai β yang
ditentukan. Untuk β = 0.10, maka Zβ adalah 0,842.
P adalah jumlah penderita miopia
Berdasarkan rumus di atas, besar sampel minimal pada studi kontrol
hanya bergantung pada OR, Z, Zβ, tetapi tidak bergantung pada
proporsi kontrol. Berapa pun proporsi kontrol, bila diketahui  = 0,05;
β = 0,10 dan OR = 2 (jadi P = 2/ [1+ 2] = 2/3 dan Q = 1/3), maka :
n1 = n2 = Z / 2 + Zβ √ PQ 2

(P-1/2)
2
= 1,96 / 2 + 0,842 √2/3 x 1/3 = 76
(2/3 – 1/2)

4.5.3 Cara Pengambilan Sampel


Pada penelitian ini sampel diambil dari seluruh populasi terjangkau yaitu siswa
SMA negeri 4 Banda Aceh kelas 1 dan 2 yang mempunyai gangguan refraksi
mata berupa miopia sebagai kelompok kasus dan yang tanpa miopia sebagai
kelompok kontrol.
4.6 Cara Pengambilan data
Data diambil dengan cara wawancara dan pemeriksaan refraksi mata selama
masa penelitian berlangsung.

4.7 Manajemen Data


4.7.1 Koding
Koding yaitu pemberian kode pada data yang diperoleh untuk
memudahkan pengumpulan data.
4.7.2 Editing
Editing yaitu memeriksa kembali data untuk menghindari kesalahan
data, menjamin data sudah lengkap dan benar.
4.7.3 Tabulating
Tabulating yaitu memasukkan data yang telah diperoleh ke dalam tabel.

19
4.7.4 Cleaning
Cleaning yaitu mengevaluasi kembali data untuk menghindari
kesalahan dalam pengumpulan data.

4.8 Analisa Data


Analisa data akan ditampilkan dalam bentuk Odds ratio dan Analisa Bivariat
4.8.1 Analisa Univariat
Data yang diperoleh dari hasil wawancara, pengamatan dan pemeriksaan
kemudian dicatat dan dikumpulkan dan disajikan dalam bentuk tabel.
4.8.2 Odds ratio
Resiko relatif dihitung secara tidak langsung yaitu dengan mencari odds
ratio (OR).
OR=(Proporsi kasus dengan faktor resiko)/(proporsi kasus tanpa faktor resiko)
(Proporsi kontrol dengan faktor resiko)/(proporsi kontrol tanpa faktor resiko)

4.8.3 Analisa Bivariat


Analisa bivariat digunakan untuk menguji hipotesis dengan
menentukan hubungan variabel bebas dengan variabel terikat melalui
uji statistik chi-square (X2) untuk memperoleh hubungan yang
bermakna pada variabel penelitian dengan menggunakan rumus :
X2 =  (0-E)2
E

Keterangan : X2 = Chi Square


0 = Nilai pengamatan
E = Nilai yang diharapkan

Adapun ketentuan yang digunakan :


1. Ho diterima apabila X2 hitung < dari X2 tabel, artinya tidak ada
hubungan antara penggunaan media elektronik visual terhadap
timbulnya miopia.
2. Ho ditolak apabila X2 hitung > dari X2 tabel, artinya ada
hubungan antara penggunaan media elektronik visual terhadap
timbulnya miopia.
3. Derajat kemaknaan 95 % (  = 0,05)
4. Derajat kebebasan dk= (jumlah baris – 1) (jumlah kolom – 1)
BAB V

20
HASIL PENELITIAN
Penyajian hasil penelitian akan memperlihatkan risiko relatif dan hubungan
penggunaan media elekronika visual terhadap timbulnya miopia pada Siswa SMA
negeri 4 banda Aceh.
Subyek yang diamati sebanyak 152 orang responden yang terbagi kedalam
dua kelompok yaitu kelompok kasus yang mengalami miopia sebanyak 76 orang dan
kelompok kontrol yang tidak mengalami miopia sebanyak 76 orang. Kelompok
kasus dan kontrol ditentukan dengan pemeriksaan refraksi secara subjektif dengan
menggunakan Snellen Chart dan lensa koreksi.
Dari seluruh responden diantaranya terdapat 70 orang responden laki-laki
yang terbagi kedalam 35 orang sebagai case dan 35 control, dan 82 responden
perempuan yang terbagi ke dalam 41 case dan 41 control.

5.1 Analisa Univariat


Tabel 5.1
Distribusi kasus miopia pada siswa SMA negeri 4 Banda Aceh berdasarkan
penggunaan media elektronik visual
Angka
Pengguna media elektronik visual Kejadian Persentase

Penggunaan 19 25%
yang beresiko

Penggunaan 57 75%
yang kurang beresiko
Jumlah 76 100%

Dari tabel 5.1 terlihat bahwa 19 (25%) siswa yang mengalami miopia
mempunyai riwayat penggunaan media elektronik visual yang berisiko, Dan 57
siswa (75%) menggunakan media elektronik visual secara kurang berisiko.

5.2 Odds ratio


Perkiraan besarnya risiko relatif dugaan dari penggunaan media elektronik
visual yang beresiko terhadap kasus miopia dapat diperlihatkan dengan
membandingkan kelompok kasus yang mengalami miopia dari pada pengguna media
elektronik visual yang berisiko maupun tidak dengan sekelompok pengguna media

21
elektronik visual baik yang berisiko atau kurang berisiko pada kelompok kontrol,
dimana mereka tidak mengalami miopia.
Hubungan ini dapat diperlihatkan dengan suatu tabel 2x2 yang nantinya akan
dicari besarnya odds ratio pada kasus ini.

Tabel 5.2. Odds Ratio Penggunaan Media Elektronik Visual Terhadap


Gangguan Miopia pada Siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh
Insiden Total

Positif Negatif

Ada a B a+b

Paparan
Tidak c D c+d

Total a+c b+d (a+b)+(c+d)

Dimana dalam penelitian ini yang menjadi insiden adalah penderita miopia pada
siswa SMA yang menggunakan media elektronik visual, dan sebagai paparannya
adalah pengguna yang berisiko dan yang kurang berisiko, sehingga adanya paparan
berarti mereka yang menggunakan media ini secara tidak benar (berisiko) begitupun
sebaliknya.

Tabel 5.3. Distribusi Penggunaan Media Elektronik Visual Terhadap


Gangguan Miopia pada Siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh
Kejadian Miopia Total
Tidak Miopia
Miopia (kasus)
(kontrol
Penggunaan Penggunaan yang 19 8 27
media beresiko
elektronik visual Penggunaan yang 57 68 125
Kurang beresiko
Total 76 76 152

Untuk mencari Odds ratio digunakan persamaan :


OR = a / b sehingga persamaannya menjadi : OR = a.d
c /d b.c
Odds Ratio = 19 / 57 = 19 x 68 = 2,833
8 / 68 57 x 8

22
Hasil ini menunjukkan bahwa yang menggunakan media elektronik visual
berisiko 2,83 kali lebih besar untuk terjadi gangguan miopia dari pada mereka yang
menggunakannya secara kurang berisiko.

5.3 Analisa Bivariat


Hubungan antara Penggunaan Media elektonik visual terhadap timbulnya
miopia dapat dilihat pada tabel 5.4
Tabel 5.4 Distribusi Frekwensi Penggunaan Media Elektronik Visual
Terhadap Kejadian Miopia pada Siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh

Penggunaan Kejadian Miopia Total


media Miopia (kasus) Tidak Miopia (kontrol Frekuensi Persentase
elektronik Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase (n) %
visual (n) % (n) %
Penggunaan 19 70,03 8 29,97 27 100
yang
beresiko
Penggunaan 57 37,50 68 54,40 125 100
yang
Kurang
beresiko
Total 76 76 152
2 2
df = 1 X tabel = 3, 841 X hitung = 5, 486
Sumber : Data Primer ( diolah, Mei 2005)

Dari hasil uji kemaknaan dengan metode Chi-Square diperoleh nilai X 2


hitung > dari X2 tabel. Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik ada hubungan
antara penggunaan media elektronik visual terhadap timbulnya miopia ( Ho ditolak).

BAB IV

23
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penggunaan media
elektronik visual terhadap timbulnya miopia pada siswa SMA. Pemeriksaan refraksi
dan tajam penglihatan dapat digunakan untuk mendeteksi adanya miopia.
Penelitian dilakukan dengan metode survei yang bersifat observasional
berdimensi retrospektif dengan desain kasus-kontrol. Pemilihan kelompok kontrol
dilakukan tanpa pencocokan (unmatching) dengan kelompok kasus untuk
mengoptimalkan waktu penelitian. Jika pemilihan kelompok kontrol dilakukan
pencocokan (matching) dengan kelompok kasus maka dibutuhkan waktu dan biaya
penelitian yang lebih besar karena karakteristik kelompok kontrol dicocokkan semirip
mungkin dengan kelompok kasus misalnya usia dan faktor risiko lainnya.
Kelompok kasus adalah kelompok siswa yang menderita miopia di SMA negeri
4 Banda Aceh kelas 1 dan 2 yang memiliki kebiasaan menggunakan media elektronik
visual berupa televisi dan atau komputer. Sedangkan Kelompok kontrol adalah
kelompok siswa di SMA negeri 4 Banda Aceh kelas 1 dan 2 yang tidak menderita
miopia. Dari kelompok kasus dan kontrol tersebut masing masing dilihat ada atau
tidaknya faktor risiko yang menyertai.
Sebagian kelompok kasus digolongkan kedalam pengguna media elektronik
visual yang berisiko dan sebagian lagi pengguna yang kurang berisiko, demikian pula
dengan kelompok kontrol. Perbedaan pengalaman penggunaan media elektronik visual
pada kedua kelompok tersebut dibandingkan untuk mengetahui tingkat risiko
penggunaan media elektronik visual terhadap risiko miopia. Untuk mengetahui risiko
penggunaan media elektronik visual terhadap risiko miopia digunakan penentuan odds
ratio. Berdasarkan perhitungan Odds Ratio (OR) ternyata pengguna media elektronik
visual berisiko 2,833 kali lebih tinggi untuk terkena miopia dibandingkan pengguna
media elektronik visual kurang berisiko.
Menurut analisa dengan menggunakan X2, diperoleh hubungan yang erat antara
penggunaan media elektronik visual dengan kejadian timbulnya miopia dimana
didapat nilai X2 hitung > X2 tabel.
Penggunaan media elektronik visual yang kurang berisiko dapat menghindari
penggunanya dari gangguan refraksi berupa miopia sebesar 2,83 kali lebih baik
dibandingkan dengan mereka yang tidak menggunakannya secara berisiko yang punya
peluang 2,83 kali lebih berisiko terkena miopia. Penggunaan media elektronika visual

24
yang berisiko timbulnya miopia dipengaruhi oleh lamanya atau durasi tiap kali
pengunaan dan jarak pandang. Penggunaan televisi dianjurkan pada jarak minimal 5
kali diagonal televisi dan penggunaan komputer pada jarak minimal 50 cm. Durasi
penggunaan media elektronik visual adalah kurang dari 4 jam tiap kali penggunaan,
ataupun penggunaan yang diselingi dengan istirahat selama 15-20 menit.
Sesuai dengan yang dilaporkan oleh Bambang Triwiyono, Lamanya
penggunaan komputer merupakan faktor yang menentukan. kumpulan gejala atau
sindroma pada mata diakibatkan oleh penggunaan komputer secara terus-menerus,
lebih dari empat jam sehari. Penggunaan komputer yang dianjurkan adalah tidak lebih
dari empat jam sehari. Bila lebih dari waktu tersebut, mata cenderung mengalami
refraksi. Seandainya penggunaan dalam tempo lebih dari empat jam itu tak bisa
dihindari, frekuensi istirahatnya harus lebih sering.Menurut Suhardjo, gaya hidup
modern perkotaan, menjadi salah satu penyebab tingginya gangguan refraksi mata
pada anak-anak usia sekolah. Gangguan refraksi membuat kemampuan mata melihat
sebuah obyek secara jelas terganggu. Menonton televisi dan bermain game dalam jarak
dekat akan memaksa mata bekerja keras. Dalam jangka waktu lama akan bisa merusak
kemampuan mata.

Demikian pula dengan hasil penelitian poliklinik bagian mata Rumah Sakit
Sardjito bermain komputer adalah penyebab utama gangguan rabun jauh (miopia) yang
diderita oleh anak usia sekolah. Penelitian yang dilakukan selama enam bulan pada
2006 lalu menyebutkan angka prevalensi gangguan rabun jauh atau miopia pada anak
SD (7-13 tahun) mencapai 8,29 persen. Penelitian dilakukan kepada 2.268 siswa SD
dari 23 sekolah di DIJ. Sebanyak 12 SD dari perkotaan dan 11 SD dari pedesaan.
Selain itu juga dihasilkan prevalensi di SD perkotaan 9,49 persen dan prevalensi di SD
pedesaan 6,87 persen. Dari keseluruhan penderita miopia, sebanyak lima persennya
tergolong penderita parah (ukuran kacamata lebih dari lima dioptri).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Pendidikan Profesi
Dokter Umum FKUI, Jakarta yang sedang menjalani kepaniteraan Ilmu Kedokteran
Komunitas Bidang Pediatri Sosial di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pada
Februari 2006 tentang prevalensi (kejadian) miopia pada 127 siswa kelas V dan VI SD
di Manggarai, Jakarta Selatan, didapatkan enam puluh anak (47 persen) menderita
miopia dan sisanya (22 persen) mengalami kelainan refraksi nonmiopia maupun
kelainan organik yang memang tidak dinilai pada penelitian ini. Pada penelitian

25
tersebut, hampir seluruh murid (94,5 persen) memiliki televisi. Hanya 39,4 persen
anak memiliki videogame, tetapi sebagian besar memiliki akses terhadap rental
videogame (70, 1 persen). Meskipun hanya sedikit anak yang memiliki komputer (15,
7 persen), akses terhadap rental komputer cukup tinggi (56,7 persen).

BAB VII

26
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 KESIMPULAN
1. Penggunaan media elektronik visual secara tidak benar (berisiko) yakni
penggunaan yang melebihi 4 jam tanpa selingi istirahat, dengan jarak pandang
yang kurang dari jarak minimal yang ditentukan untuk tiap jenis media elektronik
visual, yaitu 50 cm untuk komputer dan 5 kali diagonal TV untuk televisi.
2. Dari penelitian yang dilakukan terhadap 76 kasus miopia pada siswa SMA negeri
4 Banda Aceh didapatkan bahwa ada 25% diantaranya yang memiliki riwayat
penggunaan media elektronik visual secara berisiko.
3. Penggunaan media elektronik visual berisiko 2,83 kali lebih tinggi untuk terkena
miopia dibandingkan dengan pengguna media elektonik visual yang kurang
berisiko.
4. Secara statistik ada hubungan antara penggunaan media elektronika yang berisiko
terhadap timbulnya miopia.

7.2 SARAN
1. Setiap individu yang menggunakan media elektronika visual hendaknya
memperhatikan jarak pandang yang dianjurkan dan menghindari penggunaan
yang berlama-lama tanpa diselingi istirahat.
2. Agar penelitian ini dapat dilanjutkan dengan metode kasus kontrol tetapi
pemilihan kelompok kontrolnya dilakukan dengan pencocokan (matching) agar
terjadinya bias dapat diminimalkan dan terjadi keseimbangan antara kelompok
kasus dan kelompok kontrol berdasarkan variabel matching yang digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

27
1. Anonymous. Pentingnya Merawat Mata. Diperoleh dari
http://www.republika.co.id 14 juni 2005.
2. Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. 3,1 Juta
Penduduk Indonesia Menderita Kebutaan. http://www.depkominfo.go.id. 15
Nopember 2006.
3. Candra, Anita. Prestasi Belajar Anak Menurun Karena Kelainan Refraksi
http://www.hariansib.com/index2.php?
option=com_content&do_pdf=1&id=7502 25 Juni 2006.
4. Anonymous. Lima Persen Anak SD Rabun Jauh Berat.
http://www.jawapos.com. 13 Februari 2007.
5. Sahat, Ferry. Miopia, Menurun Prestasi Belajar Anak Perkotaan.
http://www.kompas.com/kesehatan/news/0605/08/141155.htm 2007
6. Wijana, Nana. Refraksi. Dalam Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-6. Jakarta.
2003. h 245-70.
7. Nelson, Leonard. Kelainan Refraksi dan Akomodasi, Dalam: Nelson WE,
Berhman RE, Kliegman R, Arvin AM, Ed. Ilmu Kesehatan Anak, edisi
15.vol.3, EGC: Jakarta 2000.h.2149-53
8. Anonymous. Miopia. http://en.wikipedia.org 28 April 2007
9. Vaughan, D G. Pemeriksaan Oftalmologik. Dalam Oftalmologik Umum. Ed
14. Wijaya Medika. Jakarta. 2000. h 30-63
10. Soangkupon, R. Imran. Ridwan, M. Visus, Refraksi Dan Luas Akomodasi.
Dalam Buku Penunrun Praktikum Fisiologi. Bagian Fisiologi FK Unsyiah.
Banda Aceh. 2001. h. 3-11
11. Humaidi, Syahrul. Dampak Radiasi Monitor Komputer.
www.radiasimonitor.pdf . 2005.
12. Anonymous. RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi.
www.Sie_Hoek_GieRUU.htm 23 April 2006.
13. Rony. Penampakan Jarak Jauh.
http://rony.dogworks.net/2006/11/29/penampakan-jarak-jauh-tv . 29
Nopember 2006.
14. Moernantyo, Joko. Televisi, Matikan Benda itu Atau Dia Akan Menerkam
www.rileks.com 25 Juli 2006.

28
15. Wulandari,D. Jauhkan dampak negatif TV pada anak. www.bisnis.com. 29
April 2007.
16. Karnadi. Sutisno,S. Minat Pelajar SMU dan Mahasiswa Terhadap Pendidikan
Demokrasi Melalui Siaran Televisi. http://www.pustekkom.go.id/teknodik
Oktober 2001.
17. Sari, Yunita D. CVS Serang Pengguna Komputer.
http://www.kompas.com/kesehatan/index.htm 25 Nopember 2002.
18. Gnagey, Mira R. TV Watch Sebuah Kebutuhan Baru. http://www.pikiran-
rakyat.com 4 Juli 2003

29
Lampiran

Penggunaan Kejadian Miopia Total


media Miopia (kasus) Tidak Miopia (kontrol Frekuensi Persentase
elektronik Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase (n) %
visual (n) % (n) %
Penggunaan 19 70,03 8 29,97 27 100
yang
beresiko
Penggunaan 57 37,50 68 54,40 125 100
yang
Kurang
beresiko
Total 76 76 152

Expected Frequencies :
76 x 27 = 13 , 5 76 x 27 = 13 , 5
152 152

76 x 125 = 62,5 76 x 125 = 62,5


152 152

O–E (O – E)2 / E
19-13,5 = 5,5 30,25/13,5 = 2,259
57-62,5 = - 5,5 30,25/62,5 = 0,484
8-13,5 = - 5,5 30,25/13,5 = 2,259
68-62,5 = 5,5 30,25/62,5 = 0,484
df = 1 X2 tabel = 3, 841 X2 hitung = 5, 486

30

Anda mungkin juga menyukai